Anda di halaman 1dari 5

PATUNG WARAHA (BABI)

Sebuah Artefak yang ditemukan di pura Sang Hyang Celeng yang terletak di Desa Menyali,
Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng ini, diyakini memiliki kekuatan gaib, berupa Patung
Waraha (Babi) yang bersenjatakan Cakra Sudarsana, salah satu simbul awatara Wisnu.
Konon katanya, Anak Agung Jelantik (raja buleleng, pada jaman perang puputan Jageraga
ditahun 1829-an), sering bermedetasi dan memohon kekuatan di tempat ini. Karena
kejengkelan Belanda atas kesusahan menangkap Anak Agung Jelantik pada perang itu, yang
diperkirakan mendapat kekuatan spritual di tempat suci ini, maka Patung Waraha atau Babi
ini, sempat dipotong kepalanya oleh pihak Belanda(atas petunjukan mata mata Belanda).
Kemudian kepala babi ini, dibuang kesalah satu mesjid di Singaraja. Hal ini dilakukan, untuk
memecah belah dukungan A A Jelantik yang sangat kuat dari masyarakat yang beragama
Islam yang ada pada saat itu. Kemudian, Raja A A Jelantik diketahui selalu mohon kekuatan
dipelinggih yang satu satunya ada di Bali oleh mata mata Belanda. Pura ini, tercatat
sebagai suatu pelinggih peninggalan Pra- Hindu yang diperkirakan sudah berkembang di
Desa Menyali. Kepala Patung Waraha / Babi yang terdapat di pura ini, baru ditambahkan
pada saat renovasi pura pada tahun 1996. Selain itu, keunikan yang juga bisa disaksikan di
pura ini adalah wujud tari sanghyang yang berbeda dengan daerah lain seperti Badung,
Gianyar, dan Bangli yaitu berbentuk Tari Kerawuhuan pada waktu waktu tertentu. Tari
Sanghyang Celeng sangat sering ditampilkan oleh anak anak dibawah belasan tahun dalam
wujud permainan terutama pada sore hari di Desa Menyali. Sekarang ini, kita bisa lihat setiap
sabtu wuku uye (Tumpek Uduh) masyarakat Desa Menyali selalu mempersembahkan sesajen
di pura ini, sebagai wujud bakti kehadapan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Wisnu
(Dewa Pemilihara Alam). Maka dari itu, Pura ini dinamakan Pura Sang Hyang Celeng.
Bendera Merah Putih Warisan Gajah Mada

SEJARAH
Pada umumnya pengibaran bendera Merah Putih dilakukan di lapangan atau alun-alun,
namun berbeda dengan yang terjadi di Desa Menyali, Kecamatan Sawan, Kabupaten
Buleleng, Bali, pengibaran bendera Merah Putih dilakukan di Jeroan Pura. Bendera sakral
yang diyakini sebagai warisan Mahapatih Gajah Mada ini dikibarkan bertepatan dengan hari
Purnama Ketiga Anggara Umanis, tanggal 9 September 2014.

Pengibaran bendera merah putih yang dilaksanakan di Pura Peninjaoan, Desa Menyali
memiliki sejarah spiritual yang tinggi. Bendera merah putih ini ditancapkan di pura tua ini
setelah melalui proses yang sangat lama, diyakini pencarian tempat ini dilakukan langsung
oleh Mahapatih Gajah Mada secara niskala. Pura Peninjaoan di Desa Menyali memiliki
ukiran yang khas pura tua di Buleleng.

Pura tua ini memiliki sejarah penting dalam sejarah Majahapit hingga Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Berdasarkan petuah yang diberikan oleh Patih Gajah Mada melalui salah
seorang Jero Pemangku Istri, pulau-pulau Nusantara dipantau dari Pura Peninjoan. Dari
sabdha yang disampaikan Mahapatih Gajah Mada Pura Peninjoan dahulu kala adalah sebuah
bukit tinggi yang disebut Bukit Peninjauan dan dari bukit inilah Mahapatih Gajah Mada dapat
melihat pulau pulau di Nusantara. Itulah alasan kenapa di tancapkan bendera Merah Putih di
pura ini. Gajah Mada pun berpesan agar piodalan pengibaran bendera Merah Putih dilakukan
dalam waktu lama sehingga seluruh pemedek Umat Hindu di Bali mengetahuinya serta dapat
tangkil di Pura Peninjoan.

Menurut Ida Prabu Gede, tujuan dari pengibaran bendera Merah Putih di pura ini untuk
mendoakan kedamaian di Bali khususnya dan nusantara pada umumnya. Ida Prabhu meminta
agar masyarakat Desa Menyali dengan tulus ikhlas menghaturkan yadnya di Pura ini agar Ida
Hyang Widi Wasa memberikan berkah kepada warga setempat.
PELAKSANAAN UPACARA

Pengibaran bendera Merah Putih di Pura Peninjaoan ini sangat unik dan sakral karena peserta
upacara menggunakan pakaian adat sembahyang, sementara upacara pun mirip dengan HUT
Proklamasi 17 Agustus dan bendera dikibarkan oleh tiga pemuda pemudi dari desa
setempat yang juga berpakaian adat sembahyang. Sedangkan puluhan murid menyanyikan
lagu Indonesia Raya. Sedangkan puluhan siswa-siswa berdiri di jaba pura yang bertugas
sebagai regu penyanyi. Pengibaran bendera sakral ini tidak diiringi kidung melainkan lagu
kebangsaan Indonesia Raya. Suasana yang dirasakan krama pun sangat menakjubkan. Rasa
bangga, semangat kemerdekaan bercampur suasana spiritual menyelimuti pada krama yang
menghadiri upacara pengibaran bendera ini.

Seperti yang terjadi pada piodalan tahun lalu pada tanggal 9 September 2014, usai pengibaran
bendera tiba-tiba seorang jero pemangku istri kerauhan. Diyakini, ia sebagai Mahapatih
Gajah Mada yang menyaksikan secara langsung upacara pengibaran bendera di Pura ini. Saat
kerauhan, sosok Gajah Mada meminta sebatang rokok serta menegak minuman arak sebagai
pertanda ia hadir menyaksikan upacara ini. "Kulo iki datang ke sini meyaksikan upacara,"
kata Gajah Mada dengan berbahasa dan logat Jawa. Berulang kali, Gajah Mada memekikkan
kata-kata Merdeka. Ribuan umat pun menyambutnya dengan pekik merdeka. "Merdeka,
merdeka, merdeka," pekik ribuan umat. Gajah Mada juga meminta umat untuk kembali
menyanyikan lagu-lagu perjuangan,seperti lagu Merah Putih berbahasa Baliciptaan Darna
serta lagu perjuangan lainnya, yaitu Berkibarlah Benderaku.
Tak berselang lama, seorang jero mangku istri juga kerauhan. Jero mangku istri yang dalam
kerauhannya menggunakan bahasa Cina diyakini sebagai Dewi Kwan In. Sang Dewi pun
menyatakan gembira dengan upacara pengibaran bendera tersebut. Dewi Kwan In menari-
nari menuju tugu pura. Di depan tugu, Dewi Kwan In meminta agar tugu utama Pura
Peninjoan dibungkus dengan kain Merah Putih.

Sementara Pengibaran bendera Merah Putih warisan Kerajaan Majapahit di Pura Peninjoan,
Menyali tidak berjalan dengan mulus. Terjadi pro kontra di kalangan krama di
Menyali untuk mengibarkan bendera sakral ini. Pro kontra di kalangan krama, baik yang
setuju dan tidak setuju mengibarkan bendera di jeroan Pura Peninjoan yang sempat mewarnai
proses ini juga dituturkan Mahapatih Gajah Mada. Hal ini terjadi karena belum semua krama
meyakini bahwa bendera tersebut adalah warisan dari Kerajaan Majapahit. Dikatakan bahwa
warga yang tidak percaya akan sakit kepala.
AGAMA HINDU
BENDA SAKRAL

Oleh
Ni Ketut Ari Susanti
1506305044

Fakultas Ekonomi Dan Bisnis


Universitas Udayana 2015/2016

Anda mungkin juga menyukai