Anda di halaman 1dari 11

Kurikulum Pendidikan Islam Masa Depan

Tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan saat ini, khususnya pendidikan Islam belum mampu
membawa solusi atas problem kemanusiaan yang kian kompleks. Sementara itu, tantangan-demi
tantangan yang sangat destruktif datang bak banjir bandang.

Kondisi ini menjadikan umat Islam lupa dengan keunggulan konsep ajarannya, yang secara
historis terbukti mampu memberikan jawaban segala macam problema kehidupan. Berbagai
upaya memang sudah dilakukan untuk mengembalikan orientasi umat ini. Akan tetapi secara
empiris tidak bisa dinafikan, bahwa selain disebabkan oleh faktor eksternal, berupa hegemoni
keilmuan Barat, secara internal konsep kurikulum Islam yang sejalan dengan amanah sejarah
kenabian Muhammad saw belum menjadi orientasi konstruk pendidikan masa kini.

Kondisi tersebut dipengaruhi oleh hegemoni Barat dalam bidang keilmuan yang dikuatkan
dengan hegemoni dalam teknologi, yang selanjutnya memberikan dampak inferior yang massif
bagi umat Islam, tidak terkecuali mereka yang disebut para cendekiawan atau pakar pendidikan
Islam. Apalagi secara politis, warna kebijakan yang bernafaskan paham kapitalisme dan
liberalisme kian nyata dan menjadi main stream utama di negeri ini.

Sikap inferior inilah yang menjadi satu hambatan besar dalam rekontruksi pendidikan Islam yang
sebenarnya. Pada saat yang sama pandangan saintifik Barat telah mengakar dalam budaya
akademis pendidikan di Indonesia. Akhirnya solusi-solusi yang ditawarkan untuk menjawab
tantangan kekinian, selalu bersumber dari analisa teknis yang sangat temporer dan rentan dengan
perubahan yang tak bisa dipastikan. Selain itu pendidikan tidak lagi bertujuan melahirkan ulama,
pemikir, tetapi beralih fungsi menjadi komoditi sosio-ekonomis yang sangat pragmatis.

Seperti yang selama ini berkembang di Republik Indonesia. Isu kemandirian, dalam artian
kemampuan untuk eksis secara finansial menjadi perhatian utama para pemangku kebijakan,
dalam hal ini pemerintah. Pendidikan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan sosio-
ekonomis semata pun menjadi satu yang niscaya bagi Indonesia. Agar dapat diterima berbagai
pihak, bahasa yang digunakan pun sangat memukau, yakni sumber daya manusia.

Pemerintah pun terseret pada wacana sumber daya manusia. Pendidikan tidak lain hanya untuk
mencetak generasi pelanjut yang siap terampil bersaing dalam dunia kerja di kancah global.
Padahal secara historis, pendidikan yang mengarah pada terpenuhinya kebutuhan tenaga kerja
adalah jenis pendidikan yang dikembangkan negara-negara Eropa (Belanda di Indonesia) untuk
mempertajam kekuatan imperialismenya.
Meskipun demikian, entah sengaja atau tidak, warna kebijakan pendidikan di tanah air tidaklah
bergeser signifikan dari fakta sejarah di atas. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen
Pendidikan Nasional misalkan memberikan penekanan dalam bidang pendidikan hanya pada
sumber daya manusia yang diukur berdasarkan perkembangan negara-negara ASEAN dari sisi
kemampuan hidup (life skill) yang secara kuantitas dan kualitas Indonesia dinilai mulai jauh
tertinggal.

Atas dasar fakta tersebut, mereka berpendapat perlu upaya membangun pendidikan masa depan
yang dirancang guna menjawab harapan dan tantangan terhadap perubahan-perubahan yang
terjadi. Sistem pendidikan yang dibangun tersebut perlu berkesinambungan dari pendidikan
prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.[1]

Argumentasi di atas dijadikan sebagai salah satu landasan untuk mewujudkan kesejahteraan
bangsa dan rakyat Indonesia. Apalagi secara umum mulai timbul kesadaran kolektif bahwa
kesejahteraan bangsa Indonesia di masa depan bukan lagi bersumber pada sumber daya alam dan
modal yang bersifat fisik, tetapi bersumber pada modal intelektual, modal sosial, dan kredibilitas
sehingga tuntutan untuk terus menerus memutakhirkan pengetahuan menjadi suatu keharusan.

Mutu lulusan tidak cukup bila diukur dengan standar lokal saja sebab perubahan global telah
sangat besar mempengaruhi ekonomi suatu bangsa. Terlebih lagi, industri baru dikembangkan
dengan berbasis kompetensi tingkat tinggi, maka bangsa yang berhasil adalah bangsa yang
berpendidikan dengan standar mutu yang tinggi.

