Etika Terapan PDF
Etika Terapan PDF
ETIKA TERAPAN
Oleh: Imam T. Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Secara umum etika dapat dibagi menjadi etika umum dan etika
khusus. Etika umum membicarakan mengenai norma dan nilai-nilai moral,
kondisi dasar bagi manusia untuk bertindak secara etis, bagaiman manusia
mengambil keputusan etis, teori-teori etika, lembaga-lembaga normatif
(suara hati manusia) dan lainnya. Etika umum sebagai ilmu atau filsafat
moral dapat dianggap sebagai etika teoretis, kendati istilah ini
sesungguhnya tidak tepat karena bagaimanapun juga etika selalu berkaitan
dengan perilaku dan kondisi praktis dan aktual dari manusia dalam
kehidupan sehari-hari dan tidak hanya bersifat teoretis. 1
Sementara itu etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip
atau norma-norma moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus.
Dalam kaitan ini, norma dan prinsip moral ditinjau dalam konteks
kekhususan bidang kehidupan manusia yang lebih khusus. Etika khusus di
sini memberi pegangan, pedoman dan orientasi praktis bagi setiap orang
dalam kehidupan dan kegiatan khusus tertentu yang dijalaninya. Etika
khusus juga merupakan refleksi kritis atas kehidupan dan kegiatan khusus
tertentu yang mempersoalkan praktik, kebiasaan dan perilaku tertentu
dalam kehidupan dan kegiatan khusus tertentu sesuai dengan norma umum
tertentu di satu pihak dan kekhususan bidang kehidupan dan kegiatan
tersebut di pihak lain. 2
Etika khusus dibagi menjadi etika individual memuat kewajiban
manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial, yang merupakan bagian
terbesar dari etika khusus. Etika sosial membicarakan tentang kewajiban
manusia sebagai anggota umat manusia. Diagram di bawah ini
menunjukkan pembagian etika, sebagai berikut di bawah ini: 3
1
Dr. A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta:
Penebit Kanisus, 1998), hlm. 32
2
Ibid, hlm. 32-33
3
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989),
hlm. 7-8
2 | ETIKA TERAPAN
Diagram
Sistematika ETIKA
UMUM
Prinsip
Moral dasar
ETIKA
ETIKA INDIVIDUAL
KHUSUS
terapan
ETIKA SOSIAL
Pendekatan Multidisipliner
Pada perkembangannyannya etika sebagai etika terapan atau
applied ethics ini memberikan kontribusi penting yang dapat diberika etika
sebagai bagian dari filsafat kepada bidang lintas disiplin ilmu lainnya.
Bukan hanya pada Fakultas Filsafat berkembang mata kuliah-mata kuliah
seperti etika biomedis, etika bisnis, etika lingkungan hidup, etika media
massa dan lain sebagainya. Perkembangan yang sama terjadi juga di
fakultas-fakultas lainnya, misalnya etika biomedis diberikan di Fakultas
Kedokteran, etika bisnis di Fakultas Ekonomi dan seterusnya. Dengan
ETIKA TERAPAN | 3
Kasuistik
Sehubungan dengan etika terapan menggeluti masalah-masalah
yang sangat konkret, tidak mengherankan bahwa di sini telah berkembang
kebiasaan untuk mempelajari kasus, seperti yang telah dilakukan oleh ilmu
kedokteran dengan etika biomedisnya dan ilmu manajemen dengan etika
bisnisnya kasus-kasus banyak dibicarakan. Bahkan saat ini sudah ada
buku-buku yang memuat kasus-kasus dan pembahasan dari kasus tersebut,
baik di bidang etika biomedis maupun etika bisnis, misalnya kasus-kasus
yang membahas Susu Bayi Nestle, kasus mobil Ford Pinto dan kasus-kasus
lainnya di bidang etika bisnis. 7
Kasuistik itu sendiri merupakan usaha memacahkan kasus-kasus
konkret di bidang moral dengan menerapkan prinsip-prinsip etis yang
umum. Jadi, Kasuistik ini sejalan dengan maksud umum dari etika
4
K Bertens, Panorama Filsafat Modern, (Jakarta: Penerbit Teraju PT Mizan
Publika, 2005), hlm. 24-25
5
Antonius Atosokhi Gea, Relasi Dengan Dunia Alam, Iptek dan Kerja,
(Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2005), hlm 24
6
Kartono Mohamad di dalam K. Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 274
7
K. Bertens, Keprihatian Moral Telaah atas Masalah Etika, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 26
4 | ETIKA TERAPAN
8
K. Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007),
hlm. 275-276
9
Relativisme moral merupakan pendekatan filosofis yang menyatakan bahwa
moralitas didasarkan terutama pada budaya, dan bahwa pada kenyataannya tidak ada
kebenaran dan kealahan mutlak.
Patricia J. Parsons, Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004),
hlm. 37
10
K. Bertens, Keprihatian Moral Telaah atas Masalah Etika,hlm. 33-35
ETIKA TERAPAN | 5
pendekatan berbeda-beda. Dalam hal ini paling tidak ada empat unsur
yang melalui salah satu cara selalu berperan dalam etika terapan. Empat
unsur tersebut mewarnai setiap pemikiran etis, jadi metode etika terapan
dalam hal ini sejalan dengan proses terbentuknya pertimbangan moral pada
umumnya. Empat unsur yang dimaksud disini adalah: Sikap awal,
informasi, norma-norma moral, logika. Berikut di bawah ini dipaparkan
empat unsur tersebut, sebagai berikut:11
1. Sikap Awal
Selalu ada sikap awal dan tidak pernah bertolak dari titik nol dalam
membentuk suatu pandangan mengenai masalah etis apa pun.
Sikap moral ini dapat berupa pro atau kontra atau juga netral, atau
malah tidak peduli sama sekali, namun sikap-sikap awal ini belum
direfleksikan. Sikap awal ini terbentuk karena berbagai faktor
misalnya pendidikan, kebudayaan, agama, pengalaman pribadi dll.
Sikap awal akan bertahan sampai suatu saat berhadapan dengan
suatu peristiwa atau keadaan yang menggugah reflesinya. Bisa
jadi sikap awal tersebut menjadi masalah ketika berjumpa dengan
orang yang memiliki sikap yang berbeda dengan dirinya. Pada
awalnya mungkin kita belum berpikir mengapa kita bersikap
demikian, misalnya dalam masyarakat yang sudah biasa
menggunakan teknologi nuklir sebagai sumber energinya, tanpa
keberatan apa pun mereka menerima begitu saja penggunaan energi
nuklir tersebut. Akan tetapi seiring dengan sikap negara yang
menggunakan nuklir sebagai alat persenjataannya, seperti Korea
Utara yang sering kali melakukan uji coba nukir ditambah dengan
peristiwa gempa besar di Jepang yang merusak reaktor pembangkit
listrik tenaga nuklir yang efeknya begitu besar bagi manusia,
peristiwa tersebut seperti membuka mata masyarakat akan bahaya
energi nuklir bagi kehidupan manusia. Dari peristiwa ini sikap
awal orang akan tergugah dan menjadi problema etis.
2. Informasi
Setelah pemikiran etis tergugah, unsur kedua yang diperlukan
adalah informasi. Hal itu terutama mendesak bagi masalah etis
11
K. Bertens, ETIKA, hlm. 295-303
6 | ETIKA TERAPAN
Etika terapan harus bersifat logis, dalam hal ini menuntut uraian
yang logis dan rasional dalam pemaparannya. Melalui bantuan
logika dapat memperlihatkan bagaimana suatu argumentasi
mengenai masalah moral, kaitan antara kesimpulan etis dengan
premis-premisnya dan apakah penyimpulannya tersebut tahan uji,
jika diperiksa secara kritis menurut aturan-aturan logika. Melalui
logika dapat menunjukkan kesalahan-kesalahan penalaran dan
inkonsistensi yang terjadi dalam argumentasi yang dipaparkan.
Logika juga dapat menilai definisi yang tepat tentang konsep yang
dibicarakan dalam etika terapan. Diskusi akan menjadi tidak
terarah apabila penyaji tidak berhasil mendefinisikan topik-topik
yang dibahas itu secara jelas. Misalnya penyaji harus terlebih
dahulu mendefinisikan mengenai topik perjudian, korupsi, suap dan
sebagainya secara jelas menurut aturan logika. Melalui
pendefinisian yang dibantu dengan logika tersebut perdebatan
moral menjadi lebih terarah dan menarik.
PENUTUP
Demikianlah etika terapan merupakan penerapan prinsip-prinsip
atau norma-norma moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus.
Dalam kaitan ini, norma dan prinsip moral ditinjau dalam konteks
kekhususan bidang kehidupan manusia yang lebih khusus. Etika terapan
juga bersifat multidisipliner, dalam hal ini memerlukan ilmu-ilmu lain
selain etika untuk menjelaskan masalah yang disoroti, agar dalam
penyimpulan etis dapat dilakukan dengan tepat. Metode etika terapan
terdapat empat unsur yang terdiri dari: sikap awal, informasi, norma-norma
moral, logika
DAFTAR PUSTAKA
Antonius Atosokhi Gea, Relasi Dengan Dunia Alam, Iptek dan Kerja,
(Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2005)
8 | ETIKA TERAPAN
ETIKA SOSIAL
oleh: Imam Tjahjo Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Pembagian lain dari Etika Terapan adalah pembedaan antara etika
individual dan etika sosial. Bidang kajian etika individual membahas
berbagai kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri, sementara itu etika
sosial lebih menekankan kepada pembahasan kewajiban manusia sebagai
anggota masyarakat. Pembagian etika kedalam etika individual dan etika
sosial ini pun sebenarnya diragukan relevansinya, mengingat manusia
secara individu merupakan bagian dari masyarakat, dengan demikian agak
sulit membedakan etika yang semata-mata untuk individu manusia tertentu
dan etika yang semata-mata sosial. Sebut saja masalah yang berkaitan
dengan kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri, misalnya bunuh diri
yang sama sekali tidak melibatkan orang lain diprosesnya, tetap saja pada
akhirnya merepotkan orang lain yang menemukan dirinya yang sudah
didapati tidak bernyawa, karena orang yang bersangkutan memiliki famili,
teman-teman, tetangga dan lain sebagainya.12
Dengan demikian tidak ada suatu masalah pun yang dapat
dilepaskan begitu saja dari konteks sosial, sehingga pembagian etika ke
dalam etika individual kehilangan relevansinya, mengingat manusia
sebagai mahluk sosial.
12
Kees Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2007),
hlm. 272
10 | ETIKA TERAPAN
masyarakat, dan negara), sikap kritis terhadap paham yang dianut, serta
pola perilaku dalam bidang kegiatan masing-masing.13
Selanjutnya Sonny Keraf membagi etika tersebut sebagai berikut di
bawah ini:14
Etika Umum
- Etika Keluarga
Etika Khusus Etika Sosial
- Etika gender -Biomedis
- Bisnis
- Etika Profesi -- Hukum
Etika Lingkungan - Ilmu
- Etika Politik Pengetahuan
- Pendidikan
- Kritik Ideologi - dll
13
A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hlm.
34
14
Ibid, hlm. 34
ETIKA TERAPAN | 11
sebagian bersar merupakan bidang kajian dari Etika Sosial yang terdiri
atas: Etika Bisnis, Etika Politik dan Etika Seksual.
DASAR ETIKA
Tindakan atau cara bertindak seseorang dipengaruhi oleh
keyakinannya mengenai apa yang baik dan yang jahat, ada anggapan
bahwa teori-teori etika tidak mempengaruhi tindak-tanduk seseorang.
Akan tetapi anggapan ini nampaknya keliru, teori yang berbeda akan
membuat tindakannya pun berbeda pula. Kelompok konsekuensialis
dalam hal ini utilitarian dan teman-temannya akan melihat sisi manfaat
15
Reverend James Kavanagh, B.A., S.T.L., Dipl. Econ.Sc. (Oxon), Manual of
Social Ethics, (Dublin: M.H. Gill and Son LTD, 1956)
16
Jenny Teichman, ETIKA SOSIAL, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998)
12 | ETIKA TERAPAN
17
Ibid, hlm. 3
18
Ibid, hlm. 5-10
19
Ibid, hlm 10-15
ETIKA TERAPAN | 13
20
Jenny Teichman, hlm 20
21
Ibid, hlm. 22-24
14 | ETIKA TERAPAN
hanya sebagai alat saja, lain halnya kita menilai sebuah Lukisan
Leonardo da Vinci, maka kita mengatakan lukisan tersebut
memiliki nilai intrinsik. Dengan demikian penilaian memiliki nilai
intrinsik tersebut dinilai dari kualitasnya bukan dilihat dari sisi
instrument yang memiliki kegunaan saja. Demikian juga halnya
dengan menilai manusia jika dilihat dari sisi kebergunaan sebagai
instrumen tadi, maka manusia yang ada dalam keadaan yang tidak
berdaya mungkin dinilai tidak ada gunanya.
4. Kalau begitu jika kehidupan manusia tidak mempunyai nilai
intrinsik, bagaimana manusia dapat memberikan nilai kepada hal-
hal lain? Bagaimana suatu yang bernilai sekunder dapat
memahami dan menciptakan sesuatu yang bernilai primer?
5. Bila masyarakat yang moral dan politiknya didasarkan atas teori
bahwa kehidupan manusia tidak mempunyai nilai intrinsik akan
bertindak memperlakukan orang lain sebagai cecunguk yang
layak diinjak dan ditendang, misalnya perlakuan terhadap orang
Yahudi.
6. Jika ada tataran nilai di dunia ini dan manusia tidak berada pada
puncak tataran ini, lalu apakah yang ada di puncak?
22
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1982). Hlm. 90-91
ETIKA TERAPAN | 15
23
Jenny Teichman, hlm. 24-25
24
Ibid, hlm 26-27
25
F. Budi Hardiman, FILSAFAT MODERN DARI MACHIAVELLI SAMPAI
NIETZSCHE, (jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 65-72
16 | ETIKA TERAPAN
26
Ibid, hlm 80-81
27
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, hlm. 98-99
28
Ibid, hlm. 99-101
ETIKA TERAPAN | 17
MASALAH SOSIAL
Dalam pemaparan di atas telah dijelaskan prinsip-prinsip dasar
etika dalam memandang manusia sebagai mahluk sosial. Telah dijelaskan
pula bagaimana manusia yang memiliki nilai pada dirinya sendiri dan
bagaimana implikasi etis dari setiap teori-teori etika yang dianut terhadap
perlakuan terhadap manusia. Demikian juga dengan kenyataan bahwa
18 | ETIKA TERAPAN
31
Prof. Dr. Gerben Heitingk dan Ferd. Heselaars Hartono, SJ., Teologi Praktis
Pastoral dalam Era Modernitas-Postmodernitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1999),
hlm. 62
32
Ibid, hlm. 62-63
20 | ETIKA TERAPAN
33
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche,
(JakartaL PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 243-244s
34
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, hlm. 87-89
ETIKA TERAPAN | 21
35
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertinda, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia,
2008), hlm. x-xi
36
Richard Shaul, dalam Pengantar buku Paulo Freire, Pendidikan Kaum
Tertindas, (Jakarta: Penerbit LP3ES , 2008), hlm. xxxi
22 | ETIKA TERAPAN
37
Johannes Muller, Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu, (Jakarta: Penerbit
Gramedia, 2005), hlm. 262
38
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, (New York: The Continuum
International Publishing, 2000), hlm 48
39
Endang Sumantri, Pendidikan Umum di dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan,
(Bandung: Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan UPI, 2007), hlm 235
ETIKA TERAPAN | 23
40
Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, (Jakarta: Penerbit
Gramedia, 1984), hlm. 3-6
24 | ETIKA TERAPAN
41
Denis Goulet, Prakata di dalam Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan,
(Jakarta, Penerbit Gramedia, 1984), hlm ix
42
Steve Gaspersz, Iman Tidak Pernah Amin: Menjadi Kristen & Menjadi
Indonesia, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 14
ETIKA TERAPAN | 25
43
Alexander Paulus, Your Thingking Determines Your Success: Rahasia
Menemukan Makna Kehidupan Menuju Keberhasilan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2010), hlm.166-167
26 | ETIKA TERAPAN
PENUTUP
Pada dasarnya Etika Sosial ini menekankan penghargaan pada
manusia sebagai manusia dan memiliki martabat. Berbagai persoalan yang
melibatkan individu bila ditelusuri akan juga melibatkan individu yang
lainnya, sehingga persoalan individu tidak dapat dilepaskan dari individu
yang lainnya. Manusia dalam menghadapi realitas yang ada terutama
perubahan yang cepat, sering kali tidak dapat mengikuti perubahan itu
dengan baik, akibatnya terjadilah yang dinamakan dengan masalah sosial
dan patologi sosial. Prinsip mengatasi masalah dan patologi sosial ini
adalah mengedepankan penghargaan manusia sebagai manusia itu sendiri,
seperti apa yang dilakukan dalam model pedagogi kaum tertindas Paulo
Freire dan Grameen Bank Prof. Moh. Yunus.
DAFTAR PUSTAKA
44
Ibid, hlm. 167-169
ETIKA TERAPAN | 27
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982)
Prof. Dr. Gerben Heitingk dan Ferd. Heselaars Hartono, SJ., Teologi Praktis
Pastoral dalam Era Modernitas-Postmodernitas, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1999)
Richard Shaul, dalam Pengantar buku Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas,
(Jakarta: Penerbit LP3ES , 2008)
Steve Gaspersz, Iman Tidak Pernah Amin: Menjadi Kristen & Menjadi
Indonesia, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2009)
ETIKA POLITIK
oleh: Imam Tjahjo Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Etika Politik merupakan cabang filsafat yang sudah sangat tua,
kehadirannya bisa disejajarkan dengan kelahiran etika itu sendiri (filsafat
moral). Etika politik menyediakan landasan bagi penerapan filsafat untuk
persoalan-persoalan praktik yang berkaitan dengan masalah politik. Para
filsuf membahas mengenai masalah politik ini secara panjang lebar di
dalam buku mereka masing-masing, misalnya Plato menulis buku yang
berjudul Republic, mengemukakan secara sistematis dan rasional system
politik yang ideal. Sementara Aristoteles, menulis buku yang berjudul
Politics, dalam buku ini Aristoteles mengemukakan contoh yang
relevansinya terbatas pada sebuah model negara-kota Yunani kuno yang
merupakan perintis system politik demokrasi modern.45
Kedudukan etika politik itu sendiri di dalam filsafat, kurang lebih
dapat dijelaskan, bahwa filsafat di bagi menjadi dua bagian yaitu filsafat
teoretis dan filsafat praktis. Etika dikategorikan sebagai filsafat praktis,
adapun etika itu sendiri dibagi menjadi dua, yaitu etika etika umum dan
etika khusus atau etika terapan. Sedangkan etika terapan itu dibagi lagi
menjadi beberapa bagian diantaranya etika sosial, di dalam etika sosial
itulah letak etika politik (lihat pembagian lebih lengkap di dalam bagian
etika sosial).
POLITIK
Beberapa waktu terakhir ini politik menjadi suatu kata yang paling
populer, apalagi menjelang tahun pemilihan umum yang kemudian
dilanjutkan dengan pemilihan presiden. Tahun pemilihan umum tersebut,
kemudian orang menyebutkannya sebagai tahun politik. Pada tahun politik
tersebut orang berharap-harap cemas akan apa yang akan terjadi pada saat
tahun politik ini, banyak orang yang mengamati berbagai perkembangan
45
Dr. Stephen Palmquist, Pohon Filsafat: Teks Kuliah Pengantar Filsafat,
(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 336-337
ETIKA TERAPAN | 29
yang terjadi mulai dari businessman, aktivis partai, pejabat, sampai rakyat
biasa.
Sehingga tidak mengherankan bila Aristoteles menyebutkan politik
merupakan master of science, dalam arti pengetahuan tentang politik
merupakan kunci untuk memahami lingkungan. Selanjutnya bagi
Aristoteles, dimensi politik dalam keberadaan manusia merupakan dimensi
terpenting sebab ia mempengaruhi lingkungan lain dalam kehidupan
manusia. Aristoteles mengemukakan, politik berarti mengatur apa yang
sebaiknya kita lakukan dan apa yang sebaiknya tidak dilakukan.46
Penjelasan di atas mungkin memperjelas mengenai apa itu politik,
selanjutnya Ramlan Surbakti menjelaskan mengenai politik ini paling tidak
melalui lima pandangannya mengenai politik, yaitu: (1) politik merupakan
usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan
mewujudkan kebaikan bersama; (2) segala hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan negara dan pemerintahan; (3) politik sebagai segala
kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan
dalam masyarakat; (4) sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan
dan pelaksanaan kebijakan umum dan (5) politik sebagai konflik dalam
rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang dianggap
penting.47
Dari penjelasan di atas, maka dapat kita dapat simpulkan bahwa
politik berkaitan dengan usaha warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama yang berkaitan penyelenggaraan negara dalam rangka perumusan
dan pelaksanaan kebijakan umum serta mempertahankan sumber-sumber
yang dianggap penting dan juga dalam rangka mempertahankan
kekuasaan.
ETIKA POLITIK
Etika politik sebagai bagian dari etika sosial yang membahas
mengenai kewajiban-kewajiban bidang kehidupan manusia dalam
bidangnya masing-masing, etika politik merupakan filsafat moral
46
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Penerbit Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2010), hlm. 1-2
47
Ibid, hlm. 1-2
30 | ETIKA TERAPAN
48
Frans Magnis Suseno, ETIKA POLITIK-Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1987), hlm. 13-14
49
Aristoteles di dalam Frans Magnis Suseno, ETIKA POLITIK-Prinsip-prinsip
Moral dasar Kenegaraan Modern, hlm. 14-15
50
Hand Out Mata Kuliah ETIKA, Universitas Kristen Maranatha
ETIKA TERAPAN | 31
LEGITIMASI KEKUASAAN
Inti permasalahan etika politik adalah masalah legitimasi etis
kekuasaan yang dapat dirumuskan dalam pertanyaan, atas dasar hak moral
apa seseorang atau sekelompok orang memiliki wewenang untuk
berkuasa? Seberapa pun besarnya kekuasaan seseorang selalu akan
diperhadapkan pada tuntuntan untuk mempertanggungjawabkan. Adapun
mengenai tanggung jawab ini merupakan salah satu faktor penentu dari sah
tidaknya kekuasaan ini. 51 Seorang penguasa yang tidak sanggup
mempertanggungjawabkan kekuasaannya, lambat laun ia tidak akan
memperoleh dukungan masyaraka dan pada akhirnya menggoyahkan
kedudukannya sebagai penguasa negara.
Pada Prinsipnya ada tiga macam legitimasi kekuasaan: (1)
legitimasi religius, (2) legitimasi eliter dan (3) legitimasi demokrasi. 52
Legitimasi religius, merupakan legitimasi kekuasaan yang paling
kuno, dimana kekuasaan dipandang dan dihayati bersumber dari alam gaib.
Pemimpin rakyat atau raja dipandang sebagai perwujudan dari kekuasaan
yang ilahi, sebagai wadah yang dipenuhi dengan kekuatan-kekuatan halus
alam semesta, sehingga melalui dirinya mengalir keamanan, ketentraman,
kesejahteraan dan keadilan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Implikasi
dari legitimasi kekuasaan religius ini, penguasa berada melebihi penilaian
moral, sehubungan raja sendiri merupakan perwujudan dari kekuatan Ilahi
yang tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya. 53
Legitimasi eliter, mendasarkan hak untuki memerintah pada
kecakapan khusus suatu golongan untuk memerintah. Anggapan ini
didasari bahwa perlu adanya kecakapan khusus yang harus dimiliki agar
dapat memimpin seluruh rakyat. Dalam hal ini sekurang-kurangnya ada
empat macam legitimasi eliter, yaitu legimasi aristokratis, pragmatis dalam
hal ini golongan militer, ideologis dan teknokratis. Aristokratis secara
tradisional merupakan suatu golongan, kasta atau kelas dalam masyarakat
yang dianggap lebih unggul dari masyarakat yang lainnya, sehingga
51
Frans Magnis Suseno, ETIKA POLITIK-Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern,hlm. 30-31
52
Ibid, hlm. 54
53
Frans Magnis Suseno, KUASA DAN MORAL, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama, 1995), hlm. 1
32 | ETIKA TERAPAN
54
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL Buku Panduan Mahasiswa PB I
PBVI, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989), hlm. 116-123
ETIKA TERAPAN | 33
PENUTUP
Jelaslah bahwa politik berkaitan dengan usaha warga negara untuk
mewujudkan kebaikan bersama yang berkaitan penyelenggaraan negara
dalam rangka perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum serta
mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting dan juga dalam
rangka mempertahankan kekuasaan, hanya dalam pelaksanaannya yang
kita temui sering terjadi berbagai penyimpangan-penyimpangan di dalam
menjalankan kekuasaan dan dalam rangka mempertahankan kekuasaannya.
ETIKA POLITIK lebih kepada menyediakan sebuah kondisi ideal berupa
alat-alat teoritis yang berguna untuk pelaksanaan menjalankan kekuasaan
itu. Pada dasarnya legitimasi menurut kekuasaan etika politik modern
ETIKA TERAPAN | 35
DAFTAR PUSTAKA
ETIKA BISNIS
oleh: Imam Tjahjo Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
55
A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hlm.
46-47
56
Kees Bertens, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm.
13
ETIKA TERAPAN | 37
57
Ibid, hlm. 13-32
38 | ETIKA TERAPAN
Bagaimana ketiga aspek pokok ini dapat berlaku? Secara ekonomis kita
dapat dengan mudah mengukur suatu bisnis profitable atau tidak, tentu
dengan melihat kinerja perusahaan melalui laporan keuangan. Begitu juga
dengan apakah perusahaan ini melanggar atau tidak dari sisi hukum, dapat
ETIKA TERAPAN | 39
ETIKA BISNIS
Suatu uraian tentang etika bisnis ada baiknya dimulai dengan
menyelidiki dan menjernihkan kata seperti etika dan etis yang
dibedakan antara etika sebagai praksis dan etika sebagai refleksi.
40 | ETIKA TERAPAN
Berikut ini dijelaskan etika sebagai praksis dan refleksi tersebut, di bawah
ini:58
Etika sebagai praksis59 adalah apa yang dilakukan sejauh sesuai
atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral. Hal ini dapat kita
lihat dari tema-tema pemberitaan di media, misalnya Ada unsur
tidak etis dalam proses akuisisi, Tegakkan etika bisnis dengan
Undang-undang Anti Korupsi, contoh kalimat tersebut menunjuk
kepada etika sebagai praksis, misalnya orang yang memikirkan
masalah korupsi, berpendapat bahwa undang-undang itu harus
secara konsisten dan ketat dijalankan sedemikian rupa sehingga
nilai dan norma dalam bisnis bisa ditegakkan. Dengan demikian
Etika sebagai praksis sama artinya dengan moral (apa yang boleh
dan tidak untuk dilakukan).
Sementara sebagai refleksi, etika merupakan pemikiran moral.
Etika sebagai refleksi berbicara tentang etika sebagai praksis atau
mengambil praksis etis sebagai obyeknya. Dalam surat kabar,
majalah maupun media lainnya dapat kita baca komentar atau
analis-analis dari berbagai peristiwa yang berkonotasi etis,
misalnya masalah suap yang kasusnya terjadi akhir-akhir ini. Baik
berita-berita di koran, surat kabar maupun media lain berikut
analisisnya, dan demikian juga dengan kita yang membicarakan
kasus etis tersebut merupakan wujud dari etika sebagai refleksi
pada taraf popular. Etika sebagai refleksi dalam taraf ilmiah,
dijalankan dan secara kritis, metodis dan sistematis menjadikan
refleksi ini mencapai taraf ilmiah.
58
Ibid, hlm. 32 - 35
59
Praksis merupakan praktik yang diterangi oleh refleksi dan sekaligus
merupakan refleksi yang diterangi oleh praktik. Dalam praksis berpadu antara teori dan
praktik, dengan demikian praksis merupakan pekerjaan yang diilhami oleh perenungan
dan perenungan yang ditindaklanjuti oleh pekerjaan.
Andar Ismali, Selamat berkarya: 33 renungan tentang kerja, (Jakarta: Penerbit
BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 88
ETIKA TERAPAN | 41
60
K. Bertens, ETIKA BISNIS, hlm. 35-37
42 | ETIKA TERAPAN
KEADILAN
Seperti halnya etika-etika yang lain, etika bisnis pun memanfaatkan
sumbangan pemikiran-pemikiran filsafat yang dapat diaplikasikan dalam
kegiatan bisnis. Hal ini dapat diperhatikan sekitar abad ke 19, di Eropa
Barat telah berkembang pemikiran di bidang kegiatan ekonomi yang
cenderung mengadopsi cara berpikir utilitarianisme. Seperti halnya
sudah dipahami bersama, bahwa cara berpikir utilitarianisme ini
didasarkan pada sudut kemanfaatan (Utility) yang paling besar bagi
kebahagiaan manusia. Dengan demikian sesuatu dianggap baik dan
61
A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, hlm. 55-56
ETIKA TERAPAN | 43
62
Dr. Phil. Eka Darmaputera, Etika Sederhana untuk Semua: Bisnis, Ekonomi,
dan penatalayanan, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 35-36
63
Ibid, hlm. 37-40
44 | ETIKA TERAPAN
KEUNTUNGAN
Persoalan yang terjadi dalam masalah keuntungan, adalah: berapa
besar orang dapat mencetak laba atau keuntungan? Dan bagaimana pula
ETIKA TERAPAN | 45
64
Kees Bertens, Keprihatinan Moral Telaah atas Masalah Etika, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 70
65
Karl E. Case dan Ray C. Fair, PRINSIP-PRINSIP EKONOM (edisi bahasa
Indonesia)I, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 212
66
http://nasional.kompas.com/read/2013/09/23/1628453/Buruh.Kuali.Akan.Guga
t.Mantan.Bosnya diakses 30Oktober 2013 pk. 9:24
46 | ETIKA TERAPAN
Relativasi Keuntungan68
Ronald Duska menegaskan relativasi keuntungan tersebut dan
membedakan keuntungan itu sebagai maksud (purpose) dan motivasi
(motive). Maksud atau purpose bersifat objektif, sedangkan motivasi
bersifat subjektif. Hal ini dapat dijelaskan, misalnya: kita memberikan
sedekah kepada pengemis supaya ia bias makan (merupakan maksud),
sedangkan motivasi kita adalah belas kasihan. Demikian juga dengan
bisnis, menyediakan barang dan jasa merupakan maksud (purpose) dari
bisnis, supaya masyarakat dapat menerima manfaat barang dan jasa yang
ditawarkan perusahaan. Adapun memperoleh keuntungan merupakan
motivasi dalam berbisnis.
Dengan relativasi keuntungan ini, keuntungan atau profit bukanlah
satu-satunya tujuan berbisnis. Beberapa hal yang menggambarkan
relativasi keuntungan dalam bisnis diantaranya: keuntungan merupakan
67
James Rachels, Filsafat Moral, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004), hlm.
235-236
68
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 160-162
ETIKA TERAPAN | 47
KONSUMEN
Konsumen merupakan salah satu pihak dalam hubungan dan
transaksi ekonomi yang hak-haknya sering terabaikan. Konsumen
menurut UU Perlindungan Konsumen pasal 1 angka 2, dapat didefinisikan
sebagai berikut:
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepenting diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.69
Dengan demikian konsumen sebagai stakeholder yang dekat dengan
produsen sudah seharusnya mendapat perhatian.
Perhatian etika dalam hubungan dengan konsumen tersebut, harus
dianggap hakiki demi kepentingan bisnis itu sendiri. Perhatian untuk segi-
segi etis dari relasi bisnis (dalam hal ini konsumen sudah mendesak),
mengingat posisi konsumen sering dalam posisi yang lemah. Walau pun
konsumen memiliki gelas raja namun pada kenyataannya kuasanya
sangat terbatas karena berbagai sebab. 70
Perumusan perhatian kepada konsumen itu dapat dirinci ke dalam
empat hak konsumen, sebagai berikut:71
1. Hak atas keamanan, banyak produk mengandung risiko tertentu
untuk konsumen, khususnya risiko untuk kesehatan dan
keselamatan. Konsumen berhak atas produk yang aman, artinya
produk tersebut tidak mempunyai kesalahan teknis atau kesalahan
lainnya yang bisa merugikan kesehatan dan keamanan produsen.
69
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen jika Dirugikan, (Jakarta: Transmedia
Pustaka, 2008), hlm. 22-23
70
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 227-228
71
Ibid, hlm. 228-230
48 | ETIKA TERAPAN
72
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 232-239
ETIKA TERAPAN | 49
IKLAN
Hampir disetiap sisi kehidupan kita dijejali dengan berbagai bentuk
informasi, diantaranya adalah iklan. Iklan ini mewarnai kehidupan kita,
dari mulai bangun pagi kita menyalakan TV sudah ditawari berbagai iklan.
Kemudian kita pergi ke tempat pekerjaan di jalanan kita menemukan
berbagai iklan media luar ruangan yang memenuhi berbagai tempat.
Setelah tiba di kantor kita buka komputer kerja dan terhubung dengan
internet, di internet pun kembali kita menemukan iklan. Demikian
seterusnya sampai kita terlelap tidur barulah kita terbebas dari iklan
tersebut.
Iklan itu sendiri dapat didefinisikan sebagai pesan yang
menawarkan suatu produk untuk ditujukan kepada masyarakat melalui
suatu media. Iklan sebenarnya merupakan bagian dari bauran promosi
yang terdiri dari personal selling, sales promotion dan publicity.
Sejatinya iklan itu sendiri memiliki fungsi, antara lain: memberikan
informasi atas produk, mempengaruhi konsumen untuk mengkonsumsi
50 | ETIKA TERAPAN
73
Dendy Triadi dan Addy Sukma Bharata, Ayo Bikin Iklan! Memahami Teori
dan Praktek Iklan Media Lini Bawah, (Jakarta: Penerbit Elex Media Komputindo, 2010),
hlm. 2-4
74
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 263-264
ETIKA TERAPAN | 51
75
http://indopremiernews.wordpress.com/2012/04/03/digugat-konsumen-nissan-
berupaya-kaburkan-substansi/ diakses pada tanggal 31 Oktober 2013 pukul 07:42
76
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 264-266
77
Ibid, hlm. 266
52 | ETIKA TERAPAN
78
Ibid, hlm. 269
ETIKA TERAPAN | 53
PENUTUP
Demikian luasnya persoalan etika bisnis, apa yang dipaparkan di
atas merupakan sebagian kecil dari persoalan-persoalan etika bisnis yang
ada dalam kegiatan bisnis. Untuk pokok bahasan lingkungan hidup secara
khusus akan dibahas dalam topik Etika Lingkungan hidup.
79
Patricia J. Parsons, Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004),
hlm. 143
80
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 295-297
54 | ETIKA TERAPAN
DAFTAR PUSTAKA
Dendy Triadi dan Addy Sukma Bharata, Ayo Bikin Iklan! Memahami Teori
dan Praktek Iklan Media Lini Bawah, (Jakarta: Penerbit Elex
Media Komputindo, 2010)
Sumber internet:
http://nasional.kompas.com/read/2013/09/23/1628453/Buruh.Kuali.Akan.
Gugat.Mantan.Bosnya diakses 30Oktober 2013 pk. 9:24
http://indopremiernews.wordpress.com/2012/04/03/digugat-konsumen-
nissan-berupaya-kaburkan-substansi/ diakses pada tanggal 31 Oktober
2013 pukul 07:42
56 | ETIKA TERAPAN
ETIKA KERJA
Oleh: Imam T. Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Sebelum membicarakan lebih lanjut mengenai etika kerja ini, ada
baiknya kita terlebih dahulu mendapatkan penjelasan mengenai kerja.
Beberapa orang beranggapan, bahwa pekerjaan itu merupakan suatu beban
atau bahkan sebagai suatu kutukan karena kita telah berdosa kepada
Tuhan. Sebagian lagi berpendapat, kerja merupakan kewajiban manusia
agar dapat bertahan hidup dan terus melanjutkan kehidupannya di dalam
dunia ini.
Dalam sebuah artikel bagi orang Jawa berpandangan mengenai
kerja. Bahwa hidup di dunia merupakan ujian yang harus diselesaikan
dengan berbagai cara. Orang hidup menurut pengertian Jawa wajib
bekerja keras, tanpa pamrih yang berlebihan seperti ungkapan bila
seseorang ditanya tentang tujuan mereka bekerja, adalah ngupoyo upo
artinya mencari sebutir nasi. Ungkapan ini menggambarkan betapa
beratnya pekerjaan yang harus diupayakan sedemikian rupa.81
Mengenai arti kerja itu, memang bergantung kepada bagaimana
seseorang tersebut memaknainya. Marilah kita melihat mengenai kerja ini
dipandang dari tujuan manusia diciptakan oleh Tuhan. Ternyata, bekerja
merupakan bagian dari hakikat manusia itu sebagai manusia. Pada awal
penciptaan, manusia ditempatkan di sebuah taman, namun bukan sebagai
penikmat taman itu, tetapi Tuhan menempatkan manusia di sana untuk
mengusahakan dan memelihara taman itu. Singkatnya, Tuhan
menciptakan manusia untuk bekerja. Jadi salah bila mengatakan kerja itu
sebagai beban atau kutukan.82
Adapun bagi seorang seniman, hakekat kerja adalah penciptaan.
Maka atas dasar penicptaan inilah, seorang seniman mampu memandang
bahan-bahan sebagai sesuatu yang mampu mengoyakan gairannya untuk
81
Arya Ronal, Ciri-ciri Karya Budaya di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa,
(Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1997), hlm. 307
82
Eka Darmaputera, Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan, (Jakarta: Penerbit PT
BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 100-101
ETIKA TERAPAN | 57
ETHOS KERJA
Ethos merupakan kata serapan dari bahasa Yunani yang sering
digunakan dalam bahasa modern saat ini. Menurut kamus Concise Oxford
Dictionary (1974) ethos dapat didefinisikan sebagai characteristic spirit of
community, people or system, atau merupakan sebagai suasana yang khas
menandai suatu kelompok, bangsa atau sistem. Sehingga bila kita
mendengar ethos kerja atau etika profesi itu berarti menunjuk pada
suasana khas yang menandai kerja atau profesi. Suasana khas yang
dimaksud ini berkaitan dengan suasana yang baik secara moral. Suasana
yang bernuansa etis tersebut dalam kelompok kerja atau profesi tersebut.84
Sehingga dalam rangka menuangkan suasana yang etis tersebut, biasanya
kelompok tersebut menuangkannya dalam suatu kode etik atau dituangkan
dalam peraturan perusahaan.
