Anda di halaman 1dari 13

Siapakah Tuhan itu? Dan dengan dalil apa Tuhan dapat dibuktikan?

Jawaban Global

Tuhan Maha Kuasa adalah Wujud mutlak dan Kesempurnaan mutlak yang sama sekali tidak memiliki aib dan cela. Wujud-Nya tiada duanya. Dia
memiliki kemampuan untuk melakukan setiap perbuatan dan mengetahui segala sesuatu kapan pun dan apa pun kondisinya, Maha Mendengar
dan Maha Melihat, memiliki kehendak dan ikhtiar, Hidup dan Pencipta segala sesuatu, Sumber segala kebaikan, Mencintai dan Pengasih kepada
seluruh makhluk.

Konsep Tuhan merupakan konsep yang paling umum dan sederhana. Demikian sedernahanya sehingga dapat dipahami oleh seluruh manusia,
bahkan oleh mereka yang menafikan wujud Tuhan. Kendati pengenalan esensi dan hakikat Zat Tuhan mustahil bagi manusia namun masih
banyak jalan untuk memperoleh keyakinan terhadap wujud Tuhan. Jalan-jalan untuk mengenal Tuhan dalam sebuah klasifikasi umum dapat
dibagi menjadi beberapa bagian:

1. Jalan rasional (Burhan Imkan dan Wujub)

2. Jalan empirik (Argumen Keteraturan)

3. Jalan hati (Argumen Fitrah)

Jalan terbaik dan termudah adalah melalui argumen fitrah (mengenal Tuhan melalui hati). Melalui argumen fitrah ini, manusia kembali kepada
dirinya, ia tidak lagi memerlukan argumentasi rasional atau observasi empirik untuk dapat menemukan Tuhannya dan dengan melalui jalan hati
ini ia sampai kepada Tuhan.

Jawaban Detil

Untuk menjelaskan jawaban kiranya kita perlu memperhatikan beberapa poin penting berikut ini:

1. Konsep tentang Tuhan merupakan sebuah konsep yang dapat dipahami dengan mudah oleh setiap manusia bahkan oleh mereka yang mengingkari
wujud Tuhan. Konsep ini terdapat dalam benak mereka sendiri. Lantaran semuanya tahu bahwa Tuhan adalah Pencipta seluruh entitas dan
eksisten, Maha Kuasa untuk melakukan seluruh perbuatan, Maha Mengetahui atas segala sesuatu, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Hidup
dan seterusnya, kendati mereka tidak menerima wujud Tuhan seperti ini.

2. Meski konsep Tuhan merupakan konsep yang paling umum, namun mengenal hakikat dan esensi Zat Tuhan mustahil bagi manusia. Karena Zat
Tuhan adalah nir-batas dan tanpa ujung. Di samping itu, juga karena zat dan tipologi manusia terbatas sehingga tidak mungkin baginya
memahami hakikat Tuhan yang tidak terbatas. Laa yuhithuna bihi Ilman. (sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya, Qs. Thaha
[20]:110) Boleh jadi atas dalil ini, al-Quran dalam memperkenalkan Tuhan menjelaskan sifat-sifat jamal dan jalal seperti Maha Kaya, Maha
Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Tinggi, Maha Besar, Maha Sayang, Maha Kasih, Maha Pencipta dan sebagainya. Di
samping itu, melalui media empirik manusia dapat membina interaksi dengan benda-benda luaran dan memperoleh pengetahuan baginya
sementara tidak ada yang semisal dan serupa dengan Tuhan Yang Mahakuasa, laisa kamtislihi syai.. (Tiada sesuatu apa pun yang
menyerupainya, Qs. Syura [26]:11)

3. Meski hakikat Zat Tuhan tidak dapat dikenal secara sempurna akan tetapi manusia melalui banyak jalan dapat memperoleh keyakinan terhadap
wujud Tuhan Yang Mahakuasa yang dapat dibagi menjadi beberapa jalan:

A. Jalan rasional seperti burhn imkan dan wujub

B. Jalan empirik dan indrawi seperti argumen keteraturan (burhn nazhm)[1]

C. Jalan hati atau argumen fitrah.[2]

4. Jalan termudah dan terbaik untuk mengenal wujud Tuhan adalah jalan hati atau melalui argumen fitrah. Artinya pada lubuk hati manusia yang
paling dalam terpendam pengenalan, kecenderungan dan kecintaan kepada Tuhan. Dalam diri manusia senantiasa terdapat poin nurani dan satu
daya magnetis yang kuat dalam hati manusia yang merajut hubungan dengan dunia metafisika dan merupakan sedekat-dekat jalan menuju kepada
Tuhan.[3]

5. Kendati mengenal Tuhan dan kecendrungan terhadap-Nya dan cahaya tauhid senantiasa terpendam dalam jiwa setiap manusia akan tetapi dengan
adanya adab dan tradisi khurafat, pengajaran yang salah, kelalaian dan kesombongan, khususnya tatkala merasa sehat bugar dan sejahtera, maka
terbentang tirai yang tebal dan lebar bagi manusia. Namun tatkala badai persoalan datang menghantam, tatkala manusia memutuskan seluruh
harapannya pada segala sebab-sebab lahir dan memotong harapan dari segalanya, pada saat seperti ini seluruh tirai tebal dan lebar itu akan
tersingkap dan cahaya hati akan memendar. Semakin pikiran yang terkontaminasi dengan kesyirikan teramputasi dari hati dan menjadi murni
dengan pelbagai kejadian ini[4] maka mau-tak-mau manusia tergiring menuju dunia metafisika.

Atas dasar ini, terdapat banyak ayat dalam al-Quran yang menandaskan bahwa melalui jalan ini, manusia akan mengingat nikmat fitrah dalam
mencari Tuhan.[5]

Para pendahulu Islam juga merupakan orang-orang yang acapkali tenggelam dalam keraguan dalam masalah pengenalan kepada Tuhan dengan
jalan ini mereka akan terbimbing sebagai contoh perisitwa sejarah berikut ini:

Seseorang yang bingung dalam masalah makrifatullah mengalami keraguan dan sangsi, datang kepada Imam Shadiq As dan berkata, Wahai
Putra Rasulullah! Bimbinglah Aku untuk mengenal siapa Tuhan itu? Lantaran was-was telah menguasai dan mencengkram diriku. Imam
bersabda, Wahai hamba Allah! Apakah engkau pernah menaiki bahtera? Katanya, Iya, Pernah. Imam kemudian melanjutkan, Apakah bahtera
(yang pernah engkau naiki) itu rusak dan ketika itu tiada satu pun bahtera yang dapat menyelamatkanmu dan engkau tidak mampu berenang?
Katanya, Iya. Dalam kondisi seperti itu apakah hatimu tidak bersandar pada satu entitas yang dapat menyelamatkanmu dari kebinasaan?
sabda Imam Shadiq As. Kata orang itu, Iya. Imam Shadiq As bersabda, Dialah Tuhan yang mampu menyelamatkanmu tatkala tiada satu pun
yang mampu menyelamatkanmu atau mendengar suaramu meminta pertolongan.[6]

Kesimpulannya bahwa setiap manusia memiliki makrifat, pengetahuan dan kecondongan kepada wujud Tuhan Yang Maha Kuasa, Berilmu,
Pencipta, Hidup dan Pengasih dan seterusnya melalui jalan hati dan fitrah. Dan apabila ia lalai dari wujud Tuhan lantaran pelbagai pengaruh,
namun ia tidak dapat mengingkari dalam kehidupannya sebuah peristiwa tidak terjadi dan seluruh harapannya terputus dari segala sesuatu, dan
perhatiannya tidak jatuh kepada wujud Tuhan.[7]

6. Terkadang seseorang dengan observasi akurat dan pemikiran teliti dalam sifat-sifat dan hubungan-hubungan pelbagai fenomena empirik maka ia
akan terbimbing kepada wujud Tuhan dan sifat-sifat-Nya seperti ilmu, hikmah, kudrah. Jalan ini, yang berpijak pada penyaksian alam natural dan
telaah empirik seluruh fenomena natural disebut sebagai jalan empirik. Dengan memperhatikan beberapa keutamaan tipikal jalan ini, al-Quran
memberikan perhatian khusus terhadap masalah observasi emprik dan dalam banyak ayat al-Quran menyeru manusia untuk merenungi
fenomena-fenomena semesta yang ada di sekelilingnya, yang sekedudukan dengan tanda-tanda dan ayat-ayat takwini Tuhan. Sebagian periset
Muslim, dengan bersandar pada salah satu tipologi alam natural yaitu desain dan keteraturan, mengemukakan sebuah argumentasi atas wujud
Tuhan. Argumentasi seperti ini umumnya disebut sebagai argumen keteraturan (argument from design). Atas dasar itu, kita dapat menjadikan
argumen keteraturan sebagai contoh nyata untuk mengenal Tuhan melalui jalan empirik.

Mengenal Ayatdalam al-Quran dan Riwayat

Pada beberapa tempat al-Quran, kita dapat menjumpai beberapa ayat (tanda-tanda) yang menjelaskan tentang fenomena-fenomena natural.
Fenomena-fenomena tersebut merupakan tanda-tanda dan ayat-ayat atas wujud Tuhan dan mengajak manusia untuk memikirkan dan
merenunginya. Mengenal Tuhan melalui fenomena merupakan pengenalan tanda-tanda takwini di alam penciptaan yang merupakan contoh nyata
jalan empirik terkadang disebut sebagai pengenalan ayat dan afaqi.[8]

Sekelompok ayat-ayat lainnya, menyeru manusia untuk memikirkan ayat-ayat takwini Ilahi dan keteraturan yang berlaku pada alam keberadaan
dan pada wujud manusia, merupakan dalil dan pedoman yang akan membimbing orang-orang yang berakal kepada Sumber Transendental:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal. (Qs. Ali Imran [3]:190); Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada
dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan? (Qs. Al-Dzariyat [51):20-21)[9]

Banyak ayat al-Quran yang menyinggung tentang fenomena tertentu dan hal itu dipandang sebagai ayat dan tanda atas keberadaan, ilmu dan
kekuasaan Tuhan. Ayat-ayat ini sedemikian banyak sehingga menyebutkan ayat-ayat tersebut memerlukan ruang dan waktu yang lain.[10]

Para pemimpin agama juga menekankan metode al-Quran pada pengenalan ayat Ilahi. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis kompleks dari
Imam Shadiq As yang bertutur-kata kepada salah seorang sahabatnya.Wahai Mufaddhal! Pelajaran dan dalil pertama atas eksistensi Sang
Pencipta adalah pembentukan, pengumpulan bagian-bagian dan keteraturan penciptaan di alam ini. Oleh karena itu, jika engkau berfikir dengan
baik dan benar mengenai alam ini, engkau akan dapatkan segala sesuatunya seperti Anda mendapatkan rumah dan istana yang didalamnya telah
tersedia seluruh kebutuhan-kebutuhan hamba Tuhan. Langit seperti atap, yang diletakkan dengan tingginya, bumi seperti permadani yang telah
dihamparkan, bintang-bintang seperti lampu-lampu yang telah disiapkan, mutiara-mutiara seperti cadangan yang tertimbun di dalamnya, dan
segala sesuatunya terletak dalam tempatnya sendiri secara sempurna. Kita juga seperti orang yang diberikan rumah ini, dan segalanya diserahkan
dalam ikhtiar kita. Segala jenis tumbuhan dan hewan disiapkan untuk kita untuk memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan. Segala hal di atas
adalah dalil bahwa alam keberadaan ini telah diciptakan dengan ukuran yang sangat jitu, penuh hikmah, teratur, sesuai dan harmonis. Pencipta
sesuatu itu adalah satu, Dialah yang Maha Pengatur, Pencipta keteraturan dan mengharmonisasikan bagian-bagian ciptaan-Nya.[11]

7. Jalan Akal
Pada jalan ini, keberadaan Tuhan ditetapkan dengan premis-premis, kaidah dan metode yang murni rasional.[12] Argumen-argumen dan dalil-
dalil filosofis merupakan contoh-contoh nyata analisa-analisa akal dalam menetapkan wujud Tuhan. Jalan ini dibandingkan dengan dua jalan
yang telah disebutkan di atas memiliki beberapa tipologi dan karakteristik tersendiri sebagaimana berikut ini:

1. Kebanyakan argumentasi dan elaborasi rasional untuk menetapkan wujud Tuhan, lantaran berjalin berkelindan dengan pembahasan-pembahasan
pelik dan jeluk filosofis sehingga tentu tidak terlalu berguna bagi mereka yang tidak familiar dengan pembahasan filsafat.[13]

2. Salah satu keunggulan jalan akal adalah dapat digunakan sebagai jawaban ilmiah atas pelbagai keraguan yang dilontarkan oleh kaum atheis dan
juga pada tingkatan ekspostulasi (ihtijaj) dan debat, jalan akal ini dapat membongkar kelemahan dan kerapuhan argumen-argumen para
pengingkar,serta menjawab pelbagai tantangan rasionalitas yang tidak dapat dijawab kecuali dengan argumen-argumen rasional.

3. Jalan rasional untuk menetapkan keberadaan Tuhan dapat berfungsi konstruktif dalam proses penguatan iman seseorang; karena bilamana akal
seseorang tunduk di hadapan kebenaran maka qalbu dan hati juga akan mengikuti. Dari sisi lain, peran argumentasi dan inferensi rasional sangat
signifikan dalam menguatkan iman seseorang dan juga dalam mengeliminir sangsi dan keraguan.[14]

Dengan memperhatikan performa tipikal jalan rasional dari satu sisi dan dengan memperhatikan kecenderungan fitrawi pikiran kuriositas manusia
terhadap pembahasan-pembahasan jeluk rasional dan filosofis dari sisi lainnya, karena itu cendekiawan Muslim melakukan riset-riset mendalam
pada bidang teologi rasional dimana sebagian dari riset tersebut berujung pada pendirian argumen-argumen baru untuk menetapkan keberadaan
Tuhan atau menyempurnakan argumen-argumen sebelumnya. Salah satu argumen rasional yang paling kokoh dalam menetapkan keberadaan
Tuhan adalah argumen yang dikenal sebagai burhan wujub dan imkan. Argumen ini telah diulas dalam beberapa model yang akan kita sebutkan
salah satu dari ulasan tersebut di sini.

Argumen wujub dan imkan (sesuai dengan salah satu ulasan yang ada) dapat dijelaskan sebagai berikut:

Di alam luaran (khrij) sudah barang tentu dan niscaya terdapat sebuah entitas (realitas). Apabila entitas ini Wjib al-Wujd maka ideal kita
tertetapkan (dimana Wajib al-Wujud ini adalah wujud Tuhan itu sendiri) dan apabila entitas tersebut adalah mumkin al-wujud (contigen being),
mengingat kebutuhannya terhadap sebab dan kemustahilan tasalsul (infinite circle) dan daur (circular reasoning), maka ia membutuhkan entitas
yang wujudnya bukan merupakan akibat dari entitas lainnya dan entitas semacam ini adalah Wjib al-Wujd (baca: Tuhan).

Untuk diketahui bahwa terkait dengan pertanyaan yang Anda ajukan bersifat buram, lantaran pertanyaan ini boleh jadi berkisar tentang wujud
Tuhan? Dan juga boleh jadi bertalian dengan pelbagai tipologi dan sifat Tuhan, dari jawaban yang diberikan lebih mengarah pada penetapan dan
pembuktian wujud Tuhan. Sekiranya Anda masih ingin mengetahui lebih jauh ihwal sifat-sifat Tuhan, kami persilahkan Anda melayangkan
kembali surat ke meja redaksi. [IQuest]

[1]. Nashir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 161.

[2]. Metode ini disebut sebagai metode empirik tidak bermakna tiadanya inferensi dan penalaran rasional sama sekali, melainkan menitikberatkan
pada fakta bahwa salah satu pendahuluan-pendahuluan asasinya adalah observasi empirik pelbagai fenomena natural.

[3]. Taqi Misbah Yazdi, Marif Islmi, jil. 1, hal. 41.

[4]. Nashir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 16, hal. 341-342.

[5]. Ibid, hal. 418-423.

[6]. Seperti, Maka apabila mereka naik kapal, mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; tetapi tatkala Allah
menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah). (Qs. Al-Ankabut [29]:65); Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), sebagai fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada
ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus. (Qs. Rum (30): 30);Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan
berbaring, duduk, atau berdiri. Dia-lah Tuhan yang menjadikan Kamu dapat berjalan di daratan dan (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu
berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka
bergembira karenanya, tiba-tiba datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpa mereka, dan mereka yakin bahwa
mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan dengan tulus hati (sembari berkata), Sesungguhnya jika engkau
menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur. Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka,
tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. (Qs.Yunus [10]:12, 22 dan 23); Dan apabila kamu ditimpa
bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkanmu ke daratan, kamu berpaling. (Qs.
Isra [17]:67); Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaratan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhan-nya dengan kembali kepada-Nya;
kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya, lupalah dia akan kemudaratan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk
(menghilangkannya) sebelum itu. Apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari
Kami, ia berkata, Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku. Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka
itu tidak mengetahui. (Qs. Al-Zumar [39]: 8 dan 49).

[7]. Allamah Majlisi, Bihr al-Anwr, jil. 3, hal. 41.

[8]. Disebutkan bahwa dalam tafsir mengenal ayat yang diadopsi dari al-Quran terdapat beberapa pandangan: Sekelompok periset mengenal
ayat ini sebagai premis untuk membuat satu inferensi dan penalaran rasional serupa dengan apa yang dijelaskan pada argumen keteraturan
atas keberadaan, ilmu dan kebijaksanan Tuhan. Namun berdasarkan pada penafsiran lainnya, ayat-ayat al-Quran yang menyeru manusia untuk
berpikir dan berkontemplasi tentang fenomena-fenomena natural, semata-mata mengingatkan adanya pengetahuan fitrawi dalam diri manusia
kepada Tuhannya, tidak lain hanya mengingatkan. Pandangan ketiga, ayat-ayat yang menjadi pembahasan pada tataran jadal ahsan (berdialog
dengan lebih baik) dengan orang-orang musyrik; mereka dengan keliru berpandangan bahwa berhala-berhala dan sesembahan lancung mereka
berperan pada sebagian pengaturan urusan dunia dan tidak memahami dengan baik tauhid rububi. Silahkan lihat, al-Mizn, Allamah Thabathabai,
jil. 18, hal. 154; muzesy Aqid (Iman Semesta), jil. 1-2, hal. 68 dan Tabyin-e Barhin-e Itsbt-e Wujud-e Khud, Jawadi Amuli, hal. 43.

[9]. Dan juga silahkan lihat, Qs. Al-Baqarah (2):164; Qs. Al-Jatsiyah (45):3-6; Qs. Yunus (10):100-101; Qs. Ibrahim (14):10.

[10]. Ayat-ayat yang menegaskan bahwa fenomena-fenomena tipikal semesta adalah tanda-tanda keberadaan Tuhan dapat dibagi menjadi
beberapa klasifikasi umum. Ayat-ayat yang berkenaan dengan ranah kehidupan manusia seperti, Pertama, sistem umum penciptaan manusia,
Jatsiya (45):4; Rum (30):20. Kedua, sistem pembentukan sperma dalam rahim, Ali Imran (3):6; Infithar (82):6-7; Taghabun (64):3; Hasyr
(59):24; Nuh ():13-14. Ketiga, sistem epistemologi, Nahl (16):78. Keempat. Sistem perbedaan bahasa dan warna kulit, Rum (30):22; Fathir
(35):27-28. Kelima, Sistem distribusi rezeki Ghafir (40):64; Isra (17):70; Jatsiyah (45):5 & 20; Fathir (35):3; Rum (30):4; Saba ():24; Yunus
(10):31; Naml (27):64; Mulk (67):21; Anfal (6):26; Baqarah (2):22 & 172; Ibrahim (14):22 dan Dzariyat (51):58. Keenam, sistem tidur, Rum
(30):23; Naml (27):86; Furqan (25):47; Naba ():9; Zumar (39):42. Ketujuh, sistem sandang, Araf (7):26; Nahl (16):14 & 81. Kedelapan, sistem
perumahan, Nahl (16):80. Kesembilan, sistem pernikahan, Rum (30:21; Syura (26):11; Fathir (35):11;Najm (53):45; Qiyamah (75):39; Nahl
(16):72; Lail (92):3; Naba (78):8 dan Araf (7):189.

[11]. Silahkan lihat juga Nahj al-Balghah, Khutbah 186; Al-Tauhid, Syaikh Shaduq, bab 2, hadis 2 dan Bihr al-Anwr, Allamah Majlisi, jil. 3,
hal-hal.61, 82, 130 dan 152.

[12]. Metode ini disebut sebagai metode rasional tidak bermakna bahwa yang digunakan dalam metode ini semata-mata akal, melainkan cukup
dengan menggunakan premis-

remis dan metode-metode rasional.

[13]. Makna ini dengan tidak berseberangan dengan keumuman jalan akal. Karena yang dimaksud dengan keumuman di sini adalah keumuman
relatif sebagai kebalikan dari kekhususan. Artinya metode rasional tidak terkhusus pada seseorang tertentu, melainkan banyak orang yang dapat
mendapatkan manfaat dari metode ini.

[14]. Metode rasional sangat bermanfaat bagi mereka yang belum mencapai penyaksian batin Tuhan dan penyaksian dengan mata hati. Menyitir
Rumi,

SEJARAH PEMIKIRAN MANUSIA TENTANG TUHAN

Pemikiran Barat atau manusia primitive

Proses perkembangan pemikiran manusia tentang tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut :

1. Dinamisme
Paham ini mengaku adanya kekuatan (maging power) yang berpengaruh dalam kehidupan manusia, kekuatan ini terbentuk dalam
kepercayaan hayati yang ditunjukkan pada benda-benda (dianggap keramat).
2. Animisme
Paham ini mempercayai adanya peranan roh dalam kehidupan manusia, roh dianggap selalu aktif walaupun sudah mati. Paham ini
membagi roh atas dua yaitu roh baik dan roh jahat (nakal).
3. Politeisme
Paham ini mempercayai dan menganggap banyak dewa sebagai Tuhan sehingga dewa tersebut dipuja dan disembah oleh
manusia.
4. Henoteisme
Dari banyak dewa, selanjutnya manusia menyeleksi satu dewa yang dianggap mempunyai kekuatan lebih yang kemudian mereka
anggap sebagai Tuhan.
5. Monoteisme
Paham ini menyertakan satu Tuhan untuk seluruh rakyat.

Pemikiran Umat Islam

Islam mengawali pengenalan tentang Tuhan bersumber pada tauhid, dalam Islam terdapat beberapa aliran yang bersifat liberal,
tradisional dan ada pula yang bersifat diantara keduanya, corak pemikiran ini telah mewarnai sejarah pemikiran tentang ilmu
ketuhanan (ilmu tauhid) yang masing-masing berlainan pandangan tentang Tuhan, diantara aliran tersebut yaitu (Nasution 1985 :
51-52) :

1. Mutazilah
Kaum rasionalisme yang menekankan pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan keimanan dalam Islam, paham
ini menghasilkan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan.
2. Qadariah
Paham ini berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan dalam kehendak dan berusaha.
3. Jabariah
Paham ini berteori bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan untuk berkehendak dan berbuat, Tuhan ikut di dalamnya bila
manusia berbuat.
4. Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah
Paham ini berteori bahwa manusia memiliki kebebasan dalam kehendak dan usaha, namun Tuhan jugalah yang menentukan.

Konsep Tuhan Menurut Islam

A. Konsep Tuhan yang Unik dan Otentik

Konsep Tuhan merupakan konsep yang mendasar bagi setiap agama yang ada. Dari konsep Tuhan tersebut, lahirlah konsep-konsep Islamic
worldview yang lain, seperti; konsep tentang wahyu, konsep kenabian, konsep alam, konsep manusia, konsep kehidupan, konsep penciptaan,
konsep ilmu, dan konsep-konsep yang lainnya. Dikarenakan begitu sentralnya konsep Tuhan tersebut, maka perbincangan mengenai agama
apapun, tidak akan terlepas dari pemahaman konsep Tuhan.
Konsep Tuhan dalam Islam, bersifat unik dan final, yang tidak sama dengan konsep Tuhan dalam agama-agama lain, seperti; Kristen,
Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu. Berbeda juga dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani maupun dengan tradisi mistik Timur dan
Barat. Sebagaimana yang telah djelaskan Al-Attas bahwa:
The nature of God Understood in Islam is not the same as the conceptions of God Understood in the various religious traditions of the world;
nor is it the same as the conceptions of God understood in greek and Hellenistic philosophical tradition; nor as the conceptionsvof God
understood in Western philosophical or scientific tradition; nor in that of Occidental and Oriental mystical traditions[1].