Agar lulusan pendidikan nasional memiliki keunggulan kompetitif dan komperatif sesuai standar
mutu nasional dan internasional, kurikulum di masa depan perlu dirancang sedini mungkin. Hal
ini harus dilakukan agar sistem pendidikan nasional dapat merespon secara proaktif berbagai
perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Dengan cara seperti ini
lembaga pendidikan tidak akan kehilangan relevansi program pembelajarannya terhadap
kepentingan peserta didik.

Membaca analisa para pemegang kebijakan yang sangat sederhana ini, menunjukkan bahwa
sejatinya satu hal yang sangat berharga dan perlahan mulai sirna secara sempurna dari bangsa ini
adalah belum hadirnya kesadaran untuk membangun satu kurikulum pendidikan yang tidak
sekedar merespon keadaan yang rentan dengan perubahan.

Tetapi mampu menghadirkan satu gagasan kurikulum yang komprehensif, fundamental dan
aplikatif dalam kehidupan ini dengan tetap memprioritaskan aspek akhlak dalam
keberlangsungan kehidupan manusia di berbagai bidang. Tidak saja dalam rangka mampu
berkompetisi namun juga mampu memelihara alam dan mengembalikan pemahaman dasar
manusia tentang arti kehidupan dengan tetap mengindahkan aturan-aturan Allah SWT.

Jika pemangku kebijakan tidak mampu menghadirkan wacana kurikulum yang secara konsep
unggul dari konsep kurikulum yang sifatnya reaktif yang pada akhirnya hanya sekedar merespon
keadaan. Maka secanggih apapun kurikulum yang di desian untuk pendidikan negeri ini,
khususnya bagi umat Islam tidak akan memberikan dampak positif yang signifikan. Apalagi jika
pendidikan hanya menjadi prioritas kepentingan politis, maka pendidikan tidak akan
memberikan hasil yang maksimal.

Seperti yang kita saksikan mulai tahun 2004, sejak Indonesia merdeka, kita telah mengenal
berbagai kurikulum, ada kurikulum 1947, kurikulum tahun 1950-an, kurikulum tahun 1964,
kurikulum tahun 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, dan kurikulum 1994. Mengapa
kurikulum yang satu diganti dengan kurikulum yang lainnya.

Sampai dengan kurikulum 1984, perubahan kurikulum banyak yang dipengaruhi oleh perubahan
politik. Kurikulum 1964 disusun untuk meniadakan MANIPOL-USDEK, kurikulum 1975
digunakan untuk memasukkan Pendidikan Moral Pancasila, dan kurikulum 1984 digunakan
untuk memasukkan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Kurikulum
1994, di samping meniadakan mata pelajaran PSPB juga diperkenalkannya sistem kurikulum
SMU yang dimaksudkan untuk menjadikan pendidikan umum benarbenar sebagai pendidikan
persiapan ke perguruan tinggi (Hand Out Soedijarto, 2005)

Padahal sesering apapun perubahan kurikulum dilakukan, jika penyelenggaraan pendidikan


disekolah dengan kondisi seperti yang berlangsung sampai dengan hari ini, dalam pengertian
rendahnya kesungguhan dan kemampuan guru, serta terbatasnya, bahkan tanpa fasilitas serta
sarana dan prasarana yang diperlukan, dengan pengertian waktu yang terbatas, dalam pengertian
model pembelajaran yang tidak lebih dari mendengar, mencatat, dan menghafal dengan evaluasi
hanya mengukur kemampuan mengingat apa yang telah dipelajari dengan keterbatasan buku
bacaan baik untuk guru dan murid.

Kalau tetap demikian memang segala tujuan itu tidak akan dapat dicapai. Kalau demikian
sesungguhnya tidak perlu kita mengubah kurikulum bahkan tidak perlu mengubah UU Sisdiknas,
karena semuanya tidak dengan sendirinya dapat meningkatkan mutu pendidikan.

Keniscayaan Kurikulum Pendidikan Islam Berbasis Historis Kenabian

Kurikulum merupakan inti dari proses pendidikan. Di antara komponen pendidikan kurikulum
merupakan bidang yang paling langsung berpengaruh terhadap hasil pendidikan (Sukmadinata.
2004). Kurikulum menjadi sangat urgen karena sifatnya yang sangat menentukan proses dan
hasil suatu sistem pendidikan. Dalam perjalanannya kurikulum juga bisa berfungsi sebagai media
untuk mencapai tujuan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua
jenis dan semua tingkat pendidikan (Eneng Muslihah, 2010).

