Anda di halaman 1dari 25

TAX PLANNING PPN

Disusun Oleh Kelompok 4:

FAISAL M. PARDEDE
ALEX
REBEKKA SIMBOLON
DELIANA PAHPAHAN

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN


1. Pendahuluan

Langkah pembaruan dan penyempurnaan UU PPN No. 8 Tahun 1983


terus dilakukan pemerintah semenjak tahun 1994, terakhir dengan
diterbitkannya Undang Undang PPN NO. 42 Tahun 2009, yang
meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan PPN.
Perkembangan transaksi bisnis, terutama jasa, telah menciptakan jenis dan pola
transaksi baru dalam UU PPN, namun sampai saat ini wajib pajak masih saja
menemukan berbagai kendala dalam melaksanakan UU PPN secara benar.
Sejak diterbitkannya UU PPN yang baru, ada beberapa peraturan dari
Dirjen Pajak yang dikeluarkan dan telah mengalami revisi seperti terlihata di
bawah ini- yang mengubah ketentuan mengenai pembuatan kode Faktur Pajak
Keluaran, saat terutang pajak, dan saat pembuatan Faktur Pajak, pelaporan
PPN secara manual atau melalui data elektronik (e-SPT), dan yang
disampaikan lewat e-filing, adanya kewajiban untuk menyampaikan surat
pemberitahuan kode cabang atau penandatangan Faktur Pajak.
PPN adalah pajak tidak langsung yang dikenakan atas konsumsi
barang/jasa kena pajak d dalam daerah pabean. Sesuai legal karakter dari PPN
ini yang bersifat non kumulatif, maka dalam perlakuan pajak-PPN tidak
membolehkan terjadinya pajak berganda karena konsumen terakhirlah yang
harus menangung PPN ini. PPN juga memiliki karakteristik sebagai pajak
objektif yang mengandung pengertian bahwa timbulnya kewajiban pajak
dibidang PPN sangat ditentukan oleh adanya objek pajak.
Secara umum, mekanisme pemungutan PPN menggunakan mekanisme
Indirect Subtraction Method/Invoice Method (PM-PK), dan metode inilah yang
terbaik dari metode lainnya dengan alasan :
1. Adanya kewajiban membuat faktur pajak setiap transaksi, mengingat
faktur pajak merupakan bukti terpenting.
2. Memudahkan melakukan pemeriksaan, baik oleh pemeriksaan
internal maupun fiskus.
3. Tidak perlu menentukan besarnya keuntungan untuk setiap barang
yang dijual.
4. Kewajiban perpajakannya dapat dihitung setiap saat.

Perencanaan PPN

Pembahasan tentang perencanaan PPN ini difokuskan pada beberapa upaya


berikut ini :

1. Memaksimalkan mekanisme pengkreditan PPN


2. Memaksimalkan Fasilitas di Bidang PPN
3. Sentralisasi pengenaan PPN
4. Memaksimalkan restitusi PPN
5. Membangun sendiri dalam kegiatan usaha
6. PPN atas barang gratis untuk keperluan promosi
7. Penjagaan cash flow
8. Pengendalian PPN
9. Tanggung jawab renteng

2. Memaksimalkan Mekanisme Pengkreditan PPN

Perusahaan sebaiknya memperoleh Barang Kena Pajak atau Jasa Kena


Pajak dari Pengusaha Kena Pajak, supaya pajak masukannya dapat dikreditkan.
Perusahaan perlu mengamati dengan cermat jangan sampai terdapat pajak
masukan yang belum dikreditkan.

PPN dikenakan atas :

1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP)
yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
2. Impor BKP.
3. Pemanfaatan BKP tidak terwujud atau JKP luar daerah di dalam
daerah pabean.
4. Ekspor BKP oleh PKP.
Pajakmasukan yang dapatdikreditkanadalah :
Pajakmasukan yang berhubunganlangusngdenganproduksi, distirbusi,
pemasaran, danmanajemenatas BKP/JKP
danfakturpajaknyaadalahfakturpajakstandarataudokumen yang
disamakandenganfakturpajakstandar.
Pajakmasukan yang tidakdapatdikreditkan :
1. Sebelumdikukuhkanmenjadi PKP
2. FakturPajaksederhana
3. FakturPajakcacat
4. Pajakmasukanataupembelianmobil sedan, jeep , station wagon, van,
dancombi
5. Pajakmasukan yang berkaitandenganproduksi BKP/JKP
6. Pajakmasukan yang
tidakadakaitannyasecaralangsungdengankegiatanusahaatas BKP
7. Pajakmasukan yang dilaporkanpada SPT masa PPN , yang ditemukan pada
saat pemeriksaan atau yang ditagih melalui SKP.

