MAKALAH Anti Anemia Dan Anti Koagulan
MAKALAH Anti Anemia Dan Anti Koagulan
Dosen Pembimbing:
Sr. Clarina Kuway, JMJ.
Disusun oleh:
FransiscoPolandos
09061048
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat
penyelenggaraan-Nya, makalah yang berjudul ANTI ANEMIA DAN ANTI
KOAGULAN ini bisa diselesaikan. Makalah ini ditulis dengan tujuan sebagai
tugas mata kuliah FARMAKOLOGI Universitas Katolik De La Salle Manado.
Tujuan yang lebih khusus dari penulisan makalah ini ialah untuk menambah
pengetahuan tentang obat-obatan yang berkaitan dengan ANEMIA dan
KOAGULAN pada darah.
Penulis
Page | 2
DAFTAR ISI
K A T A P E N G A N T A R ................................................................................ 1
DAFTAR ISI .......................................................................................................... 2
BAB IPENDAHULUAN ........................................................................................ 3
I.1 Latar Belakang ......................................................................................... 3
I.2 Tujuan Penulisan ...................................................................................... 4
I.3 Metode Penulisan ..................................................................................... 4
I.4 Sistematika Penulisan ............................................................................... 4
BAB IITINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 5
II.1 ANTI ANEMIA ...................................................................................... 5
II.1.1 Jenis Penyakit.............................................................................................. 6
II.1.2 Klasifikasi Penyakit .................................................................................... 7
II.1.3 Jenis Obat Serta Hubungan Dengan Penyakit ........................................... 14
II.1.4 Proses Keperawatan ................................................................................. 23
II.2 ANTI KOAGULAN .............................................................................. 25
II.2.1 Proses Koagulasi Normal .......................................................................... 25
II.2.2 Jenis Penyakit Koagulan ........................................................................... 26
II.2.3 Jenis Obat Serta Hubungan Dengan Penyakit ........................................... 31
II.2.4 Proses Keperawatan .................................................................................. 37
BAB IIIPENUTUP ............................................................................................... 40
III.1 Kesimpulan ............................................................................................. 40
III.2 Saran ....................................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 42
Page | 3
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3. Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik (SDM besar) diklasifikasikan secara
morfologis sebagai anemia makrositik normokromik. Anemia
megaloblastik sering disebabkan oleh difisiensi vitamin B12 dan
asam folat yang mengakibatkan gangguan sintesis DNA, disertai
kegagalan maturasi dan pembelahan inti (Guyon, 2001). Defisiensi
ini dapat sekunder akibat malnutrisi, defisiensi asam folat,
malabsorbsi, infestasi parasit, penyakit usus, dan keganasan, serta
sebagai akibat agens-agens kemoterapeutik. Pada individu dengan
infeksi cacing pita (Diphyllobothrium latum) yang disebabkan oleh
ingesti ikan segar yang terinfeksi, cacing pita berkompetisi dengan
pejamunya untuk mendapatkan vitamin B12 di dalam makanan
yang diingesti, yang menyebabkan anemia megaloblastik.
P a g e | 14
Pada topik jenis obat dan hubungnanya dengan penyakit ini akan
dijelaskan tentang jenis Anemia Defisiensi Besi atau Hipokromik, karena
anemia jenis ini lebih sering terjadi dan ditemukan pada pasien.
SEJARAH
Terdapatnya zat bersi (Fe) dalam darah baru diketahui setelah
penelitian oleh Lemery dan Goeffy (1713), kemudia Pierre Blaud (1831)
mendapatkan bahwa FeSO4 dan K2CO3 dapat memperbaiki keadaan
klorosis, anemia akibat defisiensi Fe. Akan tetapi, sebenarnya berabad-
abad sebelum Masehi, bangsa Yunani dan India telah menggunakan
bahan yang menggandung Fe untuk mendapatkan tentara yang kuat.
Bangsa Yunani merendam pedang-pedang tua dan meminum airnya.
FARMAKOKINETIK
Absorpsi. Absorpsi Fe melalui saluran cerna terutama berlangsung
di duodenum; makin ke distal absorpsinya makin berkurang. Zat ini lebih
mudah diabsorpsi dalam bentuk fero. Transportnya melalui sel mukosa
usus terjadi secara transport aktif. Ion fero yang sudah diabsopsi akan
diubah menjadi ion feri dalam sel mukosa. Selanjutnya ion feri akan
masuk ke dalam plasenta dengan perantaraan transferin, atau diubah
menjadi feritin dan disimpan dalam sel mukosa usus. Secara umum, bila
cadangan dalam tubuh tinggi dan kebutuhan akan zat besi rendah, maka
lebih banyak Fe diubah menjadi feritin. Bila cadangan rendah atau
kebutuhan meningkat, maka Fe yang baru diserap akan segera diangkut
dari sel mukosa ke sumsum tulang untuk eritropoesis. Eritropoesis dapat
meningkat samapi lebih dari 5 kali pada anemia berat atau hipoksia.
Jumlah fe yang diabsopsi sangat tergantung dari bentuk dan jumlah
absolutnya serta adanya zat-zat lain. Makanan yang mengandung 6 mg
Fe/1000 kilokalori akan diabsopsi 5-10% pada orang normal. Absorpsi
dapat ditingkatkan oleh kobal, inosin, etionin, vitamin C, HCI, suksinat
dan senyawa asam lain. Asam akan mereduksi ion feri menjai fero dan
menghambat terbentuknya kompleks Fe dengan makanan yang tidak
larut. Sebaliknya absorpsi Fe akan menurun bila terdapat fosfat atau
antasida misalnya kalsium karbonat, aluminium hidroksida dan
magnesium hidroksida. Besi yang terdapat pada makanan hewani
umumnya diabsorpsi rata-rata dua kali lebih banyak dibandingkan
dengan makanan nabati.
Kadar Fe dalam plasma berperan dalam mengatur absorpsi Fe.
Absorpsi ini meningkat pada keadaan defisiensi Fe, berkurangnya depot
Fe dan meningkatnya eritropoesis. Selain itu, bila fe diberikan sebagai
obat, bentuk sediaan, dosis dan jumlah serta jenis makanan dapat
mempengaruhi absorpsinya.
KEBUTUHAN BESI
Jumlah Fe yang dibutuhkan setiap hari dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Faktor umur, jeniskelamin (sehubungan dengan kehamilan dan
laktasi pada wanita) dan jumlah darah dalam badan (Hb) dapat
mempengaruhi kebutukan, walaupun keadaan depot Fe memegang
peranan yang penting pula. Dalam keadaan normal dapat diperkirakan
bahwa seorang laki-laki dewasa memerlukan asupan sebesar 10 mg, dan
wanita memerlukan 12 mg sehari guna memenuhi ambilan sebesar
masing-masing 1 mg dan 1,2 mg sehari. Sedangkan pada wanita hamil
dan menyusui diperlukan tambahan asupan 5 mg sehari.
Bila kebutuhan ini tidak dipenuhi, Fe yang terdapat di dalam
gudang akan digunakan dan gudang lambat laun menjadi kosong.
Akibatnya timbul anemia defisiensi Fe. Hal ini dapat disebabkan oleh
absorpsi yang jelek, perdarahan kronik dan kebutuhan yang meningkat.
Keadaan ini memerlukan penambahan Fe dalam bentuk obat.
SUMBER ALAMI
Makanan yang mengandung Fe dalam kadar tinggi (> 5mg/100g)
adalah hati, jantung, kuning telur, ragi kerang, kacang-kacangan dan
buah0buahan kering tertentu. Makanan yang mengandung besi dalam
jumlah sedang (1-5 mg/100g) termasuk diantaranya daging, ikan, unggas,
sayuran yang berwarna hijau biji-bijian. Sedangkan susu atau produknya,
dan sayuran yang kurang hijau mengandung besi dalam jumlah rendah
(kurang dari 1 mg/100g).
