Anda di halaman 1dari 9

Tugas PR Referat Modul

Nama : Ridha Ramadina W

Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah analog sintesis dari hormon steroid alamiah yang diproduksi di
korteks adrenal. Komponen sintetik ini mengandung mineralokortikoid atau glukokortikoid.
Mineralokortikoid memengaruhi transfer ion pada sel-sel epitel tubulus ginjal dan secara
primer terlibat dalam regulasi keseimbangan elektrolit dan air. Pada sisi lain, glukokortikoid
juga berpengaruh dominan terhadap metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, dan sebagai
anti-inflamasi, imunosupresan, anti-proliferasi, dan vasokonstriksi.
Glukokortikoid sistemik diklasifikasikan menjadi aksi pendek, aksi intermediet dan
aksi panjang berdasarkan durasinya dalam menekan adrenocorticotropic hormone (ACTH).
Glukokortikoid juga dibedakan berdasarkan potensi relatif glukokortikoid terhadap
mineralokortikoid. Kortikosteroid memiliki aktivitas mineralokortikoid yang rendah seperti
hidrokortison, tetapi bisa menimbulkan efek mineralokortikoid jika digunakan dalam dosis
besar. Potensi relatif kortikosteroid dibedakan berdasarkan ikatannya dengan reseptor, namun
potensi yang dapat dilihat ditentukan oleh potensi biologis intrinsik maupun durasi aksinya.

Tabel Sediaan, dosis ekuivalen dan indikasi terapeutik kortikosteroid sistemik, dibandingkan
relatif terhadap hidorkortison.1

