Anda di halaman 1dari 5

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PENANGANAN

KEJANG DEMAM PADA BALITA TERHADAP SELF EFFICACY IBU

PROPOSAL PENELITIAN

Proposal ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


Gelar Sarjana Keperawatan

DISUSUN OLEH :

MIFTAHUL JANNAH
NIM : 13010014

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PEKANBARU MEDICAL CENTER
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demam adalah peningkatan suhu tubuh diatas rentang normal yang tidak
teratur dan disebabkan ketidakseimbangan antara produksi dan pembatas panas (
Sodikin, 2012 ). Kejang demam merupakan gangguan transier pada anak-anak yang
terjadi bersamaan dengan demam. Keadaan ini merupakan salah satu gangguan
neurologik yang paling sering di jumpai pada anak-anak. Bila kejang demam tidak
ditangani akan terjadi kerusakan sel-sel otak akibat kekurangan oksigen dalam otak,
pengeluaran sekret lebih dan resiko kegawatdaruratan untuk aspirasi jalan napas yang
menyebabkan tersumbatnya jalan napas. Jika tidak ditangani dengan baik maka
beresiko kematian ( Lumbantobing, 2003 ). Kejang demam berdampak serius seperti
deficit neurologic, epilepsy, retradasi mental, atau perubahan perilaku ( Wong, 2009 ).
Kejang demam sangat berhubungan dengan usia, hampir tidak pernah
ditemukan sebelum usia 6 bulan dan setelah 6 tahun ( Hull, 2008 ). Faktor keturunan
adalah salah satu faktor yang terbesar terjadinya kejang demam pada anak ( Wardani,
2012 ). Kejang demam berulang terjadi pada 50% anak yang menderita kejang
demam pada usia kurang dari satu tahun dan dapat berkembang menjadi epilepsy (
Berman, 2009 ). Risiko epilepsi dapat terjadi setelah satu atau lebih kejang jenis
apapun adalah 2% dan menjadi 4% bila kejang berkepanjangan ( Hull, 2008 ).
Angka kejadian demam di Amerika Serikat dan di Eropa Barat pada tahun
2007 berkisar antara 8%-49% ( Brough, 2008 ). Angka kejadian di Asia pada tahun
2007 dari seluruh kejang ditemukan 20% anak mengalami kejang demam kompleks (
Wardani, 2013 ). Balita di Indonesia 16% diantaranya mengalami gangguan saraf dan
otak seperti kejang-kejang, gangguan pendengaran, kepala membesar dan lain-lain. (
Depkes RI, 2006 ). Anak laki-laki lebih sering menderita kejang demam dengan
insiden sekitar dua kali lipat dibandingkan anak perempuan. Sekitar 30% sampai 40%
anak-anak satu kali kekambuhan ( Wong, 2009 ). Kejadian kejang demam di
Indonesia dilaporkan mencapai 2-4% ditahun 2009-2010.
Peran ibu dalam mengatasi kejang demam pada anak sangat ditentukan oleh
self efficacy ibu. ( Bandura, 1997 ) self efficacy merupakan kepercayaan seseorang
yang mengenai kemampuannya untuk mengatur dan memutuskan tindakan tertentu
yang mengenai kemampuannya untuk mengatur dan memutuskan tindakan tertentu
yang dibutuhkan untuk memperoleh hasil tertentu. Secara umum self efficacy adalah
penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri atau tingkat keyakinan mengenai
seberapa besar kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas tertentu ( Gaskill,
2004 ).
Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa 80% orang tua mempunyai
fobia demam. Demam pada anak akan membuat orang tua bingung karena anak
cenderung rewel dan tidak bisa tidur ( Karnia, 2007 ). Hasil penelitian lain
menunjukkan 57% orang tua takut saat anaknya mengalami demam dan beranggapan
anak akan mengalami kejang demam ( Tarigan, Chairul & Syamsidah, 2007 ). Kejang
demam merupakan keadaan yang sifatnya berbahaya dan dapat mengakibatkan anak
akan meninggal dunia pada saat mengalami kejang demam. Pendidikan kesehatan
mengenai cara melindungi anak terhadap ancaman bahaya dan mengamati dengan
tepat apa yang terjadi pada anak selama kejang demam perlu dilakukan agar orang tua
tidak panic dan kebingungan ( Wong, 2009 ).
Orang yang memiliki self efficacy rendah selalu menganggap dirinya kurang
mampu menangani situasi apapun sedangkan yang mempunyai self efficacy tinggi
cenderung menunjukkan usaha yang lebih keras dari pada orang dengan self efficacy
rendah dalam penanganan kejang demam secara baik ( Baron & Byrne, 2003 ).
Pentingnya pendidikan kesehatan untuk meningkatkan self efficacy pada ibu
bahwa self efficacy seseorang ditentukan oleh kerja keras dan ketekunan dalam
menghadapi situasi tertentu disamping itu juga self efficacy juga mempengaruhi
sejumlah stree dan pengalaman kecemasan individu seperti ketika mereka
menyibukkan diri dalam satu aktifitas ( Pajaren, 2009 ).
DAFTAR PUSTAKA

Bandura, A. Self-efficacy: The exercise of control. New York. W.H.Freeman,1997

Baron & Byrne,.(2003). Psikologi Sosial. Jilid 1 Edisi Kesepuluh. Jakarta: Erlangga

Brough. H. (2008). Rujukan cepat pediatric & Kesehatan anak. EGC. Jakarta

Depkes. (2006), 16 persen balita di Indonesia alami gangguan perkembangan saraf,


http://www.depkes.go.id/index.php: diakses 11 November 2013

Gaskill, P.J. dan Murphy, P.K. Effects on a memory strategy onsecond graders
performance and self-efficacy dalam Contemporary Educational Psychology, No.
29, 1, 2004.

Hull, D & Joohnston DI. (2008). Dasar dasar pediatric. Edisi 3, EGC. Jakarta

Karnia, N.(2007). Penatalaksanaan demam pada anak. Diseminarkan pada siang klinik
penanganan kejang pada anak, Bandung, 12 Februari 2007.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/02:

Lumbantobing, S.M. (2003). Penatalaksanaan Muthakhir Kejang Pada Anak. Jakarta: FKUI

Pajares, F., Britner, S. L., & Valiante, G. (2009). Relation between achievement goals and
self-beliefs of middle school students in writing and science. Contemporary
Educational Psychology, 25, 406-422.

Sodikin.(2012), prinsip perawatan demam pada anak, pustaka pelajar, Yogyakarta

Tarigan, T, Chairul A.H. Syamsidah L, (2007). Pengetahuan, sikap dan prilaku orang tua
tentang demam dan pentingnya edukasi oleh dokter. Sari Pediatri, Vol. 8. No.3: 27-
31.
Wardani, AK, (2013). Kejang demam sederhana pada anak usia satu tahun. Medula, Vol.1,
No. 1, Hal 57-64: http://portalgaruda.org/download_article=122474. Diakses 23
November 2013

Wong, DL dkk (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong Ed.6,Vol.2, ECG, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai