Konseling Perkawinan Makalah
Konseling Perkawinan Makalah
BAB I : PENDAHULUAN 2
BAB II : PEMBAHASAN . 4
2.1 Pengertian . 4
3.1 Kesimpulan . 13
DAFTAR PUSTAKA 14
1
BAB I
PENDAHULUAN
Konseling perkawinan ini di Amerika diawali dengan usaha bantuan oleh agen-agan
social yang menangani keluarga dari masyarakat dari kelas-kelas social ekonomi rendah,
yang biasanya tidak melibatkan tenaga professional yang membuka praktik pribadi. Karena
kebutuhan untuk pengembangan aktivitasnya, tenaga agen social itu dilatih dan pada akhirnya
dapat bekerja secara lebih professional.
Saat ini konseling perkawinan dilakukan di berbagai institusi, diberikan oleh tenaga
professional dengan berbagai latar belakang pendidikan, diantaranya dokter spesialis
kebidanan, psikiater, pekerja social, dan psikolog. Karena permintaan pasien/kliennya untuk
mengetahui lebih banyak mengenai masalah yang dihadapi, tenaga-tenanga professional ini
memberikan konsultasi sesuai dengan latar belakang profesinya.
Karena itu, praktik konseling perkawinan yang diberikan oleh professional satu
berbeda penekanannya dibandingkan dengan professional yang lainnya. Dokter kebidanan
lebih banyak memberikan konseling tentang persoalan-persoalan reproduksi sehat dan
kontrasepsi, psikiater dan psikolog lebih banyak memberikan konseling individual dengan
permasalahan perkawinan dan hal-hal yang harus dilakukan dalam kaitannya hubungan
perkawinannya, dan beberapa profesi member penekanan tersendiri.
2
1.2 Rumusan Masalah
a. Apakah tujuan dari konseling perkawinan?
b. Apa saja tipe-tipe dari konseling perkawinan?
c. Bagaimana langkah-langkah konseling perkawinan?
1.3 Tujuan Masalah
a. Untuk mengetahui bagaimana cara mempertahankan suatu keluarga
b. Untuk mengetahui tipe-tipe dari konseling perkawinan
c. Untuk mengetahui langkah-langkah konseling perkawinan
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Perkawinan adalah suatu ikatan antara pria dan wanita sebagai suami isteri berdasarkan
hukum (UU), hukum agama atau adat istiadat yang berlaku (Dadang Hawari, 2006: 58).
Sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974) yang
dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam perkawinan terdapat ikatan lahir
batin, yang berarti bahwa dalam perkawinan itu perlu adanya ikatan tersebut pada keduanya.
Ikatan lahir adalah merupakan ikatan yang menampak, ikatan formal sesuai dengan
peraturan-peraturan yang ada. Ikatan formal ini adalah nyata, baik yang mengikat dirinya
yaitu suami dan isteri, maupun bagi orang lain yaitu masyarakat luas. Ikatan batin adalah
ikatan yang tidak nampak secara langsung, tetapi merupakan ikatan psikologik. Antara suami
dan isteri harus ada ikatan ini, harus saling mencintai satu sama lain, tidak adanya paksaan
dalam perkawinan. Bila perkawinan dengan paksaan, tidak adanya cinta kasih satu dengan
4
yang lain, maka berarti bahwa dalam perkawinan tersebut tidak ada ikatan batin (Bimo
Walgito, 1984:10). Pengertian perkawinan dapat disejajarkan dengan pengertian pernikahan.
Dalam hal nikah, Sikun Pribadi (1981:33) mengemukakan bahwa nikah ialah ikatan janji
cinta antara dua jenis kelamin, yang bertemu dalam hatinya. Dalam pengertian cinta, ada dua
unsur yaitu saling menyayangi dan tarik-menarik karena birahi. Di dalam gejala birahi
terdapat unsur seks, yang selalu ada pada setiap manusia yang normal. Seks ialah energi
psikis, yang mewujudkan diri dalam berbagai bentuk, terutama dalam bentuk hubungan antar
manusia sebagai pria dan wanita.