Dosis Aktivitas Aktivitas Durasi Indikasi Terapeutik


ekuivalen relatif relatif Aksi secara umum
* glukokor mineralo- (jam)
(mg) -tikoid kortikoid
Glukokortikoid
Aksi pendek
Hidrokortison 20 1 1 8-12 Aksi relatif mineralokor-
tikoid tinggi sehingga
dapat digunakan untuk
insufisiensi adrenal
Kortison 25 0,8 0,8 8-12 Sama dengan
hidrokortison
Aksi intermediet
Prednison 5 4 0,8 12-36 Aktivitas glukokortikoid
tinggi berguna sebagai
terapi jangka panjang, dan
sebagai anti-inflamasi dan
imunosupresan
Prednisolon 5 4 0,8 12-36 Sama dengan prednison
Metilprednisolon 4 5 Minimal 12-36 Anti-
inflamasi/imunosupresan
Triamsinolon 4 4 0 12-36 Anti-
inflamasi/imunosupresan
Aksi panjang
Deksametason 0,75 30 Minimal 36-72 Sebagai anti-
inflamasi/imunosupresan
digunakan bila retensi
cairan tidak diharapkan
karena aktivitas
mineralokortikoid
minimal
digunakan dalam jangka
waktu pendek pada
penyakit parah dan akut
karena potensinya yang
tinggi dan aksinya yang
panjang
Betametason 0,6 30 Dapat 36-72 Sama dengan
diabai- deksametason
kan
Mineralokortikoid
Fludrokortison ** 10-15 125-150 12-36 Digunakan untuk
pengganti aldosterone
Efek Samping Penggunaan Steroid dalam Jangka Waktu yang Lama
1. Suppression of The Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Axis (Withdrawal of Therapy)
Terjadi melalui mekanisme supresi dari hipotalamus-hipofisis-adrenal axis yang terjadi
secara cepat setelah pemberian terapi kortikosteroid. Bila terapi diberikan antara 1-3 minggu,
pemulihan dari HPA axis berlangsung cepat. Pemakaian kortikosteroid dalam jangka lama
akan berdampak pada supresi HPA axis yang dapat bertahan sampai 1 tahun setelah terapi
dihentikan. Gejala supresi adrenal antara lain letargi, lemah, mual, tidak nafsu makan, demam,
orthostatic hypotension, hipoglikemi dan penurunan berat badan.
Pemberian kortikosteroid jangka lama (>3 minggu) yang dihentikan secara mendadak
dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut (krisis adrenal). Insufisensi adrenal akut
sebaiknya dibedakan dari Addison disease, di mana pada Addison disease terjadi destruksi
adrenokorteks oleh bermacam penyebab (mis.autoimun, granulomatosa, keganasan dll).
Insufisiensi adrenal akut terjadi akibat penekanan sumbu hipothalamus-hipofisis-adrenal oleh
kortikosteroid eksogen, sehingga kelenjar adrenal kurang memproduksi kortikosteroid
endogen. Pada saat kortikosteroid eksogen dihentikan, terjadilah kekurangan kortikosteroid
(endogen). Dapat terjadi kehilangan ion Na+dan shock, terkait aktivitas mineralokortikoid
yang ikut berkurang. Gejala yang timbul antara lain penurunan nafsu makan, gangguan saluran
cerna, dehidrasi, rasa lemah, hipotensi, demam ,penurunan berat badan, deskuamasi kulit, sakit
kepala, dan yang lebih jarang mialgia dan arthralgia,. Hal ini diatasi dengan pemberian
hidrokortison, disertai asupan air, Na+, Cl-, dan glukosa secepatnya. Dapat juga dilakukan
dengan tappering off secara perlahan, biasanya dengan pemberian prednison 1 mg setiap
minggu. Untuk menghindari insufisiensi adrenal maka penghentian penggunaan kortikosteroid
harus secara perlahan /bertahap.
2. Perubahan Metabolik
Karena kortikosteroid (glukokortikoid) berperan dalam memetabolisme glukosa yaitu
melalui peningkatan glukoneogenesis dan aktivitas enzim glukosa-6-pospat, maka akan timbul
gejala berupa peninggian kadar glukosa dalam darah sehingga terjadi hiperglikemia dan
glikosuria. Dapat juga terjadi resistensi insulin dan gangguan toleransi glukosa, sehingga
menyebabkan diabetes steroid (steroid-induced diabetes).
3. Respon Imun
Kortikosteroid menyebabkan hipersensitifitas tipe lambat dikarenakan aktifitasnya
menghambat limfosit dan monosit. Kortikosteroid selain memiliki efek metabolik juga
memiliki efek antiinflamasi. Efek antiinflamasi ini terjadi melalui mekanisme penekanan
aktifitas fosfolipase sehingga mencegah pembentukan prostaglandin, prostasiklin, tromboksan
dan leukotrien. Penekanan sistem imun ini bermanfaat untuk menghentikan reaksi peradangan,
namun dapat memudahkan pasien terkena infeksi. Oleh karena itu pada pemberian
kortikosteroid sebagai antiinflamatik sebaiknya disertakan dengan pemberian
antibiotik/antifungal untuk mencegah infeksi.
4. Ulkus Peptikum
Tukak lambung merupakan komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengan
kortikosteroid. Sebab itu bila ada kecurigaan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
radiologi terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat diberikan. Pemberian dosis besar
sebaiknya dilakukan pada waktu lambung berisi, dan di antara waktu makan diberikan antasida
(bila perlu). Perforasi yang terjadi sewaktu terapi kortikosteroid dosis besar sangat berbahaya
karena dapat berlangsung dengan gejala klinis minimal.
Penggunaan steroid meningkatkan risiko terkena perdarahan gastrointestinal bagian
atas sebesar 1.8 kali dibandigkan yang tidak mengkonsumsi streroid. Risko ini juga akan
bertambah berat jika pemakaian streroid diikuti dengan pemakaian Non Steroid Anti
Inflammation (NSAID).
5. Miopati
Katabolisme protein akibat penggunaan kortikosteroid yang dapat menyebabkan berkurangnya
massa otot, sehingga menimbulkan kelemahan dan miopatik. Miopatik biasanya terjadi pada
otot proksimal lengan dan tungkai, bahu dan pelvis, dan pada pengobatan dengan dosis besar.
Miopatik merupakan komplikasi berat dan obat harus segera dihentikan.
Pada myopati yang paling berperan adalah menghambat uptake dari glukosa pada otot skeletal.
Kortikosteroid juga diduga berperan dalam pemecahan dari protein otot. Hal ini secara
langsung disebabkan oleh degredasi protein dan inhibisi sintesis sintesis protein .
6. Perubahan Tingkah Laku
Psikosis merupakan komplikasi berbahaya dan sering terjadi. Kemungkinan hal ini terjadi
karena adanya gangguan keseimbangan elektrolit dalam otak, sehingga mempengaruhi
kepekaan otak. Berbagai bentuk gangguan jiwa dapat muncul, antara lain: nervositas, insomnia,
psikopatik, skizofrenik, kecenderungan bunuh diri. Gangguan jiwa akibat penggunaan hormon
ini dapat hilang segera atau dalam beberapa bulan setelah obat dihentikan.

