Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

Berbagai penyakit dapat menyerang susunan saraf pusat. Salah satunya adalah peradangan
pada selaput otak, yang sering disebut sebagai meningitis. Meningitis merupakan penyakit
susunan saraf pusat yang dapat menyerang semua orang. Bayi, anak-anak, dan dewasa muda
merupakan golongan usia yang mempunyai resiko tinggi untuk terkena meningitis. Meningitis
merupakan penyakit yang penting pada masa anak-anak (80%). Makin mudaa usia anak semakin
sulit dalam diagnosis dan semakin besar risiko kerusakan otak residual. Pentingnya
mempertimbangkan kemungkinan meningitis pada setiap anak yang kejang bukan suatu yang
berlebihan. Di Inggris, dilaporkan bahwa 3000 orang terkena meningitis setiap tahunnya, baik
dewasa maupun anak-anak. Dilaporkan juga bahwa satu dari sepuluh orang yang menderita
meningitis akan meninggal, dan sisanya akan sembuh dengan meninggalkan kecacatan. 3,5,6.7

Berbagai faktor dapat menyebabkan terjadinya meningitis, diantaranya infeksi virus, bakteri,
dan jamur. Sebab lain adalah akibat trauma, kanker, dan obat-obatan tertentu.7

Meningitis pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur atau protozoa.
Insidens berkisar antara 0,2-0,4/1000 kelahiran hidup dan lebih tinggi pada bayi preterm.
Meningits dapat dikaitkan dengan sepsis atau muncul sebagai infeksi lokal. Kini meningitis
terjadi pada kurang dari 20% bayi baru lahir dengan infeksi bakteri invasif mulai awal. Pada
bayi, keterlambatan diagnosis dalam hitungan jam saja dapat membedakan penyembuhan
sempurna atau tidak sempurna. Jika ada keraguan dalam mendiagnosis meningitis, pungsi lumbal
wajib dilakukan.7

Berbagai bakteri, virus, fungi, tuberculosis, cryptococcuc, dan anaerobe dapat menyebabkan
meningitis. Penyebab meningitis bakteri yang paling sering ditemukan adalah Neisseria
meningitides, namun jarang dilaporkan di Indonesia.4,5

Jika berdasarkan pemeriksaan penderita didiagnosa sebagai meningitis, maka pemberian


antibiotik secara Infus (intravenous) adalah langkah yang baik untuk menjamin kesembuhan
serta mengurang atau menghindari resiko komplikasi. Antibiotik yang diberikan kepada
penderita tergantung dari jenis bakteri yang ditemukan. Pengobatan lainnya adalah yang
mengarah kepada gejala yang timbul, misalnya sakit kepala dan demam (paracetamol), shock
dan kejang (diazepam) dan lain sebagainya.
BAB II

PENDEKATAN DIAGNOSIS MENINGITIS PADA ANAK

Definisi Meningitis

Meningitis adalah suatu reksi peradangan yang mengenai satu atau semua apisan selaput yang
membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang menimbulkan eksudasi berupa
pus atau serosa.8

Meningitis adalah radang/inflamasi pada selaut otak atau meningen (termasuk dura, arachnoid,
dan piamater) merupakan penyakit yang sangat penting dan serius pada anak.7

Meningitis adalah suatu reaksi peradangan yang mengenai sebagian atau seluruh selaput otak
(meningen) yang melapisi otak dan medulla spinalis, yang ditandai dengan adanya sel darah
putih dalam cairan serebrospinal.5

Insidensi8

Meningitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dari pada perempuan.


Incident puncak terdapat rentang usia 6 12 bulan.
Rentang usia dengan angka moralitas tinggi adalah dari lahir sampai dengan 4 tahun.

Etiologi

Berbagai bakteri, virus, fungi, tuberkulosis, cryptococcuc, dan anaerobe dapat menyebabkan
meningitis. Etiologi berbeda tergantung umur pasien, sbb:7

Pada neonatus umur 0-3 bulan

Bakteri yang menyebabkan meningitis pada neonatus biasanya berasal dari jalan lahir ibu. E.
coli, Klebsiella, Listeria, Group B Streptococcus (GBS). Bayi harus dianggap
imonocompromised, maka semua penyebab harus dipertimbangkan dalam diagnosis. Virus
yang sangat berbahaya pada neonatus adalah Herpes Simplex (HSV) dari jalan lahir.
Kebanyakan ibu tidak tahu mereka menderita infeksi ini.
Pada anak yang berumur 3 bulan sampai 3 tahun : H.influenzae penyebab utama 60% pada
semua kasus meningitis bakteri pada anak yang berusia kurang dari 12 bulan. Meningitis
tuberculosis paling sering tampak pada golongan anak umur ini dan merupakan lanjutan dari
infeksi primer.

Pada anak yang berumur 3-21 tahun: virus (enterovirus, arbovurus, herpesvirus) adalah
penyebab utama pada anak berumur ini. Bakteri yang paling sering dilaporkan adalah
N.meningitidis dan S. pnemoniae.

Table 1. Etiologi Meningitis Berdasarkan Umur7

Etiologi 0-3 bulan 3-36 bulan 3-21 bulan Yg lemah imun


Streptococcus X
group B
Escherichia coli X
Listeria X
monocytigenes
Hemophilus X
influenzae
Streptococcus X X X
pneumonia
Neisseria X X X
meningitidis
Fungus/jamur X
Tuberculosis X X X
(TBC)
Enterovirus, X X X X
Herpesvirus,
Arbovirus, dll

Meningitis bakterial akut merujuk kepada bakteri sebagai penyebabnya. Meningitis jenis ini
memiliki onset gejala meningeal dan pleositosis yang bersifat akut. Penyebabnya antara lain
Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae. Jamur dan parasit
juga dapat menyebabkan meningitis seperti Cryptococcus, Histoplasma, dan amoeba.6

Meningitis aseptik merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular nonpiogenik
yang disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda-beda. Penderita biasanya menunjukkan gejala
meningeal akut, demam, pleositosis LCS yang didominasi oleh limfosit. Setelah beberapa
pemeriksaan laboratorium, didapatkan peyebab dari meningitis aseptik ini kebanyakan berasal
dari virus, di antaranya Enterovirus, Herpes Simplex Virus (HSV).6
Gejala Klinis8

a. Neonatus

1) Gejala tidak khas


2) Panas (+)
3) Anak tampak malas, lemah, tidak mau minum, muntah dan kesadaran menurun.
4) Ubun-ubun besar kadang kadang cembung.
5) Pernafasan tidak teratur.

b. Anak Umur 2 Bulan Sampai Dengan 2 Tahun

1) Gambaran klasik (-)


2) Hanya panas, muntah, gelisah, kejang berulang.
3) Kadang-kadang high pitched ery.

c. Anak Umur Lebih 2 Tahun

1) Panas, menggigil, muntah, nyeri kepala.


2) Kejang
3) Gangguan kesadaran.
4) Tanda-tanda rangsang meninggal, kaku kuduk, tanda brudzinski dan kering (+).

Patofisiologi Meningitis8
MENINGITIS BAKTERIAL

Meningitis bakteri (purulenta) adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan
eksudat berupa pus, serta bukan disebakan oleh bakteri spesifik maupun virus.5

Meningitis bakterialis merupakan penyakit yang mengancam jiwa disebabkan oleh infeksi
lapisan meningen oleh bakteri. Insidensi meningitis bakterialis di Amerika Serikat sudah
menurun sejak diterapkannya penggunaan rutin vaksin Haemophilus influenzae tipe B (HIB).
Umumnya penderita berusia di bawah 5 tahun dan pada 70% kasus terjadi pada anak-anak usia 2
tahun.