konsep Tuhan dalam Islam otentik dan final, berdasarkan atas wahyu Al-Quran yang juga bersifat otentik dan final, lafdhan wa manan
dari Allah , Shalih fi kulli zaman wa makan, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Prof. Al-Attas menjelaskan The nature of God as revealed in
Islam is Derived from Revelation[2].
Konsep Tuhan dalam Islam bersifat haq. Bukan Tuhan hasil personofikasi, sebagaimana agama lain melakukannya sebagai penyelamat,
penebus dosa, Bapa, anak, ruh qudus dan sebagainya. Dan bukan juga seperti Tuhan dalam konsepsi Aristotle, yaitu Tuhan filsafat, yang sering
diistilahkan dengan penggerak yang tidak bergerak, Tuhan yang ada dalam pikiran manusia. Yang berari bahwa ketika manusia tidak berfikir
Tuhan, maka Tuhan itu tidak ada. Tuhan adalah Dzat yang transenden dan mutlak, yang sama sekali berbeda dengan makhluknya. Maka tidak
tepat manusia, sebagai ciptaan, menciptakan dari pemikiran mereka sendiri mengenai personifikasi ataupun atribusi kepada Dzat Pencipta[3].
Konsep Tuhan dalam Islam telah memperlihatkan kemurnian dan kejelasan dengan konsep Tuhan dalam agama lain (Kristen, Yahudi,
Budha, Hindu, dsb) maupun dengan konsep Tuhan dalam pandangan penggagas pluralisme agama. Baik agama lain maupun kaum pluralis, sama-
sama menghadapi problem teologis. Kalangan non muslim membangun konsep Tuhan di atas landasan yang rapuh, sedangkan kalangan pluralis
membangun doktrinnya di atas keraguan-raguan(skeptis) dengan meragukan kebenaran yang seharusnya diyakini. Dalam tulisan ini, penulis
membatasi pembahasan pada konsep Tuhan tiga agama semitik(Yahudi, Kristen, Islam) dan Tuhan dalam pandangan Pluralisme agama.
Makna Laa ilaaha illallah
Konsep Tuhan dalam Islam dirumuskan dalam al-Quran yang tergambar dalam syahadat tauhid Laa ilaaha illallah, Muhammadur
Rasulullah (tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah). Seseorang yang bertauhid, akan mengikrarkan dan meyakini,
bahwa satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah dan ditaati adalah Allah. Bukan Tuhan yang lain. Kemudian ia juga harus menyatakan
bahwa Muhammad sebagai utusan Allah yang membawa risalah untuk mengenalkan Allah kepada hambanya. Tauhid disini dinamakan
tauhidullah, yakni pengenalan dan pengakuan akan Allah Yang maha Esa sebagai satu-satunya Tuhan[4].
Konsep Laa ilaaha illallah, banyak kita temukan dalam al-Quran, diantaranya, Dalam surah Muhammad, Allah telah menyatakan
ketahuilah bahwa tiada tuhan selain Allah[5]. Dalam surah Thaha, Allah berfirman, Aku memilihmu, maka perhatikan apa yang akan
diwahyukan kepadamu. Sesunggunya Aku ini adalah Allah, tiada Tuhan selain-Ku. Karena itu, sembahlah Aku dan dirikanlah Shalat untuk
mengingat-Ku [6]. Ayat ini merupakan wahyu[7] yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Kemudian juga dalam surat al-Isra, Allah berfirman,
Tidak ada Tuhan selain Dia[8]. Dari beberapa ayat tersebut,nampak jelas bahwa Tuhan dalam Islam adalah Allah.
Selain terdapat dalam Al-Quran, konsep Laa ilaaha illallah juga terdapat dalam beberapa hadis. Diantaranya, dari Abd Allah ibn Abi
Qotadah dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw. bersabda, siapa yang mengucap, Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa
Muhammad utusan Allah, dengan lisannya, dan dengan ini kalbunya tentram, niscaya ia diharamkan menghuni neraka[9]. Riwayat lain, dari
Muad ibn Jabal meriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, Siapa yang akhir perkataannya Laa Ilaaha Illallah lalu meninggal
Dunia, niscaya ia masuk surga[10].