Bimbingan Konseling Perkawinan merupakan salah satu layanan konseling yang semakin
memiliki urgensi penting seiring dengan komplesitas masalah manusia. Urgensi Bimbingan
Konseling Perkawinan paling tidak dapat dilihat dari beberapa aspek berikut :
1. Masalah perbedaan individu
Perkawinan merupakan pentauan dua individu laki-laki dan perempuan, dimana
secara kodrak dua mahluk ini memanng memiliki perbedaan menetap. Disisi lain sesuai
dengan perkambangan budaya masyarakat baik laki-laki dan perempuan memiliki peran yang
berbeda yang membutuhkan penyesuaian diri setelah mereka terikat dengan perkawinan.
Masing masing individu yang unik tersebut memilki perbedaan yang tidak selamanya bisa
disatukan sehingga manakala hal ini terjadi masalah dalm rumah tangga kerap terjadi.
Manakala poblem intern tidak bisa diselesaikan bersama, disinilah mereka pasangan suami
isteri membutuhkan sebuah layanan bimbingan Konseling perkawinan sebagai salah satu
upaya mencari solusi dari masalah yang sedang dihadapi.
2. Masalah kebutuhan
Perkawinan pada dasarnya merupakan manifestasi dari pemenuhan kebutuhan
manusia yang beragam, baik kebutuhan biologis, psikologis, sosial bahkan agama.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut seyogyanya bisa terus dipenuhi dan dilengkapi sebagai bagian
dari tugas institusi keluarga. Namun sayangnya, tidak semua keluarga mampu menjalankan
peran ideal tersebut. Tidak terpenuhinya sebuah kebutuhan didalamnya dapat menjadi faktor
5
pemicu konflik antara suami isteri, orang tua anak dan dengan keluarga besar. Bimbingan
konseling perkawinan menawarkan sebuah layanan bukan hanya konseling pranikah tetapi
konseling keluarga yang diupayakan dapat membantu mencari solusi terbaik antara suami
isteri atau anggota keluarga yang berselisih.
3. Masalah perkembangan individu
Perkawinan merupakan sebuah proses hidup yang dijalani mansuia dan menuntut adanya
kedewasaan dan kesiapan diri dari pihak suami maupun isteri. Perkembangan individu baik
laki-laki dan perempuan memiliki irama yang berbeda antar satu dengan lainnya. kendati
secara umum setiap wanita dan laki-laki dewasa memiliki tugas perkembangan untuk
menikah dan membentuk keluarga. Dalam keluarga teradapat sederetan konsekuensi-
konsekuensi yang mengakibatkan setiap individu harus terus mengembangkan diri memenuhi
tugasnya masing-masing. Namun, terkadang perkembangan individu secara emosional
seringkali mengalami hambatan terlebih lagi bila pada awal pernikah telah terjadi
kesenjangan umur yang begitu jauh, sehingga otomatis akan menimbulakan masalah-masalah
yang serius dan perlu segera diselesaikan agar tidak berkelanjutan dan berujung pada
perceraian. Pada situasi ini., pasangan suami isteri bisa memanfaatkan layanan bimbingan
dan konseling perkawinan agar penikahan yang dijalani bisa terus awet kendati berbagai
masalah muncul dan tak bisa dihindari.
4. Masalah latar belakang sosio-kultural
Pernikahan merupakan ikatan antara laki-laki dan perempuan yang di syahkan atas nama
agama dan hukum negara yang berlaku. Pernikahan merupakan proses hidup bersama antara
dua individu dengan berbagai latar belakang yang berbeda terutama perbedaan sosio kultural.
Perbedaan ini menuntut masing-masing pihak harus mamapu menyesuaikan diri untuk
memahami dan bahkan mengikuti perbedaan tersebut karena mau tidak mau hal ini
merupakan konsekuensi dari perkawinan yang dijalani apalagi jika pasangan berasal dari latar
belakang sosio kultural yang benar-benar berbeda. Tidak semua orang mampu melakukan
penyesuaian diri dengan baik terhadap perbedaan yang terjadi diluar dari budaya yang biasa
mereka jalani, salah-salah jika tidak memiliki kemampuan penyesuaian diri yang tepat justru
dapat menimbulkan konflik intern seperti stres, tertekan, tidak bahagia. Akibat lebih lanjut
adalah konfliek ekstern dengan pasanagn atau keluaraga pasangan, dan tak jarang karena
ketidakmampuan menjalani kondisi seperti ini mereka memilih bercerai. Layanan bimbingan
konseling perkawinan dapat menjadi jemabatan yang mengantar pasangan suami isteri untuk
dapat meingkatkan pemahaman terhadap masing-masing pasangan, konselor dapat menjadi
6
perantara mempertemukan perbedaan yang atau paling tidak membantu membangun
paradigama yang lebih positif dari perbedaan yang mereka alami.
Para ahli biasanya membedakan konseling keluarga dan konseling perkawinan. Usaha
perbedaan ini dilakukan untuk memberikan penekanan pada masing-masing jenis
berhubungan dengan orang-orang yang terlibat dalam proses konseling.
Secara umum konseling keluarga itu dibatasi sebagai konseling yang berhubungan
dengan masalah-masalah keluarga, misalnya hubungan peran di keluarga, masalah
komunikasi, tekanan dan peraturan keluarga, dan ketegangan orangtua-anak. Sementara
konseling perkawinan lebih menekankan pada masalah-masalah pasangan (suami-istri).
Membedakan secara sangat ketat antara konseling keluarga dan konseling perkawinan
akan mengalami kesulitan, karena di dalam praktiknya, di Amerika, konseling keluarga itu
tidak saja diterpkan dalam batas-batas pengertian konvensional yang terdiri dari suami, istri
dan anak, tetapi segala macam bentuk keluarga termasuk pasangan gay. Demikian juga
dengan konseling perkawinan, tidak saja mencakup konseling untuk pasangan suami-istri
sebagaimana pada keluarga konvensional tetapi juga mencakup pasangan gay (gay couples)
dan pasangan dua orang, pria dan wanita, yang membangun kehidupan bersama secara tidak
legal (cohabitating couples).
Sekali pun konseling keluarga dan konseling perkawinan memiliki penekanan tersendiri,
menurut Patterson (1980) kedua macam konseling tersebut memiliki prosedur yang sama.
Konseling perkawinan pada dasarnya adalah sebuah prosedur konseling keluarga yang
dikembangkan dari adanya konflik hubungan perkawinan dan menekankan pada hubungan
perkawinan tanpa mengabaikan nilai konseling individual.
Konseling keluarga dilakukan jika masalah yang dialami oleh anggota keluarga secara
jelas tidak dapat dipecahkan tanpa adanya keterlibatan bersama-sama anggota keluarga yang
bersangkutan. Termasuk dalam masalah keluarga itu adalah konflik perkawinan, persaingan
sesaudara, dan konflik antar generasi khususnya orangtua-anak.
7
2.4 Permasalahan Perkawinan
Beberapa masalah pasangan yang seringkali menjadi masalah dalam suatu perkawinan,
dan tentunya menjadi perhatian konselor. Menurut Klemer (1995) ada 3 masalah yang
mungkin dihadapi dalam konseling perkawinan.
a) Adanya harapan perkawinan yang tidak realistis. Pada saat merencanakan pernikahan
pasangan tentunya memiliki harapan-harapan tertentu sehingga menetapkan untuk
menikah. Harapan yang berlebihan terhadap rencana pernikahan dan tidak dapat
diwujudkan secara nyata selama kehidupan keluarga, dapat menimbulkan masalah, yaitu
kekecewaan pada salah satu atau keduanya.
b) Kurang pengertian antara satu dengan yang lainnya. Pasangan suami istri seharusnya
memahami pasangannya masing-masing, tentang kesulitannya, hambatan-hambatannya,
dan hal lain yang terkait dengan hal pribadi pasangannya. Jika salah satu atau keduanya
tidak saling memahami dapat mengalami kesulitan dalam hubungan perkawinan.
Pemahaman tidak sekedar dalam aspek pengetahuan, tetapi juga dapat ditunjukkan
dengan afeksi dan tindakan nyata.
c) Kehilangan ketetapan untuk membangun keluarga secara langgeng. Sebagian orang
memandang bahwa keluarga yang dibangunnya tidak dapat lagi dipertahankan. Sekalipun
sudah cukup waktu membangun keluarga, mempertahankan keluarga bagi suatu pasangan
adalah sangat sulit. Mereka ini melihat mempertahankannya tidak membawa kepuasan
sebagaimana yang diharapkan (satisfaction) bagi dirinya.
Hal-hal lain yang juga sering menjadi problem adalah kurangnya kesetiaan salah satu
atau kedua belah pihak, memiliki hubungan ekstramarital pada salah satu atau kedua
belah pihak, dan perpisahan di antara pasangan. Problem problem perkawinan ini dapat
dipecahkan melalui konseling asalkan kedua belah pihak (pasangan) berkeinginan untuk
menyelesaikannya. Tetapi jika tidak ada motivasi untuk menyelesaikan persoalan
hubungan perkawinannya maka tidak mungkin dapat diatasi melalui konseling.
8
klien-kliennya untuk mengaktualkan dari yang menjadi perhatian pribadi, apakah dengan
jalan bercerai atau tidak.
1. Meningkatkan kesadaran terhadap dirinya dan dapat saling empati di antara partner.
2. Meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan potensinya masing-masing.
3. Meningkatkan saling membuka diri.
4. Meningkatkan hubungan yang lebih intim.
5. Mengembangkan ketrampilan komunikasi, pemecahan masalah, dan mengelola
konfliknya.
2.6 Asumsi-asumsi Konseling Perkawinan
9
2.7 Tipe-tipe Konseling Perkawinan
Untuk memahami lebih lanjut tentang penyelenggaraan konseling perkawinan, para ahli
membedakan ada empat tipe konseling perkawinan, yaitu concurrent, collaborative, conjoint,
dan couples group counseling (Capuzzi dan Gross, 1991)
Dalam konseling perkawinan, terdapat beberapa peran yang harus dilakukan konselor
agar konseling dapat berlangsung secara efektif, yaitu.
10
a) Menciptakan hubungan (rapport) dengan klien,
b) Memberi kesempatan kepada klien untuk melakukan ventilasi, yaitu membuka perasaan-
perasaannya secara leluasa dihadapan pasangannya,
c) Memberikan dorongan dan menunjukkan penerimaannya kepada kliennya,
d) Melakukan diagnosis terhadap kesulitan-kesulitan klien, dan
e) Membantu klien untuk menguji kekuatan-kekuatannya, dan mencari kemungkinan
alternative dalam menentukan tindakannya.
2.9 Langkah-langkah Konseling
Langkah konseling yang dapat dilakukan dalam konseling keluarga dan perkawinan
menurut Capuzzi dan Gross (1991)adalah sebagai berikut.
11
3.0 Kesulitan dan Keuntungan Konseling Perkawinan
Hal lain yang sering menjadi kesulitan dalam konseling keluarga adalah konselor
membutuhkan kemampuan khusus untuk menangani pasangan. Dibandingkan dengan
konseling individual, konseling perkawinan membutuhkan kemampuan dalam member
perhatian, mengatur pembicaraan, kemampuan konfrontasi, dan ketrampilan konseling lain.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bimbingan Konseling Perkawinan merupakan salah satu layanan konseling yang
semakin memiliki urgensi penting seiring dengan komplesitas masalah manusia.
Urgensi Bimbingan Konseling Perkawinan paling tidak dapat dilihat dari beberapa
aspek berikut :
a) Masalah perbedaan individu
b) Masalah kebutuhan
c) Masalah perkembangan individu
d) Masalah latar belakang sosio-kultural
Secara umum konseling keluarga itu dibatasi sebagai konseling yang berhubungan
dengan masalah-masalah keluarga, misalnya hubungan peran di keluarga, masalah
komunikasi, tekanan dan peraturan keluarga, dan ketegangan orangtua-anak.
Sementara konseling perkawinan lebih menekankan pada masalah-masalah pasangan
(suami-istri).
13
DAFTAR PUSTAKA
Corey, G. (2005). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: Refika.
14