Faktor Predisposisi

Faktor predisposisinya antara lain: infeksi saluran pernapasan, otitis media, mastoiditis, trauma
kepala, hemoglobinopathy, infeksi HIV, keadaan defisiensi imun lainnya.5
Patofisiologi

Meningitis bakteri pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit lain. Bakteri
menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit faringitis, tonsillitis,
pneumonia, bronchopneumonia, endokarditis, dan lain-lain.5

Penyebaran bakteri dapat pula secara perikontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan
yang ada di dekat selaput otak, misalnya abses otak, otitis media, mastoiditis, thrombosis sinus
kavernosus, sinusitis. Penyebaran bakteri dapat juga akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka
atau komplikasi bedah otak.5

Pertama-tama bakteri berkolonisasi dan menyebabkan infeksi lokal pada inang. Kolonisasi
dapat terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran pernapasan, saluran pencernaan, atau saluran
kemih dan genital. Dari tempat ini, bakteri akan menginvasi submukosa dengan menghindari
pertahanan inang (seperti barier fisik, imunitas lokal, fagosit/makrofag) dan mempermudah akses
menuju sistem syaraf pusat (SSP) dengan beberapa mekanisme:5

Invasi ke dalam aliran darah (bakteremia) dan menyebabkan penyebaran secara hematogen ke
SSP, yang merupakan pola umum dari penyebaran bakteri. Penyebaran melalui kontak langsung,
misalnya melalui sinusitis, otitis media, malformasi kongenital, trauma, inokulasi langsung
selama manipulasi intrakranial.5

Sesampainya di aliran darah, bakteri akan berusaha menghindar dari pertahanan imun (misalnya:
antibodi, fagositosis neutrofil, sistem komplemen). Kemudian terjadi penyebaran hematogen ke
perifer dan organ yang letaknya jauh termasuk SSP.5

Mekanisme patofisiologi spesifik mengenai penetrasi bakteri ke dalam SSP sampai sekarang
belum begitu jelas. Setelah tiba di SSP, bakteri dapat bertahan dari sistem imun inang karena
terbatasnya jumlah sistem imun pada SSP. Bakteri akan bereplikasi secara tidak terkendali dan
merangsang kaskade inflamasi meningen. Proses inflamasi ini melibatkan peran dari sitokin
yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-), interleukin(IL)-1, chemokin (IL-8), dan molekul
proinflamasi lainnya sehingga terjadi pleositosis dan kerusakan neuronal. Peningkatan
konsentrasi TNF-, IL-1, IL-6, dan IL-8 merupakan ciri khas meningitis bakterial.6

Paparan sel (endotel, leukosit, mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap produk yang
dihasilkan bakteri selama replikasi dan kematian bakteri merangsang sintesis sitokin dan
mediator proinflamasi. Data-data terbaru memberi petunjuk bahwa proses ini dimulai oleh ligasi
komponen bakteri (seperti peptidoglikan, lipopolisakarida) untuk mengenali reseptor (Toll-like
receptor)

Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi peningkatan permeabelitas
BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai komponen darah ke dalam ruang subarachnoid. Hal
ini menyebabkan terjadinya edema vasogenik dan peningkatan protein LCS. Sebagai respon
terhadap molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari aliran darah menuju ke
BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran pleositosis neutrofil yang khas untuk meningitis
bakterial.5

Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma ke dalam ruang
subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema interstitial, produk-produk
degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas selular lain yang menyebabkan edema sitotoksik.6

Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra kranial
dan pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF). Metabolisme anaerob terjadi dan
mengakibatkan peningkatan konsentrasi laktat dan hypoglycorrhachia. Hypoglycorrhachia
merupakan hasil dari menurunnya transpor glukosa ke LCS. Jika proses yang tidak terkendali ini
tidak ditangani dengan baik, dapat terjadi disfungsi neuronal sementara atau pun permanen.5

Tekanan tinggi intra kranial (TTIK) merupakan salah satu komplikasi penting dari meningitis
di mana keadaan ini merupakan gabungan dari edema interstitial (sekunder terhadap obstruksi
aliran LCS), edema sitotoksik (akibat pelepasan produk toksik bakteri dan neutrofil) serta edema
vasogenik (peningkatan permeabelitas BBB).5

Edema serebral dapat menyebabkan terjadinya midline shift dengan adanya penekanan pada
tentorial dan foramen magnum. Pergeseran ini akan menimbulkan herniasi gyri parahippocampus
dan cerebellum. Secara klinis keadaan ini ditunjukkan oleh adanya penurunan kesadaran dan
reflek postural, palsy nervus kranial III dan VI. Jika tidak diobati maka terjadi dekortikasi dan
deserebrasi yang secara pesat berkembang menjadi henti napas atau henti jantung.5

Insidensi Meningitis Bakterial

Berdasarkan grafik dari Centers for Diseases Control and Prevention 2003, kasus meningitis
terbanyak pada usia 15-24 tahun (20,4%). Pada anak usia 1-4 tahun sebanyak 13,8%, usia kurang
dari 1 tahun sebanyak 11,9% .6

Di Amerika Serikat, sebelum penggunaan Vaksin HIB secara luas, insidensi sekitar 20.000-
30.000 kasus/tahun. Sedangkan Neisseria meningitidis meningitis kurang lebih 4 kasus/100.000
anak usia 1-23 bulan. Rata-rata kasus Streptococcus pneumoniae meningitis adalah 6,5/100.000
anak usia 1-23 bulan. Insidensi meningitis pada neonatus adalah 0,25-1 kasus/1000 kelahiran
hidup. Pada kelahiran aterm, insidensinya adalah 0,15 kasus/1000 kelahiran aterm sedangkan
pada kelahiran preterm adalah 2,5 kasus/1000 kelahiran preterm. Kurang lebih 30% kasus sepsis
neonatorum berhubungan dengan meningitis bakterial.6

19-26% mortalitas diakibatkan karena meningitis oleh Sterptococcus pneumoniae, 3-6% oleh
Haemophilus influenzae, 3-13% oleh Neisseria meningitidis. Rata-rata mortalitas paling tinggi
pada tahun pertama kehidupan, menurun pada usia muda, dan kembali meninggi pada usia tua.
Insidensi rata-rata lebih tinggi pada populasi Afro-Amerika dan Indian dibandingkan pada
populasi Kaukasia dan Hispanik. Bayi laki-laki memiliki insidensi lebih tinggi terkena
meningitis oleh gram negatif dibanding bayi perempuan. Tetapi bayi perempuan lebih rentan
terhadap meningitis oleh Listeria monocytogenes. Sedangkan insidensi meningitis oleh
Streptococcus pneumoniae adalah sama untuk bayi perempuan maupun laki-laki. Kebanyakan
penderita adalah anak dengan usia kurang dari 5 tahun. 70% kasus terjadi pada anak dengan usia
kurang dari 2 tahun.5

Gejala Klinis Meningits Bakterial

Gejala klinis meningitis bakterialis pada neonatus tidak spesifik meliputi gejala sebagai
berikut: sulit makan, lethargi, irritable, apnea, apatis, febris, hipotermia, konvulsi, ikterik, ubun-
ubun menonjol, pucat, shock, hipotoni, shrill cry, asidosis metabolik. Sedangkan gejala klinis
pada bayi dan anak-anak yang diketahui berhubungan dengan meningitis adalah kaku kuduk,
opisthotonus, ubun-ubun menonjol (bulging fontanelle), konvulsi, fotofobia, cephalgia,
penurunan kesadaran, irritable, lethargi, anoreksia, nausea, vomitus, koma, febris umumnya
selalu muncul tetapi pada anak dengan sakit yang berat dapat hipotermia.6
opistotonus

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:5

Tanda disfungsi serebral seperti confusion, irritable, deliriun sampai koma, biasanya disertai
febris dan fotofobia.

Tanda-tanda rangsang meningen didapatkan pada kurang lebih 50% penderita meningitis
bakterialis. Jika rangsang meningen tidak ada, kemungkinan meningitis belum dapat
disingkirkan. Perasat Brudzinski, Kernig ataupun kaku kuduk merupakan petunjuk yang sangat
membantu dalam menegakan diagnosis meningitis. Tetapi perasat ini negatif pada anak yang
sangat muda, debilitas, bayi malnutrisi.
Palsy nervus kranialis, merupakan akibat TTIK atau adanya eksudat yang menyerang syaraf.

Gejala neurologis fokal yang disebabkan karena adanya iskemia sekunder terhadap inflamasi
vaskuler dan trombosis. Adanya gejala ini memberikan prognosis buruk terhadap hospitalisasi
dan timbulnya sekuelae jangka panjang.

