Anda di halaman 1dari 6

DISRUPTIVE INNOVATION

Oleh: Achmad Arif Alfin


09211650054026
Manajemen Teknologi Informasi
Institut Teknologi Sepuluh Nopember

I. Pendahuluan
Perhatian pelaku bisnis saat ini, nampaknya semakin terfokus pada fenomena
persaingan perusahaan yang cenderung berubah dari waktu ke waktu. Kenyataan ini, membawa
persaingan menjadi kata kunciyang tidak pernah usang untuk dianalisis. Perusahaan dituntut
untuk mengembangkan strategi yang lebih efektif serta efisien, sehingga membutuhkan pemikiran dan
konsep yang lebih fundamental dengan melihat apa yang menjadi dasar persaingan.
Dalam beberapa dekade terakhir, kemajuan dalam inovasi teknologi telah
memungkinkan munculnya model bisnis baru yang lebih efektif dan efisien, sehingga
mengganggu banyak industri yang telah berjalan lama. Gangguan yang ditimbulkan dalam hal
ini bisa mengancam eksistensi perusahaan lama, dikarenakan adanya teknologi, produk atau
jasa yang baru tersebut. Secara kualitas, inovasi yang dilakukan tidak harus lebih baik dari
yang ada sekarang, tetapi pada umumnya terdapat perbedaan yang mencolok dalam hal
pemenuhan keinginan dari kebanyakan pengguna.

II. Disruptive Innovation


Ada dua jenis inovasi yaitu yang pertama adalah menyempurnakan inovasi sebelumnya
(sustaining innovation), dan yang kedua mengganggu atau bahkan menggantikan inovasi-
inovasi sebelumnya (disruptive innovation). Inovasi Disruptif (Disruptive Innovation) adalah
inovasi yang membantu menciptakan pasar baru, mengganggu atau bahkan merusak pasar yang
sudah ada, dan pada akhirnya menggantikan teknologi terdahulu tersebut. Inovasi disruptif
mengembangkan suatu produk atau layanan dengan cara yang tak diduga pasar, umumnya
dengan menciptakan jenis konsumen berbeda pada pasar yang baru dan menurunkan harga
pada pasar yang lama.
Istilah disruptive innovation mulai dikenal ketika Clayton M. Christensen seorang
Profesor Bisnis dari Harvard Business School menerbitkan buku yang berjudul The Innovator
Dillema pada tahun 1997. Pada awal mulanya Clayton M. Christensen menyebutnya dengan
istilah disruptive technology, namun seiring perkembangannya dia pun lebih mempopulerkan
istilah disruptive innovation untuk menjelaskan hal tersebut. Terdapat empat komponen utama
dalam disruptive innovation, seperti yang terlihat pada table 1, yaitu: pasar yang ditargetkan
oleh "disruptor", kinerja awalnya, biaya, serta jenis perusahaan inovator.

Tabel 1. Disruptive Innovation Features

Terdapat banyak sekali kasus yang termasuk kategori disruptive innovation, seperti
kehadiran Personal Computer yang mempu menggeser mainframe dan mini computer,

