Anda di halaman 1dari 61

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam kejang adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu

tubuh (suhu rectal di atas 38° C) yang disebabkan oleh suatu proses

ekstrakranium (Ngastiyah, 2005). Demam kejang merupakan gangguan transier

pada anak-anak yang terjadi bersamaan dengan demam. Bila demam kejang tidak

ditangani akan terjadi kerusakan sel-sel otak akibat kekurangan oksigen dalam

otak, pengeluaran sekret lebih dan risiko kegawatdaruratan untuk aspirasi jalan

nafas yang menyebabkan tersumbatnya jalan nafas. Jika tidak ditangani dengan

baik maka berisiko kematian (Lumbotobing, 2006). Demam kejang merupakan

kelainan neurologis yang paling sering terjadi pada anak, 1 dari 25 anak akan

mengalami satu kali kejang demam (Harjaningrum, 2011; Untari, 2013).

Angka kejadian kejang demam di Amerika Serikat dan di Eropa Barat

pada tahun 2007 berkisar antara 8%-49% (Brough, 2008). Angka kejadian di

Asia pada tahun 2007 dari seluruh kejang ditemukan 20% anak mengalami

kejang demam kompleks (Wardani, 2013). Balita di Indonesia 16% diantaranya

mengalami gangguan saraf dan otak seperti kejang-kejang, gangguan

pendengaran, kepala membesar dan lain-lain (Depkes RI, 2006). Anak laki-laki

lebih sering menderita kejang demam dengan insiden sekitar dua kali lipat

1 1
dibandingkan anak perempuan. Sekitar 30% sampai 40% anak-anak satu kali

kekambuhan (Wong, 2009). Penderita pada umumnya mempunyai riwayat

keluarga (orang tua atau saudara kandung) penderita kejang demam

(Mansjoer,dkk, 2006). Demam kejang biasanya terjadi pada anak-anak yang

berusia antara 6 bulan samapi dengan 5 tahun dan jarang terjadi sebelum usia 6

bulan maupun sesudah 3 tahun (Lumbantobing, 2006).

Faktor yang penting pada demam kejang ialah demam, umur, genetik,

prenatal dan perinatal. Demam pada demam kejang sering disebabkan oleh

infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan

infeksi traktus urinarius. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang paling tinggi.

Kadang-kadang pada demam yang tidak terlalu tinggi sudah dapat menyebabkan

kejang. Anak yang demikian biasanya mempunyai resiko tinggi untuk kejangnya

kambuh (Mansjoer, 2006)

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya demam kejang berulang:

Usia ketika pertama kali terserang demam kejang (kurang dari 15 bulan),

Sering mengalami demam, riwayat keluarga yang juga menderita demam kejang,

Jika kejang terjadi segera setelah demam atau suhu tubuh relatif rendah, maka

besar kemungkinannya akan terjadi kembali kejang demam (Lumbantobing,

2006).

Terulangnya demam kejang kira-kira 30-35 %. Kebanyakan penderita

hanya terulang lebih dari 2-3 kali, hanya 9 % yang terulangnya lebih dari 3 kali.

Setengahnya terulang dalam 6 bulan pertama, dan 75 % terulang dalam 1 tahun.

2
Terulangnya demam kejang lebih sering pada usia muda. Bayi yang menderita

demam kejang pertama pada usia kurang 1 tahun mempunyai resiko terulangnya

demam kejang sebanyak 50 %, sedangkan setelah berumur 1 tahun hanya 28 %

(Lumbantobing, 2006). Demam kejang tidak segera mendapat penanganan

semestinya, anak pun terancam bakal terkena retardasi mental. Pasalnya, demam

kejang bisa menyebabkan rusaknya sel-sel otak anak. Dapat disimpulkan, jika

kejang itu berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka kemungkinan sel-

sel yang rusak online pharmacy without prescription pun akan semakin banyak.

Bukan tidak mungkin tingkat kecerdasan anak akan menurun drastis dan tidak

bisa lagi berkembang secara optimal (Lumbantobing, 2006).

Bahkan beberapa kasus demam kejang bisa menyebabkan epilepsi pada

anak, yang tak kalah penting, begitu anaknya terkena demam kejang, orang tua

pun mesti ekstra hati-hati, karena dalam setahun pertama setelah kejadian, kejang

serupa atau malah yang lebih hebat berpeluang terulang kembali. Cara mencegah

agar anak tidak mengalami demam kejang, kejang bisa terjadi jika suhu tubuh

naik atau turun dengan cepat. Sebagian besar kasus, kejang terjadi tanpa terduga

atau tidak dapat dicegah. Dahulu digunakan obat anti kejang sebagai tindakan

pencegahan pada anak-anak yang sering mengalami demam kejang, tetapi hal ini

sekarang sudah jarang dilakukan. Anak-anak yang cenderung mengalami demam

kejang, saat mereka menderita demam bisa diberikan diazepam (baik yang

melalui mulut maupun melalui rektal). Dengan penanggulangan yang tepat dan

3
cepat, perjalanan penyakitnya baik dan tidak menimbulkan kematian

(Marhendraputra, 2010).

Menurut Nelson dan Ellenberg menyatakan diantara 1706 penderita

demam kejang, 35 % demam kejangnya berulang dan 3 % menderita kejang

tanpa demam. (Lumbantobing, 2006). Demam kejang bisa membuat orang tua

cemas, tetapi sebenarnya tidak berbahaya. Selama kejang berlangsung, ada

kemungkinan bahwa anak akan mengalami cedera karena terjatuh atau tersedak

makanan maupun ludahnya sendiri (Marhendraputra, 2010). Prognosis anak

dengan kejang demam rata-rata baik, namun sejauh ini serangan kejang demam

sering menyebabkan rasa takut atau khawatir yang sangat bagi orang tuanya atau

pengasuhnya. Setiap anak yang mengalami kejang, kemungkinan dapat

menyebabkan trauma otak maupun epilepsi di kemudian hari. Hal ini

menyebabkan perasaan cemas atau takut pada orang tua. Rasa takut atau

khawatir yang terjadi ini juga disebabkan karena orang tua atau pengasuh tidak

atau kurang memahami bagaimana cara tindakan awal penatalaksanaan di rumah

pada anak yang mengalami serangan kejang demam (Rahayu, 2014).

Hasil penelitian yang dilakukan di India Parmar dalam Dewanti (2012)

melaporkan 77,9% orang tua pasien kejang demam tidak mempunyai

pengetahuan tentang kejang dan 90% menganggap anaknya akan meninggal.

Hasil penelitian lain memperlihatkan hampir 80% orang tua mempunyai rasa

takut terhadap serangan kejang demam yang menimpa anaknya. Berdasarkan

4
beberapa penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa pengetahuan ibu tentang

kejang dan penatalaksanaannya sangat bervariasi. Perbedaan pengetahuan ini

akan mengakibatkan penanganan kejang demam pada anak yang berbeda pula.

Pengetahuan ibu tentang kejang dan penatalaksanaannya di Indonesia juga sangat

bervariasi mengingat hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor.

Berdasarkan pertimbangan rasa takut atau khawatir dan kebingungan

orang tua atau pengasuh terhadap anaknya ketika mengalami serangan kejang

demam, diperlukan upaya pencegahan terhadap berulangnya serangan kejang

demam tersebut. Upaya mencegah dan menghadapi kejang demam, orang tua

atau pengasuh anak harus diberi cukup informasi. Tindakan awal

penatalaksanaan serangan kejang demam pada anak sangat tergantung pada peran

orang tua atau pengasuhnya, terutama ibu. Ibu merupakan bagian integral dari

sistem kehidupan rumah tangga atau keluarga yang dengan kesabaran dan kasih

sayangnya dibutuhkan untuk merawat anak secara terampil agar tumbuh dan

berkembang dengan sehat dan optimal (Rahayu, 2014)

Serangan kejang demam ini sulit diidentifikasi kapan munculnya, maka

orangtua atau pengasuh anak terutama ibunya, perlu diberikan pendidikan

kesehatan tentang kejang demam dan tindakan awal penatalaksanaan kejang

demam di rumah pada anak yang mengalami serangan kejang demam. Orangtua

atau pengasuh yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang penatalaksanaan

kejang demam dapat menentukan tindakan yang terbaik bagi anaknya (Rahayu,

2014).

5
Pendidikan kesehatan merupakan salah satu usaha promotif dan preventif

yang hakikatnya merupakan suatu kegiatan atau usaha untuk menyampaikan

pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok, atau individu sehingga

memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik. Pengetahuan

tersebut akhirnya diharapkan dapat berpengaruh terhadap perubahan perilaku.

(Notoatmodjo, 2007). Pendidikan kesehatan adalah salah satu upaya untuk

merubah pengetahuan, sikap atau perilaku seseorang. Pemberian pendidikan

kesehatan tentang kejang demam dan penatalaksanaannya diharapkan dapat

menambah informasi orang tua mengenai kejang demam dan tindakan awal

penatalaksanaan kejang demam di rumah (Rahayu, 2014).

Menurut data RSUD Sawah Lunto terjadi peningkatan rawatan demam

kejang yang dirawat di RSUD Sawah Lunto, tahun 2014 jumlah penderita

demam kejang yang dirawat berjumlah 82 orang, 56 orang diantaranya

merupakan rawatan demam kejang berulang, pada tahun 2015 jumlah penderita

demam kejang yang dirawat berjumlah 104 orang, 64 orang diantaranya

merupakan kunjungan demam kejang berulang. Menurut data Januari sampai

Maret 2016 jumlah penderita demam kejang yang dirawat berjumlah 123 orang¸

79 orang diantaranya merupakan demam kejang berulang. Kemudian dilihat dari

penyebab kematian bayi dan balita selama tahun 2015 di Kota Sawah Lunto,

demam kejang berada pada tingkat ke 4 dari 10 penyebab kematian bayi dan

balita, di Ruang Rawat Inap Perinatologi dan Anak RSUD Sawah Lunto yaitu

berjumlah 4 orang (10,8%).

6
Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan di Ruang Anak

RSUD Sawah Lunto pada tanggal 18 April 2016, berdasarkan hasil wawancara

dengan 8 orang ibu balita yang anaknya dirawat dengan demam kejang berulang,

4 orang ibu balita mengatakan anaknya kejang demam berulang lebih kurang 2

bulan yang lalu, 1 orang ibu balita balitanya pertama kali menderita demam

kejang pada umur 8 bulan dan sekarang setiap kali balitanya demam sering

mengalami kejang berulang. 6 orang ibu balita mengatakan tidak mengetahui

bagaimana merawat anak demam di rumah sehingga sering terjadi demam kejang

pada balitanya dan 2 orang ibu balita mengatakan tidak ada mendapatkan

penjelasan dari perawat bagaimana merawat anak demam kejang di rumah

sewaktu anaknya dirawat yang pertama kalinya.

Berdasarkan fenomena di atas peneliti melakukan penelitian tentang

pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan ibu tentang

pencegahan risiko demam kejang berulang pada balita di ruang Anak RSUD

Sawahlunto tahun 2016.

B. Rumusan Masalah

Peneliti ingin mengetahui apakah ada pengaruh pendidikan kesehatan

terhadap tingkat pengetahuan ibu tentang pencegahan risiko demam kejang

berulang pada balita di ruang Anak RSUD Sawahlunto tahun 2016 ?

7
C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat

pengetahuan ibu tentang pencegahan risiko demam kejang berulang pada

balita di ruang Anak RSUD Sawahlunto tahun 2016.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya rata-rata pengetahuan ibu sebelum diberikan pendidikan

kesehatan mengenai pencegahan risiko demam kejang berulang pada

balita di ruang Anak RSUD Sawahlunto tahun 2016

b. Diketahuinya rata-rata pengetahuan ibu sesudah diberikan pendidikan

kesehatan mengenai pencegahan risiko demam kejang berulang pada

balita di ruang Anak RSUD Sawahlunto tahun 2016

c. Diketahuinya pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat

pengetahuan ibu tentang pencegahan risiko demam kejang berulang pada

balita di ruang Anak RSUD Sawahlunto tahun 2016

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Perawat RSUD Sawahlunto

Sebagai bahan masukan bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan

dan memberikan penyuluhan mengenai pencegahan demam kejang berulang

pada balita di rumah.

8
2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai bahan masukan dan pedoman untuk penelitian selanjutnya yang ada

kaitannya dengan skripsi

3. Bagi Responden

Diharapkan responden dapat mengetahui bagaimana merawat balita demam

kejang di rumah dan melakukan tindakan pencegahan demam kejang berulang

di rumah.

4. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat menambah referensi / daftar bacaan perpustakaan STIKES Syedza

Saintika Padang.

E. Ruang lingkup

Penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 9 Juni sampai 23 Juni tahun

2016 di ruang Anak RSUD Sawahlunto, untuk mengetahui pengaruh pendidikan

kesehatan terhadap pencegahan demam kejang berulang pada balita, dengan

populasi Ibu yang mempunyai balita yang pernah mengalami demam kejang dari

bulan Januari s/d Maret 2016 yang berjumlah 123 orang dengan jumlah sampel 55

orang dimana rata-rata jumlah pasien yang dirawat tiap bulannya adalah 18 orang.

Pengumpulan data dilakukan sebanyak dua kali, sebelum dan sesudah diberikan

intervensi dengan cara penyebaran angket dan observasi. Penelitian ini

menggunakan metode quasi eksperimen dengan rancangan yang digunakan adalah

one group pretest-postest design, di dalam desain ini pengukuran dilakukan

9
sebanyak dua kali, yaitu pengukuran yang dilakukan sebelum eksperimen (O1),

kemudian diberikan stimulus, dan pengukuran yang dilakukan setelah eksperimen

(O2)

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Demam Kejang

1. Pengertian

a. Kejang demam, dalam istilah medis dikenal sebagai febrile konvulsi, adalah

bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh ( suhu rectal 38 °C),

tanpa adanya infeksi pada susunan saraf pusat maupun kelainan saraf

lainnya.

b. Demam kejang adalah suatu kondisi saat tubuh anak balita sudah tidak dapat

menahan serangan demam pada suhu tertentu. Naiknya suhu badan pada

anak balita dapat saja merangsang kerja syaraf jaringan otak secara

berlebihan, sehingga jaringan otak tidak dapat lagi mengoordinasikan

persyaratan –persyaratan pada anggota gerak tubuh, antara lain pada lengan

dan kaki. Akibatnya terjadilah kejang-kejang antara lain pada lengan dan

kaki anak balita (Widjaja, 2008).

2. Epidemiologi

Demam kejang terjadi pada sedikitnya 3 % dari 54.000 bayi yang

diperiksa National Collaborative Perinatal Project, sejumlah bermakna

diantaranya diketahui mengalami defisit neurologi atau hambatan

perkembangan sebelumnya. Umumnya demam kejang terjadi setelah 6 bulan

11
11
pertama kehidupan, namun dalam 2-3 tahun pertama insidennya menurun,

mencapai usia 6-8 tahun dan sesudah itu kejang ini menjadi jarang. Kejang

pertama terbanyak diantara 17 sampai 23 bulan. Pria lebih banyak terkena dari

pada wanita (Widjaja, 2008).

Hampir 3 % dari anak yang berumur kurang 5 tahun pernah menderita

kejang demam. Lennox-Buchtal (1971) berpendapat bahwa faktor hereditas

dikatakan mempunyai peranan, dimana kepekaan terhadap bangkitan demam

kejang diturunkan oleh sebuah gen dominan dengan penetrasi yang tidak

sempurna. Lennox (1949) berpendapat bahwa 41,2 % anggota keluarga

penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya 3 %

(Widjaja, 2008).

Sedangkan menurut Haslam Robert H.A yang dikutip oleh Nelson (2000)

epidemiologi demam kejang adalah:

a. Demam kejang terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun.

Menurut Tejani NR (2008), demam kejang terjadi pada anak berusia 3 bulan

– 5 tahun.

b. Insiden tertinggi pada umur 18 bulan.

c. Dari semua kasus kejang demam, sekitar 80% merupakan demam kejang

sederhana dan 20% demam kejang kompleks.

d. Kejang pertama terbanyak di usia 17-23 bulan.

e. Anak lelaki lebih sering mengalami demam kejang dibandingkan dengan

anak wanita.

12
f. Kejadian kecacatan atau kelainan neurologis sebagai komplikasi demam

kejang tidak pernah dilaporkan.

g. Kematian karena demam kejang tidak pernah dilaporkan.

h. Antara 2% - 5% anak-anak di Amerika Serikat menderita demam kejang

pada hari kelima kelahiran (fifth birthday) mereka, dan sekitar sepertiganya

berulang minimal sekali. Angka yang sama dari demam kejang di Amerika

Serikat juga ditemukan di Eropa Barat.

i. Insiden demam kejang di India sekitar 5-10%, di Jepang sekitar 8,8%, di

Guam sekitar 14%, di Hongkong sekitar 0,35%, dan di China sekitar 0,5-

1,5%.

3. Patofisiologi

Sel dan organ otak memerlukan suatu energy yang didapat dari

metabolisme untuk mempertahankan hidupnya. Bahan baku terpenting untuk

metabolism otak adalah glukosa. Sumber energi otak adalah glukosa yang

melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sifat proses ini adalah

oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan

diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler.

Sel memiliki suatu membran dengan dua permukaan yaitu permukaan

dalam dan permukaan luar oleh ion kalium (K +) dan sangat sulit dilalui oleh ion

natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion Klorida (Cl-). Akibatnya

konsentrasi Kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah,

sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan

13
jenis dan konsentrasi ion di dalam dan luar sel, maka terdapat perbedaan

potensial yang disebut potensial membrane dari sel neuron. Untuk menjaga

keseimbangan potensial membran ini diperlukan energy dan bahan enzim Na-

K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya:

a. Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler.

b. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi, atau

aliran listrik dari sekitarnya.

c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau

keturunan.

Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari

seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Dan pada

kondisi demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolism

basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Jadi pada

kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari

membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion

Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya

lepas muatan listrik. Lepas muatanlistrik ini demikian besarnya sehingga dapat

meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan

bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang.

Tiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda, ini tergantung dari

tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan

14
suhu tubuh tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, dapat

terjadi kejang pada suhu 38ºC, sedangkan pada anak dengan ambang kejang

yang tinggi kejang baru terjadi pada suhu 40 ºC atau lebih. Dari kenyataan ini

dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya demam kejang lebih sering terjadi

pada ambang kejang yang rendah; sehingga dalam penanggulangannya perlu

diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.

Demam kejang yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya

dan tidak meninggalkan gejala sisa. Namun pada demam kejang yang

berlangsung lama (> 15 menit) biasanya terjadi apnea (henti nafas),

meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang

akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh

metabolisme anerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak

teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktivitas

otot dan selanjutnya menyebabkan metabolime otak meningkat. Rangkaian

kejadian di atas merupakan faktor penyebab sehingga terjadi kerusakan neuron

otak selama belangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan

peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan

permeabilitas kapiler lalu timbul edema otak sehingga terjadi kerusakan sel

neuron otak.

Kerusakan di daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan

kejang yang berlangsung lama; dapat menjadi "matang" dikemudian hari

sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi, jelaslah bahwa demam

15
kejang yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak

sehingga terjadi epilepsi (Nelson, 2000).

5. Etiologi

Penyebab yang pasti dari terjadinya demam kejang tidak diketahui.

Demam kejang biasanya berhubungan dengan demam yang tiba-tiba tinggi

dan kebanyakan terjadi pada hari pertama anak mengalami demam. Kejang

berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit. Demam kejang

cenderung ditemukan dalam satu keluarga, sehingga diduga melibatkan faktor

keturunan (faktor genetik). Kadang kejang yang berhubungan dengan demam

disebabkan oleh penyakit lain, seperti keracunan, meningitis atau ensefalitis

(Nelson, 2000)

Infeksi virus saluran pernapasan atas, roseola dan otitis media akut adalah

penyebab demam kejang yang paling sering. Atau infeksi oleh virus herpes

manusia 6 juga sering menyebabkan demam kejang pada anak-anak. Disentri

karena Shigella juga sering menyebakan demam tinggi dan demam kejang

pada anak-anak.

6. Manifestasi Klinis

Kebanyakan demam kejang barlangsung singkat, bilateral, serangan

berupa krlonik atau tonik-konik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu

kejang berhenti anak tidak member reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah

beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa adanya

kelainan saraf.

16
Demam kejang dapat berlangsung lama atau parsial. Pada kejang yang

unilateral kadang-kadang diikuti oleh hemiplegic sementara yang hanya

berlangsung beberapa jam atau beberapa hari.

Untuk meramalkan prognosis, beberapa sarjana membagi demam kejang

menjadi 2 golongan :

a. Demam kejang sederhana

1) Kejang umum

2) Waktunya singkat

3) Umur serangan pertama kurang dari 6 tahun

4) Frekuensi serangan 1-4 kali per tahun

5) EEG normal

b. Digolongkan epilepsi yang diprovokasi oleh demam

1) Kejang lama atau fokal

2) Umur lebih dari 6 tahun

3) Frekuensi serangan lebih dari 4 kali setahun

4) EEG setelah tidak demam abnormal

Prichard dan McGreal (27) membagi demam kejang menjadi demam

kejang sederhana dan demam kejang atipikal

Yang digolongkan demam kejang sederhana ialah:

1) penderita dengan neurologis normal

2) umur 6 bulan – 4 tahun

3) suhu 100 derajat F atau lebih

17
4) kejang simetris

5) Kejang berlangsung kurang dari 30 menit

6) Setelah kejang neurologis normal

7) EEG normal setelah tidak demam

Livingston setelah dimodifikasi dipakai sebagai pedoman untuk membuat

diagnosis demam kejang sederhana, ialah:

1) Umur anak ketika kejang antara 6 bulan – 4 tahun

2) Kejang berlangsung sebentar, tidak melebihi 15 menit

3) Kejang bersifat umum

4) Kejang timbul dalam 16 jam pertama

5) Pemeriksaan neurologis sebelum dan sesudah kejang normal

6) Apemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu setelah suhu normal

tidak menunjukan kelainan

7) Frekuensi bangkitan kejang dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali

Demam kejang yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh

criteria modifikasi Livingston di atas digolongkan kepada epilepsi yang tidak

provokasi oleh demam. Kejang kelompok kedua ini mempunyai suatu dasar

kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang, sedangkan demam hanya

merupakan faktor pencetus (Lumbantobing, 2006).

7. Faktor Risiko

Demam kejang biasanya terjadi pada anak-anak yang berusia antara 6

bulan-5 tahun dan jarang terjadi sebelum usia 6 bulan maupun sesudah 3 tahun.

18
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya demam kejang berulang:

usia ketika pertama kali terserang demam kejang (kurang dari 15 bulan) sering

mengalami demam, riwayat keluarga yang juga menderita kejang demam.jika

kejang terjadi segera setelah demam atau jika suhu tubuh relatif rendah, maka

besar kemungkinannya akan terjadi kembali kejang demam.

8. Gejala dan Tanda

Gejalanya berupa demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu

tubuh yang terjadi secara tiba-tiba), kejang tonik-klonik atau grand mal, pingsan

yang berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir selalu terjadi pada anak-

anak yang mengalami kejang demam).

Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya

berlangsung selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot

yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau

pipinya tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat, inkontinensia

(mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan,

apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan (Lumbantobing, 2006).

9. Pencegahan

Kejang bisa terjadi jika suhu tubuh naik atau turun dengan cepat. Pada

sebagian besar kasus, kejang terjadi tanpa terduga atau tidak dapat dicegah.

Dulu digunakan obat anti kejang sebagai tindakan pencegahan pada anak-anak

yang sering mengalami kejang demam, tetapi hal ini sekarang sudah jarang

dilakukan. Pada anak-anak yang cenderung mengalami kejang demam, pada

19
saat mereka menderita demam bisa diberikan diazepam (baik yang melalui

mulut maupun melalui rektal).

10. Diagnosis Dan Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya kejang pada seorang anak yang

mengalami demam dan sebelumnya tidak ada riwayat epilepsi. Suhu tubuh

yang diukur dengan cara memasukkan termometer ke dalam lubang dubur,

menunjukkan angka lebih besar dari 38,5o Celsius. Dari anamnesa biasanya

didapatkan riwayat demam kejang pada naggota keluarga lainnya (ayah, ibu,

atau saudara kandung). Sedangkan dari pemeriksaan fisik neurologis tidak

didapatkan adanya kelainan.

Pemeriksaan-pemeriksaan tambahan yang dilakukan pada kasus demam

kejang lebih ditujukan untuk mencari penyebab terjadinya demam, antara lain:

a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang

demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi

penyebab demam atau keadaan lain, misalnya gastroenteritis dehidrasi

disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dpat dikerjakan misalnya

darah perifer, elektrolit dan gula darah.

b. Pungsi Lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau

menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil seringkali sulit

20
untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena

manifestasi klinisnya tidak jelas.

Maka tindakan pungsi lumbal dikerjakan dengan ketentuan sebagai

berikut:

1) Bayi kurang dari 12, diharuskan

2) Bayi antara 12-18 bulan, dianjurkan

3) Bayi > 18 bulan, tidak rutin kecuali bila ada tanda-tanda meningitis.

c. Elektroensefalografi

Tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang yang tidak khas (misalnya

demam kejang komplikasi pada usia > 6 tahun atau demam kejang fokal).

d. Pencitraan

Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti Computed tomography scan

(CT-Scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali

dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi, seperti:

1) Kelainan neurologi fokal yang menetap (hemiparesis)

2) Paresis nervus VI

3) Papiledema

11. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan saat kejang

Biasanya demam kejang berlangsung singkat dan pada waktu

pasien datang kejang sudah berhenti.Apabila datang dalam keadaan

kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah

21
diazepam yang diberikan intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-

0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam

waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau dirumah

adalah diazepam rektal, dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,7 mg/kg atau

diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg

dan 10 mg untukanak dengan berat badan lebih dari 10 kg. Atau

diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau

dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat gambar 1).

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti,

dapat diulangi lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan intravena

waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap

kejang, dianjurkan ke rumah sakit.

Diazepam Rektal (1)


0,5-0,75 mg/kg, atau
5 menit 5 mg bila BB 10 atau usia < 3 tahun
7,5 mg bila usia 3 tahun
10 mg bila<10 kg

KEJANG (+)

Diazepam Rektal (2)


5 menit Dosis Sda

KEJANG (+)
22

Rujuk Ke Rumah Sakit


Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis

0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara

intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1

mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis

selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.

Dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat

intensif untuk diberikan anastesi umum dengan thiopental yang diberikan

oleh seorang ahli anastesi. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat

selanjutnya tergantung dari jenis kejang demamnya, apakah demam

kejang sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.

b. Pemberian obat pada saat demam

Penatalaksanaan jangka panjang termasuk menjelaskan kepada

kedua orang tua cirri-ciri serangan yang relativ tidak berbahaya pada

demam kejang dan mengajarkan mereka bagaimana mengenali dan

menangani serangan yang terjadi di kemudian hari; bagaimana

menggunakan antipiretik secara aman dan efektif.

1) Antipiretik

Demam kejang terjadi pada saat demam, maka tujuan utama pengobatan

adalah mencegah demam meningkta. Berikan Paracetamol

10mg/kgBB/hari setiap 4-6 jam atau ibuprofen 5-10 mg/kgBB/hari tiap

4-6 jam. Selain itu juga dapat diberikan kompres air hangat bila suhu

lebih dari 39oC dan kompres air biasa bila suhu lebih dari 38oC.

23
2) Antikonvulsan

Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam

atau dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu >

38,5oC.

3) Pemberian obat rumatan

Yang termasuk dalam jenis obat rumatan yaitu fenobarbital

3-4mg/kgBB/2 dosis, asam valproat 15-40 mg/kgBB dalam 2 atau 3 kali

pemberian. Adapun indikasi pemberian obat adalah sebagai berikut:

a) Kejang lebih dari 15 menit

b) Ada kelainan neurologiknyata sebelum atau sesudah kejang,

misalnya hemoparesis, paresis todd, serebral palsy, retradarsi mental,

dan hidrosefalus.

c) Kejang fokal

d) Dipetimbangkan bila:

(1) Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam

(2) Kejang terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan

(3) Kejang lebih dari atau sama dengan 4 kali dalam setahun

c. Pengobatan penyebab

Penyebab dari demam kejang baik KDS maupun Epilepsi yang diprovokasi

demam biasanya adalah infeksi pada traktus respiratorius bagian atas dan

otitis media akut. Pemberian antibiotik yang tepat dan adequat akan sangat

berguna untuk menurunkan demam, yang pada gilirannya akan

24
menurunkan resiko terjadinya kejang. Secara akademis, anak yang datang

dengan demam kejang pertama kali sebaiknya dikerjakan pemeriksaan

punksi lumbal. Hal ini perlu untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi di

otak maupun meningitis. Selanjutnya apabila menghadapi anak dengan

kejang yang berlangsung lama diperlukan pemeriksaan : Punksi lumbal,

darah lengkap, glukosa, elektrolit: K,Mg,Ca,Na Nitrogen darah dan fungsi

hati. Pemeriksaan foto kranium, EEG, Brain Scan, Computerized

Tomografi, Pneumo Encephalografi, dan Arteriografi.

d. Edukasi pada orang tua

Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada

saat kejang sebagian orang tua beranggapan bahwa anaknya telah

meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara diantaranya:

1) Meyakinkan bahwa demam kejang umumnya mempunyai prognosis

baik

2) Memberitahukan cara penanganan kejang

3) Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali

4) Pemberian obat untuk pencegahan rekurensi memang efektif tetapi

harus diingat adanya efek samping obat.

Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan

diri setenang mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang

harus diperhatikan adalah sebagai berikut:

25
1) Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi

menyamping, bukan terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.

2) Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok

atau penggaris, karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan

napas.

3) Jangan memegangi anak untuk melawan kejang.

4) Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan

penanganan khusus.

5) Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa

ke fasilitas kesehatan terdekat. Sumber lain menganjurkan anak untuk

dibawa ke fasilitas kesehatan jika kejang masih berlanjut setelah 5

menit. Ada pula sumber yang menyatakan bahwa penanganan lebih baik

dilakukan secepat mungkin tanpa menyatakan batasan menit.

6) Setelah kejang berakhir (jika < 10 menit), anak perlu dibawa menemui

dokter untuk meneliti sumber demam, terutama jika ada kekakuan leher,

muntah-muntah yang berat, atau anak terus tampak lemas.

Jika anak dibawa ke fasilitas kesehatan, penanganan yang akan

dilakukan selain poin-poin di atas adalah sebagai berikut:

1) Memastikan jalan napas anak tidak tersumbat

2) Pemberian oksigen melalui face mask

3) Pemberian diazepam 0,5 mg/kg berat badan per rektal (melalui anus)

atau jika telah terpasang selang infus 0,2 mg/kg per infus

26
4) Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan

5) Sebagian sumber menganjurkan pemeriksaan kadar gula darah untuk

meneliti kemungkinan hipoglikemia. Namun sumber lain hanya

menganjurkan pemeriksaan ini pada anak yang mengalami kejang cukup

lama atau keadaan pasca kejang (mengantuk, lemas) yang berkelanjutan.

Untuk mencegah serangan pada seorang anak dengan bawaan

kejang demam, begitu anak mengalami demam yang terpenting secepat

mungkin usahakan turunkan suhu badannya, dengan cara memberi obat

penurun panas atau kompres. Selain itu perbanyak minum air putih

(Nelson, 2000).

12. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada demam kejang adalah:

a. Luka yang terjadi pada saat kejang karena terjatuh atau tidak disengaja

b. Menggigit lidahnya sendiri

c. Menghirup cairan atau aspirasi, pneumonia.

d. Luka karena kejang yang lama dan complicated

e. Efek samping dari terap pengobatan untuk mengobati dan mencegah

kejang.

13. Prognosis

a. Kematian

Dengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa biasanya baik,

27
tidak sampai terjadi kematian. Dalam penelitian ditemukan angka

kematian KDS 0,46 % s/d 0,74 %.

b. Terulangnya Kejang

Kemungkinan terjadinya ulangan kejang kurang lebih 25 s/d 50 % pada 6

bulan pertama dari serangan pertama.

c. Epilepsi

Angka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari

Epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Resiko menjadi Epilepsi yang

akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita KDS tergantung

kepada faktor :

1) Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga

2) Kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak

menderita KDS

3) Kejang berlangsung lama atau kejang fokal.

Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor di atas, maka

kemungkinan mengalami serangan kejang tanpa demam adalah 13

%, dibanding bila hanya didapat satu atau tidak sama sekali faktor

di atas.

d. Hemiparesis

Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama

(berlangsung lebih dari setengah jam) baik kejang yang bersifat umum

maupun kejang fokal. Kejang fokal yang terjadi sesuai dengan

28
kelumpuhannya. Mula-mula kelumpuhan bersifat flacid, sesudah 2

minggu timbul keadaan spastisitas. Diperkirakan + 0,2 % KDS

mengalami hemiparese sesudah kejang lama.

e. Retardasi Mental

Ditemukan dari 431 penderita dengan KDS tidak mengalami kelainan IQ,

sedang demam kejang pada anak yang sebelumnya mengalami gangguan

perkembangan atau kelainan neurologik ditemukan IQ yang lebih rendah.

Apabila demam kejang diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam,

kemungkinan menjadi retardasi mental adalah 5x lebih besar (Nelson,

2000).

B. Pendidikan Kesehatan

1. Pengertian Pendidikan Kesehatan

Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan

untuk mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok atau masyarakat,

sehingga mereka melakukan apa yang di harapkan oleh pelaku pendidikan,

yang tersirat dalam pendidikan adalah: input adalah sasaran pendidikan

(individu, kelompok, dan masyarakat), pendidik adalah (pelaku pendidikan),

proses adalah (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain),

output adalah (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku) (Notoatmodjo,

2012).

29
Kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual,

maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif

secara sosial dan ekonomi, dan menurut WHO yang paling baru ini memang

lebih luas dan dinamis dibandingkan dengan batasan sebelumnya yang

mengatakan, bahwa kesehatan adalah keadaan sempurna, baik fisik maupun

mental dan tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat (Notoatmodjo, 2012).

Pendidikan kesehatan adalah aplikasi atau penerapan pendidikan dalam

bidang kesehatan. Secara opearasional pendidikan kesehatan adalah semua

kegiatan untuk memberikan dan meningkatkan pengetahuan, sikap, praktek

baik individu, kelompok atau masyarakat dalam memelihara dan

meningkatkan kesehatan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2012).

Pendidikan kesehatan pada dasarnya adalah suatu kegiatan atau usaha

menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok, atau

individu. Dengan adanya pesan tersebut maka diharapkan masyarakat,

kelompok, atau individu dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan

yang lebih baik. Pengetahuan tersebut akhirnya diharapkan dapat

berpengaruh terhadap perilaku. Dengan kata lain, adanya pendidikan

tersebut diharapkan dapat membawa akibat terhadap perubahan perilaku

sasaran.

Pendidikan kesehatan merupakan salah satu usaha promotif dan

preventif yang hakikatnya merupakan suatu kegiatan atau usaha untuk

menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok, atau

30
individu sehingga memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih

baik. Pengetahuan tersebut akhirnya diharapkan dapat berpengaruh terhadap

perubahan perilaku. (Notoatmodjo, 2007). Pendidikan kesehatan adalah

salah satu upaya untuk merubah pengetahuan, sikap atau perilaku seseorang.

Pemberian pendidikan kesehatan tentang kejang demam dan

penatalaksanaannya diharapkan dapat menambah informasi orang tua

mengenai kejang demam dan tindakan awal penatalaksanaan kejang demam

di rumah (Rahayu, 2014).

Pendidikan kesehatan juga merupakan suatu proses yang mempunyai

masukan (input), dan keluaran (output). Suatu proses pendidikan kesehatan

yang menuju tercapainya tujuan pendidikan, yakni perubahan perilaku, di

pengaruhi oleh banyak faktor. Faktor tersebut di samping faktor masukan

juga faktor metode, faktor meteri atau pesannya, pendidik atau petugas yang

melakukannya, dan alat bantu/ peraga pendidik yang dipakai.

Di bawah ini akan diuraikan beberapa metode pendidikan individual,

kelompok, dan massa (public).

a. Model Pendidikan Individual

Menurut Nursalam (2008) perawat sebagai pendidik harus

memiliki kemampuan untuk mengkaji kekuatan dan dampak yang

ditimbulkan oleh intervensi keperawatan terhadap perilaku subyek yang

dapat memperkaya, memberikan informasi dan melengkapi perilaku

subyek yang diinginkan. Pendidikan kesehatan merupakan proses

31
pelayanan memberikan informasi dalam upaya peningkatan

pengetahuan masyarakat. Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan

ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek

tertentu (Notoadmojo, 2010). Pengetahun (knowledge) terjadi melalui

penginderaan oleh panca indra penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa dan raba sebagaian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan

telingga. Menurut Notoadmodjo (2010) tingkatan pengetahuan terdiri

dari:

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini

adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik

dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah

diterima. Oleh sebab itu tahu ini adalah merupakan tingkat

pengetahuan yang rendah

2) Memahami

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan

objek yang diketahui dan data menginterprestasikan materi

tersebut dengan orang yang telah paham. Terhadap objek atau

materi harus dapat menjelaskan atau menyebutkan. Contoh:

menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang

dipelajari.

32
3) Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi sebenarnya. Aplikasi

disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaaan hukum-hukum,

rumus, metode dan prinsip dan sebagainya dalam konteks atau

situasi lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam

perhitungan-perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan

prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah dari kasus yang

diberikan

4) Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk melakukan

atau menghubungkan bagian ke dalam suatu bentuk keluruhan

yang baru dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan. Yang

menyusun formulasi baru dan formulasi-formulasi yang ada,

misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan dan meringkaskan

dapat menyebutkan dan sebagainya. Terdapat suatu teori atau

rumus-rumus yang telah

5) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan unatuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek

penilaian ini berdasarkan suatu kriteria. Yang ditentukan sendiri

atau menggunakan kriteria-kriteria. Yang telah ada. Misalkan

33
dapat membandingkan anak-anak yang cukup gizi, dengan anak-

anak yang kekurangan gizi (Notoatmodjo 2010).

Model pendidikan kesehatan yang dapat digunakan oleh

perawat adalah sebagai berikut:

a. Model Perilaku Individu

Ada dua model yang sering digunakan untuk menjelaskan

faktor penentu dari perilaku preventif, yaitu model nilai kesehatan

dan model promosi kesehatan. Secara mendasar model nilai

kesehatan ditunjukkan untuk promosi peningkatan perilaku sehat

daripada mengulangi faktor penyebab. Model ini berfokus pada

orientasi mencegah penyakit yang spesifik. Dimensi yang

digunakan pada model nilai kesehatan meliputi kepekaan,

keparahan, penghalang yang dirasakan, variabel struktural serta

sosiopsikologis lainnya. Sedangkan model promosi kesehatan

merupakan modifikasi nilai kesehatan dan lebih memfokuskan

pada prediksi perubahan perilaku akibat promosi kesehatan.

b. Model Pemberdayaan Masyarakat

Perubahan perilaku yang terjadi pada individu belum

membawa dampak yang berarti pada perubahan perilaku di

masyarakat. Sehingga perawat perlu membantu individu dan

keluarga yang telah berubah perilakunya yang ditampilkan pada

komunitas. Fokus proses pemberdayaan masyarakat adalah

34
komunikasi, informasi, dan pendidikan kesehatan (WHO, 1994).

Di Indonesia sering disebut komunikasi informasi dan edukasi

(KIE) yang ditujukan pada individu, keluarga, dan kelompok.

Strategi yang dapat digunakan oleh perawat dalam rangka KIE

adalah pembelajaran pemecahan masalah (problem solving),

memperluas jaringan kerja (networking), bernegosiasi dengan

pihak yang bersangkutan (negotiating), pendekatan

untukmempengaruhi orang lain (lobbying) dan pencarian

informasi (information seeking) untuk meningkatkan derajat

kesehatan kliennya

2. Metode Pendidikan Kesehatan

Dalam pendidikan kesehatan, metode pendidikan yang bersifat

individual ini digunakan untuk membina perilaku baru, atau membina

seseorang yang mulai tertarik kepada suatu perubahan perilaku atau inovasi.

Dasar digunakannya pendekatan individual ini karena setiap orang

mempunyai masalah atau alasan yang berbeda-beda sehubungan dengan

penerimaan atau perilaku baru tersebut. Agar petugas kesehatan mengetahui

dengan tepat serta dapat membantunya maka perlu menggunakan metode ini.

Bentuk pendekatan ini, antara lain.

a. Bimbingan dan Penyuluhan (Guidance and Counceling)

Dengan cara ini kontak antara klien dengan petugas lebih

intensif. Setiap masalah yang dihadap oleh klien dapat di teliti dan di

35
bantu penyelesaiannya. Akhirnya klien tersebut dengan sukarela,

berdasarkan kesadaran, dan penuh pengertian akan menerima perilaku

tersebut (mengubah perilaku).

b. Interview (Wawancara)

Cara ini sebenarnya merupakan bagian dari bimbingan dan

penyuluhan. Wawancara antara petugas kesehatan dengan klien untuk

menggali informasi mengapa ia tidak atau belum menerima perubahan

apakah ia tertarik atau tidak terhadap perubahan, untuk mengetahui

apakah perilaku sudah atau yang akan diadopsi itu mempunyai dasar

pengertian dan kesadaran yang kuat. Apabila belum maka perlu

penyuluhan yang lebih mendalam lagi.

c. Metode Pendidikan Kelompok

Dalam memilih metode pendidikan kelompok, harus di ingat

besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal dari sasaran.

Untuk kelompok yang besar, metodenya akan lain dengan kelompok

yang kecil. Keefektifitas suatu metode akan tergantung pula pada

besarnya sasaran pendidikan.

1) Kelompok Besar

Yang dimaksud kelompok besar di sini adalah apabila peserta

penyuluhan lebih dari 15 orang. Metode yang baik untuk kelompok

besar ini, antara lain ceramah dan seminar.

36
2) Kelompok Kecil

Apabila peserta kegiatan ini kurang dari 15 orang biasanya

kita sebut kelompok kecil. Metode-metode yang cocok untuk

kelompok kecil ini antara lain: Diskusi kelompok, curah pendapat,

bola salju, kelompok-kelompok kecil, memainkan peranan,

permainan stimulasi.

3. Sasaran Pendidikan Kesehatan

Menurut Susilo (2011) sasaran pendidikan kesehatan di indonesia,

berdasarkan kepada program pembangunan di Indonesia adalah:

a. Masyarakat umum dengan berorientasi pada masyarakat pedesaan.

b. Masyarakat dalam kelompok tertentu, seperi wanita, pemuda, remaja.

c. Termasuk dalam kelompok khusus ini adalah kelompok pendidikan mulai

dari TK sampai perguruan tinggi, sekolah agama swasta maupun negeri.

d. Sasaran individu dengan teknik pendidikan kesehatan individu.

4. Alat Bantu/Peraga/Media Pendidikan Kesehatan

Yang dimaksud alat bantu pendidikan adalah alat-alat yang digunakan

oleh pendidikan adalah alat-alat yang digunakan oleh pendidik dalam

menyampaikan bahan pendidikan/ pengajaran. Alat bantu ini lebih sering

disebut sebagai alat peraga karena berfungsi untuk membantu atau

memperagakan sesuatu di dalam proses pendidikan/ pengajaran.

Alat peraga ini disusun berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan yang

ada pada setiap manusia diterima atau ditangkap melalui panca indera.

37
Semakin banyak indra yang digunakan untuk menerima sesuatu maka

semakin banyak dan semakin jelas pula pengertian yang diperoleh. Dengan

perkataan lain alat peraga ini dimaksudkan untuk mengerahkan indra

sebanyak mungkin kepada suatu objek, sehingga mempermudah pemahaman.

5. Kerucut Edgar Dale

Elgar Dale membagi alat peraga tersebut menjadi 11 macam, dan

sekaligus menggambarkan tingkat intensitas tiap-tiap alat tersebut dalam

sebuah kerucut.
1
0
9
8
7
6
5
4
3
2
1
1
Gambar 2.5

1. Kata-kata

2. Tulisan

38
3. Rekaman, radio

4. Film

5. Televisi

6. Pameran

7. Field trip

8. Demonstrasi

9. Sandiwara

10. Benda tiruan

11. Benda asli

Dari kerucut tersebut dapat dilihat bahwa lapisan yang paling dasar

adalah benda asli yang paling atas adalah kata-kata. Hal ini berarti bahwa dalam

proses pendidikan, benda asli mempunyai intensitas yang paling tinggi untuk

mempersepsikan bahan pendidikan/pengajaran. Sedangkan penyampaian bahan

yang hanya dengan kata-kata saja sangat kurang efektif atau intensitasnya

paling rendah. Jelas bahwa penggunaan alat peraga merupakan pengamalan

salah satu prinsip proses pendidikan (Noatmodjo, 2010).

C. Kerangka Teori

Kerangka teori penelitian merupakan kumpulan teori yang mendasari

topik penelitian, yang disusun berdasar pada teori yang sudah ada dalam tinjauan

teori yang mengikuti kaedah input, proses dan output (Saryono, 2011).

Bagan 2.1

39
Kerangka Teori

Teori Lumbantobing, 2006


Faktor yang mempengaruhi
demam kejang
- Umur
- Suhu tubuh
- Genetik
- Prenatal dan perinatal
- Infeksi saluran pernafasan
atas
- Otitis media
- Pneumonia
- Gastroenteritis Demam Kejang
- Infeksi traktus urinarius

Penelitian Rahayu, 2014


Faktor yang memperburuk
prognosis demam kejang
- Kecemasan
- Ketidaktahuan

Pendidikan Kesehatan

BAB III

40
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan rancangan yang

digunakan adalah one group pretest-postest design. Di dalam desain ini

pengukuran dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pengukuran yang dilakukan

sebelum eksperimen (O1), kemudian di berikan stimulus, dan pengukuran yang

dilakukan setelah eksperimen (O2). Tanpa adanya kelompok pembanding, dengan

derajat kepercayaan 95% (<0, 05) (Notoatmodjo, 2010).

Desain ini dapat digambarkan sebagai berikut:

O1 X O2

Keterangan:

X = Intervensi

O1 = Pengamatan sebelum intervensi

O2 = Pengamatan setelah intervensi

B. Lokasi dan waktu

41
Penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 9 Juni sampai 23 Juni tahun

2016 di Ruang Rawat Inap Perinatologi dan Anak RSUD Sawah Lunto.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah Ibu yang mempunyai balita yang

pernah mengalami demam kejang dari bulan Januari s/d Maret 2016 yang

berjumlah 123 orang.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil sebagai objek yang

akan diteliti yang dianggap mewakili dari seluruh populasi (Notoatmodjo

2010). Untuk menentukan jumlah sampel dalam penelitian ini digunakan

rumus sampel seperti dibawah ini :

N
n=
1 +N ( d 2 )

Ket : n = Besar sample


N = Besar populasi
d = Tingkat kepercayaan ( 0,1)
(Notoatmodjo, 2010)
123
n= =55
1 +123 ( 0,12 )

Dalam penelitian ini jumlah sampel adalah sebanyak 55 orang terhitung

dari bulan Januari sampai Maret 2016, dengan rata-rata 18 orang perbulannya.

Kriteria Inklusi adalah :

42
1) Bersedia diminta menjadi responden

2) Berada ditempat sewaktu penelitian berlangsung

3) Dapat berkomunikasi dengan baik

4) Responden yang mempunyai balita usia ≤ 5 tahun

5) Balita dengan diagnosa medis demam kejang

Kriteria Eksklusi adalah:

1) Responden tidak bersedia diwawancarai

2) Responden mengalami gangguan bicara/ komunikasi.

3) Ibu yang mempunyai balita > 5 tahun

D. Etika Penelitian

Etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting

dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung

dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan. Masalah etik

yang harus diperhatikan antara lain (Sonatha B, 2012) :

1. Informed Consent ( Persetujuan)

Sebelum responden mengisi kuesioner, peneliti menjelaskan tujuan penelitian

kepada responden, jika responden bersedia maka diharapkan responden

menanda tangani Informed consent diberikan.

2. Anonimity (Tanpa Nama)

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan

dalam penggunaan subjek peniliti dengan tidak memberikan atau

43
mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan

kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian akan disajikan.

3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh

peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan.

E. Jenis Data

1. Jenis Data

a. Data primer

Data primer dikumpulkan dengan melakukan wawancara pada responden

dengan instrumen kuesioner dalam bentuk pertanyaan yang berkaitan dengan

tingkat pengetahuan sebelum dan setelah diberikan pendidikan kesehatan.

b. Data sekunder

Data sekunder yaitu data penunjang untuk mendapatkan data penderita

demam kejang yang pernah dirawat di RSUD Sawah Lunto yang diambil

dari laporan ruang rawat inap anak dan perinatolgi RSUD Sawah Lunto

Januari s/d Maret Tahun 2016.

F. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan 2 kali sebelum diberikan pendidikan

kesehatan dan setelah diberikan pendidikan kesehatan. Cara ukur yang digunakan

44
dalam penelitian ini adalah dengan kuesioner yang memuat pertanyaan untuk

mengenali informasi tentang variabel pengetahuan responden. Pengumpulan data

dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner yang telah disediakan.

Responden yang ada diwawancarai oleh peneliti satu persatu. Sebelum

wawancara dilakukan responden diminta untuk mengisi lembar persetujuan

menjadi responden dengan menandatangani informed consent terlebih dahulu.

Setiap jawaban yang diberikan responden, diisi oleh peneliti dengan memberi

tanda silang pada pilihan jawaban yang disediakan.

G. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data menurut Notoadmodjo (2010) dilakukan secara manual

dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Penyuntingan data (editing)

Melakukan pememeriksaan data hasil jawaban dari kuesioner yang telah

ditanyakan kepada responden dan kemudian dilakukan koreksi kelengkapan

jawabannya. Editing dilakukan di lapangan sehingga bila terjadi kekurangan

atau tidak sesuai dapat segera dilengkapi.

2. Pengkodean data (coding)

45
Melakukan penilaian / kode angka pada jawaban kuesioner agar lebih mudah

dalam pengolahan data selanjutnya. Jawaban yang benar untuk pertanyaan

pengetahuan jawaban benar diberi nilai 1 dan salah diberi nilai 0.

3. Tabulasi data (tabulating)

Memasukkan kode- kode ke dalam tabel dimana jawaban dari masing-masing

responden dalam bentuk kode (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam

program atau software komputer.

4. Pembersihan data (cleaning)

Melakukan pemeriksaan data atai mengecek kembali data dalam komputer

untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidak

lengkapan dan sebagainya, kemudian di lakukan pembetulan atau koreksi.

H. Teknik Analisa Data

Data yang terkumpul dan diolah secara komputerisasi. Tapi sebelumnya

di editing kelengkapannya dan ditabulasi serta disajikan dalam bentuk tabel

distribusi frekuensi, setelah itu data dianalisis dengan cara :

1. Analisa Univariat

Analisa univariat adalah analisis yang dilakukan untuk satu variabel

atau analisa yang dilakukan tiap variabel dari hasil penelitian (Notoatmodjo,

2005). Analisa Univariat merupakan penyajian dalam bentuk satu variabel

dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi. Adapun analisa univariat

pada penelitian ini adalah untuk mengetahui mean / rata-rata tingkat

46
pengetahuan sebelum di berikan penkes dan nilai mean / rata-rata setelah

diberikan pendidikan kesehatan.

2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk menguji hipotesa dan melihat

bagaimana pengaruh antar variabel independen (pendidikan kesehatan)

terhadap variabel dependen yaitu (pengetahuan) dengan uji Paired-Sample T

Test untuk melihat adanya pengaruh terhadap perlakuan dengan variabel

dependen. Analisis Paired-Samples T Test merupakan prosedur yang digunakan

untuk membandingkan rata-rata dua variabel dalam satu group. Artinya pula

analisis ini berguna untuk melakukan pengujian terhadap dua sampel yang

berhubungan atau dua sampel berpasangan. Prosedur Paired Samples Uji T

digunakan untuk menguji bahwa tidak atau adanya perbedaan antara dua

variable. Jika hasil uji statistik menunjukkan nilai p ≤ 0,05, maka ada pengaruh

penkes terhadap tingkat pengetahuan ibu tentang pencegahan demam kejang

berulang.

Uji ini digunakan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan proporsi

yang bermakna antara distribusi frekuensi yang diamati dan yang diharapkan

dengan derajat kemaknaan 0,05, bila p-value ≤ 0,05 berarti ada hubungan yang

bermakna (Ho ditolak), sedangkan bila p value > 0,05 berarti tidak ada

hubungan yang bermakna (Ho gagal ditolak).

I. Kerangka Konsep

47
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan

antara konsep-konsep yang diinginkan atau diukur melalui penelitian-penelitian

yang akan dilakukan (Notoatmodjo,2010). Kerangka konsep yang digunakan

dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan sistem yang terdiri dari input,

proses, dan output. Menurut L. James Havery sistem adalah prosedur logis dan

rasional untuk merancang suatu rangkaian komponen yang berhubungan satu

dengan yang lainnya dengan maksud untuk berfungsi sebagai suatu kesatuan

dalam usaha mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan.

Bagan 3.1
Kerangka Kerja
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang
Pencegahan Risiko Demam Kejang Berulang Pada Balita Di Ruang Anak
RSUD Sawah Lunto Tahun 2016

Sebelum Sesudah

Tingkat Pengetahuan Tingkat Pengetahuan


ibu tentang ibu tentang pencegahan
pencegahan demam demam kejang
kejang berulang P berulang setelah
sebelum diberikan e Penkes
n
k

Pendidikan kesehatan
tentang pencegahan
demam kejang berulang

J. Hipotesis Penelitian

48
Ha. Ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan ibu tentang

pencegahan risiko demam kejang berulang pada balita di ruang Anak RSUD

Sawah Lunto tahun 2016

K. Definisi Operasional

Tabel 3.1
Defenisi Operasional

Definisi Alat Skala


No Variabel Cara Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur Ukur
1 Pendidikan Proses pemberian Leaflet Wawancara
Kesehatan informasi kepada dan Flip
tentang responden tentang Chart
pencegahan pencegahan demam
demam kejang
kejang
berulang
2 Pengetahuan Hasil dari tahu Angket Kuesioner Ratio 0 -14
ibu terhadap yang dimiliki
pencegahan responden tentang
demam upaya pencegahan
kejang demam kejang
berulang berulang

BAB IV

49
HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum

Rumah Sakit Umum Daerah Kota Sawahlunto adalah Rumah Sakit

Umum Daerah Kelas C, ditetapkan dengan SK Menkes No.

481/Menkes/SK/V/97. RSUD Sawahlunto mempunyai bangunan yang sebagian

besar merupakan bangunan peninggalan Belanda. Pernah menjadi Rumah Sakit

Umum terbesar di Sumatera Tengah dan sebagai salah satu yang tertua di

Sumatera Barat. Didirikan tahun 1915 sebagai kelengkapan fasilitas tambang

batu bara Ombilin. Pada saat ini RSUD Sawahlunto sudah terakreditasi dari 5

pelayanan dasar. RSUD Sawahlunto merupakan satu-satunya rumah sakit yang

ada di Kota Sawahlunto dan merupakan rujukan bagi Puskesmas yang ada di

Kota Sawahlunto dan daerah daerah lain di sekitarnya.

Penelitian dilakukan di Ruang Rawat Inap Perinatologi dan Anak RSUD

Sawah Lunto didukung oleh beberapa sarana dan prasarana yang memadai yang

dapat mendukung berjalannya perawatan pada anak.

B. Analisa Univariat

50
50
1. Rerata Tingkat Pengetahuan Responden Sebelum Dilakukan Pendidikan

Kesehatan

Tabel 4.1
Rerata Tingkat Pengetahuan tentang Pencegahan Demam Kejang Berulang
Sebelum Diberikan Pendidikan Kesehatan di Ruang Rawat Inap
Perinatologi dan Anak RSUD Sawah Lunto
Tahun 2016

Variabel N Mean min – mak

Pengetahuan 18 0,17 2 – 11
sebelum pendidikan
kesehatan

Berdasarkan tabel 4.1 di atas diperoleh bahwa dari 18 responden

sebelum dilakukan pendidikan kesehatan, rata-rata sebelum diberikan pendidikan

kesehatan adalah 0,17, dengan nilai minimum 2 dan nilai maksimum 11.

2. Rerata Tingkat Pengetahuan Responden Setelah Dilakukan Pendidikan

Kesehatan

Tabel 4.2
Rerata Tingkat Pengetahuan tentang Pencegahan Demam Kejang Berulang
Setelah Diberikan Pendidikan Kesehatan di Ruang Rawat Inap
Perinatologi dan Anak RSUD Sawah Lunto
Tahun 2016

Variabel N mean min – mak

Pengetahuan setelah 18 0,56 6 – 14


pendidikan kesehatan

51
Berdasarkan tabel 4.2 di atas diperoleh bahwa rata-rata tingkat

pengetahuan dari 18 responden setelah diberikan pendidikan kesehatan adalah

0,56. Nilai minimum yang dicapai adalah 6 dan nilai maksimum 14.

C. Analisa Bivariat

1. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Tingkat Pengetahuan Ibu


Tentang Pencegahan Risiko Demam Kejang Berulang Pada Balita Di
Ruang Anak RSUD Sawahlunto tahun 2016

Tabel 4.4
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang
Pencegahan Risiko Demam Kejang Berulang Pada Balita Di Ruang Anak
RSUD Sawahlunto Tahun 2016

Variabel Mean t p value


difference
Pengetahuan 0,389 3,289 0,004
sebelum dan setelah
pendidikan
kesehatan

Berdasarkan tabel 4.4 diperoleh perbedaan rata-rata tingkat pengetahuan

sebelum diberikan pendidikan kesehatan dan sesudah diberikan pendidikan

kesehatan adalah 0,389, p value 0,004. Dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh

yang signifikan pendidikan kesehatan dengan tingkat pengetahuan responden

tentang pencegahan risiko demam kejang berulang.

52
BAB V
PEMBAHASAN

A. Analisa Univariat

1. Tingkat Pengetahuan Rata-Rata Sebelum diberikan Pendidikan

Kesehatan Tentang Pencegahan Demam Kejang Berulang

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata tingkat

pengetahuan sebelum diberikan pendidikan kesehatan pada 18 responden adalah

0,17, dengan nilai minimum 2 dan nilai maksimum 11. Hasil penelitian ini

hampir sama dengan penelitian Kamtoso (2015) dengan judul pengaruh

pendidikan kesehatan tentang penanganan demam kejang berulang terhadap

peningkatan pengetahuan ibu di Desa Tempur Sari Tembok Boyo Ngawi tahun

2015 dimana diperoleh rerata pengetahuan responden sebelum diberikan

pendidikan kesehatan adalah 0,25.

Menurut Notoatmodjo (2007) bahwa pengetahuan adalah hasil dari tahu

dan ini terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Penginderaan itu terjadi melalui panca indera yang meliputi indera penglihatan,

penciuman, pendengaran, rasa dan raba. Peningkatan pengetahuan memiliki

hubungan yang positif dengan perubahan perilaku. Dimana pengetahuan dapat

diperoleh melalui pendidikan dan penyuluhan-penyuluhan kesehatan. Hal ini bisa

didapatkan juga dengan membaca buku dan mendengarkan televisi, radio. Selain

53

53
itu pengetahuan juga dapat diperoleh melalui institusi pendidikan. Dimana

institusi pendidikan merupakan tempat diselenggarakannya proses belajar

mengajar secara formal, dimana terjadi transformasi ilmu pengetahuan dari para

guru atau pengajar kepada anak didiknya. Tingkat pendidikan akan

mempengaruhi kemampuan penyerapan informasi. Informasi inilah yang menjadi

pengetahuan bagi seseorang.

Menurut analisa peneliti dari hasil data yang dikumpulkan menunjukan

bahwa responden yang mempunyai pengetahuan tinggi ini disebabkan karena

responden sering terpapar dengan informasi tentang imunisasi baik melalui

penyuluhan kesehatan maupun melalui informasi-informasi lain dari petugas

kesehatan, berdasarkan hasil perhitungan jawaban kuesioner yang diisi oleh

responden 88,9 % mengetahui tanda dan gejala dari demam kejang. Sebanyak

83,3% responden mempunyai tingkat pengetahuan rendah hal ini disebabkan

karena responden sibuk bekerja sebagai PNS, petani dan pedagang, sehingga

jarang menghadiri kegiatan posyandu dimana di posyandu selalu diberikan

penyuluhan mengenai pentingnya menjaga kesehatan balita dan perawatan bila

anak sakit di rumah. Disarankan pada responden agar dapat menghadiri posyandu

yang dilaksanakan satu kali sebulan.

2. Tingkat Pengetahuan Rata-Rata Setelah diberikan Pendidikan

Kesehatan Tentang Pencegahan Demam Kejang Berulang

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata tingkat

pengetahuan dari 18 responden setelah diberikan pendidikan kesehatan adalah

54
0,56 dengan nilai minimum 6 dan nilai maksimum 14. Hasil penelitian ini hampir

sama dengan penelitian Kamtoso (2015) dengan judul pengaruh pendidikan

kesehatan tentang penanganan demam kejang berulang terhadap peningkatan

pengetahuan ibu di Desa Tempur Sari Tembok Boyo Ngawi tahun 2015 dimana

diperoleh rerata pengetahuan responden setelah diberikan pendidikan kesehatan

tentang pencegahan demam kejang berulang adalah 0,62.

Pendidikan seseorang dapat mempengaruhi cara pandang dan

pengetahuan seseorang. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan rendah,

tidak berarti memiliki pengetahuan yang rendah pula. Pendidikan kesehatan

adalah penambahan kemampuan seseorang melalui belajar atau instruksi dengan

tujuan mengubah atau mempengaruhi perilaku manusia secara individu,

kelompok maupun masyarakat untuk dapat lebih mandiri dalam mencapai tujuan

hidup sehat (Depkes, 2002). Pendidikan kesehatan merupakan gabungan

berbagai kegiatan dan kesempatan belajar di mana individu, keluarga, kelompok

atau masyarakat secara keseluruhan ingin mencapai hidup sehat, secara individu

maupun secara berkelompok dengan meminta pertolongan kepada orang lain.

Menurut Notoatmodjo (2003), pendidikan kesehatan merupakan suatu upaya atau

kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan perilaku masyarakat secara mandiri

untuk mendukung terciptanya kondisi yang sehat.

Menurut analisa peneliti dari hasil data yang dikumpulkan menunjukan

bahwa 94,4% responden sudan mengetahui defenisi, tanda dan gejala serta

berapa lama kemungkinan demam kejang akan dialami oleh balita. Hal ini

55
menunjukkan bahwa Pendidikan kesehatan juga merupakan suatau upaya yang

dilakukan agar masyarakat menyadari dan mengerti cara-cara memelihara dan

meningkatkan kesehatan mereka sendiri, menghindari atau mencegah hal-hal

yang merugikan kesehatan mereka dan kesehatan orang lain. Anggota keluarga

mempunyai peran penting dalam pendidikan kesehatan, sering kali lebih

mendalam dari yang disadari mereka, walaupun pendidikan kesehatan anggota

keluarga berjalan secara tidak resmi. Sehingga dapat dikatakan bahwa

pendidikan kesehatan / pengetahuan yang diperoleh responden secara non formal

memberikan cara pandang / wawasan bagi responden dalam memberikan

perawatan pencegahan demam kejang pada anak hal ini dibuktikan dari

pengetahuan responden sebelum dan setelah diberikan pendidikan kesehatan

mengenai pencegahan demam kejang berulang.

B. Analisa Bivariat

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh diperoleh p value 0,004 dapat

disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan pengetahuan responden

sebelum dan setelah diberikan pendidikan kesehatan.

Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan

Rahayu (2014) tentang model pendidikan kesehatan dalam menigkatkan

pengetahuan tentang pengelolaan kejang demam pada ibu balita di posyandu

balita dimana diperoleh ada perbedaan yang signifikan antara pengetahuan pre

test dan post test pada responden dengan p value 0,003.

56
Menurut Notoatmodjo (2007) bahwa pengetahuan adalah hasil dari tahu

dan ini terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Penginderaan itu terjadi melalui panca indera yang meliputi indera penglihatan,

penciuman, pendengaran, rasa dan raba. Peningkatan pengetahuan memiliki

hubungan yang positif dengan perubahan perilaku. Dimana pengetahuan dapat

diperoleh melalui pendidikan dan penyuluhan-penyuluhan kesehatan. Hal ini bisa

didapatkan juga dengan membaca buku dan mendengarkan televisi, radio. Selain

itu pengetahuan juga dapat diperoleh melalui institusi pendidikan. Dimana

institusi pendidikan merupakan tempat diselenggarakannya proses belajar

mengajar secara formal, dimana terjadi transformasi ilmu pengetahuan dari para

guru atau pengajar kepada anak didiknya. Tingkat pendidikan akan

mempengaruhi kemampuan penyerapan informasi. Informasi inilah yang menjadi

pengetahuan bagi seseorang.

Menurut Notoatmodjo (2007) pendidikan kesehatan merupakan salah satu

usaha promotif dan preventif yang hakikatnya merupakan suatu kegiatan atau

usaha untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok, atau

individu sehingga memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik.

Pengetahuan tersebut akhirnya diharapkan dapat berpengaruh terhadap

perubahan perilaku. Pendidikan kesehatan adalah salah satu upaya untuk

merubah pengetahuan, sikap atau perilaku seseorang. Pemberian pendidikan

kesehatan tentang kejang demam dan penatalaksanaannya diharapkan dapat

57
menambah informasi orang tua mengenai kejang demam dan tindakan awal

penatalaksanaan kejang demam di rumah.

Menurut analisa peneliti pengetahuan dasar yang sama menjadi dasar yang

sangat penting melakukan perencanaan selanjutnya yaitu dengan memberikan

pendidikan kesehatan pada responden. Hal ini juga mempermudah dalam

melakukan evaluasi di akhir tindakan, dimana pendidikan kesehatan yang

diberikan akan memberikan dampak bagi responden. Dengan memberikan

pendidikan kesehatan diharapkan responden mendapatkan informasi,

pengetahuan, dan pengalaman tentang pencegahan demam kejang berulang pada

anak dan akhirnya pengetahuan responden akan meningkat, khususnya

pengetahuan tentang pencegahan kejang demam di rumah. Peningkatan

pengetahuan menunjukkan bahwa pemberian pendidikan kesehatan pencegahan

kejang demam di rumah terbukti memberikan pengaruh atau dampak kepada ibu

balita dalam meningkatkan pengetahuannya setelah diberikan pendidikan

kesehatan sehingga mereka mempunyai pengetahuan, pengalaman dan informasi

dalam memberikan penanganan kejang demam di rumah. Pengalaman dan

informasi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan hal ini

dibuktikan dengan p value 0,004.

58
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan pada penelitian ini tentang

pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan ibu tentang

pencegahan risiko demam kejang berulang pada balita di ruang Anak RSUD

Sawah Lunto tahun 2016, dapat ditarik kesimpulan:

1. Rata-rata pengetahuan responden sebelum diberikan pendidikan kesehatan

adalah 0,17 dengan standar deviasi 0,383 di ruang Anak RSUD Sawah Lunto

tahun 2016

2. Rata-rata pengetahuan responden setelah diberikan pendidikan kesehatan

adalah 0,56 dengan standar deviasi 0,511. Dari hasil estimasi interval dapat

disimpulkan bahwa 95 % diyakini rata-rata sebelum dan setelah penkes adalah

0,638 – 0,139 di ruang Anak RSUD Sawah Lunto tahun 2016

3. Ada pengaruh yang signifikan pendidikan kesehatan dengan tingkat

pengetahuan responden di ruang Anak RSUD Sawah Lunto tahun 2016

dengan p value 0,004.

59
59
B. Saran

1. Bagi Responden

Diharapkan responden untuk dapat menyiapkan obat-obatan untuk

balita yang pernah kejang sesuai dosis dokter dan membawa balita demam ke

Petugas kesehatan jika satu hari demam tidak turun.

2. Bagi Instutisi Pendidikan

Sebagai bahan perpustakaan untuk menambah buku dan sarana

penyuluhan tentang penanganan demam kejang dan juga dapat memberikan

informasi bagi mahasiswa untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

3. Bagi Perawat RSUD

Perlunya memperhatikan kesehatan dan memberikan penyuluhan

secara berkala dengan metode yang bervariasi setiap kegiatan Posyandu

kepada ibu balita tentang penanganan demam kejang berulang diwilayahnya

guna meningkatkan pengetahuan dan pemahaman ibu tentang demam kejang

serta dampak bila bayi / balita tidak segera diobati, dan diharapkan kepada

petugas kesehatan untuk menganjurkan pada ibu yang mempunyai balita yang

sudah pernah mengalami demam kejang di rumah untuk menyimpan obat

penurun panas sesuai dosis.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan kepada peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih

lanjut dengan variabel yang beda, dan lokasi yang berbeda.

60
61

Anda mungkin juga menyukai