Anda di halaman 1dari 17

PEMERIKSAAN GLUKOSA DAN PROTEIN DALAM URINE

A. Tujuan Praktikum

1. Melakukan pemeriksaan adanya kandungan glukosa dalam urine.


2. Melakukan pemeriksaan adanya kandungan protein dalam urine.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan :


1. Tabung reaksi
2. Gelas beker kecil
3. Pipet tetes
4. Pemanas bunsen
5. Penjepit kayu
6. Rak tabung reaksi

Bahan yang digunakan :


1. Urin naracoba
2. Reagen robert
3. Asam sulfosalisilat
4. Reagen Fehling A dan Fehling B
C. Langkah Kerja

Uji Glukosa

Memasukkan 2 mL urine ke dalam tabung reaksi kemudian menanbahkan 2 mL


reagenFehling

Memanaskan tabung reaksi dengan pemanas spiritus hingga mendidih

Mengamati apakah terbentuk endapan merah bata/ larutan berwarna merah kekuningan

Uji Protein
1. Uji Robert

Memasukkan 2 mL urine ke dalam tabung reaksi kemudian menambahkan 2 mL reagen


Robert dengan pipet melewati dinding tabung secara perlahan

Mengamati dengan menerawang apakah terbentuk cincin putih pada batas antara urine
dengan reagen Robert
2. Uji Sulfosalisilat

Memasukkan 3 mL urine ke dalam tabung reaksi

Meneteskan 3-5 tetes asam sulfosalisilat 20% ke dalam tabung reaksi yang berisi urine

Mengamati apakan terjadi kekeruhan pada larutan di dalam tabung reaksi

D. Tabel Pengamatan

No Nama Uji Glukosa Uji Protein


Uji Asam
Uji Robert
Sulfosalisilat
1 Lia - - -

2 Endri - - -

3 Diah - - -

4 Fazha + - -

5 Gilang - - -

6 Wahyu - - -

7 Ami - - -
E. Pembahasan

Praktikum kali ini bertujuan untuk melakukan pemeriksaan adanya kandungan protein
dan glukosa dalam urine. Alat yang digunakan yaitu tabung reaksi, reagen Robert, reagen
Fehling, pipet pasteur, asam sulfosalisilat, lampu spiritus, penjepit tabung reaksi, dan rak
tabung reaksi, sedangkan bahan yang digunakan yaitu urine praktikan, reagen Fehling, reagen
Robert, dan Asam Sulfosalisilat.

Tahap pertama adalah filtrasi. Tahap ini terjadi pada glomerulus ginjal. Sering juga disebut
filtrasi glomeruler. Filtrasi glomeruler adalah perpindahan cairan dan zat terlarut dari kapiler
glomeruler, dalam gradient tekanan tertentu kedalam kapsula Bowman (Sloane, 2003: 321).

Pada tahapan ini dilakukan penyaringan (filtrasi). Jadi hanya zat dengan berat molekul
tertentu saja yang dapat lewat. Permeabilitas filtrasi bergantung pada ukuran molekul. Zat
dengan berat molekul <7000 Da dapat lewat dengan bebas, tetapi molekul yang lebih besar
hingga berukuran 70.000-100.000 Da semakin terbatas, dan bila molekul lebih besar lagi maka
filtrasi menjadi tidak signifikan. Molekul bermuatan negative semakin terbatas karena ditolak
oleh muatan negative membran basal. Jadi, albumin (~69.000 Da), yang juga bermuatan
negatif, hanya terfiltrasi dalam jumlah yang sangat sedikit, sedangkan molekul kecil seperti ion,
glukosa, asam amino, dan ureum melewati filter tanpa hambatan. Hal ini berarti bahwa filtrat
(hasil filtrasi) glomerulus hampir tidakmengandung protein, tetapi sebaliknya, memiliki
komposisi yang identik dengan plasma (Ward, 2009: 65).

Tahap kedua adalah reabsorbsi atau sering juga disebut reabsorbsitubulus. Sebagian
besar filtrat (99%) secara selektif direabsorpsi dalam tubulus ginjal melalui difusi pasif gradient
kimia atau listrik, transport aktif terhadap gradient tersebut, atau difusi terfasilitasi. Sekitar 85
% natrium klorida dan air serta semua glukosa dan asam amino pada filtrat glomerulus
diabsorpsi dalam tubuluskontortusproksimal, walaupun reabsorpsi berlangsung pada semua
bagian nefron (Sloane, 2003: 323).

Sebagian besar glukosa, asam amino, fosfat, dan bikarbonat direabsorpsi di tubulus
proksimal, bersama dengan 60-70% Na+, K+, Ca2+, ureum, dan air (Ward, 2009: 67).
Sekresi subtansi ketubulus dilakukan secara transport aktif. Kelebihan asam atau basa
akan dikurangi dengan sekresi tubuler. Obat-obatan seperti penisilin disamping difiltrasi juga
disekresikan.

Zat-zat abnormal yang ditemukan dalam urine dan merupakan indikator adanya kelainan
fungsi ginjal yaitu :

a. Glukosa (diabetes mellitus).

b. Benda keton (ketosis).

c. Albumin (nephritis).

d. Sel darah merah (nephritis).

e. Urine pada kondisi tertentu juga mengandung senyawa-senyawa lain misalnya obat,
hormon dan lain-lain.

Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai terjadi di
tubuluskontortus distal. Komposisi urin yang dikeluarkan lewat ureter adalah 96% air, 1,5%
garam, 2,5% urea, dan sisa substansi lain, misalnya pigmen empedu yang berfungsi member
warna dan bau pada urin. Zat sisa metabolisme adalah hasil pembongkaran zat makanan yang
bermolekul kompleks. Zat sisa ini sudah tidak berguna lagi bagi tubuh. Sisa metabolisme antara
lain, CO2, H20, NHS, zat warna empedu, dan asam urat.

Hormon anti diuretik (ADH) yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis posterior akan
mempengaruhi penyerapan air pada bagian tubulus distal karma meningkatkan permeabilitias
sel terhadap air. Jika hormon ADH rendah maka penyerapan air berkurang sehingga urin
menjadi banyak dan encer. Sebaliknya, jika hormon ADH banyak, penyerapan air banyak
sehingga urin sedikit dan pekat. Kehilangan kemampuan mensekresi ADH menyebabkan
penyakit diabetes insipidus. Penderitanya akan menghasilkan urin yang sangat encer.

Selain ADH, banyak sedikitnya urin dipengaruhi pula oleh faktor-faktor berikut :
a. Jumlah air di minum
Akibat banyaknya air yang diminum, akan menurunkan konsentrasi protein
yang dapat menyebabkan tekanan koloid protein menurun sehingga tekanan filtrasi kurang
efektif. Hasilnya, urin yang diproduksi banyak.
b. Saraf
Rangsangan pada saraf ginjal akan menyebabkan penyempitan duktus aferen
sehingga aliran darah ke glomerulus berkurang. Akibatnya, filtrasi kurang efektif karena
tekanan darah menurun.
c. Banyak sedikitnya hormon insulin
Apabila hormon insulin kurang (penderita diabetes melitus), kadar gula dalam
darah akan dikeluarkan lewat tubulus distal. Kelebihan kadar gula dalam tubulus distal
mengganggu proses penyerapan air, sehingga orang akan sering mengeluarkan urin.

Protein adalah komponen dasar dan utama makanan yang diperlukan oleh semua
makhluk hidup sebagai bagian dari daging, jaringan kulit, otot, otak, sel darah merah, rambut,
dan organ tubuh lainnya yang dibangun dari protein (Sandjaja, 2010).

Protein mempunyai fungsi penting yaitu untuk pertumbuhan, memperbaiki sel tubuh
yang rusak, bahan pembentuk plasma kelenjar, hormone, dan enzim, cadangan energi jika
terjadi kekurangan, menjaga keseimbangan asam basa darah (Sandjaja, 2010).

Protein merupakan rangkaian asam-asam amino yang sekuennya ditentukan oleh kode
genetik.Beberapa asam amino yang menyusun tidak dapat disintesis dalam tubuh (asam amino
esensial) sehingga harus didapatkan dari makanan yang dikonsumsi.