Bangkitan kejang umum atau fokal terjadi pada 30% penderita. Bangkitan yang memanjang
dan tidak terkendali khususnya bila ditemukan sebelum hari ke-4 hospitalisasi merupakan faktor
yang memberikan prognosis akan adanya sekuelae yang berat.

Papil edema dan gejala TIK dapat muncul seperti koma, peningkatan tekanan darah disertai
bradikardia dan palsy nervus III. Adanya papil edema memberikan alternatif diagnosis yang
mungkin seperti abses otak.

6% bayi dan anak-anak menunjukkan gejala DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)

Pada tahap akhir penyakit, beberapa penderita menunjukkan gejala SSP fokal dan sistemik
(seperti febris) yang memberikan petunjuk adanya transudasi cairan yang cukup banyak pada
ruang subdural. Insidensi efusi subdural tergantung pada etiologinya.

Pemeriksaan sistemik yang dilakukan dapat memberikan petunjuk terhadap etiologi


meningitis:

Makula dan petekiae yang cepat berkembang menjadi purpura dapat memberikan petunjuk
adanya meningococcemia tanpa atau disertai meningitis.

Sinusitis atau otitis yang ditandai oleh rhinorrhea atau otorrhea menunjukkan adanya kebocoran
LCS yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae atau Haemophilus influenzae dan
meningitis yang berhubungan dengan fraktur basis cranii.

Adanya murmur merupakan manifestasi dari endokarditis infektif sekunder terhadap


pertumbuhan bakteri di meningen.

Gejala neurologis meningitis dapat dibagi 4 fase :6


Fase I : sub febris, lesu, iritabel, selera makan menurun, mual dan sakit kepala ringan.
Fase II : tanda rangsang meningen, kelainan saraf otak (III, IV) kadang hemiparese,
arteritis.
Fase III : tanda neurologi fokal, konvulsi, kesadaran menurun.
Fase IV : tanda fase III disertai koma, syok.
Fase III dan IV bila sembuh dapat mengalami cacat.

Pada meningitis bakteri stadium dini dapat diperoleh cairan yang jernih. Reaksi None dan Pandy
umunya positif, sedang sebagian besar sel terdiri dari polimorfonuklear.
Pada meningitis bakteri biasanya kadar protein dalam cairan serebraspinal meninggi, kadar gula
menurun, kadang klorida kadang-kadang rendah, dan kadang-kadang ditemukan kuman
penyebab dengan pemeriksaan sediaan langsung di bawah mikroskop.
Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis yang tinggi dengan pergeseran ke kiri,
umumnya terdapat anemia megaloblastik. Pemeriksaan glukosa darahpada infeksi akut biasanya
kadar glukosa darahnya meninggi, dan akan segera menurun dalam selang waktu 6-12 jam
kemudian. Sedang pada meningitis bakteri kadar glukosa darahnya menurun karena dibutuhkan
untuk metabolism bakteri.

Bakteri Penyebab

Etiologi meningitis neonatal

Bakteri sering didapatkan dari flora vaginal ibu di mana flora usus gram negatif (Escherichia
coli) dan Streptococcus grup B adalah patogen predominan. Pada neonatus preterm yang
menerima berbagai terapi antimikroba, berbagai prosedur pembedahan sering didapatkan
Staphilococcus epidermidis dan Candida sp sebagai penyebab meningitis. Listeria
monocytogenes merupakan patogen yang jarang dijumpai tetapi sering menyebabkan mortalitas.6

Meningitis Streptococcus grup B dengan onset dini yang terjadi dalam 7 hari pertama
kehidupan sering dihubungkan dengan komplikasi obstetri sebelum atau saat persalinan.
Penyakit ini sering menyerang bayi preterm atau pun bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR). Meningitis onset lanjut terjadi setelah 7 hari pertama kehidupan yang disebabkan oleh
patogen nosokomial atau patogen selama masa perinatal. Streptococcus grup B serotipe 3 adalah
90% penyebab meningitis onset lanjut.5,6

Penggunaan alat bantu respirasi meningkatkan resiko meningitis oleh Serratia marcescens,
Pseudomonas aeruginosa dan Proteus mirabilis. Infeksi oleh Citrobacter diversus dan
Salmonella sp jarang terjadi tetapi memberikan mortalitas tinggi pada penderita yang juga
menderita abses otak.

Etiologi meningitis pada bayi dan anak-anak

Pada anak-anak di atas 4 tahun, penyebab tersering adalah Streptococcus pneumoniae, Neisseria
meningitidis, Haemophilus influenzae tipe B (HIB). HIB pernah menjadi etiologi tersering tetapi
sudah tereradikasi pada negara-negara yang telah menggunakan vaksin konjugasi secara rutin.6,7

Streptococcus pneumoniae meningitis

Patogen ini berbentuk seperti lancet, merupakan diplokokus gram positif dan penyebab
utama meningitis. Dari 84 serotipe, serotipe 1, 3, 6, 7, 14, 19, dan 23 adalah jenis yang sering
dihubungkan dengan dengan bakteremia dan meningitis. Anak pada berbagai usia dapat terpapar
tetapi insidensi dan tingkat keparahan penyakit paling tinggi pada bayi dan lansia. Kurang lebih
50% penderita memiliki riwayat fokus infeksi di parameningen atau pneumonia. Pada penderita
meningitis rekuren perlu dipikirkan ada tidaknya riwayat trauma kepala atau kelainan dural. S.
pneumoniae sering menimbulkan meningitis pada penderita sickle cell anemia,
hemoglobinopathy, penderita asplenia anatomis atau fungsional. Patogen ini membentuk
kolonisasi pada saluran pernapasan individu sehat. Transmisi terjadi antar manusia dengan
kontak langsung. Masa inkubasi sekitar 1-7 hari dan prevalensi terbanyak pada musim dingin.
Gejala yang ditimbulkan di antaranya kehilangan pendengaran sensorineural, hidrocephalus, dan
sekuelae SSP lainnya.6,7

Pengobatan antimikroba efektif mengeradikasi bakteri dari sekresi nasofaring dalam 24 jam.
Pneumococcus membentuk resistensi yang bervariasi terhadap antimikroba. Resistensi terhadap
penicillin berkisar antara 10-60%. Hal ini disebabkan oleh perubahan dalam enzim yang
berperan dalam pertumbuhan dan perbaikan protein pengikat penicillin pada bakteri sehingga
beta-laktamase inhibitor menjadi tidak berguna. Pneumococcus yang resisten terhadap penicillin
juga menampakkan resistensi terhadap cotrimoxazole, tetrasiklin, chloramphenicol, dan
makrolide. Cephalosporin generasi 3 (cefotaxime, ceftriaxone) saat ini merupakan pilihan karena
mampu menghambat sejumlah bakteri yang telah resisten. Beberapa golongan fluoroquinolon
(levofloksasin, trovafloksasin) walaupun merupakan kontraindikasi untuk anak-anak tetapi
memiliki daya kerja tinggi melawan kebanyakan pneumococcus dan memiliki penetrasi adekuat
ke SSP.6,7

Neisseria meningitidis meningitis6,7

Patogen ini merupakan bakteri gram negatif berbentuk seperti ginjal dan sering ditemukan
intraselular. Organisme ini dikelompokkan secara serologis berdasarkan kapsul polisakarida.
Serotipe B, C, Y, dan W-135 merupakan serotipe yang menyebabkan 15-25% kasus meningitis
pada anak. Saluran pernapasan atas sering dikolonisasi oleh patogen ini dan ditularkan antar
manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi saluran pernapasan, dan sering
pula dari karier asimptomatik. Masa inkubasi umumnya kurang dari 4 hari, dengan kisaran waktu
1-7 hari. Faktor resiko meliputi defisiensi komponen komplemen terminal (C5-C9), infeksi virus,
riwayat tinggal di daerah overcrowded, penyakit kronis, penggunaan kortikosteroid, perokok
aktif dan pasif.