Secara empiris, tidak bisa dipungkiri bahwa kurikulum sangat kental dengan nuansa kebijakan
kekuatan politis yang dominan. Perubahan kurikulum yang selama ini terjadi, selain terhitung
cepat juga syarat dengan berbagai kepentingan. Lebih dari itu kurikulum tidak bisa lepas dari
budaya, cara pandang masyarakat dan tentunya falsafah negara yang diakui seluruh warga
negaranya.

Oleh karena itu, sebagai pendidik Muslim tentu menjadi satu keniscayaan sejarah untuk dapat
mendesain kurikulum pendidikan Islam yang tidak saja sesuai dengan dustur religius, namun
juga mampu menghadirkan solusi atas berbagai macam problematika kehidupan yang kian
kompleks.

Prinsipnya secara akademis, kurikulum setidaknya mencakup empat kandungan utama. 1)


Tujuan-tujuan pendidikan yang ingin dicapai. 2) Pengetahuan, ilmu-ilmu, data-data, aktivitas-
aktivitas dan pengalaman dari mana-mana. 3) Metode dan cara-cara mengajar dan bimbingan
yang diikuti murid-murid untuk mendorong mereka kepada yang dikehendaki dan tujuan-tujuan
yang dirancang. 4) Metode dan cara penilaian yang digunakan dalam mengukur dan menilai hasil
proses pendidikan yang dirancang dalam kurikulum. (Hasan Langgulung, 1986: 176).

Beranjak dari keempat aspek utama kurikulum tersebut, maka jika dikaitkan dengan falsafah
pendidikan yang dikembangkan oleh pendidikan Islam tentu akan menyatu dan berpadu dengan
cara Islam itu sendiri yang secara filosofis mesti disandarkan pada ketentuan dan kaidah
pendidikan yang termaktub di dalam kitab suci Al-Quran dan Sunnah, juga dalam refleksi
sejarah kenabian yang tidak saja ketika Nabi Muhammad resmi menjadi rasul pada usia 40
tahun. Tetapi juga sejak Nabi Muhammad saw dilahirkan, tumbuh menjadi anak-anak, remaja,
dewasa, menikah dan seterusnya hingga menerima wahyu pertama di Gua Hira.

Muhammad Fadhil Al-Jamili (Eneng Muslihah, 2010) mengemukakan bahw, Al-Quran Al-
Karim adalah kitab terbesar yang menjadi sumber filsafat pendidikan dan pengajaran bagi umat
islam. Sudah seharusnya kurikulum pendidikan Islam disusun sesuai dengan Al-Quran dan
ditambah dengan Al-Hadits yang melengkapinya. Sebab di dalam dua pusaka umat Islam itu
telah tersedia kerangka dasar pedoman dan penyusunan kurikulum pendidikan Islam, yang di
antaranya adalah:

1. Sesuai dengan Al-Quran bahwa yang menjadi kurikulum ini Pendidikan Islam adalah
Tauhid dan haus dimantapkan sebagai unsur pokok yang tidak dapat dirubah.
Pemantapan kalimat Tauhid sudah dimulai semenjak bayi dilahirkan dengan
memperdengarkan lafadz adzan dan iqamah, seketika saat bayi dilahirkan.
2. Kurikulum inti selanjutnya adalah peintah membaca ayat-ayat Allah yang meliputi tiga
macam ayat yaitu:
1. Ayat Allah yang berdasarkan wahyu
2. Ayat Allah yang ada pada diri manusia, dan
3. Ayat Allah yang terdapat di dalam semesta di luar diri manusia

Refleksi Kurikulum Kenabian

Sepintas konsep tauhid dan membaca yang merupakan prinsip dasar kurikulum dalam
pendidikan Islam sangat normatif. Padahal jika dikaji secara serius lagi mendalam, khususnya
terhadap fakta historis yang dialami oleh Nabi Muhammad saw beserta sahabat-sahabatnya. Dua
prinsip di atas tidaklah dapat dibantah lagi.

Dengan kata lain, tauhid dan membaca, dalam ajaran Islam menjadi generator kebangkitan yang
mengantarkan manusia dari kondisi kejahiliyahan menuju kondisi yang penuh dengan
kebahagiaan dengan naungan kitab suci Al-Quran.
Bisa dibayangkan, apa korelasi perintah membaca pada wahyu pertama yang diterima Nabi
Muhammad saw di Gua Hira dengan solusi praksis terhadap problem masyarakat jahiliyyah yang
jauh dari nilai-nilai bangsa yang beradab? Cukup sulit untuk dicerna dengan cepat apalagi
dengan penalaran yang sederhana.