7. Glaukoma (steroid-induced glaucoma) dan Katarak


Patofisiologi glaukoma akibat kortikosteroid belum diketahui dengan baik. Diduga
terdapat defek berupa peningkatan akumulasi glikosaminoglikan atau peningkatan aktivitas
respons protein trabecular-meshwork inducible glucocorticoid (TIGR) sehingga menyebabkan
obstruksi cairan. Selain itu bukti lain mengisyaratkan terjadi perubahan sitoskeleton yang
menghambat pinositosis aqueous humor atau menghambat pembersihan glikosaminoglikans
dan menyebabkan akumulasi.
Kortikosteroid oral diduga meningkatkan resistensi aliran aquos humor yang berpotensi
meningkatkan tekanan intraokular, hal inilah yang mencetuskan terjadinya glaukoma. Disisi
lain, pengobatan Kortikosteroid juga berpotensi meningkatkan opasififikasi dari kristalin lensa
sehingga meningkatkan pembetukan katarak.

8. Osteoporosis
Osteoporosis terjadi pada 40% individu yang mendapatkan pengobatan kortikosteroid sistemik,
khususnya pada anak-anak, remaja, dan wanita post-menopouse. Sekitar 1 dari 3 pasien yang
mengkonsumsi kortikosteroid selama 5 sampai 10 tahun mengalami fraktur vertebrata dan
meningkat pada wanita post-menopouse. Bone-lose terjadi secara cepat pada 6 bulan
pertamapenggunaan kortikosteroid dan terus berlanjut dengan kecpatan yang lebih lambat,
dengan kehilangan sebesar 3-10% pertahun. Studi terbaru menunjukkan bahwa resiko untuk
fraktur meningkat sekalipun menggunakan dosis rendah prednison (2,5 mg/hari).
Kortikosteroid dapat menurunkan kadar Ca2+ dalam darah dengan cara menghambat
pembentukan osteoklast, namun dalam jangka waktu lama malah menghambat pembentukan
tulang (sintesis protein di osteoblast) dan meningkatkan resorpsi sehingga memicu terjadinya
osteoporosis. Selain itu juga menurunkan absorpsi Ca2+ dan PO43- dari intestinal dan
meningkatkan ekskresinya melalui ginjal, sehingga secara tidak langsung akan mengaktifkan
PTH yang menyebabkan resorpsi. Salah satu komplikasinya adalah fraktur vertebra akibat
osteoporosis dan kompresi.
9. Osteonekrosis.
Osteonekrosis atau Avaskular Nekrosis(AVN) adalah manifestasi dari nyeri serta keterbatasan
dari satu atau lebih sendi. Hal ini menyebabkan hipertensi interosseous yang mengakibatkan
iskemia tulang dan nekrosis. Pada pemakaian kortikosteroid terjadi hipertropi liposit pada
interosseous, sehingga terjadi hipertensi, selain itu kortikosteroid juga memicu apoptosis dari
osteoblast yang turut berperan sebagaia penyebab AVN.
Kortikosteroid bisa memepengaruhi metabolisme dari osteoblast, osteoclast, stromal
cell sumsum tulang dan sel adiposa. Hal ini terjadi melalui mekanisme pengaktifan dan
penghamabatan dari regulator yang berhubungan dengan adipognesis dan osteogenesis. Hal ini
mengakibatkan jumlah serta ukuran stem-cell adiposit akan meningkat drastis, sebaliknya akan
terjadi penurunan dari osteoblast sel-sel tulang, secara bersamaan aktivitas dari osteoclast juga
terjadi, semua hal ini menginduksi untuk terjadi osteonekrosis.
10. Regulation of Growth
Pada anak-anak penggunaan kortikosteroid dapat menyebabkan pertumbuhan
terhambat. Mekanisme terjadinya melalui stimulasi somatostatin, yang menghambat growth
hormone. Selain itu kortikosteroid menyebabkan kehilangan Ca2+ melalui ginjal, akibatnya
terjadi sekresi PTH yang meningkatkan aktivitas osteoklast meresorpsi tulang. Kortikosteroid
juga menghambat hormon-hormon gonad, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan proses
penulangan sehingga menghambat pertumbuhan.
11. Endokrin
Salah satu efek samping kortikosteroid adalah gangguan endokrin. Kortikosteroid
menyebabkan penurunan produksi insulin oleh sel beta dan resistensi insulin. Hal ini
mengakibatkan perubahan pada metabolisme glukosa pada tubuh. Kekurangan produksi insulin
serta resistensi mengakibatkan tingginya kadar glukosa dalam darah.
12. Kardiovaskular
Penggunaan Kortikosteroid jangka panjang dapat meyebabkan hipertensi dengan dua
mekanisme kerja. Pertama melalui jalur retensi sodium sehingga meningkatkan volume
plasma. Jalur kedua melaui respon vasopresor terhadap angitensin II dan katekolamin.
Penggunaan kortikosteroid berperan dalam berbagai faktor resiko yang berhubungan
dengan aterosklerosis diantaranya hipertensi arterial, resistensi insulin, intoleransi glukosa,
hiperlipidemia dan obesitas sentral. Oleh karena itu tidak mengherankan bila konsumsi
kortikosteroid meningkatkan resiko terjadinya aterosklerosis. Faktor resiko terjadinya
aterosklerosis bertahan sampai 5 tahun setelah tercapainya kadar serum cortisol normal pada
pasien dengan Cushing disease, dimana hal yang sama juga didapatkan pada pasien yang
diterapi dengan kortikosteroid.
13. Kulit
Penggunaan kortikosteroid topikal juga dapat menyebabkan beberapa efek samping
seperti, striae, telangiektasis, eritema, perioral dan peroocular acneform. Penggunaan
kortikosteroid topikal dapat menfasilitasi proliferasi dari dari Propionibacterium acnes, hal
inilah yang berperan dalam pembentukan timbulnya acnes Rosaea. Selain itu, supresi terhadap
sistem imun lokal kulit juga dapat memicu timbulnya pertumbuhan dari jamur.
Pengukuran Kadar Kortisol
Tenaga kesehatan harus mewaspadai risiko supresi adrenal pada pasien yang menerima
dosis glukokortikoid suprafisiologis. Risiko supresi adrenal rendah pada pasien yang mendapat
terapi glukokortikoid jika kurang dari 1 minggu. Jika pada kasus terapi glukokortikoid yang
lama, supresi adrenal dapat terjadi pada terapi dosis tinggi walaupun dalam durasi yang pendek.
Berdasarkan evidensi terbaru, para ahli merekomendasikan kepada tenaga kesehatan akan
risiko supresi adrenal pada pasien yang menerima dosis glukokortikoid suprafisiologis selama
lebih dari 2 minggu, pengobatan steroid oral selama lebih dari 3 minggu dalam 6 bulan terakhir
atau pada pasien yang memperlihatkan gejala-gejala supresi adrenal termasuk gagal tumbuh
pada anak.
Jika supresi adrenal dicurigai, tes aksis HPA secara biokimia harus dipertimbangkan
setelah terapi glukokortikoid diturunkan menjadi dosis fisiologisnya. Pengukuran kortisol awal
pagi harus dilakukan untuk inisiasi penjaringan pasien. Tes ini dilakukan pada pukul 8 pagi
atau kurang untuk menghindari bias penurunan kadar kortisol sepanjang hari dengan irama
sirkadian alami, baik sore maupun pagi maka dosis glukokortikoid harus disesuaikan dengan
hasil tes ini. Jika kadar kortisol pukul 8 pagi tersebut dibawah batas acuan nilai normal
laboratorium, supresi adrenal bisa saja terjadi dan glukokortikoid diberikan kembali jika tes
telah bernilai normal. Spesifisitas tes kortisol pada awal pagi mendekati 100% jika
menggunakan nilai titik potong yang rendah (<85-112 nmol/L). Namun sensitivitas tes ini
sangat rendah yaitu sebesar 60%. Oleh karena itu nilai kortisol normal tidak menyingkirkan
adanya supresi adrenal. Jika pasien memiliki tanda dan gejala supresi adrenal, pemeriksaan
lebih lanjut harus dilakukan dan konsultasi kepada ahli endokrinologi juga dipertimbangkan.
Tabel Rekomendasi penjaringan supresi adrenal.
Kapan perlu dijaring?
Pasien yang mendapatkan kortikosteroid sistemik selama:
> 2 minggu berturut-turut atau > 3 minggu secara kumulatif dalam minimal 6 bulan
terakhir
Pasien yang mengeluhkan gejala supresi adrenal menetap:
- Lemah/fatig, malaise, nausea,vomitus, diare, nyeri abdominal, sakit kepala (biasanya
pada pagi hari), peninggkatan berat badan sedikit dan/atau pertumbuhan anak yang
kurang, myalgia, arthralgia, gejala psikiatrik, hipotensi*, hipoglikemia*
Bagaimana cara menjaring?
Ukur kortisol awal pagi
- Dosis glukokortikoid ditapering hingga dosis fisiologis
- tanpa glukokortikoid oral pada malam hari dan pagi hari
- harus selesai saat pukul 8 pagi atau lebih pagi lagi
- tidak perlu dipuasakan
jika kortisol pagi normal, tetapi pasien mengeluhkan gejala supresi adrenal,
lakukan tes stimuli ACTH dosis rendah untuk mengkonfirmasi diagnosis:
- kosintropin 1 g; kadar kolesterol diambil pada 0, 15-20 dan 30menit **
- kortisol puncak < 500nmol/L = supresi adrenal (puncak normal > 500 nmol/L)
Kapan perlu diperhatikan?
kortisol awal pagi < 85 nmol/L = supresi adrenal terdiagnosis
kortisol awal pagi < nilai normal laboratorium = kemungkinan supresi adrenal;
pertimbangkan merujuk ke bagian endokrinologi untuk mengkonfirmasi diagnosis
*Gejala krisis adrenal memerlukan manajemen kegawatdaruratan