Kasus umumnya terjadi pada bayi usia 6-12 bulan dan puncak insidensi tertinggi kedua
adalah saat adolesen. Manifestasi purpura atau petekiae sering dijumpai. LCS pada
meningococcal meningitis biasanya memberi gambaran normoseluler. Kematian umumnya
terjadi 24 jam setelah hospitalisasi pada penderita dengan prognosis buruk yang ditandai dengan
gejala hipotensi, shock, netropenia, petekiae dan purpura yang muncul kurang dari 12 jam, DIC,
asidosis, adanya bakteri dalam leukosit pada sediaan apus darah tepi.

Haemophilus influenzae tipe B (HIB) meningitis5,6,7

HIB merupakan batang gram negatif pleomorfik yang bentuknya bervariasi dari kokobasiler
sampai bentuk panjang melengkung. HIB meningitis umumnya terjadi pada anak-anak yang
belum diimunisasi dengan vaksin HIB. 80-90% kasus terjadi pada anak-anak usia 1 bulan-3
tahun. Menjelang usia 3 tahun, banyak anak-anak yang belum pernah diimunisasi HIB telah
memperoleh antibodi secara alamiah terhadap kapsul poliribofosfat HIB yang cukup memberi
efek protektif. Penularan dari manusia ke manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius
dari sekresi saluran pernapasan. Masa inkubasi kurang dari 10 hari.

Mortalitas kurang dari 5% umumnya kematian terjadi pada beberapa hari awal penyakit.
Beberapa data menunjukkan 30-35% patogen ini sudah resisten terhadap ampicillin karena
produksi beta-laktamase oleh bakteri. Sebanyak 30% kasus menyebabkan sekuelae jangka
panjang. Pemberian dini dexamethasone dapat menurunkan morbiditas dan sekuelae.

Listeria monocytogenes meningitis5,6,7

Bakteri ini menyebabkan meningitis pada neonatus dan anak-anak immunocompromised.


Patogen ini sering dihubungkan dengan konsumsi makanan yang terkontaminasi (susu dan keju).
Kebanyakan kasus disebabkan oleh serotipe Ia, Ib, IVb. Gejala pada penderita dengan Listerial
meningitis cenderung tersamar dan diagnosis sering terlambat ditegakkan. Pada pemeriksaan
laboratorium, patogen ini sering disalahartikan sebagai Streptococcus hemolyticus atau
diphteroid.

Etiologi lain-lain6,7

Staphylococcus epidermidis sering menimbulkan meningitis dan infeksi saluran LCS pada
penderita dengan hidrocephalus dan post prosedur bedah. Anak-anak yang immunocompromised
sering mendapatkan meningitis oleh spesies Pseudomonas, Serratia, Proteus dan diphteroid

Diagnosis Meningitis Bakteri

Meningitis bakteri ditemukan atas dasar gejala klinis dan hasil pemeriksaan cairan
serebrospinal yang didapatkan dengan pungsi lumbal pada saat penderita ke rumah sakit.

Diagnosis dapat diperkuat dengan hasil positif pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop
dan hasil biakan, tetapi pemeriksaan kuman yang negative tidak menyingkirkan diagnosis
meningitis bakteri.5

Pada pemeriksaan laboratorium :

Meningitis adalah keadaan gawat darurat medik. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi
bakteri dari LCS dengan metode lumbal punksi. Adanya inflamasi pada meningen ditandai oleh
pleositosis, peningkatan kadar protein, dan penurunan kadar glukosa LCS. Tekanan LCS
(opening pressure) juga warna LCS (keruh, jernih, berdarah) perlu untuk dinilai. Jika LCS tidak
jernih maka pemberian terapi dilakukan secepatnya tanpa menunggu hasil pemeriksaan LCS.5

Jika penderita menunjukkan tanda herniasi otak maka perlu dipertimbangkan pemberian terapi
tanpa melakukan lumbal punksi. Lumbal punksi dapat dilakukan di lain waktu saat tekanan
intrakranial terkendali dan penderita tampak stabil secara klinis. CT scan atau MRI sangat
membantu penanganan penderita yang memerlukan pemantauan terhadap tekanan intrakranial
dan herniasi.5

Pada spesimen LCS dilakukan pemeriksaan kimiawi (glukosa, protein), jumlah total leukosit
dan hitung jenis (differential count), pewarnaan gram dan kultur. Pada beberapa kasus, test rapid
bacterial antigen perlu dilakukan. Kadar glukosa LCS umumnya kurang dari 40 mg/dL dengan
kadar protein LCS lebih dari 100 mg/dL. Tetapi penilaian ini sangat bervariasi pada penderita
terutama pada meningitis dengan onset yang sangat dini. Pemeriksaan lumbal punksi pada
penderita dengan perjalanan penyakit yang fulminan dan memiliki respon imun yang lemah
kadang-kadang tidak menunjukkan perubahan kimiawi dan sitologis LCS.5

Pada kasus penderita yang tidak diterapi terjadi peningkatan jumlah leukosit yang didominasi
oleh sel Polimorfonuklear (PMN) pada saat dilakukan pemeriksaan lumbal punksi. Pewarnaan
gram dari cytocentrifuged LCS dapat memperlihatkan morfologi bakteri. Spesimen LCS harus
langsung dikultur pada media agar darah atau agar cokelat. Kultur darah juga perlu dilakukan.
Apusan dari lesi petekiae juga dapat menunjukkan patogen penyebab dengan pewarnaan gram.
Pemeriksaan apus buffy coat juga dapat memperlihatkan gambaran mikroorganisme intraseluler.6

Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium

WBC
Opening Glucose Protein
Agent count Microbiology
Pressure (mg/dL) (mg/dL)
per mL

100- Specific pathogen


5000; demonstrated in 60% of
Bacterial meningitis 200-300 <40 >100
>80% Gram stains and 80% of
PMNs* cultures

Viral meningitis 90-200 10-300; Normal, Normal but Viral isolation, PCR assays
lymphocy reduced in may be
tes LCM and slightly
mumps elevated

100-500;
Tuberculous Elevated, Acid-fast bacillus stain,
180-300 lymphocy Reduced, <40
meningitis >100 culture, PCR
tes

10-200;
Cryptococcal India ink, cryptococcal
180-300 lymphocy Reduced 50-200
meningitis antigen, culture
tes

Normal but
10-300;
may be
Aseptic meningitis 90-200 lymphocy Normal Negative findings on workup
slightly
tes
elevated

0-5;
Normal values 80-200 lymphocy 50-75 15-40 Negative findings on workup
tes

Beberapa test didasari oleh prinsip aglutinasi untuk mendeteksi antigen bakteri pada cairan
tubuh juga telah tersedia. Deteksi antigen bakteri dapat diperoleh dari spesimen LCS, darah atau
urin. Test jenis ini bermanfaat pada penderita meningitis dengan riwayat pengobatan belum
lengkap (Partially treated meningitis/PTM) di mana bakteri tidak dapat berkembang biak pada
LCS tetapi antigennya tetap tinggal pada cairan tubuh penderita.

Deteksi antigen dalam urin berguna pada beberapa kasus karena urin dapat dikonsentrasikan
beberapa kali lipat di laboratorium. Beberapa bakteri gram negatif dan S. pneumoniae serotipe
tertentu yang memiliki antigen kapsuler dapat memberikan reaksi silang dengan poliribofosfat
HIB sehingga pewarnaan gram spesimen LCS lebih spesifik dibandingkan rapid diagnostic test.

Diagnosa Banding Meningtis Bakterial

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:5


1. Abses otak
2. Tumor otak
3. Vaskulitis SSP
4. Lead encephalopathy
5. Meningitis fungal
6. Meningitis tuberculosis
7. Tuberculoma
8. Stroke
9. Encephalitis

Penatalaksanaan Meningitis Bakterial


Perawatan medik

Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis. Idealnya


kultur darah dan LCS dilakukan sebelum pemberian antimikroba. Jika neonatus dalam terapi
dengan menggunakan ventilator atau menurut pertimbangan klinis bahwa punksi tersebut
berbahaya maka lumbal punksi dapat ditunda hingga keadaan stabil. Lumbal punksi yang
dilakukan beberapa hari setelah terapi inisial masih memberikan gambaran abnormal pada
pemeriksaan kimiawi dan sitologis.5,6

Akses intravena dan pemantauan pemberian cairan secara ketat perlu dilakukan. Neonatus
dengan meningitis sangat rentan untuk jatuh ke dalam keadaan hiponatremia yang berhubungan
dengan SIADH. Perubahan elektrolit ini juga berperan dalam memicu terjadinya kejang
khususnya dalam 72 jam pertama. Cairan NaCl 0,9% dalam glukosa 5% diberikan sampai
elektrolit serum pada neonatus mencapai normal.5,6

Peningkatan tekanan intrakranial sekunder terhadap edema serebral jarang terjadi pada bayi
tetapi tetap diperlukan pemantauan analisis gas darah untuk menjamin oksigenasi yang adekuat
dan stabilitas metabolisme.

