Anda di halaman 1dari 24

Disusun Oleh :

Anieda (14334030)
Nanda Ulfah (14334035)
Ulfah Hasanah (14334031)
Syifa Firdhiana (14334032)
Muhammad Al Fajri (14334033)
Dina Ayu Lupitasari (14334036)
Bayu Kusumo Jati (14334037)
Didi Haryo Tistomo (14334038)
Patricia Amelia Montolalu (14334040)

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

JAKARTA

2017

0
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat,rahmat, dan ridha-
Nyalah kami dapat menyelesaikan tugas laporan praktikum teknologi sediaan semi solid yang
membahas tentangInjeksi Piridoksin HCl.

Terimakasih kami ucapkan kepada Ibu Putu Rika Veryanti, S.Farm.M.Farm-Klin, Apt.
selaku pembimbing praktikum. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih
jauh dari kata sempurna serta masih banyak kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran sangat
dinantikan guna penyempurnaaan makalah ini dimasa mendatang.

Kami juga memohon maaf apabila dalam penyusunan laporan ini terdapat kesalahan dan
kekeliruan sehingga membingungkan pembaca dalam memahami maksud kami.Semoga
laporan ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan serta bermanfaat bagi kami maupun
pembaca.Semoga Allah SWT senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk kepada kita
semua.

Jakarta, Agustus 2017

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 1

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 4

1.1. Latar Belakang ............................................................................................................ 4

1.2. Tujuan.......................................................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 5

2.1. Sediaan Injeksi ............................................................................................................ 5

BAB III PRAFORMULASI .................................................................................................... 13

3.1. Komponen Zat Aktif ................................................................................................. 13

3.1.1. Piridoksin HCl ................................................................................................... 13

3.2. Komponen Zat Tambahan ......................................................................................... 14

3.2.1. Air Pro Injeksi .................................................................................................... 14

3.3. Rancangan Formulasi ................................................................................................ 15

BAB IV FORMULASI ............................................................................................................ 16

4.1. Pembuatan Injeksi Piridoksin HCl ............................................................................ 16

4.1.1. Alat dan Bahan ................................................................................................... 16

4.1.2. Sterilisasi Alat .................................................................................................... 16

4.1.3. Prosedur Kerja ................................................................................................... 17

4.2. Evaluasi Sediaan ....................................................................................................... 17

4.2.1. Organoleptik ...................................................................................................... 17

4.2.2. Kejernihan .......................................................................................................... 17

4.2.3. Uji Keseragaman Volume .................................................................................. 17

4.2.4. Uji Kebocoran Wadah........................................................................................ 17

4.2.5. pH....................................................................................................................... 18

2
4.2.6. Uji Sterilitas ....................................................................................................... 18

4.2.7. Uji Pirogenitas ................................................................................................... 18

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................. 19

5.1. Hasil Evaluasi Sediaan .............................................................................................. 19

5.2. Pembahasan ............................................................................................................... 19

BAB V KESIMPULAN ........................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 22

3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sediaan parenteral adalah sediaan untuk injeksi atau infuse. Sediaan parenteral telah
digunakan manusia sejak tahun 1660. Meskipun demikian, perkembangan injeksi baru
berlangsung tahun 1852 khususnya pada saat dikenalkannya ampul oleh Limosin (Perancis)
dan Friedleader (Jerman) seorang apoteker. Asal kata injection yang berarti memasukkan ke
dalam sedangkan infusio berarti penuangan ke dalam. Injeksi adalah pemakaian dengan cara
penyemprotan larutan atau suspense ke dalam tubuh yang bertujuan untuk diagnostic atau
terapeutik. Injeksi dapat dilakukan langsung ke dalam aliran darah, jaringan atau organ.
Suatu sediaan parenteral harus steril karena sediaan ini unik yang diinjeksikan atau disuntikkan
melalui kulit atau membran mukosa ke dalam kompartemen tubuh yang paling dalam. Sediaan
parenteral memasuki pertahanan tubuh yang memiliki efesiensi tinggi yaitu kulit dan membran
mukosa sehingga sediaan parenteral harus bebas dari kontaminasi mikroba dan bahan-bahan
beracun dan juga harus memiliki kemurnian yang dapat diterima. Obat suntik didefinisikan
secara luas sebagai sediaan steril bebas pirogen yang dimaksudkan unutk diberikan secara
parenteral. Istilah parenteral seperti yang umum digunakan, menunjukkan pemberian sediaan
yang diberikan dengan disuntikkan.