Tetapi fakta sejarah jelas merekam bahwa ayat tersebut telah mampu melahirkan satu kesadaran
transendental para sahabat Nabi Muhammad saw untuk selanjutnya tampil sebagai manusia yang
penuh dengan kegairahan dalam hidup, semangat dalam berjuang, dan energi yang begitu besar
untuk berprestasi.

Kepercayaan diri ini mampu menjadikan komunitas kecil umat Islam ketika itu bertahan hingga
13 tahun lamanya hidup dalam tekanan politis, embargo ekonomi, juga tantangan psikologis
yang tidak ringan. Pada saat yang sama secara kolektif mereka mampu menjadikan tradisi belajar
sebagai program prioritas dalam keseharian mereka. Rumah sahabat Arqam bin Arqam menjadi
madrasah pertama yang menyaksikan bagaimana prinsip-prinsip kurikulum dalam pendidikan
Islam diterapkan.

Dalam pandangan filosofis, kekuatan manusia dalam memegang prinsip dan nilai-nilai
kebenaran sangat ditentukan oleh kualitas ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Semakin dalam
pengetahuan yang dimiliki maka semakin kokoh keberpihakannya terhadap nilai-nilai yang
dianggapnya benar pada saat yang sama diyakini dan tumbuh kesadaran untuk
mensosialisasikannya. Dengan kata lain, seorang manusia akan benar-benar kokoh prinsip dan
keyakinannya manakala secara teoritis, filosofis dan praksis, dia memiliki sistem penjelas yang
rasional dalam menjawab tantangan kehidupan yang dihadapi. Walaupun sepintas dia tampak
sebagai manusia yang biasa-biasa saja.

Profil sahabat Nabi Bilal bin Rabbah yang mampu bertahan atas siksaan majikannya yang begitu
kejam terhadap dirinya merupakan bukti konkrit bahwa penanaman nilai-nilai tauhid dan tradisi
membaca memberikan perubahan mendasar pada cara pandang, keyakinan dan motivasi dalam
menjalani kehidupan. Begitu juga dengan Ali bin Abi Thalib ra yang selanjutnya tampil sebagai
pemuda yang terampil dan alim serta zuhud terhadap dunia.

Kurikulum kenabian tidak saja mampu membangkitkan jiwa, tetapi juga berhasil melahirkan
para intelektual, cendekiawan, ulama, mujaddid yang sangat membanggakan. Berawal dari
kemenangan gemilang pada saat Perang Badar, Rasulullah saw menjadikan para tawanan perang
yang memiliki keilmuan, keterampilan dalam berbagai teknik sebagai guru bagi pemuda Muslim
di Madinah yang jika para tawanan tersebut mampu mendidik pemuda Muslim sekualitas
dirinya, maka jaminan bebas dari tahanan menjadi imbalannya.

Tindakan ini tentu bukan sebatas kesadaran karena secara empiris umat Islam di Madinah
kekurangan sumber daya manusia. Melainkan lebih didorong oleh landasan wahyu pertama guna
menunjukkan kepada umat manusia bahwa Islam benar-benar sebagai konsep kebenaran yang
jika diterapkan dengan baik dan benar akan mendatangkan kedamaian dan kesejahteraan dalam
kehidupan.
Selain itu tampak sekali sebuah nuansa pendidikan sepanjang waktu pada komunitas Muslim di
Madinah kala itu. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa para sahabat yang tidak bisa hadir
mengikuti kajian bersama Nabi Muhammad saw pada pagi hari, karena harus beraktivitas, sore
harinya mereka berupaya untuk bisa hadir dalam majelis Nabi yang lainnya. Sehingga jika ada
sahabat yang tidak bisa hadir pada sore hari, mereka bertanya kepada yang ikut pada sore hari
dan sebaliknya yang sore hari bertanya kepada sahabat yang ikut kajian di pagi hari.

Akhirnya transformasi nilai dan ilmu itu secara kolektif tersampaikan pada setiap umat Islam
kala itu. Waktu dan kesibukan tidak menjadi penghalang utama untuk mengamalkan ajaran Islam
bahwa menuntut ilmu itu wajib.

Riwayat senada juga dituturkan oleh Syeikh Ahmad bin Hajar. Dia menuturkan bahwa
Rasulullah adalah orang pertama yang menyiarkan keahlian tulis-menulis. Beliau juga
menyiarkan tata cara modern di antara kaumnya. Contoh yang jelas, beliau telah mewajibkan
bagi para tawnan perang Badar untuk mengajar anak-anak; seorang tawanan mengajar sepuluh
anak. Sehingga banyak anak-anak pada masa itu sudah bisa baca tulis.

Setelah itu, keahlian baca tulis semakin tersiar di antara kaumnya dan belahan bumi manapun
(Syeikh Ahmad bin Hajar terj: M Halabi Hamdy, 2001). Hal ini karena jauh sebelum perintah
hijrah atau selama 13 tahun berada di Makkah umat Islam sudah diperintahkan untuk menuntut
ilmu.

Prof. Hamidullah, misalnya, menunjukkan, bahwa kebanyakan ayat-ayat al-Quran yang


berkaitan dengan aspek keilmuan, justru diturunkan di Mekkah. Berbagai hadith Nabi
Muhammad saw menekankan pentingnya kedudukan ilmu dalam Islam. Para sahabat Nabi juga
dikenal sebagai orang-orang yang haus akan ilmu. Kata Muadh bin Jabal: Ilmu adalah ketua
bagi amal; amal menjadi pengikutnya.

Salah satu sabda Nabi saw yang sangat popular adalah: Menuntut ilmu adalah satu kewajiban ke
atas Muslim dan muslimat. Budaya ilmu di dalam Islam memang khas. Konsep pembagian
ilmu menjadi ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah, misalnya, tidak dikenal dalam konsep
peradaban lain. Umur manusia yang terbatas tidak memungkinkan manusia mengejar semua
ilmu. Maka, perlu dipelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat. Sebab, ujung dari pengejaran ilmu
adalah pengenalan Tuhan dan pengabdian kepada-Nya.

Dalam konteks inilah bisa dipahami makna ayat Quran: Hanyasanya hanya mereka yang
berilmu yang takut kepada Allah. (Wan Daud dalam Budaya Ilmu, 2007).

Kritik Kurikulum Kontemporer

Sebagaimana sempat disinggung sebelumnya, kurikulum pendidikan saat ini secara umum lebih
bersifat akomodatif terhadap aspek sosio-ekonomis dan mengabaikan aspek humanis-religius.
Munculnya kurikulum KBK yang dilanjutkan dengan KTSP menuai banyak kritik. Tidak saja
dari praktisi pendidikan namun juga tidak sedikit dari kalangan pakar pendidikan di Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa kurikulum pendidikan yang berlaku saat ini telah menafikan aspek
transenden manusia sebagai makhluk yang memiliki dimensi ruhani yang tidak bisa dipisahkan
dari konsep ketuhanan atau keyakinan.

Cukup beralasan jika umat Islam mengakui kemajuan yang signifikan telah berhasil dicapai oleh
peradaban Barat saat ini, khususnya dalam bidang teknologi. Namun menjadi satu langkah keliru
jika sebagai umat yang memiliki konsep, cara pandang dan sejarah yang gemilang, dengan
begitu saja melupakan rekaman historis, hanya karena kemunduran secara kolektif sedang
melanda umat Islam di hampir seluruh belahan dunia. Sebab jika umat Islam terseret pada
wacana dan cara pandang yang dikembangkan oleh Barat. Secara otomatis umat Islam telah
kehilangan jati dirinya.

Padahal secara filosofis konsep dan cara pandang yang mereka bangun adalah bentuk kombinasi
nilai dan keyakinan yang didasarkan pada aspek kepentingan dan pengalaman-pengalaman yang
subyektif dari berbagai tradisi bangsa lain dan bangsa mereka sendiri pada masa-masa yang telah
lalu.

Pemandangan ini mendorong beberapa cendekiawan Muslim kontemporer, seperti Syed


Muhammad Naquib Al-Attas dan Ismail Raji Al-Faruqi mengeluarkan gagasan perlunya gagasan
Islamisasi ilmu pengetahuan. Salah satu murid Al-Attas yang begitu konsen dengan konsep
Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang dikenal dengan sapaan Wan Daud menjelaskan bahwa
konstruk keilmuan yang berkembang saat ini yang identik dengan spesialisasinya dinilai tidaklah
relevan dengan konsep keilmuan dalam Islam. Dan, secara empiris konsep spesialisasi ilmu telah
melahirkan berbagai macam masalah baru yang cukup serius.

Wan Daud mengkritik keras konsep spesialisasi sempit yang membutakan ilmuwan dari
khazanah keilmuan bidang-bidang lain. Ia menekankan perlunya menjelmakan sifat keilmuan
yang multi-disciplinary dan inter-disciplinary.

Spesialiasi yang membutakan terhadap bidang lain, menurut Jose Ortega Y, filosof Spanyol yang
berpengaruh besar selepas Nietszche, telah melahirkan manusia biadab baru (a new
barbarian). Tradisi keilmuan dalam Islam tidak mengenal sifat spesialisasi buta seperti ini.
Ilmuan-ilmuwan Islam dulu dikenal luas memiliki penguasaan di berbagai bidang. Sekedar
contoh untuk dijadikan bukti Fahruddin Al-Razi misalkan, beliau adalah ulama yang menguasai
banyak bidang kajian keilmuan. Beliau ahli kedokteran yang juga ahli ilmu syariah. Beliau ahli
fiqh juga ahli dalam ilmu sastra dan matematika. Dan masih banyak lagi ilmuwan yang serupa
bahkan mengungguli Fahruddin Al-Razi.

Konstruk Kurikulum Masa Depan

Dalam konteks ke-Indonesia-an tidaklah mudah untuk melakukan konstruk kurikulum


pendidikan Islam masa depan. Sebab secara historis, kekuatan imperialisme Belanda selama tiga
setengah abad tidaklah mungkin dapat dihilangkan begitu saja. Pada saat yang sama, arus
liberlisasi dalam segala bidang sedang menghantam rakyat Indonesia dari segala penjuru.
Namun demikian bukan berarti usaha ini tidak memiliki prospek yang positif. Perkembangan
pendidikan Islam yang mulai menggeliat kini, ternyata telah dinilai cukup potensial untuk
merangsang terjadinya kebangkitan umat Islam di negara seribu pulau ini.

Kondisi inilah yang menyebabkan umat Islam terbelah dalam beberapa kelompok yang masing-
masing memiliki persepsi sendiri dalam merespon kondisi kontemporer, khususnya yang
berkaitan dengan pendidikan Islam. Bahkan secara filosofis kini telah terbelah pada apa yang
disebut dengan pendidikan sekuler yang pro-Barat dan pendidikan religius fundamental yang
anti-Barat.

Kondisi tersebut sudah lama terjadi dan direspon oleh Natsir dalam pidatonya saat Rapat
Persatuan Islam di Bogor pada tahun 1934. Seringkali pula kenyataan, ada yang menganggap
bahwa didikan Islam itu ialah didikan Timur, dan didikan Barat ialah lawan dari didikan Islam.
Boleh jadi, ini reaksi terhadap didikan kebaratan yang ada di negeri kita, yang memang
sebagian dari akibat-akibatnya tidak mungkin kita menyetujuinya sebagai umat Islam. Akan
tetapi coba kita berhenti sebentar dan bertanya: Apakah sudah boleh kita katakan bahwa Islam
itu anti-Barat dan pro-Timur, khususnya dalam pendidikan? (Jurnal Peradaban Islam Islamia
Vol V no. 1 2009: 80).

Akan tetapi menurut Natsir problem utamanya bukan terletak pada apakah pendidikan Islam itu
pro atau anti Barat dan Timur. Baginya pendidikan adalah suatu pimpinan jasmani dan ruhani
yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dalam arti yang
sesungguhnya (Natsir, 1954: 81-82). Bahkan lebih lanjut dia tegaskan bahwa dasar pendidikan
Islam adalah Tauhid, yang tersimpul dalam dua kalimat syahadat, yang menjadi pokok
kemerdekaan dan kekuatan ruhani, dasar dari kemajuan dan kecerdasan manusia.

Tujuan pendidikan Islam ialah mendidik generasi Islam, agar sanggup memenuhi syarat-syarat
penghidupan manusia sebagai yang tersimpul dalam kalam Allah wabtaghi fima ata-kallahud-
daral akhirata, wa la tansa nashibaka minad-dunya, agar generasi muda dapat mencapai
derjat hamba Allah, yang merupakan tujuan tertinggi penciptaan manusia (Natsir, 1954: 105).

Jika dikorelasikan dengan realitas historis kenabian, tidaklah keliru jika Natsir mengatakan
demikian. Karena di tengah ketidakberdayaan umat Islam kala itu, orientasi dan program
prioritas yang digalakkan oleh Nabi Muhammad saw dalah penanaman aqidah Islamiyyah yang
dibangun di atas dasar-dasar tradisi ilmu yang sangat serius.

Dengan kata lain konstruk kurikulum pendidikan Islam masa depan harus benar-benar bersandar
pada konsep tauhid, tidak dikotomis antara ilmu umum dan agama serta adaptif terhadap
perkembangan zaman yang kian berkembang.