Lebih lanjut mengenai ethos kerja ini, Jansen H. Sinamo yang
dikenal sebagai Bapak Ethos Indonesia merumuskan ada 8 Ethos Kerja
yang dikembangkannya, adalah: (1) kerja adalah rahmat: bekerja dengan
tulus dan penuh rasa syukur; (2) kerja adalah amanah: bekerja dengan
penuh rasa tanggung jawab; (3) kerja adalah panggilan: bekerja tuntas
penuh integritas; (4) kerja adalah aktualisasi diri: bekerja keras penuh
semangat, (5) kerja adalah ibadah: bekerja dengan serius penuh
kecintaan; (6) kerja adalah seni: bekerja cerdas penuh kreativitas; (7)
kerja adalah kehormatan: bekerja tekun penuh keunggulan; (8) kerja
adalah pelayanan: bekerja sempurna penuh kerendahan hati. 85 Delapan
rumusan ethos kerja di atas sangat menarik sarat dengan nilai-nilai religius
dan etis yang memberikan makna terhadap pekerjaan yang ditekuni.
83
Alberthine Endah, Eksplorasi Kreativitas Dua Dasawarsa Anne Avantie,
(Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 105
84
Antonius Atosokhi Gea, Character Building IV Relasi dengan Dunia, (Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo, 2005), hlm.219
85
Inggrid Tan, From Zero to the Best-Kiat Meniti Karier bagi Karyawan
Pemula, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2010), hlm. 23
58 | ETIKA TERAPAN
86
Antonius Atosokhi Gea, hlm. 219-220
87
A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta:
Penerbit KANISIUS, 1998), hlm. 35-48
ETIKA TERAPAN | 59
motivasinya ini, dokter senior ini mengatakan, kalau mau cari duit
jangan jadi dokter, jadilah pedagang88
88
http://www.tribunnews.com/regional/2013/12/02/dr-lo-kalau-mau-kaya-
jangan-jadi-dokter-jadilah-pedagang diakses 09 Januari 2014
ETIKA TERAPAN | 61
89
K. Bertens, PENGANTAR ETIKA BISNIS,(Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2000), hlm. 167-225
62 | ETIKA TERAPAN
PENUTUP
Pada bagian ini kita sudah belajar mengenai memaknai pekerjaan,
bahwa pada hakekatnya manusia adalah mahluk yang bekerja, manusia
didesain untuk bekerja bukan untuk bersenang-senang. ETIKA KERJA
berada pada tataran ideal yang mencoba mendalami mengenai makna dari
kerja, sedangkan ETHOS KERJA berada pada situasi yang faktual dalam
praktik sehari-hari. Pemahaman antara pekerjaan dan profesi,
mempertajam kita bagaimana kita bersikap profesional dalam menjalani
ETIKA TERAPAN | 65
profesi. Dan apabila kita bekerja pada orang lain atau suatu perusahaan,
kita memiliki kewajiban dan sebaliknya perusahaan pun memiliki
kewajiban perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Inggrid Tan, From Zero to the Best-Kiat Meniti Karier bagi Karyawan
Pemula, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2010)
Sumber Internet:
http://www.tribunnews.com/regional/2013/12/02/dr-lo-kalau-mau-kaya-
jangan-jadi-dokter-jadilah-pedagang diakses 09 Januari 2014
66 | ETIKA TERAPAN
ETIKA LINGKUNGAN
Oleh: Imam T. Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Dalam bagian di awal-awal pertemuan Etika bagian dari Etika
dasar dengan jelas disebutkan, bahwa dalam pembahasan Etika tidak dapat
dilepaskan dari manusia. Namun pada bagian ini justru etika membahas
lingkungan, sehingga menimbulkan pertanyaan, mengapa etika membahas
mengenai masalah lingkungan?
Seperti halnya Etika Bisnis, bahwa sudut pandang etika melihat
bisnis dalam aspek hubungan antar manusia yang satu dan yang lainnya
dalam lapangan dunia bisnis. Demikian halnya pula Etika lingkungan,
sama sekali tidak meninggalkan manusia dan hanya membahas
lingkungan. Tetapi, justru memandang masalah-masalah yang terjadi di
bidang lingkungan hidup ini dalam sudut pandang manusia sebagai
sumber berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi dewasa ini.
Menurut A. Sonny Keraf dalam bukunya ETIKA LINGKUNGAN
HIDUP menegaskan, bahwa tidak dapat disangsikan lagi berbagai kasus
lingkungan hidup yang terjadi di lingkup nasional, maupun global,
sebagaian besar bersumber dari perilaku manusia. Berbagai kasus
pencemaran dan kerusakan di laut, hutang, atmosfer, air, tanah dan
sebagainya berawal dari perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab,
tidak peduli dan cenderung mementingkan diri sendiri. 90
Selanjutnya menurut Arne Naess di dalam A. Sonny Keraf
menegaskan bahwa, krisis lingkungan hidup dewasa ini hanya bisa diatasi
dengan melakukan perubahan cara pandangan dan perilaku manusia
terhadap alam secara mendasar dan radikal. Menurutnya diperlukan
sebuah gaya hidup baru yang tidak hanya menyangkut orang per orang,
tetapi budaya masyarakat secara keseluruhan. 91
Beberapa waktu yang lalu ada seorang warga negara asing di
Bandung menulis mengenai kota Bandung yang disebutnya sebagai
90
A. Sonny Keraf, ETIKA LINGKUNGAN HIDUP, (Jakarta: Penerbit PT.
Kompas Media Nusantara, 2010), hlm.1-2
91
Ibid, hlm. 2
ETIKA TERAPAN | 67
Bandung The City of Pigs, Bandung, kota tempat orang berpikir bahwa
daging babi dianggap terlalu kotor untuk dimakan, tetapi orang-orangnya
hidup dalam lingkungan yang lebih kotor dari babi. Dari pernyataan
tersebut dikaitkan dengan etika lingkungan hidup adalah yang diperlukan
menutut gaya hidup baru yang tidak menyangkut orang per orang namun
seluruh warga kota Bandung. Dengan demikian diperlukan etika
lingkungan yang menuntun manusia untuk berinterkasi secara baru dengan
lingkungannya dan alam semesta.
Dengan demikian masalah lingkungan tidak dapat disangkal lagi,
inti permasalahannya ada dalam sikap moral manusia dalam memandang
dan memperlakukan alam.
LINGKUNGAN HIDUP
Lingkungan hidup menurut Undang-undang No. 4 tahun 1982
tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,
adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk
hidup (termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya) yang
memperngaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia
serta mahluk hidup lainnya.92 Dari definisi di atas jelaslah, bahwa
lingkungan hidup merupakan ruang sebagai tempat bagi manusia dan
mahluk hidup lainnya tinggal dan hidup bersama.
Secara singkat lingkungan hidup itu sendiri meliputi lingkungan
biofisik yang terdiri atas abiotik dan biotik, lingkungan sosial ekonomi dan
lingkungan budaya.93
92
Atmakusumah, dkk (editor), Mengangkat Masalah Lingkungan ke Media
Massa, (Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1996), hlm. 95-96
93
Lihat handout Etika Lingkungan Universitas Kristen Maranatha
68 | ETIKA TERAPAN
alamiah, secara setia dilakukan oleh seseorang pada diri sendiri maupun
terhadap orang lain dalam hubungan dengan tatanan kehidupan. 94
Ada beberapa pandangan yang dikembangkan mengenai hubungan
manusia dengan alam, penekanannya pada kenyataan bahwa lingkungan
itu penting dan bermanfaat bagi manusia. Selain dari pada itu, alam juga
memiliki nilai pada dirinya sendiri yang harus dihargai dan dihormati.
Pandangan-pandangan etika lingkungan yang dikembang dalam hal ini ada
tiga teori utama, yang dikenal sebagai Shallow Environtmental Etihics,
Intermediate Environmental Ethics dan Deep Environmental Ethics.
Ketiga teori tersebut dikenal juga sebagai antroposentrisme, biosentrisme
dan ekosentrisme.95
Antroposentrisme
Pandangan antroposentris ini merupakan pandangan yang telah
lama dianut oleh umat manusia yang beranggapan bahwa alam atau
lingkungan ini hanya memiliki nilai alat semata atau instrumental value
bagi kepentingan umat manusia. Pandangan antroposentris ini sering
dikaitkan dengan pandangan masyarakat barat yang melihat lingkungan
hidup dari sisi maknanya bagi kesejahteraan adan kemakmuaran manusia
semata. Mereka memandang hubungan dengan lingkungan sebagai sebuah
hubungan diskontinuitas antara manusia dengan alam. Dalam kaitan ini
hanya manusia yang subjek sedangkan alam lingkungan adalah objek.
Dengan demikian alam diteliti, dieksplorasi, kemudian dieksploitasi 96
Tinjauan kritis atas pandangan teori etika antroposentrisme ini
sebagai berikut seperti dipaparkan di bawah ini: 97 (1) Pandangan ini
didasarkan pada filsafat yang mengklaim, bahwa manusia diklaim sebagai
yang mempunyai nilai tertinggi dan terpenting dalam kehidupan ini.
94
Dr. dr. Anies, M.Kes., PKK., Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi
Mencegah dan Menanggulangi Penyakit Menular, (Jakarta: Penerbit PT. Elex Media
Komputindo, 2006), hlm. 159-160
95
Ibid, hlm. 31
96
Weinata Sairin (editor), Visi Gereja Memasuki Milenium Baru: Bunga Rampai
Pemikiran, (Jakarta: Penerbit PT BPK Gunung Mulia, 2002), hlm. 137
97
Antonius Atosokhi Gea, Relasi dengan Dunia (Alam, Iptek dan Kerja),
(Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005), hlm. 41-43
ETIKA TERAPAN | 69
Ajaran inilah yang menempatkan manusia sebagai yang sentral dalam alam
semesta, menjadikan manusia menjadi arogan terhadap alam, (2)
Antroposentrisme sangat instrumentalis, sehingga alam dipandang sebagai
alat kebutuhan manusia semata. Kalau pun ia peduli terhadap alam,
semata-mata demi kelangsungan atas jaminan kebutuhan bagi manusia.
Jelaslah teori ini dianggap sebagai sebuah etika lingkungan yang dangkal
dan sempit atau shallow environmental ethics. (3) Antroposentrisme
sangat bersifat teleologis, karena pertimbangan peduli terhadap alam
semata-mata karena didasarkan pada akibat dari tindakan itu bagi
kepentingan manusia belaka. (4) Pandangan ini dituduh menjadi penyebab
terjadinya krisis lingkungan hidup. Pandangan inilah yang telah
menyebabkan manusia berani melakukan tindakan-tindakan eksplotatif
terhadap alam. (5) Walau pun demikian, pandangan ini cukup menjadi
alasan kuat bagi upaya pengembangan sikap kepedulian terhadap alam.
Demi kelangsungan hidup manusia, maka manusia wajib memelihara dan
melestarikan lingkungan alamnya.
Biosentrisme
Biosentrisme merupakan pandangan yang menempatkan alam
sebagai yang mempunyai nilai intrinsik dalam dirinya sendiri, lepas dari
kepentingan-kepentingan manusia. Dengan demikian teori biosentrisme
ini berpandangan bahwa mahluk hidup bukan hanya manusia saja.
Manusia memiliki tanggung jawab untuk melestarikan lingkungan alam
tersebut.98 Paul Taylor di dalam Fachruddin M. Mangunjaya menguraikan
empat keyakinan yang mendasari pandangan biosentrisme ini, yaitu: 99 (1)
Keyakinan bahwa manusia merupakan anggota dari komunitas kehidupan
di bumi dalam pengertian yang sama dan dalam kerangka yang sama di
mana mahluk hidup lain juga anggota komunitas yang sama. (2) Spesies
manusia bersama dengan semua spesies lain adalah bagian yang saling
bergantung sehingga kelangsungan hidup mana pun serta peluangnya
untuk berkembang atau sebaliknya, tidak ditentukanoleh kondisi fisik
98
Ibid, hlm. 43-44
99
Fachruddin M. Mangunjaya, Bertahan di Bumi-Gaya Hidup Menghadapi
Perubahan Iklim, (Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 23-24
70 | ETIKA TERAPAN
melainkan oleh relasinya antara satu dengan yang lainnya. (3) Semua
organisme merupakan pusat kehidupan yang mempunyai tujuannya
sendiri, sehingga setiap spesies merupakan unik dalam mengejar
keperluannya dengan caranya sendiri. (4) Keyakinan bahwa manusia pada
dirinya sendiri tidak lebih unggul dari mahluk yang lain.
Dalam pandangan biosentris dapat disimpulkan bahwa tidak ada
kelebihan lain antara manusia secara biologis dengan mahluk-mahluk yang
lainnya. Dalam posisi manusia sebagai mahluk yang dapat netral dalam
rangka bagian dari alam yang dapat juga mengalami kerusakan dan
kebinasaan apabila berhadapan dengan faktor-faktor alami lainnya yang
tidak berbeda nasibnya dengan mahluk-mahluk lainnya. 100
Tinjauan kritis atas teori etika lingkungan hidup biosentris ini dapat
dikemukakan sebagai berikut:101 (1) Biosentrisme menekankan kewajiban
terhadap alam yang bersumber dari pertimbangan bahwa kehidupan
merupakan sesuatu yang bernilai, bagi manusia maupun mahluk hidup
lainnya. Sehingga prinsip moral yang dikembangkan di sini, erupakan hal
yang baik secara moral bahwa kita mempertahankan dan memacu
kehidupan, sebaliknya, buruk kalau kita menghancurkan kehidupan. (2)
Biosentrisme melihat alam dan seluruh isinya mempunyai harkat dan nilai
dalam dirinya sendiri. Dengan demikian kewajiban dan tanggung jawab
terhadap alam semata-mata didasarkan pada pertimbangan moral bahwa
segala spesies di alam semesta mempunyai nilai atas dasar bahwa mereka
mempunyai kehidupan sendiri, yang harus dihargai dan dilindungi. (3)
Sehubungan dengan manusia tidak berbeda dengan mahluk biologis
lainnya, maka seorang yang bernama Leopold menghindari penyamaan
tersebut. Menurutnya, manusia tidak memiliki kedudukan yang sama
begitu saja dengan mahluk hidup lainnya. Hanya, dalam rangka menjamin
kelangsungan hidupnya, manusia tidak harus melakukannya dengan cara
mengorbankan kelangsungandan kelestarian komunitas ekologis. Manusia
dapat menggunakan alam untuk kepentingannya, namun dia menggunakan
alam untuk kepentingannya, namun dia tetap terikat tanggungjawab untuk
mengorbankan integritas, stabilitas seta beauty dari mahluk hidup lainnya.
100
Ibid, hlm 24
101
Antonius Atosokhi Gea, hlm. 44-46
ETIKA TERAPAN | 71
Ekosentrisme
Ekosentrisme ini dapat dikatakan sebagai lanjutan dari teori etika
lingkungan biosentrisme. Dalam pemaparan di atas, biosentrisme
memusatkan perhatian pada kehidupan seluruhnya, sedangkan
ekosentrisme lebih memusatkan perhatian pada seluruh komunitas, baik
yang hidup maupun yang tidak. Pandangan ini didasarkan pada prinsip
bahwa secara ekologis, baik mahluk hidup maupun benda-benda abiotik
lainnya saling terkait satu sama lain, misalnya air di sungai sangat
menentukan bagi kehidupan yang ada di dalamnya.102
Tinjauan kritis atas pandangan etika ekonsentrisme dapat
dipaparkan di bawah ini: 103 (1) Ekosentrisme, yang disebut sebagai deep
environmental ethics atau deep ecology merupakan suatu paradigma baru
tentang alam dan seluruh isinya. Dalam hal ini perhatiannya bukan hanya
kepada manusia melainkan pada mahluk hidup seluruhnya dalam kaitan
dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. (2) Arne Naes
menggunakan juga istilah ecosophy, eco berarti rumah tangga dan sophy
berarti kebijaksanaan. Maka ecosophy diartikan sebagai kebijaksanaan
yang mengatur hidup selaras dalam alam sebagai rumah tangga dalam arti
luas. Sehingga ecosophy ini merupakan gerakan dari seluruh penghuni
alam semesta, untuk menjaga dan memelihara lingkungannya secara arif
dan bijaksana selayaknya sebuah rumah tangga. (3) Deep Ecology
menganut prinsip biospheric egalitarianism, merupakan pengakuan bahwa
semua organisme dan mahluk hidup merupakan anggota yang sama
statusnya dari suatu keseluruhan yang terkait sehingga mempunyai
martabat yang sama. (4) Sikap deep ecology terhadap lingkungan sangat
jelas, tidak hanya memusatkan perhatian pada dampak pencemaran bagi
102
Antonius Atosokhi Gea, hlm. 47-49
103
Ibid, hlm. 47-49
72 | ETIKA TERAPAN
PENDEKATAN TEKNOKRATIS
Apabila diamati kerusakan-kerusakan lingkungan yang terjadi
disebabkan karena beberapa faktor diantaranyanya pola pendekatan
manusia modern terhadap alam yang dikenal dengan sebutan teknokratis
(dari bahasa Yunani tekne merupakan keterampilan dan krattein
menguasai). Sehingga teknokratis diaratikan, bahwa manusia sekadar mau
menguasai alam. Alam dipandang sekadar sarana untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Alam juga merupakan tumpukan kekayaan dan energi
yang dapat dimanfaatkan. Sikap teknokratis ini dapat diringkas sebagai
sikap merampas dan membuang, alam dibongkar untuk mengambil apa
saja yang diperlukan, dan apa yang tidak mengambil apa saja yang
diperlukan dan apa yang tidak diperluka, begitu pula produk-produk
samping pekerjaan manusia begitu saja dibuang.104
Pendekatan teknokratis mempunyai lima ciri khas, sebagai
berikut:105
a. Kepercayaan akan Kemajuan
Sejarah dipahami sebagai sejarah kemajuan linear. Kemajuan itu
sendiri dipahami sebagai penguasaan dan pemanfaatan alam yang
semakin total. Karena kepercayaan akan kemajuan itu manusia tidak
dapat membatasi diri, tidak sanggup untuk mencapai dan menjaga
suatu keseimbangan dengan ekosistem-ekosistem lainnya. Kemajuan
memaksa manusia untuk menjadi perusak.
b. Segala-galanya dapat diciptakan
104
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL Buku Panduan Mahasiswa PB I PB
VI, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989), hlm. 147
105
Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1995), hlm. 146-148
ETIKA TERAPAN | 73
Ciri kedua kebudayaan teknokratis ini tidak adanya batas alamiah lagi
bagi usaha manusia. Prinsip-prinsip perlawanan terhadap keterbatas
yang ada menjadi suatu hal yang dipuja-puja dalam kebudayaan
teknokratis ini. Dengan demikian batas-batas alamiah tersebut
dianggap tantangan bagi manusia untuk bisa mengatasinya.
c. Demitologisasi alam
Manusia pernah mengalami suatu penghayatan yang berpandangan
alam dianggap sebagai sesuatu yang penuh misteri, sehingga manusia
harus menghormati alam sedemikian rupa. Hal ini jelas tampak dalam
dunia agraris, ketika para petani akan menggarap tanahnya, mereka
melakukan upacara ritual-ritual untuk mengawali penggarapannya.
Namun kondisi saat ini, alam sudah didemitologisasikan atau orang
sudah mengesampingkan unsur-unsur mitos terhadap alam itu.
Akibatnya manusia tidak menghargai alam sedemikian rupa, alam
dapat diekspoitasi dan bahkan dijadikan tempat untuk membuang
sampah.
d. Rasionalitas Irasional
Dalam budaya teknokratis rasionalis teknologis telah menjadi irasional.
Dalam konsep maksimalisasi keuntungan produksi, orang tidak lagi
melayani kebutuhan manusia. Namun yang terjadi saat ini kebutuhan
itu seolah-olah diciptakan oleh produsen, demi kelansungan produksi
agar terus berjalan. Perusahaan sedemikian rupa meluncurkan produk-
produk baru yang memaksa orang merasa membutuhkan produk
barunya tersebut, produk tersebut seolah membunuh produk lamanya
dan orang dikondisikan untuk terus memburu produk-produk baru
tersebut. Demi produk baru tersebut manusia mengeksploitasi
kekayaan allam dan merusaknya sedemikian rupa. Sebenarnya
manusia bisa hidup tanpa merusak, namun kebudayaan teknokratis ini
menciptakan gaya hidup manusia sedemikian rupa, sehingga berusaha
untuk terus update dengan teknologi yang baru. Hampir setiap tahun
produsen kendaraan bermotor meluncurkan produk barunya dengan
berbagai kelebihan-kelebihan yang seolah menjawab kebutuhan
manusia, padahal mobil yang lama masih layak digunakan.
e. Pendekatan Monokasual
74 | ETIKA TERAPAN
106
Antonius Atosokhi Gea, hlm. 89-90
107
Emil Salim, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, (Jakarta: Penerbit PT
Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 18
108
N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2004), hlm.145-146
76 | ETIKA TERAPAN
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Pembangunan berkelanjutan dirumuskan dalam The World
Commission on Environment and Development (1987). Konsep
Pembangungan berkelanjutan tersebut dirumuskan sebagai pembangunan
yang memenuhi kebutuhan saat ini dengan memperhitungkan kemampuan
generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pembangungan
berkelanjutan ini merupakan konsep pembangunan yang
mempertimbangkan sumber daya langka untuk generasi masa depan.
Dalam konsep pembangungan berkelanjutan ini mengijinkan kegiatan
manusia untuk mencapai tingkat pemanfaatan sumber daya yang optimal
sekaligus memelihara lingkungan untuk generasi mendatang. 110
Susan Smith di dalam N.H.T. Siahaan mengartikan Sustainable
development sebagai meningkatkan mutu hidup generasi kini dengan
mencadangkan modal/sumber alam bagi generasi mendatang. Menurutnya
dengan cara ini dapat dicapai empat hal, yaitu: (1) Pemeliharaan hasil-hasil
109
Dadang Rusbiantoro, Global Warming for Beginner, (Yogyakarta: Penerbit
Panembahan, 2008), hlm. 146-147
Dr. Santoso Soeroso, SpA (K), MARS, Mengurustamakan Pembangunan
Berwawasan Kependudukan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2002), hlm. 27
ETIKA TERAPAN | 77
PENUTUP
Jelaslah bahwa etika lingkungan disini sangat berkaitan dengan
manusia dan dalam membahas masalah-masalah yang terjadi di bidang
lingkungan, memandang manusia sebagai sumber berbagai kasus
lingkungan hidup yang terjadi dewasa ini. Berbagai pandangan-pandangan
etika lingkungan hidup antroposentris, biosentris dan ekosentris
memberikan pandangan kepada kita, mengenai bagaimana manusia
memandang lingkungannya. Budaya Teknokratis memberikan kontribusi
pada ketidakseimbangan lingkungan dan manusia. Upaya-upaya manusia
dalam mengatasi masalah lingkungan ini telah dilakukan melalui berbagai
upaya secara global mulai dari world environment movement hingga
protokol Kyoto. Dengan demikian masalah lingkungan ini merupakan
tanggung jawab kita bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Antonius Atosokhi Gea, Relasi dengan Dunia (Alam, Iptek dan Kerja), (Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo, 2005)
Dr. dr. Anies, M.Kes., PKK., Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah
dan Menanggulangi Penyakit Menular, (Jakarta: Penerbit PT. Elex
Media Komputindo, 2006), hlm. 159-160
Emil Salim, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, (Jakarta: Penerbit PT Kompas
Media Nusantara, 2010)
Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1995)
Weinata Sairin (editor), Visi Gereja Memasuki Milenium Baru: Bunga Rampai
Pemikiran, (Jakarta: Penerbit PT BPK Gunung Mulia, 2002)