MekanismePengkreditandanPelaporan PPN

Pengenaan PPN berdasar Sistem Fakturs ehingga setiap penyerahan BKP/JKP


yang dilakukan oleh PKP harus dibuatkan faktur pajak.

Mekanisme penggeseran PPN dilakukan melalui pemungutan kembali


PPN dari pembeliberikutnya. Jikajumlah PPN yang dipungutnya lebih besar dari
PPN yang telah dibayar padasaat perolehannya, maka kelebihannya harus disetor
kekas Negara. Mekanisme ini sering disebut Indirect Substraction Method (PK-
PM)
Pajak keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungutoleh PKP yang
melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP , ekspor BKP berwujud, ekspor
BKP tidakberwujud, dan atau ekspor JKP.

Pajak masukan adalahPajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah


dibayar oleh PKP Karena perolehan BKP dan atau perolehan JKP dan atau
pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean dan atas pemanfaatan
JKP dari luar daerah pabean dan atau impor BKP.

Jika PK > PM, maka selisihnya merupakan PPN yang harus dibayar

Jika PK < PM, maka selisihnya merupakan kelebihanbayar PPN yang bisa
dikompensasi dengan Masa Pajak berikutnya atau dimintakan kembali (restitusi)

Secara umum mekanisme pengkreditanPajakMasukandiatur dalam pasal 9


UU Nomor 42 Tahun 2009 ituadalah :

a. Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk MasaPajak yang


sama
b. Apabila terdapat PajakMasukan yang dapat dikreditkan tetapi belum
dijkreditkan dengan Pajak Keluaran padaMasaPajak yang sama, dapat
dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 bulan setelah
berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan , sepanajang belum
dibebankan sebagai beban dan belum dilakukan pemeriksaan.
c. Jika dalam suatu Masa Pajak belum ada Pajak Keluaran ,maka Pajak
Masukan dapat dikreditkan.

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan apabila :

a. Memenuhi ketentuan formal, yaitu :

1. Secara formal harus berbentuk Faktur Pajak atau dokumen yang


diperlakukan sebagai Faktur Pajak, diisi selengkapnya dan tidak cacat
2. Harus memperhatiakan ketentuan pasal 9 ayat (8) UU PPN , yang
menentukan bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan bagi
pengeluaran untuk :
a) Perolehan BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
b) Perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usaha
c) Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station
wagon , van , dan kombi, kecuali merupakan barang dagangan atau
disewakan.
d) Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar
Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
e) Perolehan BKP atau JKP yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak
sederhana.
f) Perolehan BKP atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5)
g) Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dariluar
Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (6)
h) Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan
penerbitan ketetapan pajak
i) Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN, yang diketemukan pada waktu
dilakukan pemeriksaan

b. Memenuhi ketentuan material, yaitu :

Pajak Masukan yang dibayarkan atas perolehan BKP/JKP yang berhungan


langusng dengan kegiatan usaha , yang meliputi kegiatan produksi,
manajemen, distribusi, dan pemasaran.
Selainitu, Pajak Masukan juga mesti didukung bukt ipengeluaran berupa
invoice dan kuitansi pembayaran yang menyatakan bahwa transaksi sudah
dipungut PPN.

Berkaitan dengan ketentuan perpajakan dibidang PPN tersebut diatas,


maka perlu diperhatikan hal-halberikut ini:

Cek secara teliti Faktur Pajak Masukan yang diterima sebelum melakukan
pembayaran. Perlu diperhatikan persyaratan formal Faktur Pajak yang
dapat dikreditkan agar tidak menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
Cek secara teliti apakah semua Pajak Masukan yang disaksikan telah
memilki bukti pendukung yang cukup kuat sebagai pajak masukan yang
dapat dikreditkan sesuai dengan peraturan perpajakan.
Berkaitan dengan batas waktu 3 bulan asa pengkreditan, usaha-usaha
Faktur Pajak sudah diterima seblum lewat 3 bulan setelah berakhirnya
masa pajak, kecuali untuk pemungutan PPN
Makin cepat menrima Faktur Pajak dari pembelian barang. Maka akan
lebih baik lagi bagi perusahaan karena perusahaan sudah dapat
mengkreditkannya walaupun belum melakukan pembayaran.
Cek secata teliti semua pelaporan kekantor pajak, terutama untuk
permohonan restitusi Karena lebih bayar pajak masukan. Bila ada faktur
pajak yang tidak disetujui, segera lakukan tindakan perbaikan sebelum
dilakukannya closing conference hasil pemeriksaan permohonan restitusi
PPN tesebut, misalnya dengan meminta pengganti faktur pajak yang cacat
dari pembeli barang.

