2.4 Kepemilikan dan Pemanfaatan Jamban di Desa Sumber Kalong Kec. Wonosari
Salah satu upaya untuk pengadaan dan pemanfaatan jamban bagi masyarakat adalah
mengadakan Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Dinas Kesehatan Kabupaten
Bondowoso secara intensif dan berkelanjutan melaksanakan program STBM tersebut untuk
meningkatkan akses kepemilikan jamban oleh masyarakat. Adapun tujuan dilaksanakannya
program STBM adalah sebagai berikut :
1. Memicu perubahan perilaku BAB sembarangan menuju BAB ditempat terpusat & tertutup
2. Meningkatkan akses jamban masyarakat sebagai akibat terpicunya masyarakat untukODF
3. Terpantaunya perubahan perilaku masyarakat & perkembangan akses jamban masyarakat
Sebagai salah satu unit pelayanan kesehatan di kecamatan, Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas) kecamatan Wonosari juga berperan aktif dalam melaksanakan program STBM
tersebut. Pelaksanaan STBM di kecamatan Wonosari dilakukan melalui serangkaian kegiatan
berikut :
Berdasarkan data tahun 2009, dapat dilihat perkembangan akses sanitasi sampai dengan
bulan Februari adalah sebesar 15.49 %, dan angka pertambahan unit jamban dan aksesnya
Jumlah jamban terbangun terhitung Desember 2008 s/d Pebruari 2009 adalah 551 unit
Tabel 2. Nilai Investasi Jamban yang terbangun secara swadaya Masyarakat tahap I
Perkembangan akses sanitasi sampai dgn akhir Desember 2009 adalah 45 komunitas dgn angka
pertambahan unit jamban dan aksesnya dapat dilihat dalam table berikut :
Tabel 3. Perkembangan Akses Sanitasi sebelum STBM Kabupaten Bondowoso
Tabel 4. Nilai Investasi Jamban yang terbangun secara swadaya Masyarakat tahap II
Tabel 5. Total Nilai Investasi Jamban yang terbangun secara swadaya Masyarakat (Tahap I & II)
Pada saat pendataan di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari, diperoleh data sebagai
berikut :
Tabel 6. Rekapitulasi Data Dasar Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari (Desember 2010)
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa prosentase kepemilikian jamban di desa Sumber Kalong
adalah :
Jumlah KK = 823
Jumlah Jamban = 218
Tabel di atas memberikan suatu informasi tentang pemanfaatan jamban di desa Sumber
Kalong kecamatan Wonosari sebesar 39,03%. Hal ini berarti meskipun penduduk memiliki
jamban di rumahnya, namun jarang dimanfaatkan sebagai tempat BAB. Penduduk di desa
Sumber Kalong lebih memilih untuk BAB di selokan atau sungai.
Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Kepemilikan dan Akses Jamban di Desa Sumber
Kalong Kecamatan Wonosari. Data-data mengenai kondisi sanitasi di kabupaten Bondowoso,
kepemilikan jamban yang sedikit dan akses jamban yang masih minim di Desa Sumber Kalong
Kecamatan Wonosari disebabkan oleh hal-hal berikut :
1. Rendahnya tingkat pemahaman masyarakat tentang sanitasi
Rendahnya pemahaman masyarakat/ penduduk mengenai sanitasi diduga menjadi faktor
utama yang menyebabkan minimnya jumlah jamban dan pemanfaatannya di linkungan desa
Sumber Kalong kecamatan Wonosari. Masyarakat kurang sadar bahwa BAB yang dilakukan
bukan di jamban akan berdampak terhadap kesehatan lingkungan. Selain menyebabkan
lingkungan menjadi kotor, rusak, bau, dan tidak menyenangkan, juga akan memudahkan
munculnya penyakit-penyakit karena lingkungan yang kotor seperti :Cacingan, Cholera
(muntaber), Diare, Typus, Disentri, Paratypus, Polio,Hepatitis B dan banyak
penyakit lainnya.
Penyakit tersebut muncul sebagai akibat lingkungan desa yang kotor dan tidak steril dari
kotoran. Penyakit tersebut akan sulit dikendalikan atau dikurangi selama lingkungan desa
terutama sungai masih kotor karena airnya mengandung bahan-bahan sisa atau sampah yang
kita keluarkan. Dampak langsung dari hal ini adalah kondisi kesehatan di lingkungan tersebut
menjadi tidak baik dan bagi masyarakat akan meningkatkan jumlah pengeluaran rutin mereka
karena harus digunakan untuk berobat.
