Anda di halaman 1dari 18

Kasus-Kasus Hukum Internasional

di Indonesia

Nama : Alvionita Mirwanthy

NPM : 1506677036

Program : Reguler

Mata Kuliah : HIN Publik


Contoh Kasus
Hukum Internasional
Publik

2
Sengketa Ambalat, Kemenlu Keluhkan Ini
untuk Protes Malaysia

JUM'AT, 03 JULI 2015 | 17:21 WIB

Pasukan Marinir TNI-AL menuju KRI Lampung di Dermaga E Markas Komando Armada Timur, Surabaya (2/1). 130 Marinir
tersebut akan bertugas di perairan Ambalat, menjaga perbatasan Indonesia dengan Malaysia. TEMPO/Fully Syafi

TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir, mengatakan
Indonesia telah dua kali melayangkan nota protes pada Malaysia akibat pelanggaran batas udara
di Ambalat sepanjang tahun ini. Nota protes dilayangkan untuk tiga peristiwa pelanggaran.
"Sebenarnya ada beberapa kejadian lain tapi kami belum menerima informasi jelas," kata
Arrmanatha di Kementerian Luar Negeri, Kamis, 2 Juli 2015.

Menurut Arrmanatha, untuk dapat melayangkan nota protes, Kementerian Luar Negeri
membutuhkan informasi rinci terkait dengan tiga hal yaitu jenis pesawat, titik koordinat, dan
waktu terjadinya pelanggaran. Informasi itu diperoleh dari petugas di lapangan yang diteruskan
pada komando pusat kemudian disampaikan pada Kementerian Koordinator Politik Hukum dan
Keamanan. Arrmanatha berujar sering kali informasi yang didapat Kemenlu tentang pelanggaran
batas wilayah hanya bersifat informal.

"Kalau ada informasi formal, Kemenlu pasti langsung menyampaikan protes," ujar dia.
Satuan Radar Tarakan TNI Angkatan Udara mencatat sepanjang 2015 sudah terjadi sembilan kali
pelanggaran wilayah udara di Ambalat yang dilakukan oleh Malaysia. Angkatan Udara sudah
merespons dengan melakukan sejumlah patroli pesawat tempur di Tarakan dan Ambalat. Ketika
pesawat tempur TNI AU patroli, tidak ada satu pun pesawat Malaysia yang berani masuk ke
Ambalat. Namun jika pesawat tempur TNI AU meninggalkan Tarakan, pelanggaran terjadi lagi.
Insiden terbaru terjadi pada awal Juni lalu. Malaysia kembali diduga melanggar perbatasan di
Ambalat. TNI Angkatan Udara telah mengerahkan dua pesawat tempur F-16 Fighting Falcon dan
dua pesawat Sukhoi untuk memantau kawasan Ambalat.

3
Sumber: https://nasional.tempo.co/read/news/2015/07/03/078680776/sengketa-ambalat-
kemenlu-keluhkan-ini-untuk-protes-malaysia

Kasus ini termasuk kasus hukum internasional public karena kasus ini berkenaan dengan
persoalan yang objeknya melintasi batas negara yang bukan bersifat perdata. Dalam hal ini
objeknya adalah Ambalat yang merupakan blok laut yang berbatasan dengan Sabah, Malaysia
dengan Kalimantan Timur, Indonesia sebagai perbatasan wilayah negara. Dalam kasus ini,
Malaysia sering melakukan pelanggaran yaitu melintasi daerah Ambalat yang termasuk zona
perbatasan wilayah laut Indonesia. Hal ini tentu menjadi ancaman bagi negara Indonesia dimana
sewaktu-waktu Malaysia mulai mengklaim Ambalat sebagai salah zona wilayahnya. Dengan
demikian kasus ini termasuk hukum internasional public.