3. Faktur Pajak

Dari defenisi , beberapa poin penting yang dapat dicacat adalah :

1. Faktur pajak hanya boleh di buat oleh Pengusaha Kena Pajak


2. Faktur pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP atau
karena impor BKP yang digunakan oleh DJBC
3. PPN yang dipungut berfungsi sebagai pajak keluaran bagi penjual dan
pajak masukan bagi pembeli.

Secara umum, Faktur Pajak dibagi menjadi tiga :

1. Faktur Pajak
2. Faktur Pajak gabungan
3. Dokumen tertentu yang di persamakan dengan Faktur Pajak

Saat Pembuatan Faktur Pajak

a. Untuk meringankan beban administrasi wajib pajak, saat yang tepat untuk
membuatan Faktur Pajak adalah saat terutangnya pajak, yaitu pada saat
penyerahan atau dalam hal pembayaran mendahului penyerahan maka
Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran.

b. Untuk membantu likuiditas Wajib Pajak, saat peyetoran PPN dan


pelaporan SPT Masa PPN diperlonggar menjadi paling lambat akhir bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

c. Faktur Pajak gabungan merupakan Faktur Pajak yang harus dibuat paling
lambat pada akhir bulan penyerahan BKP dan atau JKP.

Penundaan pembuatan Faktur Pajak

a. Dalam hal penjualan BKP/JKP yang pembayarannya belum diketahui,


pembuatan faktur pajak bisa ditunda sampai akhir bulan berikutnya setelah
penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak.

b. Berkaitan dengan hal ini, sebaiknya PKP penjual dalam menentukan syarat
pembayaran yang ideal, yaitu tidak lebih 45 hari setelah penyerahan
BKPatau JKP .

4. Saat Terutangnya PPN


Sesuai Peraturan Menkue No. 240/PMK.30/2009, saat terutangnya PPN
ditetapkan sebagai berikut :

Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas barang


Mewah menganut prinsip akrual

Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau JKP ,


atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan
BKP Tak Berwujud atau JKP dari luar daerah Pabean.

5. Batas Waktu Penyetoran PPN dan Pelaporan SPT Masa PPN

Sesuai PER Dirjen Pajak No. 14/PJ./2010, batas waktu penyetoran PPN dan
pelaporan SPT Masa PPN ditetapkan sebagai berikut:

PPN dan PPn BM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor
paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan
sebelum SPT Masa PPN disampaikan. Dalam hal tanggal jatuh tempo
penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur
nasional, penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
SPT Masa PPN harus disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya
setelah berakhirnya Masa Pajak. Dalam hal akhir bulan adalahhari libur
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, maka SPT Masa PPN dapat
disampaikan pada hari kerja berikutnya.

6. memaksimalkan Fasilitas di Bidang PPN

Sejak diberlakukannya UU Nomor 36 Tahun 2008, fasilitas dibidang PPN yang


dikenal dalam ketentuan PPN adalah PPN yang Tidak Dipungut, PPN
Dibebaskan, dan PPN ditanggung pemerintah. Bagi PKP yang mendapatkan
fasilitas PPN Tidak Dipungut, PPN masukan yang berhubungan dengan perolehan
BKP/JKP tidak dapat dikreditkan.
Fasilitas yang berkaitan dengan PPN adalah:

1. Fasilitas PPN tidak dipungut


2. Fasilitas PPN dibebaskan
3. Fasilitas PPN ditanggung pemerintah

Dalam perencanaan pajak, memaksimalkan pemanfaatan fasilitas terssebut


akan memberi dampak pada berkurangnya jumlah yang harus dibayar oleh
pembeli terhadap barang yang dibeli dari penjual minimal 10% dari harga jual,
dan sebaliknya pemanfaaatan tersebt akan mendorong penjual untuk menurunkan
harga jualnya secara proporsional sehingga terjadi suatu keseimbangan pasar yang
baru dari produk yang bersangkutan akibat dari efisiensi harga yang diperoleh.
Memaksimalkan fasilitas tersebut akan mendorng pembentukan harga barang
dipasar lebih murah sehingga bias dijangkau oleh masyarakat, omzet penjualan
akan meningkat yang bermuara pada perolehan profit dan setoran pajak yang akan
lebih besar.