2. Persepsi Keliru tentang BAB
Penduduk di desa Sumber Kalong mempunyai keyakinan bahwa kotoran yang mereka buang
di sungai tidak berpengaruh terhadap sanitasi. Mereka beranggapan bahwa kotoran tersebut
akan terurai dengan sendirinya dan menjadi hilang. Persepsi ini muncul sebagai akibat
kurangnya pemahaman masyarakat mengenai kesehatan sanitasi. Selain itu ada beberapa
alasan klasik yang selalu diberikan kepada petugas kesehatan mengenai kondisi mereka.
Alasan tersebut adalah T3, yakni: tidak tahu, tidak punya, dan tidak mau.
a. Tidak Tahu
Tidak tahu sering dijadikan alasan pertama jika ditanyakan mengapa mereka tidak mempunyai
jamban. Mereka mengatakan tidak tahu kalau BAB atau buang hajat harus di jamban. Mereka
menganggap sama saja antara BAB di jamban dan di tempat lain seperti selokan atau sungai.
Bahkan mereka merasa lebih nyaman, lancar dan tenang bila BAB di sungai. Apabila tidak
menyentuh air, kata mereka, BAB tidak bisa dan sangat sulit. Untuk itu mereka rela untuk pergi
ke sungai malam hari sekalipun apabila perut mereka sudah sakit untuk BAB, sedangkan jamban
tidak mereka lirik sama sekali.
b. Tidak Punya
Apabila melihat prosentase kepemilikan jamban di desa Sumber Kalong, sangat jelas terlihat
bahwa jamban masih sangat kurang jika dibandingkan dengan jumlah KK di desa tersebut.
Karena belum mempunyai jamban itulah, mereka sering memberi alasan karena tidak punya
bila ditanyai petugas mengapa mereka tidak mau BAB di jamban. Namun ada juga kondisi
dimana mereka sebenarnya telah memiliki jamban namun karena tidak pernah digunakan
sehingga jamban tersebut menjadi rusak dan tidak bisa dipakai lagi.
c. Tidak Mau
Tidak mau adalah alasan paling tidak masuk akal yang disampaikan karena melalui berbagai
macam program dan penyuluhan, seharusnya mereka menjadi paham dan mengerti tentang arti
penting jamban. Sebagian mereka bahkan alergi terhadap jamban sehingga merasa tidak
membutuhkannya. Apalagi kondisi geografis dimana lingkungan desa dibelah oleh sungai yang
arusnya deras dan cukup lebar semakin menjadikan mereka antipati untuk buang hajat di jamban.
3. Kurang berperannya aparat desa dalam mengatasi masalah tersebut
Salah satu tugas aparat desa adalah menciptakan suasana kondusif dalam bidang politik,
ekonomi, sosial budaya dan lingkungannya. Salah satu lingkungan desa yang harus juga
dijaga adalah lingkungan hidup berupa sanitasi. Sanitasi yang baik akan turut menjamin
ketersediaan air bersih bagi semua penduduk di desa tersebut. Problematika penduduk desa
yang masih suka membuat kotoran atau hajat di sungai harus menjadi perhatian aparat desa
dan turut memberikan solusi untuk mengatasinya. Jika tidak maka secanggih apapun program
pemerintah tidak akan dapat bertahan dan efektif diterapkan jika tidk didukung oleh aparat
desa itu sendiri.
b. Puskesmas
Dalam hal kesehatan, Puskesmas memegang peranan utama dan pertama. Kesehatan
lingkungan sanitasi juga merupakan bidang garap Puskesmas. Dalam hal ini petugas tidak
hanya mencatat statistik jumlah kepemililikan dan akses jamban saja, akan tetapi juga
mampu memberikan jalan keluar untuk mengatasi minimnya kesadaran masyarakat
tentang sanitasi, khususnya arti penting jamban bagi kesehatan mereka sendiri.
Untuk melaksanakan tugas ini, dibutuhkan petugas yang cakap dan handal serta
mempunyai latar belakang pendidikan di bidang sanitasi. Hal ini diperlukan agar petugas
lebih kualifikasi dengan bidangnya. Petugas juga perlu untuk mendapatkan penataran
atau bimbingan teknis dari dinas kesehatan agar semakin spesialis dalam menangani
persamalahan sanitasi. Dengan dukungan data yang akurat, analisis yang mendalam, dan
pendekatan yang humanis, Puskesmas diharapkan dapat berperan lebih lanjut dalam
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang sanitasi.
c. Muspika dan Aparat Desa
Muspika dan aparat di desa harus menjadi pioner dan teladan dalam kesehatan sanitasi.