4
Ditangkap AL Indonesia, delapan ABK asal Cina
jalani proses hukum
30 Mei 2016

Delapan ABK asal Cina ditahan setelah kapal Gui Bei Yu 27088 yang mereka tumpangi
berupaya melarikan diri dari kejaran kapal frigat KRI Oswald Siahaan-354.

Sebanyak delapan anak buah kapal (ABK) asal Cina yang ditangkap Angkatan Laut
Indonesia di perairan Natuna, pada Jumat (27/05), kini menjalani proses hukum di
Pangkalan AL di Ranai, Kepulauan Riau.

Komandan Pangkalan AL di Ranai, Kolonel Laut (P) Arif Badrudin, mengatakan


kedelapan ABK asal Cina itu ditahan setelah kapal Gui Bei Yu 27088 yang mereka tumpangi
berupaya melarikan diri dari kejaran kapal frigat KRI Oswald Siahaan-354. Kedelapan warga
Cina itu diduga melakukan penangkapan ikan secara ilegal di perairan Natuna. Menurut Kolonel
Arif, penahanan kapal Gui Bei Yu 27088 beserta delapan ABK sempat dibayangi kapal patroli
Cina. Namun, kapal Cina tersebut tidak melakukan intervensi. Mereka menghormati kita, kata
Arif kepada BBC Indonesia.

5
Pada Maret lalu, insiden serupa terjadi ketika kapal patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan
Indonesia menangkap sebuah kapal Cina yang diduga melakukan penangkapan ikan secara ilegal
di perairan Natuna, Kepulauan Riau.

Insiden serupa

Pada Maret lalu, insiden serupa terjadi ketika kapal patroli Kementerian Kelautan dan
Perikanan Indonesia menangkap sebuah kapal Cina yang diduga melakukan penangkapan ikan
secara ilegal di perairan Natuna, Kepulauan Riau. Akan tetapi, ketika kapal patroli melakukan
pengawalan terhadap kapal ikan Cina, muncul kapal penjaga pantai Cina yang mengejar dan
menabrak kapal ikan. Tujuannya, kata Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti, agar
kapal ikan rusak sehingga tak dapat ditarik.

Atas kejadian ini, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi memanggil kuasa usaha
Kedutaan Besar Cina di Jakarta pada 19 Maret lalu. Dalam kesempatan itu, Menlu Retno
sekaligus menyampaikan nota protes terkait aksi kapal penjaga pantai Cina di Laut Natuna.
Beberapa jam kemudian, Kementerian Luar Negeri Cina membantah bahwa kapal penjaga
pantainya telah memasuki wilayah perairan Indonesia.

6
Juru bicara Kemenlu Cina, Hua Chunying, mengatakan kapal nelayan Cina menangkap ikan di
tempat yang secara tradisi biasa dikunjungi nelayan-nelayan Cina.

Bantah masuki wilayah Indonesia

Juru bicara Kemenlu Cina, Hua Chunying, mengatakan kapal nelayan Cina menangkap ikan di
tempat yang secara tradisi biasa dikunjungi nelayan-nelayan Cina. Soal keberadaan kapal
penjaga pantai Cina, Hua menyebut kapal itu muncul untuk menyelamatkan kapal nelayan Cina
dari serangan kapal Indonesia. Ketegangan Indonesia dan Cina soal kapal nelayan beberapa kali
terjadi. Pada Maret 2013, sejumlah kapal Cina yang dilengkapi senjata mengonfrontasi kapal
patroli perikanan Indonesia dan menuntut nelayan Cina yang ditangkap di perairan Kepulauan
Natuna dibebaskan Lalu, pada 2010, kapal penegak hukum maritim asal Cina meminta kapal
patroli Indonesia membebaskan kapal nelayan asal Cina yang ditangkap lantaran diduga
melakukan pencurian ikan.

Sumber:
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160529_indonesia_kapal_cina_nat
una_tahan

Kasus diatas merupakan kasus yang diatur dalam hukum internasional public sebab
persoalan yang ditangani merupakan kasus pelanggaran batas negara dimana objeknya yang
merupakan penangkapan ikan di laut dekat dengan Kepulauan Natuna yang termasuk salah satu
zona wilayah Indonesia oleh warga negara China. Para nelayan yang merupakan warga negara
China secara illegal menangkap dan memasuki zona wilayah Indonesia, yang artinya juga
mengambil sumber daya alam Indonesia, hal ini menjadi ancaman bagi negara Indonesia.
Disamping merugikan Indonesia dalam hal kelestarian biota laut juga berdampak pada
perekonomian Indonesia, yang mengakibatkan warga negara Indonesia khususnya para nelayan
di sekitarnya tidak dapat menghasilkan jumlah tangkapan ikan yang lebih banyak, akibatnya
berdampak langsung pada penghasilan para nelayan sehingga terganggunya kesejahteraan warga
negara Indonesia.

7
Tiga Nelayan Indonesia Kembali Hilang di
Perairan Filipina
Lesthia Kertopati, CNN Indonesia

Sabtu, 21/01/2017 19:33 WIB

Tiga nelayan Indonesia kembali hilang di perairan Filipina. (Thinkstock/cyano66)

Jakarta, CNN Indonesia -- Tiga nelayan Indonesia kembali hilang di perairan Filipina bagian
selatan. Hal tersebut dikonfirmasi pemerintah Filipina di Manila. Ketiga nelayan disinyalir
hilang di kawasan yang terkenal sebagai lokasi penculikan oleh kelompok militan Islam.
Pemerintah Filipina menyebut ketiga nelayan Indonesia itu hilang pada Rabu (18/1) di perairan
yang membatasi Filipina dan Malaysia. Namun kondisi dan penyebab hilangnya mereka belum
diketahui.

Mereka masih hilang, dan kami belum mendapatkan konfirmasi siapa yang
bertanggungjawab atas penculikan ataupun lokasi mereka sekarang, ujar Komandan Militer
Regional Mayor Jenderal Carlito Galvez kepada AFP. Oleh karena itu, kami belum
mempertimbangkan ini sebagai kasus penculikan. Kantor Berita Malaysia Bernama melaporkan
bahwa kapal nelayan Indonesia itu ditemukan tanpa kru dengan mesin masih menyala.
Kelompok militan Islam Filipina, Abu Sayyaf, kerap menculik nelayan dan pelaut di perairan
antara Malaysia, Indonesia dan Filipina, sejak tahun lalu. Mereka menyekap puluhan sandera dan
menyerang kapal kargo.

8
Tingginya angka penculikan itu, memicu kecurigaan Indonesia akan hadirnya Perompak
Somalia baru. Hal itu akhirnya mendorong ketiga negara melakukan upaya patroli bersama.
Di sisi lain, Biro Maritim Internasional mengatakan, penculikan di wilayah laut, mencapai angka
tertinggi dalam 10 tahun terakhir, dengan wilayah perairan Filipina menjadi yang paling rawan.
Abu Sayyaf sendiri bermarkas di pulau terpencil di Filipina selatan. Kelompok militan itu telah
berbaiat terhadap ISIS, namun analis mengatakan mereka lebih fokus pada penculikan yang
berbuah tebusan. (les)

Sumber : http://www.cnnindonesia.com/internasional/20170121171030-106-187924/tiga-
nelayan-indonesia-kembali-hilang-di-perairan-filipina/

Kasus diatas merupakan kasus yang diatur dalam hukum internasional public sebab objek
yang menjadi persoalan adalah pelanggaran HAM bagi warga negara Indonesia (WNI) oleh
kelompok militant yang bermarkas di pulau terpencil Filipina selatan di negara Filipina. Negara
Indonesia berkewajiban untuk melindungi tiap warga negaranya agar hak-hak yang dimiliki
warga negaranya tidak diganggu oleh negara lain. Sehingga kasus yang diatur dalam hukum
internasional public tidak hanya mengenai batasan wilayah negara secara fisik namun secara
melekat yang ada pada tiap hak warga negara.

9
Contoh Kasus
Hukum Internasional
Perdata

10
Pemerintah Digugat Perusahaan Tambang Asing
Sabtu, 16 Juni 2012

Mengaku telah dirugikan, Churchill meminta ganti rugi kepada pemerintah Indonesia sebesar
AS$2 miliar.

Kementerian ESDM digugat oleh perusahaan tambang asal Inggris. Foto: Sgp

Churchill Mining Plc melayangkan gugatan arbitrase terhadap Pemerintah Indonesia ke


International Centre for Settlement of Invesment Dispute, Washington, Amerika Serikat.
Perusahaan tambang asal Inggris itu berang atas dicabutnya izin Kuasa Pertambangan (KP) yang
diakui miliknya oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Bupati Kutai
Timur Isran Noor mengatakan, gugatan ini berawal dari pencabutan lima KP di daerah Kutai
Timur. Churchill mengklaim, empat dari lima KP itu milik Grup Ridlatama yang merupakan
anak usahanya. Pencabutan ini, kata Isran, dilakukan atas rekomendasi Pemerintah Pusat
berdasarkan hasil temuan BPK pada September 2008. Dijelaskan Isran, dari laporan audit khusus
yang dilakukan BPK ditemukan adanya lima KP palsu yang terbit pada 2006-2008. Palsunya
lima KP yang saat ini disebut Izin Usaha Pertambangan (IUP) ini bisa dilihat dari kode
penomoran yang terbalik serta mendapatkan surat keterangan dari Menteri Kehutanan kepada
Irsan Noor selaku Bupati Kutai Timur terkait dengan kegiatan empat perusahaan yang tergabung
dalam Grup Ridlatama untuk melakukan penambangan di atas kawasan hutan produksi.

Indikasinya sangat jelas kalau dilihat dari laporan audit BPK ini, kata Isran dalam
jumpa pers di Jakarta, Jumat (15/6). Irsan sendiri mengakui bahwa ia tidak pernah menerima
surat dari Kementerian Kehutanan terkait perusahaan tambang di daerah hutan produksi tersebut.
Buktinya, Kemenhut meminta saya untuk mencabut izin KP karena memang tidak ada izin di
sana, ujarnya. Menurut Irsan, sengketa ini sudah berlangsung sejak 2010. Berangkat dari
pencabutan KP tersebut, Pemda Kutai Timur telah menempuh jalur pengadilan dengan Churchill.

11
Sayangnya, gugatan yang diajukan oleh perusahaan tambang yang berpusat di London itu
selalu kalah. Mulai dari Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung (MA)
hingga Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Karena kalah di semua pengadilan di Indonesia
makanya mereka menggugat ke arbitrase internasional dan kita tidak akan gentar, katanya.
Dalam gugatannya ke arbitrase internasional, Churchill mengaku telah mengalami kerugian
besar dan meminta ganti rugi kepada pemerintah Indonesia sebesar AS$2 miliar. Dengan adanya
pencabutan izin empat perusahaan tersebut, mereka menganggap pemerintah Indonesia telah
melakukan penyitaan kekayaan mereka dan juga sebagai tindakan perlakuan tidak setara antara
investor asing dan lokal. Selain Bupati Kutai Timur, Churchill juga mencantumkan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Kementerian Luar Negeri, Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dalam gugatannya.

Kuasa Hukum Pemprov Kutai Timur, Didi Darmawan, mengatakan Churcill mengklaim
telah membeli 75 persen saham dari Ridlatama Group yang telah mempunyai empat IUP di Kutai
Timur. Namun, saat Bupati Kutai Timur mengirimkan surat pada Grup Ridlatama untuk
menanyakan kepemilikan saham tersebut, Ridlatama justru menjelaskan bahwa 100 persen
saham dimiliki oleh lokal. Hubungannya dengan Churcill hanya sebagai Master Services
Agreement. Berita-berita yang beredar luas di dunia internasional banyak informasi yang tidak
seimbang, ini yang sangat kami sayangkan, ujarnya. Menurut Didi, Churchill mengajukan
gugatan ke arbitrase internasional tanpa melakukan pembicaraan terlebih dahulu dengan
Pemprov Kutai. Tuntutan yang diajukan oleh Churchill merupakan tuntutan terbesar yang pernah
diajukan oleh satu pihak. Ia khawatir, negara bisa direpotkan jika tidak siap menghadapi tuntutan
ini.

Namun, ia meyakini bahwa pemerintah Indonesia akan memenangkan perkara ini.


Pasalnya, dalam permohonan arbitrase yang diajukan, mereka tidak memberikan rincian dan
bukti kepemilikan sahamnya di empat perusahaan tersebut. Sebaliknya, Pemprov Kutai Timur
optimis menang karena memiliki data dan rincian yang menunjukkan bahwa perusahaan tersebut
tidak memiliki 75 persen saham Ridlatama Group. Kepala Humas Asosiasi Pemerintah
Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Budi Surjono, mengakui bahwa pihak Churcill tidak
pernah melakukan komunikasi atau dialog dengan Pemprov. Dia memprediksi gugatan Churchill
ke arbitrase Internasional belum tentu akan dikabulkan. Kita harus tunggu keputusan dari
arbitrase internasional dulu, kata Budi pada acara yang sama. Kendati demikian, lanjut Budi,
pemerintah tidak boleh memandang sepele hal ini. Pemerintah harus siap untuk mengahadapi
gugatan tersebut.

Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fdb7aa9c6744/pemerintah-digugat-
perusahaan-tambang-asing

12
Kasus diatas merupakan kasus yang diatur dalam hukum perdata internasional dimana
objek yang menjadi persoalan bersifat perdata yaitu kuasa pertambangan atau izin usaha
pertambangan (IUP) milik Churchill Mining Plc yang merupakan perusahaan tambang asal
Inggris, dicabut oleh Bupati Kalimantan Timur sehingga hal itu dianggap merugikan bagi
kepentingan Churchill Mining Plc. Dengan demikian, pada kasus ini negara Indonesia hanya
mengadakan hubungan perdata saja terhadap Churchill Mining Plc, yang tidak ada kepentingan
public di dalamnya.

13
Tragedi 2000, Singapore Airlines Bayar Penumpang
Sigit Rp 1,5 M

Kamis 19 Jul 2012, 15:07 WIB

Pramugari Singapore Airlines (arisaputra/detikcom)

Jakarta - Perusahaan penerbangan raksasa Singapore Airlines mematuhi putusan Mahkamah


Agung (MA) secara sukarela. Dia membayar ganti rugi sebesar Rp 1,5 miliar kepada penumpang
Sigit Suciptoyono yang berada dalam pesawat saat terjadi kecelakaan hebat di Taiwan tahun
2000. "Sudah dibayar secara sukarela oleh Singapore Airlines sebesar Rp 1,5 miliar sesuai
putusan MA" kata kuasa hukum Sigit, Arsul Sani, saat berbincang dengan detikcom, Kamis
(19/7/2012). Menurut Arsul, pembayaran tersebut dilakukan tiga pekan lalu tanpa syarat apa pun.
Salah satu maskapai penerbangan terbaik di dunia ini hanya meminta Sigit tidak menuntut lagi
terkait kecelakaan tersebut karena sudah dibayar. "Ini bukan kemenangan Sigit tetapi menjadikan
momentum dan pembelajaran bagi maskapai penerbangan kita dan putusan yang menguatkan
hak-hak konsumen." papar Arsul.

Putusan ini bisa menjadi yurisprudensi para hakim dalam memutus kasus serupa, yaitu
apabila terjadi kecelakaan penerbangan internasional, maka yang mendapat ganti rugi tidak

14
hanya yang meninggal semata tetapi juga yang menderita luka, termasuk luka psikologis.
"Selama ini berdasarkan Konvensi Warsawa, orang yang luka hanya mendapatkan ganti rugi
biaya pengobatan. Dengan putusan ini maka luka psikologis pun bisa mendapat ganti rugi,"
bebernya.

Dia berharap kasus ini juga bisa berlaku di penerbangan domestik sebab Amerika Serikat
juga telah menerapkan hal tersebut ke penerbangan dalam negeri. "Apa bedanya Jakarta-Papua
yang lamanya terbang sama dengan kita ke luar negeri? Kok tidak memberlakukan Konvensi
Warsawa? " ujar Asrul. Terkait lamanya proses ganti rugi, dia mengakui ada kendala dalam
sistem hukum Indonesia. Sebab sistem peradilan di Indonesia yang mengharuskan hal tersebut
berjalan lama."Semoga dalam revisi UU Angkutan Penerbangan ada pemotongan sistem perdata,
tidak perlu sampai 3 tingkatan, cukup 2 tingkat saja supaya tidak terlalu lama," kata Asrul
berharap.

Kasus tersebut bermula saat Singapore Airlines menjelajahi rute penerbangan Singapura-
Los Angeles pada 31 Oktober 2000. Saat boarding di Bandara Internasional Taoyuan Taiwan dan
hendak take off meneruskan perjalanan pada pukul 23.17 waktu setempat, pesawat Boeing 747-
412 lepas landas di landasan pacu yang salah. Akibatnya bagian sayap menabrak eskavator dan
menghancurkan pesawat hingga berkeping-keping. Hidung pesawat menabrak buldozer yang
sedang terparkir. Akibatnya 83 dari 179 penumpang meninggal dunia. Turut serta dalam
kecelakaan pesawat itu adalah seorang penumpang berkewarganegaraan Indonesia, Sigit
Suciptoyono. Dia selamat namun mengalami cacat pada bagian jari dan tangan kanannya. Secara
psikis, Sigit juga menjadi trauma untuk menaiki pesawat terbang.

Atas kasus itu dia melayangkan gugatan ke pengadilan di Amerika Serikat namun
kandas. Tidak putus asa, gugatan dipindahkan ke pengadilan Singapura. Tetapi lagi-lagi
mengalami jalan buntu. Tidak patah arang, Sigit kembali menggugat pada akhir 2007 ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Pada Februari 2008 lalu, majelis hakim PN
Jakarta Selatan mengabulkan sebagian gugatan Sigit. Singapore Airlines dinyatakan bersalah dan
dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp 1 miliar. Singapore Airlines lalu banding. Tetapi
Pengadilan Tinggi Jakarta malah memperberat hukuman dari Rp 1 miliar menjadi Rp 1,5 miliar.
Keputusan ini dikuatkan oleh MA. (asp/nrl)

Sumber: https://news.detik.com/berita/1969640/tragedi-2000-singapore-airlines-bayar-
penumpang-sigit-rp-15-m

15
Kasus diatas merupakan kasus yang diatur dalam hukum perdata internasional, sebab
objek yang menjadi persoalan bersifat perdata. Dimana pihak Singapore Airlines dituntut untuk
memenuhi prestasi berupa kewajiban membayar uang ganti rugi kepada penumpang Singapore
Airlines yaitu Sigit Suciptoyono (WNI) yang menjadi korban terjadinya kecelakaan pessawat
747-412 Singapore Airlines akibat lepas landas di landasan pacu yang salah pada 31 Oktober
2000. Hal ini menimbulkan banyaknya korban termasuk Sigit yang menjadi korban luka yang
mengalami cacat pada bagian jari dan tangan kanannya dan trauma untuk menaiki pesawat. Pada
kasus ini yang memiliki kepentingan yaitu pihak Singapore Airlines yang merupakan badan
hukum public dengan Sigit Suciptoyono (WNI). Dengan demikian, kasus ini diatur dalam hukum
perdata internasional.