1. Fasilitas PPN tidak dipungut berlaku untuk:

a. Atas impor barang, pemasukan BKP, pemgiriman hasil produksi, pengeluaran


barang, penyerahan kembali BKP, peminjaman mesin, pemasukan Barang
Kena Cukai (BKC) ke dan atau dari kawasan berikat atau EPTE (PP 33 Tahun
1996 jo. PP 43 Tahun 1997 jo. PP 32 Tahun 2009 KMK 291/KMK.01/1997
jo. KMK 101/KMK.04/2005
b. Peraturan Menkeu No. 121/PMK.03/2009 tentang Pemanfaatan BKP tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP
oleh kontraktor utama dan subkontraktor sehubungan dengan pelaksanaan
proyek pemerintah untuk rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah dan kehidupan
masyarakat provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi
Sumatera Utara pasca bencana alam gempa bumi dan tsunami yang dibiayai
dengan hibah luar negeri yang pelaksanaannya belum selesai sampai dengan
tanggal 31 Maret 2009.
2. Fasilitas PPn Dibebaskan (PP 146 Thn 2000 jo. PP 38 Thn 2003)

a. Barang Kena Pajak Tertentu yang atas Penyerahannya dibebaskan


dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

1) Impor dan atau Penyerahan BKP tertentu


A) Senjata, amunisi, alat angkutan diair, alat angkutan dibawah air, alat
angkutan diudara, alat angkutan didarat, kendaraan lapis baja,
kendaraan patrol, dan kendaraan angkutan khusus lainnya, serta suku
cadangnya yang diimpor oleh Departemen Pertahanan, TNI, Polri atau
oleh pihak lain yang ditunjuk oleh Departemen Pertahanan, TNI atau
Polri untuk melakukan impor tersebut, dan komponen atau bahan yang
belum dibuat didalam negeri yang diimpor oleh PT (Persero) Pindad,
yang digunakan dalam pembuatan senjata dan amunisi untuk keperluan
Departemen Perthanan, TNI atau Polri.
B) Vaksin Polo dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi
Nasional
C) Buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama,
kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal
angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap
ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan
pelayaran atau keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh
Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan
Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau
Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan
Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya.
D) Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan
atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan
Udara Niaga Nasional, dan suku cadang serta peralatan untuk
perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang diimpor oleh pihak
yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang
digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan atau reparasi
pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional.
E) Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT
(Persero) Kereta Api Indonesia, dan omponen atau bahan yang diimpor
oleh pihak yang ditunjuk oleh PT (Persero) Kereta Api Indonesia, yang
digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk
perbaikan dan pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan oleh
PT (Persero) Kereta Api Inndonesia.
F) Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Departemen
Pertahanan atau TNI untuk penyediaan data batas dan photo udara
wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung
Pertahanan Nasional, yang diimpor oleh Departemen Pertahanan, TNI
atau pihak yang ditunjuk oleh Departemen Pertahanan atau TNI.

b. Barang Kena Pajak Tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari


pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah :

a. Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana,


pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar, serta perumahan lainnya,
yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah
mempertimbangkan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah.
b. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat
angkutan di udara, alat angkutan di darat, kendaraan lapis baja, kendaraan
patroli, dan kendaraan angkutan khusus lainnya, serta suku cadangnya
diserahkan kepada Departemen Pertahanan, TNI atau Polri, dan komponen
atau bahan yang diperlukan dalam pembuatan senjata dan amunisi oleh PT
(Persero) Pindad untuk keperluan Departemen Pertahanan, TNI, atau Polri.
c. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi
Nasional (PIN).
d. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama.
e. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal
angkutan penye
f. brangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkan ikan, kapal tongkang,
dan kapal suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan
manusia diserahkan kepada dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran
Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan
Penyelenggara Jasa Angkutan Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan
Penyelenggra Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyebrangan Nasional,
sesuai dengan kegiatan usahanya.
g. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau
alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Perusahaan Angkatan Udara
Niaga Nasional dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan pesawat udara yang diperoleh oleh pihak yang ditunjuk oleh
Perusahaan Angkatan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam
rangka pemberian jasa perawatan atau reparasi Pesawat Udara Kepada
Perusahaan Angkatan Udara Niaga Nasional.
h. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikian atau
pemeliharaan serta prasarana yang diserhakankepada dan digunakan oleh
PT (Persero) Kereta Api Indonesia dan komponen atau bahan yang
diserahkan kepada pihak yang ditunjuk oleh PT (Persero) Kereta Api
Indonesia, yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang,
peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana yang akan
digunakan oleh PT (Persero) Kereta Api Indonesia.
i. Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan untuk penyediaan data
batas dan foto udara wilayah Negara Republik Indonesia untuk
mendukung pertahanan Nasional yang diserahkan kepada Departemen
Pertahanan atau TNI.
c. Jasa Kena Pajak Tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah :
1. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkatan Laut Nasional, Perusahaan
Penangkapan Ikan Naional, Perusahaan Penyelenggra Jasa Kepelabuhan
Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau,
dan Penyebrangan Nasional, yang meliputi:
a. Jasa Persewaan Kapal
b. Jasa Kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan
jasa labuh.
c. Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal.
2. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang
meliputi :
a. Jasa persewaan pesawat udara
b. Jasa perawatan atau reparasi pesawat udara.
3. Jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT (Persero)
Kereta Api Indonesia.
4. Jasa yang diserahkan oleh kontraktor untuk pemborongan bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 1 dan pembangunan tempat
yang semata-mata untuk keperluan ibadah.
5. Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumah sederhana, dan rumah
sangat sederhana.
6. Jasa yang diterima oleh Departmen Pertahanan atau TNI yang
dimanfaatkan dalam rangka penyediaan data batas dan photo wilayah
Negara Republik Indonesia untuk mendukung pertahanan nasional.