Makna Allah
Allah adalah sebutan atau nama Tuhan (tiada Tuhan selain Allah); wujud tertinggi, terunik; zat yang maha suci , yang maha mulia;
daripada-Nya kehidupan berasal dan kepada-Nya kehidupan kembali. Para filsuf dizaman kuno menamai Allah swt. Antara lain dengan nama
Pencipta, Akal Pertama, Penggerak pertama, Penggerak Yang tiada Bergerak, Puncak Cinta, dan Wajib al-Wujud. Allah SWT. Adalah tuntutan
setiap jiwa manusia. Setiap puak dan bangsa manusia merasakan dan menyadari kehadiran-Nya sejak masa yang paling awal dan menamai-Nya
menurut istilah-istilah yang mereka tentukan[11].
Istilah nama Allah sebagai nama Tuhan, sangat jelas identik dengan konsep ketuhanan dalam Islam. Tidak ada agama lain, kecuali Islam
yang tegas dan jelas serta sepakat menggunakan nama Lafadz Allah untuk menyebut nama Tuhan mereka. Karena tidak terdapat problem dalam
penyebutan nama Tuhannya, maka dimana pun, kapan pun, dan siapapun, umat Islam akan selalu menyebut Tuhannya dengan Allah. Hal ini
dikarenakan nama Tuhan dalam Islam ditetapkan berdasarkan sumber yang utama, wahyu al-Quran, dan bukan berdasarkan tradisi ataupun
budaya, ataupun konsensus (konsili). Karena itu, umat Islam tidak mengalami perselisihan tentang nama Tuhan. Dan soal nama Tuhan tersebut
sudah final sejak awal.
Allah swt. (Allah, kata agung (lafadz al-jalalah) adalah nama diri (ism al-dzat) Tuhan, nama esensi dan totalitas-Nya. Kata itu tersusun dari
empat huruf. Jika huruf pertama, alif dihilangkan, tiga huruf lainnya simbol alam semesta, wujud, yang mencakup alam nyata (dunya) dan langit
gaib di atas cakrawala bintang gemilang; alam kubur (barzakh) dan surga; akhirat (akhirah) . Huruf pertama, alif, merupakan smuber segala
sesuatu, dan huruf terakhir, hu (Dia), adalah sifat Allah yang paling sempurna, Yang Mahasuci dari semua sekutu[12].
Secara kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah. Kata itu mungkin pula berasal dari bahasa aramea, Alaha yang
artinya Allah. Kata Ilaah (Tuhan yang disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang maha Kuasa. Dengan
penambahan huruf Alif laam di depannya sebagai kata sandang tertentu, maka kata Allah dari kata al-ilaah dimasudkan sebagai nama Zat Yang
Maha Esa, Maka Kuasa, dan Pencipta Alam semesta. Kata Allah adalah satu-satunya ism alam atau kata yang menunjukkan nama yang dipakai
bagi Zat yang Maha Suci. Nama-nama lain sekaligus mengacu pada sifat-sifat-Nya jika menunjukkan kealaman Zat Allah, seperti al-Aziz atau
Yang Maha Perkasa, artinya Allah mempunyai sifat perkasa[13]. Menurut Ibnu Katsir, lafadz Allah termasuk ism Jamid[14]. Jadi lafadz Allah
bukan bersal dari ilaah[15].
Konsep Allah juga telah ada sejak masyarakat Arab pra-Islam. Toshihiko Izutsu menerangkan masalah makna relasional kata Allah
dikalangan orang-orang Arab pra-Islam dengan tiga kasus. Pertama, adalah konsep Pagan tentang Allah, yaitu orang Arab Murni. Di sini terlihat
orang-orang Arab pra Islam yang berbicara tentang Allah sebagaimana yang mereka pahami. Kedua, orang-orang Yahudi dan Kristen zaman
pra Islam yang menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka sendiri. Di sini tentu saja Allah berarti Tuhan Injil. Ketiga, Orang-
orang Arab pagan, Arab jahiliyah murni non-kristen dan non-Yahudi yang mengambil konsep Tuhan Injil, Allah. Hal ini terjadi ketika seorang
penyair Badwi yang bernama Nabighah dan Al-Asha Al-Kabar menulis puisi pujian yang mengarah pada konsep Arap tentang Allah kearah
monoteisme[16]. Konsep Allah menurut masyarakat Arab pra-Islam, khususnya penduduk Mekkah, dapat diketahui melalui al-Quran. Allah
SWT bagi mereka adalah pencipta langit dan bumi, yang memudahkan peredaran matahari dan bulan, yang menurunkan air dari langit, tempat
menggantungkan harapan[17].
Tuhan yang haq dalam konsep al-Quran adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65,
surat Muhammad ayat 19. Dalam al-quran diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan kepada Nabi sebelum Muhammad
adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain surat Hud ayat 84 dan surat al-Maidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana dinyatakan
dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4.
Menurut informasi al-Quran, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan Allah, dan kemahaesaan Allah tidak
melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam di
muka bumi. Esa menurut al-Quran adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian-bagiandan tidak pula dapat dibagi
menjadi bagian-bagian.
Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan
kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya. Konsepsi kalimat
La ilaaha illa Allah yang bersumber dari al-quran memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari Tuhan yang lain
selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap dan praktik menjalani kehidupan.
Allah juga merupakan sebutan atau nama Tuhan (tiada Tuhan selain Allah); wujud tertinggi, terunik; zat yang maha suci , yang maha mulia;
daripada-Nya kehidupan berasal dan kepada-Nya kehidupan kembali. Para filsuf dizaman kuno menamai Allah swt. Antara lain dengan nama
Pencipta, Akal Pertama, Penggerak pertama, Penggerak Yang tiada Bergerak, Puncak Cinta, dan Wajib al-Wujud. Allah SWT. Adalah tuntutan
setiap jiwa manusia. Setiap puak dan bangsa manusia merasakan dan menyadari kehadiran-Nya sejak masa yang paling awal dan menamai-Nya
menurut istilah-istilah yang mereka tentukan[18].
Secara kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah. Kata itu mungkin pula berasal dari bahasa aramea, Alaha yang
artinya Allah. Kata Ilaah (Tuhan yang disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang maha Kuasa. Dengan
penambahan huruf Alif laam di depannya sebagai kata sandang tertentu, maka kata Allah dari kata al-ilaah dimasudkan sebagai nama Zat Yang
Maha Esa, Maka Kuasa, dan Pencipta Alam semesta. Kata Allah adalah satu-satunya ism alam atau kata yang menunjukkan nama yang dipakai
bagi Zat yang Maha Suci. Nama-nama lain sekaligus mengacu pada sifat-sifat-Nya jika menunjukkan kealaman Zat Allah, seperti al-Aziz atau
Yang Maha Perkasa, artinya Allah mempunyai sifat perkasa.
Dalam kaitannya penyebutan Allah sebagai sebutan Tuhan, kaum musyrik Quraisy dan kaum Yahudi bertanya kepada Rasulullah SAW
tentang Tuhannya mengutusnya membawa Risalah Islam. Mereka meminta beliau menerangkan Tuhannya serta menyebut kan nasab-Nya. Maka
Allah SWT pun mengutus Jibril as. Dengan membawa surah al-Ikhlash (At-Tauhid). Dalam surah itu Allah swt berbicara kepada Rasul-Nya
dengan menggunakan kalimat perintah:
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan.
Surah al-Ikhlash ini berisi sebagian al-asmaul husna. Pengertian Allah Ahad adalah Allah itu satu, tak ada sekutu bagi-Nya, dan tak
ada yang setara dengan-Nya. Ibnu Abbas dan sekelompok mufassir al-Quran berkomentar bahwa pengertian Allah Ahad adalah Allah itu satu,
tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. [19] Sebagian filsuf Arab, diantaranya Ibnu Sina, berpendapat bahwa pengertian Allah Ahad
adalah bahwa Allah itu satu (sendiri) dalam ketuhanan-Nya dan keterdahuluan-Nya, serta tidak ada sesuatupun yang menyertai-Nya dalam sifat-
sifat wajib-Nya. Dia wajib bersifat ada dan mengetahui segala sesuatu, hidup namun tidak akan mati, mengubah namun tidak pernah
berubah[20].
Menurut sebagian pakar bahasa, Allah SWT. Berfirman, Qul huwa Allahu Ahad, bukan Qul huwa Allahu Wahid. Kata Wahid
termasuk kategori bilangan sehingga sangat mungkin yang lainnya juga masuk ke dalamnya. Adapun kata Ahad tidak dapat dibagi lagi, baik
dalam Zat-Nya maupun pengertian sifat-sifat-Nya.
B. Konsepsi Ketuhanan dalam Agama Yahudi dan Krisen
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, wacana ketuhanan agama non muslim (terutama Yahudi dan Kristen) mengalami perdebat an
yang panjang dan tidak berujung. Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, penyebutan nama Tuhan masih problematik, dikarenakan sumber kitab
sucinya yang mengalamai penyelewengan (tahrif) sehingga tidak otentik. Dalam sejarahnya Kalangan Yahudi, sampai saat ini, masih belum
mengenal Tuhan yang sebenarnya. Mereka juga belum ada kesepakan untuk menyembah Tuhan yang Esa, sebagaimana para nabi mengajarkan
ketauhidan kepada kaumnya. Sehingga, sejatinya, mereka belum menemukan dan masih berspekulasi tentang nama Tuhan yang pasti. Sementara,
Kalangan Yahudi modern hanya menduga-duga, bahwa nama Tuhan mereka adalah yahweh.
Ketika nabi Musa datang mendakwahkan Tauhid kepada Bani Israil, menurut pakar sejarah Barat Will Durant, Kaum Bani Israil sebagian
tidak meninggalkan sama sekali penyembahan kepada kambing, dan lembu. Karena hewan-hewan tersebut menjadi lambang Tuhan mereka[21].
Sehingga sejak awal memang kaum Yahudi memiliki tradisi paganisme yang sulit dihilangkan-bahkan sejak awal sejak nabi Musa sampai nabi
Isa diangkat menjadi Rasul. Maka sangat wajar jika nabi Musa meniggalkan kaumnya beberapa saat untuk pergi ke gunung, untuk menerima
wahyu dari Allah, kaumnya menyembah patung sapi yang terbuat dari emas yang dibaut oleh Musa samiri[22]. Padahal mereka ditinggal nabi
Musa untuk beberapa hari saja dan nabi Musa sudah melimpahkan urusan Dakwahnya kepada nabi harun as[23].