Apabila mereka masih belum juga sadar tentang arti penting jamban, maka kita tidak
terlalu berharap masyarakat di desanya akan sadar dan paham. Aparat desa mulai dari
kepala desa, sekretaris desa, perangkat desa lain, sampai para ketua RT dan RW atau
Lingkungan, harus mampu menghadirkan keteladanan dalam bidang kesehatan. Mereka
juga dituntut memiliki statistik yang akurat mengenai jumlah kepemilikan jamban di
linkungannya masing-masing berikut akses terhadap jamban itu sendiri. Bersama-sama
komponen lainnya mereka dapat merancang program untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat terhadap sanitasi di desa tersebut.
2. Level Non Formal
Selain level formal, level non formal perlu digalakkan untuk membantu pemerintah
meningkatan jumlah kepemilikan dan akses jamban dengan cara :
a. Mendorong para tokoh masyarakat untuk sosialisi arti penting jamban bagi kesehatan
Masyarakat di pedesaan umumnya masih paternalistik, dimana para tokoh agama dan masyarakat
seperti kyai yang mengasuh suatu pondok pesantren memiliki peran yang tidak bisa dianggap
remeh. Pengaruh mereka malah seringkali melebihi tokoh formal. Perintah mereka jarang bisa
ditolak dan merupakan harga mati bagi masyarakat tertentu.
Lingkungan di sekitar desa Sumber Kalong banyak memiliki pondok pesantren. Para kyai turut
serta dalam mendinamisasi perkembangan desa. Peran kyai yang besar ini, seharusnya dapat
didayagunakan untuk mengarahkan dan membimbing masyarakat mengenai pentingnya sanitasi
khususnya masalah jamban.
Pendekatan yang dilakukan oleh mereka dapat melalui semua wadah. Melalui pengajian-
pengajian, wejangan saat masyarkat nyabis atau berkunjung untuk didoakan, merupakan saat-
saat yang baik untuk memasukkan pemahaman tentang arti penting kesahatan sanitasi.
Terlebih dahulu sebelum para kyai tersebut memberikan wejangannya, lingkungan di pesantren
yang mereka pimpin harus steril dan dapat dijadikan contoh bagi masyarakat. Namun pada
kenyataanya, justru di lingkungan pesantren masalah sanitasi masih belum dirurus dengan baik
dan seringkali para santri sakit akibat buruknya sanitasi dan kebiasaan mereka sendiri. Ini tentu
tantangan bagi kita semua.
b. Menciptakan budaya malu untuk BAB di selokan atau sungai
Di perkotaan, masyarakatnya malu untuk membuat hajat di sembarang tempat. Budaya seperti ini
dapat diadaptasikan ke masyarakat pedesaan. Dengan menanamkan perasaan malu untuk
membuat hajat di tempat terbuka seperti sungai, lambat laun akan berpegaruh terhadap kebiasaan
masyarakat. Dengan adanya pembangunan di semua bidang, pada nantinya lingkungan disekitar
Daerah Aliran Sungai (DAS) akan banyak pemukiman dan bangunan. Dengan adanya
pemukiman tersebut akan membuat efek malu bagi mereka yang masih membuat hajat di
lingkungan sungai karena mudah terlihat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka penulis simpulkan sebagai berikut :
1. Tingkat kesadaran masyarakat di desa Sumber Kalong kecamatan Wonosari terhadap lingkungan
sanitasi masih kurang.
2. Tingkat kepemilikan jamban masyarakat di desa Sumber Kalong kecamatan Wonosari tidak
ideal dan masih jauh dari angka yang seharusnya dicapai, yaitu 80%.
3. Tingkat pemanfaatan atau akses warga terhadap jamban juga masih kurang.
4. Semua elemen atau level yang berhubungan di desa Sumber Kalong harus berperan aktif untuk
meningkatkan kesadaran, tingkat kepemilikan, dan akses jamban masyarakat.
3.2 Saran
Dari persoalan di atas, penulis mengusulkan sebagai berikut :
1. Penanganan permasalahan dilakukan per-level dan selalu berkoordinasi.
2. Level atau tingkat penanganan masalah sanitasi dibagi 2, yaitu level formal dan non formal.
3. Level formal terdiri dari: pranana pendidikan, puskesmas, dan muspika serta aparat desa
4. Level non formal terdiri dari: arahan dari para tokoh masyarakat, dan budaya malu untuk BAB
selain di jamban
5. Pelaksanaan program penanganan tersebut harus terprogram dengan baik dan dilaksanakan
dengan sepenuh hati untuk menjamin kesuksesannya.