Aborsi yang tidak aman adalah penghentian kehamilan yang tidak diinginkan yang dilakukan
oleh tenaga yang tidak terlatih, atau tidak mengikuti prosedur kesehatan atau kedua-duanya
(Definisi WHO). Dari 46 juta aborsi/tahun, 20 juta dilakukan dengan tidak aman, 800 wanita
diantaranya meninggal karena komplikasi aborsi tidak aman dan sekurangnya 13 persen
kontribusi Angka Kematian Ibu Global (AGI, 1997; WHO 1998a; AGI, 1999) .
WHO memperkirakan ada 4,2 juta aborsi dilakukan per tahun, 750.000 1,5 juta dilakukan
di Indonesia, 2.500 orang diantaranya berakhir dengan kematian (Wijono, 2000). Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 : Aborsi berkontribusi 11,1 % terhadap Angka
kematian Ibu (AKI) , sedangkan menurut Rosenfield dan Fathalla (1990) sebesar 10 %
(Wijono, 2000)
Tidak sedikit masyarakat yang menentang aborsi beranggapan bahwa aborsi sering dilakukan
oleh perempuan yang tidak menikah karena alasan hamil di luar nikah atau alasan-alasan lain
yang berhubungan dengan norma khususnya norma agama. Namun kenyataannya, sebuah
studi di Bali menemukan bahwa 71 % perempuan yang melakukan aborsi adalah perempuan
menikah (Dewi, 1997), juga studi yang dilakukan oleh Population Council, 98,8 %
perempuan yang melakukan aborsi di sebuah klinik swasta di Jakarta, telah menikah dan rata-
rata sudah memiliki anak (Herdayati, 1998), alasan yang umum adalah karena sudah tidak
ingin memiliki anak lagi, seperti hasil survey yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS), 75
% wanita usia reproduksi berstatus kawin tidak menginginkan tambahan anak (BPS, Dep.Kes
1988)
Aborsi mungkin sudah menjadi kebutuhan karena alasan di atas, namun karena adanya
larangan baik hukum maupun atas nama agama, menimbulkan praktek aborsi tidak aman
meluas. Penelitian pada 10 kota besar dan 6 kabupaten memperlihatkan 53 % Jumlah aborsi
terjadi di kota, padahal penduduk kota 1,36 kali lebih kecil dari pedesaan, dan pelayan aborsi
dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih terdapat di 16 % titik pelayanan aborsi di kota oleh
dukun bayi dan 57 % di Kabupaten. Kasus aborsi yang ditangani dukun bayi sebesar 11 % di
kota dan 70 % di Kabupaten dan dari semua titik pelayanan 54 % di kota dan 85 % di
Kabupaten dilakukan oleh swasta/ pribadi (PPKLP-UI, 2001).
Hukum yang ada di Indonesia seharusnya mampu menyelamatkan ibu dari kematian akibat
tindak aborsi tak aman oleh tenaga tak terlatih (dukun). Ada 3 aturan aborsi di Indonesia yang
berlaku hingga saat ini yaitu,
3. Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang menuliskan dalam kondisi
tertentu, bisa dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi).
Namun keberadaan peraturan di atas justru dianggap menimbulkan kerugian, karena aborsi
masih dianggap sebagai tindakan kriminal, padahal aborsi bisa dilakukan secara aman (safe
abortion). UU Kesehatan dibuat untuk memperbaiki KUHP, tapi memuat definisi aborsi yang
salah sehingga pemberi pelayanan (dokter) merupakan satu-satunya yang dihukum. Pada
KUHP, baik pemberi pelayanan (dokter), pencari pelayanan (ibu), dan yang membantu
mendapatkan pelayanan, dinyatakan bersalah. dan akibat aborsi dilarang, angka kematian dan
kesakitan ibu di Indonesia menjadi tinggi karena ibu akan mencari pelayanan pada tenaga tak
terlatih
Oleh karena itu, hingga kini AKI Indonesia (390 per 100.000 kelahiran. tahun 2000) masih
menduduki urutan teratas di Asia Tenggara, walaupun kontribusi aborsi sering tidak dilihat
sebagai salah satu faktor tingginya angka tersebut. Aborsi sendiri masih tetap merupakan
suatu wacana yang selalu mengundang pro dan kontra baik hukum maupun agama yang
mungkin tidak akan habis jika tidak ada peraturan baru tentang aborsi aman khususnya yang
tegas dan jelas.
Sebaiknya jika aborsi bisa dilakukan, ada persayaratan yang mungkin dapat dibuat
peraturannya oleh pemerintah, seperti
Eutahanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang
akan meninggal diperingan.Mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan
penderitaan hebat menjelang kematiannya.
B. Kategori Euthasania
Suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup.
Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan, dan pelakunya dapat
dikenakan ancaman tindakan pidana.
Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap
sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.
Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil
suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien. Namun disisi lain,
si pasien sendiri tidak memungkinkan untuk memberikan ijin dikarenakan kondisinya,
misalnya sipasien koma atau tidak sadar.
3. Eutanasia secara sukarela
Dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal
kontroversial. Beberapa Negara memberikan ijin untuk eutanasia tipe yang ketiga ini,
misalnya Belanda, namun beberapa yang lain menganggapnya sebagai tindakan bunuh diri
yang dibantu, sehingga tetap melanggar hukum.
Ditinjau dari segi tujuannya, eutanasia juga dibedakan menjadi 3 (Wikipedia, 2010), yaitu:
1. Eutanasia berdasarkan belas kasihan (mercy killing): Eutanasia jenis ini, dilakukan atas
dasar rasa kasihan kepada sang pasien, umumnya eutanasia jenis ini dilakukan kepada pasien
yang menderita rasa sakit yang amat sangat dalam penyakitnya, sehingga membuat orang-
orang disekitarnya menjadi tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia.