EFEK NONTERAPIS
Efek samping yang paling sering timbul berupa intoleransi terhadap
sediaan oral, dan ini sangat tergantung dari jumlah Fe yang dapat larut
dan yang diabsorpsi pada tiap pemberian. Gejala yang timbul dapat
berupa mual dan nyeri lambung (7-20%). Konstipasi (10%), diare
(5%) dan kolik. Gangguan ini biasanya ringan dan dapat dikurangi
dengan mengurangi dosis atau dengan pemberian sesuadah makan,
P a g e | 19
Sediaan Oral
Besi untuk pemberian oral tersedia dalam bentuk berbagai garam
fero dari sulfat, fumarat, glukonat, suksinat, glutamat dan laktat. Tidak
ada perbedaan absorpsi diantara garam-garam Fe ini. Jika ada, mungkin
disebabkan oleh perbedaan kelarutannya dalam asam lambung. Dalam
bentuk garam sitrat, tartrat, karbonat, pirofosfat, ternyata Fe sukar
diabsorpsi; demikian pula sebagai garam feri (Fe+++).
Sediaan yang banyak digunakan dan murah ialah hidrat sulfas
ferosus (FeSO4.7 H2O) 300 mg yang mengandung 20% Fe. Untuk
anemia berat biasanya diberikan 3 kali 300 mg sulfas ferosus sehari
selama 6 bulan. Dalam hal ini mula-mula absorpsi berjumlah 45 mg
sehari, dan setelah depot Fe dipenuhi menurun menjadi 5-10 mg sehari.
Selama penyebab anemia belum teratasi terapi harus diteruskan. Pada
mereka yang intoleran terhadap dosis setinggi ini, dosis harus dikurangi
sampai jumlah yang terterima, atau bila perlu sediaan diganti dengan
sediaan parenteral.
P a g e | 21
Sediaan Parenteral
Penggunaan sediaan untuk suntikan IM dan IV hanya dibenarkan
bila pemberian oral tidak mungkin; misalnya penderita bersifat intoleran
terhadap sediaan oral, atau pemberian oral tidak menimbulkan respons
terapeutik.
Iron-dextan (imferon) mengandung 50 mg Fe setiap ml (larutan
5%) untuk menggunakan IM atau IV. Respons terapeutik terhadap
suntikan IM ini tidak lebih cepat dari pada pemberian oral. Dosis total
yang diperlukan dihitung berdasarkan beratnya anemia, yaitu 250 mg Fe
untuk setiap gram kekurangan Hb. Pada hari pertama disuntikkan 50 mg,
dilanjutkan dengan 100-250 mg setiap hari atau beberapa hari sekali.
Penyuntikan dilakukan pada kuadran atas luar m.gluteus dan secara
dalam untuk menghindari pewarnaan kulit.
Untuk memperkecil reaksi toksik pada pemberian IV, dosis
permulaan tidak boleh melebihi 25 mg, dan diikuti dengan penigkatan
bertahap untuk 2-3 hari sampai tercapai dosis 100 mg/hari. Obat harus
diberikan perlahan-lahan yaitu dengan menyuntikkan 20-50 mg/menit.
2. Obat Lain
- Riboflavin. Riboflavin (vitamin B2) dalam bentuk flavin
mononukleotida (FMN) dan flavin-adenin dinukleotida (FAD)
berfungsi sebagai koenzim dalam metabolisme flavo-protein dalam
pernapasan sel. Sehubungan dengan anemia, ternyata riboflavin
dapat memperbaiki anemia normokromik-normositik (pure red-cell
aplasia). Anemia defisiensi riboflavin banyak terdapat pada
malnutrisi protein-kalori, dimana faktor defisiensi Fe dan penyakit
P a g e | 22
2. Perencanaan
- Pasien akan mengkonsumsi makana yang kaya akan besi dan
mineral lainnya.
- Seorang pasien dengan anemia defisiensi besi atau dengan
hemoglobin rendah akan mendapat penggantian besi sesuai
dengan anjuran dokter.
3. Intervensi Keperawatan
- Dorong klien untuk mengkonsumsi diet bergizi dalam jumlah
memadai agar dapat memperoleh besi yang cukup. Suplemen besi
tidak diperlukan kecuali jika orang tersebut hamil atau malnutrisi.
- Berikan injeksi besi intramuskular dengan metode Z-track untuk
mencegah bocornya besi ke dalam jaringa subkutan dan kulit
karena akan mengiritasi dan menodai kulit.
5. Evaluasi
- Evaluasi efektivitas terapi besi yang diresepkan dengan
menentukan apakah klien tidak lagi merasa letih atau sesak napas
dan hemoglobinnya berada di dalam batas-batas normal.
2. Trombositosis
Kelainan jumlah atau fungsi trombosit (atau keduanya) dapat
menggangu koagulasi darah. Trombosit yang terlalu banyak atau
terlalu sedikit mengganggu koagulasi darah. Keadaan yang
ditandai dengan trombosit berlebihan dinamakan trombositosis
atau trombositemia. Trombositosis umumnya didefinisikan
sebagai peningkatan jumlah trombosit lebih dari 400.000/mm3
dan dapat primen dan sekunder.
P a g e | 28
3. Trombositopenia
Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit
kurang dari 100.000/mm3. Jumlah trombosit yang rendah ini
dapat merupakan akibat berkurangnya produksi atau
meningkatnya penghancuran trombosit. Namun umumnya tidak
ada manifestasi klinis sehingga jumlahnya kurang dari
100.000/mm3 dan lebih lanjut dipengaruhi oleh keadaan-keadaan
lain yang mendasari atau yang menyertai, seperti leukimia atau
penyakit hati. Ekimosis (bercak perdarahan) yang bertambah dan
perdarahan yang memanjang akibat trauma ringan terjadi pada
kadar trombosit kurang dari 50.000/mm3. Petekie merupakan
manifestasi utama, dengan jumlah trombosit kurang dari
30.000/mm3. Terjadi perdarahan mukosa, jaringan dalam, dan
intrakranial dengan jumlah trombosit kurang dari 20.000/mm3
dan memerlukan tindakan segera untuk mencegah perdarahan dan
kematian.
Pernurunan produksi trombosit dibuktikan dengan aspirasi
dan bipsi (pemeriksaan mikroskopis) sumsum tulang, yang
dijumpai disegala kondisi yang mengganggu atau menghambat
fungsi sumsum tulang. Kondisi ini meliputi anemia aplastik,
mielofibrosis (penggantian unsur-unsur tulang dengan jaringan
P a g e | 29
2. Von Willebrand
Penyakit von Willebrand adalah gangguan koagulasi
hereditas yang paling sering terjadi. Dikenal sebagai subtipe I, II,
dan III, tapi yang paling sering adalah tipe I. Semua tipe
diturunkan secara dominan autosomal, sama-sama terjadi pada
laki-laki dan perempuan. Seperti pada hemofilia, kasus-kasus
terjadi pada riwayat keluarga dan gangguan tersebut diyakini
terjadi akibat mutasi genetik. Bergantung pada subtipe dan
beratnya penyakit, spektrum perdarahan dapat jarang terjadi,
perdarahan mukokutaneus (kulit dan membran mukosa) ringan
sampai sedang; perdarahan akibat trauma atau pembedahan; atau
perdarahan yang mengancam jiwa. Sering terjadi perdarahan
saluran cerna, ekistaksis, dan monoragia.
P a g e | 31
HEPARIN
Heparin endogen merupakan suatu mukopolisakarida yang
mengandung sulfat. Zat ini disintesis di dalam sel mast dan terutama
banyak terdapat di paru. Peranan fisiologik heparin belum diketahui
seluruhnya, akan tetapi pelepasannya ke dalam darah yang tiba-tiba pada
syok anafilaksis menunjukkan bahwa heparin mungkin berperan dalam
reaksi imunologik.