Proteinuria yaitu urin manusia yang terdapat protein yang melebihi nilai normalnya
yaitu lebih dari 150 mg/24 jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m2. Dalam keadaan
normal, protein didalam urin sampai sejumlah tertentu masih dianggap fungsional.Sejumlah
protein ditemukan pada pemeriksaan urin rutin, baik tanpa gejala, ataupun dapat menjadi
gejala awal dan mungkin suatu bukti adanya penyakit ginjal yang serius.Walaupun penyakit
ginjal yang penting jarang tanpa adanya proteinuria, kebanyakan kasus proteinuria biasanya
bersifat sementara, tidak penting atau merupakan penyakit ginjal yang tidak progresif.Lagipula
protein dikeluarkan urin dalam jumlah yang bervariasi sedikit dan secara langsung bertanggung
jawab untuk metabolisme yang serius.Adanya protein di dalam urin sangatlah penting, dan
memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan adanya penyebab/penyakit dasarnya.

Adapun proteinuria yang ditemukan saat pemeriksaan penyaring rutin pada orang sehat
sekitar 3,5%.Jadi proteinuria tidak selalu merupakan manifestasi kelainan ginjal.

Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya diatas 200mg/hari.pada


beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda.Ada yang mengatakan proteinuria
persisten jika protein urin telah menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya biasanya
hanya sedikit diatas nilai normal.Dikatakan proteinuria massif bila terdapat protein di urin
melebihi 3500 mg/hari dan biasanya mayoritas terdiri atas albumin.Dalam keadaan normal,
walaupun terdapat sejumlah protein yang cukup besar atau beberapa gram protein plasma
yang melalui nefron setiap hari, hanya sedikit yang muncul didalam urin.

Ini disebabkan 2 faktor utama yang berperan yaitu:

1. Filtrasi glomerulus

2. Reabsorbsi protein tubulus

a) Patofisiologi Proteinuria

Proteinuria dapat meningkatkan melalui salah satu cara dari ke-4 jalan yaitu:

1. Perubahan permeabilitas glumerulus yang mengikuti peningkatan filtrasi dari protein


plasma normal terutama abumin.

2. Kegagalan tubulus mereabsorbsi sejumlah kecil protein yang normal difiltrasi.


3. Filtrasi glomerulus dari sirkulasi abnormal,Low Molecular Weight Protein (LMWP) dalam
jumlah melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus.

4. Sekresi yang meningkat dari mekuloprotein uroepitel dan sekresi IgA dalam respon untuk
inflamasi.

Sejumlah besar protein secara normal melewati kapiler glomerulus tetapi tidak
memasuki urin.Muatan dan selektivitas dinding glomerulus mencegah transportasi albumin,
globulin dan protein dengan berat molekul besar lainnya untuk menembus dinding glomerulus.
Protein yang lebih kecil (100 kDal) sementara foot processes dari epitel/podosit akan
memungkinkan lewatnya air dan zat terlarut kecil untuk transpor melalui saluran yang sempit.
Saluran ini ditutupi oleh anion glikoprotein yang kaya akan glutamat,aspartat, dan asam silat
yang bermuatan negatif pada pH fisiologis. Muatan negatif akan menghalangi transpor molekul
anion seperti albumin.

Mekanisme lain dari timbulnya proteinuria ketika produksi berlebihan dari proteinuria
abnormal yang melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus. Ini biasanya sering dijumpai pada
diskrasia sel plasma (mieloma multipel dan limfoma) yang dihubungkan dengan produksi
monoklonal imunoglobulin rantai pendek.Rantai pendek ini dihasilkan dari kelainan yang
disaring oleh glomerulus dan di reabsorbsi kapasitasnya pada tubulus proksimal. Bila ekskersi
protein urin total melebihi 3,5 gram sehari, sering dihubungkan dengan hipoalbuminemia,
hiperlipidemia dan edema (sindrom nefrotik).

b) Proteinuria Fisiologis

Proteinuria sebenarnya tidaklah selalu menunjukkan kelainan/penyakit ginjal.Beberapa


keadaan fisiologis pada individu sehat dapat menyebabkan proteinuria.Pada keadaan fisiologis
sering ditemukan proteinuria ringan yang jumlahnya kurang dari 200 mg/hari dan bersifat
sementara. Misalnya, pada keadaaan demam tinggi, gagal jantung, latihan fisik yang kuat
terutama lari maraton dapat mencapai lebih dari 1 gram/hari, pasien hematuria yang
ditemukan proteinuria masif, yang sebabnya bukan karena kebocoran protein dari glomerulus
tetapi karena banyaknya protein dari eritrosit yang pecah dalam urin akibat hematuri tersebut
(positif palsu proteinuria masif).

