Anda di halaman 1dari 15

Kepemilikan dan Akses Jamban di Desa Sumber Kalong Kecamatan

Wonosari Kabupaten Bondowoso


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Membuang air besar (BAB) tidak dapat dilaksanakan disembarang tempat. Jamban
adalah tempat paling aman dari segi kesehatan untuk membuat kotoran manusia. Namun pada
kenyataannya masih banyak masyarakat yang membuat hajat atau kotoran di selokan atau
sungai. Perilaku buruk tersebut berdampak pada munculnya penyakit akibat lingkungan sanitasi
sudah terkontaminasi. Sebagai petugas Puskesmas kecamatan Wonosari yang khusus menangani
masalah sanitasi, kami mendapati bahwa kesadaran masyarakat mengenai sanitasi di tempat kami
bertugas masih sangat kurang. Tingkat kepemilikan jamban dan akses jamban juga tidak
menunjukkan data yang menggemberikana. Karena itu kami terpanggil untuk turut memberi
analisa dan alternatif solusi guna meningkatkan kesadaran masyarakat tentang arti penting BAB
bagi lingkungan sanitasi melalui makalah yang berjudul Kepemilikan dan Akses Jamban di
Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan jamban dan jamban yang sehat ?
2. Bagaimana pemanfaatan jamban di lingkungan pedesaan ?
3. Bagaimana kondisi kepememilikan dan akses jamban di desa Sumber Kalong ?
4. Apa penyebab rendahnya tingkat pemahaman masyarakat desa Sumber Kalong terhadap sanitasi
?
5. Bagaimana upaya penanggulangan kesadaran masyarakat di desa Sumber Kalong tentang
sanitasi ?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah


Makalah ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui pengertian jamban dan jamban yang sehat.
2. Mengetahui pemanfaatan jamban di lingkungan pedesaan
3. Mengetahui kondisi kepemilikan dan akses jamban di desa Sumber Kalong.
4. Mengetahui faktor penyebab rendahnya pemahaman masyarakat di desa Sumber Kalong
terhadap sanitasi.
5. Merumuskan upaya penanggulan kesadaran masyarakat tentang sanitasi di desa Sumber Kalong.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Jamban


Secara umum kita mengenal jamban sebagai tempat pembuangan hajat atau kotoran
manusia. Dalam konteks kebahasaan, istilah dan penyebutan kata, jamban memiliki beberapa
pengertian sebagai berikut :
a. Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 16/2008 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman tidak
disebutkan adanya istilah jamban. Namun di dalam Keputusan Menteri Permukiman
dan Prasarana Wilayah nomor 534/2001 tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal
disebutkan adanya sarana sanitasi individual dan komunal berupa jamban beserta MCK-
nya. Lebih jauh lagi di dalam Buku Panduan Penyehatan Lingkungan Permukiman untuk
RPIJM 2007 disebutkan adanya pengumpulan data primer tentang jamban keluarga. Di
dalam Petunjuk Teknis Tata Cara Pembuatan Bangunan Jamban Keluarga dan Sekolah
1998 dari Departemen Pekerjaan Umum, disebutkan bahwa jamban mencakup
bangunan atas yang antara lain terdiri: plat jongkok, leher angsa, lantai, dinding, dll,
tetapi tidak termasuk bangunan bawahnya.
b. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 852/2008 tentang Strategi Nasional
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat disebutkan bahwa jamban sehat adalah fasilitas
pembuangan tinja yang efektif untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit. Di
dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 715/2003 tentang Persyarakan Hygiene
Sanitasi Jasaboga disebutkan bahwa usaha jasaboga harus menyediakan WC Umum
dengan fasilitas jamban dan peturasan sesuai dengan jumlah karyawannya.
c. Menurut dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 24/2007 tentang
Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah disebutkan adanya fasilitas jamban yang
harus disediakan sekolah sebagai tempat untuk buang air besar dan/atau air kecil.
Jamban harus mempunyai dinding, atap, dst yang disediakan untuk peserta didik pria,
wanita, dan guru.
d. Sedangkan dalam Standar Toilet Umum Indonesia dari Kementerian Negara
Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2004 justru tidak menyebutkan sama sekali istilah
jamban dan menggantinya dengan ruang buang air besar (WC) dan ruang buang air
kecil (urinal). Toilet dalam hal ini mencakup pembuangan dan pengolahan limbahnya,
baik secara setempat (on-site) ataupun terpusat (off-site). Tidak kalah menariknya
adalah istilah tempat buang air besar (bukan jamban) yang digunakan oleh Badan
Pusat Statistik di dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) guna mendapatkan
informasi tentang kepemilikan dan kualitas fasilitas BAB tersebut.
Istilah yang berbeda-beda ini memang tidak mengganggu proses masyarakat untuk
membuat hajatnya, namun cukup untuk menggambarkan kekurangseriusan penanganan
sanitasi di lapangan.