Kepercayaan yang kuat terhadap misitsme di kalangan Yahudi tersebut, ternyata menjadikan suburnya budaya sihir pada zaman itu. Banyak
lahir tukang sihir ketika nabi Musa as diangkat menjadi Rasul. Bahkan Will Durant, mengisahkan ketika nabi Musa diberi Mujizat mengubah
tongkat menjadi ular, orang-orang Yahudi lantas beraggapan bahwa nabi Musa dan nabi Harun adalah tokoh penyihir. Dengan kisah tersebut,
maka tersebarlah ilmu sihir dikalangan bani Israil, sampai akhirnya mempengaruhi kepercayaan mereka[24]
Budaya paganisme Bani Israil yang kuat juga dapat dibuktikan dalam suatu kisah di Bibel kitab Raja-Raja, bahwa nabi Musa pernah
membuat seekor ular dari tembaga yang kemudian disembah oleh kaumnya[25]. Prof. Ahmad Syalabi, seorang pakar perbandingan agama dari
Mesir, mengatakan bahwa tradisi penyembahan yang dilakukan oleh agama Yahudi banyak dipengaruhi oleh kebiasaan bangsa Kanan. Bangsa
Yahudi menurut syalabi begitu mudah terpengaruh oleh bangsa Kanan dalam beragama. Tuhan yang disembah oleh bangsa Kanan kemudian
diambil alih oleh bangsa Israil. Bahkan setelah bangsa Israil mendiami negeri Kanan itu, tempat ibadah mereka menyatu yang didalamnya
terdapat berhala Yahwah-sebutan bangsa Israil- dan berhala Baal, Tuhan kaum Kanan. Maka ketika bersembahyang kadang-kadang kaum
Yahudi di Kanan menyebut kedua Tuhan, Yahweh dan Baal[26] .
Harold Bloom, dalam bukunya, Jesus and Yahweh, juga menulis, bahwa YHWH adalah nama Tuhan Israel yang tidak pernah bisa diketahui
bagaimana mengucapkannya:
The four-Letter YHWH is Gods proper name in the Hebraw Bible, where it appears some six thousand times. How the name was
pronounced we never will know.[27]
Dalam bukunya, The History of Allah, tokoh Kristen Ortodoks Syiria, Bambang Noorsena menulis bab berjudul Bolehkah nama YHWH
(TUHAN) diterjemahkan dalam bahasa-bahasa lain?. Ia menulis.
Sejak kitab suci Perjanjian Baru ditulis oleh para rasul Kristus, tetagram (keempat huruf suci YHWH, Yahwe) diterjemahkan ke dalam
bahasa Yunani, Kyrios (TUHAN). Cara ini mengikuti kebiasaan Yahudi, yang juga diikuti oleh Yesus dan para Rasul-Nya yang biasanya
melafalkan Yahwe dengan Adonai (TUHAN) atau ha shem (Nama segala nama)[28]
Dari sini nampak bahwa agama Yahudi mengalami problem ketuhanan dan problem juga dalam Kitab Sucinya, oleh karenanya, kaum
Yahudi kesulitan untuk memastikan cara melafalzkan nama Tuhannya. Kaum Yahudi juga meyakini bahwa Tuhan mereka sebagai tuhan dalam
bentuk jamak, dengan menyatakan Tuhan Elohim telah mengawini putri-putri manusia[29]. Selian itu, Tuhan juga diyahkini sebagai bapak dari
Raja Yahudi[30].
Secara bertahap, kaum Yahudi menyadari bahwa Tuhan mereka bukan hanya satu tuhan di antara banyak tuhan. Tuhan mereka adalah satu-
satunya Tuhan, dan tuhan-tuhan yang lain adalah hasil ciptaan manusia sendiri.[31] Dan Tuhan adalah bapak mereka dalam pengertian
sesungguhnya (Hosea 1:10).[32] Dalam pandangan Yahudi Tuhan telah memilih mereka sebagai manusia pilihan. Karena dipilih untuk dijadikan
istri Tuhan, maka mereka merasa memiliki kedudukan yang tinggi.
Dalam tradisi Ibrani, nama Yahweh dianggap bukan nama yang sebenarnya, melainkan berasal dari nama ehyeh atu hayah[33]. Dalam kitab
Gerakan Nama Suci, Nama Allah ynag dipermasalahkan, Herlianto mengutip pernyataan Freedman, ternyata asal-usul nama Yahweh itun tidak
jelas, akan tetapi, nama itu menunjuk kepada sumber dari tradisi kaum Median dan kaum Kenit[34].Dengann adanya dua kaum tersebut, maka
juga ikut mempengaruhi keberagaman orang Israel, dan menyatakan bahwa nama yahweh berasal dari luar tradisi Ibrani.
Dari sini nampak bahwa nama Tuhan dalam tradisi Yahudi masih bersifat spekulasi. Sehingga banyak menimbulkan kontroversi diantara
mereka. Karena nama Tuhan Yahudi masih problematik, maka kaum Yahudi ortodoks mengambil sikap untuk tidak menggunakan kata Yahweh
sebagai sebutan nama Tuhan mereka. Sebagai gantinya, Kaum yahudi Ortodoks menggunakan sebutan Adoney atau Ha syem. Akan tetapi
penggunaan nama inipun masih problematik dan menimbulkan kontroversial. Sebabnya, kedua nama tersebut dalam pengucapannya terkadang
disamakan dengan Yahweh, atau Tuhan, dan pada beberapa tempat tertentu diartikan sebagai Tuan. Sementara bila Adonay dimaksudkan berasal
dari bahasa Yunani maka maknanya adalah Tuhan[35].
Dalam penyebutan nama Tuhan, ternyata, orang Yahudi tidak hanya menggunakan sebutan Adoney, Ha syem, ataupun Yahweh. Akan tetapi
juga ada sebutan lain untuk Tuhan mereka, yaitu El/Elohim atau Eolah. Dalam tradisi Yunani, nama ini dapat digunakan sebagai nama diri atau
nama generik. Kata El, dalam Al-Kitab Perjanjian lama digunakan untuk sebutan Tuhan orang Israel. Dalam The interpreters Dictionary of Bible,
El digunakan sebagai sinonim Yahweh[36]. Adapun kata Elohim digunakan untuk menyebut nama diri Allah dalam bentuk jamak. Elohim
kebanyakan digunakan untuk penyebutan gelar, sementara Eolah di artitikan sebagai God (Tuhan).
Menurut, Ellen Kristi, untuk mencari kejelasan tentang Yahweh, dapat ditelusuri dalam Al-Kitab Interlinier (terjemahan langsung) Ibrani-
Yunani-Inggris. Dalam teks aslinya, kata Tuhan ternyata ditulis dalam empat huruf mati (tetramaton) saja. Yaitu YHWH. Karena terdiri atas
konsonan semua, tentu saja tetagramaton ini tidak dapat dibaca. Namun dari berbagai sumber informasi, nama tersebut ada yang membaca
Yahweh, ada pula yang menyebut Yehova. Ada yang menyingkat sebutan Yahweh dengan Yah. Misalnya pada ungkapan Haleluyah
(Terpujilah Yah)[37].
Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan tersebut, berdampak pada konsepsi Kristen tentang nama Tuhan yang bermacam-macam. Sebagai
contoh, di negara Arab, umat kristen menyebut Tuhannya dengan Alloh, seperti orang Islam menyebutnya, di Barat umat kristen menyebut
Tuhannya dengan God atau Lord. Dalam pandangan Noorsena, kata Allah, meskipun di lingkungan Kristen Arab tidak dipahami sebagai
nama diri, sebutan ini begitu sentral kedudukannya dalam bahasa Arab. Jadi, karena dalam tradisi Kristen, Allah tidak dianggap sebagai nama
diri (proper name), maka mereka diperbolehkan menyebut nama Tuhan dengan berbagai panggilan.
Lafadz Allah dalam tradisi Kristen bukan termasuk ismu dzat (nama diri). Buktinya, masih banyak perdebatan seputar nama Allah sebagai
nama Tuhan dalam agama Kristen. Sebagai contoh, munculnya kelompok yang menamakan diri Gerakan Nama Suci (Sacred Name
Movement)[38], dengan menolak pemakain kata Allah dalam Bible kemudian mengganti dengan nama Yahweh. Kelompok ini perpandangan
bahwa nama Allah adalah bukan nama Tradisi Yudaik, akan tetapi nama itu adalah nama dewa orang Arab pada abad ke-7. Oleh karena itu,
lafadz Allah yang ada dalam Al-Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru harus diganti dengan Elohim atau Yahweh. Di Indoneisa, gerakan ini
mengganti nama Allah dengan kata Elohim , kata Tuhan di ganti dengan Yahweh dan Yesus di ganti dengan Yesua Hamsyah[39].
Kristen, tidak hanya mengalamai problem nama Tuhan, tetapi juga mengalami permasalahan ketuhanan Yesus[40]. Dalam pemikiran
Paulus[41], ia memperoleh suatu metafisik yang serius. Paulus berpandangan, setiap orang yang saleh, ia dapat menyatakan seperti apa yang
dikatakan Yesus. Yaitu, Aku dan bapaku (Tuhan) adalah satu dalam pengertian keserasian total dalam kehendak Tuhan[42]. Para teolog Kristen
pun tidak menolak pemikiran ini, bahkan menerima begitu saja semua unsur sebagai satu kesatuan yang transenden. Kitab kejdian 1:26 menyebut
tiga pribadi dalam diri Tuhan.
Konsep ketuhanan Kristen ini, kemudian mengalamai perubahan besar dan mendasar yang kemudian dalam konsili Nicea[43] 325
diputuskan mengenai identitas Tuhan Kristen. Tuhan bapak, anak dan ruhul qudus merupakn Tuhan Kristen yang merekaa sebut dengan Trinitas.
Trinitas ini pun dikalangan mereka juga mengalami problem mendasar, yang kemudian lahirlah konsili konstantin pada 381. Dalam konsili ini
diputuskan dan di evaluasi mengenai status Tuhan Kristen. Problem ketuhanan dalam Kristen terus menemukan problem yang misterius.
Konsep Tuhan ala Kristen inilah yang ditentang oleh Islam. Sayyid Muhammad Behesthi mengatakan, Al-Quran dengan tegas dan lugas
mengatakan bahwa: tiada Tuhan selain Allah. Konsep tauhid dalam Al-Quran tidak pernah menyatakan bahwa Tuhan Pencipta itu adalah
Tuhan dari segala tuhan. Sedangkan dalam agama-agama lainnya keesaan Tuhan itu kadang tidak dinyatakan secara konsisten.[44]
Kekeliruan Yahudi dan Nasrani juga dengan jelas dinyatakan dalam Al-Quran, Dan orang-orang Yahudi serta Nasrani mengatakan: Kami
adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya. (Q.S. Al-Maidah: 18). Yang dimaksud dengan kalimat Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-
Nya, menurut Imam Ibnu Al-Jauzi adalah Uzair dan Isa a.s[45].
Bagi umat Islam, penyebutan nama Tuhan yang bersifat spekulatif tentu sangat bermasalah. Sebab, hal ini bisa mengaburkan konsep tauhid
Islam. Penyebutan kata Allah di dalam Al-Quran menandakan bahwa penyematan nama untuk Dzat Yang Maha Kuasa haruslah bersumber
dari Allah sendiri dengan sifat-sifat yang sudah dijelaskan dalam Al-Quran. Berkenaan dengan al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka al-Qur'an dalam epistemologi Islam merupakan sumber informasi yang benar yang otoritatif
(khabar shadiq)[46]. Dengan demikian Konsep Tuhan dalam Islam jels-jels sempurna, karena bersumber pada kitab suci yang otoritatif.

C. Konsepsi Tuhan dalam Pluralisme Agama


Peradaban Barat dengan gelombang modernismenya, telah medekonstrusi Tauhid umat Islam. Melalui paham liberalisme yang berakar
pada konsep relativisme dan skeptisisme[47], sebagian orang telah gemar dan gencar melakukan penelaahan ulang terhadap konsep-konsep yang
fundamental dalam agama Islam. Kemudian membentuk arus baru dengan apa yang disebut sebagai pluralisme agama. Penganut Pluralisme
agama berasumsi bahwa semua agama sama benarnya, sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. salah satu penyakit yang disebar melalui
paham ini adalah konsep mengenai Tuhan. John Hick misalnya, menggagas konsep The Eternal One, yaitu Tuhan yang menjadi tujuan semua
agama. Apa pun jalannya tujuannya tetap satu. Begitulah John Hick berpandangan.
Penganut pluralisme agama menganggap bahwa Konsep Tuhan agama tertentu, sama dengan konsep Tuhan dalam agama lain. Maka tak
heran bila muncul pernyataan seperti: satu Tuhan tiga agama; semua agama dapat bertemu pada tataran esoterik; semua agama adalah jalan yang
sama-sama sah menuju Tuhan yang sama; banyak jalan menuju Tuhan; dan lain sebagainya. Padahal konsep Tuhan dalam Islam berbeda dengan
agama-agama lain, bahkan juga berbeda dengan tradisi filsafat, budaya dan peradaban lain. Konsep Tuhan dalam Islam adalah unik dan
berbeda[48]. Jadi , tidak tepat bila menyamakan konsep Tuhan dalam level transendent tidaklah tepat. Karena, pada level esoterispun, masing-
masing agama memiliki konsep Tuhan yang eksklusif yang berarti bahwa terdapat perbedaan antara agama satu dengan yang lain.
Pemikiran mengenai konsep Tuhan yang sama bisa jadi merupakan pengalaman individu-individu tertentu mengenai agama-agama.
Namun, pengalaman tersebut bukanlah agama itu sendiri, karena pengalaman seperti itu tidak dapat diturunkan kepada masyarakat dan seluruh
manusia, namun hanya diraih oleh golongan tertentu. Jadi kesatuan transendent (transendent unity) seperti itu tidak dapat disebut agama,
namun hanya merupakan pengalaman keagamaan.
Bagi kaum pluralis, nama Tuhan apapun tidak menjadi masalah, karena dalam pandangan mereka, agama adalah bagian dari ekspresi
budaya manusia yang sifatnya relatif. Oleh karenanya, tidak ada salahnya Tuhan disebut Allah, God, Lord, Yahweh, dan ataupun yang lain. Salah
satu Tokoh pluralisme agama adalah Prof. John Hick, yang menyatakan:

Ketika kita mengunjungi berbagai tempat ibadat, kita akan menemukan para pemeluk agama datang ke tempat ibadat ma sing-masing untuk
membuka pikiran mereka terhadap Realitas yang lebih tinggi, yang dipikirkan sebagai pencipta dan Raja alam semesta, dan sebagai pencipta
moral yang sangat diperlukan dalam kehidupan tiap laki-laki dan wanita. Tentu saja pelaksanaaannya berbeda-beda. Yang lebih penting, wujud
tertinggi dikenal sebagai Tuhan di Gereja Kristen, sebagai Adonai (Yahweh) di Sinagog Yahudi, sebagai Allah di Masjid orang Islam, sebagai
Ekoamkar di Gurdwara Sikh, sebagaai Rama atau Krishna di Kuil Hindu. Tetapi ada satu pengertian penting dimana apa yang sedang
dilaksanakan dalam beberapa bentuk pemujaan pada dasarnya sama[49].

Selanjutnya, Menurut Hick, kesalahan umum yang dilakukan manusia sampai saat ini adalah meyakini bahwa Tuhan yang mereka ketahui
melalui kacamata-kacamata tradisional dan kultural mereka Yahweh, Trinitas, Allah, Krisna, Wisnu, Siwa dsb. adalah Tuhan atau Realitas
ketuhanan yang absolut, dan oleh karenanya merupakan titik pusat dan pangkal keselamatan satu-satunya. Padahal tidak demikian sebenarnya,
karena Tuhan-tuhan tersebut, menurut hipotesa Hick, hanyalah gambaran dari Realitas ketuhanan yang Absolut yang Tunggal dan tak terbatas
oleh segala macam ungkapan, konsepsi, dan pemahaman[50]. Oleh karena ituThe Real inilah yang menjadi sentra yang sebenarnya.

Munir Mulkhan juga menulis:


...... Tuhan dan ajaran atau kebenaran yang satu yang diyakini pemeluk Islam itu bersifat universal. Karena itu, Tuhan dan ajaran-Nya serta
kebenaran itu mungkin juga diperoleh pemeluk agama lain dan rumusan konseptual yang berbeda. Konsekuensi dari rumusan di atas bahwa
Tuhannya pemeluk agama lain, sebenarnya itulah Tuhan Allah yang dimaksud dan diyakini pemeluk Islam. Kebenaran ajaran Tuhan yang
diyakini pemeluk agama itu pula sebenarnya yang merupakan kebenaran yang diyakini oleh pemeluk Islam[51].

....Tuhan yang Maha Tunggal itu adalah Tuhan yang diyakini pemeluk semua agama di dalam beragam nama dan sebutan. Surga dan
penyelamatan Tuhan itu adalah surga dan penyelamatan bagi semua orang di semua zaman dalam beragam agama, beragam suku bangsa, dan
beragam paham keagamaan. Melalui cara ini, kehadiran Nabi Isa a.s. atau Yesus, Muhammad saw., Buddha Gautama, Konfusius, atau pun nabi
dan rasul agama-agama lain, mungkin menjadi lebih bermakna bagi dunia dan sejarah kemanusiaan...[52]

Pernyataan yang menyatakan bahwa semua agama menyembah pada Tuhan yang sama adalah rancu. Apalagi menyamakan Tuhan Allah
dengan Tuhan agama lain. Karena, semua agama yang ada mempunyai sebutan Tuhan yang berbeda-beda dikarenakan konsep Tuhannya
memang berbeda. Di kalangan Kristen dan Yahudi, tidak ada penyebutan Tuhan secara khusus karena mengalami problem perdebatan yang tiada
habisnya. Agama lain seperti: Hindu; Budha; Khonghucu; juga tidak menggunakan sebutan Tuhan mereka Allah. Adapun Kaum kristen Arab
memakai sebutan Tuhannya Allah seperti halnya dalam agama Islam. Namun itupun yang dimaksud adalah Tuhan Injil yang tidak semua umat
Kristen sepakat memakainya.
Pandangan bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, tidak dapat dibenarkan. Sebabnya, dalam Kristen, nama Tuhan masih
spekulatif dan problematik. Bahkan dalam Ajaran Kristen pun sudah menyatakan tidak ada keselamatan di luar gereja (extra ecclesiam nulla
salus). Sikap Eksklusif Kristen ini juga dinyatakan oleh Martin Forward, dalam bukunya Christians and Religious Pluralism: Patterns in the
Christian Theology of Religions, bahwa The exclusivist maintains that salvation is given only to those who make an explicit commitment to Jesus
Christ[53].
Dalam pandangan Islam, jalan menuju Allah hanya satu, yakni Islam, dengan mengikrarkan syahadat Islam (Laa ilaaha illallah,
Muhammadur Rasulullah). Jadi tidak ada jalan lain menuju Allah kecuali Islam. Jika mengakui jalan agama samawi lainnya yang telah
diselewengkan, tidak mungkin seorang mufassir dan sahabat Nabi Muhammad saw. sekaliber Ibnu Abbas, mengatakan: Bagaimana mungkin
kamu boleh bertanya kepada Ahli Kitab tentang sesuatu perkara, sedangkan Kitab kamu yang diturunkan kepada Rasulullah Saw ini lebih baru.
Bacalah ini saja, dan tidak perlu ditambah-tambah[54].
Islam tidak memiliki problem penyebutan Tuhan. Sebab, Konsep Tuhan dalam Islam sudah otentik dan orisinil. Konsep Islam tentang
Tuhan ini telah mematahkan konsep ketuhanan agama Yahudi, kristen yang bersifat spekulatif dan problematik. Begitu juga Tuhannya penganut
pluralisme agama yang masih dalam keraguan. Umat Islam diseluruh dunia sudah sepakat untuk menyebut nama Tuhannya dengan Allah.
Terdapat asumsi yang kuat bahwa memang Allah telah mengenalkan namanya kepada para nabi dan Rasulnya dengan sebutan Allah.
Sebagimana, ketika Allah hendak memberi wahyu kepad nabi Musa a.s. dengan firmannya:
Sesungguhnya aku Inilah Tuhanmu, Maka tanggalkanlah kedua terompahmu; Sesungguhnya kamu berada dilembah yang Suci, Thuwa. Dan aku
telah memilih kamu, Maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak)
selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.
Konsep Tuhan dalam Islam yang sudah final ini,disetuji oleh pakr sejarah Karen Amstrong. Ia menyatakan bahwa umat Islam tidak
mengalami problem mendasar tentang konsep ketuhanannya. Konsep ini mengesampingkan praduga-praduga (dzanna) yang tidak bisa
dibuktikan, yang berebda dengan konsesi ketuhanan agama lain[55]. Dikarenakan Islam memiliki metode yang khas tentang konsep Tuhan, maka
tidak ada perselisihan pendapat diantara kaum muslimin dalam menyebutnya. Untuk memanggil nama-Nya, telah diajarkan oleh Rasulullah saw.
secara turun temurun sampai kepada kita dengn sanad yang bersambung sampai kepada Allah. Nama tersebut juga dihaal oleh para hufadz
(penghafal al-Quran) sehingga konsepsi keagamaan selalu terjaga dengan baik.
Jadi, konsep Tuhan dalam Islam yang otentik dan final dan didasarkan atas wahyu, telah mematahkan asumsi-asumsi konsep-konsep
ketuhanan agama lain yang masih problematik. Lafadz Allah yang merupakan nama Tuhan, sudah ada sejak zaman arab Pra-Islam. Lafadz
tersebut juga yang dipakai Allah untuk mengenalkan diri-Nya kepada makhluknya. Adapun Konsep Tuhan dalam Islam dirumuskan dalam al-
Quran yang tergambar dalam syahadat tauhid Laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah (tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah
utusan Allah). Wallahu Alam Bi As-Shawab.

A. Bukti-bukti Adanya Allah

Adanya Allah swt adalah sesuatu yang bersifat aksiomatik (sesuatu yang kebenarannya telah diakui, tanpa perlu pembuktian yang bertele-tele).
Namun, di sini akan dikemukakan dalil-dalil yang menyatakan wujud (adanya) Allah swt, untuk memberikan pengertian secara rasional.
Mengimani Wujud Allah Subhanahu wa Taala Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara, dan indera.

Dalil Fitrah

Manusia diciptakan dengan fitrah bertuhan, sehingga kadangkala disadari atau tidak, disertai belajar ataupun tidak naluri berketuhanannya itu
akan bangkit. Firman Allah

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (al-
Araf:172)

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: Allah, maka bagaimanakah
mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?, (az-Zukhruf:87)

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, dan sesungguhnya kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR.
Al Bukhari)
Ayat dan hadis tersebut menjelaskan kondisi fitrah manusia yang bertuhan. Ketuhanan ini bisa difahami sebagai ketuhanan Islam, karena
pengakuannya bahwa Allah swt adalah Tuhan. Selain itu adanya pernyataan kedua orang tua yang menjadikannya sebagai Nasrani, Yahudi atau
Majusi, tanpa menunjukkan kata menjadikan Islam terkandung maksud bahwa menjadi Islam adalah tuntutan fitrah. Dari sini bisa disimpulkan
bahwa secara fitrah, tidak ada manusia yang menolak adanya Allah sebagai Tuhan yang hakiki, hanya kadang-kadang faktor luar bisa
membelokkan dari Tuhan yang hakiki menjadi tuhan-tuhan lain yang menyimpang.

Dalil Akal

Akal yang digunakan untuk merenungkan keadaan diri manusia, alam semesta dia dapat membuktikan adanya Tuhan. Di antara langkah yang
bisa ditempuh untuk membuktikan adanya Tuhan melalui akal adalah dengan beberapa teori, antara lain;\

a. Teori Sebab.

Segala sesuatu pasti ada sebab yang melatarbelakanginya. Adanya sesuatu pasti ada yang mengadakan, dan adanya perubahan pasti ada yang
mengubahnya. Mustahil sesuatu ada dengan sendirinya. Mustahil pula sesuatu ada dari ketiadaan. Pemikiran tentang sebab ini akan berakhir
dengan teori sebab yang utama (causa prima), dia adalah Tuhan.

b. Teori Keteraturan.

Alam semesta dengan seluruh isinya, termasuk matahari, bumi, bulan dan bintang-bintang bergerak dengan sangat teratur. Keteraturan ini
mustahil berjalan dengan sendirinya, tanpa ada yang mengatur. Siapakah yang mempu mengatur alam semesta ini selain dari Tuhan?

c. Teori Kemungkinan (Problabyitas)

Adakah kemungkinan sebuah komputer ditinggalkan oleh pemiliknya dalam keadaan menyala. Tiba-tiba datang dua ekor tikus bermain-main di
atas tuts keyboard, dan setelah beberapa saat di monitor muncul bait-bait puisi yang indah dan penuh makna?

Dalam pelajaran matematika, bila sebuah dadu dilempar kemungkinan muncul angka 6 adalah 1/6. Dan bila dua dadu dilempar kemungkinan
munculnya angka 5 dan 5 adalah 1/36. Bila ada satu set huruf dari a sampai z diambil secara acak, kemungkinan muncul huruf a adalah 1/26. Bila
ada lima set huruf diambil secara acak, kemungkinan terbentuknya sebuah kata T-U-H-A-N adalah 1/265 (satu per duapuluh enam pangkat lima)
=1/11881376. Andaikata puisi di layar komputer itu terdiri dari 100 huruf saja, maka kemungkinannya adalah 1/26100. Dengan angka
kemungkinan sedemikian orang akan menyatakan tidak mungkin, lalu bagaimanakah alam raya yang terdiri dari sekian jenis atom, sekian banyak
unsur, sekian banyak benda, berapa kemungkinan dunia ini terjadi secara kebetulan? Kemungkinannya adalah 1/~ (satu per tak terhingga), atau
dengan kata lain tidak mungkin. Jika alam ini tidak mungkin terjadi dengan kebetulan maka tentunya alam ini ada yang menciptakannya, yaitu
Allah.

Dalil Naqli

Meskipun secara fitrah dan akal manusia telah mampu menangkap adanya Tuhan, namun manusia tetap membutuhkan informasi dari Allah swt
untuk mengenal dzat-Nya. Sebab akal dan fitrah tidak bisa menjelaskan siapa Tuhan yang sebenarnya.

Allah menjelaskan tentang jati diri-Nya di dalam Al-Quran;

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia
menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-
masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.(al-
Araf:54)

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt adalah pencipta semesta alam dan seisinya, dan Dia pulalah yang mengaturnya.

Dalil Inderawi

Bukti inderawi tentang wujud Allah swt dapat dijelaskan melalui dua fenomena:

a. Fenomena Pengabulan doa

Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang berdoa serta memohon pertolongan-Nya yang diberikan kepada
orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah Swt. Allah berfirman:
Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa, dan Kami memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari
bencana yang besar. (Al Anbiya: 76)

(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Robbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu (Al Anfaal: 9)

Anas bin Malik Ra berkata, Pernah ada seorang badui datang pada hari Jumat. Pada waktu itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tengah
berkhotbah. Lelaki itu berkata Hai Rasul Allah, harta benda kami telah habis, seluruh warga sudah kelaparan. Oleh karena itu mohonkanlah
kepada Allah Subhanahu wa Taala untuk mengatasi kesulitan kami. Rasulullah lalu mengangkat kedua tanganya dan berdoa. Tiba-tiba awan
mendung bertebaran bagaikan gunung-gunung. Rasulullah belum turun dari mimbar, hujan turun membasahi jenggotnya. Pada Jumat yang
kedua, orang badui atau orang lain berdiri dan berkata, Hai Rasul Allah, bangunan kami hancur dan harta bendapun tenggelam, doakanlah akan
kami ini (agar selamat) kepada Allah. Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya, seraya berdoa: Ya Robbku, turunkanlah hujan di sekeliling
kami dan jangan Engkau turunkan sebagai bencana bagi kami. Akhirnya beliau tidak mengisyaratkan pada suatu tempat kecuali menjadi terang
(tanpa hujan). (HR. Al Bukhari)\

b. Fenomena Mukjizat

Kadang-kadang para nabi diutus dengan disertai tanda-tanda adanya Allah secara inderawi yang disebut mukjizat. Mukjizat ini dapat disaksikan
atau didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang wujud Yang Mengurus para nabi tersebut, yaitu Allah swt. Karena hal-hal itu
berada di luar kemampuan manusia, Allah melakukannya sebagai pemerkuat dan penolong bagi para rasul. Ketika Allah memerintahkan Nabi
Musa as. Agar memukul laut dengan tongkatnya, Musa memukulkannya, lalu terbelahlah laut itu menjadi dua belas jalur yang kering, sementara
air di antara jalur-jalur itu menjadi seperti gunung-gunung yang bergulung. Allah berfirman,

Lalu Kami wahyukan kepada Musa: Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.: Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti
gunung yang besar. (Asy Syuaraa: 63)

Contoh kedua adalah mukjizat Nabi Isa as. ketika menghidupkan orang-orang yang sudah mati; lalu mengeluarkannya dari kubur dengan ijin
Allah. Allah swt berfirman:

dan aku menghidupkan orang mati dengan seijin Allah (Ali Imran: 49)

dan (ingatlah) ketika kamu mengeluarkan orang mati dari kuburnya (menjadi hidup) dengan ijin-Ku. (Al Maidah 110)

Tanda-tanda yang diberikan Allah, yang dapat dirasakan oleh indera kita itu adalah bukti pasti wujud-Nya.

Anda mungkin juga menyukai