c) Proteinuria Patologis

Sebaliknya, tidak semua penyakit ginjal menunjukkan proteinuria, misalnya pada


penyakit ginjal polikistik, penyakit ginjla obstruksi, penyakit ginjal akibat obat-obatan analgestik
dan kelainan kongenital kista, sering tidak ditemukan proteinuria.Walaupun demikian
proteinuria adalah manifestasi besar penyakit ginjal dan merupakan indikator perburukan
fungsi ginjal.Baik pada penyakit ginjal diabetes maupun pada penyakit ginjal non diabetes.

3 macam proteinuria yang patologis: Proteinuria yang berat, sering kali disebut masif,
terutama pada keadaan nefrotik, yaitu protein didalam urin yang mengandung lebih dari 3
gram/24 jam pada dewasa atau 40 mg/m2/jam pada anak-anak, biasanya berhubungan secara
bermakna dengan lesi/kebocoran glomerulus. Sering pula dikatakan bila protein di dalam urin
melebihi 3,5 gram/24 jam.

Penyebab proteinuria masif sangat banyak, yang pasti keadaan diabetes melitus yang
cukup lama dengan retinopati dan penyakit glomerulus. Terdapat 3 jenis proteinuria patologis:

1. Proteinuria glomerulus, misalnya: mikroalbuminuria, proteinuria klinis.

2. Proteinuria tubular

3. Overflow proteinuria

d) Proteinuria Glomerulus

Bentuk proteinuria ini tampak pada hampir semua penyakit ginjal dimana albumin
adalah jenis protein yang paling dominan pada urin sedangkan sisanya protein dengan berat
molekul rendah ditemukan hanya sejumlah kecil saja.
Dua faktor utama yang menyebabkan filtrasi glomerulus protein plasma meningkat:

1. Ketika barier filtrasi diubah oleh penyakit yang dipengaruhi glomerulus, protein plasma,
terutama albumin, mengalami kebocoran pada filtrat glomerulus pada sejumlah kapasitas
tubulus yang berlebihan yang menyebabkan proteinuria. Pada penyakit glomerulus dikenal
penyakit perubahan minimal, albuminuria disebabkan kegagalan selularitas yang berubah.

2. Faktor-faktor hemodinamik menyebabkan proteinuria glomerulus oleh tekanan difus yang


meningkat tanpa perubahan apapun pada permeabilitas intrinsik dinding kapiler glomerulus.
Proteinuria ini terjadi akibat kebocoran glomerulus yang behubungan dengan kenaikan
permeabilitas membran basal glomerulus terhadap protein.

e) Proteinuria Klinis

Pemeriksaan ditentukan dengan pemeriksaan semi kuantitatif misalnya dengan uji


Esbach dan Biuret.Proteinuria klinis dapat ditemukan antara 1-5 g/hari.

f) Proteinuria Tubular

Jenis proteinuria ini mempunyai berat molekul yang rendah antara 100-150 mg/hari,
terdiri atas -2 mikroglobulin dengan berat molekul 14000 dalton. Penyakit yang biasanya
menimbulkan proteinuria tubular adalah: renal tubular acidosis (RTA), sarkoidosis, sindrom
Faankoni, pielonefritis kronik dan akibat cangkok ginjal.

g) Overflow Proteinuria

Diskrasia sel plasma (pada mieloma multipel) berhubungan dengan sejumlah besar
ekskresi rantai pendek/protein berat molekul rendah (kurang dari 4000 dalton) berupa Light
Chain Imunoglobulin, yang tidak dapat di deteksi dengan pemeriksaan dipstik/ yang umumnya
mendeteksi albumin/ pemeriksaan rutin biasa , tetapi harus pemeriksaan khusus. Protein jenis
ini disebut protein Bence Jonespenyakit lain yang dapat menimbulkan protein Bence Jones
adalah amiloidosis dan makroglobulinemia.

h) Proteinuria Isolasi

Sejumlah protein yang ditemukan dalam urin tanpa gejala pada pasien sehat yang tidak
mengalami gangguan fungsi ginjal atau penyakit sistemik.proteinuria ini hampir ditemukan
secara kebetulan dapat menetap/persisten, dapat pula hanya sementara, yang mungkin saja
timbul karena posisi lordotik tubuh pasien.