Terapi harus digantikan menjadi hidrokortison pada pasien ini. Jika pasien menerima terapi
glukokortikoid dengan waktu paruh yang panjang (seperti deksametason), kemudian kortisol
pagi akan tetap tertekan karena efek obat dalam 24 jam setelah dosis tersebut
**idealnya, pemberian glukokortikoid disesuaikan dengan hasil tes ini untuk mencegah
terjadinya supresi HPA atau peningkatan palsu kadar kortisol pada kasus glukokortikoid yang
terdeteksi saat pengukuran kortisol. Pada pasien yang diperkirakan akan berisiko tinggi krisis
adrenal tanpa terapi glukokortikoid, deksametason dapat digunakan. Deksametason
berhubungan dengan supresi tersebut pada kadar dasar kortisol, tetapi kadar kortisol dari
stimuli ACTH akan merefleksikan produksi eksogen karena biasanya deksametason tidak
bereaksi silang terhadap pengukuran kortisol.

Terapi estrogen eksogen meningkatkan kortisol serum; oleh karena itu, kadar kortisol tidak
bisa dipercaya/layak jika adanya penggunaan estrogen

Para klinisi harus cermat dalam terapi estrogen eksogen, dimana terapi ini bisa
memengaruhi kadar globulin pengikat kortisol, sehingga meningkatkan kortisol serum. Oleh
karena itu diagnosis supresi adrenal tidak dapat diterapkan jika adanya penggunaan estrogen.
Tes toleransi insulin (TTI) merupakan tes definitif untuk mengevaluasi aksis HPA, tetapi
penerapan tes ini sulit dilakukan dan berisiko bagi pasien karena pemberian insulin dapat
menyebabkan hipoglikemia. TTI dikontraindikasikan pada anak karena berisiko hipoglikemia
pada otak anak. Pada hasil kortisol pagi normal dan adanya gejala supresi adrenal, tes stimulasi
ACTH pada dosis rendah harus dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis karena tes ini
sensitif dan spesifik untuk supresi adrenal. Cara tes stimuli ACTH dosis rendah ini yaitu
pemberian cosyntropin 1 g secara IV lalu diukur dan stimuli kadar kortisol serum untuk
mengetahui fungsi aksis HPA. Kada kortisol puncak terjadi 20-30 menit setelah injeksi
cosyntropin, dan pengukuran kortisol disarankan pada 15-20 menit dan 30 menit. Banyak
protokol juga menyarankan pengukuran kortisol pada 60 menit. Kortisol puncak <500 nmol/L
didiagnosis sebagai supresi adrenal, dengan sensitivitas dan spesifisitas kira-kira 90%.
Daftar Pustaka
1. Liu D, Ahmed A, Ward L, Ward L., et.al. A practical guide to the monitoring and management
of the complications of systemic corticosteroid therapy. Allergy, Asthma & Clinical
Immunology 2013; 9:30.
2. Gupta P, Bhatia V. Corticosteroid Physiology and Principles of Therapy. Indian Journal of
Pediatrics 2008; 75.
3. Chrousos GP. Adrenocorticosteroids & Adrenocortical Antagonists. In: Bertram G Katzung
(ed) Basic & Clinical Pharmacology. 12th ed. San Francisco: McGraw-Hill Education; 2012.
pp 703-9.
4. Sterry W. Systemic Therapy. In: Dermatology. Germany: Thieme Clinical Companions; 2006.
624-5.
5. Werth, V.P. 2008. Systemic Therapy In: Wolff, K., Goldsmith, L., Kath, S.I., Gilchrest, B.A.,
Paller, A.S., Jeffell, D.J., Editors. Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. 7th Ed. New
York: The McGraw-Hill Companies Inc.; p.2147-2153
6. Aulakh, R., Surjit, S. 2008. Strategies For Minimizing Corticosteroid Toxicity: A Review.
Indian J Pediatr; 75(10): p.1067-107 Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19023531 (Accessed: January 7th, 2013)
7. Schimer, B.P. 2006. Adrenocorticotropic Hormone ; Adrenal Steroid And Their Syntetic. In:
Brunton, L.L., John, S.L., Keith, L.P., Editors. Goodman and Gilman's The Pharmacological
Basis Of Therapeutic. 11th Ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc.
8. Magnotti M, Shimshi M. Diagnosing adrenal insufficiency: which test is the best 1-microg or
the 250-microg cosyntropin stimulation test?. Endocr Pract 2008 Mar; 14(2): 233-8.

Anda mungkin juga menyukai