Bab 1,2,3
Bab 1,2,3
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Suatu penyakit akibat proses depigmentasi pada kulit, disebabkan oleh
factor genetic dan non genetik yang berinteraksi dengan kehilangan atau
ketahanan fungsi melanosit yang pada kenyatannya merupakan peristiwa
autoimun. 2
2.2. Epidemiologi
Kejadian Vitiligo sekitar 0,5-2% dari populasi dunia, dan terlihat hampir
seluruh usia. Rata-rata usia yang terkena sekitar 20 tahun.. (1) Prevalensi kejadian
vitiligo berbeda di setiap populasi dari berbagai Negara, pada Caucasian sebanyak
0,38%, pada AfroCarribeans sebanyak 0,34 %, pada Populasi Indian sebanyak
0,46 %. Vitiligo terlihat memiliki angka kejadian yang sama antar laki-laki dan
perempuan, walaupun perempuan yang lebih banyak didapatkan diantara pasien
yang datang pelayanan kesehatan. Vitiligo dapat berkembang dari berbagai tingkat
umur, dengan rata-rata onset usia sekitar 24 tahun pada populasi Caucasian.
Subtipe paling sering dari vitiligo adalah Generalized Vitiligo (GV) yaitu penyakit
akibat autoimun yang dihubungkan dengan penyakit autoimun lainnya pada
sekitar 20-30% pasien, yang tersering adalah Autoimmune thyroid disease
(Hashimotos Thyroiditis or Graves Disease), rheumatoid arthritis, psoriasis,
anemia perniciosa, Diabetes Tipe 1, Sistemik Lupus Eritematosus, dan Addison
disease.2,6
2
diterima sebagai lokus yang berhubungan dengan penyakit autoimun
yaitu HLA Class 1, HLA Class 2, PTPN22, LPP, IL2RA, UBASH3A
dan C1QTNf6, yang lainnya mengkode protein yang berfungsi pada
peranan imunitas yaitu RERE, GZMB dan TYR, mengkode tyrosinase,
kunci enzim dari biosintesis Melanin dan Autoantigen GV Major. 2
Hipotesis Autoimun dan Respon Imun Humoral
Hubungan antara vitiligo dengan kondisi autoimun telah banyak
diketahui. Kelainan tiroid, terutama tiroiditis Hashimoto dan penyakit
Graves, sering berhubungan dengan vitiligo, yang disertai dengan
kondisi endokrinopati seperti Addison disease dan Diabetes Melitus.
Pada penelitian yang ada, ditunjukkan adanya hubungan yang
signifikan antara vitiligo dengan kenaikan kadar autoantibodi tiroid,
meskipun mekanisme hubungan ini belum diketahui secara pasti.3,5
Mekanisme Imunitas Seluler
Sebagai tambahan atas keterlibatan mekanisme imunitas humoral
pada patogenesis vitiligo, terdapat bukti yang kuat yang
mengindikasikan adanya proses imunitas seluler. Kerusakan melanosit
bisa jadi dimediasi secara langsung oleh autoreaktif sitologik sel T.
Meningkatnya jumlah sirkulasi limfosit sitotoksik CD8+ sebagai reaksi
terhadap MelanA/Mart-1 (antigen melanoma yang dikenalkan oleh sel
T), glikoprotein 100, dan tirosinase telah dilaporkan pada pasien
dengan vitiligo. Sel T CD8+ yang teraktivasi telah didemonstrasikan
pada perilesi kulit vitiligo. Hal yang menarik yaitu sel T reseptor
spesifik terhadap melanosit yang ditemukan pada pasien melanoma
dan vitiligo memiliki struktur yang hampir sama. Penelitian yang
mengemukakan hal ini mendorong dilakukannya strategi imunisasi,
seperti misalnya induksi sel T tumor-specific sebagai pencegahan dan
eradikasi kanker.3
Gangguan pada Sistem Oksidan-Antioksidan pada Vitiligo
Stres oksidatif mungkin juga memiliki peran patogenesis yang
penting terhadap terjadinya vitiligo. Beberapa penelitian memastikan
beberapa teori stres oksidatif yang mungkin, hal ini menunjukkan
bahwa akumulasi toksin radikal bebas terhadap melanosit akan
3
berdampak pada kerusakan sel melanosit itu sendiri. Meningkatnya
level nitrit oksida ditunjukkan pada melanosit yang dikultur dan di
dalam serum pasien vitiligo, sehingga diduga nitrit oksida dapat
mendorong pada autodestruksi melanosit.4
Teori Neural
Hipotesis ini menunjukkan adanya mediator neurokimia yang
bersifat sitotoksik terhadap sel pigmen dan dikeluarkan oleh ujung
saraf didekatnya. Teori ini didukung oleh kenyataan:1
1) Vitiligo lokalisata yang terbatas secara segmental tidak
dermatomal melainkan menyerang beberapa dermatom.
2) Vitiligo segmental tidak berefek dengan obat-obat vitiligo
konvensional tetapi membaik terhadap obat-obat yang
memodulasi fungsi saraf.
3) Terjadinya vitiligo dilaporkan setelah mengalami tekanan
emosional berat atau setelah kejadian neurologikal, misalnya
ensefalitis, multipel sklerosis, dan jejas saraf perifer.
Virus
Bersama-sama dengan teori lain, data yang ada menunjukkan
bahwa vitiligo merupakan kelainan multifaktor, dan merupakan hasil
akhir dari beberapa jalur patologis yang berbeda. Para ahli sepakat
bahwa vitiligo lebih cenderung merupakan sindrom, daripada sebagai
penyakit tunggal.3
2.4. Manifestasi Klinis
4
2.5. Klasifikasi Vitiligo
Gambar 1.
Vitiligo Vulgaris 2
2. Vitiligo Akrofasial: Menyerang pada distal dari jari dan wajah dengan pola
circumferensial. Ini merupakan sub tipe dari GV 2,8
Gambar 2.
Vitiligo Akrofasial 2
3. Mixed vitligo: kombinasi dari acrofacial dan vulgaris, atau segmental dan
tipe acrofacial. 2
4. Vitiligo Universalis: Seluruh atau hampir menyeluruh mengalami
depigmentasi dari seluruh tubuh. Ini merupakan bentuk paling berat GV.2
5
Gambar 3.
Vitiligo Universalis 2
5. Vitiligo Fokal: Satu atau lebih macula pada satu area, tetapi tidak
terdistribusi secara segmental. 2
Gambar 4.
Vitiligo Fokal 2
Gambar 5.
Vitiligo Segmental 2
6
Pemeriksaan Penunjang
B. Pemeriksaan Histopatologi
Dengan pewarnaan hematoksilin (HE) tampaknya normal
kecuali tidak ditemukan melanosit, kadang-kadang ditemukan
limfosit pada tepi macula. Reaksi dopa untuk melanosit negative
pada daerah apigmentasi, tetapi meningkat pada tepi yang
hiperpigmentasi. 3
C. Pemeriksaan Biokimia
Pemeriksaan histokimia pada kulit yang diinkubasi dengan
DOPA menujukkan tidak adanya tirosinase. Kadar tirosin plasma
dan kulit normal. 3,8
7
2. Pitiriasis versikolor (sisik halus dengan warna fluoresensi kuning
kehijauan dibawah lampu Wood, KOH positif)
3. Leukoderma oleh bahan kimia (riwayat paparan fenolikgermisida,
makula confetti). Penyakit ini merupakan diagnosis banding yang sulit
karena melanosit yang tidak ada, sama seperti pada vitiligo.
4. Leukoderma terkait dengan melanoma.
5. Leukoderma post-inflamasi (makula tidak terlalu putih biasanya
riwayat psoriasis atau eksim pada daerah makula yang sama)
6. Nevus depigmentosa (stabil, kongenital, makula tidak terlalu putih,
unilateral).
7. Nevus anemikus (tidak ada perubahan dengan lampu Wood, tidak ada
eritema setelah digosok).
8. Morbus hansen tipe PB (daerah endemis, warna tidak terlalu putih,
biasanya terdapat macula anestesi yang tidak berbatas tegas)
9. Hypomelanosis of Ito (bilateral, garis Blaschko, pola kue marmer; 60-
75% mempunyai keterlibatan-sistemik sistem saraf pusat (SSP), mata,
sistem muskuloskeletal).
10. Tuberous sklerosis (stabil, kongenital dengan makula poligonal tidak
terlalu putih, bentuk pohon berdaun, sesekali makula segmenta, dan
makula confetti).
11. Piebaldisme (kongenital, putih, stabil, garis berpigmen pada
punggung, pola khas dengan makula hiperpigmentasi besar ditengah
daerah hypomelanotik).
12. Mikosis fungoides (depigmentasi dan biopsi diperlukan).
13. Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (masalah penglihatan, fotofobia,
dysacusis bilateral).
14. Sindrom Waardenburg (penyebab paling umum dari ketulian
kongengital, makula putih dan rambut putih, iris heterokromia).1,10
2.8 Penatalaksanaan
8
Repigmentasi mungkin terjadi secara spontan dan mungkin
juga diinduksi terapi. Repigmentasi secara spontan secara klinik tidak
signifikan dan tidak terjadi perbaikan kosmetik, dan terjadi pada
kurang dari 50% pasien, paling sering pada pasien muda dan area kulit
yang terkena sinar matahari langsung akan menginduksi agen. Pada
klinis, repigmentadi yang paling sering didapatkan adalah dengan pola
perifolikular, walaupun ada juga ditemukan pola lain seperti marginal,
difus atau kombinasi keduanya. 2
Pendekatan penatalaksaana yang digunakan dengan meninjau
pathogenesis penyakit adalah dengan menghambat system imun yang
menyebabkan destruksi dari melanosit juga meningkatkan repopulasi
melanosit pada epidermis, keduanya dengan meraktifkan kembali
melanosit residua tau dengan menstimulasi melosit bermigrasi dari
kulit sekitar atau dari folikel rambut. Kedua pendekatan ini akan
memberikan efikasi pengobatan yang maksimal. 2,9
Terapi pada vitiligo adalah
Dengan emisi puncak pada 311 nm, ini lebih efektif dan
lebih aman pda therapy dari vitiligo, dan termasuk pilihan utama
untuk GV. Studi menunjukkan UVA dengan Psoralen dibandingkan
dengan UVB, memberikan hasil yang berbeda yaitu hasil dari
UVB-NB lebih efektif dalam repigmentasi kulit. 2,9
9
Protokol NB-UVB digunakan 2 kali seminggu dengan dosis
0.21 J/cm2. Kemudian naik dosisnya 20% tiap kali sesi sampai
terlihat efek samping minimal yang menimbulkan eritem (dalam 24
jam). Terapi ini dilakukan paling tidak 9 bulan untuk menghasilkan
repigmentasi yang maximal, dan paling tidak 3 bulan untuk menilai
apakah terapi berspon atau tidak. Daerah tubuh yang paling
responsive adalah bagian wajah, truncus, tungkai, dan efek yang
paling sedikit ditemukan adalah pada tangan dan kaki. 2
Gambar 6.
10
3. Kortikosteroid
a. Kortikosteroid Topikal
b. Kortikosteroid Sistemik
4. Calcineurin Inhibitor.
11
IL-4, IL-5, Interferon, TNF-. Topikal Calcineurin inhibiot
(seperti tacrolimus Oinment 0,03-0,1%) hasilnya lebih baik
digunakan pada localized Vitiligo seperti pada wajah dan
leher. 2
1. Surgical Treatment
2. Total Depigmentasi
12
penampilan depigmented seluruhnya, pasien merasa sangat
puas.4
13
Algoritme Segmental Vitiligo (SV)
DIAGNOSIS SV
Mencegah
Faktor Pencetus
Stabil tanpa
Progresi
Repigmentasi
Stabil
Repigmentasi Bedah
Stabil
Tidak diterapi NB-UVB, MEL
Repigmentasi
Kamuflase Bedah
14
Gambar 7. Algoritma penatalaksanaan vitiligo. NB-UVB = narrowband ultraviolet B;
PUVA = psoralen and ultraviolet A light; PUVASOL = psoralen, ultraviolet and solar light.
2.9 Prognosis
15
BAB III
KESIMPULAN
Vitiligo pada umumnya dimulai pada masa anak-anak atau usia dewasa
muda dengan awitannya (50% kasus) pada usia 10-30 tahun, tetapi kelainan ini
dapat terjadi pada semua usia. Tidak dipengaruhi oleh ras, dengan perbandingan
laki-laki sama dengan perempuan.
Penyebab vitiligo yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Walaupun
penyebab pasti viligo sepenuhnya belum diketahui. Namun, beberapa faktor
diduga dapat menjadi penyebab timbulnya vitiligo pada seseorang, misalnya,
faktor emosi atau stres, faktor mekanis seperti trauma, faktor sinar matahari atau
penyinaran sinar UVA, dan faktor hormonal.
Gambaran ruam vitiligo dapat berupa makula hipopigmentasi yang lokal
sampai universal dengan daerah tangan, pergelangan tangan, lutut, leher, dan
daerah sekitar lubang sebagai daerah predileksi dari vitiligo.
Terapi vitiligo sendiri sampai saat ini masih kurang memuaskan. Tabir
surya dan kosmetik covermask bisa menjadi pilihan terapi yang murah dan mudah
serta dapat digunakan oleh pasien sendiri dibanding dengan terapi lainnya.
Prognosis vitiligo masih meragukan dan bergantung pula pada kesabaran
dan kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang diberikan. 2,6
16
DAFTAR PUSTAKA
17