Pengujian pertama yang dilakukan adalah uji protein dalam urine. Untuk melakukan uji
protein pada urin dilakukan dua macam uji, yaitu uji Robert dan uji Sulfosalisilat.

Prinsip pemeriksaan protein dalam urine dengan menggunakan uji Robert adalah
kemampuan asam kuat untuk mepresipitasikan protein. Dalam uji ini digunakan reagen robert
yang terdiri atas HNO3 pekat dan MgSO4. Cara ujinya adalah dengan menambahkan 2 ml reagen
robert ke dalam 2 ml urin naracoba. Dalam menambahkan reagen robert ini harus secara hati-
hati dengan mengalirkannya melewati dinding tabung reaksi. Kemudian warna yang muncul
diamati. Jika terdapat cincin putih pada batas antara urin dan reagen robert, maka reaksi
positif. Artinya di dalam urin tersebut memang terdapat protein.

Selain uji Robert, untuk mengetahui ada tidaknya protein dalam urin juga dilakukan uji
Sulfosalisilat. Prinsip pemeriksaan protein dalam urine dengan menggunakan uji asam
sulfosalisilat adalah kemampuan asam kuat untuk mepresipitasikan protein yang terdapat
dalam urine. Cara melakukan uji ini hampir sama dengan uji Robert. Urin probandus
dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 3-5 tetes asam Sulfosalisilat. Jika
terjadi kekeruhan berarti dalam urin tersebut terdapat protein.

Pemeriksaan urine menggunakan reagen Robert untuk memeriksa kandungan


protein dalam urine. Reagen Robert memiliki kemampuan asam kuat untuk mempresipitasikan
protein. Reaksi positifnya membentuk cincin putih menunjukan adanya protein. Adanya
protein dalam urin sering disebut dengan proteinuria (albuminuria). Proteinuria yaitu adanya
albumin dan globulin dalam urin dengan konsentrasi abnormal. Proteinuria fisiologis terdapat
sekitar 0,5% protein, ini dapat terjadi setelah latihan berat, setelah makan banyak protein, atau
sebagai akibat gangguan sementara pada sirkulasi ginjal bila seseorang berdiri tegak.
Proteinuria patologis sering disebabkan oleh adanya kelainan dari organ ginjal karena sakit,
misalnya nefrosklerosis, yaitu suatu bentuk vaskuler penyakit ginjal. Proteinuria pada penyakit
ini meningkat dengan makin beratnya kerusakan ginjal. Proteinuria dapat juga terjadi karena
keracunan tubulus ginjal oleh logam-logam berat (raksa, arsen, bismut) (Soewolo, 2005).

Dari hasil pengujian dengan uji Robert ini didapatkan hasil bahwa semua urine praktikan
tidak terdapat cincin putih, hal tersebut menunjukkan hasil yang negatif yang berarti dalam urin
praktikan tidak terdapat kandungan protein dan pada uji Asam Sulfosalisilat didapatkan hasil
bahwa semua urine praktikan tidak terjadi kekeruhan, hal tersebut menunjukkan hasil yang
negatif yang berarti dalam urin praktikan tidak terdapat kandungan protein.

Pengujian yang dilakukan selanjutnya adalah uji glukosa dalam urine. Untuk mengetahui
ada tidaknya glukosa dalam urine dilakukan uji Fehling. Untuk uji Fehling yaitu memasukkan 2
mL urine ke dalam tabung reaksi kemudian menambahkan 2 mL reagen Fehling kemudian
memanaskan tabung reaksi dengan lampu spiritus hingga mendidih, selanjutnya mengamati
apakah terbentuk endapan merah bata/ larutan berwarna merah kekuningan.