1
sehingga IBM harus menanggung kerugian untuk semua itu. Kehadiran telepon selular yang
menggeser eksistensi telepon rumah, sehingga memaksa PT. TELKOM Indonesia untuk
membenahi kembali mode bisnisnya dengan TIMES (Telecommunication, Information, Media,
Edutainment and Services). Di Indonesia studi kasus bagaimana disruptive innovation bisa
dijumpai dengan munculnya perusahaan start up berbasis TI. Seperti kemunculan perusahaan
Gojek, sebuah layanan ojek online yang merusak pasar tukang ojek tradisional. Selain itu
kehadiran Gojek membuka pasar baru dibidang logistik atau jasa delivery berupa layanan
pengantar barang dalam kota yang tidak dilayani oleh perusahaan logistik besar seperti Pos
Indonesia, TIKI dan lainnya. Jangkauan pasar ini masih kecil dan belum menarik bagi Pos
Indonesia untuk menggarapnya sebabnya dari sisi marjin kurang menguntungkan mereka.
Namun kehadiran jasa delivery seperti Master Delivery dan Gojek menurut saya bisa saja
secara berlahan menjadi besar dan akan berkembang sebagai suatu industri baru, kemudian
bisa saja akan menggambil alih pasar perusahaan incumbent tersebut.
Dari beberapa contoh, sebagian besar kemunculan tersebut berasal dari perusahaan
teknologi dan pemula. Perusahaan tersebut telah mengembangkan model pembayaran yang
lebih baik dengan memanfaatkan aplikasi berbasis smartphone dalam menawarkan produk dan
layanan yang lebih sederhana dan lebih murah daripada yang ditawarkan oleh pemain lama.
Uber Technologies Inc., sebuah layanan ridesharing on-demand yang menghubungkan
penumpang dengan driver lokal secara real time menggunakan teknologi smartphone, adalah
salah satu teknologi yang paling mengganggu dan sukses. Keberhasilan Uber, melalui model
fixed-cost rendah yang memberikan alternatif rute tercepat dan lebih dapat diandalkan sebagai
taksi, memberikan pengemudi pendapatan per jam yang lebih tinggi dengan penghindaran
peraturan mahal, telah sangat mengganggu industri jasa taksi konvensional. Di kota-kota di
seluruh dunia, perusahaan taksi kehilangan pelanggan dan pengemudi mereka ke Uber atau
perusahaan jaringan transportasi sejenis seperti Grab, ataupun Go-Car.

III. Kemunculan Taksi Uber


Di beberapa kota di seluruh dunia, mendapatkan taksi merupakan hal yang susah-suah
gampang, apalagi apabila berhadapan dengan masalah tarif dan lama perjalanan yang
seringkali tidak bisa diperkirakan. Uber telah mengubah pengalaman itu dengan memanfaatkan
layanan berbasis aplikasi untuk menghubungkan penumpang dengan driver. Dari aplikasi Uber
di smartphone mereka, penumpang dapat meminta tumpangan dari mobil pribadi yang
biasanya dikendarai oleh driver yang tidak memiliki lisensi komersial. Aplikasi mobile
mengkomunikasikan lokasi penumpang kepada pengemudi dengan menggunakan teknologi
GPS. Saat menunggu taksi datang, pelanggan dapat melihat lokasi pengemudi secara real time
yang disesuaikan dengan lokasi penjemputan. Penumpang juga bisa mengetahui foto dan mobil
pengemudi, sehingga mudah bagi penumpang untuk mengidentifikasi kendaraan dengan aman
saat kedatangannya. Begitu perjalanan dimulai, penumpang dikenakan tarif variabel jarak jauh.
(Quirk, 2014)
Model inovasi bisnis ini terbilang sangat sukses bagi Uber. Sejak berdiri pada tahun
2009, Uber telah mengalami pertumbuhan yang signifikan, bahkan grafik pertumbuhannya
hamper vertical. Per Desember 2014, Uber bernilai $ 40 miliar, pencapaian yang dua kali lipat
dari enam bulan sebelumnya, dan, menurut beberapa perkiraan, diapresiasi $ 19.839 per menit
(Gongloff 2014). Menurut perusahaan, itu berlipatganda setiap enam bulan (Guidero, 2014).
New York Times melaporkan, misalkan Uber hanya mengambil setengah dari pasar taksi,
maka akan menghasilkan lebih dari $ 1 miliar per tahun (Sorkin, 2014). Selain itu, majalah
Fortune melaporkan bahwa perusahaan tersebut baru-baru ini diizinkan menjual hingga $ 1,8
miliar (Primack 2014). Secara geospasial, Uber saat ini beroperasi di 51 negara dan lebih dari
254 kota, dan perusahaan tersebut mengklaim bahwa layanannya tersedia untuk hampir 64%
populasi A.S. (Uber Technologies Inc., 2014). Sampai November 2014, Uber berkembang

2
dengan kecepatan satu kota baru per hari (Hunt, 2014). Dalam hal jaringan penggeraknya,
pendiri dan CEO Uber Travis Kalanick mengklaim bahwa Uber menambahkan 30.000 driver
baru per bulan (Cushing, 2014); Meskipun perusahaan tidak akan mengungkapkan jumlah pasti
driver yang aktif bekerja untuk Uber, namun perkiraannya dalam jumlah ratusan ribu.
Dampak Uber di industri taksi terlihat sangat signifikan. San Francisco adalah contoh
kota dimana Uber sangat mengganggu pesaingnya. San Francisco Cab Drivers Association
melaporkan bahwa pada tahun 2013 sepertiga dari 8.500 atau lebih supir taksi di San Francisco
meninggalkan pekerjaan mereka untuk memilih berkendara dengan transportasi pribadi seperti
Uber (Essif, 2014). Demikian juga, Dinas Perhubungan Kota San Francisco mengeluarkan
sebuah laporan yang menunjukkan bahwa, pada bulan Juli 2014, taksi rata-rata di San
Francisco hanya menghasilkan sekitar 504 perjalanan per bulan, sedangkan pada bulan Maret
2012, rata-rata sopir taksi menghasilkan 1.424 perjalanan per bulan (Hara Associate Inc.,
2014). Kate Toran, direktur Taxis and Accessible Services untuk SFMTA, mengatakan bahwa
penurunan 65 ton perjalanan taksi ini dapat dikaitkan dengan pesatnya munculnya TNC di
industri taxicab. Ini tidak mengherankan, tarif uber sekarang 45% lebih murah dari tarif pajak
di San Francisco (Constine, 2014).

IV. Inovasi Teknologi pada Uber


Sebagian besar alasan mengapa Uber bisa mengancam industri taksi tradisional terletak
pada pemanfaatan teknologi modern yang efisien dan inovatif. Di pasar yang semakin
kompetitif, perusahaan ditantang untuk mengembangkan organisasi yang fleksibel secara
strategis (Townsend, DeMarie, & Hendrickson, 1998 hal 18). Perusahaan seperti Uber berhasil
mengatasi tantangan ini dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi dan
telekomunikasi melampaui pemain industry lama. Dengan memanfaatkan teknologi baru ini,
Uber menawarkan produk unggulan kepada konsumen, memanfaatkan informasi terperinci
mengenali pola permintaan, dan dapat merespons kebutuhan pelanggan dengan peningkatan
fitur. Selain itu, teknologi berbasis internet seperti yang digunakan Uber telah memungkinkan
munculnya "teknologi tenaga kerja terdistribusi" yang memungkinkan bentuk kerja kontrak
baru, mengurangi risiko bagi perusahaan, dan meningkatkan kontrol dan fleksibilitas mereka
terhadap hampir semua aspek operasi bisnis. (Kneese et al 2014).
Sebagai Contoh, Uber memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi untuk
menyesuaikan tarif secara real-time berdasarkan fluktuasi permintaan. Perusahaan
menggunakan "dynamic cost model" yang menggunakan penurunan harga selama masa
permintaan tinggi, seperti pada akhir pekan, hari libur, dan larut malam. Perusahaan
menganalisa permintaan block-by-block sehingga bisa mengirimkan mobil yang sesuai dengan
lokasi. Teknologi juga digunakan untuk mengukur waktu, area permintaan dan penyesuaian
tariff. Uber mencapai apa yang Stephen Wood (1989) sebut 'fleksibilitas bayar' - sebuah istilah
yang mengacu pada "kemampuan perusahaan untuk menyesuaikan biaya tenaga kerja,
khususnya membayar, untuk mengubah kondisi pasar". Fitur ini memungkinkan perusahaan
mampu bersaing dengan bisnis taksi tradisional, yang tarifnya dibatasi dan persediaan driver
sering kali terhambat oleh kondisi yang di luar kendali mereka, seperti pembatasan batas
jumlah taksi yang diperbolehkan dalam satu kota (Schaller, 207, hal 496).
Pada Tabel 2, aspek utama bisnis model perusahaan Uber dirangkum sesuai dengan
fitur utama dari disruptive innovation pada Tabel 1.

3
Table 2: Disruptive features of Uber.

Dari Tabel 2, terlihat bahwa fitur Uber hampir tidak sesuai dengan karakteristik disruptive
innovation seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Sebagai contoh, harga layanan yang rendah pada
Uber sesuai dengan karakteristik khas dari disruptive innovation, sedangkan layanan
berkualitas tinggi lain yang ditawarkan Uber (yaitu UberLux) tidak sesuai dengan karakteristik
tersebut. Hal ini pada dasarnya disebabkan oleh kenyataan bahwa model bisnis Uber
mempertimbangkan permintaan pelanggan yang berbeda di tiap segmennya.

V. Precondition for Success


Tidak dipungkiri bahwa tanpa teknologi smartphone dan GPS, Uber tidak akan pernah
ada. Akan tetapi, penting untuk diketahui bahwa teknologi saja tidak cukup sebagai acuan
kesuksesan uber di industry taksi. Terdapat tiga prasyarat utama di luar ranah teknologi yang
kemungkinan mendasari kesuksesan Uber:
Inkonsistensi peraturan dalam bidang transportasi penumpang yang bisa dimanfaatkan
Uber sehingga membebaskan perusahaan dari peraturan.
Keputusan Uber untuk membebaskan pengemudi menggunakan mobil pribadi.
Tingginya tekanan finansial yang dialami para tenaga kerja, sehingga para pekerja
bersedia menanggung beberapa resiko dan biaya (mobil pribadi). Tanpa kondisi
eksternal yang diakibatkan inkonsistensi keputusan oleh institusi hukum dan tren
ekonomi saat ini, Uber dan perusahaan sejenis akan menjadi kurang fleksibel, pasokan
tenaga kerja dan harga yang masih akan tinggi, serta gangguan industri yang masih
kompetitif. Ketiga prasyarat ini, memiliki rincian sebagai berikut. Kemungkinan yang
bisa perusahaan lakukan untuk meningkatkan fleksibilitas dan meningkatkan margin
keuntungan, sebisa mungkin menjauhkan diri dari tanggung jawab, dan mengalihkan
resiko (biaya operasional) kendaraan ke pengemudi.
Uber berusaha tetap fleksibel dalam menghindari peraturan taksi yang mahal, yang dapat
membatasi kontrol terhadap sektor bisnis perusahaan, seperti pengendalian harga dan
penyediaan tenaga kerja. Uber melakukannya dengan mengklasifikasikan dirinya sebagai
"perusahaan teknologi", bukan perusahaan jasa taksi. Alih-alih memiliki armada taksi dan
merekrut sopir taksi sebagai pegawai, atau menyewa kontraktor independen sebagai bisnis
taksi, Uber disini cukup memainkan peran 'mak comblang digital' dengan menyediakan

4
platform pasar bebas untuk pengemudi dan penumpang agar terhubung, dan mengambil sedikit
biaya sebagai penyedia layanan (biasanya sekitar 20-27%) (Damodaran, 2014). Sejak
kemunculan Uber, puluhan startup peniru telah mengadopsi model ini yang ditujukan untuk
menghindari aturan dari kelembagaan yang ada (Elert & Henrekson, 2014, hal 5). Jaron Lanier,
penulis Who Owns the Future? menjelaskan daya tarik model "evasif kewirausahaan" ini
kepada investor dan mengapa ini bisa berkembang dengan cepat di Sillicon valley:
Investasi yang sempurna idealnya tidak melakukan atau membuat apapun. Hanya
sebatas rencana untuk penyaluran informasi yang eksekusinya dilakukan oleh orang
lain. Inilah aktor yang mengambil risiko. (2013, hal 59)
Perbedaan lini bisnis antara "perusahaan teknologi" dengan taksi sangat penting bagi Uber
karena dengan ini mereka bisa tetap berada di antara kekosongan hokum, di mana mereka
bisa menyediakan semua layanan taksi tapi dibebaskan dari peraturan taksi yang luas dan
mahal. peraturan yang telah mengisolasi industri dari persaingan sejak pertengahan 1930an
(Schaller, 2007).

VI. Kesimpulan
Meski banyak orang memuji inovasi Uber dalam persaingan industri karena mampu
menciptakan lapangan kerja dan membantu orang-orang di seluruh dunia untuk menjadi
"pengusaha mikro,". Ada sisi gelap bagi TNC dan perusahaan serupa yang berperan sebagai
'perantara digital' dan secara efektif mengubah sistem korporasi pada pekerja, melemahkan
perlindungan buruh, dan menurunkan upah. Perusahaan-perusahaan ini meniadakan kontrak
sosial tradisional antara pengusaha dan karyawan, di mana perlindungan dan keamanan
pendapatan dijamin bagi pekerja yang kemudian dapat berkontribusi dan menstabilkan
ekonomi. Namun, dalam pengaturan pekerjaan yang kontinyu dan sulit ini, perusahaan dan
pemilik modal bebas memerintah untuk mengeksploitasi pekerja, sehingga menghasilkan
margin keuntungan yang besar dengan mengorbankan hak pekerja. Pengaturan ini terjadi
karena adanya "kekosongan hukum" dan inkonsistensi peraturan lembaga negara dan daerah,
yang menawarkan ruang bagi perusahaan dalam mengabaikan perlindungan bagi pekerjanya,
sehingga pekerja tidak ada perlindungan tetap secara ekonomi maupun tunjangan dalam
melaksanakan perkerjaannya.

Referensi
Constine, J. (2014, June 30). UberX wages war on Bay Area taxis with 25% price cut.
Retrieved December 19, 2014, from TechCrunch website:
http://techcrunch.com/2014/06/30/uberxnow- 45-percent-cheaper-than-taxis/

Cushing, E. (2014, November 21). The smartest bro in the room. San Francisco Magazine.
Retrieved from http://www.modernluxury.com/san-francisco/story/the-smartest-bro-
theroom

Elert, N., & Henrekson, M. (2014). Evasive entrepreneurship and institutional change.
Unpublished working paper.

Essif, A. (2014, March 21). Is Seattle's rideshare crackdown actually a win for taxi drivers?
Retrieved December 19, 2014, from Working In These Times website:
http://inthesetimes.com/working/entry/16473/is_seattles_rideshare_crackdown_actual
ly_a_win_for_taxi_drivers

5
Damodaran, A. (2014, June 10). A disruptive cab ride to riches: The Uber payoff. Forbes.
Retrieved from http://www.forbes.com/sites/aswathdamodaran/2014/06/10/a-
disruptivecab-ride-to-riches-the-uber-payoff/

Gongloff, M. (2014, December 4). Uber's value just doubled to $40 billion in 6 months.
Huffington Post. Retrieved from http://www.huffingtonpost.com/2014/12/04/uber-40-
billion_n_6270908.html

Guidero, R. (2014, June). Uber valued at $18.2 billion [PDF]. Retrieved from
http://thenetwork.berkeleylawblogs.org/files/2014/06/Uber-at-18.2-billion.pdf

Hara Associates Inc. (2014, March). Managing the taxi supply. Retrieved from
http://www.sfmta.com/sites/default/files/Draft%20ManagingTaxi%20Supply%2045%
20WEBversion04042043.pdf

Hunt, E. (2014, December 11). Uber's global expansion in five seconds. Forbes. Retrieved
from http://www.forbes.com/sites/ellenhuet/2014/12/11/ubers-global-expansion/

Kneese, T., & Rosenbalt, A. (2014, October 8). Understanding fair labor practices in a
networked age. Unpublished working paper.

Quirk, M. B. (2014, September 18). How do Uber and Lyft work and why should I even
care?. Retrieved December 19, 2014, from Consumerist website:
http://consumerist.com/2014/09/18/how-do-uber-and-lyft-work-and-why-should-i-
evencare/

Schaller, B. (2007). Entry controls in taxi regulation: Implications of US and Canadian


experience for taxi regulation and deregulation. Transport Policy, 14, 490-506.

Sorkin, A. R. (2014, June 9). Why Uber might well be worth $18 billion. New York Times.
Retrieved from http://dealbook.nytimes.com/2014/06/09/how-uber-pulls-in-billions-
allvia-iphone/?module=BlogPost-
Title&version=Blog%20Main&contentCollection=DealBook%20Column&action=Cl
ick&pgtype=Blogs&region=Body&_r=0

Townsend, A. M., DeMarie, S. M., & Hendrickson, A. R. (1998). Virtual teams: Technology
and the workplace of the future. The Academy of Management Executive, 12(3), 17-
29. Retrieved from JSTOR database.

Uber Technologies Inc. (2014, December 5). Portlanders want to ride [Blog post]. Retrieved
from Uber website: http://blog.uber.com/PDXneedsUber

Anda mungkin juga menyukai