Pemeriksaan penunjang seperti MRI dengan gadoteriol, USG, atau CT scan dengan kontras
diperlukan untuk menyelidiki ada tidaknya kelainan intrakranial. Pada neonatus yang sudah
sembuh dari meningitis perlu dilakukan uji fungsi pendengaran untuk menskrining gangguan
pendengaran.6

Pada bayi dan anak-anak, penanganan meningitis bakterial akut meliputi terapi antimikroba
yang adekuat serta terapi suportif. Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan: memperhatikan
tanda-tanda vital dan status neurologis sehingga dapat menentukan input dan output yang akurat,
penggunaan cairan dengan jenis dan volume yang sesuai untuk mengurangi perkembangan
edema serebral. Anak-anak harus mendapat terapi cairan untuk mempertahankan tekanan darah
sistolik sekitar 80 mmHg, jumlah urine output 500 ml/m2/hari dan perfusi jaringan yang adekuat.
Dopamin dan agen inotropik lainnya dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan darah dan
sirkulasi yang adekuat.6

Terapi antimikroba untuk neonatus6

Antimikroba diberikan segera setelah akses vena dibuat. Secara konservatif terapi
antimikroba yang diberikan terdiri dari kombinasi ampicillin dan aminoglikosida. Ampicillin
memberikan jangkauan yang baik terhadap kokus gram positif termasuk Streptococcus grup B,
Enterococcus, Listeria monocytogenes, beberapa strain Escherichia coli, HIB dan dapat
mencapai kadar adekuat dalam LCS.

Aminoglikosida seperti gentamycin, amikacin, tobramycin baik dalam melawan basil gram
negatif termasuk Pseudomonas aeruginosa, Serratia marcescens. Tetapi aminoglikosida
memiliki kadar rendah dalam LCS atau cairan ventrikel bahkan pada saat meningen sedang
mengalami peradangan. Beberapa cephalosporin generasi III dapat mencapai LCS dengan kadar
tinggi dan berfungsi secara efektif melawan infeksi gram negatif. Pada suatu percobaan
didapatkan hasil bahwa ceftriaxone berkompetisi dengan bilirubin dalam mengikat albumin.
Ceftriaxone dalam kadar terapeutik mengurangi konsentrasi cadangan albumin pada serum
neonatus sebanyak 39% sehingga ceftriaxone dapat meningkatkan resiko bilirubin
encephalopathy khususnya pada neonatus beresiko tinggi. Penelitian lain menyimpulkan bahwa
tak satu pun cephalosporin memiliki aktivitas baik melawan L. monocytogenes dan Enterococcus
sehingga obat ini tidak pernah digunakan sebagai obat tunggal untuk terapi inisial. Disarankan
kombinasi ampicillin dengan cephalosporin generasi III.

Jika patogen sensitif terhadap ampicillin dengan MIC (minimum inhibition concentration)
yang sangat rendah maka ampicillin dapat dilanjutkan sebagai obat tunggal. Cefotaxime dan
ceftriaxone memberikan aktivitas yang baik melawan kebanyakan S. pneumoniae yang resisten
terhadap penicillin. Kombinasi Vancomycin dan cefotaxime dianjurkan untuk penderita S.
pneumoniae meningitis sebelum uji sensitivitas antimikroba dilakukan.

Di antara aminoglikosida, gentamycin dan tobramycin digunakan secara luas disertai


kombinasi dengan ampicillin. Pemberian gentamycin secara intrathecal dianggap tidak
memberikan keuntungan tambahan. Aminoglikosida jika digunakan bersama ampicillin atau
penicillin juga memiliki efek sinergis melawan Streptococcus grup B dan Enterococcus.Tidak
jarang didapatkan laporan rekurensi setelah terapi adekuat dengan penicillin atau ampicillin
terhadap kedua patogen tersebut karena adanya resistensi.5

Infeksi yang melibatkan Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa memerlukan


antimikroba lain seperti oxacillin, methicillin, vancomycin atau kombinasi ceftazidime dan
aminoglikosida.

Etiologi dan gejala klinik menentukan durasi terapi, biasanya terapi selama 10-21 hari
adekuat untuk infeksi Streptococcus grup B. Terapi memerlukan waktu lama untuk mensterilkan
LCS dari basil gram negatif yaitu sekitar 3-4 minggu. Pemeriksaan LCS selama terapi mungkin
diperlukan untuk memastikan LCS steril . Pemeriksaan ulang terhadap LCS berguna dalam 48-
72 jam setelah terapi inisial untuk memantau respon terhadap terapi, khususnya meningitis oleh
basil gram negatif.

Terapi antimikroba untuk bayi dan anak-anak5

Pemberian antibiotik yang sesuai untuk penderita dengan suspek meningitis bakterial sangat
penting. Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki kemampuan untuk melawan 3 patogen
umum yaitu: S.pneumoniae, N. meningitidis, H. influenzae. Umumnya terapi dimulai dengan
pemberian vancomycin 60 mg/kg/hari IV dalam 4 dosis terbagi diberikan tiap 6 jam. Ceftriaxone
100 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi atau ceftriaxone 80 mg/kg/hari sekali/hari dan dapat
disubstitusi dengan cefotaxime. Kombinasi ini cukup baik dalam melawan S. pneumoniae yang
resisten penicillin dan Haemophilus influenzae tipe B yang resisten beta-laktamase. Ceftazidime
memiliki aktivitas yang kurang baik melawan pneumococcus dan harus diganti dengan
cefotaxime atau ceftriaxone.

Karena penetrasi antibiotik ke dalam SSP berhubungan dengan respon inflamasi dan sifat
kortikosteroid yang mengurangi reaksi inflamasi, maka pemberian kortikosteroid dapat
mengurangi efektivitas antibiotik seperti vancomycin yang daya penetrasinya kecil. Sehingga
petugas kesehatan perlu mempertimbangkan keuntungan dan kerugian pemberian kortikosteroid
pada terapi meningitis. Semua antibiotik diberikan secara intravena agar kadarnya dalam serum
dan LCS adekuat.

Pada penderita dengan riwayat alergi yang bermakna penggunaan kombinasi vancomycin
dan chloramphenicol perlu dipertimbangkan. Tetapi jika efek samping chloramphenicol tidak
diinginkan maka dapat diganti dengan cotrimoxazole atau trovafloxacin.2,5,6

Penggunaan antibiotik beta lactamase-inhibitor seperti clavulanate, tazobactam, sulbactam


untuk mengobati meningitis belum dianjurkan karena masih kurangnya data mengenai daya
penetrasinya ke dalam SSP. 2.6

Penggunaan antibiotik diteruskan paling sedikit 10 hari. Lumbal punksi kadang-kadang


diulang sebelum penghentian terapi atau 24 jam sesudah penghentian terapi. Tetapi pemeriksaan
ulang ini tidak dapat memprediksi adanya relaps atau rekrudesensi meningitis. Misalnya HIB
dapat terus bertahan dalam sekret nasofaring bahkan setelah terapi meningitis yang berhasil.
Karena alasan ini, penderita perlu diberi rifampin 20 mg/kg sekali/hari selama 4 hari jika anak
yang beresiko tinggi dirawat di rumah atau tempat perawatan anak. Sedangkan S. pneumoniae
dan N. meningitidis dapat eradikasi dari sekret nasofaring setelah terapi meningitis berhasil.2,5,6

Phlebitis pada tempat penyuntikan dan febris karena antibiotik adalah beberapa penyebab
umum febris sekunder pada penderita meningitis sehingga penderita dengan febris perlu untuk
dievaluasi ulang.2

Pemberian dexamethasone

Pada berbagai uji klinik double blind, efek menguntungkan dari dexamethasone ditunjukkan
pada bayi dan anak dengan meningitis HIB saat diberi dexamethasone (0,15 mg/kg) 15-20 menit
sebelum dosis inisial antibiotik. Dexamethasone dilanjutkan setiap 6 jam selama 4 hari. Dalam
24 jam, kondisi klinis dan prognosis rata-rata cukup bermakna. Pemantauan yang dilakukan
sepanjang terapi menunjukkan penurunan insidensi sekuelae neurologis dan audiologis yang
bermakna. Data-data yang berhubungan dengan kegunaan dexamethasone untuk mengobati S.
pneumoniae meningitis kurang meyakinkan. Selain mengurangi reaksi inflamasi, pemberian
dexamethasone dapat menurunkan penetrasi antibiotik ke SSP.5,6

Pemantauan tekanan intra kranial dan tanda-tanda herniasi5

Peningkatan tekanan intrakranial meningkatkan mortalitas dan sekuelae secara signifikan.


Gejala awal dari peningkatan tekanan intrakranial tidak spesifik di antaranya vomitus, stupor,
bulging fontanelle, palsy nervus VI. Jika tekanan intrakranial tidak terkendali penderita dapat
mengalami herniasi otak. Keadaan ini ditandai oleh pupil midriasis dan anisokor, gangguan
pergerakan okuler, bradikardia, hipertensi, apnea, dekortikasi atau deserebrasi.

Pemberian manitol; suatu diuretik osmotik; dapat meningkatkan secara transien osmolalitas
ruang intravaskular, menyebabkan perpindahan cairan dari jaringan otak ke dalam ruang
intravaskular. Manitol (0,25-1 g/kg IV) biasa diberikan selama 20-30 menit dan pemberiannya
dapat diulang bila diperlukan.

Dexamethasone sudah sering digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial tetapi data
terbaru tidak mendukung efikasi dari dexamethasone tersebut. Acetazolamid dan furosemid juga
sering digunakan untuk mengurangi TTIK tetapi efikasinya pada penderita meningitis belum
dapat ditunjukkan pada controlled trials.

Antikonvulsi

Bangkitan kejang sering dialami pada kurang lebih 30% penderita. Jalan napas yang adekuat
dan oksigenasi juga dibutuhkan selama terjadinya kejang. Pemberian antikonvulsi secara
intravena. Phenobarbital natrium dengan dosis 20 mg/kg IV dengan kecepatan 1 mg/kg/menit
cukup efektif dalam mengendalikan kejang. Efek antikonvulsi sering memanjang dan karena
kadar adekuat dalam SSP dicapai dalam waktu 15-60 menit maka pemulihan kejang berlangsung
secara gradual. Phenytoin (Dilantin) 15-20 mg/kg IV dengan kecepatan rata-rata 1 mg/kg/menit
juga dapat digunakan untuk kejang.5,6

Jika obat-obat tersebut di atas tidak efektif, dapat diberikan diazepam (Valium) diberikan
secara bolus intravena dengan dosis 0,2-0,3 mg/kg dan tidak melebihi 10 mg. Efek antikonvulsi
berlangsung singkat, sehingga perlu ditambahkan phenytoin 5 mg/kg/hari IV tiap 12 jam untuk
mencegah timbulnya bangkitan kejang selanjutnya. Lorazepam (Ativan) yaitu suatu
benzodiazepin kerja lama juga aman untuk diberikan dengan dosis 0,05 mg/kg tiap 4-6 jam.
Pemberian antikonvulsi harus hati-hati karena obat tersebut dapat menyebabkan henti napas atau
jantung. Selain itu, efek aritmia jantung dapat disebabkan oleh phenytoin. Phenobarbital dan
phenytoin dapat merangsang enzim mikrosomal hati sehingga dapat meningkatkan metabolisme
beberapa obat termasuk chloramphenicol. Jika penderita tetap kejang atau menunjukkan gejala
yang mengarah pada kelainan intrakranial perlu dilakukan pemeriksaan neuro-imaging.5,6

Pencegahan5
Pencegahan dibagi 2 cara yaitu dengan kemoprofilaksis dan imunisasi.
Kemoprofilaksis untuk N.meningitidis meningitis

Semua individu yang tinggal serumah dan petugas kesehatan yang kontak dengan penderita
perlu diberi kemoprofilaksis. Karena peningkatan resistensi terhadap sulfonamid maka obat
pilihannya adalah rifampin, ceftriaxone, ciprofloxacin. Sulfonamid digunakan sebagai profilaksis
pada keadaan tertentu di mana patogen tersebut masih sensitif. Bahkan setelah kemoprofilaksis
adekuat, kasus sekunder dapat terjadi sehingga orang yang kontak dengan penderita harus segera
mencari pertolongan medik saat timbul gejala pertama kali. Dosis rifampin 600 mg peroral tiap
12 jam selama 2 hari.

Kemoprofilaksis untuk HIB meningitis

Rifampin dengan dosis 20 mg/kg/hari untuk 4 hari dianjurkan kepada individu yang kontak
dengan penderita HIB meningitis. Jika anak usia 4 tahun atau lebih muda kontak dengan
penderita maka anak tersebut harus diberi profilaksis tanpa memedulikan status imunisasinya.
Yang dimaksud dengan kontak adalah seseorang yang tinggal pada rumah yang sama dengan
penderita atau seseorang yang telah menghabiskan 4 jam atau lebih waktunya per hari dengan
penderita tersebut selama 5-7 hari sebelum diagnosis ditegakkan.

Jika 2 atau lebih kasus HIB meningitis terjadi pada anak yang mendatangi tempat pelayanan
kesehatan maka petugas kesehatan dan anak-anak lain perlu diberi profilaksis.

Imunisasi

Imunisasi massal di seluruh dunia terhadap infeksi HIB telah memberikan penurunan
dramatis terhadap insidensi meningitis. FDA (Food and Drug Administration) telah meluncurkan
vaksin konjugasi pneumococcal yang pertama (Prevnar) pada April 2000. Semua bayi dianjurkan
untuk menerima imunisasi yang mengandung antigen dari 7 subtipe pneumococcal.

Vaksin quadrivalent meningococcal dapat diberikan bersama kemoprofilaksis saat adanya wabah.
Vaksin quadrivalent yang mengandung antigen subgrup A, C, Y, W-135 dianjurkan untuk
kelompok resiko tinggi termasuk penderita dengan imunodefisiensi, penderita dengan asplenia
anatomik atau fungsional, defisiensi komponen terminal komplemen. Vaksin ini terdiri dari 50
mcg polisakarida bakteri yang telah dimurnikan.

Komplikasi5

Sekuelae jangka panjang didapat pada 30% penderita dan bervariasi tergantung etiologi, usia
penderita, gejala klinis dan terapi. Pemantauan ketat berskala jangka panjang sangat penting
untuk mendeteksi sekuelae.

Sekuelae pada SSP meliputi tuli, buta kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia otot, ataxia,
kejang kompleks, retardasi motorik, kesulitan belajar, hidrocephalus non-komunikan, atropi
serebral.

Gangguan pendengaran terjadi pada 20-30% anak. Pemberian dini dexamethasone dapat
mengurangi komplikasi audiologis pada HIB meningitis. Gangguan pendengaran berat dapat
menganggu perkembangan bicara sehingga evaluasi audiologis rutin dan pemantauan
perkembangan dilakukan tiap kali kunjungan ke petugas kesehatan. Jika ditemukan sekuelae
motorik maka perlu dilakukan terapi fisik, okupasional, rehabilitasi untuk menghindari
kerusakan di kemudian hari dan mengoptimalkan fungsi motorik.

Prognosis5
Prognosis pasien meningitis bacterial tergantung dari beberapa hal :
Umur pasien (makin muda makin jelek prognosisnya)
Jenis mikroorganisme penyebab
Berat ringannya infeksi
Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan
Kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang diberikan
Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuelae atau resiko
kematian. Adanya kejang dalan suatu episode meningitis merupakan faktor resiko adanya
sekuelae neurologis atau mortalitas. Meningitis yang disebabkan oleh S. pneumoniae, L.
monocytogenes dan basil gram negatif memiliki case fatality rate lebih tinggi daripada meningitis
oleh bakteri lain. Prognosis meningitis yang disebabkan oleh patogen oportunistik juga
bergantung pada daya tahan tubuh inang.5

MENINGITIS TUBERKULOSIS

Adalah infeksi peradangan selaput otak akibat komplikasi bakteri TBC dimana tanda
tuberkulosa hampir sama dengan kriteria diagnosa tuberkulosa anak. Penyakit ini merupakan
salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer
muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah
tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak.

Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik gram positif,


berukuran 0,4 3 , mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-minggu dalam
keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan
salah satu jenis bakteri yang bersifat intracellular pathogen pada hewan dan manusia. Selain
Mycobacterium tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis adalah
Mycobacterium. bovis, Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium microti9

Insidensi

Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam tiga bentuk, yakni
meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya sering ditemukan di negara
endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa meningitis tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang
bukan merupakan negara endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua
kasus tuberkulosis.4

Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas


tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang semua usia, termasuk
bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi
dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur
dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis
tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati. Angka
kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan
gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan intelektual.4

Patofisiologi Meningitis Tuberkulosa

Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran tuberkulosis primer.


Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat juga ditemukan di abdomen
(22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak ditemukan adanya fokus primer (1,2%). Dari
fokus primer, kuman masuk ke sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe
regional, dan dapat menimbulkan infeksi berat berupa tuberkulosis milier atau hanya
menimbulkan beberapa fokus metastase yang biasanya tenang.4
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951. Terjadinya
meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak, selaput otak atau medula
spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama masa inkubasi infeksi primer atau
selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun jarang. Bila penyebaran hematogen terjadi
dalam jumlah besar, maka akan langsung menyebabkan penyakit tuberkulosis primer seperti TB
milier dan meningitis tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat merupakan reaktivasi dari
fokus tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu pencetus proses reaktivasi tersebut adalah
trauma kepala.4,5

Primernya Di Paru-Paru4,5

Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel. Tumpahan


protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang reaksi hipersensitivitas
yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang yang paling banyak terjadi di basal
otak. Selanjutnya meningitis yang menyeluruh akan berkembang.

Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:4,5

1. Araknoiditis proliferatif

Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang melibatkan
saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomening
ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara
mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada
stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta
mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf
yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan
timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum
menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil
saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran
yang sifatnya permanen.

2. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi
membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya
radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele
neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media
atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan
terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya
perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi
sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak
tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan
pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan
perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-
cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan
derajat yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total.
Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan
infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin.

3. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan


mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis.

Gambaran patologi yang terjadi pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu:5

1. Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier;

2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan meningitis yang
difus;

3. Acute inflammatory caseous meningitis

Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks

Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid

4. Meningitis proliferatif

Terlokalisasi, pada selaput otak

Difus dengan gambaran tidak jelas

Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan pada setiap pasien.
Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, berat dan lamanya
sakit, respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang diberikan, virulensi dan jumlah
kuman juga merupakan faktor yang mempengaruhi.
Gejala Klinis Meningitis Tuberkulosa

Pada meningitis TBC, secara klinis kadang-kadang belum terdapat gejala meningitis yang nyata
walaupun selaput otak sudah terkena. Gejala yang tibul terdiri dari 3 stadium :4,5,6

1. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)

Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggu

Biasanya gejalanya tidak khas, timbul perlahan- lahan, tanpa kelainan neurologis

Gejala: * demam (tidak terlalu tinggi) * rasa lemah

nafsu makan menurun (anorexia) * nyeri perut

sakit kepala * tidur terganggu

mual, muntah * konstipasi

apatis * irritable

Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi yang sering
ditemukan; sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan suasana hati
yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin saja tanpa disertai
demam dan timbul kejang intermiten. Kejang bersifat umum dan didapatkan sekitar 10-
15%.

Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I akan berlangsung
singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke stadium II

2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)

Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen.

Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas lengkung
serebri.

Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada bayi.

Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di dasar otak "
menyebabkan gangguan otak / batang otak.
Pada fase ini, eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf
kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema ringan serta adanya tuberkel di
koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla
spinalis. Hemiparesis yang timbul disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat
terjadi akibat infark bilateral atau edema otak yang berat.

Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala utamanya,
sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang lebih besar, sakit
kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin menurun.

Gejala:

* Akibat rangsang meningen " sakit kepala berat dan muntah (keluhan

utama)

* Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak:

- disorientasi

- bingung

- kejang

- tremor

- hemibalismus / hemikorea

- hemiparesis / quadriparesis

- penurunan kesadaran

* Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial:

Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII

Tanda: - strabismus - diplopia

- ptosis - reaksi pupil lambat

- gangguan penglihatan kabur

3. Stadium III (koma / fase paralitik)

Terjadi percepatan penyakit, berlandsung selama 2-3 minggu


Gangguan fungsi otak semakin jelas.

Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi oleh eksudat
yang mengalami organisasi.

Gejala:

* pernapasan irregular

* demam tinggi

* edema papil

* hiperglikemia

* kesadaran makin menurun, irritable dan apatik, mengantuk, stupor, koma, otot ekstensor
menjadi kaku dan spasme, opistotonus, pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali.

* nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur

* hiperpireksia

* akhirnya, pasien dapat meninggal.

Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan yang lain, tetapi
bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien meninggal. Dikatakan akut bila
3 stadium tersebit berlangsung selama 1 minggu.

Kriteria Diagnosis Meningitis Tuberkulosa

Dari anamnesis: adanya riwayat kejang atau penurunan kesadaran (tergantung stadium
penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis (baik yang menunjukkan gejala,
maupun yang asimptomatik), adanya gambaran klinis yang ditemukan pada penderita (sesuai
dengan stadium meningitis tuberkulosis). Pada neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan
dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum, letargi, distress pernafasan, ikterus,
muntah, diare, hipotermia, kejang (pada 40% kasus), dan ubun-ubun besar menonjol (pada
33,3% kasus).5,6

Diagnosis tuberculosis sesuai dengan kriteria diagnosis tuberkulosa anak yaitu :5,6
a. Bakteri /PA +, atau bakteri/PA -:
X-foto +
Sumber +
Gejala +
BCG -
b. Bakteri/PA :
Mantoux tes
Umur < 6 tahun atau konversi dalam 1 tahun terakhir +
X-foto
Sumber +/-
Gejala +/-
BCG -
c. Bakteri/PA - :
Mantoux tes +
Umur > 6 tahun
X-foto
Sumber +/-
Gejala +
BCG -
d. Bakteri/PA - :
Mantoux tes +
X-foto milier/kel paratrakea/hilus membesar +
Sumber +/-
Gejala +/-
BCG -
e. Bakteri/PA + ; BCG + :
Bakteri/PA
Mantoux tes +
X foto milier/ kel.paratrakea/hilus membesar +
Sumber +/-
Gejala +/-
Apabila salah satu dari criteria di atas dipenuhi maka dapat dibuat diagnosis tuberculosis.4,5,6
Dari pemeriksaan fisik: tergantung stadium penyakit. Tanda rangsang meningen seperti kaku
kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak berusia kurang dari 2 tahun

Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif.

Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling
bermanfaat. Penelitian menunjukkan bahwa efektivitas uji tuberkulin pada anak dapat
mencapai 90%. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga saat ini cara
mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan penyuntikan PPD (Purified
Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji
mantoux umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan
intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah
penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.

Berikut ini adalah interpretasi hasil uji mantoux :

1. Pembengkakan (Indurasi) : 04 mm uji mantoux negatif.


Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium
tuberculosa.

2. Pembengkakan (Indurasi) : 39 mm uji mantoux meragukan.


Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi
silang dengan Mycobacterium atypic atau
setelah vaksinasi BCG.

3. Pembengkakan (Indurasi) : 10 mm uji mantoux positif.


Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi
Mycobacterium

tuberculosa

- Bila dalam penyuntikan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Gurin) terjadi reaksi cepat (dalam 3-7
hari) berupa kemerahan dan indurasi 5 mm, maka anak dicurigai telah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis.5,6

Dari hasil pemeriksaan laboratorium4,5,6


Darah:

- anemia ringan

- peningkatan laju endap darah pada 80% kasus.

Cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan cara pungsi lumbal) :4,5

- Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-batang. Dapat
juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah berlangsung lama dan ada hambatan di
medulla spinalis.

- Jumlah sel: 100 500 sel / l. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan limfosit sama banyak
jumlahnya, atau kadang-kadang sel polimorfonuklear lebih banyak (pleositosis

mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada fase akut dapat mencapai 1000 / mm3.

- Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm 3). Hal ini menyebabkan liquor
cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan pada permukaan dapat tampak sarang
laba-laba ataupun bekuan yang menunjukkan tingginya kadar fibrinogen.

- Kadar glukosa: biasanya menurun (<>liquor cerebrospinalis dikenal sebagai hipoglikorazia.


Adapun kadar glukosa normal pada liquor cerebrospinalis adalah 60% dari kadar glukosa
darah.

- Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun

- Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat ditemukan kuman.

Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan pungsi lumbal selama 3 hari
berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil pemeriksaan pungsi
lumbal kedua dan ketiga.4,5

Dari pemeriksaan radiologi:

- Foto toraks : dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.

- Pemeriksaan EEG (electroencephalography) menunjukkan kelainan kira-kira pada 80% kasus


berupa kelainan difus atau fokal.

- CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal, serta
adanya dan luasnya hidrosefalus.

Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala pada
pasien meningitis tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit. Seiring berkembangnya
penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah enhancement di daerah basal, tampak
hidrosefalus komunikans yang disertai dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang
masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah
korteks serebri atau talamus.4,5

Penatalaksanaan Meningitis Tuberkulosa

Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk kemoterapi yang
sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan intrakranial. Terapi harus
segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis.4

Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yakni:4,5,6

Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.

Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin hingga 12
bulan.

Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang digunakan pada terapi
meningitis tuberkulosis:

Isoniazid

Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel dan
ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam selutuh jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor
cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki adverse reaction
yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15
mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali pemberian.
Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk
sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat
dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat
dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer.
Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan
frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis
perifer, dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg
piridoksin setiap 100 mg isoniazid.

Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua
jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid.
Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1
jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin diberikan
dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari
dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis
rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari.
Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor
cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor cerebrospinalis lebih baik pada
keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek
samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata
menjadi warma oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan muntah,
hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150
mg, 300 mg, dan 450 mg.

Pirazinamid

Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan
cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel
dan suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg /
kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 g / ml tercapai
dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik
diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat
banyak. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan
hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg.

Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraselular pada
keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraselular. Saat
ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya
penting pada pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug
resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg /
kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 g / ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati
selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan
cairan pleura dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika
terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis
berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (tinismus) dan
pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam
menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak saraf pendengaran janin, yaitu
30% bayi akan menderita tuli berat.

Etambutol

Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid jika diberikan
dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini
dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20
mg / kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g
dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol
ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu
atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan
meningitis. Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta warna
merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat
diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian
etambutol dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari tidak menimbulkan kejadian neuritis optika
pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pasca pengobatan. Rekomendasi WHO yang
terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan penggunaannya
pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan pada anak
dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau
tidak dapat digunakan.

Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis sebagai terapi
ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat menurunkan tekanan
intrakranial dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai adalah prednison dengan dosis 1-2
mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis secara bertahap
(tappering off) selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya pemberian regimen. Pada bulan
pertama pengobatan, pasien harus tirah baring total.

Komplikasi Meningitis Tuberkulosa

Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa neurologis
(sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan sensori
ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan
ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi optik dan
kebutaan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau
oleh penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup.
Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan
neurologis menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial terjadi pada
kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh mempunyai kelainan kelenjar
pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi
ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin.5

Prognosis

Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis dan diterapi.
Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Apabila tidak diobati sama
sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada
umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk
daripada pasien yang lebih tua usianya.5

MENINGITIS SEROSA NON TUBERKULOSA

Adalah meningitis serosa tanpa disertai adanya tanda-tanda tuberkulosa aktif sesuai dengan
criteria diagnosis.6
MENINGITIS VIRUS/ASEPTIK

Adalah reaksi peradangan pada selaput otak yang dapat disebabkan oleh berbagai penyebab
(virus, parasit, bakteri, mikoplasma atau kamidia.6

Patogenesis5,6

Meningitis aseptik 85% disebabkan oleh virus, penyebarannya bisa secara hematogen,
perikontinuitatum amupun akibat trauma kepala. Setelah msuk ke dalam tubuh, virus tersebut
akan tersebar ke seluruh tubuh dengan berbagai cara :

Setempat: virus hanya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan atau organ tertentu.

Penyebaran hematogen primer: virus masuk ke dalam darah kemudian menyebar ke organ
dan berkembang biak di organ-organ tersebut.

Penyebaran hematogen sekunder: virus berkembang biak di daerah pertama kali masuk
(permukaan selaput lender) kemudian menyebar ke organ lain.

Pnyebaran melalui saraf: virus berkembang biak di permukaan selaput lender dan menyebar
melalui saraf.

Pada keadaan mulanya akan timbul demam pada pasien tetapi belum ada kelainan
neurologis. Virus akan terus berkembang biak dan menyebar ke saraf dan timbul gangguan
neurologis.6

Pada meningitis virus terdapat pleositosa pada cairan serebrospinal terutama sel
mononuclear. Cairan tersebut bebas kuman, sering kadar proteinnya sedikit meninggi, jumlah sel
berkisar 100-800/mm3 atau lebih, kadar glukosa dalam batas normal, glukosa darah bisa
menurun, normal atau meninggi.6

Gejala Klinis5,6

Meningitis virus gejalanya dapat sedemikian sampai sedang, bersifat akut tetapi dapat juga
perlahan. Jika gejala agak berat biasanya ditandai sakit kepala dan nyeri kuduk.
Masa prodomal berlangsung antara 1-4 gari ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing,
muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri pada ekstremitas dan pucat. Diikuti dengan tanda
ensefalitis yaitu gelisah, iritabel, screaming attack, perubahan dalam perilaku, gangguan
kesadaran, dan kejang. Kadang-kadang gangguan neurologis fokal beru[a afasia, hemiparesis,
hemiplegic, ataksia, dan paralisis saraf otak. Tanda rangsang meningel dapat mencapai otak.

Diagnosis5

Diagnosis meningitis virus/aseptic dibuat dengan mengesampingkan penyebab-penyebab


bacterial. Penyebab khusus meningitis virus biasanya hanya ditentukan dengan isolasi penyebab
atau membuktikan adanya kenaikan antibody khusus.

Table 2. Karakteristik Cairan Serebrospinal1

Karakteristik Cairan Serebraspinal (LCS)

Normal Meningitis viral Meningitis bakterial

Penampakan Jernih Jernih atau agak keruh Berkabut atau purulen


Sel (mm3) 0-4 20-1000 500-5000
Tipe Limfosit Limfosit Neutrofil
Protein g/L 0,2-0,4
Glukosa mmol/L 3-6 3-6

Diagnosa Banding5
Meningitis TBC
Abses Otak
Tumor otak
Ensefalopati

Penatalaksanaan Meningitis Viral5,6


Meningitis viral diterapi sesuai gejala. Meningitis viral memiliki prognosis yang jauh lebih baik :
penyembuhan total biasa terjadi.
BAB III

KESIMPULAN

Meningitis adalah suatu reksi peradangan yang mengenai satu atau semua apisan selaput yang
membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang menimbulkan eksudasi berupa
pus atau serosa.

Berbagai bakteri, virus, fungi, tuberkulosis, cryptococcuc, dan anaerobe dapat menyebabkan
meningitis. Etiologi berbeda dapat tergantung umur pasien.

Penatalaksanaan meningitis :

Anda mungkin juga menyukai