Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH AGAMA ISLAM II

CITRA DIRI (KEPRIBADIAN) INTELEKTUAL MUSLIM

Oleh Kelompok 1:

Shella Briliant M.F 041411535025

Romzi Kharisanto 041411535041

Lady Sandra Ayu P. 041411535042

PRODI AKUNTANSI PSDKU BANYUWANGI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS AIRLANGGA

BANYUWANGI

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam merupakan agama rahmatan lil alami, ia sangat menekankan umatnya agar
menjadi umat yang unggul dalam segala bidang sehingga bentuk kesucian dan keagungan
islam termaniveastasi lewat keluhuran umatnya. Oleh karena itu tidak heran bila terdapaat
banyak ayat al-Quran yang menyerukan kepada penggunaan akal, seperti afala taqiluun,
afala tatafakkaruun, laallakum taqiluun, laallakum tadzakkaruun. Bahkan ayat pertama
yang diturunkan adalah iqra (baca). Ini menunjukkan bahwa islam sangat peduli terhadap
peningkatan intelektualitas umatnya.
Oleh sebab itu, Seorang muslim harus senantiasa menggunakan daya pikirnya. Allah
mewujudkan fenomena alam untuk dipikirkan, beraneka macamnya tingkah laku manusia
sampai adanya aneka pemikiran dan pemahaman manusia hendaknya menjadi pemikiran
seorang muslim. Tetapi satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa tujuan berpikir
tidak lain adalah untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT bukan sebaliknya.
Seorang intelektual muslim dikenal tidak hanya aktif dalam berfikir, menguasai ilmu
pengetahuan, kritis dalam menanggapi persoalan sosial, akan tetapi seorang intelektual
muslim itu juga dihitung dari segi keimanannya dan tingkat amal shalehnya. Maka oleh karna
itu, seseorang yang ingin mempersiapkan diri untuk menjadi seorang intelektual harus
mampu memperlihatkan sikap kepribadiannya yang islami, aktif dalam masyarakat, kritis
terhadap persoalan-persoalan umat serta benar-benar komit dengan keislamannya.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah pengertian citra diri (kepribadian) intelektual muslim?
1.2.2 Bagaimana citra diri (kepribadian) intelektual muslim?
1.3 Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat disimpulkan bahwasanya tujuan penulisan
makalah ini untuk:
1. Mengetahui pengertian citra diri (kepribadian) intelektual muslim
2. Mengetahui citra diri (kepribadian) intelektual muslim?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Citra Diri (Kepribadian) Intelektual Muslim

Pengertian Kepribadian dalam Islam

Dalam Islam, istilah kepribadian (personality) dalam studi keislaman lebih dikenal
dengan term al-syakhshiyah. Syakhshiyah berasal dari kata syakhsh yang berarti pribadi.
Kata itu kemudian diberi ya nisbah sehingga menjadi kata benda buatan (mashdar shinaiy)
syakhshiyah yang berarti kepribadian.
Dalam literatur keislaman, terutama pada khazanah klasik abad pertengahan, kata
syakhshiyah(sebagai padanan dari kepribadian) kurang begitu dikenal. Terdapat beberapa
alasan mengapa term itu tidak dikenal: (1) dalam Alquran maupun al-Sunnah tidak ditemukan
term syakhshiyah, kecuali dalam beberapa hadis disebutkan term syakhs yang berarti pribadi,
bukan kepribadian;(2) dalam khazanah Islam klasik, para filusuf maupun sufi lebih akrab
menggunakan istilah akhlak. Penggunaan istilah ini karena ditopang oleh ayat Alquran dan
Hadis Rasul;(3) term syakhshiyah hakikatnya tidak dapat mewakili nilai-nilai fundamental
Islam untuk mengungkap suatu fenomena atau prilaku batihan manusia. Artinya, term
syakhshiyah yang lazim dipakai dalam Psikologi Kepribadian Barat aksentuasinya lebih pada
deskripsi karakter, sifat, atau perilaku unik individu, sementara term akhlak lebih
menekankan pada aspek penilaiannya terhadap baik-buruk suatu tingkah laku. Syakhshiyah
merupakan akhlak yang didevaluasi (tidak dinilai baik-buruknya), sementara akhlak
merupakan syakhshiyah yang dievaluasi.
Dalam literatur keislaman modern, term syakhshiyah telah banyak digunakan untuk
menggambarkan dan menilai kepribadian individu. Sebutan syakhshiyah al-muslim memiliki
arti kepribadian orang Islam. Pergeseran makna ini menunjukkan bahwa term syakhshiyah
telah menjadi kesepakatan umum untuk dijadikan sebagai padanan dari personality. Yusuf
Murad menyebut dua istilah yang terkait dengan kepribadian. Pertama, istilah al-syakhshiyah
al-iniyah atau al-syakhshiyah al-zatiyah untuk mendeskripsikan kepribadian yang tampak
dari perspektif diri sendiri; Kedua, istilah al-syakhshiyah al-maudhuiyah atau al-
syakhshiyah al-khalq untuk mendeskripsikan kepribadian yang tampak dari perspektif orang
lain, sebab kepribadian individu menjadi objek penggambaran.
Term lain yang tidak kalah populernya adalah term akhlak. Secara etimologis, akhlak berarti
character, disposition dan moral constitution. Al-Gazali berpendapat bahwa manusia
memiliki citra lahiriah yang disebut dengan khalq, dan citra bathiniyah yang disebut dengan
khulq. Khalq merupakan citra fisik manusia, sedang khulq merupakan citra psikis manusia.
Berdasarkan kategori ini, khulq secara etimologi memiliki arti gambaran atau kondisi
kejiwaan seseorang tanpa melibatkan unsur lahirnya.
Al-Gazali lebih lanjut menjelaskan bahwa khulq adalah suatu kondisi dalam jiwa yang
suci, dan dari kondisi itu tumbuh suatu aktivitas yang mudah dan gampang tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. Sedangkan Ibnu Miskawaih mendefinisikan
khulq dengan suatu kondisi jiwa yang menyebabkan suatu aktivitas dengan tanpa dipikirkan
atau dipertimbangkan terlebih dahulu. Al-Jurjawiy mengemukakan bahwa akhlak itu hanya
mencakup kondisi batiniah, bukan kondisi lahiriah. Misalnya, orang yang memiliki akhlak
pelit bisa juga ia banyak mengeluarkan uangnya untuk kepentingan riya, boros, dan
sombong. Sebaliknya, orang yang memiliki akhlak dermawan bisa jadi ia menahan
mengeluarkan uangnya demi kebaikan dan kemaslahatan.
Apabila maksud jiwa dalam definisi akhlak di atas mencakup psikofisik, term khulq
dapat dijadikan sebagai padanan term personality. Namun, apabila maksud jiwa sebatas pada
kondisi batin term khulq tidak dapat dijadikan padanan personality, sebab personality
mencakup kepribadian lahir dan batin. Oleh karena ambiguitas makna ini maka diperlukan
definisi lain yang dapat mengcoper hakikat khulq sesungguhnya.
Manshur Ali Rajab memberi batasan khulq dengan al-tabu dan al-sajiyah.Tabu
(karakter) adalah citra batin manusia yang menetap. Citra ini terdapat pada konstitusi
manusia yang diciptakan oleh Allah sejak lahir. Sedangkan sajiyah adalah kebiasaan manusia
yang berasal dari hasil integrasi antara karakter manusiawi dengan aktivitas-aktivitas yang
diusahakan. Kebiasaan ini ada yang teraktualisasi menjadi suatu tingkah laku lahiriah dan ada
juga yang masih terpendam.
Menurut Muhammad Imad Al-Din Ismail, terminologi akhlak dan syakhshiyah dalam
literatur klasik digunakan secara bergantian, karena memiliki makna satu. Namun dalam
literatur modern, keduanya dibedakan karena memiliki konotasi makna. Akhlak merupakan
usaha untuk mengevaluasi kepribadian, atau evaluasi sifat-sifat umum yang terdapat pada
perilaku pribadi dari sudut baik-buruk, kuat-lemah dan mulia-rendah. Sementara syakhshiyah
tidak terkait dengan diterima atau tidaknya suatu tingkah laku, sebab di dalamnya tidak ada
unsur-unsur evaluasi.
Setelah memahami tentang pengertian kepribadian dalam islam, selanjutnya unsur
unsur dari kepribadian manusia yaitu:
1. Aqliyah / akal
Akal adalah tempat untuk menimbang dan kemudian memutuskan suatu perkara. Bagi orang
islam kemampuan untuk memutuskan suatu perkara atau realita tersebut tentunya di dasari
dengan pandangan hidup yang sesuai dengan aturan islam. Jika seseorang muslim tidak
menggunakan dasar islam dalam mempertimbangkan satu hal maka akal orang tersebut
bukanlah akal orang islam.
2. Nafsu
Nafsu adalah kecendurungan manusia untuk melakukan atau menginginkan sesuatu. Setiap
manusia memiliki nafsu mereka masing masing. Akan tetapi pilihan untuk mengikuti
nafsunya atau tidak adalah sesuatu yang memerlukan pemahaman khusus. Dalam islam
pemahaman tersebut adalah aqidah, dengan aqidah orang tersebut dapat menentukan untuk
melakukan atau meninggalkan nafsunya.
Intelektual dalam sudut pandang islam

Islam sebagi agama wahyu mengandung segenap ajaran-ajaran yang bersifat universal dan
eternal serta mencakup seluruh aspek kehidupan. Dengan ajaran-ajaran tersebut Islam
menuntut umatnya untuk meningkatkan harkat dan martabatnya agar memperoleh kebahagian
di dunia dan akhirat. Dengan demikian ajaran Islam sarat dengan nilai-nilai intelektual dan
spiritualitas.

a. Memahami Makna Intelektual

Intelektual merupakan sebuah istilah yang disandangkan bagi orang-orang yang


cerdas, berakal, berilmu pengetahuan tinggi, taat kepada agama serta kritis dalam
menanggapi persoalan-persoalan sosial. Istilah intelektual memiliki makna yang hampir sama
dengan cendekiawan. Cendikiawan dapat diartikan sebagai orang cerdik dan pandai yang
memiliki sikap hidup yang terus menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk
mendapatkan pengetahuan atau memahami sesuatu.

Seorang intelektual adalah seorang yang kreatif, yang selalu berusaha mencari
kemungkinan yang baru yang mungkin lebih baik dari hasil yang sudah ada. Dengan
demikian, pengertian intelektual merupakan pengertian sikap hidup, bukan hanya sekedar
pengetian dalam dunia pendidikan, meski sebenarnya antara dunia pendidikan yang tinggi
dan sikap hidup seorang intelektual terdapat korelasi yang tinggi (semakin banyak
pengetahuan seseorang, semakin dia merasa bahwa masih banyak hal-hal yang belum ia
ketahuai).
Dengan demikian, Para intelektual adalah mereka yang terlibat secara kritis dengan
nilai, tujuan dan cita-cita, yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis, baik yang
berhubungan dengan agama maupun yang berhubungan dengan urusan duniawi. Maksudnya,
intelektual adalah orang yang menggarap sekaligus mengkabolarasi antara teori dengan
operasionalnya berdasarkan gagasan-gagasan normatif. Kaum intelektual adalah mereka yang
berusaha membentuk lingkungan dan masyarakatnya dengan gagasan-gagasan analisis dan
normative serta mewujudkan keadilan, kebebasan, dan kemajuan masyarakatnya.

Seoarang Nabipun, disamping sebagai manusia pilihan yang disucikan juga sebagai
individu yang merupakan bagian dari kaumnya yang berupaya dan berperan dalam membuka
keran-keran ruang kebebasan dan mengupayakan kemajuan. Nabi, disamping sebagai utusan
juga merupakan seorang intelektual yang peduli dan berjuang untuk memperbaiki aturan
lama dan mempromosikan aturan dan tatanan hidup baru yang lebih relevan dengan konteks
zaman, beliau berhasil membuka mata dunia, menyebarkan ide-ide baru yang tauhidi untuk
melakukan perubahan demi terwjudnya kesejahtraan.

b. Al-Quran dan Al-Sunnah Sebagai Sumber dan Pendorong Intelektualitas


Umat islam percaya bahwa Al-quran dan al-Sunnah merupakan sumber
intelektualitas dan spiritualitas islam. Al-quran bukan hanya basis bagi agama dan
pengetahuan spiritual, tapi juga bagi semua jenis ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber
utama inspirasi pandangan umat islam tentang keterpaduan sains dan pengetahuan spiritual.
Gagasan keterpaduan ini merupakan kosekuensi dari gagasan keterpaduan semua jenis
pengetahuan yang belakangan ini pada gilirannya diturunkan dari prinsip keesaan Tuhan
yang diterapkan pada wilayah pengetahuan manusia.

Al-Quran yang merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
menyimpan segudang ilmu pengetahua serta lengkap dengan solusi perihal kehidupan
duniawi. Ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah iqra. Wahyu
pertama ini menjelaskan dan menghendaki umatnya untuk membaca apa saja selama bacaan
tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra yang berarti bacalah,
telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah
maupun diri sendiri, baik yang tertulis maupun yang tidak.

Dengan demikian jelas bahwa al-Quran (Allah) sangat menjunjung tinggi terhadap
aspek ilmu pengetahuan dan intelektualitas. Kenapa intelektualitas? Karna pengembangan
aspek intelektualitas bisa menjadikan umat yang maju, berperadaban dan tauhidi. Ini telah
terbukti dalam sejarah kehidupan umat Islam, dimana dengan intelektualitasnya, umat Islam
mampu merubah peradaban manusia dari kebobrokan moral dan kegelapan intelektual
menuju kepada peradaban tinggi yang sesuai dengan petunjuk Sang Ilahi. Dengan
memaksimalkan fungsi akal, sehingga dunia Islam telah berhasil menciptakan para ilmuawan,
kaum intelektual dan cendekiawan, sehingga menjadikan Islam sebagai center peradaban
dunia.