Dengan demikian maka kurikulum pendidikan Islam akan dapat melahirkan generasi muslim
yang tidak saja cerdas secara kognitif namun juga alim dalam hal religius dan unggul dalam hal
kepribadian, khususnya dalam etika pergaulan dalam kehidupan keseharian.

Selain itu jika benar-benar kurikulum pendidikan Islam yang berbasis tauhid dapat
diimplementasikan ke depan akan lahir generasi Muslim yang akan memiliki kemampuan
memilah, memilih dan mengolah ilmu pengetahuan yang selanjutnya didesain dan
dipersembahkan kepada umat manusia sesuai dengan ajaran Islam yang tentu tidak saja
memberikan manfaat praktis namun juga ramah dan mampu bersinergis memelihara kelestarian
alam semesta.

Model Kurikulum Pendidikan Islam Masa Depan

Pemaparan di atas telah memberikan gambaran jelas untuk menyusun kurikulum pendidikan
masa depan yang tentunya sangat fleksibel untuk digunakan baik dalam ranah pendidikan
formal, informal maupun nonformal. Selain itu secara umum kurikulum ini juga
mengkategorikan semua unsur untuk bisa tampil sebagai pendidik yang relevan dengan kapasitas
dan kompetensinya.

Selain itu kurikulum masa depan Islam ini diharapkan juga mampu menjawab tantangan praksis
dalam bidang teknologi misalkan, utamanya pemanfaatan perkembangan teknologi yang lebih
mengarah pada peningkatan kecerdasan dan tentu tidak sebaliknya seperti yang sering terjadi dan
sangat destruktif.

Usia anak 6 sampai 12 tahun atau jenjang Sekolah Dasar (SD)

Mata pelajaran yang diutamakan di antaranya:

1. Hafalan Al-Quran
2. Membaca
3. Menulis
4. Bahasa Arab
5. Olahraga
6. Seni

Enam komponen di atas merupakan dasar pembentukan karakter secara mental juga secara
kepribadian bagi anak-anak. Dalam rentang waktu usia tersebut kemampuan hafalan Al-Quran,
membaca, menulis dan pemahamannya yang baik terhadap bahasa akan memacu dan
mempersiapkan kognitifnya untuk lebih bisa dipacu dalam menerima ilmu-ilmu lain.

Kemudian matapelajaran olahraga dan seni akan membentuk kepribadian hidup sehat dan indah.
Olahraga di sini tentu olahraga yang melatih konsentrasi dan bukan sekedar olahraga yang
membesarkan otot, meskipun itu juga baik diberikan. Adapun seni adalah seni syair berupa
shalawat, lagu (nasyd) perjuangan, ataupun kemampuan membaca dan menulis puisi.

Kurikulum di atas sangat memungkinkan untuk melahirkan generasi-generasi yang mampu


menghafal Al-Quran. Sebab tidak sedikit ulama besar tumbuh dari tradisi atau kemampuannya
menghafal Al-Quran pada usia anak-anak. Hal ini tidak saja terjadi pada masa ulama salaf saja.
Tetapi juga ulama kontemporer, sebut saja misalkan Sayyid Qutb yang telah menghafal Al-
Quran pada usia 10 tahun (Nuim Hidayat, 2005).

Usia 12 15 Tahun atau sederajat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP)


Mata pelajaran yang diutamakan di antaranya:

1. Pemahaman Al-Quran
2. Pemahaman Hadits
3. Matematika
4. Logika
5. Fiqh
6. Teknologi; mulai dari teori, tujuan serta penggunaannya yang sesuai dengan Islam
7. Sejarah
8. Pengenalan Budaya
9. Ilmu Pengetahuan Alam

Sembilan komponen di atas merupakan kelanjutan materi pendidikan yang mesti ada dalam
kurikulum pendidikan Islam masa depan. Sebab selain sebagai kelanjutan pembelajaran dan
pembentukan karakter generasi muslim yang baik, sembilan komponen itu diharapkan bisa
membekali kerangka berfikir para murid khususnya ketika berhadapan dengan situasi sosial yang
rentan dengan perubahan dan penerapan norma serta tradisi yang tidak jarang bertentangan
dengan syariat Islam.

Pemahaman terhadap fiqh, sejarah, dan pengenalan ilmu budaya akan menjadi satu bekal yang
penting bagi murid untuk bisa memilah, memilih dan mengolah informasi dan menilai realitas
sesuai dengan idealitas Islam. Selain itu pemahaman yang lebih lanjut terhadap Al-Quran
ditambah Hadits diharapkan akan lebih memacu kealimannya dalam bidang ulumuddin dan
lebih percaya diri lagi untuk menilai bahwa yang salah benar-benar salah pada saat yang sama
juga memiliki cita-cita untuk meluruskan keadaan yang keliru dengan sedini mungkin
mewacanakan perlunya konsep-konsep keilmuan yang relevan dengan ajaran Islam.

Pertanyaannya kemudian mungkinkah seorang anak usia SMP mampu menjadi sebagaimana
diuraikan dalam dua paragaraf di atas?

Jika kurikulum sekarang yang digunakan tentu hal tersebut tidak mungkin. Tetapi dengan
kurikulum yang kami tawarkan, kondisi tersebut tidaklah mustahil bahkan bisa dibuktikan.
Sebagai salah satu bukti seperti yang dialami oleh Ibn Taymiyyah. Ketika umur beliau belum
mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah mengalami bidang-
bidang tafsir, hadits dan bahasa Arab. Kecerdasannya dalam bidang bahasa memungkinkannya
untuk mengkaji musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian kitabu-Sittah dan
Mujam At-Thabarani Al-Kabir.

Usia 15 18 Tahun atau sederajat dengan Sekolah Menengah Atas (SMA)

Mata pelajaran yang diutamakan di antaranya:

1. Pemahaman Al-Quran
2. Pemahaman Hadits
3. Matematika
4. Logika (Filsafat)
5. Tasawuf
6. Fiqh
7. Ushul Fiqh
8. Teknologi; elektro, otomotif, informatika dan teknologi terapan lainnya
9. Sejarah
10. Sosiologi
11. Ilmu Pengetahuan Alam (Kesehatan, Astronomi, Biologi, Kimia,dll)
12. Politik

Dua belas komponen di atas akan memungkinkan murid-murid SMA lebih mendalami dan
mencintai serta kemauan kuat untuk mengamalkan ajaran Islam. Mereka semakin kuat dengan
tradisi ulumuddinnya pada saat yang sama mereka juga mulai diajak mencerna, menganalisa
ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan sekaligus ilmu-ilmu eksak yang bersifat sangat penting dalam
kehidupan ini.

Selain itu dua belas komponen di atas akan memberikan kemudahan murid-murid mengakses
pendidikan atau ilmu yang paling diminatinya pada jenjang yang lebih tinggi lagi. Sehingga tidak
lagi perlu dikhawatirkan secara berlebihan apabila mereka mengkaji satu ilmu secara khusus
akan melupakan statusnya sebagai muslim atau menanggalkan ilmu lain dengan asumsi yang
keliru. Sebagaimana yang terjadi saat ini, dimana spesialisasi telah melahirkan manusia super
cuek dengan kaidah dan ketentuan keilmuan yang lain.

Usia Dewasa atau setingkat Perguruan Tinggi

Dalam tataran ini seorang murid sudah mampu memilih mana ilmu yang lebih sesuai dengan
kemampuan diri dan minatnya. Oleh karena itu terkait dengan ilmu apa saja yang dipilihnya
tidaklah menjadi masalah. Sebab pendidikan 12 tahun sebelumnya insyaallah sudah memberikan
cukup bekal baginya untuk tetap istiqomah sebagai muslim yang baik. Pemahaman terhadap Al-
Quran dan Hadits akan mengantarkan dirinya tidak saja kuat secara aqidah dan luhur secara
akhlak namun juga kokoh dalam cara pandang Islam.

Cara pandang Islam inilah yang sejatinya belum tertanam kuat pada mayoritas murid atau pun
mahasiswa di Indonesia. Padahal penanaman cara pandang ini tidak cukup hanya dengan teori,
tapi juga menuntut implementasi yang serius melalui berbagai ritual pasti yang diwajibkan dalam
ajaran Islam. Jika ini benar-benar dapat diterapkan maka pendidikan Islam masa depan tidak
menutup kemungkinan akan mencapai prestasi gemilang sebagaimana pernah diraih Khalifah Al-
Mamun dengan tradisi ilmu dan filsafatnya, juga zaman para ulama salaf dengan tradisi
muddinnya yang dinantikan seluruh umat manusia.

Demikian juga dengan Indonesia, prediksi Bassam Tibi, intelektual asal Jerman, Malik Bennabi,
cendekiawan asal Al-Jazair, yang menyatakan bahwa kebangkitan Islam akan lahir dari
Indonesia benar-benar bisa dibuktikan. Insyaallah. (Naskah ini adalah tugas dari DR. Nusa
Putra,MPd pada mata kuliah Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam saat sekolah
pascasarjana di UIKA Bogor). By Imam Nawawi.

Anda mungkin juga menyukai