2. 2 Jamban yang sehat


Untuk membuat hajat, Buang Air Besar (BAB), masyarakat tidak bisa sembarangan
seperti jaman dulu. Dampak BAB sembarangan sangat buruk bagi kesehatan dan keindahan.
Selain jorok, berbagai jenis penyakit ditularkan. Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya
yakni di jamban.
Kementerian Kesehatan telah menetapkan syarat dalam membuat jamban sehat. Ada tujuh
kriteria yang harus diperhatikan. Berikut syarat-syarat tersebut:
1. Tidak mencemari air
1. Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar lubang kotoran tidak
mencapai permukaan air tanah maksimum. Jika keadaan terpaksa, dinding dan dasar
lubang kotoran harus dipadatkan dengan tanah liat atau diplester.
2. Jarak lubang kotoran ke sumur sekurang-kurangnya 10 meter
3. Letak lubang kotoran lebih rendah daripada letak sumur agar air kotor dari lubang
kotoran tidak merembes dan mencemari sumur.
4. Tidak membuang air kotor dan buangan air besar ke dalam selokan, empang, danau,
sungai, dan laut
2. Tidak mencemari tanah permukaan
1. Tidak buang besar di sembarang tempat, seperti kebun, pekarangan, dekat sungai, dekat
mata air, atau pinggir jalan.
2. Jamban yang sudah penuh agar segera disedot untuk dikuras kotorannya, atau dikuras,
kemudian kotoran ditimbun di lubang galian.
3. Bebas dari serangga
1. Jika menggunakan bak air atau penampungan air, sebaiknya dikuras setiap minggu. Hal
ini penting untuk mencegah bersarangnya nyamuk demam berdarah
2. Ruangan dalam jamban harus terang. Bangunan yang gelap dapat menjadi sarang
nyamuk.
3. Lantai jamban diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah yang bisa menjadi sarang
kecoa atau serangga lainnya
4. Lantai jamban harus selalu bersih dan kering
5. Lubang jamban, khususnya jamban cemplung, harus tertutup
4. Tidak menimbulkan bau dan nyaman digunakan
1. Jika menggunakan jamban cemplung, lubang jamban harus ditutup setiap selesai
digunakan
2. Jika menggunakan jamban leher angsa, permukaan leher angsa harus tertutup rapat oleh
air
3. Lubang buangan kotoran sebaiknya dilengkapi dengan pipa ventilasi untuk membuang
bau dari dalam lubang kotoran
4. Lantai jamban harus kedap air dan permukaan bowl licin. Pembersihan harus dilakukan
secara periodik
5. Aman digunakan oleh pemakainya
1. Pada tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada dinding lubang kotoran dengan
pasangan bata atau selongsong anyaman bambu atau bahan penguat lainyang terdapat di
daerah setempat

6. Mudah dibersihkan dan tak menimbulkan gangguan bagi pemakainya


1. Lantai jamban rata dan miring kea rah saluran lubang kotoran
2. Jangan membuang plastik, puntung rokok, atau benda lain ke saluran kotoran karena
dapat menyumbat saluran
3. Jangan mengalirkan air cucian ke saluran atau lubang kotoran karena jamban akan
cepat penuh
4. Hindarkan cara penyambungan aliran dengan sudut mati. Gunakan pipa berdiameter
minimal 4 inci. Letakkan pipa dengan kemiringan minimal 2:100
7. Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan
1. Jamban harus berdinding dan berpintu
2. Dianjurkan agar bangunan jamban beratap sehingga pemakainya terhindar dari
kehujanan dan kepanasan.

2.3 Pemanfaatan jamban oleh masyarakat desa


Setelah kita mengetahui pengertian jamban dan tata cara pembangunan jamban yang
sehat, kita akan melihat bagaimana pemanfaatan jamban itu sendiri. Bagi masyarakat yang
tinggal di kota, jamban merupakan kebutuhan pokok selain air bersih. Tingkat kepemilikan dan
penggunaan jamban sebagai tempat BAB mendekati 100%. Tingkat pendidikan, kondisi
geografis, dan budaya di perkotaan menjadikan masyarakat perkotaan sadar dan paham tentang
arti penting jamban bagi mereka, termasuk dampaknya bagi sanitasi.
Namun bila kita tinggal di pedesaan, maka bertolak belakang hasil yang didapat
mengenai kepemilikan, pemanfaatan, dan kesadaran masyarakat mengenai BAB di jamban.
Kepemilikan jamban di pedesaan masih sedikit. Apabila mencapai 80% kepemilikan jamban di
suatu pemukiman maka lingkungan sanitasi akan sehat. Kenyataannya kepemilikan jamban di
daerah yang kami tangani masih jauh dari angka ideal tersebut.
Memiliki jamban bukan berarti si pemilik rumah berisi jamban tersebut akan BAB di
jambannya. Penduduk di pedesaan yang memiliki jamban masih banyak yang untuk BAB harus
menggakan tempat lain, yaitu sungai. Kebiasaan masyarakat pedesaan ini disebabkan oleh
banyak faktor. Kebiasaan buruk ini bisa berdampak serius terhadap sanitasi atau lingkungan di
sekitarnya menjadi lebih rentan terhadap penyakit-penyakit berbasis lingkungan
seperti Cacingan, Cholera (muntaber), Diare, Typus, Disentri, Paratypus,
Polio, Hepatitis B dan banyak penyakit lainnya.
Sebaiknya semua orang BAB di jamban yang memenuhi syarat, dengan demikian
wilayahnya terbebas dari ancaman penyakit penyakit tersebut. Dengan BAB di jamban banyak
penyakit berbasis lingkungan yang dapat dicegah, tentunya jamban tersebut harusmemenuhi
syarat kesehatan. Kalau membahas soal jamban maka tentunya harus lengkap dengan sarana Air
Bersih untuk menunjang keberlangsungan pemanfaatan jamban.

2.4 Kepemilikan dan Pemanfaatan Jamban di Desa Sumber Kalong Kec. Wonosari
Salah satu upaya untuk pengadaan dan pemanfaatan jamban bagi masyarakat adalah
mengadakan Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Dinas Kesehatan Kabupaten
Bondowoso secara intensif dan berkelanjutan melaksanakan program STBM tersebut untuk
meningkatkan akses kepemilikan jamban oleh masyarakat. Adapun tujuan dilaksanakannya
program STBM adalah sebagai berikut :
1. Memicu perubahan perilaku BAB sembarangan menuju BAB ditempat terpusat & tertutup
2. Meningkatkan akses jamban masyarakat sebagai akibat terpicunya masyarakat untukODF
3. Terpantaunya perubahan perilaku masyarakat & perkembangan akses jamban masyarakat

Sebagai salah satu unit pelayanan kesehatan di kecamatan, Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas) kecamatan Wonosari juga berperan aktif dalam melaksanakan program STBM
tersebut. Pelaksanaan STBM di kecamatan Wonosari dilakukan melalui serangkaian kegiatan
berikut :

1. Sosialisasi di tingkat kecamatan Wonosari


2. Pelatihan Fasilitator
3. Pemicuan di Komunitas
4. Pelatihan Tukang Sanitasi
5. Monitoring dan Evaluasi (dirubah sesuai kenyataan di lapangan)

Berdasarkan data tahun 2009, dapat dilihat perkembangan akses sanitasi sampai dengan
bulan Februari adalah sebesar 15.49 %, dan angka pertambahan unit jamban dan aksesnya

Tabel 1. Perkembangan Akses Sanitasi Kabupaten Bondowoso

Jumlah jamban terbangun terhitung Desember 2008 s/d Pebruari 2009 adalah 551 unit

Tabel 2. Nilai Investasi Jamban yang terbangun secara swadaya Masyarakat tahap I
Perkembangan akses sanitasi sampai dgn akhir Desember 2009 adalah 45 komunitas dgn angka
pertambahan unit jamban dan aksesnya dapat dilihat dalam table berikut :
Tabel 3. Perkembangan Akses Sanitasi sebelum STBM Kabupaten Bondowoso

Tabel 4. Nilai Investasi Jamban yang terbangun secara swadaya Masyarakat tahap II

Jumlah jamban terbangun terhitung


Desember 2008 s/d Pebruari 2009 : 551
Februari 2009 s/d Desember 2009 : 224,
Total s/d Des 2009 berjumlah 775 jamban terbangun secara swadaya

Tabel 5. Total Nilai Investasi Jamban yang terbangun secara swadaya Masyarakat (Tahap I & II)

Pada saat pendataan di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari, diperoleh data sebagai
berikut :
Tabel 6. Rekapitulasi Data Dasar Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari (Desember 2010)

No Nama RT Jumlah Jumlah Jamban Jamban Ket.


Jiwa KK Lama Baru
1 RT. 01 126 38 11
2 RT. 02 97 27 5
3 RT. 03 83 20 3
4 RT. 04 112 31 1
5 RT. 05 81 23 4
6 RT. 06 147 37 15
7 RT. 07 153 39 2
8 RT. 08 71 22 2
9 RT. 09 113 39 3
10 RT. 10 105 30 3
11 RT. 11 119 39 7
12 RT. 12 129 31 12
13 RT. 13 73 23 6
14 RT. 14 126 36 10
15 RT. 15 134 41 4
16 RT. 16 141 36 19
17 RT. 17 140 36 22
18 RT. 18 157 40 17
19 RT. 19 143 39 22
20 RT. 20 179 40 18
21 RT. 21 139 39 8
22 RT. 22 134 37 8
23 RT. 23 114 36 4
24 RT. 24 116 34 12
Jumlah 2931 823 218

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa prosentase kepemilikian jamban di desa Sumber Kalong
adalah :
Jumlah KK = 823
Jumlah Jamban = 218

Prosentase kepemilikian jamban =

Prosentasekepemilikan jamban di desa Sumber Kalong kecamatan Wonosari hanya sebesar


26,5%. Hal ini berarti masih jauh dari nilai ideal kepemilikian jamban sebesar 80%.
Sedangkan pemanfaatan jamban di desa sumber Kalong kecamatan Wonosari dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 7. Base Line Data Program StoPS Desa Sumber Kalong Kecamatan
Wonosari
Status Sosial Akses Jamban Per KK
Nama OD
No Nama RT J.Jiwa J. KK Per KK Sehat Tidak Sehat Sharing
Dusun Ket.
K S M K S M K S M K S M K S M
1 RT. 1 Krajan 103 37 4 29 4 4 8 - - - - - 5 - - 16 4 45,95 %
2 RT. 2 Krajan 90 27 - 19 8 - 4 - - - - - 5 - - 13 5 33,33 %
3 RT. 3 Krajan 87 28 1 24 3 - 4 - - - - - 4 - 1 16 3 28,57 %
4 RT. 4 Krajan 116 35 - 20 15 - 2 - - - - - 6 - - 15 12 22,86 %
5 RT. 5 Krajan 72 24 2 19 3 2 4 - - - - - 4 - - 11 3 41,67 %
6 RT. 6 Krajan 133 38 9 24 5 9 6 - - - - - 3 - - 15 5 47,37 %
7 RT. 7 Kalong 154 39 - 32 7 - - - - - - - - - - 32 7 0
Selatan
8 RT. 8 Kalong 76 22 1 15 6 1 2 - - - - - 2 - - 11 6 22,73 %
Selatan
9 RT. 9 Kalong 123 39 4 28 7 1 1 - - - - - 2 - 3 25 7 10,26 %
Selatan
10 RT. 10 Kalong 110 31 3 22 6 1 1 - - - - - 5 - 1 17 6 22,58 %
Selatan
11 RT. 11 Karang 123 34 2 26 11 3 3 - - - - - 2 - - 15 11 23,53 %
Anyar
12 RT. 12 Karang 136 31 2 23 6 1 12 - - - - - 4 - 1 7 6 54,84 %
Anyar
13 RT. 13 Karang 79 25 2 16 7 2 7 - - - - - 9 - - 3 4 72,00 %
Anyar
14 RT. 14 Karang 126 36 6 18 12 6 6 - - - - - 11 - - 5 8 63,89 %
Anyar
15 RT. 15 Karang 129 39 1 25 13 1 5 - - - - - 17 - - 8 8 58,97 %
Anyar
16 RT. 16 Blok 135 35 9 18 8 9 9 - - - - - 2 - - 7 8 57,14 %
Pesantren
17 RT. 17 Blok 140 37 9 22 6 9 13 - - - - - 2 - - 7 6 64,86 %
Pesantren
18 RT. 18 Blok 157 40 2 30 8 2 15 - - - - - 3 - - 12 8 50,00 %
Pesantren
19 RT. 19 Blok 144 40 10 23 7 10 12 - - - - - 2 - - 9 7 60,00 %
Pesantren
20 RT. 20 Blok 182 41 11 21 9 11 4 - - - - - 5 - - 12 9 48,78 %
Pesantren
21 RT. 21 Kenangaan 140 40 - 32 8 - 9 - - - - - 3 - - 20 8 30,00 %
22 RT. 22 Kenangaan 134 37 2 26 9 2 5 - - - - - 4 - - 17 9 29,73 %
23 RT. 23 Glidung 112 36 4 20 12 4 - - - - - - - - - 20 12 11,11 %
24 RT. 24 Glidung 116 34 6 20 8 6 6 - - - - - - - - 14 8 35,29 %
Jumlah 2917 825 90 552 188 84 138 - - - - - 100 - 6 327 170 39,03 %

Tabel di atas memberikan suatu informasi tentang pemanfaatan jamban di desa Sumber
Kalong kecamatan Wonosari sebesar 39,03%. Hal ini berarti meskipun penduduk memiliki
jamban di rumahnya, namun jarang dimanfaatkan sebagai tempat BAB. Penduduk di desa
Sumber Kalong lebih memilih untuk BAB di selokan atau sungai.
Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Kepemilikan dan Akses Jamban di Desa Sumber
Kalong Kecamatan Wonosari. Data-data mengenai kondisi sanitasi di kabupaten Bondowoso,
kepemilikan jamban yang sedikit dan akses jamban yang masih minim di Desa Sumber Kalong
Kecamatan Wonosari disebabkan oleh hal-hal berikut :
1. Rendahnya tingkat pemahaman masyarakat tentang sanitasi
Rendahnya pemahaman masyarakat/ penduduk mengenai sanitasi diduga menjadi faktor
utama yang menyebabkan minimnya jumlah jamban dan pemanfaatannya di linkungan desa
Sumber Kalong kecamatan Wonosari. Masyarakat kurang sadar bahwa BAB yang dilakukan
bukan di jamban akan berdampak terhadap kesehatan lingkungan. Selain menyebabkan
lingkungan menjadi kotor, rusak, bau, dan tidak menyenangkan, juga akan memudahkan
munculnya penyakit-penyakit karena lingkungan yang kotor seperti :Cacingan, Cholera
(muntaber), Diare, Typus, Disentri, Paratypus, Polio,Hepatitis B dan banyak
penyakit lainnya.
Penyakit tersebut muncul sebagai akibat lingkungan desa yang kotor dan tidak steril dari
kotoran. Penyakit tersebut akan sulit dikendalikan atau dikurangi selama lingkungan desa
terutama sungai masih kotor karena airnya mengandung bahan-bahan sisa atau sampah yang
kita keluarkan. Dampak langsung dari hal ini adalah kondisi kesehatan di lingkungan tersebut
menjadi tidak baik dan bagi masyarakat akan meningkatkan jumlah pengeluaran rutin mereka
karena harus digunakan untuk berobat.
2. Persepsi Keliru tentang BAB
Penduduk di desa Sumber Kalong mempunyai keyakinan bahwa kotoran yang mereka buang
di sungai tidak berpengaruh terhadap sanitasi. Mereka beranggapan bahwa kotoran tersebut
akan terurai dengan sendirinya dan menjadi hilang. Persepsi ini muncul sebagai akibat
kurangnya pemahaman masyarakat mengenai kesehatan sanitasi. Selain itu ada beberapa
alasan klasik yang selalu diberikan kepada petugas kesehatan mengenai kondisi mereka.
Alasan tersebut adalah T3, yakni: tidak tahu, tidak punya, dan tidak mau.
a. Tidak Tahu
Tidak tahu sering dijadikan alasan pertama jika ditanyakan mengapa mereka tidak mempunyai
jamban. Mereka mengatakan tidak tahu kalau BAB atau buang hajat harus di jamban. Mereka
menganggap sama saja antara BAB di jamban dan di tempat lain seperti selokan atau sungai.
Bahkan mereka merasa lebih nyaman, lancar dan tenang bila BAB di sungai. Apabila tidak
menyentuh air, kata mereka, BAB tidak bisa dan sangat sulit. Untuk itu mereka rela untuk pergi
ke sungai malam hari sekalipun apabila perut mereka sudah sakit untuk BAB, sedangkan jamban
tidak mereka lirik sama sekali.
b. Tidak Punya
Apabila melihat prosentase kepemilikan jamban di desa Sumber Kalong, sangat jelas terlihat
bahwa jamban masih sangat kurang jika dibandingkan dengan jumlah KK di desa tersebut.
Karena belum mempunyai jamban itulah, mereka sering memberi alasan karena tidak punya
bila ditanyai petugas mengapa mereka tidak mau BAB di jamban. Namun ada juga kondisi
dimana mereka sebenarnya telah memiliki jamban namun karena tidak pernah digunakan
sehingga jamban tersebut menjadi rusak dan tidak bisa dipakai lagi.
c. Tidak Mau
Tidak mau adalah alasan paling tidak masuk akal yang disampaikan karena melalui berbagai
macam program dan penyuluhan, seharusnya mereka menjadi paham dan mengerti tentang arti
penting jamban. Sebagian mereka bahkan alergi terhadap jamban sehingga merasa tidak
membutuhkannya. Apalagi kondisi geografis dimana lingkungan desa dibelah oleh sungai yang
arusnya deras dan cukup lebar semakin menjadikan mereka antipati untuk buang hajat di jamban.
3. Kurang berperannya aparat desa dalam mengatasi masalah tersebut
Salah satu tugas aparat desa adalah menciptakan suasana kondusif dalam bidang politik,
ekonomi, sosial budaya dan lingkungannya. Salah satu lingkungan desa yang harus juga
dijaga adalah lingkungan hidup berupa sanitasi. Sanitasi yang baik akan turut menjamin
ketersediaan air bersih bagi semua penduduk di desa tersebut. Problematika penduduk desa
yang masih suka membuat kotoran atau hajat di sungai harus menjadi perhatian aparat desa
dan turut memberikan solusi untuk mengatasinya. Jika tidak maka secanggih apapun program
pemerintah tidak akan dapat bertahan dan efektif diterapkan jika tidk didukung oleh aparat
desa itu sendiri.

2.5. Upaya-Upaya untuk Meningkatkan Kepemilikan Jamban dan Akses


Jamban di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari
Melihat permasalahan di atas, maka harus dicari jalan keluar untuk mengatasinya.
Sebagai petugas di lapangan, kami memandang perlu untuk turut membantu mengatasi
permasalahan tersebut berdasarkan jenjang atau struktur yang sudah ada. Adapun jenjang atau
level untuk meningkatan jumlah kepemilikan jamban dan meningkatkan akses jamban oleh
penduduk adalah sebagai berikut :
1. Level Formal
Level formal berarti kita menggunakan institusi atau organisasi terstruktur untuk sosialisasi
arti penting jamban bagi kesehatan. Level formal yang dimaksud di desa Sumber Kalong
Kecamatan Wonosari adalah sebagai berikut :
a. Pranata Pendidikan
Tidak ada yang mengingkari bahwa pendidikan memegang peranan penting dalam
merubah pemahaman, tingkah laku, dan kebiasaan di suatu tempat. Dengan pendidikan,
semua elemen manusia berupa kognisi, afeksi, dan psikomotornya dididik, dibina, dan
dibimbing untuk mempelajari sebuah perubahan dan pada akhirnya membentuk
kebiasaan.
Kebiasaan masyarakat untuk membuat hajat di sungai, adalah akibat dari ketidaktahuan
mereka tentang dampak perilaku tersebut bagi kesehatan. Melalui pendidikan, alasan
tidak tahu tersebut dapat digerus untuk kemudian dirubah sedikit demi sedikit. Dari
tidak tahu bahwa perilaku tersebut dapat berdampak serius terhadap kesehatan mereka
sendiri, menjadi tahu betapa pentingnya jamban sebagai tempat satu-satunya untuk
buang air besar.
Semua strata pendidikan baik di lingkungan dinas pendidikan maupun departeman agama
harus terlibat aktif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Mulai dari PADU, TPA,
SD, MI, SMP, MTs, SMA, MAN, hingga Perguruan Tinggi saling menguatkan satu
dengan lainnya dan secara berjenjang memberikan pencerahan dan kesadaran baru untuk
memulai hidup sehat dengan menjadi lingkungan sanitasi melalui BAB di jamban dan
bukan di sungai. Jika hal ini dilakukan dengan menyeluruh, maka anak-anak, remaja, dan
pemuda di lingkungan desa tersebut akan sadar dan selanjutnya dapat mempengaruhi
orang tuanya untu melakukan hal yang sama.

b. Puskesmas
Dalam hal kesehatan, Puskesmas memegang peranan utama dan pertama. Kesehatan
lingkungan sanitasi juga merupakan bidang garap Puskesmas. Dalam hal ini petugas tidak
hanya mencatat statistik jumlah kepemililikan dan akses jamban saja, akan tetapi juga
mampu memberikan jalan keluar untuk mengatasi minimnya kesadaran masyarakat
tentang sanitasi, khususnya arti penting jamban bagi kesehatan mereka sendiri.
Untuk melaksanakan tugas ini, dibutuhkan petugas yang cakap dan handal serta
mempunyai latar belakang pendidikan di bidang sanitasi. Hal ini diperlukan agar petugas
lebih kualifikasi dengan bidangnya. Petugas juga perlu untuk mendapatkan penataran
atau bimbingan teknis dari dinas kesehatan agar semakin spesialis dalam menangani
persamalahan sanitasi. Dengan dukungan data yang akurat, analisis yang mendalam, dan
pendekatan yang humanis, Puskesmas diharapkan dapat berperan lebih lanjut dalam
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang sanitasi.
c. Muspika dan Aparat Desa
Muspika dan aparat di desa harus menjadi pioner dan teladan dalam kesehatan sanitasi.
Apabila mereka masih belum juga sadar tentang arti penting jamban, maka kita tidak
terlalu berharap masyarakat di desanya akan sadar dan paham. Aparat desa mulai dari
kepala desa, sekretaris desa, perangkat desa lain, sampai para ketua RT dan RW atau
Lingkungan, harus mampu menghadirkan keteladanan dalam bidang kesehatan. Mereka
juga dituntut memiliki statistik yang akurat mengenai jumlah kepemilikan jamban di
linkungannya masing-masing berikut akses terhadap jamban itu sendiri. Bersama-sama
komponen lainnya mereka dapat merancang program untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat terhadap sanitasi di desa tersebut.
2. Level Non Formal
Selain level formal, level non formal perlu digalakkan untuk membantu pemerintah
meningkatan jumlah kepemilikan dan akses jamban dengan cara :
a. Mendorong para tokoh masyarakat untuk sosialisi arti penting jamban bagi kesehatan
Masyarakat di pedesaan umumnya masih paternalistik, dimana para tokoh agama dan masyarakat
seperti kyai yang mengasuh suatu pondok pesantren memiliki peran yang tidak bisa dianggap
remeh. Pengaruh mereka malah seringkali melebihi tokoh formal. Perintah mereka jarang bisa
ditolak dan merupakan harga mati bagi masyarakat tertentu.
Lingkungan di sekitar desa Sumber Kalong banyak memiliki pondok pesantren. Para kyai turut
serta dalam mendinamisasi perkembangan desa. Peran kyai yang besar ini, seharusnya dapat
didayagunakan untuk mengarahkan dan membimbing masyarakat mengenai pentingnya sanitasi
khususnya masalah jamban.
Pendekatan yang dilakukan oleh mereka dapat melalui semua wadah. Melalui pengajian-
pengajian, wejangan saat masyarkat nyabis atau berkunjung untuk didoakan, merupakan saat-
saat yang baik untuk memasukkan pemahaman tentang arti penting kesahatan sanitasi.
Terlebih dahulu sebelum para kyai tersebut memberikan wejangannya, lingkungan di pesantren
yang mereka pimpin harus steril dan dapat dijadikan contoh bagi masyarakat. Namun pada
kenyataanya, justru di lingkungan pesantren masalah sanitasi masih belum dirurus dengan baik
dan seringkali para santri sakit akibat buruknya sanitasi dan kebiasaan mereka sendiri. Ini tentu
tantangan bagi kita semua.
b. Menciptakan budaya malu untuk BAB di selokan atau sungai
Di perkotaan, masyarakatnya malu untuk membuat hajat di sembarang tempat. Budaya seperti ini
dapat diadaptasikan ke masyarakat pedesaan. Dengan menanamkan perasaan malu untuk
membuat hajat di tempat terbuka seperti sungai, lambat laun akan berpegaruh terhadap kebiasaan
masyarakat. Dengan adanya pembangunan di semua bidang, pada nantinya lingkungan disekitar
Daerah Aliran Sungai (DAS) akan banyak pemukiman dan bangunan. Dengan adanya
pemukiman tersebut akan membuat efek malu bagi mereka yang masih membuat hajat di
lingkungan sungai karena mudah terlihat.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka penulis simpulkan sebagai berikut :
1. Tingkat kesadaran masyarakat di desa Sumber Kalong kecamatan Wonosari terhadap lingkungan
sanitasi masih kurang.
2. Tingkat kepemilikan jamban masyarakat di desa Sumber Kalong kecamatan Wonosari tidak
ideal dan masih jauh dari angka yang seharusnya dicapai, yaitu 80%.
3. Tingkat pemanfaatan atau akses warga terhadap jamban juga masih kurang.
4. Semua elemen atau level yang berhubungan di desa Sumber Kalong harus berperan aktif untuk
meningkatkan kesadaran, tingkat kepemilikan, dan akses jamban masyarakat.

3.2 Saran
Dari persoalan di atas, penulis mengusulkan sebagai berikut :
1. Penanganan permasalahan dilakukan per-level dan selalu berkoordinasi.
2. Level atau tingkat penanganan masalah sanitasi dibagi 2, yaitu level formal dan non formal.
3. Level formal terdiri dari: pranana pendidikan, puskesmas, dan muspika serta aparat desa
4. Level non formal terdiri dari: arahan dari para tokoh masyarakat, dan budaya malu untuk BAB
selain di jamban
5. Pelaksanaan program penanganan tersebut harus terprogram dengan baik dan dilaksanakan
dengan sepenuh hati untuk menjamin kesuksesannya.

Anda mungkin juga menyukai