Dalam Al-quran, banyak terdapat ayat-ayat yang bisa menjadi inspirasi dan motivasi
pikiran kita untuk menjadi seorang yang intelek, banyak ayat-ayat yang menekankan agar
manusia mau menggunakan akalnya untuk memikirkan kebesaran dan ke-Esaan Tuhannya
yang termanivestasi di alam semesta ini. Seperti ayat-ayat yang mengandung seruan, tidakkah
kalian memikirkan?, tidakkah kalian berfikir? tidakkah kalian perhatikan? Tidakkah mereka
memerhatikan? Ungkapan itu semua merupakan sebuah perintah penggunaan akal yang bisa
dijadikan sebagai motivasi awal untuk menjadi seorang intelektual.

Dalam al-Quran, kata yang senada dengan intelektual diistilahkan dengan kata Ulul
Albab. Istilah ini khusus dipakai al-Quran untuk menyebut sekelompok manusia pilihan
semacam intelektual. Ulul al-bab adalah mereka yang hatinya selalu terhubung dengan al-
Quran dan mereka melihat lebih jauh dari apa yang telah dilakukan oleh para ilmuan biasa,
yaitu mereka melihatnya dengan bahasa iman yang khusyu.

c. Keharusan Menuntut Ilmu

Allah telah menciptakan fitrah yang bersih dan mulia dalam diri manusia, lalu
melengkapinya dengan bakat dan sarana yang baik yang memungkinkan manusia mengetahui
kenyataan-kenyataan besar dialam raya ini melalui ilmu yang dimiliki. Allah menganugrahi
akal pada diri manusia, menobatkannya sebagi khalifah dimuka bumi serta mengilhami ilmu
untuk dapat menjaga keseimbangan alam.

Dalam pandangan al-Quran, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul
dari makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya.

Islam yang merupakan agama tauhid yang bersumber pada al-Quran dan Hadis
memberikan pandangan koprehensif dan metode terpadu yang tidak memisahkan antara ilmu
alam fisika dan alam metafiska, atau antara ilmu yang bersifat parsial dan tujuan ilmu itu
sendiri yang bersifat universal. Oleh karena itu, menuntut ilmu menjadi suatu keharusan bagi
umat islam agar mampu menjaga keseimbangan dengan sesama makhluk, alam dan
Tuhannya. Allah berfirman:

Artinya: Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahwa al-Quran adalah
benar dari Tuhanmu, lalu mereka beriman dan hati mereka tunduk kepada-Nya.
Sesungguhnya Allah memberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kejalan yang lurus.
(Q.S. Al-Hajj: 54)

Islam sangat menekankan terhadap penguasaan ilmu, bahkan ada sebuah hadis yang
menyatakan bahwa menuntut ilmu itu diwajibkan atas setiap orang islam baik laki-laki
maupun perempuan. Sangkin pentingnya ilmu pengetahuan, Allah pun meninggikan derajat
mereka yang berilmu, sebagaimana yang disebutkan dalam Firmannya;

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam


majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah meninggikan baeberapa derajat
(tingkatan) orang-orang yang berirman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi
ilmu pengetahuan). dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-
Mujadalah, ayat 11)

Ilmu yang menjadi keharusan untuk dituntut oleh umat Islam adalah ilmu yang
bermanfaat, baik dari segi agama maupun materi keduniaan. Dari segi agama adalah ilmu-
ilmu yang bersumber pada wahyu yang membahas masalah-masalah akidah, norma, persepsi
umum tentang wujud, jiwa manusia dan tatanan sosial. Adapun dari segi materi keduniaan
adalah ilmu-ilmu yang membahas fenomena alam dan kehidupan.

Dengan menguasai dimensi keilmuan tersebut, yaitu ilmu-ilmu agama dan ilmu dunia,
serta mampu mengaplikasikannya dalam ranah sosial, maka orang-orang seperti itu telah
mampu memposisikan dirinya sebagai intelektual.

2.2 Citra Diri (Kepribadian) Intelektual Muslim


Langkah-langkah menjadi muslim yang intelek

a. Membangun Strategi
Strategi merupakan suatu cara yang disusun untuk memuluskan pihak terkait dari batu
hambatan pertarungan. Menyusun strategi tidak hanya berlaku untuk perang ataupun sepak
bola, tetapi berlaku dimana saja dalam sebuah pertarungan, tidak terlepas dalam prosesi
belajar. Dalam upaya menjadi seorang muslim yang intelek ada beberapa langkah yang harus
diperhatikan, langkah utama yang harus ditempuh tidak hanya sebatas melalui disiplin-
disiplin akademik dalam arti perkuliahan (co-curiculer). Dalam persoaalan ini, semua pihak
terkait haruslah berpikir strategis dan dinamis untuk memadukan kedua unsure penting
tersebut dalam membentuk character building yang intelek. Ini berarti bahwa pembinaan
seseorang untuk melangkah menjadi intelektual disamping dilakukan dengan kulyah-kulyah
resmi harus pula dilakukan diluar jam-jam kulyah, seperti bergabung dengan grup-grup
diskusi dan komunitas intelek lainnya.

1. Membangun Pola Pikir Yang Islami

Salah satu tolak ukur seorang intlektual adalah terletak pada akalnya, akal sangat
berperan dalam membentuk pribadi seseorang yang intelek. Akal adalah gerbang dan dasar
pembentuk karakter seseorang pribadi yang islami, Pola pikir islami juga harus dibangun
dalam diri seorang muslim. Semua alur berpikir seorang muslim harus mengarah dan
bersumber pada satu sumber yaitu kebenaran dari Allah swt.

Dalam Islam, akal diartikan sebagai daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia;
daya, yang sebagai digambarkan dalam Al-Quran adalah memperoleh pengetahuan dengan
memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang dikonstruksi dalam Islam
dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu dari Tuhan.1[5]

Islam sangat menghargai kerja pikir ummatnya. Di dalam al-Quran sering kita
jumpai ayat ayat yang menganjurkan untuk berpikir, Seperti:

1. Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah
menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.
(Q.S.Yunus:100),

2. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun,
kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Q.S. An-Nahl: 11)

3. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan
bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami
(nya). (Q.S. An-Nahl: 12)

Dari uraian ayat-ayat diatas, kita bisa melihat bahwa Islam sangat menghormati fungsi
akal. Penghormatan Islam terhadap fungsi akal karna didasari atas beberapa hal: Pertama,
akal merupakan salah satu faktor yang menjadikan manusia dipandang sebagai makhluk
ciptaan Allah yang paling baik. Kedua, dengan akalnya, manusia dapat mencapai peradaban
dan kebudayaan yang sangat tinggi. Ketiga, dengan akal pula, manusia dapat mengemban
tugas sebagai khalifah dimuka bumi ini. Keempat, Allah sendiri yang memerintahkan
manusia untuk menggunakan akal, termasuk dalam memahami Al-Quran itu sendiri dan
mencemooh terhadap orang-orang yang tidak menggunakan akalnya.

Oleh karna demikian, seorang muslim harus senantiasa menggunakan daya pikirnya.
Allah mewujudkan fenomena alam untuk dipikirkan, oleh sebab itu, akal dalam Islam
memiliki posisi yang istimewa, bahkan mulianya manusia disisi Allah terletak pada akalnya.
Tetapi satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa tujuan berpikir tidak lain adalah
untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT bukan sebaliknya.

2. Membangun Kepribadian yang Islami

Menjadi pribadi yang Islami merupakan suatu hal yang sangat diperhatikan dalam
agama Islam. Hal ini karena Islam itu tidak hanya ajaran normatif yang hanya diyakini dan
dipahami tanpa diwujudkan dalam kehidupan nyata, tapi Islam memadukan dua hal antara
keyakinan dan aplikasi, antara norma dan perbuatan, antara keimanan dan amal saleh. Oleh
sebab itulah ajaran yang diyakini dalam Islam harus tercermin dalam setiap tingkah laku,
perbuatan dan sikap insan yang islami.

b. Membangun Motivasi Keilmuan

Menjadi seorang intelektual bukanlah perkara yang mudah, ia tidak memada dengan
menyandan gelar sarjana tapi memerlukan usaha dan pengorbanan yang luar biasa, memiliki
semangat keilmuan yang tinggi dan peka terhadap problem-problem sosial. Untuk
menggenggam predikat intelektual, seseorang harus mampu menggunakan ilmu dan
ketajaman fikirannya untuk mengkaji, menganalis serta merumuskan segala perkara dalam
kehidupan masyarakat.

Untuk menjadi seorang intelektual, seseorang harus memilik motivasi keilmuan yang
tinggi, karna motivasi merupakan bahan baku dan substansi yang diperlukan manusia dalam
menempuh perjalanan hidupnya. Ia adalah kristalisasi formula-formula visi dan misi, serta
orientasi yang terpadu dan terintegrasi secara sempurna, selanjutnya motivasi tersebut akan
menjadi muatan inti dari niat seseorang dalam melakukan dan memformat bentuk, jenis, dan
dimensi keilmuan.

Dengan dasar motivasi ini, kita harus menjadi yang terbaik karna Islam sebagai
konsep dan jalan hidup kita berada pada posisi terluhur dalam segala dimensinya. Dan kita
sebagai umat Islam harus mampu berada pada setiap dimensi itu dengan menguasai ilmu
pengetahuan sebagai sandaran intelektualitasnya, kepercayaan dan keyakinan sebagi
spiritualitasnya dan prilaku sebagai moralitasnya.

Setiap muslim yang mukallaf pasti memiliki potensi akal, nalar, hati nurani dan
intuisi, potensi ini apabila digunakan secara efektif, yakinlah bahwa kepribadian yang intelek
akan terbantuk, hanya saja tinggal memaksimalkan dalam penguasaan ilmu pengetahuan baik
yang teoritis maupun ilmu-ilmu yang bersifat praktis. Untuk dapat menguasai ilmu-ilmu
tersebut kita harus terbuka dengan dunia pendidikan baik formal maupun informal, terbuka
dengan sejumlah informasi sepanjang kehidupan kita, baik itu informasi aktif yang
memberikan rumusan dan kesimpulan, seperti guru, orang tua maupun teman-teman, dan kita
juga harus terbuka dengan informasi pasif yang membutuhkan rumusan dari kita sendiri
dengan bantuan informasi aktif. Informasi-informasi semacam ini sangat dibutuhkan dalam
menguasai ilmu pengetahuan serta bisa mempengaruhi pemikiran, perasaan dan prilaku kita
untuk bergabung dengan kaum intelektual.

c. Merekonstruksi Kembali Warisan Pemikiran Islam

Kehidupan umat islam sekarang telah dihadapkan pada sebuah persoalan yang sangat
menyedihkan, yaitu rasa bangga terhadap peradaban luar yang tidak islam. Banyak umat
islam sekarang yang terkena rayuan manis system dan pola hidup dunia barat. Kita
berbondong-bondong membeli pemikiran hasil produk mereka dan melupakan warisan emas
pemikiran produk orang islam sendiri. Kita telah kelabakan dalam meniru setiap dimensi
produk mereka, seperti system ekonomi, pendidikan dan pola pemikiran, sehingga kita saling
menyerang sesama.

Kita telah enggan dalam memahami sejarah sendiri, melupakan usaha susah payah
ulama tempo dulu dalam hal ilmu pengetahuan sehingga telah memberi efek yang negative,
yaitu kedangkalan pemikiran islam dikalangan umat sekarang ini. Bahkan lebih
memprihatinkan lagi muncul fenomena ketidak pecayaan terhadap warisan intelektual umat
islam sebagi alternative pengayaan dan rekonstruksi pemikiran umat kontemporer dalam
usahanya untuk mengatasi distorsi peradaban manusia dari visi dan misi terhadap konteks
kehidupan sekarang ini.

Opini-opini sebahgian umat islam produk barat telah menggiring pola pikir generasi
muda Islam untuk mengagumi intelektualitas peradaban barat. Pemuda-pemudi Islam tidak
lagi menyadari, tidak lagi membaca sejarah bahwa peradaban intelektualitas mereka adalah
hasil jiplakan dari peradaban intelektualitas muslim yang kemudian dirumuskan dalam
bentuk kemusyrikan. Fenomena dilematis ini telah membawa sikap kekaguman umat islam
yang berlebihan terhadap khazanah intelektualitas peradaban barat (non-islam) seraya
mengucilkan khazanah peradaban intelektualitas sendiri (Islam). Akibat dari rekayasa dan
manipulasi ini telah membawa dunia pendidikan Islam kesebuah jurang yang sangat
menyedihkan yaitu, ideology umat Islam tidak sepenuhnya lagi berkiblat kepada al-Quran
dan Sunnah, akan tetapi telah berpaling kepada filsafat barat yang sarat dengan kemusyrikan.

Dengan melihat realitas demikian, kita sebagi mahasiswa/pemuda yang peduli dengan
nilai warisan keislaman, mari kita membangkitkan semangat intelektualitas kita dengan
membangun ideology yang tauhidi dengan berpijak kepada al-Quran dan Hadis. Mari kita
merekonstruksi kembali pemikiran yang islami mulai dari paradigm, epistimologi dan
metodologi sampai realisasi empirisnya dalam bentuk peradaban Islam sebagaimana yang
telah dibangun oleh para ulama kita, cendikiawan kita dan kaum intelektual kita tempo dulu.
Mudah-mudahan dengan merekonstruksi wawasan pemikiran Islam mereka, dunia Islam akan
meraih kembali kejayaan dan keemasan peradaban yang maju.

d. Membentuk Unsur-Unsur Kepribadian Yang Intelek dan Islami

Dalam Islam, Seorang intelektual dikenal tidak hanya aktif dalam berfikir, menguasai
ilmu pengetahuan, kritis dalam menanggapi persoalan sosial, akan tetapi seorang intelektual
muslim itu juga dihitung dari segi keimanannya dan tingkat amal shalehnya. Maka oleh karna
itu, seseorang yang ingin mempersiapkan diri untuk menjadi seorang intelektual harus
mampu memperlihatkan sikap kepribadiannya yang yang islami, aktif dan benar-benar komit
dengan keislamannya. Setidaknya ada tiga aspek yang mendukung seseorang untuk bisa
bergabung dengan kaum intelektual, yaitu komit dengan keimanannya, aktif dalam
menggunakan akalnya dan kuat tingkat amal shalehnya.

1. Iman
Iman merupakan bentuk kata lain dari tauhid dan aqidah. Meski ketiga kata ini
berbeda tapi substansinya sama, yaitu bentuk pensucian Allah dari sifat-sifat alam
atau makhluk. Aqidah merupakan iman yang kuat kepada Allah dan apa yang
diwajibkan berupa tauhid (mengesakan Allah dalam peribadatan), yaitu berupa
beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir,
taqdir baik dan buruk, serta mengimani semua cabang dari pokok-pokok keimanan ini
serta hal-hal yang masuk dalam katagorinya berupa prinsip-prinsip agama. Iman
secara bahasa berasal dari kata a-mi-na yang berarti merasa aman dan tenteram,
sedangkan a-ma-na berarti meyakini, percaya, atau beriman. Jika dilihat dari kata
dasarnya, keimanan adalah sesuatu yang memberikan keamanan dan ketenangan bagi
pemiliknya. Jika keimanan tidak memberikan nuansa tersebut maka telah terjadi
distorsi, penyimpangan, ketidakberfungsingan, bahkan mungkin kesalahan total pada
objek yang diimaninya. Ini parallel dengan sebuah Firman Allah;

Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. (Q.S. ar-
Rad: 28)

Iman merupakan pembentuk dasar kepribadian seseorang muslim. Iman


bukanlah produk akal manusia tetapi ia berasal dari Zat yang mencipta seluruh alam ini yang
termanvestasi dalam wahyu-Nya. Yang membedakan seorang muslim dengan non-muslim
adalah terletak pada keimanannya. Dalam buku Ensiklopedi Islam karangan Bisri M.
DJaelani disebutkan, bahwa Iman merupakan kunci keislaman seseorang yang dalam
perwujudannya disimbolkan dengan mengucap dua kalimat syahadat, yaitu persaksian bahwa
tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Iman merupakan kunci pokok dalam membentuk keislaman seseorang. Antara iman dan
Islam merupakan satu kesatuan yang saling mengisi, iman tidak ada artinya tanpa Islam.
Begitu juga Islam, ia tidak akan berfungsi bila tidak dilandasi dengan keimanan.

Dengan demikian, berbicara tentang islam/muslim berarti juga berbicara


tentang iman, kenapa demikian? Karna islam atau seorang muslim beranjak dari sebuah
kalimat tauhid yaitu, laa ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah). Begitu juga seorang
intelektual muslim, ia terbina dari kalimat tauhid, maka ia tidak bisa terlepas dari yang
namanya iman. Apabila ia ingin lepas dari iman maka ia bukan lagi seorang muslim. Oleh
sebab itulah seorang intelektual muslim harus dibangun atas dasar keimanan.
2. Akal
Akal (pemikiran) merupakan aspek kedua dalam membentuk kepribadian
seorang muslim. Ia merupakan muara bagi tiap-tiap individu yang mukallaf. Dalam islam,
akal memiliki posisi yang sangat central, ia adalah pembentuk karakter manusia sebagai
khalifah dimuka bumi, termulia atas segala makhluk lainnya. Dengan akal pula manusia
dapat berfikir secara dinamis untuk menghasilkan suatu rumusan yang namanya pemikiran.
Pemikiran merupakan sebuah anugerah Tuhan yang sangat luar biasa. Dengannya manusia
dapat mengetahui kebesaran Sang-Ilahi yang termanivestasi dialam jagat ini. Dengan akal
pula manusia dapat berkreasi, berinovasi dan berkarya secara baik, efektif dan efesien.
Dengan akal, manusia dapat membentuk karakter kepribadiaannya dan mampu menata dunia
dengan penuh peradaban mulia.

Akan tetapi kita umat Islam harus sadar bahwa, manusia tidak akan bisa
menjaga akalnya kecuali jika Islam ditegakkan. Pengalaman telah membuktikan bahwa
seluruh system hukum yang berlaku didunia ini sebenarnya tidak mengandung suatu konsepsi
yang menjamin keselamatan akal manusia kecuali jika umat Islam menerapkan agama-
agamanya.

Apabila suatu bangsa mendidik pemuda-pemudinya untuk menggunakal akal


secara efektif dan Islami, maka bangsa tersebut akan mudah menguasai dunia, tak perlu
dengan intervensi militer yang membunuh banyak orang dan menghancurkan fasilitas sipil
yang bisa berakibat fatal.

Islam yang merupakan agama wahyu (Allah), sangat menekankan umatnya


untuk menggunakan akal, ini bisa dilihat dengan banyaknya ayat-ayat al-Quran yang
mengimbau dengan kata-kata apakah kalian tidak berfikir, apakah kalian tidak
memikirkannnya, apakah kalian tidak memperhatikannya. Bahkan dalam sebuah Hadis
disebutkan Agama diperuntukkan bagi orang-orang yang berakal, tidak ada agama bagi
yang tidak berakal.

Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa islam sangat menekankan


umatnya untuk menggunakan akal dengan bijak dan efektif sehingga dapat meninggikan
derajatnya diatas para malaikat. Oleh karena itu, tidak heran bila aspek yang central dalam
membentuk karakter seorang intelektual muslim adalah terletak pada sejauh mana ia mampu
memfungsikan akalnya. Dengan demikian jelas bahwa seseorang yang ingin menjadi
intelektual muslim harus mampu mempergunakan akal dan ilmunya dengan efektif dan
terarah.
3. Amal Shaleh

Amal shaleh secara bahasa berarti kerja yang baik, layak, sesuai, benar, serasi
dan segala sesuatu yang bernuansakan makna kebaikan dan kemaslahatan. Pilihan kata ini
amatlah tepat dan mencerminkan kemukjizatan al-Quran. Amal yang shaleh merupakan
bentuk ketiga yang berpengaruh dalam membentuk kepribadian seorang intelektual. Amal
shaleh juga merupakan refleksi konkrit dimensi kedua dari Islam yaitu syariah, ia adalah
sebuah prinsip dasar metode pemikiran dalam Islam.

Amal shaleh yang dimaksud disini bukan hanya amalan-amalan yang


individual, tapi juga amal shaleh yang berhubungan dengan sosial seperti mengajarkan orang
lain, memberi solusi-solusi terhadap persoalan masyarakat, saling menasehati dengan penuh
kesabaran dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, Islam tidak pernah menyerukan umatnya untuk memusuhi
dunia dan tidak pula memerintahkan umatnya untuk menghabiskan waktu hanya semat-mata
untuk beribadah dan bermunajat kepada Allah SWT, tetapi Islam adalah sebuah agama yang
berdiri pada azaz keterpaduan antara dunia dan akhirat, berupaya merealisasikan
kesempurnaan keduanya, menjadikan dunia sebagai ladang memasuki kehidupan akhirat dan
berupaya membahagiakan umatnya didunia dan akhirat.

Perpaduan ketiga unsure diatas, yaitu iman, akal dan amal saleh akan menjadi
sinergi bagi seseorang untuk menjadi pribadi yang mulia dan agung. Sinergi ini selanjutnya
akan menjadi landasan kekuatan dalam berbagai dimensi dan aspek kehidupan. Dimulai
dengan memahami esensi keimanan dan pemikiran Islam yang selanjutnya diaktualisasi
dalam bentuk aplikasi (akhlak) baik dalam konteks individu maupun sosial-masyarakat.
Dengan demikian, membangun pribadi yang islami dengan mengadopsi ketiga unsur di atas
akan menjadikan tiap individu sebagai intelektual yang pada akhirnya akan mampu
membentuk karakter bangsa yang maju, agung dan berperadaban.
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Intelektual merupakan sebuah istilah yang disandangkan bagi orang-orang yang


cerdas, berakal, berilmu pengetahuan tinggi, taat kepada agama serta kritis dalam
menanggapi persoalan-persoalan sosial. Istilah intelektual memiliki makna yang hampir sama
dengan cendekiawan. Cendikiawan dapat diartikan sebagai orang cerdik dan pandai yang
memiliki sikap hidup yang terus menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk
mendapatkan pengetahuan atau memahami sesuatu.

Menjadi seorang intelektual bukanlah perkara yang mudah, ia tidak memada dengan
menyandang gelar sarjana tapi memerlukan usaha dan pengorbanan yang luar biasa, memiliki
semangat keilmuan yang tinggi dan peka terhadap problem-problem sosial. Untuk menggdan
enggam predikat intelektual, seseorang harus mampu menggunakan ilmu dan ketajaman
fikirannya untuk mengkaji, menganalis serta merumuskan segala perkara dalam kehidupan
masyarakat.

Setidaknya ada tiga aspek yang mendukung seseorang untak sampai pada tingkatan
intelektual. Pertama, seseorang itu harus memiliki basis keimanan yang kuat, karna ini akan
membantu dalam menjalankan tugas keintelektualitas anda serta mampu mengembangkan
visi dan misi sebagai panutan ummat. Kedua, seseorang itu mampu menggunakan akal secara
efektif, karena peran besar seorang intelektualitas terletak pada penggunaan akal, karna
seorang intelek adalah seorang pemikir yang senantiasa berfikir dan mengembangkan serta
menyumbangkan ideanya untuk kemaslihatan masyarakat. Ketiga adalah seorang intelektual
itu harus bisa memperlihatkan kepada masyarakat sikap yang bersahabat, baik, jujur, serta
sabar dalam mengahadapi persoalam masyarakat, karna tidak mungkin seseorang menjadi
intelektualitas yang kemudian lari dari komunitas masyarakat.

3.2 Saran

Umat Islam haruslah mempunyai kepribadian intelektual sebagai seorang muslim.


Umat Islam juga harus tahu pengertian tentang citra diri kepribadian intelektual muslim agar
dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari hari.

Anda mungkin juga menyukai