1.2. Tujuan
1. Memperoleh gambaran mengenai praformulasi suatu zat obat serta membuat dan
mengevaluasi hasil dari sediaan yang dibuat.
2. Mengetahui mengenai pengertian, pembagian, cara pembuatan, perhitungan dosis,
sterilisasi dan penyerahan suatu sediaan obat parenteral, khususnya injeksi.
3. Agar dapat menyalurkan ilmu yang sudah didapat selama perkuliahan dalam bentuk
pengamatan dan penyusunan makalah berdasarkan dasar-dasar teori dalam mata
kuliah teknologi sediaan steril.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sediaan Injeksi
Injeksi adalah sediaan steril yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam
kulit atau melalui kulit atau melalui selaput lendir. Injeksi dapat berupa emulsi, larutan, atau
serbuk steril yang dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan. Obat suntik
didefinisikan secara luas sebagai sediaan steril bebas pirogen yang dimaksudkan untuk
diberikan secara parenteral. Istilah parenteral meneunjukkan pemberian lewat suntikan. Kata
ini berasal dari bahasa Yunani, para dan enteron berarti diluar usus halus dan merupakan rute
pemberian lain dari rute oral.

Menurut rute pemberiannya, sediaan injeksi dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Injeksi Intravena
Merupakan larutan, dapat mengandung cairan atau tidak menimbulkan iritasi yang
dapat bercampur dengan air. Volume 1 ml sampai 10 ml. Larutan injeksi iv, harus jernih
betul dan bebas dari endapan atau pertikel padat, karena dapat menyumbat kapiler dan
menyebabkan kematian.
2. Injeksi Subkutan
Umumnya larutannya isotonis, pH nya sebaiknya netral dimaksudkan untuk
mengurangi iritasi jaringan dan mencegah kemungkinan terjadinya nekrosis. Jumlah
larutan yang disuntikkan tidak lebih dari 1 ml. disuntikkan pada jaringan dibawah kulit
ke dalam alveola.
3. Injeksi Intramuskular
Merupakan larutan atau suspensi dalam air atau minyak atau emulsi. Disuntikkan
masuk ke otot daging dan volume sedapat mungkin tidak lebih dari 4 ml.
4. Injeksi Intradermal
Biasanya berupa larutan atau suspensi dalam air, volume yang disuntikkan sedikit (0.1-
0.2 ml).

Pelarut yang paling sering digunakan pada pembuatan obat suntik secara besar-besaran
adalah air untuk obat suntik (water for injection, USP). Air ini dimurnikan dengan cara
penyulingan atau osmosis terbalik (reverse osmosis) dan memenuhi standar yang sama dengan
Purified Water, USP dalam hal jumlah zat padat yang ada yaitu tidal lebih dari 1 mg per 100

5
mL Water for Injection, USP dan tidak boleh mengandung zat penambah. Walaupun air untuk
obat suntik tidak disyaratkan steril tetapi harus bebas pirogen. Air tersebut dimaksudkan untuk
pembuatan produk yang disuntikkan yang akan disterilkan sesudah dibuat.air untuk obat suntik
harus disimpan dalam wadah yang tertutup rapat pada temperatur di bawah atau di atas kisaran
temperatur dimana mikroba dapat tumbuh. Air untuk obat suntik dimaksudkan untuk
digunakan dalam waktu 24 jam sesudah penampungan. Tentunya harus ditampung dalam
wadah yang bebas pirogen dan steril. Wadah umumnya dari gelas atau dilapis gelas.
Steril Water for Injection,USP adalah air untuk obat suntik yang telah disterilkan dan dikemas
dalam wadah-wadah dosis tunggal yang tidak lebih besar dari ukuran 1 liter, seperti air untuk
obat suntik,harus bebas pirogen dan tidak boleh mengandung zat antimikroba atau zat
tambahan lain. Air ini boleh mengandung sedikit lebih banyak zat pada total daripada air untuk
obat suntik karena terjadinya pengikisan zat padat dari lapisan gelas tangki selama proses
sterilisasi. Air ini dimaksudkan untuk digunakan sebagai pelarut, pembawa atau pengencer obat
suntik yang telah disteril dan dikemas.dalam penggunaannya, air ditambahkan secara aseptis
ke dalam vial obat untuk membentuk obat suntik yang diinginkan.

Ada keuntungan dan kelemahan pemberian obat secara parental diantaranya:


Keuntungan :

1. Obat memiliki onset yang cepat.


2. Efek obat dapat diramalkan dengan pasti.
3. Bioavailabilitas sempurna atau hampir sempurna.
4. Kerusakan obat dalam tractus gastrointestinalis dapat dihindarkan .
5. Obat dapat diberikan kepada penderita yang sedang sakit keras ataupun koma.

Kelemahan :

1. Rasa nyeri saat disuntikkan.


2. Memberikan efek psikologis pada penderita yang takut disuntik.
3. Kekeliruan pemberian obat atau dosis hampir tidak mungkin diperbaiki , teruama
setelah pemberian secara intravena.
4. Obat hanya dapat diberikan kepada penderita di rumah sakit atau di tempat praktik
dokter oleh tenaga medis yang kompeten.

Persyaratan sediaan parenteral:

6
1. Sesuai antara kandungan bahan obat yang ada didalam sediaan dengan pernyataan
tertulis pada etiket dan tidak terjadi pengurangan kualitas selama penyimpanan akibat
kerusakan obat secara kimiawi dan sebagainya.
2. Penggunaan wadah yang cocok , sehingga tidak hanya memungkinkan sediaan tetap
steril, tetapi juga mencegah terjadinya ineraksi antara bahan obat dengan material
dinding wadah.
3. Tersatukan tanpa terjadi reaksi.
4. Bebas kuman.
5. Bebas Pirogen.
6. Isotonis.
7. Isohidris.
8. Bebas partikel melayang.

Klasifikasi sediaan parenteral :

1. Larutan sejati dengan pembawa air, contohnya injeksi vitamin C.


2. Larutan sejati dengan pembawa minyak, contohnya injeksi kamfer.
3. Larutan sejati dengan pembawa campuran, contohnya injeksi phenobarbital.
4. Suspensi steril dengan pembawa air, contohnya injeksi calciferol.
5. Suspensi steril dengan pembawa minyak, contohnya injeksi Bismuthsubsalisilat.
6. Emulsi steril, contohnya Infus Ivelip 20%.
7. Serbuk kering dilarutkan dengan air, contohnya Injeksi Solumedrol.

Komponen sediaan injeksi :

1. Zat aktif
a. Memenuhi syarat yang tercantum sesuai monografinya masing-masing dalam
farmakope.
b. Pada etiket tercantum p.i (pro injection).
2. Zat pembawa / zat pelarut
Dibedakan menjadi 2 bagian:
a. Zat pembawa berair
Umumnya digunakan aqua pro injeksi. Selain itu dapat digunakan NaCl pro injeksi,
glukosa pro injeksi, dan NaCl compositus pro injeksi.
b. Zat pembawa bukan air

7
Umumnya digunakan minyak untuk injeksi misalnya oleum sesami, oleum
olivarum, oleum arachidis.

3. Zat tambahan
a. Bahan penambah kelarutan obat
Untuk menaikkan kelarutan obat digunakan :
Pelarut organik yang dapat campur dengan air seperti etanol, propilenglikol,
gliserin.
Surface active agent (s.a.a) terutama yang nonionik.
Etilendiamin untuk menambah kelarutan teofilin.
Dietilamin untuk menambah kelarbarbital.
Niasinamid dan Salisilas Natricus menambah kelarutan vit B2.
Kreatinin, niasinamid dan lecitine digunakan untuk menambah kelarutan
steroid.
b. Buffer / pendapar
Pengaturan pH dilakukan dengan penambahan asam, basa, dan dapar. Penambahan
larutan dapar hanya dilakukan untuk larutan obat suntik dengan pH 5,5-9. Pada pH
> 9, jaringan mengalami nekrosis, pada pH < 3, jaringan akan mengalami rasa sakit,
phlebitis, dan dapat menghancurkan jaringan. Pada pH < 3 atau pH > 11 sebaiknya
tidak di dapar karena sulit dinetralisasikan, terutama ditujukan untuk injeksi i.m.
dan s.c. Fungsi larutan dapar dalam obat suntik adalah :
Meningkatkan stabilitas obat, misalnya injeksi vitamin C dan injeksi luminal.
Mengurangi rasa nyeri dan iritasi.
Meningkatkan aktivitas fisiologis obat. Umumnya digunakan larutan dapar
fosfat, larutan dapar boraks, dan larutan dapar lain yang berkapasitas dapar
rendah.
c. Untuk mendapatkan larutan yang isotonis.
Bahan pembantu mengatur tonisitas adalah NaCl, glukosa, sukrosa, KNO3, dan
NaNO3.
d. Antioksidan
Asam ascorbic 0,1%.
BHA 0,02%.

8
BHT 0,02%.
Natrium Bisulfit 0,15%.
Natrium Metabisulfit 0,2%.
Tokoferol 0,5%.
Zat pengkhelat seperti Na-EDTA 0,01-0,075% yang akan membentuk
kompleks dengan logam berat yang merupakan katalisator oksidasi.
e. Bahan Pengawet
Benzalkonium chloride 0,05%-0,1%.
Benzyl alkohol 2%.
Chlorobutanol 0,5%.
Chlorocresol 0,1-0,3%.
Fenil merkutik nitrat dan asetat 0,002%.
Fenol 0,5%.
f. Gas inert seperti nitrogen dan karbondioksida sering digunakan untuk
meningkatkan kestabilan produk dengan mencegah reaksi kimia antara oksigen
dalam udara dengan obat.

Tonisitas larutan sediaan injeksi :

1. Isotonis
Jika suatu larutan konsentrasinya sama besar dengan konsentrasi dalam sel darah
merah, sehingga tidak terjadi pertukaran cairan di antara keduanya, maka larutan
dikatakan isotoni (ekuivalen dengan larutan 0,9% NaCl).
2. Isoosmotik
Jika suatu larutan memiliki tekanan osmose sama dengan tekanan osmose dalam serum
darah, maka larutan dikatakan isoosmotik (0,9% NaCl, 154 mmol Na+ dan 154 mmol
Cl- per liter = 308 mmol per liter, tekanan osmose 6,86). Pengukuran menggunakan
alat osmometer dengan kadar mol zat per liter larutan).
3. Hipotonis
Turunnya titik beku kecil, yaitu tekanan osmosenya lebih rendah dari serum darah,
sehingga menyebabkan air akan melintasi membran sel darah merah yang
semipermeabel memperbesar volume sel darah merah dan menyebabkan peningkatan
tekanan dalam sel. Tekanan yang lebih besar menyebabkan pecahnya sel-sel darah
merah. Disebut Hemolisa.

9
4. Hipertonis
Turunnya titik beku besar, yaitu tekanan osmosenya lebih tinggi dari serum darah
merah, sehingga menyebabkan air keluar dari sel darah merah melintasi membran
semipermeabel dan mengakibatkan terjadinya penciutan sel-sel darah merah, disebut
plasmolisa.

Secara umum ada 2 prosedur pembuatan sediaan steril yaitu :

1. Cara sterilisasi akhir


Cara ini merupakan cara sterilisasi umum dan paling banyak digunakan dalam
pembuataan sediaan steril. Zat aktif harus stabil dengan adanya molekul air dan suhu
sterilisasi. Dengan cara ini sediaan disterilkan pada tahap terakhir pembuatan sediaan.
Semua alat setelah lubang lubangnya ditutup dengan kertas perkamen, dapat langsung
digunakan tanpa perlu disterilkan terlebih dahulu.
2. Cara Aseptis
Cara ini terbatas penggunaannya pada sediaan yang mengandung zat aktif peka suhu
tinggi dan dapat mengakibatkan penguraian dan penurunan kerja farmakologinya.
Antibiotik dan beberapa hormon tertentu merupakan zat aktif yang sebaiknya diracik
secara aseptis. Cara aseptis bukanlah suatu cara sterilisasi melainkan suatu cara untuk
memperoleh sediaan steril dengan mencegah kontaminasi jasad renik dalam sediaan.

Sterilisasi Wadah

1. Ampul
Setelah dicuci letakkan terbaring dalam kaleng bersih mulut lebar, tutup sedikit terbuka.
Sterilkan dalam oven suhu 170oC 30. Setelah disterilkan tutup kaleng dirapatkan dan
dikeluarkan dari oven.
2. Vial
Setelah dicuci dengan air suling, sterilkan dalam oven dengan posisi terbaring seperti
ampul. Tutup karet digodog dengan air suling selama 30 kemudian dikeringkan dalam
setangkup kaca arloji dalam oven (jangan sampai meleleh!).
3. Botol Infus
Setelah dicuci dengan air suling masukkan ke dalam kaleng bersih mulut lebar dan
biarkan sedikit terbuka kemudian disterilkan dalam oven suhu 250oC selama 30. Tutup
karet disterilkan seperti tutup vial.

10
4. Tube
Setelah dicuci diletakkan terbaring dalam kaleng bersih bermulut lebar tidak tertutup
rapat dan disterilkan dalam oven selama 30. Tutup tube direndam dalam alkohol 70%
selama 30 dan dikeringkan dalam oven.

Evaluasi sediaan parenteral :

1. Kekedapan
Ampul yang telah disterilkan seringkali memiliki celah atau retakan yang tidak terlihat
oleh mata atau secara makroskopik, khususnya pada lokasi penutupan ampul. Ampul
dimasukkan ke dalam larutan metilen biru kemudian divakum. Perhatikan apakah
ampul terwarnai oleh larutan metilen blue. Dengan adanya celah-celah kapiler, larutan
berwarna akan masuk, sehingga mewarnai ampul dan menandakan ampul rusak. Pada
ampul berwarna diuji dengan larutan yang berflourosensi yang diakhiri dengan
pengamatan pada cahaya UV.
2. Kejernihan (pengotoran tidak larut dan bahan melayang)
Pengujian dilakukan secara visual. Ampul atau botol diputar 180 berulang-ulang di
depan suatu background yang gelap dan sisinya diberi cahaya. Bahan melayang akan
berkilauan bila terkena cahaya. Pencahayaan menggunakan lampu Atherman atau
lampu proyeksi dengan cahaya 1000 lux - 3500 lux dan jarak 25 cm. Background gelap
atau hitam. Umur petugas yang bekerja harus < 40 tahun, sehat, dan setiap tahun harus
periksa mata.
3. Zat aktif
Pengujian dapat dilakukan dengan volumetrik, spektrofotometer, HPLC, atau alat
lainnya yang cocok secara kuantitatif dengan standar Farmakope.
4. Sterilitas
Pengujian dilakukan secara mikrobiologis dengan menggunkan medium pertumbuhan
tertentu. Produk dikatakan bebas mikroorganisme bila Sterility Assuranve Level (SAL)
= 10 - 6 atau 12 log reduction (over kill sterilization). Bila proses pembuatan
menggunakan aseptik, maka SAL = 10 4.
5. Pirogenitas
Pengujian dilakukan dengan tes kelinci (FI) dan tes limulus.
6. Keseragaman volume
Pengujian dilakukan dengan alat ukur volume. Larutan tiap wadah harus sedikit lebih
dari volume yang tertera pada etiket.

11
Tabel Keragaman Volume :
Volume Tambahan yang Dianjurkan
Volume Pada Etiket
Cairan Encer Cairan Kental

0,5 ml 0,10 ml (20%) 0,12 ml (24%)

1,0 ml 0,10 ml (10%) 0,15 ml (15%)

2,0 ml 0,15 ml (7,5%) 0,25 ml (12,5%)

5,0 ml 0,30 ml (6%) 0,50 ml (10%)

10,0 ml 0,50 ml (5%) 0,70 ml (7%)

20,0 ml 0,60 ml (3%) 0,90 ml (4,5%)

30,0 ml 0,80 ml (2,6%) 1,20 ml (4%)

50,0 ml atau lebih 2,00 ml (4%) 3,00 ml (6%)

7. Keseragaman bobot
1) Hilangkan etiket 10 wadah;
2) cuci bagian luar wadah dengan air;
3) keringkan pada suhu 105C;
4) timbang satu per satu dalam keadaan terbuka;
5) keluarkan isi wadah dan cuci wadah dengan air, kemudian dengan etanol 95%;
6) keringkan lagi pada suhu 105C sampai bonot tetap;
7) dinginkan dan kemudian timbang satu per satu.
Bobot isi wadah tidak boleh menyimpang lebih dari batas yang tertera, kecuali satu
wadah yang boleh menyimpang tidak lebih dari 2 kali batas yang tertera.

8. pH
Pengujian dilakukan dengan menggunakan kertas lakmus atau kertas universal (secara
konvensional) atau dengan alat pH meter.

12
BAB III

PRAFORMULASI
3.1. Komponen Zat Aktif
3.1.1. Piridoksin HCl

Nama Kimia : Piridoksin HCl (Vitamin B6)

Rumus Kimia : C8H11NO3.HCl

Berat Molekul : 205,04

Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih atau hamper putih, stabil di
udara, secara perlahan lahan dipengaruhi oleh cahaya matahari

Kelarutan : Mudah larut dalam air sukar larut dalam etanol, tidak larut
dalam eter. Larutan mempunyai pH lebih kurang 3

pH :3

Farmakologi :

Farmakodinamik dan fisiologi


Pemberian Piridoksin HCl secara oral dan parenteral tidak menggunakan efek
farmakodinamik yang nyata. Dosis sangat besar yaitu 3 4 gr / kg BB
menyebabkan kejang dan kematian pada hewan coba. Tetapi dosis kurang dari
ini umumnya tidak menimbulkan efek yang jelas. Piridoksal phosphate di dalam
tubuh merupakan koenzim yang berperan penting dalam metabolisme berbagai
asam amino diantaranya transamilasi, rasemilasi, triptofan, asam asam amino.

13
Farmakokinetik
Piridoksin, piridoksan dan piridoksamin mudah diabsorpsi melalui saluran
cerna, metabolisme terpenting dari ketiga bentuk saluran cerna. Metabolisme
terpenting dari ketiga bentuk tersebut adalah 4-asam piridoksal. Ekskresi
melalui urin terutama dan bentuk 4-asam piridoksal.

Dosis : 2,5% - 5%

OTT : Piridoksin HCl tidak dapat dicampur dengan larutan alkali,


garam besi dan larutan asam

Kontraindikasi : Tidak dapat diberikan kepada pasien yang resisten

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat dan tidak tembus cahaya

3.2. Komponen Zat Tambahan


3.2.1. Air Pro Injeksi
Pemerian :

Bentuk : Cairan jernih


Warna : Bening/tidak berwarna
Bau : Tidak berbau
Rasa : Tidak berasa

Kelarutan : Dapat bercampur dengan pelarut polar


Indikasi : Sebagai pembawa untuk sediaan injeksi
Pemakaian lazim :-
Stabilitas dan penyimpanan : Dalam wadah dosis tunggal dari kaca atau
plastic tidak lebih besar dari 1 liter. Disimpan dalam
wadah kaca tipe I dan II
OTT : Dalam formulasi farmasi air dapat bereaksi dengan obat
dan bahan-bahan yaitu dapat menghidrolisis air, bereaksi
keras dengan logam alkali
Cara sterilisasi : Dengan pemanasan atau penyaringan

14
3.3. Rancangan Formulasi
Perhitungan volume Piridoksin HCl yang akan dibuat :

R/ Injeksi Piridoksin HCl 2 ml

E Piridoksin = 0,36

V = (n + 2) V + (2 x 3)

V = 2 ml + 0,15 ml = 2,15 ml

n = 10

V = (10 + 2) 2,15 + 6 = 31,8 ~ 32 ml

5
W= x 32 ml = 1,6 gram
100

V = W x E x 111,1

V = 1,6 x 0,36 x 111,1 = 63,99 ml ~ 64 ml

1,6 gram Piridoksin HCl + 64 ml aqua pro injeksi = larutan isotonis

Sedangkan hasil yang kita peroleh sudah hipertonis, sehingga tidak memerlukan
penambahan NaCl 0,9%. Oleh sebab itu, didapatkan rancangan formulasi sebagai
berikut :

Per batch
No. Nama Bahan Fungsi % Lazim % Pakai
( 10 ampul )

1. Piridoksin HCl Bahan Aktif 2,5% - 5% 5% 1,6 gram

2. Aqua pro injeksi Pembawa - 32 ml 32 ml

15
BAB IV

FORMULASI
4.1. Pembuatan Injeksi Piridoksin HCl

Bahan-bahan Formula

Piridoksin HCl (g) 1,6

Air pro injeksi (ml) 32

4.1.1. Alat dan Bahan


Neraca Pengaduk kaca
Piala gelas Kertas saring
Erlenmeyer Buret
Gelas ukur Ampul gelap
Corong Piridoksin HCl
Spatel Air pro injeksi
Kaca arloji

4.1.2. Sterilisasi Alat


No Nama Alat Cara Sterilisasi
1 Piala gelas Autoklaf 121oC, 30 menit

2 Erlenmeyer Autoklaf 121oC, 30 menit

3 Gelas ukur Autoklaf 121oC, 30 menit

4 Corong Oven 105oC, 30 menit

5 Spatel Oven 105oC, 30 menit

6 Kaca arloji Oven 105oC, 30 menit

7 Pengaduk kaca Oven 105oC, 30 menit

8 Kertas saring Oven 105oC, 30 menit

9 Ampul gelap Oven 105oC, 30 menit

10 Pembuatan Air pro injeksi Dididihkan selama 30 menit

16
4.1.3. Prosedur Kerja
1. Ditimbang Piridoksin HCl sebanyak 1,6 gram, dimasukkan ke dalam piala
gelas.
2. Dilarutkan Piridoksin HCl dengan sebagian API (Aqua Pro Injection) yang
akan digunakan dalam pembuatan sediaan obat.
3. Disiapkan erlenmeyer, corong dan kertas saring kemudian basahkan kertas
saring yang akan digunakan dengan sedikit API.
4. Disaring larutan dalam gelas ukur melalui corong ke dalam erlenmeyer yang
telah disiapkan.
5. Dibilas piala gelas yang digunakan untuk melarutkan Piridoksin HCl
dengan sisa API kemudian disaring ke dalam erlenmeyer yang berisi filtrat
larutan sebelumnya.
6. Diisikan larutan obat ke dalam Ampul berwarna gelap sebanyak 2,15 ml
dengan menggunakan buret.
7. Ditutup ampul dengan panas api dari bunsen gas.

4.2. Evaluasi Sediaan


4.2.1. Organoleptik
Meliputi pengamatan terhadap warna dan bau pada sediaan.

4.2.2. Kejernihan
Pemeriksaan dilakukan secara visual biasanya dilakukan oleh seseorang yang
memeriksa wadah bersih dari luar di bawah penerangan cahaya yang baik,
terhalang terhadap refleksi ke dalam matanya, dan berlatar belakang hitam dan
putih, dengan rangkaian isi dijalankan dengan suatu aksi memutar, harus benar-
benar bebas dari partikel kecil yang dapat dilihat dengan mata.

4.2.3. Uji Keseragaman Volume


Diletakkan pada permukaan yang rata secara sejajar lalu dilihat keseragaman
volume secara visual.

4.2.4. Uji Kebocoran Wadah


Letakkan ampul di dalam zat warna ( biru metilen 0,5 1% ) dalam ruangan
vakum. Tekanan atmosfer berikutnya kemudian menyebabkan zat warna
berpenetrasi ke dalam lubang, dapt dilihat setelah bagian luar ampul dicuci
untuk membersihkan zat warnanya.
17
4.2.5. pH
Cek pH larutan dengan menggunakan pH meter atau kertas indikator universal.

4.2.6. Uji Sterilitas


4.2.7. Uji Pirogenitas
Untuk uji sterilitas dan pirogenitas tidak dilakukan pada kesempatan praktikum kali ini.

18
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1. Hasil Evaluasi Sediaan
Evaluasi Syarat yang diinginkan Hasil

Organoleptik Jernih, tidak berwarna, tidak Jernih, tidak berwarna, tidak


berbau berbau

Kejernihan Jernih Jernih

Uji Keseragaman Volume Volume seragam Volume seragam

Uji Kebocoran Wadah Tidak bocor Tidak bocor

pH 7 3*

Keterangan : *tidak memenuhi syarat

5.2. Pembahasan
Injeksi adalah sediaan steril yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam
kulit atau melalui kulit atau melalui selaput lendir. Injeksi dapat berupa emulsi, larutan, atau
serbuk steril yang dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan. Obat suntik
didefinisikan secara luas sebagai sediaan steril bebas pirogen yang dimaksudkan untuk
diberikan secara parenteral. Istilah parenteral meneunjukkan pemberian lewat suntikan. Kata
ini berasal dari bahasa Yunani, para dan enteron berarti diluar usus halus dan merupakan rute
pemberian lain dari rute oral.

Piridoksin HCl merupakan senyawa yang memiliki kelarutan tinggi didalam air, oleh
karena itu pembawa yang digunakan adalah air. Air yang digunakan adalah Air Pro Injeksi
(API), yaitu air untuk injeksi yang disterilkan dan dikemas dengan cara yang sesuai, tidak
mengandung bahan antimikroba atau bahan tambahan lainnya.

Injeksi Piridoksin HCl merupakan injeksi yang dibuat dalam volume kecil atau dapat
dikatakan sediaan yang pemakaiannya hanya satu kali pakai, sehingga tidak memerlukan
penambahan bahan pengawet dalam proses pembuatannya. Telah disinggung sebelumnya
bawah sediaan injeksi merupakan salah satu sediaan yang steril, oleh karena itu diperlukan
proses sterilisasi pada alat-alat yang akan digunakan sebelum dilakukan proses pembuatan
sediaan.

19
Larutan injeksi sebaiknya memiliki sifat larutan yang bersifat isotonis, yaitu suatu
keadaan pada saat tekanan osmosis larutan obat sama dengan tekanan osmosis cairan tubuh
kita (pH sekitar 7) yang bertujuan agar menhindari rasa perih yang berlebihan saat sediaan
kontak dengan kulit. Untuk mencapai kondisi isotonis diperlukan penambahan NaCl 0,9%
didalamnya. Untuk sediaan Piridoksin HCl yang dibuat kali ini, tidak diperlukan penambahan
NaCl 0,9% dikarenakan menurut perhitungan didapatkan larutan yang sudah bersifat
hipertonis. Larutan injeksi yang bersifat hipertonis masih diperolehkan, karena hipertonis
adalah suatu keadaan dimana tekanan osmosis larutan obat lebih besar daripada tekanan
osmosis cairan tubuh. Jika larutan injeksi hipertonis disuntikkan, air dalam sel akan ditarik luar
dari sel sehingga sel akan mengerut, tetapi keadaan ini bersifat sementara dan idak akan
menyebabkan kerusakan sel tersebut.

Larutan injeksi tidak diperbolehkan bersifat hipotonis dikarenakan hipotonis adalah


suatu keadaan dimana tekanan osmosis larutan obat lebih kecil daripada tekanan osmosis cairan
tubuh, jika larutan injeksi yang hipotonis disuntikkan, air dari larutan injeksi akan diserap dan
masuk kedalam sel, akibatnya sel akan mengembang dan pecah, dan keadaan ini bersifat tetap,
Jika yang pecah itu sel darah merah, disebut "haemolisis". Pecah sel ini akan dibawa aliran
darah dan dapat menyumbat pembuluh darah yang kecil.

Pada evaluasi sediaan yang dilakukan, didapatkan evaluasi pH dibawah persyaratan


yang diinginkan, walaupun seharusnya menurut perhitungan sudah dinyatakan larutan bersifat
hipertonis walaupun tanpa penambahan NaCl 0,9%. Hal ini disebabkan oleh beberapa
kemungkinan diantaranya : bahan aktif sudah melewati masa kadaluarsa serta penyimpanan
bahan aktif yang tidak sesuai menyebabkan sifat fisik maupun kimia bahan berubah.

Piridoksin HCl mempunyai sifat mudah terurai oleh cahaya, oleh karena ini pemilihan
wadah untuk sediaan ini adalah ampul berwarna coklat gelap dan tertutup rapat.

20
BAB V

KESIMPULAN
Injeksi adalah sediaan steril yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam
kulit atau melalui kulit atau melalui selaput lendir. Obat suntik didefinisikan secara luas sebagai
sediaan steril bebas pirogen yang dimaksudkan untuk diberikan secara parenteral. Karena harus
steril maka dilakukan tahap sterilisasi terhadap alat-alat yang digunakan. Injeksi Piridoksin
HCl merupakan injeksi volume kecil. Injeksi diperbolehkan bersifat isotonis ataupun
hipertonis. Injeksi Piridoksin HCl harus ditempatkan didalam ampul berwarna coklat gelap dan
tertutup rapat.

21
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, Howard. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV. Jakarta : Universitas
Indonesia

Farmakope Indonesia Edisi III. 1979. Jakarta : Dirjen POM

Farmakope Indonesia Edisi IV. 1995. Jakarta : Dirjen POM

American Hospital Service. Drug Information 88 Jilid II. USA : 1998

American Pharmaceutical Asosiation. Handbook of Pharmaceutical Excipient Edisi II.


London: The Pharmaceutical Press, 1994

Moh. Anief. 1997. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press

Taketomo, Carol dkk. 1992. Pediatric Dosage Handbook. Ohio : American Pharmaceutical
Assosiation

Harjasaputra, Purwanto, dkk. 2002. Data Obat di Indonesia. Jakarta : Grafidian Medipress
Suryani, Nelly M.Si, Apt. dan Sulistiawati, Farida M.Si, Apt..2007. Penuntun Praktikum
Teknologi Sedian Steril. Jakarta : UIN Press

Department of Pharmaceutical Sciences. Martindale The Extra Pharmacopoeia, twenty-eight


edition. 1982. London : The Pharmaceutical Press.

22
LAMPIRAN

23

Anda mungkin juga menyukai