2. Eutanasia hewan: Sesuai dengan namanya, eutanasia jenis ini, khusu dilakukan kepada
hewan, biasanya beberapa hewan peliharaan yang sudah tua dan menderita sakit
berkepanjangan, membuat si pemilik tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia.
Pada kasusyang lain, beberapa kepercayaan percaya bahwa, saat seseorang meninggal, maka
barang-barang kesayangannya harus diikutkan ke dalam kubur, termasuk hewan-hewan
kesayangannya, sehingga sebelum hewan tersebut dikuburkan umumya mereka di suntik mati
terlebihdahulu.
3. Eutanasia berdasarkan bantuan dokter: Adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif
secara sukarela. Dilakukan atas persetujuan sang pasien sendiri.
1. Eutanasia agresif
Disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter
atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien.
Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik
secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah
tablet sianida.
Dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-
alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif
dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang
hidup pasien secara sengaja.
Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang
mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita
pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna
memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin
yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali
dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga
yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena
ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga
pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak
rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal,
pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.
C. Jenis-jenis Euthanasia
1. Euthanasia aktif adalah : suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan
memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti : melepaskan
saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan lain-lain. Yang termasuk tindakan
mempercepat proses kematian disini adalah : jika kondisi pasien, berdasarkan ukuran dan
pengalaman medis masih menunjukkan adanya harapan hidup. Tanda-tanda kehidupan masih
terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan.
2. Euthanasia pasif adalah : suatu tindakan membiarkan pasien/penderita yang dalam keadaan
tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan maupun ukuran medis sudah tidak ada
harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya, mungkin karena salah
satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah seperti : bocornya pembuluh darah yang
menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan darah terlalu tinggi, tidak
berfungsinyajantung.
D. Metode Euthasinia
Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar menginginkan
kematian.
Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena
faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari kasus ini adalah
menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan
vegetatif (koma).
Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat ditanyakan
persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat terjadi ketika permintaan
untuk melanjutkan perawatan ditolak.
Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk euthanasia. Hal
ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan wacana untuk membunuh dirinya
sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan, namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri
tersebut. Jika dokter terlibat dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai bunuh diri
atas pertolongan dokter. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh dr. Jack
Kevorkian.
E. Alasan Euthanisia
Adanya hak moral bagi setiap orang untuk mati terhormat, maka seseorang mempunyai
hak memilih cara kematiannya
Tindakan belas kasihan pada seseorang yang sakit, meringankan penderitaan sesama
adalah tindakan kebajikan
F. Dampak Euthanisia
mudah putus asa karena tidak ingin dan tidak memiliki semangat untuk berjuang melawan
penyakitnya.
Sudut pandang Keluarga Pasien
G. Aspek Euthanisia
1. Aspek Hukum
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku
utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan
berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek
hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa
melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan
tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan
pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui
pengobatannya.
2. Aspek Hak Asasi
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak
tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan
dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia yang
cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak
untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak
untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau
lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
4. Aspek Agama
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia
ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri.
Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun
alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan
yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh
penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan
putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan.
Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan
oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang
bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan disamping itu
ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula.
Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang diluar keinginan pasien.
Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani
perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan
dalam pemulihan kesehatannya.
Telenursing (Pelayanan Asuhan Keperawatan Jarak Jauh)
Menurut Martono, telenursing (pelayanan asuhan keperawatan jarak jauh) adalah upaya
penggunaan tehnologi informasi dalam memberikan pelayanan keperawatan dalam bagian
pelayanan kesehatan dimana ada jarak secara fisik yang jauh antara perawat dan pasien, atau
antara beberapa perawat. Keuntungan dari teknologi ini yaitu mengurangi biaya kesehatan,
jangkauan tanpa batas akan layanan kesehatan, mengurangi kunjungan dan masa hari rawat,
meningkatkan pelayanan pasien sakit kronis, mengembangkan model pendidikan
keperawatan berbasis multimedia (Britton, Keehner, Still & Walden 1999). Tetapi sistem ini
justru akan mengurangi intensitas interaksi antara perawat dan klien dalam menjalin
hubungan terapieutik sehingga konsep perawatan secara holistik akan sedikit tersentuh oleh
ners. Sistem ini baru diterapkan dibeberapa rumah sakit di Indonesia, seperti di Rumah Sakit
Internasional. Hal ini disebabkan karena kurang meratanya penguasaan teknik informasi oleh
tenaga keperawatan serta sarana prasarana yang masih belum memadai.
Definisi :
Telenursing (pelayanan Asuhan keperawatan jarak jauh) adalah penggunaan tehnologi
komunikasi dalam keperawatan untuk memenuhi asuhan keperawatan kepada klien. Yang
menggunakan saluran elektromagnetik (gelombang magnetik, radio dan optik) dalam
menstransmisikan signal komunikasi suara, data dan video. Atau dapat pula di definisikan
sebagai komunikasi jarak jauh, menggunakan transmisi elektrik dan optik, antar manusia dan
atau komputer 4)
Telenursing (pelayanan asuhan keperawatan jarak jauh) adalah upaya penggunaan tehnologi
informasi dalam memberikan pelayanan keperawatan dalam bagian pelayanan kesehatan
dimana ada jarak secara fisik yang jauh antara perawat dan pasien, atau antara beberapa
perawat. Sebagai bagian dari telehealth, dan beberapa bagian terkait dengan aplikasi bidang
medis dan non-medis, seperti telediagnosis, telekonsultasi dan telemonitoring.