Adapun pemeriksaan glukosa dalam urine dilakukan dengan menggunakan uji Fehling.
Prinsip uji Fehling adalah mereduksi glukosa terhadap kuprioksida (CuSO4) sehingga terbentuk
endapan berwarna merah bata (merah kekuningan). Untuk mendapatkan hasil yang baik
sebelum digunakan sebaiknya urine dan reagen disaring terlebih dahulu. Adapun cara membuat
reagen Fehling adalah sebagai berikut :

Fehling I : CuSO4- kristal dilarutkan dalam 1 liter aquadest


Fehling II : Garam signette 173 gram dan NaOH 50 gram dilarutkan dalam 1
liter aquadest
Reaksi positif terhadap uji ini adalah terjadi endapan berwarna merah bata atau warna
larutan berubah menjadi kuning kemerahan yang berarti bahwa di dalam urine terdapat
glukosa. Endapan ini adalah endapan Cu2O berdasarkan reaksi :

RCOH + 2Cu+ 2+ +5 OH- RCOOH + Cu2O + 3H2O

Adapun parameter warnanya, sebagai berikut :

Warna Hasil Uji Glukosa Hasil Reaksi Kadar Glukosa

Hijjau + 1%

Merah ++ 1, 5 %

Orange +++ 2%

Kuning ++++ 5%

Uji Fehling dapat digunakan untuk mengetahui adanya glukosa dalam urine. Sebagian
glukosa akan direabsorsbsi dan sebagian akan larut dalam urine. Dalam urine yang
mengandung glukosa dengan kadar yang cukup tinggi akan terbentuk endapan merah bata atau
warna larutan menjadi kuning kemerahan setelah dilakukan uji Fehling. Kadar glukosa yang
terlarut dalam urine tergantung pada kadar gula dalam darah.

Adanya glukosa dalam urine dapat mengindikasikan bahwa orang tersebut menderita
diabetes, tetapi tidak semua glukosuria (adanya gula dalam urin) menunjukkan diabetes.
Glukosuria dapat ditemukan pada seseorang yang mengalami strees emosi (misalnya
pertandingan atletik yang sangat menegangkan). Galaktosuria dan laktosutia dapat terjadi pada
ibu selama masa kehamilan, laktasi maupun menyapih. Pentosuria sementara terjadi setelah
makan makanan yang mengandung gula pentosa. Benda-benda keton dapat terjadi pada saat
kelaparan, diabetes, kehamilan, anestesia eter. Adanya bilirubin dan kandungan darah dapat
terjadi karena kerusakan ginjal (Evelyn, 1983).

Kadar glukosa darah (KGD) merupakan salah satu indikator parameter fungsi fisiologis
hewan maupun manusia yang jumlahnya pada kondisi normal berkisar antara 70 mg/dL. Pada
kondisi tertentu jumlah KGD mengalami peningkatan sehingga dalam urine ditemukan glukosa
karena telah melebihi nilai ambang (tresshold). Hal itu menunjukkan bahwa seseorang
mengalami gangguan pemeliharaan homeostasis kadar glukosa darah (Heru Nurcahyo dan Tri
Harjana, 2013: 56).

Pada orang normal tidak ditemukan adanya glukosa dalam urin. Glukosuria dapat terjadi
karena peningkatan kadar glukosa dalam darah yang melebihi kapasitas maksimum tubulus
untuk mereabsorpsi glukosa. Hal ini dapat ditemukan pada kondisi diabetes mellitus,
tirotoksikosis, sindroma Cushing, phaeochromocytoma, peningkatan tekanan intrakranial atau
karena ambang rangsang ginjal yang menurun seperti pada renal glukosuria, kehamilan dan
sindroma Fanconi.

Darah disaring oleh jutaan nefron, sebuah unit fungsional dalam ginjal. Hasil
penyaringan (filtrat) berisi produk-produk limbah (mis. urea), elektrolit (mis. natrium, kalium,
klorida), asam amino, dan glukosa. Filtrat kemudian dialirkan ke tubulus ginjal untuk
direabsorbsi dan diekskresikan; zat-zat yang diperlukan (termasuk glukosa) diserap kembali dan
zat-zat yang tidak diperlukan kembali diekskresikan ke dalam urin.

Kurang dari 0,1% glukosa yang disaring oleh glomerulus terdapat dalam urin (kurang
dari 130 mg/24 jam). Glukosuria (kelebihan gula dalam urin) terjadi karena nilai ambang ginjal
terlampaui (kadar glukosa darah melebihi 160-180 mg/dl atau 8,9-10 mmol/l), atau daya
reabsorbsi tubulus yang menurun.

Diabetes (diabetes mellitus) digolongkan sebagai gangguan metabolisme. Metabolisme


mengacu pada cara tubuh kita mengolah makanan yang digunakan untuk menghasilkan energi
dan pertumbuhan. Sebagian besar dari apa yang kita makan dipecah menjadi glukosa. Glukosa
adalah suatu bentuk gula dalam darah inilah yang menjadi sumber utama bahan bakar bagi
tubuh kita.

Ketika makanan kita dicerna glukosa mencari jalan masuk ke dalam aliran darah kita.
Sel-sel kita menggunakan glukosa sebagai bahan energi dan pertumbuhan. Namun, glukosa
tidak bisa masuk ke dalam sel tanpa adanya insulin. Jadi insulin memungkinkan sel-sel kita
untuk mengasup glukosa. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh pankreas. Setelah makan,
secara otomatis pankreas melepaskan sejumlah insulin untuk memindahkan glukosa dalam
darah ke dalam sel, dan menurunkan tingkat gula darah.

Seseorang yang menderita diabetes mengalami kondisi di mana jumlah glukosa dalam
darah terlalu tinggi (hiperglikemia). Hal ini terjadi karena tubuh tidak memproduksi insulin yang
cukup, atau bahkan tidak sanggup menghasilkan insulin lagi, atau sel-selnya tidak lagi merespon
dengan baik terhadap pankreas untuk memproduksi insulin. Dengan demikian jumlah glukosa
dalam darah menjadi tinggi. Glukosa darah yang berlebihan tersebut akhirnya dikeluarkan dari
tubuh bersama urin. Jadi, meskipun darah mengandung banyak glukosa, namun sel-sel tidak
mendapatkan asupan energi yang cukup untuk melakukan pertumbuhan.

Namun reduksi positif tidak selalu berarti pasien menderita Diabetes Melitus. Hal ini
dikarenakan pada penggunaan cara reduksi dapat terjadi hasil positif palsu pada urin yang
disebabkan karena adanya kandungan bahan reduktor selain glukosa. Bahan reduktor yang
dapat menimbulkan reaksi positif palsu tersebut antara lain : galaktosa, fruktosa, laktosa,
pentosa, formalin, glukuronat dan obat-obatan seperti streptomycin, salisilat, dan vitamin C.
Oleh karena itu perlu dilakukan uji lebih lanjut untuk memastikan jenis gula pereduksi yang
terkandung dalam sampel urine. Hal ini dikarenakan hanya kandungan glukosa yang
mengindikasikan keberadaan penyakit diabetes. Penggunaan cara enzimatik lebih sensitif
dibandingkan dengan cara reduksi. Cara enzimatik dapat mendeteksi kadar glukosa urin sampai
100 mg/dl, sedangkan pada cara reduksi hanya sampai 250 mg/dl. Nilai ambang ginjal untuk
glukosa dalam keadaan normal adalah 160-180 mg %.
Dari hasil pengujian dengan uji Fehling didapatkan salah satu dari tujuh praktikan urine
berubah warna menjadi kemerahan, hal tersebut menunjukan hasil positif yang berarti dalam
urine praktikan tersebut terdapat kandungan glukosa sekitar 1, 5%.

F. KESIMPULAN

Untuk mengetahui ada tidaknya protein dilakukan uji robert dan uji Sulfosalisilat.
Apabila dalam urin terdapat protein maka dapat dipastikan terjadi gangguan pada proses
pembentukan urin yaitu pada tahap filtrasi glomeruler. Kelainan ini disebut nephritis.
Untuk mengetahui ada tidaknya glukosa dalam urin dilakukan uji Fehling. Apabila
dalam urin terdapat glukosa maka dapat dipastikan terjadi gangguan pada proses
pembentukan urin yaitu pada taham reabsorbsi tubuler. Kelainan ini disebut diabetes
mellitus.

G. DAFTAR PUSTAKA

Nurcahyo, Herudan Tri Harjana. 2013. Petunjuk Praktikum Fisiologi Hewan. Yogyakarta:

Jurdik Biologi FMIPA UNY.

Pearce,Evelyn. 1983. Anatomi Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia.

Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: Penerbit EGC.

Soewolo, dkk. 2005. Fisiologi Manusia. Malang: Universitas Negeri Malang Press.

Ward, Jeremy, Robert Clarke, dan Roger Linden. 2009. At a Glance Fisiologi. Jakarta:

Erlangga.

Winarno, F.G.2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai