Anda di halaman 1dari 21

Reading Assignment Telah dibacakan

Divisi Geriatri dr. Ariantho S. Purba, SpPD

REHABILITASI DISFAGIA
PADA PASIEN GERIATRI DENGAN PNEUMONIA ASPIRASI
Steffie Solin, Dina Aprillia, Ariantho S. Purba, Bistok Sihombing
Divisi Geriatri
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Pendahuluan
Disfagia (kesulitan menelan) adalah masalah kesehatan yang berkembang pada
populasi yang menua. Perubahan terkait usia dalam fisiologi menelan serta penyakit terkait
usia merupakan faktor predisposisi disfagia pada orang tua. Di Amerika Serikat, disfagia terjadi
pada 300.000-600.000 orang setiap tahunnya. Meskipun prevalensi disfagia yang tepat di
berbagai tempat masih belum jelas, dengan perkiraan konservatif menunjukkan bahwa 15%
populasi lansia terkena disfagia.1
Menurut sebuah studi tunggal, tingkat rujukan disfagia pada orang tua di sebuah rumah
sakit pendidikan tersier meningkat 20% dari tahun 2002-2007, dimana 70% rujukan terdiri dari
orang-orang di atas usia 60 tahun. Biro Sensus Amerika Serikat menunjukkan bahwa pada
tahun 2010, populasi di atas usia 65 tahun adalah 40 juta. Secara bersamaan, ini menunjukkan
bahwa hingga 6 juta orang dewasa tua dapat dianggap berisiko disfagia.1
Setiap gangguan dalam proses menelan dapat didefinisikan sebagai disfagia. Pasien
dengan defisit anatomis atau fisiologis di mulut, faring, laring, dan kerongkongan bisa
menunjukkan tanda dan gejala disfagia. Selain itu, disfagia berkontribusi terhadap berbagai
perubahan status kesehatan yang negatif, terutama peningkatan risiko malnutrisi dan
pneumonia.1 Terlepas dari mana pneumonia terjadi, kebanyakan kasus pneumonia pada orang
tua adalah pneumonia aspirasi, yang merupakan kategori pneumonia berdasarkan fungsi.2
Pneumonia aspirasi (PA) adalah penyakit yang umum namun berpotensi serius yang
sering terjadi pada pasien lanjut usia. Sebagian besar pasien PA mengalami disfagia, terutama
pada orang tua, oleh karena itu PA dapat menjadi faktor risiko terjadinya masalah dalam proses
asupan oral.3
Rehabilitasi disfagia (RD) dianggap sebagai pilihan yang layak untuk meningkatkan
asupan oral. Laporan sebelumnya menunjukkan bahwa program RD meningkatkan
kemampuan asupan oral pada pasien kanker kepala dan leher serta stroke.3

1
RD meliputi strategi kompensasi menelan, modifikasi diet yang tepat, anjuran menelan
dan latihan menelan langsung. Latihan dirancang untuk memfasilitasi kekuatan motor
orofaringeal, rentang gerak dan koordinasi. Pendekatan ini dikatakan dapat mengurangi
aspirasi dan memungkinkan asupan oral yang aman.3 Manajemen rehabilitasi termasuk terapi
fisik dini, dan rehabilitasi paru-paru dan disfagia dapat memperbaiki hasil klinis pasien geriatri
dengan PA.3
Oleh karena itu, adapun tujuan dari tulisan ini adalah untuk meninjau literatur yang
dapat membuka wawasan mengenai rehabilitasi disfagia pada pasien geriatri dengan
pneumonia aspirasi.

Pneumonia Aspirasi
Pneumonia komunitas adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada orang
tua, dengan perkiraan biaya perawatan kesehatan tahunan di Amerika Serikat sebesar $ 4,4
miliar.4 Di Amerika Serikat pneumonia aspirasi yang terjadi pada komunitas sebanyak 10%,
pneumonia pada pusat perawatan kesehatan 30%, dan pneumonia aspirasi nosokomial
sebanyak 800 pasien per 100.000 pasien rawat inap per tahun. Pneumonia aspirasi pada pasien
dari fasilitas kesehatan jangka panjang ditemukan 3 kali lipat lebih banyak daripada pneumonia
aspirasi dari komunitas. Mortalitas pneumonia aspirasi komunitas berbanding pneumonia
aspirasi di pusat fasilitas kesehatan adalah 19,4% berbanding 28,4%.5 Studi epidemiologis
telah menunjukkan bahwa kejadian pneumonia meningkat seiring bertambahnya usia, dengan
risiko hampir enam kali lebih tinggi pada usia 75 tahun tersebut dibandingkan dengan usia 60
tahun. Selanjutnya, kematian akibat pneumonia meningkat secara tajam dengan penuaan.
Tingkat serangan untuk pneumonia paling tinggi di antara mereka yang berada di panti jompo.
Marrie menemukan bahwa 33 dari 1.000 penduduk panti jompo per tahun diwajibkan rawat
inap untuk pengobatan pneumonia, dibandingkan dengan 1,14 dari 1000 orang lanjut usia yang
tinggal di masyarakat. Populasi yang semakin menua memiliki dampak besar terhadap
insidensi, morbiditas, mortalitas, dan biaya perawatan kesehatan.4
PPOK, penyakit jantung, keganasan, malnutrisi, gagal jantung kongestif, dan diabetes
melitus telah dikaitkan sebagai faktor risiko yang menyebabkan pneumonia komunitas pada
usia tua. Disfagia serta aspirasi oropharyngeal, biasanya tidak terpikirkan sebagai faktor
etiologi pada pasien lanjut usia yang mendapatkan pneumonia komunitas.4

2
Patogen Pneumonia Aspirasi
Aspirasi didefinisikan sebagai kandungan orofaringeal atau lambung masuk ke dalam
laring dan saluran pernapasan bagian bawah.6 Pneumonia aspirasi terdiri dari dua kondisi
patologis seperti inflamasi paru yang terutama mengenai alveoli dan kesalahan menelan terkait
dengan disfagia. Berbeda dengan pneumonitis aspirasi yang merupakan cedera paru akut yang
disebabkan oleh aspirasi kandungan lambung (biasanya steril), jenis pneumonia aspirasi
umumnya dikenali sebagai infeksi bakteri.7 Namun, dokter sering mengalami kesulitan
mengidentifikasi penyebab bakteri patogen pada pasien dengan pneumonia aspirasi. Ketika
dilakukan pemeriksaan kultur bakteri sputum, flora normal adalah yang paling umum dijumpai.
Jika kita melakukan kultur bakteri > 106 cfu/mL, flora normal masih menjadi yang paling
banyak ditemukan, dan tidak ada bakteri terdeteksi dalam setengah kasus.8,9 Komponen utama
flora normal pada dasarnya adalah streptokokus rongga mulut yang dapat menjadi patogen dan
berperan dalam terjadinya kerusakan gigi.8
Studi genetika terbaru menunjukkan bahwa bakteri anaerob dan bakteri di mulut
terdeteksi lebih sering pada pasien dengan pneumonia komunitas daripada yang diperkirakan
sebelumnya.10 Bakteri ini mungkin berperan penting dalam terjadinya pneumonia aspirasi pada
lansia. Namun, prevalensinya tidak begitu tinggi, dan bakteri patogen dalam sebagian besar
kasus pneumonia aspirasi umumnya tidak jelas. Hal ini menunjukkan peran bakteri terbatas
dalam terjadinya pneumonia aspirasi pada lansia.11

Inflamasi Kronis pada Lansia dengan Pneumonia Aspirasi


Banyak kasus lansia penghuni panti jompo yang lemah menderita pneumonia aspirasi
menunjukkan gejala demam sporadis, seperti satu hari per minggu selama beberapa bulan, hal
tersebut menunjukkan bahwa terjadi aspirasi sejumlah kecil materi yang tidak virulen terjadi
terus menerus dalam seminggu sekali.12,13
Aspirasi mikro yang kronis menyebabkan peradangan kronis di paru, yang
menyebabkan angiogenesis dan limfangiogenesis. Sel inflamasi mengeluarkan banyak faktor
angiogenik dan limfangiogenik, termasuk keluarga VEGF, TNF-, dan sitokin lainnya.14,15
Beberapa jenis leukosit dan makrofag berkontribusi dalam terjadinya remodeling proteolitik
matriks ekstraselular. Angiogenesis dan limfangiogenesis memicu rekrutmen sel imun lainnya,
yang mengakibatkan peningkatan peradangan kronis.2
Di sisi lain, peningkatan sitokin inflamasi seperti TNF, IL-1, dan IL-6 menyebabkan
penurunan massa otot dan kekuatan, yang disebut sarkopenia. Sarkopenia memegang peran
kunci dalam terjadinya kelemahan pada orang tua. Secara khusus, sarkopenia otot menelan

3
berhubungan langsung dengan kelemahan mulut dan disfagia yang memulai terjadinya
lingkaran setan aspirasi kronis (Gambar 1). Oleh karena lingkaran setan tersebut bisa terjadi
tanpa keterlibatan mikroorganisme, kita harus mempertimbangkan bagaimana mencegah
aspirasi, bukan bagaimana menggunakan antibiotik pada pasien lanjut usia yang menderita
pneumonia.2

Gambar 1. Lingkaran setan pneumonia aspirasi kronis karena terjadinya aspirasi mikro yang berulang.2

Disfagia, Dystussia, dan Pneumonia aspirasi


Penelitian cross-sectional berskala besar baru-baru ini pada orang tua di Jepang
menunjukkan bahwa faktor risiko pneumonia aspirasi adalah pengisapan (suction) dahak,
disfagia, dehidrasi, dan demensia.16 Tingkat kejadian demensia meningkat secara eksponensial
dengan usia, dimana kenaikan yang paling menonjol terjadi saat dekade ketujuh dan kedelapan
tahun kehidupan. Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa pasien dengan demensia
senilis pasti mengalami disfagia dan memiliki risiko kematian yang tinggi akibat pneumonia
aspirasi.17 Meskipun aspirasi berulang terjadi karena disfagia, pneumonia jarang terjadi jika
bahan yang teraspirasi benar-benar dikeluarkan dari jalan napas dengan batuk. Oleh karena itu,
baik disfagia maupun dystussia (terganggunya respon batuk) merupakan elemen penting untuk
terjadinya pneumonia aspirasi.2
Perlu dicatat bahwa disfagia dan dystusia biasanya tidak terjadi bersamaan pada lansia.
Nakajoh dkk. meneliti distribusi sensitivitas refluks menelan dan batuk pada penghuni panti
jompo. Mereka menunjukkan bahwa terdapat penghuni yang refleks menelannya terganggu,
namun refleks batuknya tetap terjaga, sedangkan penghuni yang refleks menelannya utuh dan
refleks batuk terganggu hanya sedikit. Hasilnya menunjukkan bahwa dystussia terjadi setelah
disfagia pada kebanyakan penghuni rumah jompo. Demikian pula pada pasien dengan disfagia
neurogenik, termasuk pasien dengan penyakit Parkinson, tidak mengalami penurunan

4
sensitivitas refleks batuk, yang menunjukkan bahwa penurunan refleks menelan diikuti oleh
penurunan refleks batuk pada sebagian besar orang tua. Mitchell dkk. melaporkan bahwa, pada
pasien dengan demensia berat yang berada di panti jompo, terdapat sekitar 300 hari jeda waktu
antara dimulainya masalah makan dan menderita pneumonia yang mengancam jiwa.
Mengingat bahwa pneumonia adalah konsekuensi dari gabungan gangguan fungsi menelan dan
batuk, penelitian ini juga menunjukkan bahwa dystussia mengikuti disfagia pada orang tua
dengan demensia.2

Atusia dan Silent Aspirasi dalam Proses Penuaan


Meskipun terganggunya batuk telah diamati pada pasien dengan pneumonia aspirasi
yang berulang, evaluasi perubahan sensitivitas refluks batuk terkait usia tidak menunjukkan
penurunan yang signifikan, hal tersebut tidak hanya tampak pada orang lanjut usia yang aktif
dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga pada lansia yang lemah tanpa riwayat pneumonia
aspirasi.18 Namun, dilaporkan juga bahwa persepsi tentang desakan untuk batuk (urge-to-
cough) menurun seiring dengan penuaan walaupun tidak ada perubahan ambang batas reflek
batuk pada lanjut usia tanpa aspirasi pneumonia. Pada lansia yang lemah dengan riwayat
pneumonia aspirasi berulang, mereka hampir tidak merasakan keinginan untuk batuk,
walaupun dengan stimulus yang paling kuat. Ketidakmampuan untuk batuk setelah rangsangan
batuk disebut atussia, yang merupakan disfungsi fisiologi batuk, dan aspirasi dengan atusia
disebut silent aspirasi.19
Disfungsi komponen batuk neuronal dan motorik menyebabkan atussia. Namun,
penurunan persepsi desakan untuk batuk lebih menunjukkan gangguan komponen neuronal
daripada komponen motorik pada lanjut usia. Saat ini, terdapat kumpulan bukti yang
menunjukkan bahwa disfungsi fisiologi batuk bisa disebabkan oleh gangguan jalur korteks
untuk batuk dan jalur refleks meduler. Desakan untuk batuk adalah komponen sistem
motivation-to action di otak. Oleh karena itu, penurunan sensitivitas dari desakan untuk batuk
menunjukkan adanya gangguan sistem kortikal dari kontrol neuronal fisiologi batuk.2
Penuaan dikaitkan dengan penurunan fungsi otak pada beberapa domain, termasuk
proses kognitif dan emosional yang berkaitan dengan beberapa keadaan patologis otak seperti
atrofi, penyakit serebrovaskular, penyakit degeneratif, dan sirkuit. Pada gambar 2 ditunjukkan
perjalanan alami manusia dengan menurunnya fungsi otak seiring dengan terjadinya penuaan.
Disfagia dapat terjadi pada tahap awal disfungsi otak. Kemudian, dengan terjadinya disfungsi
otak, dystussia bisa terjadi. Kemudian pada keadaan hampir tahap akhir disfungsi otak, orang-

5
orang menderita atusia mengalami silent aspirasi, yang berhubungan dengan kematian akibat
pneumonia.2

Gambar 2. Perjalanan alami penurunan fungsional pada kebanyakan lanjut usia. Seiring penuaan, fungsi
otak menurun. Dengan menurunnya fungsi otak, disfagia terjadi, diikuti oleh dystusia, dan akhirnya
atussia dan silent aspirasi yang erat kaitannya dengan kematian akibat pneumonia.2

Penilaian Disfagia
Menelan adalah proses neuromuskular yang kompleks dan terkoordinasi, yang terdiri
dari aktivitas yang disadari maupun yang tidak disadari. Hal ini melibatkan tiga fase anatomis
dan temporal yang berbeda antara lain : rongga mulut, faring, dan esofagus. Pasien lansia
dengan tanda dan gejala kesulitan menelan orofaring (Tabel 1) biasanya memiliki riwayat
pneumonia dan pasien tersebut harus dievaluasi menelan yang komprehensif. Skrining dapat
dilakukan untuk mengidentifikasi kelainan menelan. Sebelumnya, reflek muntah telah
digunakan oleh banyak dokter sebagai indikator fungsi menelan. Namun, beberapa pasien
yang tidak memiliki refleks muntah menelan dengan normal, dan banyak pasien dengan
disfagia memiliki refleks muntah yang normal. Refleks muntah merupakan indikator buruk
fungsi menelan dan tidak boleh digunakan sebagai alat skrining untuk disfagia.4

6
Tabel 1. Tanda klinis disfagia4

Penilaian Klinis
Penilaian klinis bertujuan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi gangguan menelan
tahap oral. Hal ini memungkinkan prediksi gangguan fisiologi menelan pada faring, laring, dan
esofagus. Temuan dari evaluasi klinis akan menentukan manajemen yang tepat, strategi
pengobatan spesifik, dan keperluan instrument uji yang tepat. Penilaian klinis mencakup
penilaian riwayat medis dan menelan yang komprehensif, motorik rongga mulut, evaluasi
sensoris, dan pasien menelan makanan dan cairan dengan berbagai konsistensi serta berbagai
volume yang terkalibrasi. Kontrol rongga mulut, aktivitas lingual, residu rongga mulut, inisiasi
elevasi laring, ekskursi laring, kualitas suara, dan batuk setelah menelan adalah beberapa
parameter klinis utama yang diamati selama penilaian klinis. Penilaian menelan dapat
dilakukan dengan atau tanpa penggunaan auskultasi servikal, oksimetri nadi, atau penggunaan
pewarna makanan pada pasien trakeostomi. Strategi terapeutik seperti mengubah tekstur
makanan, postur tubuh, dan manuver spesifik juga dapat diuji.4
Bukti yang tersedia, walaupun terbatas, menunjukkan bahwa penilaian klinis penuh
mungkin memiliki sensitivitas sekitar 80% dan spesifisitas 70% untuk mendeteksi aspirasi
pada orang dewasa lanjut usia. Telah diprediksi bahwa pengujian klinis akan mengurangi
jumlah pasien lanjut usia yang tidak harusnya menajalani uji instrumental sehingga akan
mengurangi biaya penilaian yang tidak perlu.4

7
Penilaian Instrumental
Evaluasi instrumental melengkapi penilaian klinis. Ini memungkinkan klinisi untuk
mengevaluasi lebih lanjut struktur dan fungsi fisiologi rongga mulut, faring, laring, dan
esofagus bagian atas, serta menilai manfaat strategi kompensasi dan pengobatan. Video
Fluoroscopic Swallow Assesment (VFSS) adalah alat penilaian instrumental yang paling
banyak digunakan pada praktik klinis sehari-hari untuk menentukan sifat dan tingkat gangguan
menelan. Endoskopi Fiberoptik semakin banyak digunakan untuk menilai fisiologi menelan
dan risiko aspirasi. Teknik instrumentasi lain yang kurang umum meliputi skintigrafi,
ultrasonografi, elektromiografi, dan manometri.4
VFSS adalah gambar video atau digital fluoroscopic yang direkam, dengan fokus pada
anatomi rongga mulut, faring, laring, esofagus bagian atas dan fisiologi menelan. Pasien duduk
setegak mungkin dan harus dilihat pada bidang lateral dan anteroposterior selama pemeriksaan
berlangsung. Materi radiopak, biasanya barium, diberikan kepada pasien, dengan peningkatan
volume bolus tambahan yang dapat ditoleransi. Barium biasanya dicampur dengan cairan dan
makanan dari berbagai konsistensi. Gambaran radiografi diamati pada monitor selama
prosedur berlangsung, dan harus secara simultan dicatat atau direkam secara digital untuk
analisis lebih lanjut. VFSS harus dilakukan oleh ahli patologi bicara dan bahasa bersama
radiologi atau profesional perawatan kesehatan terlatih lainnya. VFSS menunjukkan struktur
anatomis dan fisiologi menelan pada rongga mulut, faring, laring, dan kerongkongan atas
selama deglutisi. VFSS mengidentifikasi kelainan pada pola pergerakan struktur orofaringeal,
laryngeal, dan esofagus, yang dapat menyebabkan aspirasi atau menelan yang tidak efisien.
Strategi kompensasi dan pengobatan termasuk posisi kepala dan manuver menelan diuji selama
VFSS untuk menentukan apakah efisiensi menelan meningkat dan/atau apakah aspirasi dapat
dikurangi atau dieliminasi. Endoskopi fiberoptik untuk evaluasi menelan merupakan tambahan
untuk penilaian klinis dan memberikan informasi rinci tentang anatomi dan fisiologi faring dan
laring serta penilaian fase menelan faringeal. Hal ini membutuhkan pasase transnasal dari
laringoskop yang fleksibel ke dalam hipofaring. Makanan dan cairan diberikan dengan cara
yang sama seperti selama pemeriksaan klinis. Evaluasi dengan endoskopi fiberoptik untuk
menelan adalah instrumen penilaian yang bisa diberikan secara bedside dan cocok untuk
pengujian serial.4

Penatalaksanaan Disfagia pada Lansia dan Pencegahan Pneumonia Aspirasi


Penatalaksanaan pasien lansia dengan disfagia memerlukan keahlian terkoordinasi dari
sejumlah profesional layanan kesehatan, termasuk dokter pelayanan primer, ahli jantung, ahli

8
patologi bicara dan bahasa, ahli gizi, ahli terapi okupasi, ahli fisioterapi, perawat, ahli
kebersihan mulut, dokter gigi. Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan keamanan, efisiensi,
dan efektivitas menelan orofaring, untuk menjaga nutrisi dan hidrasi yang adekuat serta untuk
meningkatkan kebersihan mulut. Pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup.4
Rencana pengelolaan dilakukan sesuai hasil penilaian klinis dan instrumental. Strategi
kompensasi bertujuan untuk meningkatkan efisiensi makan dan menelan, dan untuk
mengurangi risiko aspirasi, melibatkan modifikasi konsistensi makanan dan cairan serta
volume, sebagaimana untuk mengubah presentasi bolus. Modifikasi diet adalah pendekatan
manajemen yang umum. Pasien juga bervariasi dalam hal kemampuan menelan cairan tipis dan
tebal (kental), semi padat, dan yang padat. Konsistensi makanan pasien harus disesuaikan
dengan temuan dari uji klinis. Dehidrasi pada orang tua merupakan salah satu masalah utama
di panti jompo dan fasilitas perawatan jangka panjang. Oleh karena itu perhatian harus
diarahkan pada modifikasi cairan, karena kepatuhan terhadap cairan yang kental seringkali
berkurang. Paparan kecil terhadap air dingin pada pasien dengan kebersihan mulut yang baik
dapat memberi kelegaan pada pasien yang haus dan dapat mengurangi dehidrasi.20
Teknik pengobatan mencakup strategi kompensasi (manuver postural) dan terapi tidak
langsung (latihan untuk memperkuat otot menelan). Teknik ini mengubah fisiologi menelan
untuk meningkatkan efisiensi atau menelan yang lebih aman. Ada strategi khusus untuk
memperbaiki fungsi saluran napas, faring, dan laring dan fungsi spinkter esofagus bagian atas.
Manuver menelan menempatkan aspek menelan faring di bawah kontrol kesadaran. Misalnya,
manuver Mendlesohn dirancang untuk meningkatkan luas dan durasi elevasi laring pada pasien
dengan gerakan laring yang berkurang. Hal ini pada gilirannya meningkatkan durasi dan lebar
pembukaan krikofaringeal.21 Manuver lainnya adalah "super-supraglottic swallow", yang
dirancang untuk menutup pintu masuk jalan nafas sebelum dan selama menelan. Manuver ini
digunakan pada pasien-pasien yang mengalami terganggunya penutupan pintu masuk jalan
nafas yang bisa mengikuti instruksi. Temuan dari pemeriksaan klinis dan instrumental akan
mengarahkan strategi dan latihan mana yang paling bermanfaat untuk pasien tertentu. Strategi
lingkungan sering menjadi kunci dalam mengelola disfagia pada lansia. Perubahan yang terjadi
termasuk memodifikasi lingkungan makan atau mengubah jadwal makan, sering kali dapat
memperbaiki asupan gizi. Pendidikan, pelatihan, dan konseling pasien dan/atau pengasuh
mereka sangat penting.4

9
Penyesuaian postural
Perubahan postur tubuh dan/atau kepala mungkin direkomendasikan sebagai teknik
kompensasi untuk mengurangi aspirasi atau residu. Perubahan postur tubuh dapat mengubah
kecepatan dan arah aliran makanan atau bolus cair, serta dimaksudkan untuk melindungi jalan
napas dan memfasilitasi menelan yang aman. Pada tabel 2 dicantumkan penyesuaian postural
yang umum digunakan. Secara umum, penyesuaian postural ini dimaksudkan untuk jangka
pendek dan dampaknya dapat dievaluasi saat pemeriksaan klinis atau dengan pencitraan.
Literatur yang tersedia mengenai manfaat teknik ini bervariasi. Sebagai contoh, beberapa
peneliti melaporkan penurunan aspirasi dari teknik dagu ke bawah, namun peneliti lainnya
melaporkan tidak ada manfaat yang signifikan atau tidak ada manfaat superior dibandingkan
dengan strategi kompensasi lainnya seperti cairan kental.1
Kemudian strategi kompensasi ini hanya berdampak pada status gizi atau pneumonia
ketika pasien diperbolehkan mengkonsumsi makanan/cairan dalam jumlah yang cukup dengan
tidak adanya gangguan jalan napas yang menyebabkan infeksi pada paru. Tidak ada data yang
yang mengkonfirmasi potensi penyesuaian postural ini dan beberapa data menunjukkan bahwa
strategi ini lebih inferior daripada upaya rehabilitasi yang lebih aktif dalam pencegahan defisit
gizi dan pneumonia.1

Tabel 2. Contoh penyesuaian postural1

10
Gambar 3. Contoh penyesuaian postural terkadang digunakan sebagai intervensi kompensasi pada
disfagia orofaringeal. Dari kiri ke kanan: rotasi kepala, kepala miring dan fleksi leher anterior 1
\

Manuver Menelan
Manuver menelan adalah varian 'abnormal' dari menelan normal yang dimaksudkan
untuk meningkatkan keamanan atau efisiensi fungsi menelan. Berbagai manuver menelan telah
disarankan untuk mengatasi defisit menelan fisiologis yang berbeda.1,22
Pada tabel 3 disajikan manuver menelan yang umum digunakan. Manuver menelan
dapat digunakan sebagai kompensasi jangka pendek namun banyak juga digunakan sebagai
strategi rehabilitasi menelan. Manuver yang berbeda-beda dimaksudkan untuk mengatasi
berbagai aspek gangguan menelan. Sebagai contoh, teknik menelan supraglottic dan super
supraglottic keduanya menggabungkan menahan nafas yang disadari dengan penutupan laring
untuk melindungi jalan nafas saat menelan.1,22
Manuver Mendelsohn dimaksudkan untuk memperpanjang pembukaan atau relaksasi
sfingter esofagus bagian atas. Pada akhirnya, diharapkan dengan usaha keras menelan
dimaksudkan untuk mengurangi residu atau terganggunya saluran nafas. Seperti penyesuaian
postural, data yang tersedia tentang keberhasilan teknik ini pada populasi pasien masih terbatas
dan kebanyakan dengan sampel kecil. Dengan demikian, saran terbaik untuk dokter adalah
untuk memverifikasi dampak manuver ini dengan menggunakan studi pencitraan terlebih
dahulu sebelum memperkenalkannya sebagai strategi kompensasi. Selain itu, hampir sama
dengan penyesuaian postural, tidak ada penelitian signifikan yang menunjukkan dampaknya
manuver ini, bila digunakan sebagai strategi kompensasi terhadap status gizi atau pneumonia.1

11
Tabel 3. Contoh Manuver Menelan1

Modifikasi diet
Memodifikasi konsistensi makanan padat dan/atau cairan merupakan andalan
intervensi kompensasi untuk pasien dengan disfagia. Tujuan modifikasi diet adalah untuk
meningkatkan keamanan dan kemudahan konsumsi oral dan dengan demikian menjaga asupan
makanan/cairan yang aman dan memadai. Namun, penerimaan yang kurang dan
ketidakpatuhan terhadap makanan/cairan yang dimodifikasi dapat menyebabkan peningkatan
risiko nutrisi yang tidak memadai pada pasien usia lanjut dengan disfagia.1

Cairan yang dikentalkan


Penggunaan cairan yang dikentalkan adalah salah satu intervensi kompensasi yang
paling sering digunakan di rumah sakit dan fasilitas perawatan jangka panjang. Berdasarkan
intuisi klinis dan bukti anekdotal yang diterima pada umumnya mengklaim bahwa cairan yang
dikentalkan memiliki efek dalam membantu mengendalikan kecepatan, arah, durasi dan
pembersihan bolus. Namun, hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa cairan yang
dikentalkan menghasilkan outcome kesehatan positif yang signifikan berkenaan dengan status
gizi atau pneumonia. Meskipun secara keseluruhan terdapat kekurangan bukti yang
mendukung penggunaan cairan yang dikentalkan, strategi ini terus menjadi landasan dalam
manajemen disfagia di banyak fasilitas. Sebagai contoh, survei terhadap 145 Speech
Languange Pathologist (SLP) oleh Garcia dkk melaporkan bahwa 84,8% responden merasa
bahwa cairan yang dikentalkan merupakan strategi manajemen yang efektif untuk gangguan
menelan dimana cairan nektar (madu bunga) yang kental yang paling sering digunakan.
Sayangnya, persepsi dokter ini tidak didukung oleh penelitian yang ada. Sebagai contoh,
Logemann et al melaporkan bahwa cairan kental madu lebih efektif dalam mengurangi aspirasi
selama pemeriksaan menelan dengan fluoroskopik daripada cairan tebal nektar (atau teknik
dagu ke bawah). Tapi manfaat ini hilang saat cairan kental madu diberikan pada akhir

12
penilaian.23 Kuhlemeier et al mengidentifikasi cairan 'ultrathick' dapat mengurangi terjadinya
aspirasi daripada cairan kental atau tipis (thin), walaupun cara presentasinya (menggunakan
cup atau sendok) mengubah hasilnya. Dengan demikian, bukti yang ada tampaknya tidak sesuai
dengan persepsi dokter mengenai penggunaan cairan kental. Di luar skenario ini, cairan kental
dapat menghadirkan batasan pragmatis dalam praktik klinis.1

Keterbatasan cairan yang dikentalkan


Perhatian utama dalam penggunaan berlebihan cairan yang dikentalkan adalah risiko
dehidrasi pada pasien usia lanjut dengan disfagia. Ketaatan pasien dengan cairan dikentalkan
seringkali menurun. Survei SLP baru-baru ini menunjukkan bahwa cairan kental madu sangat
tidak disukai oleh pasien mereka namun cairan nektar yang tidak terlalu kental diterima lebih
dari satu dari sepuluh pasien.
Selain dari penerimaan pasien, tidak ada bukti kuat yang mendukung penggunaan
cairan yang dikentalkan sebagai intervensi untuk pasien dengan disfagia. Hanya percobaan
acak tunggal yang membandingkan hasil pengobatan antara teknik dagu ke bawah dan cairan
madu nektar atau madu pada pasien dengan disfagia. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak
ada perbedaan yang signifikan antara strategi ini terhadap hasil utama pneumonia. Bukti kuat
penggunaan preferensial pengentalan cairan sebagai strategi dalam disfagia masih belum ada
saat ini.1
Pendekatan alternatif selain cairan yang dikentalkan telah direkomendasikan untuk
mencegah risiko dehidrasi karena berkurangnya asupan cairan dan ketidaksukaan terhadap
cairan kental. Pendekatan ini disebut 'Frazier water protocol' yang menggunakan panduan
asupan air yang spesifik dan memungkinkan pasien disfagia mengkonsumsi air di antara waktu
makan. Meski teknik ini belum dinilai secara obyektif, pengalaman dari Frazier Rehabilitation
Institute sangat mengesankan. Hasil menunjukkan tingkat dehidrasi rendah (2,1%) dan infeksi
paru (0,9%) pada 234 pasien lanjut usia. Dengan adanya hasil konfirmasi tambahan, mungkin
pendekatan ini dapat lebih banyak digunakan sebagai intervensi disfagia.1

Makanan diet yang dimodifikasi


Makanan padat dapat dimodifikasi untuk mengakomodasi keterbatasan yang dirasakan
pada pasien lanjut usia dengan disfagia. Modifikasi makanan padat telah disarankan untuk
menelan yang aman dan nutrisi yang adekuat. Namun, tidak ada pedoman klinis yang kuat dan
universal yang tersedia untuk menggambarkan modifikasi makanan yang paling tepat.
Setidaknya satu penelitian menunjukkan bahwa di antara penduduk panti jompo, 91% pasien

13
yang menjalani diet yang dimodifikasi akan mengalami diet makanan yang terlalu ketat. Hanya
5% dari pasien ini yang diidentifikasi berada pada tingkat diet yang sesuai dengan kemampuan
menelan mereka dan 4% pasien diberi makanan di atas kemampuan menelan mereka yang
diukur secara klinis.1 Baru-baru ini, dalam upaya untuk membakukan penerapan diet yang
dimodifikasi pada pasien dengan disfagia, diusulkanlah The National Dysphagia Diet yang
terdiri dari empat tingkat modifikasi makanan dengan makanan tertentu yang
direkomendasikan pada setiap tingkat (Tabel 4). Meskipun pendekatan ini patut dipuji,
sayangnya sampai saat ini tidak ada penelitian yang membandingkan manfaat menggunakan
pendekatan standar ini terhadap strategi modifikasi diet spesifik.1

Tabel 4. Tingkat Modifikasi Diet1

Keterbatasan makanan padat yang dimodifikasi


Meskipun direkomendasikan untuk mendapatkan menelan yang aman dan mengurangi
aspirasi pada pasien dengan disfagia, makanan yang dimodifikasi dapat menyebabkan
berkurangnya asupan makanan, meningkatkan risiko kekurangan gizi pada beberapa pasien
dengan disfagia. Literatur yang tersedia mengenai manfaat gizi dari makanan yang
dimodifikasi masih perdebatan. Satu studi mengevaluasi asupan makanan selama sehari pada
pasien rawat inap yang berusia lebih dari 60 tahun. Para penulis membandingkan asupan pada
pasien yang mengonsumsi makanan biasa dengan mereka yang mengkonsumsi makanan yang
teksturnya dimodifikasi dan menemukan bahwa pasien dengan makanan yang dimodifikasi
memiliki asupan gizi yang jauh lebih rendah dalam hal energi dan protein. Selain itu, 54%
pasien dengan diet modifikasi tekstur direkomendasikan untuk menggunakan suplemen gizi,
dibandingkan dengan 24% pasien yang menjalani diet reguler. Sebaliknya, Germain et al

14
membandingkan pasien yang mengkonsumsi makanan yang dimodifikasi dengan pilihan
makanan yang lebih banyak untuk pasien yang mengkonsumsi makanan yang dimodifikasi
secara 'standar' (lebih terbatas) selama 12 minggu. Mereka menemukan asupan gizi secara
signifikan lebih besar pada pasien yang mengkonsumsi pilihan diet yang diperluas. Selain itu,
mereka mengamati kenaikan berat badan yang signifikan pada pasien yang mengkonsumsi
pilihan diet yang diperluas pada akhir 12 minggu.1

Ketergantungan untuk makan dan sasaran pemberian makanan


Pasien lansia dengan demensia dan stroke mungkin bergantung pada orang lain untuk
makan karena keterbatasan kognitif dan fisik. Ketergantungan untuk makan menimbulkan
peningkatan risiko aspirasi dan komplikasi pada pasien dengan disfagia karena faktor-faktor
seperti pemberian makanan yang cepat dan tidak terkontrol oleh yang membantu memberikan
makanan. Hal ini memerlukan perhatian serius bagi pasien disfagia yang mendapatkan diet
yang dimodifikasi untuk jangka panjang. Dengan melaksanakan pelatihan pemberian makan
diharapkan dapat mengurangi komplikasi terkait. Misalnya, asupan oral dengan target
pemberian makanan oleh petugas terlatih pada pasien dengan disfagia menghasilkan asupan
energi dan protein lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi dimana tidak ada bantuan
pemberian makanan. Strategi untuk memantau tingkat dan asupan makanan dapat membantu
meningkatkan keamanan, mengurangi kelelahan, dan memperbaiki proses menelan pasien
selama makan. Lingkungan makan tanpa gangguan eksternal, terutama pada tempat perawatan
atau perawatan jangka panjang sangat penting untuk tujuan tersebut.24

Penyediaan nutrisi alternatif


Mungkin strategi kompensasi paling akhir adalah penggunaan strategi nutrisi alternatif.
Sumber makanan non-oral dapat bermanfaat bagi penderita yang kekurangan gizi. Hal ini
terutama terjadi pada orang tua, karena malnutrisi berkontribusi terhadap berbagai masalah
kesehatan termasuk penyakit kardiovaskular, kemunduran status kognitif dan sistem kekebalan
tubuh, penyembuhan borok dan luka tekanan yang buruk. Populasi pasien yang paling sering
mendapat pemberian makanan non-oral meliputi kategori disfagia (64,1%), dan pasien dengan
stroke (65,1%) atau demensia (30%).1
Meskipun metode pemberian makan non-oral memberikan keuntungan secara langsung
dalam banyak situasi klinis, namun tidak menguntungkan untuk semua pasien lanjut usia
dengan disfagia atau gizi yang kurang. Misalnya, mengenai makanan enteral pada pasien
dengan demensia lanjut, Finucane et al tidak menemukan bukti kuat untuk bisa menyarankan

15
bahwa dengan makanan non-oral dapat mencegah pneumonia aspirasi, kelangsungan hidup
yang lama, penyembuhan luka yang lebih baik, atau infeksi yang berkurang. Sebagai tambahan,
kejadian buruk terkait dengan sumber makanan non-oral yang umum terjadi yaitu mencakup
komplikasi luka lokal, kebocoran di sekitar lokasi insersi, oklusi selang, dan peningkatan
refluks yang menyebabkan komplikasi lain seperti pneumonia. Oleh karena itu, kehadiran
metode pemberian makan alternatif juga dapat memicu kaskade psikososial yang negatif
termasuk depresi dan hilangnya interaksi sosial. Walaupun terdapat komplikasi dan dampak
yang terkait dengan pemberian makanan non-oral, pemberian makanan alternatif telah
menunjukkan pengaruh terhadap kecukupan gizi dan pemeliharaan berat badan pada beberapa
populasi lansia dan oleh karena itu merupakan pilihan penting dalam manajemen disfagia.1,24

Rehabilitasi Menelan
Fokus dari rehabilitasi menelan adalah memperbaiki fisiologi menelan yang terganggu.
Dengan demikian, banyak pendekatan rehabilitasi menelan yang menggabungkan beberapa
bentuk latihan.25 Meskipun fokus dan jumlah latihan sangat bervariasi dari satu pendekatan
rehabilitasi ke pendekatan lainnya, secara umum, intervensi menelan yang berbasis latihan
telah dilaporkan dapat memperbaiki fungsi menelan, meminimalkan atau mencegah disfagia.
Tabel 5 menyajikan contoh pendekatan berbasis latihan yang baru untuk rehabilitasi menelan.
Meskipun masing-masing program berbeda dalam fokus dan teknik namun memiliki beberapa
kesamaan. Secara khusus, masing-masing latihan menggabungkan beberapa komponen
resistensi ke dalam program latihan dan masing-masing menganjurkan program terapi intensif
yang dipantau dengan sejumlah usaha yang dilakukan oleh pasien. Beberapa latihan spesifik
untuk fungsi menelan yang komprehensif, sementara yang lain fokus pada penguatan subsistem
menelan individu. Namun, setiap program merupakan program yang baru dan memiliki tujuan
untuk memperbaiki fisiologi menelan yang terganggu.1
Salah satu pendekatan yang lebih tradisional untuk rehabilitasi menelan adalah
penggunaan latihan motorik oral. Meskipun terdapat informasi terbatas tentang keefektifan
latihan motorik rongga mulut, penelitian terbaru menunjukkan penguatan otot menelan yang
efektif sehingga dapat memperbaiki proses menelan dengan melakukan latihan resistensi bibir
dan lidah.1
Pendekatan latihan yang lebih baru seperti latihan kekuatan otot ekspirasi (expiratory
muscle strength training/EMST) atau latihan angkat kepala Shaker yang berfokus pada
penggunaan resistensi untuk memperkuat subsistem menelan. Seperti yang tersirat oleh
namanya, EMST mencoba menguatkan otot pernapasan ekspirasi. EMST telah terbukti

16
meningkatkan gerakan hyolaryngeal dan meningkatkan proteksi saluran napas pada pasien
dengan penyakit Parkinson. Seperti yang ditunjukkan dalam namanya, latihan angkat kepala
dikembangkan oleh Shaker yaitu menggabungkan mengangkat kepala yang berulang dan
berkelanjutan dari posisi berbaring. Perbaikan yang didapat dari latihan ini meliputi
peningkatan gerakan dari anterior laryngeal dan pembukaan sphincter esofagus bagian atas
selama menelan, keduanya berkontribusi pada kemampuan menelan yang lebih fungsional.
Perubahan fisiologis positif ini telah ditunjukkan pada orang dewasa sehat dan juga pada pasien
yang menggunakan selang makan karena pembukaan sfingter esofagus bagian atas yang tidak
normal.1
Program Terapi Dysphagia McNeill (MDTP) adalah program terapi berbasis latihan,
dengan menggunakan menelan sebagai latihan. Dari perspektif ini, MDTP mempengaruhi
keseluruhan mekanisme menelan, tidak hanya subsistem seperti pada pendekatan lainnya.
Program ini selesai dalam sesi harian untuk 3 minggu dengan laporan perbaikan fungsional
yang sangat baik pada pasien dengan disfagia kronis. Selain itu, penelitian terbaru telah
mendokumentasikan perbaikan fisiologis dalam hal kekuatan, pergerakan, dan waktu menelan.
Selain intervensi berbasis latihan ini, penggunaan modalitas tambahan mungkin berguna dalam
rehabilitasi menelan. Sebagai tambahan terhadap intervensi berbasis latihan ini, dikatakan
penggunaan modalitas penunjang untuk rehabilitasi menelan mungkin bermanfaat. Aplikasi
stimulasi listrik tambahan telah banyak diperdebatkan dan dipelajari terutama pada sampel
kecil. Alasan dibalik penerapan stimulasi listrik adalah bahwa tindakan tersebut memfasilitasi
kontraksi otot yang meningkat selama aktivitas menelan. Keuntungan yang dilaporkan
mencakup kemajuan dalam diet oral, mengurangi aspirasi, dan mengurangi ketergantungan
pada pemakaian selang makan. Namun, penelitian lain tidak melaporkan adanya perbedaan
hasil yang signifikan pada pasien disfagia yang diterapi dengan dan tanpa stimulasi listrik
neuromuskuler tambahan. Manfaat penambahan modalitas ini untuk terapi disfagia tidak
didokumentasikan dengan baik. Namun, terdapat beberapa penelitian kecil yang telah
menunjukkan adanya manfaat klinis. Surface Electromyography (sEMG) memiliki efek yang
menguntungkan dalam rehabilitasi disfagia. Biofeedback sEMG memberikan informasi
langsung tentang aktivitas neuromuskular yang terkait dengan menelan dan dilaporkan
membantu pasien untuk mempelajari manuver menelan dengan cepat.1

17
Tabel 5. Contoh pendekatan rehabilitasi menelan berbasis latihan1

Beberapa penelitian yang mempelajari dampak rehabilitasi menelan telah menunjukkan


perbaikan asupan oral fungsional, dimana efek tersebut dapat dinilai dengan Functional Oral
Intake Scale (FOIS), pelepasan Percutaneus Endoscopic Gastrectomy (PEG) dan perbaikan
marker nutrisi. Program rehabilitasi menelan yang berbasis latihan (exercise-based swallow
rehabilitation programme/MDTP) telah memberikan hasil positif dalam hal nutrisi pada pasien
dengan disfagia kronis, termasuk penambahan berat badan, pelepasan selang makan, dan
peningkatan asupan oral.1

Tabel 6. Functional Oral Intake Scale26

18
Kesimpulan
Seperti yang dipaparkan di atas, disfagia, status gizi, dan pneumonia tampaknya
memiliki hubungan timbal balik yang kuat pada berbagai populasi lanjut usia. Penatalaksanaan
pasien lansia yang mengalami disfagia memerlukan kerjasama dari sejumlah profesional
layanan kesehatan dan bersifat mutidisiplin dengan tujuan untuk mengoptimalkan keamanan,
efisiensi, dan efektivitas menelan orofaring. Diharapkan dengan upaya penyesuaian postural,
manuver menelan, modifikasi diet, penyediaan nutrisi alternatif serta rehabilitasi menelan yang
sukses dan upaya pencegahan dini dapat mengurangi frekuensi malnutrisi dan pneumonia
aspirasi pada pasien lanjut usia dengan disfagia yang pada akhirnya dapat meningkatkan
kualitas hidup.

19
DAFTAR PUSTAKA
1. Sura L, Madhavan A, Carnaby G, Crary MA. Dysphagia in the elderly: management
and nutritional considerations. Clinical Interventions in Aging. 2012;7:287-298.
doi:10.2147/CIA.S23404.
2. Ebihara S, Sekiya H, Miyagi M, Ebihara T, Okazaki T. Dysphagia, dystussia, and
aspiration pneumonia in elderly people. Journal of Thoracic Disease. 2016;8(3):632-
639. doi:10.21037/jtd.2016.02.60.
3. Momosaki R, Yasunaga H, Matsui H et al. Effect of dysphagia rehabilitation on oral
intake in elderly patients with aspiration pneumonia. Geriatr Gerontol Int 2015;15:694-
699. doi: 10.1111/ggi.12333
4. Marik, Paul E. Aspiration Pneumonia and Dysphagia in the Elderly. Chest. 2003
Jul;124(1):328-3
5. Dahlan Z. 2015. Pneumonia bentuk khusus. Dalam Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiohadi B, Syam AF (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing. 2015. p.2300-2301.
6. Masiero S, Pierobon R, Previato C, Gomiero E. Pneumonia in stroke patients with
oropharyngeal dysphagia: a six-month follow-up study. Neurol Sci. 2008;29:139145
7. Marik PE. Aspiration pneumonitis and aspiration pneumonia. N Engl J Med
2001;344:665-71
8. Yamanda S, Ebihara S, Ebihara T, et al. Bacteriology of aspiration pneumonia due to
delayed triggering of the swallowing reflex in elderly patients. J Hosp Infect
2010;74:399-401.
9. Ebihara S, Kohzuki M, Sumi Y, et al. Sensory stimulation to improve swallowing reflex
and prevent aspiration pneumonia in elderly dysphagic people. J Pharmacol Sci
2011;115:99-104.
10. Yamasaki K, Kawanami T, Yatera K, et al. Significance of anaerobes and oral bacteria
in community-acquired pneumonia. PLoS One 2013;8:e63103
11. Noguchi S, Mukae H, Kawanami T, et al. Bacteriological assessment of healthcare-
associated pneumonia using a clone library analysis. PLoS One 2015;10:e0124697
12. Meguro K, Yamagauchi S, Doi C, et al. Prevention of respiratory infections in elderly
bed-bound nursing home patients. Tohoku J Exp Med 1992;167:135-42.

20
13. Hu X, Lee JS, Pianosi PT, et al. Aspiration-related pulmonary syndromes. Chest
2015;147:815-23.
14. Grivennikov SI, Greten FR, Karin M. Immunity, inflammation, and cancer. Cell
2010;140:883-99.
15. Costa C, Incio J, Soares R. Angiogenesis and chronic inflammation: cause or
consequence? Angiogenesis 2007;10:149-66
16. Manabe T, Teramoto S, Tamiya N, et al. Risk Factors for Aspiration Pneumonia in
Older Adults. PLoS One 2015;10:e0140060.
17. Bosch X, Formiga F, Cuerpo S, et al. Aspiration pneumonia in old patients with
dementia. Prognostic factors of mortality. Eur J Intern Med 2012;23:720-6.
18. Ebihara S, Ebihara T, Kanezaki M, et al. Aging deteriorated perception of urge-to-
cough without changing cough reflex threshold to citric acid in female never-smokers.
Cough 2011;7:3
19. Yamanda S, Ebihara S, Ebihara T, et al. Impaired urgeto-cough in elderly patients with
aspiration pneumonia. Cough 2008;4:11.
20. Murray J. Manual of dysphagia assessment in adults. San Diego, CA: Singular
Publishing Group, 1999.
21. Logemann JA. Therapy for oropharyngeal swallowing disorders. In: Perlman AL,
Schulze D, eds. Deglutition and its disorders: anatomy, physiology, clinical diagnosis,
and management. San Diego, CA: Singular Publishing Group, 1997:449461.
22. Groher ME, Crary MA. Dysphagia: Clinical Management in Adults and
Children.Maryland Heights, MO: Mosby Elsevier; 2010.
23. Logemann JA, Gensler G, Robbins J, et al. A randomized study of three
interventions for aspiration of thin liquids in patients with dementia or Parkinsons
disease. J Speech Lang Hear Res.2008;51:173183.
24. Ey DM, Weiss JM, Kind AJ, Robbins J. Senescent swallowing: impact, strategies, and
interventions. Nutr Clin Pract.2009;24:395413.
25. Crary MA, Groher ME. Introduction to Adult Swallowing Disorders. Philadelphia, PA:
Butterworth Heinemann; 2003.
26. Cunha, Karini, Gelatti, Giliane, & Cardoso, Maria Cristina. (2015). Speech-language
clinical pattern in a neurogenic dysphagia case through oculo-pharyngeal muscular
dystrophy. Revista CEFAC, 17(4), 1355-1361. https://dx.doi.org/10.1590/1982-
0216201517411314

21

Anda mungkin juga menyukai