FARMAKODINAMIKA
Mekanisma Kerja. Heparin mengikat antitrombin III membentuk
kompleks yang berafinitas lebih besar dari antitrombin III sendiri,
terhadap beberapa faktor pembekuan darah aktif, terutama trombin dan
faktor Xa. Oleh karena itu heparin mempercepat inaktivasi faktor
pembekuan darah. Sediaan heparin dengan berat molekul rendah (<
6000) beraktivitas anti-Xa kuat dan sfat antitrombin sedang; sedangkan
sediaan heparin dengan berat molekul yang tinggi (> 25.000) beraktivitas
antitrombin kuat dan aktivitas anti-Xa yang sedang.
Dosis kecil heparin dengan AT-III menginaktivasi faktor Xa dan
mencegah pembekuan dengan mencegah perubahan protrombin menjadi
trombin. Heparin dengan jumlah yang lebih besar bersama AT-III
menghmbat pembekuan dengan menginaktivasi trombin dan faktor-
faktor pembekuan sebelumnya, sehingga mencegah perubahan fibrinogen
menjadi fibrin. Heparin juga menginaktivasi faktor XIIIa dan mencegah
terbentuknya bekuan fibrin yang stabil.
P a g e | 32
FARMAKOKINETIK
Heparin tidak diabsobsi secara oral, karena itu diberikan secara SK
(subkutan) atau IV (intravena). Pemberian secara SK memberikan masa
kerja yang lebih lama tetapi efeknya tidak dapat diramalkan. Efek
antikoagulan segera timbul pada pemberian suntikan bolus IV dengan
dosis terapi, dan terjadi kira-kira 20-30 menit setelah SK. Heparin cepat
dimetabolisme terutama di hati. Masa paruhnya tergantung dari dosis
yang digunakan, suntikan IV 100, 400, atau 800 unit/ kgBB
memperlihatkan masa paruh masing-masing kira-kira 1, 21/2 dan 5 jam.
Masa paruh mungkin memendek pada pasien emboli paruh dan
memanjang pada pasien sirosis hepatitis atau penyakit ginjal berat.
Metabolik inaktif diekskresi melalui urine. Heparin diekskresi dalam
bentuk utuh melaui urin hanya bila digunakan dosis besar IV. Penderita
emboli paru memerlukan dosis heparin yang lebih tinggi karena bersihan
yang lebih cepat. Terdapat variasi individual dalam efek antikoagulan
yang ditimbulkan maupun dalam kecepatan bersihan obat. Heparin tidak
melalui plasenta dan tidak terdapat dalam air susu ibu.
P a g e | 34
PASOLOGI
Heparin tersedia sebagai larutan untuk pemakaian parenteral
dengan kekuatan 1000-40000 unit/ml dan sebagai respository atau depot
heparin dengan kekuatan 20.000-40.000 unit/ml.
Pemberian IV (intermiter): pada orang dewasa biasanya dimulai
dengan 5.000 unit dan selanjutnya 5.000-10.000 unit untuk tiap 4-6 jam,
tergantung dari berat badan dan respons pasien. Pada hakekatnya dosis
ditentukan berdasarkan masa pembekuan. Untuk DIC ada yang
menganjurkan dimulai dengan 50 unit/kg pada dewasa dan 25 unit/kg
pada anak tiap 6 jam atau diberikan secara infus. Untuk anak, dimulai
dengan 50 unit/kgBB dan selanjutnya 100 unit/kgBB tiap 4 jam.
Pada infus IV untuk orang dewasa heparin 20.000-40.000 unit
untuk dilarutkan dalam 1 liter larutan glukosa 5% atai NaCl 0,9% dan
diberikan dalam 24 jam. Untuk mempercepat timbulnya efek, dianjurkan
menambahkan 5000 unit langsung ke dalam pipa infus sebelumnya.
Kecepatan infus didasarkan pada nilai APTT. Komplikasi perdarahan
umumnya lebih jarang terjadi dibandingkan dengan pemberian secara
intermiten. Untuk anak dimulai dengan 50 unit/kg diikuti dengan 100
unit/kg tiap 4 jam.
Heparin dapat juga diberikan secara SK dalam. Pada orang dewasa
untuk tujuan profilaksis tromboemboli pada tindakan operasi diberikan
5.000 unit 2 jam sebelum operasi dan selanjutnya tiap 12 jam sampai
pasien keluar dari rumah sakit. Dosis penuh biasanya 10.000-12.000 unit
tiap 8 jam atau 14.000-20.000 unit tiap 12 jam.
Pemakaian heparin IM tidak dianjurkan lagi karena sering terjadi
perdarahan dan hematoma yang disertai rasa sakit pada tempat suntikan.
dengan obat yang mengandung aspirin; (3) seleksi pasien; dan (4)
memperhatikan kontraindikasi pemberian heparin. Selama masa
tromboemboli akut, resistensi atau toleransi terhadap heparin dapat
terjadi, dan karena itu efek antikoagulan harus dimonitor dengan tes
pembekuan darah misalnya APTT. Perdarahan antara lain dapat berupa
perdarahan saluran cerna (hematuria).
Karena heparin berasal dari jaringan hewan, maka harus digunakan
secara hati-hati pada pasien alergi. Reaksi hipersensitivitas antara lain
berupa menggigil, demam, urtikaria atau syok. Pada penggunaan jangka
panjang dapat terjadi mialgia (nyeri otot), nyeri tulang dan osteoporosis.
Osteoporosis dan fraktur spontan dapat terjadi bila dosis melebihi 20.000
unit/hari diberikan selama 4 bulan atau mungkin kurang. Kadang-kadang
dapat terjadi alopesia (botak) sementara dan terasa panas pada kaki.
Penggunaan heparin pada masa kehamilan nampaknya tidak lebih aman
dari antikoagulan oral. Insidens perdarahan maternal, lahir mati dan lahir
prematur dilaporkan meningkat pada penggunaan heparin.
KONTRAINDIKASI
Heparin dikontraindikasikan pada pasien yang sedang mengalami
perdarahan atau cenderung mengalami perdarahan misalnya: pasien
hemofilia, permeabilitas kapiler yang meningkat, threatened abortion,
endokarditis bakterial subakut, perdarahan intrakranial, lesi ulseratif pada
saluran cerna, anestesia lumbal atau regional, hipertensi berat, syok.
Heparin tidak boleh diberikan selama atau setelah operasi mata, otak atau
medula spinal dan pasien yang mengalami pungsi lumbal atau anestesi
blok. Heparin juga dikontrainsikasikan pada pasien yang mendapat dosis
besar etanol, peminum alkohol dan pasien yang hipersensitif terhadap
heparin. Meskipun heparin tidak melalui plasenta, obat ini hanya
digunakan untuk wanita hamil bila benar-benar memang diperlukan. Hal
ini disebabkan insidents perdarahan maternal, lahir mati dan lahir
prematur yang dilaporkan meningkat pada penggunaan heparin.
P a g e | 36
INDIKASI
Heparin merupakan satu-satunya antikoagulan yang diberikan
secara parenteral dan merupakan obat terpilih bila diperlukan efek yang
cepat, misalnya untuk emboli paru-paru dan trombosit vena dalam, oklusi
arteri akut atau infark miokard akut. Obat ini juga digunakan untuk
profilaksis tromboemboli vena selama operasi dan untuk
mempertahankan sirkulasi ekstrakorporal selama operasi jantung terbuka.
Heparin juga diindikasikan untuk wanita hamil yang memerlukan
antikoagulan.
INTOKSIKASI HEPARIN
Perdarahan ringan akibat heparin biasanya cukup diatasi dengan
menghentikan pemberian heparin. Perdarahan yang cukup berat perlu
dihentikan dengan antagonis heparin. Tersedia bermacam-macam sediaan
antagonis heparin antara lain protamin sulfat.
Protamin sulfat ialah suatu basa kuat yang dapat mengikat dan
menginaktivasi heparin, tetapi zat ini juga memiliki efek antikoagulan
dan memperpanjang waktu pembekuan. Tiap mg protamin menetralkan
80-100 USP unit aktivitas heparin. Reaksi ini berlangsung segera dan
menetap kira-kira 2 jam. Karena efek heparin lebih lama dari protamin
maka perdarahan dapat kambuh terutama pada pasien pascabedah,
sehingga diperlukkan suntikan protamin berikutnya.
Penggunaan protamin biasanya cukup aman. Dosis sampai 200 mg
IV dalam 2 jam biasanya tidak menimbulkan efek samping.
Protamin tersedia dalam bentuk larutan atau serbuk untuk suntikan
IV. Dosis total ditentukan oleh jumlah heparin yang diberikan selama 3-4
jam sebelumnya, 1 mg protamin sulfat menetralkan sekurang-kurangnya
80 USP unit aktivitas heparin dari jaringan paru dan 100 USP unit
aktivitas heparin dari mukosa usus. Obat ini harus disuntikkan perlahan-
lahan untuk mencegah trombosis. Larutan 1% disuntikkan selama 1-3
menit, atau maksimal 50 mg dalam 10 menit. Penderita diabetes mellitus
yang mendapat protamin zinc insulin jika hipersensitif terhadap protamin
P a g e | 37
dapat mengalami reaksi berat dengan gejala antara lain hipotensi, sesak
napas dan bradikardi. Kadang-kadang terdapat perasaan panas dan
flusing pada muka.
2. Perencanaan
- PTTs atau APTT akan menjadi 1,25 sampai 2,5 kali nilai normal.
- Tidak timbul perdarahan abnormal selama klien memakai
antikoagulan. PT akan dipantau dengan baik.
P a g e | 38
3. Intervensi Keperawatan
- Pantau tanda-tanda vital. Penigkatan denyut jantung diikuti
dengan penurunan tekanan darah sistolik dapat menunjukkan
adanya kekurangan volume cairan karena perdarahan internal atau
eksternal.
- Periksa PT untuk warfarin dan dikumarol dan APTT untuk
heparin sebelum memberikan antikoagulan. PT dan APTT
diharapkan berada 1,25 sampai 2,5 kali nilai normal dalam
beberapa detik. Hasilnya adalah rasio waktu protrombin yang
lebih rendah. Hitung trombosit harus dipantau, karena
antikoagulan dapat menurunkan hitung trombosit.
- Berikan heparin secara subkutan pada abdomen atau jaringan
lemak di lengan atas. Heparin tidak diberikan intramuskular
karena banyaknya pembuluh darah di jaringan otot; Suntikan ini
akan terasa sakit dan bisa timbul hematoma. Untuk pemberian
intravena heparin secara terus menerus, harus dipakai alat infus
elektronik.
- Periksa adanya perdarahan di mulut, hidung (epistaksis), urin
(hematuria), tempat suntikan atau intravena infus, luka, dan kulit
(purpura).
- Periksa tinja secara periodik untuk menemukan adanya darah.
- Pantau dengan hati-hati adanya perdarahan pada klien yang sudah
tua untuk memakai warfarin. Kulit merasa tipis dan jaringan
kapilernya mudah pecah. PT harus diperiksa dengan hati-hati.
- Selalu sediakan antagonis antikoagulan (protamin, vitamin K,
atau vitamin K3) jika dosis obat meningkat atau jika ada indikasi
perdarahan. Transfusi trombosit segar atau beku mungkin
diperlukan.
5. Evaluasi
- Evaluasi efektifitas terapi. Hasil laboratorium (PT atau APTT)
klien berada pada niali yang diinginkan. Penderita bebas efek
samping.
P a g e | 40
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau kadar
Hb sampai di bawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat
(Nelson,1999).
Anemia berarti kekurangan sel darah merah, yang dapat di sebabkan
oleh hilangnya darah yang terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya
produksi sel darah merah. (Guyton,1997).
Macam-macam atau klasifikasi dari anemia berdasarkan
morfologinya yaitu: anemia, anemia defisiensi besi, anemia megaloblastik
(defisiensi asam folat dan B12).
II.2 Saran
Antianemai dan Antikoagulan merupakan dua jenis obat yang
berhubungan dengan keadaan darah. Antianemia, sering disebut sebagai
obat penambah darah, yang merupakan pengobatan dengan tujuan untuk
P a g e | 41
DAFTAR PUSTAKA