16
Perusahaan Tambang India Gugat RI Rp7,5
Triliun
Ini terkait tumpang tindih lahan izin usaha pertambangan.

Rabu, 18 November 2015 | 17:58 WIB

Oleh : Daurina Lestari, Arie Dwi Budiawati

Ilustrasi pertambangan (THE STAR Malaysia)

VIVA.co.id - Indonesia tengah menghadapi tuntutan perusahaan tambang India, India Metals
and Ferro Alloys Limited (IMFA) di forum Permanent Court of Arbitration di Den Haag,
Belanda. Perusahaan tersebut menuntut triliun rupiah kepada pemerintah.

"Sebetulnya ini akibat dari penerbitan izin dari Barito Timur, Kalimantan Tengah," kata
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono, dalam
konferensi pers di Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu
18 November 2015. Bambang mengatakan bahwa tuntutan ini merupakan akibat dari tumpang
tindih lahan dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Persidangan akan dilakukan di Singapura.
Tuntutannya sebesar US$581,1 juta atau Rp7,5 triliun. Pemerintah Indonesia telah menunjuk
Jaksa Pengacara Negara sebagai Kuasa Pemerintah RI dibantu oleh Kementerian terkait. Kepala
Biro Hukum Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Heriyanto,

17
mengatakan perusahaan tersebut tak bisa menambang batubara karena izinnya tumpang tindih
dengan tujuh IUP. Sekadar informasi, IMFA mengelola lahan seluas 3.600 hektare.

Awalnya, kata dia, pemerintah Kabupaten Barito Timur mengeluarkan IUP kepada PT
Sri Sumber Rahayu Indah pada 2006. Namun, pada 2010 perusahaan itu dijual ke IMFA dengan
harga US$8,7 juta. Masalahnya, luas wilayah tambang yang meliputi Kabupaten Barito Selatan
dan Kabupaten Tabalong ini melanggar ketentuan clean and clear (CnC). "Ini preseden buruk.
Perusahaan non-CnC dibeli perusahaan asing," kata dia.

Heriyanto mengatakan, persoalan tersebut merupakan kesalahan pemerintah daerah


karena sembarangan mengeluarkan izin pertambangan. Kemudian, perusahaan India itu juga
belum melakukan legal audit sebelum membeli perusahaan sebelumnya. "Kalau kami melihat
kelemahannya, perusahaan itu tak melakukan legal audit terhadap perusahaan (Sri Sumber
Rahayu Indah). Harusnya, itu dilakukan dan tanya kepada pemerintah apakah sudah CnC," kata
dia. Sekadar informasi, gugatan IMFA itu sudah masuk arbitrase pada 23 September 2015 dan
pada 6 Desember 2015, pemerintah akan mengikuti sidang perdana di Persidangan Arbitrase
Singapura.

Sumber: http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/701051-perusahaan-tambang-india-gugat-
ri-rp7-5-triliun-berita

Kasus diatas merupakan kasus yang diatur dalam hukum perdata internasional sebab
yang menjadi objek pada persoalan kasus ini adalah izin usaha pertambangan (IUP) yang mana
terjadi tumpang tinding dengan tujuh izin usaha pertambangan lainnya yang mengakibatkan
terhambatnya perusahaan IMFA untuk melakukan penambangan di daerah Barito Timur
sehingga menimbulkan kerugian bagi perusahaan yang berdampak pada kepentingan perusahaan
IMFA. Dalam kasus ini pemerintah Indonesia dikatakan telah mengadakan hubungan perdata
dengan perusahaan IMFA. Dengan demikian kasus ini merupakan contoh kasus perdata
internasional.

18

Anda mungkin juga menyukai