Dalam hal Barang Kena Pajak Tertentu yang dibebaskan dari pengenaan
PPN digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada
pihak lain, baik sebagian atau seluruhnya, dalam jangka 5 (lima) tahun sejak saat
impor dan atau perolehan, maka PPN yang dibebaskan wajib dibayar dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak Barang Kena Pajak tersebut dialihkan
penggunaannya atau dipindahkatangankan.
d. Impor dan atau penyerahan BKP Tertentu Yang Bersifat Strategis
(PP.12 Tahun 2001 jo. PP 43 Tahun 2002 jo. PP 46 Tahun 2003)

1. Atas impor Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa :
a) Barang modal yang diperlukan secara langsung dalam proses
menghasilkan Barang Kena Pajak, oleh Pengusaha Kena Pajak
yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut; barang modal
berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang
maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang.
b) Makanan ternak unggas dan ikan dan atau bahan baku untuk
pembuatan makanan ternak, unggas, dan ikan.
c) Hasil pertanian
d) Bibit dan atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan,
peternakan, penangkapan, atau perikanan.
e) Air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air minum.
f) Listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 watt.
g) Ternak, unggas, dan ikan dan atau bahan baku untuk pembuatan
makanan ternak, unggas, dan ikan
h) Bibit dan atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan,
peternakan, penangkaran, atau perikanan.

e. Fasilitas pemberian restitusi atau pembebasan PPN dan PPnBM bagi


Perwakilan Diplomatik Negara asing atau Badan Internasioanal serta
Pejabat atau Tenaga Ahlinya (KMK 25/KMK.01/1998).

f. Penyerahan Barang di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari


pengenaan PPN. Pengusaha di Kawasan Bebas tidak perlu dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak (PP No. 2 Tahun 2009)
1. Pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas.
2. Pemasukan Barang dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan
Bebas melalui pelabuhan melalui Bandar udara yang ditunjuk.
3. Barang dari Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas Pemasukan
barang dari Kawasan Bebas lainnya ke Kawasan Bebas.
4. Pemasukan Barang dari Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas
dan pengeluaran Barang dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan
Berikat.

3. Fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah

a. Pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai oleh hibah atau dana pinajaman
dari luar negeri ( PP 42 Tahun 1995 jo. PP 63 Tahun 1998 jo. PP 43 Tahun
2000 jo. PP 25 Tahun 2001).

b. Perfaturan Menkeu No. 22/PMK.011/2011 tentang pemberian PPN


Ditanggung Pemerintah atas impor barang untuk kegiatan usaha hulu
eksplorasi minyak dan gas bumi serta kegiatan usaha eksplorasi panas bumi
untuk tahun anggaran 2011.

Perlakuan PPN Atas Penyerahan Atau Pemanfaatan Barang Kena Pajak


Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (PP No. 2 Tahun 2009)

1. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak
dari luar daerah Pabean di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari
pengenaan PPN.
2. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak
di dalam
3. Kawasan Bebas dibebaskan dari pengenaan PPN.
4. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak
dari kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lainnya dibebaskan dari pengenaan
PPN.
5. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak
dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, tidak dipungut
PPN.
6. Penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau Barang Kena Pajak tidak berwujud
dari tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas, tidak di pungut PPN.
7. Penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau Barang Kena Pajak tidak berwujud
dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat, dipungut PPN.

Untuk mendapatkan fasilitas di bidang PPN, pihak-pihak yang terkait perlu


memperhatikan beberapa hal berikut ini:

1. Perlakuan perpajakan yang terkait dengan fasilitas tersebut, mengenai


interpretasi atas ketentuan perpajakan yang berkaitan denga fasilitas di
bidang PPN.
2. Persyaratan substantif dan administratif dari instansi pemerintahan terkait
(Bea Cukai, KPP, dan lain-lain) yang harus dipenuhi agar bisa
mendapatkan fasilitas di bidang PPN.
3. Pemenuhan persyaratan administratif yang harus dilakukan berkaitan
dengan permohonan SKB, pembuatan Faktur Pajak dan sebagainya.
7. Sentralisasi Tempat PPN Terutang

Dalam Pasal 1A ayat f UU PPN disebutkan bahwa penyerahan Barang


Kena Pajak dari pusat cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena
Pajak antar cabang, termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena
Pajak.
Pengecualian dari ketentuan tersebut dengan tujuan untuk mempermudah
administrasi perpajakan , wajib pajak dengan kriteria tertentu yang memiliki
lebih dari satu tempat untuk melakukan penyerahan BKP/JKP dapat
mengajukan permohonan Pemusatan/Sentralisasi Tempat PPN Terutang
kepada Kanwil DJP setempat dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang terdaftar di KPP Wajib Pajak besar
dapat melakukan sentralisasi otomatis sesuai dengan KEP- 335/ PJ./2002.
Dalam hal PKP tersebut mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha,
tempat terutang pajak untuk seluruh tempat kegiatan usaha tersebut
ditetapkan hanya di tempat PKP dikukuhkan oleh KPP Wajib Pajak Besar.
b. PKP yang memiliki lebih dari satu tempat PPN terutang (selain butir a)
dapat memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai Tempat Pemusatan PPN
Terutang, Dalam hal PKP memilih 1 (satu) tempat atau lehih sebagai
Tempat Pemusatan PPN Turatang, PKP dimaksud harus menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah dengan
tembusan kepada Kepala KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat-
tempat PPN terutang yang akan dipusatkan (PER-19/PJ/2010.

Syarat-syarat pengajuan sentralisasi bagi Pengusaha Kena Pajak


yang memiliki lebih dari satu tempat Pajak Pertambahan Nilai (PER-
19/PJ./2010:

1. Pengusaha Kena Pajak dimaksud harus menyampaikan pemberitahuan


secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah dengan tembusan kepada
Kepala KPP yang wilayah
2. Tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha Pengusaha
Kena Pajak yang berada di Kawasan berikut; Berada di Kawasan
Ekonomi Khusus; mendapatkan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan
Ekspor, tidak dapat di pilih sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang
atau Tempat PPN Terutang yg akan di pusatkan.
3. Pembeitahuann secara tertuis harus memenuhi persyaratan:
a. Memuat nama, alamat,dan NPWP tempat PPN Terutang yg dipilih
ebagai tempat pemusatan PPN terutang.
b. Memuat nama,alamat, dan NPWP tempat PPN Terutang yg di
pusatkan.
c. Surat pernyataan bahwa administrasi penjualan di selenggarakan
secara terpusat pada tempat PPN terutang yg di pilih sebagai tempat
pemusatan PPN terutang.
Sentralisasi Tempat terutangnya PPN tersebut pada dasar nya merupakan
fasilitas yg bisa di manfaatkan oleh PKP. Dengan izin sentralisasi, maka akan
terdapat penghematan biaya administrasi dan pengaturan cash flow perusahaan yg
lebih baik dalam melaksanakan hak dan kewajiban di bidang PPN.

8. Memaksimalkan restitusi PPN

Sebagai subjek PPN, salah satu hak bagi PKP adalah mengkreditkan Pajak
Masukan sesuai dengan ketentuan. Dalam mekanisme indirect subtraction
method, PKP hanya membayarkan PPN ke kas Negara sebesar selisih antar
Pajak Pengeluaran (PK) di kurangi dengan Pajak Masukan (PM). Perhitungan
tersebut dilakukan setiap bulan.
Dengan pertimbangan untuk membantu likuiditas perusahaan, untuk Wajib
Pajak tertentu yg memiliki risiko rendah dapat di berikan restitusi dengan
pengembalian pendahuluan tanpa memalui pemeriksaan terlebih dahulu.
Pemilihan restitusi atau kompensasi sangat bergantung pada kondisi
masing masing WP atau Pengusaha Kena Pajak. Pertimbangan utama dalam
menentukan pilihan tersebut berkaitan dengan pemeriksaan dan opportunity
costyang timbul dari kelebihan pajak yg ada di Negara (time value of money).
Kriterianya adalah, jika opportunity cost lebih besar dibandikang dengan
biaya pemerikasaanya, maka Wajib Pajak akan cenderung meminta restitusi.
Pengusaha yang belum berproduksi tetap dapat mengkredikan PPN yang
telah dibayar atas pembelian barang modal. Namun demikian, Pajak Masukan
yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian wajib dibayar
kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalan hal Pengusaha Kena Pajak tersebut
mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) tahun sejak Massa Pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai.

Kriteria umum bagi manajemen dalam memutuskan perlu tidaknya


mengajukan permohonan restitusi PPN:
1. Bila besarnya PPN yang lebih bayar tersebut cukup signifikan/material
Jumlahnya.
2. Bila kondisi keuangan perusahaan mengalami gangguan cash flow.
3. Bila sudah diyakini kesiapan perusahaan untuk diperiksa oleh fiskus.
4. Bila prediksi masa depan pembayaran PPN menunjukan lebih bayar
PPN.

9. Membangun Sendiri Tidak Dalam Kegiatan Usaha

Membangun sendiri untuk tempat tggal atau tempat usaha oleh rang pribadi atau
badan dikena PPN, dengan kodisi:

1. Luas bagunan 220 M persegi atau lebih


2. Banguan permanen.
3. Tarif10% x 40% biaa banguna(tanpa harga tanah)
4. Disetor tiap bulan, pada tanggal 15 bulan berikutnya sejak pebangunan
diulai

10. PPN Atas Barang Gratis Untuk Kepentingan Promosi

Kejadian ini sering terjadi dalam praktik, baik pada saat perusahaan baru memulai
kegiatan bisnisnya maupun pada saat perusahaansudah berjala dan sebagai bagian
dari implementasi marketing strategy perusahaan mereka melakukan kegiatan
promosinya untuk meningkatkan omset penjualan.

11. Penjagaan Terhadap Cash Flow Peruahaan

Saah satu tujan diaukannya perencanaan ajak oleh manajemen perusahaan adalah
untuk menjaga kesehatan cash flow. Berikut cara-cara yang aman dalam
perencanaan pajak yang perlu diagendakan oleh manajemen perusahaan untuk
diaplikasikan dalam kerangka peningkatan efisiensi pajak dan keuangan
perusahaan:
a. Menyegerakan Pengajuan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak pada
perusahaan yang baru berdiri

b. Memilih mendirikan perusahaan dilokasi yang mendapatkan fasilitas


perpajakan PPN

c. Mengusahakan membeli bahan baku pada saat akan menjalankan proses


produksi

d. Mengajukan permohonan sentralisasi PPN bagi perusahaan yang mempunyai


kantor cabang

e. Penanganan faktur pajak dengan baik

12. Pengendalian Pajak melalui Tax Review

Tax Review merupakan pelayanan yang bertujuan untuk menelaah dan meneliti
tingkat kepatuhan wajib pajak secara umum dan memberikan rekomendasi untuk
meminimalkan pajak yang belum diketahui perusahaan. Tax Review meliputi
selurah kewajiban perpajakan wajib pajak termasuk PPN dan PPnBM.

Tax Review memiliki tujuan sebagai berikut :

Untuk mengetahui apakah terdapat kesalahan implementasi kewajiban dan


prosedural perpajakan dan kemudian dilakukan perbaikan dan penyesuaian
dengan ketentuan peraturan perpajakan.
Hasil Tax Review dapat digunakan bahan acuan dasar untuk menyusun
SPT tahunan dan PPh Badan
Hasil tax review dapat dimanfaatkan sebagai upaya antisipasi apabila
sewaktu waktu dilakukan pemeriksaan pajak.

Tax Review untuk menanggani masalah kepatuhan

Untuk menjaga agar tetap menjadi wajib pajak patuh maka perusahaan seharusnya
mempunyai program yang disebut Tax Review.

1. Review waktu penerbitan faktur pajak


Penerbitan faktur pajak berdasarkan ketentua perpajakan yang
berlaku
Pembayaran tidak lebih dari tanggal terakhir bulan berikutnya
SPT masa PPN harus dimasukan pada tanggal terakhir bulan
berikutnya.
2. Periksa apakah PPN Masukan atas pembelian berhubungan dengan
kegiatan usaha atau bisnis perusahaan dan telah dikreditkan dengan PPN
keluaran.
3. Review penyiapan SPT masa PPN
4. Memastikan memiliki system filing atau penyimpanan dokumen PPN yang
cuku untuk dapat menghadapi pemerikasaan pajak menjelaskan dengan
baik.
5. Hasil ekualisasi harus dapat berkaitan dengan perbedaan antara penjualan
yang dilaporkan pada SPT PPh badan dengan penjualan yang dilaporkan
pada SPT masa PPN.

Analisis Tax Review

Tax review diharapkan dapat mengendalikan beban pajak perusahaan yang


diakibtkan tidak dipenuhinya kewajiban perpajakan dengan benar dan tepat.

1. Tujuan Tax Review PPN


a) Untuk mengetahui sejauh mana unit bisnis melakuakan pemenuhan
kewajiban perpajakan.
b) Meminimalisasi terjadinya transaksi berkaitan dengan PPN yang
dapat menimbulkan risiko permasalahan perpajakan.
c) Menimalisasikan sanksi perpajakan PPN yang diakibatkan
kesalahan pencatatan yang dilakukan oleh unit bisnis dan
memperbaikinya.
d) Agar unit bisnis tidak melakukan kesalahan yang sama pada waktu
yang akan dating.
e) Mempersipkan unit bisnis dalam menghadapi pemerikasaan yang
dilakukan oleh pihak fiskus.
2. Prosedur Tax Review PPN
Prosedur yang dilakukan dalam taz review PPN mencangkup langkah-
langkah antara lain sebagai berikut :
a) Melakukan kegiatan monitoring berupa penelitian data yang telah
dikirimkan oleh unit bisnis , yaitu SPT masa PPN dan SPT tahunan
badan ,buku besar ( ledger ), laporan keuangan, meliputi hal teknis
pengisian dan perhitunganya.Dari kata Ledger, dilakukan dengan
ekualisasi dengan SPT masa PPN.
b) Meminta bukti dan dokumen pendukung untuk di Cross cek
terhadap objek PPN,seperti invoice penjualan,faktur pajak
masukan, faktur pajak keluaran, bukti kas, dan Debit Nota,
Kontrak jual beli atau service , PO, bukti penyerahaan barang atau
jasa, yang berkenan dengan objek PPN.
c) Merekonsilasikan atau mengekualisasikan data objek-objek pajak
berupa pendapatan atau omzet diledger dengan SPT masa PPN.bila
ternyata pendapatan diLedger lebih besar, berarti ada penyerahaan
jasa yang tidak dilaporkan di SPT masa PPN , dan sebaliknya
apabila ternyata pedapatan di Ledger lebih kecil berarti ada
indikasi pendapatan yang belum dicatat dalam pembukuan.

13. Tanggung Jawab Renteng

Pada awalnya ketentuan tanggung jawab renteng ini diatur dalam Pasal 33 UU
KUP No. 16 tahun 2000, kemudian ketentuan ini dihapus dalam UU KUP No. 28
tahun 2007, kemudian dihidupkan lagi melalui penambahan Pasal 16F kedalam
UU PPN No. 42 tahun 2009, yakni:

Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak


bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak,
sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah
dibayarkan.

Contoh:
Pada tahun 2006 pemeriksa pajak dari KPP A melakukan pemeriksaan
SPT Masa PPN untuk masa pajak Januari sampai Desember 2004 dari KPP D,
ditemukan fakta bahwa KPP D dalam suatu masa pajak melakukan penyerahan
BKP dengan harga jual Rp300juta, ternyata tidak membuat faktur pajak.
Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, KPP A menerbitkan SKPKB terhadap PKP D
disertai sanksi bunga sebesar 2% per bulan , dan denda 2% dari dasar pengenaan
Pajak karena PKP D menyerahkan BPK tidak membuat faktur pajak.

Pada tahun 2007, pemeriksa pajak dari KPP B tempat PKP E dikukuhkan
sebagai PKP melakukan pemeriksaan SPT Masa PPN masa pajak Januari sampai
Desember 2004, ditemukan fakta dari pembukuannya bahwa ketika dalam suatu
masa pajak PKP E membeli BKP dari PKP D tapi tidak membayar PPN. Hal ini
diyakini oleh pemeriksa karena PKP E tidak dapat menunjukkan Faktur Pajak
sebagai bukti bahwa ia telah membayar PPN kepada PKP D. Berdasarkan hasil
pemeriksaan ini, KPP B menerbitkan SKPKB berdasarkan ketentuan tanggung
jawab renteng yang pada waktu itu diatur dalam Pasal 33 UU KUP. Dalam
SKPKB ini ditagih pokok pajak sebesar Rp30 juta (yakni 10% x Rp300juta),
ditambah sanksi bunga sebesar 2% perbulan.

Dari contoh di atas dapat kita pahami bahwa ketentuan tanggung jawab
renteng ini berlaku bagi pihak pembeli maupun penjual. Dalam memori
penjelasannya di UU KUP tersebut dijelaskan bahwa sesuai dengan prinsip
beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah ada pada pembeli atau konsumen barang atau
penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen
barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak
yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat
ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak
dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual
atau pemberi jasa.
Kesannya, ketentuan tanggung jawab renteng tersebut menimbulkan
ketidakadilan pajak. Maka dalam melakukan tax review, seorang tax manager
perusahaan (PKP) harus melakukan pengawasan secara lebih cermat dengan
memastikan:

Jangan pernah ada satu pun faktur penjualan (commercial invoice) yang
diterbitkan perusahaan tanpa dsertai faktur pajak.
Setiap transaksi penjualan harus ada kontrak atau sales agreement-nya
dan atau purchase order (PO), sehingga dispute tentang syarat penjualan
(harga, Pajak, termin pembayaran, dan lain-lain) disa dihindari
dikemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai