Anda di halaman 1dari 58

PENGUKURAN TITIK-TITIK DETAIL TACHYMETRI

DORMITORY - UPI
LAPORAN
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Praktik Ilmu Ukur Tanah yang dibina oleh
Dr. Ir. H. Iskandar Muda Purwaamijaya, M.T.

Disusun Oleh :

Aditya Eka Nugraha (1503733)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK BANGUNAN


DEPARTEMEN PENDIDIKAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI & KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah swt. Karena berkat


rahmat dan hidayah-Nya penulis telah mampu menyelesaikan laporan berjudul
PengukuranTitik-Titik Detail Tachymetri. Laporan ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Praktik Ilmu Ukur Tanah.
Penulis menyadari bahwa selama penulisan laporan ini kami banyak
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Allah SWT dan junjungan kita Nabi Muhammad SAW;
2. Orang tua yang telah memberikan semangat serta dukungan moril;
3. Dr. Ir.H. Iskandar Muda P, M.T., selaku dosen mata kuliah yang telah
memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menangani tugas ini;
4. Rekan-rekan satu kelas yang saling memotivasi untuk menyelesaikan
laporan ini sesuai dengan waktu yang ditetapkan.
Semoga Allah swt memberikan balasan yang berlipat ganda.
Laporan ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki banyak
kekurangan, baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh
sebab itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
kesempurrnaan laporan ini.

Bandung, Mei 2017

Penyusun

DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iii
DAFTAR TABEL..................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1
1.3 Tujuan............................................................................................................2
1.4 Manfaat..........................................................................................................2
1.5 Sistematika Penulisan....................................................................................2
BAB II LANDASAN TEORI................................................................................3
2.1 Pengertian Tachymetri..................................................................................3
2.2 Pengukuran Tachymetri Untuk Titik Bidik Horizontal..................................4
2.3 Pengukuran Tachymetri Untuk Bidikan Miring.............................................6
2.4 Prosedur Lapangan.........................................................................................9
2.5 Poligon Tachymetri......................................................................................10
2.6 Tofografi.......................................................................................................10
2.7 Sipat Datar Tachymetri................................................................................10
2.8 Sumber-Sumber Galat Dalam Pekerjaan Tachymetri..................................11
2.9 Pengukuran Untuk Pembuatan Peta Topografi Cara Tachymetri.................11
2.10 Pengukuran Tachymetri Menggunakan Theodolit Berkompas.................12
2.11 Pengukaran Tachymetri Untuk Pembuatan Peta Topografi Cara Polar.....13
2.12 Garis Kontur...............................................................................................15
BAB III TUJUAN DAN PROSEDUR PENGUKURANTITIK DETAIL
TACHYMETRI....................................................................................................27
3.1 Tujan Instruksional Umum..........................................................................27
3.2 Tujuan Instruksional Khusus........................................................................27
3.3 Alat dan Bahan.............................................................................................28
3.4 Prosedur Pengukuran...................................................................................30
3.5 Prosedur Pengolahan Data........................................................................30
3.6 Prosedur Penggambaran...............................................................................31
BAB IV PELAKSANAAN PRAKTIKUM........................................................34
4.1 Lokasi Pengukuran.......................................................................................34
4.2 Waktu Pengukuran.......................................................................................35
4.3 Pelaksanaan Praktikum................................................................................35
BAB V PENGOLAHAN DATA..........................................................................36
5.1 Data Hasil Pengukuran di Lapangan............................................................36
5.2 Pengolahan Data Tachymetri.......................................................................41
BAB VI PENUTUP..............................................................................................52
6.1. Kesimpulan.................................................................................................52
6.2. Saran............................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA
LA M P I R A N

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pengukuran Jarak Dan Beda Tinggi Cara Tachymetry.......................6

ii
Gambar 2. Pengukuran Topografi Cara Tachymetri-Polar.14
Gambar 3. Pengukuran Topografi Cara Tachymetri-Poligon Kompas...............14
Gambar 4. Pembentukan Garis Kontur Dengan Membuat Proyeksi Tegak
Garis Perpotongan Bidang Mendatar Dengan Permukaan Bumi.17
Gambar 5. Kerapatan Garis Kontur Pada Daerah Curam Dan Daerah Landai...19
Gambar 6. Garis Kontur Pada Daerah Sangat Curam.19
Gambar 7. Garis Kontur Pada Curah Dan Punggung Bukit ......20
Gambar 8. Garis Kontur Pada Bukit Dan Cekungan..20
Gambar 9. Kemiringan Tanah Dan Kontur Gradient..20
Gambar 10. Potongan Memanjang Dari Potongan Garis Kontur 21
Gambar 11. Bentuk, Luas Dan Volume Daerah Genangan Berdasarkan Garis
Kontur...............................................................................................21
Gambar 12. Rute Dengan Kelandaian Tertentu22
Gambar 13. Titik Dengan Ketinggian Sama Berdasarkan Garis Kontur......22
Gambar 14. Pengukuran Kontur Pola Spot Level Dan Pola Grid.23
Gambar 15. Pengukuran Kontur Pola Radial....23
Gambar 16. Pengukuran Kontur Cara Langsung..24
Gambar 17. Interpolasi Kontur Cara Taksiran..24
Gambar 18. Theodolite Wild Heerburg Switzerland TO-241557.29
Gambar 19. Rambu Ukur..29
Gambar 20. Benang...29
Gambar 21. Statif..29
Gambar 22. Unting-Unting...................................................................................29
Gambar 23. Pita Ukur...29
Gambar 24. Cat dan Kuas.....................................................................................29
Gambar 25. Alat Tulis...........................................................................................29
Gambar 26. Lokasi Pengukuran............................................................................34

iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Interval Kontur Berdasarkan Skala Dan Bentuk Medan18
Tabel 2. Data Hasil Pengukuran di Lapangan..36

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pengukuran titik-titik detail dengan metode tachymetri dilakukan setelah
pengukuran kerangka dasar vertical dan pengukuran kerangka dasar horizontal.
Pengukuran titik-titik detail dengan metode tachymetri pada dasarnya
dilakukan dengan menggunakan peralatan dengan teknologi lensa optis dan
elektronis digital.
Pengukuran metode tachymetri mempunyai keunggulan dalam hal
ketepatan dan kecepatan dibandingkan denagn metode offset.
Pengukuran metode tachymetri menggunakan alat theodolit, baik yang
bekerja secara optis maupun elektronis digital yang dinamakan dengan total
station. Alat theodolit didirikan di atas patok yang telah diketahui koordinat dan
ketinggiannya berdasarkan hasil pengukuran kerangka dasar. Patok tersebut
mewakili titik-titik ikat pengukuran. Titik-titik detail dapat berupa unsur alam atau
unsur buatan manusia.
Data yang diperoleh di tempat alat berdiri meliputi azimuth magnetis,
sudut vertical inklinasi (sudut miring) atau zenith dan tinggi alat. Pada alat
theodolit dengan fasilitas totoal station koordinat dan ketinggian tinggi titik-titik
detail dapat langsung diperoleh dan direkam ke dalam memori penyimpanan.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan
diatas, maka dalam laporan praktik ini kami perlu merumuskan masalah. Maka
rumusan permasalahannya adalah sebagai berikut :
a. Sejauh mana penguasaan pengukuran Tachymetri.
b. Sejauh mana lingkup tugas yang diberikan kepada peserta mahasiswa/i oleh
pihak dosen pada saat melaksanakan praktik.

1
2

1.3. Tujuan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk memperoleh gambaran mengenai besarnya tingkat penguasaan
Mahasiswa/i terhadap mata kuliah praktik Survey dan Pemetaan.
2. Untuk mendapatkan gambaran mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan
dalam melaksanakan kuliah praktik Survey dan Pemetaan.
3. Untuk mengetahui titik koordinat untuk setiap titik detail,
4. Untuk mengetahui bentuk kontur tanah pada daerah pengukuran di lapangan,
5. Untuk mengetahui tinggi titik pada daerah pengukuran.

1.4 Manfaat
Hasil laporan ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai
pihak, baik secara teoritis dan praktis. Manfaat yang diperoleh dalam pengukuran
ini antara lain:
1. Secara teoritis, hasil laporan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
wawasan tentang ilmu pengukuran Tachymetry didalam praktik ilmu ukur
tanah.
2. Secara praktis, hasil laporan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
mahasiwa yang tengah memperdalam pengetahuan mengenai praktik ilmu ukur
tanah.

1.5 Sistematika Penulisan


Untuk mempermudah dalam pembahasan dan uraian lebih terperinci.
Maka laporan ini disusun dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
BAB II LANDASAN TEORI
BAB III TUJUAN DAN PROSEDUR PENGUKURAN SIPAT DATAR
BAB IV PELAKSANAAN PRAKTIKUM
BAB V PENGOLAHAN DATA
BAB VI PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Tachymetri


Metode Stadia yang disebut Tachymetri di Eropa, adalah cara yang
cepat dan efisien dalam mengukur jarak yang cukup teliti untuk sipat datar
trigonometri, beberapa poligon dan penentuan lokasi detail-detail fotografi. Lebih
lanjut, di dalam metode ini cukup dibentuk regu 2 atau 3 orang, sedangkan pada
pengukuran dengan transit dan pita biasanya diperlukan 3 atau 4 orang.
Stadia berasal dari kata Yunani untuk satuan panjang yang asal-mulanya
diterapkan dalam pengukuran jarak-jarak untuk pertandingan atletik dari sinilah
muncul kata stadium (stadion) dalam pengertian modern. Kata ini
menyatakan 600 satuan Yunani (sama dengan feet), atau 606 ft 9 in dalam
ketentuan Amerika sekarang.
Istilah stadia sekarang dipakai untuk benang silang dan rambu yang dipakai
dalam pengukuran, maupun metodenya sendiri. Pembacaan optis (stadia) dapat
dilakukan dengan transit, theodolit, alidade dan alat sipat datar.
Peralatan stasiun kota yang baru, menggabungkan theodolit, EDMI, dan
kemampuan mencatat-menghitung hingga reduksi jarak lereng secara otomatis
dan sudut vertikal. Yang dihasilkan adalah pembacaan jarak horizontal dan selisih
elevasi, bahkan koordinat. Jadi peralatan baru tadi dapat memperkecil regu
lapangan dan mengambil alih banyak proyek tachymetri. Namun demikian,
prinsip pengukuran tachymetri dan metodenya memberikan konsepsi-konsepsi
dasar dan sangat mungkin dipakai terus menerus.

3
4

2.2 Pengukuran Tachymetri Untuk Titik Bidik Horizontal


Selain benang silang tengah, diafragma transit atau theodolit untuk
tachymetri mempunyai dua benang horizontal tambahan yang ditempatkan sama
jauh dari tengah. Interval antara benang benang stadia itu pada kebanyakan
instrumen memberikan perpotongan vertikal 1 ft pada rambu yang dipasang
sejauh 100 ft ( 1 m pada jarak 100 m ). Jadi jarak ke rambu yang dibagi secara
desimal dalam feet, persepuluhan dan perseratusan dapat langsung dibaca sampai
foot terdekat. Ini sudah cukup seksama untuk menentukan detail-detail fotografi,
seperti ; sungai, jembatan, dan jalan yang akan digambar pada peta dengan skala
lebih kecil daripada 1 in = 100 ft, dan kadang-kadang untuk skala lebih besar
misalnya; 1 in = 50 ft.
Metode tachymetri didasarkan pada prinsip bahwa pada segitiga-segitiga
sebangun, sisi yang sepihak adalah sebanding.
Simbol-simbol baku yang dipakai dalam pengukuran tachymetri :
a. f = jarak pumpun lensa ( sebuah tatapan untuk gabungan lensa objektif
tertentu ). Dapat ditentukan dengan pumpunan pada objek yang jauh dan
mengukur jarak antara pusat lensa objektif ( sebenarnya adalah titik simpul
dengan diafragma)
b. f1 = jarak bayangan atau jarak dari pusat (titik simpul) lensa obyektif ke
bidang benang silang sewaktu teropong terpumpun pada suatu titik tertentu.
c. F2 = jarak obyek atau jarak dari pusat (titik simpul) dengan titik tertentu
sewaktu teropong terpumpun pada suatu titik itu. Bila f2 tak terhingga atau
amat besar, maka f1 = f
d. i = selang antara benang benang stadia
e. f/i. = faktor penggali, biasanya 100 (stadia interval factor)
f. c = jarak dari pusat instrumen (sumbu I) ke pusat lensa obyektif. Harga c
sedikit beragam sewaktu lensa obyektif bergerak masuk atau keluar untuk
pembidikan berbeda, tetapi biasa dianggap tetapan.
g. C = c + f. C disebut tetapan stadia, walaupun sedikit berubah karena c = jarak
dari titik pumpun di depan teropong ke rambu.
h. D = C + d = jarak dari pusat instrumen ke permukaan rambu
5

Benang-benang silang jarak optis tetap pada transit, theodolit, alat sipat
datar dan dengan cermat diatur letaknya oleh pabrik instrumennya agar faktor
pengali f/i. Sama dengan 100. Tetapan stadia C berkisar dari kira-kira 0,75 sampai
1,25 ft untuk teropong-teropong pumpunan luar yang berbeda, tetapi biasanya
dianggap sama dengan 1 ft. Satu-satunya variabel di ruas kanan persamaan.
Adalah R yaitu perpotongan R adalah 4,27 ft, jarak dari instrumen ke rambu
adalah 427 + 1 = 428 ft yang telah dijelaskan adalah teropong pumpunan luar
jenis lama, karena dengan gambar sederhana dapat ditunjukkan hubungan-
hubungan yang benar. Lensa obyektif teropong pumpunan dalam (jenis yang
dipakai sekarang pada instrumen ukur tanah ) mempunyai kedudukan terpasang
tetap sedangkan lensa pumpunan negatif dapat digerakkan antara lensa obyektif
dan bidang benang silang untuk mengubah arah berkas sinar. Hasilnya, tetapan
stadia menjadi demikian kecil sehingga dapat dianggap nol.
Benang stadia yang menghilang dulu dipakai pada beberapa instrumen
lama untuk menghindari kekacauan dengan benang tengah horizontal. Diafragma
dari kaca yang modern dibuat dengan garis-garis stadia pendek dan benang tenaga
yang penuh memberikan hasil yang sama secara lebih berhasil guna.
Faktor pengali harus ditentukan pada pertama kali instrumen yang dipakai,
walaupun harga tepatnya dari pabrik yang ditempel di sebelah dalam kotak
pembawa tak akan berubah kecuali benang silang, diafragma, atau lensa-lensa
diganti atau diatur pada model-model lama.
Untuk menentukan faktor pengali, perpotongan rambu R dibaca untuk
bidikan horizontal berjarak diketahui sebesar D. Kemudian, pada bentuk lain
persamaan 1.1, faktor pengali adalah f/i.= (D-C)/R.
6

2.3 Pengukuran Tachymetri Untuk Bidikan Miring


Kebanyakan pengukuran tachymetri adalah dengan garis bidik miring
karena adanya keragaman topografi, tetapi perpotongan benang stadia dibaca pada
rambu tegak lurus dan jarak miring direduksi menjadi jarak horizontal dan jarak
vertikal.
Pada gambar , sebuah transit dipasang pada suatu titik dan rambu dipegang
pada titik tertentu. Dengan benang silang tengah dibidikkan pada rambu ukur
sehingga tinggi t sama dengan tinggi theodolit ke tanah. sudut vertikalnya (sudut
kemiringan) terbaca sebesar . Perhatikan bahwa dalam pekerjaan tachymetri
tinggi instrumen (t.i.) adalah tinggi garis bidik diukur dari titik yang diduduki
(bukan TI, tinggi di atas datum seperti dalam sipat datar)

Gambar 1. Pengukuran jarak dan beda tinggi cara tachymetry

Jarak datar = dAB = 100 (BA BB) cos2m; m = sudut miring.

Beda tinggi = D HAB = 50 (BA BB) sin 2m + i t; t = BT

Tabel-tabel, diagram, mistar hitung khusus, dan kalkulator elektronik telah


dipakai oleh para juru ukur untuk memperoleh penyelesaiannya. Tabel E-1 dalam
Apendiks E memuat jarak-jarak horizontal dan vertikal untuk perpotongan rambu
1 ft dan sudut-sudut vertikal dari 0 sampai 16(74 sampai 90 dan 90 sampai
106 untuk pembacaan-pembacaan dari zenit). Menggunakan tabel untuk
mengecek reduksi catatan akan menumbuhkan penilaian atas kewajaran jawaban-
suatu faktor rawan dalam praktek pengukuran tanah dan rekayasa.
Sebuah tabel tak dikenal harus selalu diselidiki dengan memasukkan
harga-harga di dalamnya yang kan memberikan hasil yang telah diketahui.
7

Sebagai contoh; sudut-sudut 1, 10 dan 15dapat dipakai untuk mengecek hasil-


hasil memakai tabel. Misalnya sebuah sudut vertikal 1500 (sudut zenit 75),
perpotongan rambu 1,00 ft dan tetapan stadia 1ft, diperoleh hasil-hasil sebagai
berikut.
Dengan tabel E-1:
H = 93,30 x 1,00 +1 = 94,3 atau 94 ft
Contoh : untuk sudut sebesar 416, elevasi M adalah 268,2 ft ; t.i. = EM =
5,6; perpotongan rambu AB = R = 5,28 ft; sudut vertikal a ke titik D 5,6 ft pada
rambu adalah +416; dan C = 1 ft. Hitunglah jarak H, beda elevasi V dan elevasi
titik O.
Penyelesaian :
Untuk sudut 1416(sudut zenith 8544) dan perpotongan rambu 1 ft,
jarak-jarak horizontal dan vertikal berturut-turut adalah 99,45 dan 7,42 ft.
Selanjutnya
H = (99,45 x 5,28) + 1 = 526 ft
V = (7,42 x 5,28) _ 0,08 = 39,18 + 0,08 = 39,3 ft
Elevasi titik O adalah
Elevasi O = 268,2 + 5,6 + 39,3 5,6 = 307,5 ft
Rumus lengkap untuk menentukan selisih elevasi antara M dan O adalah
sebagai berikut
Elevo- elevM = t.i. + V pembacaan rambu
Keuntungan bidikan dengan pembacaan sebesar t.i agar terbaca sudut
vertikal, sudah jelas. Karena pembacaan rambu dan t.i berlawanan tanda, bila
harga mutlaknya sama kan saling menghilangkan dan dapat dihapuskan dari
hitungan elevasi. Jika t.i tak dapat terlihat karena terhalang, sembarang
pembacaan rambu dapat dibidik dan persamaan 1.10 dapat dipakai. Memasang
benang silang tengah pada tanda satu foot penuh sedikit di atas atau di bawah t.i
menyederhanakan hitungannya.
Penentuan beda elevasi dengan tachymetri dapat dibandingkan dengan
sipat datar memanjang t.i. sesuai bidikan plus, dan pembacaan rambu sesuai
bidikan minus. Padanya ditindihkan sebuah jarak vertikal yang dapat plus atau
minus, tandanya tergantung pada sudut kemiringan. Pada bidikan-bidikan penting
8

ke arah titik-titik dan patok-patok kontrol, galat-galat instrumental akan dikurangi


dengan prosedur lapangan yang baik menggunakan prinsip timbal balik yaitu,
membaca sudut sudut vertikal dengan kedudukan teropong biasa dan luar biasa.
Pembacaan langsung pada rambu dengan garis bidik horizontal (seperti
pada sipat datar), bukan sudut vertikal, dikerjakan bila keadaan memungkinkan
untuk menyederhanakan reduksi catatan-catatan. Tinjauan pada tabel E-1
menunjukkan bahwa untuk sudut-sudut vertikal di bawah kira-kira 4, selisih
antara jarak mirng dan jarak horizontal dapat diabaikan kecuali pada bidikan jauh
(dimana galat pembacaan jarak juga lebih besar). Dengan demikian teropong
boleh miring beberapa derajat untuk pembacaan jarak optis setelah membuat
bidikan depan yang datar untuk memperoleh sudut vertikal).

Rambu Tachymetri
Berbagai jenis tanda dipakai pada rambu tachymetri tetapi semua
mempunyai bentuk-bentuk geometrik yang menyolok dirancang agar jelas pada
jarak jauh. Kebanyakan rambu tachymetri telah dibagi menjadi feet dan
persepuluhan (perseratusan diperoleh dengan interpolasi), tetapi pembagian skala
sistem metrik sedang menjadi makin umum. Warna-warna berbeda membantu
membedakan angka-angka dan pembagian skala.
Rambu-rambu tachymetri biasa berbentuk satu batang, lipatan atau
potongan-potongan dengan panjang 10 atau 12 ft. kalau dibuat lebih panjang
dapat meningkatkan jarak bidik tetapi makin berat dan sulit ditangani. Seringkali
bagian bawah satu atau dua dari rambu 12 ft akan terhalang oleh rumput atau
semak, tinggal sepanjang hanya 10 ft yang kelihatan. Panjang bidikan maksimum
dengan demikian adalah kira-kira 1000 ft. Pada bidikan yang lebih jauh, setengah
interval ( perpotongan antara benang tengan dengan benang stadia atas atau
bawah) dapat dibaca dan dilipatgandakan untuk dipakai dalam persamaan reduksi
tachymetri yang baku. Bila ada benang perempatan antara benang tengah
dengan benang stadia atas, secara teoritis dapat ditaksir jarak sejauh hampir 4000
ft. Pada bidikan pendek, mungkin sampai 200 ft, rambu sipat datar biasa seperti
jenis Philadelphia sudah cukup memuaskan.
9

2.4 Prosedur Lapangan


Prosedur yang benar menghemat waktu dan mengurangi sejumlah
kesalahan dalam semua pekerjaan ukur tanah.
Urutan pembacaan yang paling sesuai untuk pekerjaan tachymetri yang
melibatkan sudut vertikal adalah sebagai berikut :
1. Bagi dua rambu dengan benang vertikal
2. Dengan benang tengah kira-kira t.i. letakkan benang bawah pada tanda sebuah
foot bulat, atau desimeter pada rambu metrik.
3. Baca benang atas, dan di luar kepala kurangkan pembacaan benang bawah
untuk memperoleh perpotongan rambu, catat perpotongan rambu.
4. Gerakan benang tengah ke t.i. dengan memakai sekrup penggerak halus
vertikal
5. Perintahkan pemegang rambu untuk pindah titik ke berikutnya dengan
tenggara yang benar.
6. Baca dan catatlah sudut horizontalnya dan sudut vertikalnya.
Prosedur ini menyebabkan pemegang instrumen dapat membuat sibuk
sekaligus dua atau tiga petugas rambu di tanah terbuka di mana titik-titik yang
akan ditetapkan lokasinya terpisah jauh. Urutan yang sama dapat dipakai bila
menggunakan busur Beaman, tetapi pada langkah 4 skala V ditepatkan pada
sebuah angka bulat, dan pada langkah 7 pembacaan-pembacaan skala-H dan
skala-V dicatat.
Sewaktu membaca jarak optis setelah benang bawah ditempatkan pada
sebuah tanda foot bulat, benang tengah tidak tepat pada t.i. atau pembagian skala
terbaca untuk sudut vertikal. Ini biasanya tidak menyebabkan galat yang berarti
dalam proses reduksi kecuali pada bidikan-bidikan panjang dan sudut-sudut
vertikal curam. Bila rambu tidak tegak lurus tentu saja akan menyebabkan galat-
galat yang berarti dan untuk mengatasi masalah ini dipakai nivo rambu.
10

2.5 Poligon Tachymetri


Dalam poligon transit-optis, jarak, sudut horizontal dan sudut vertikal
diukur pada setiap titik. Reduksi catatan sewaktu pengukuran berjalan
menghasilkan elevasi untuk dibawa dari patok ke patok. Harag jarak optis rata-
rata dan selisih elevasi diperoleh dari bidikan depan dan belakang pada tiap garis.
Pengecekan elevasi harus diadakan dengan jalan kembali ke titik awal atau tititk
tetap duga didekatnya untuk poligon terbuka. Walaupun tidak seteliti p[oligon
dengan pita, sebuah regu yang terdiri atas tiga anggota seorang pemegang
instrumen, pencatat, dan petugas rambu- merupakan kebiasaan. Seorang petugas
rambu lagi dapat mempercepat pekerjaan bila banyak detail tersebar luas.
Sudut-sudut horizontal juga harus dicek kesalahan penutupnya. Bila ada
kesalahan penutup sudut harus diratakan, Y dan X dihitung dan keseksamaan
poligon dicek.

2.6 Tofografi
Metode tachymetri itu paling bermanfaat dalam penentuan lokasi sejumlah
besar detail topografik, baik horizontal maupun vetikal, dengan transit atatu
planset. Di wilayah-wilayah perkotaan, pembacaan sudut dan jarak dapat
dikerjakan lebih cepat daripada pencatatan pengukuran dan pembuatan sketsa oleh
pencatat.

2.7 Sipat Datar Tachymetri


Metode tachymetri dapat dipakai untuk sipat datar trigonometris. TI
( tinggi instrumen di atas datum) ditentukan dengan menbidik pada stasiun yang
diketahui elevasinya, atau dengan memasang instrumen pada titik semacam itu
dan mengukur tinggi sumbu II di atasnya dengan rambu tachymetri. Selanjutnya
elevasi titik sembarang dapat dicari dengan hitungan dari perpotongan rambu dan
sudut vertikal. Jika dikehendaki dapat dilakukan untai sipat datar untuk
menetapkan dan mengecek elevasi dua titik atau lebih.
11

2.8 Sumber-Sumber Galat Dalam Pekerjaan Tachymetri


Galat-galat yang terjadi pada pekerjaan dengan transit dan theodolit, juga
terjadi pada pekerjaan tachymetri.
Sumber-sumber galat adalah :
a. Galat-Galat Instrumental
1. Benang tachymetri yang jaraknya tidak benar
2. Galat indeks
3. Pembagian skala rambu yang tidak benar
4. Garis bidik transit tidak sejajar garis arah nivo teropong
b. Galat-Galat Pribadi
1. Rambu tak dipegang tegak (hindari dengan pemakaian nivo rambu)
2. Salah pembacaan rambu karena bidikan jauh
3. Kelalaian mendatarkan untuk pembacaan busur vertikal.

Kebanyakan galat dalam pekerjaan tachymetri dapat dihilangkan dengan:


a. Menggunakan instrumen dengan benar
b. Membatasi panjang bidikan
c. Memakai rambu dan nivo yang baik
d. Mengambil harga rata-rata pembacaan dalam arah ke depan dan ke belakang.

Kesalahan kesalahan Besar


Beberapa kesalahan yang biasa terjadi dalam pekerjaan tachymetri adalah :
1. Galat indeks diterapkan dengan tanda yang salah
2. Kekacauan tanda plus dan minus pada sudut-sudut vertikal
3. Kesalahan aritmetik dalam menghitung perpotongan rambu
4. Pemakaian faktor pengali yang tidak benar
5. Mengayunkan rambu (rambu harus selalu dipegang tegak lurus)

2.9 Pengukuran Untuk Pembuatan Peta Topografi Cara Tachymetri


Salah satu unsur penting pada peta topografi adalah unsur ketinggian yang
biasanya disajikan dalam bentuk garis kontur. Menggunakan pengukuran cara
tachymetry, selain diperoleh unsur jarak, juga diperoleh beda tinggi. Bila theodolit
yang digunakan untuk pengukuran cara tachymetry juga dilengkapi dengan
12

kompas, maka sekaligus bisa dilakukan pengukuran untuk pengukuran detil


topografi dan pengukuran untuk pembuatan kerangka peta pembantu pada
pengukuran dengan kawasan yang luas secara efektif dan efisien.
a. Alat ukur yang digunakan pada pengukuran untuk pembuatan peta topografi
cara tachymetry menggunakan theodolit berkompas adalah: theodolit
berkompas lengkap dengan statif dan unting-unting, rambu ukur yang
dilengkapi dengan nivo kotak dan pita ukur untuk mengukur tinggi alat.
b. Data yang harus diamati dari tempat berdiri alat ke titik bidik menggunakan
peralatan ini meliputi: azimuth magnet, benang atas, tengah dan bawah pada
rambu yang berdiri di atas titik bidik, sudut miring, dan tinggi alat ukur di atas
titik tempat berdiri alat.Keseluruhan data ini dicatat dalam satu buku ukur.

2.10 Pengukuran Tachymetri Menggunakan Theodolit Berkompas


Pengukuran detil cara tachymetri dimulai dengan penyiapan alat ukur di
atas titik ikat dan penempatan rambu di titik bidik. Setelah alat siap untuk
pengukuran, dimulai dengan perekaman data di tempat alat berdiri, pembidikan ke
rambu ukur, pengamatan azimuth dan pencatatan data di rambu BT, BA, BB serta
sudut miring m.
a. Tempatkan alat ukur di atas titik kerangka dasar atau titik
kerangka penolong dan atur sehingga alat siap untuk pengukuran, ukur dan
catat tinggi alat di atas titik ini.
b. Dirikan rambu di atas titik bidik dan tegakkan rambu dengan bantuan nivo
kotak.
c. Arahkan teropong ke rambu ukur sehingga bayangan tegak garis diafragma
berimpit dengan garis tengah rambu. Kemudian kencangkan kunci gerakan
mendatar teropong.
d. Kendorkan kunci jarum magnet sehingga jarum bergerak bebas. Setelah jarum
setimbang tidak bergerak, baca dan catat azimuth magnetis dari tempat alat ke
titik bidik.
e. Kencangkan kunci gerakan tegak teropong, kemudian baca
bacaan benag tengah, atas dan bawah serta cata dalam buku ukur. Bila
memungkinkan, atur bacaan benang tengah pada rambu di titik bidik setinggi
13

alat, sehingga beda tinggi yang diperoleh sudah merupakan beda tinggi antara
titik kerangka tempat berdiri alat dan titik detil yang dibidik.
f. Titik detil yang harus diukur meliputi semua titik alam maupun
buatan manusia yang mempengaruhi bentuk topografi peta daerah
pengukuran.

Kesalahan pengukuran cara tachymetri dengan theodolit berkompas


1. Kesalahan alat, misalnya:
a. Jarum kompas tidak benar-benar lurus.
b. Jarum kompas tidak dapat bergerak bebas pada prosnya.
c. Garis bidik tidak tegak lurus sumbu mendatar (salah kolimasi).
d. Garis skala 0 - 180 atau 180 - 0 tidak sejajar garis bidik.
e. Letak teropong eksentris.
f. Poros penyangga magnet tidak sepusat dengan skala lingkaran
mendatar.
2. Kesalahan pengukur, misalnya:
a. Pengaturan alat tidak sempurna ( temporary adjustment )
b. Salah taksir dalam pembacaan
c. Salah catat, dll. nya.
3. Kesalahan akibat faktor alam, misalnya:
a. Deklinasi magnet.
b. atraksi lokal.

2.11 Pengukaran Tachymetri Untuk Pembuatan Peta Topografi Cara Polar


Posisi horizontal dan vertikal titik detil diperoleh dari pengukuran cara
polar langsung diikatkan ke titik kerangka dasar pemetaan atau titik (kerangka)
penolong yang juga diikatkan langsung dengan cara polar ke titik kerangka dasar
pemetaan.
Unsur yang diukur:
a. Azimuth magnetis dari titik ikat ke titik detil,
b. Bacaan benang atas, tengah, dan bawah
c. Sudut miring, dan
d. Tinggi alat di atas titik ikat.
14

Gambar 2. Pengukuran topografi cara tachymetri-polar.

A dan B adalah titik kerangka dasar pemetaan,


H adalah titik penolong,
1, 2 ... adalah titik detil,
Um adalah arah utara magnet di tempat pengukuran.
Berdasarkan skema pada gambar, maka :
a. Titik 1 dan 2 diukur dan diikatkan langsung dari titik kerangka dasar A,
b. Titik H, diukur dan diikatkan langsung dari titik kerangka dasar B,
c. Titik 3 dan 4 diukur dan diikatkan langsung dari titik penolong H.
d.
Pengukuran Tachymetri Untuk Pembuatan Peta Topografi Cara Poligon
Kompas
Letak titik kerangka dasar pemetaan berjauhan, sehingga diperlukan titik
penolong yang banyak. Titik-titik penolong ini diukur dengan cara poligon
kompas yang titik awal dan titik akhirnya adalah titik kerangka dasar pemetaan.
Unsur jarak dan beda tinggi titik-titik penolong ini diukur dengan menggunakan
cara tadhymetri.
Posisi horizontal dan vertikal titik detil diukur dengan cara polar dari titik-
titik penolong.

Gambar 3. Pengukuran topografi cara tachymetri-poligon kompas.


15

Berdasarkan skema pada gambar, maka :


a. Titik K1, K3, K5, K2, K4 dan K6 adalah titik-titik kerangka dasar pemetaan,
b. Titik H1, H2, H3, H4 dan H5 adalah titik-titik penolong
c. Titik a, b, c, ... adalah titik detil.
Pengukuran poligon kompas K3, H1, H2, H3, H4 , H5, K4 dilakukan untuk
memperoleh posisi horizontal dan vertikal titik-titik penolong, sehingga ada dua
hitungan:
a. Hitungan poligon dan
b. Hitungan beda tinggi.
Tata cara pengukuran poligon kompas:
1. Pengukuran koreksi Boussole di titik K3 dan K4,
2. Pengukuran cara melompat (spring station) K3, H2, H4dan K4.
3. Pada setiap titik pengukuran dilakukan pengukuran:
a. Azimuth,
b. Bacaan benang tengah, atas dan bawah,
c. Sudut miring, dan
d. Tinggi alat.
Tata cara hitungan dan penggambaran poligon kompas:
1. Hitung koreksi Boussole di K3 = AzG. K31 - AzM K31
2. Hitung koreksi Boussole di K4 = AzG. K42 - AzM K42
3. Koreksi Boussole C = Rerata koreksi boussole di K3 dan K4
4. Hitung jarak dan azimuth geografis setiap sisi poligon.
5. Hitung koordinat H1, ... H5 dengan cara BOWDITCH atau TRANSIT.
6. Plot poligon berdasarkan koordinat definit

2.12 Garis Kontur


2.12.1 Pengertian Garis Kontur
Garis kontur yaitu suatu garis yang digambarkan diatas bidang datar
melalui titik-titik dengan ketinggian yang sama terhadap suatu ketinggian tertentu
atau garis kontur yaitu garis khayal dilapangan yang menghubungkan titik-titik
dengan ketinggian-ketinggian yang sama atau garis kontur yaitu garis diatas peta
yang memperlihatkan titik-titik diatas peta dengan ketinggian yang sama.
Contoh nyata dari garis kontur yaitu garis pantai laut, garis pantai danau
dan lain sebagainya.
Garis kontur disajikan diatas peta utnuk memperlihatkan naik turunnya
keadaan permukaan tanah. Aplikasi lebih lanjut dari garis kontur adalah untuk
16

memberikan informasi slope (kemiringan tanah rata-rata), irisan profil memanjang


atau melintang permukaan tanah asli terhadap ketinggian vertikal garis proyek
atau bangunan.
Penarikan garis kontur berdasarkan perolehan posisi titik-titik tinggi (spot
heigh) dari lapangan. Semakin banyak titik-titik tinggi (spot heigh) maka akan
semakin mudah dan halus penarikan garis konturnya. Penarikan garis kontur
didapat dengan cara perhitungan interpolasi suatu titik dengan titik lain yang
masing-masing telah dikatahui ketinggiannya. Posisi titik dengan ketinggian
ketinggian tertentu yang akan dicari, berada diantara 2 titik tinggi tersebut dan
diperoleh dengan prisip perhitungan 2 buah segitiga sebangun.
Data yang harus dimiliki untuk melakukan interpolasi garis kontur adalah
jarak antara 2 titik tinggi diatas peta, tinggi definitif kedua titik tinggi garis kontur
yang akan ditarik. Hasil perhitungan interpolasi ini adalah posisi titik garis kontur
yang melewati garis hubung antara dua titik tinggi. Posisi ini berupa jarak garis
kontur terhadap posisi titik pertama atau kedua titik titik hasil interpolasi tersebut
kemudian kita hubungkan untuk membnetuk garis kontur yang kita inginkan.
Salah satu unsur yang penting pada suatu peta topografi adalah informasi
tentang tinggi suatu tempat terhadap rujukan tertentu. Untuk menyajikan variasi
ketinggian suatu tempat pada peta topografi, umumnya digunakan garis kontur
(contour-line).
Garis kontur adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan
ketinggian sama. Nama lain garis kontur adalah garis tranches, garis tinggi dan
garis lengkung horisontal.
Garis kontur + 25 m, artinya garis kontur ini menghubungkan titik-titik
yang mempunyai ketinggian sama + 25 m terhadap referensi tinggi tertentu.
Garis kontur dapat dibentuk dengan membuat proyeksi tegak garis-garis
perpotongan bidang mendatar dengan permukaan bumi ke bidang mendatar peta.
Karena peta umumnya dibuat dengan skala tertentu, maka bentuk garis kontur ini
juga akan mengalami pengecilan sesuai skala peta.
17

Gambar 4. Pembentukan Garis Kontur dengan membuat proyeksi tegak


garis perpotongan bidang mendatar dengan permukaan bumi

Dengan memahami bentuk-bentuk tampilan garis kontur pada peta, maka


dapat diketahui bentuk ketinggian permukaan tanah, yang selanjutnya dengan
bantuan pengetahuan lainnya bisa diinterpretasikan pula informasi tentang bumi
lainnya.
2.12.2 Interval Kontur dan Indeks Kontur
Interval kontur adalah jarak tegak antara dua garis kontur yang berdekatan.
Jadi juga merupakan jarak antara dua bidang mendatar yang berdekatan.
Pada suatu peta topografi interval kontur dibuat sama, berbanding terbalik
dengan skala peta. Semakin besar skala peta, jadi semakin banyak informasi yang
tersajikan, interval kontur semakin kecil.
Indeks kontur adalah garis kontur yang penyajiannya ditonjolkan setiap
kelipatan interval kontur tertentu; mis. Setiap 10 m atau yang lainnya.
Rumus untuk menentukan interval kontur pada suatu peta topografi adalah:
i = (25 / jumlah cm dalam 1 km) meter, atau
i = n log n tan a , dengan n = (0.01 S + 1)1/2 meter.
Contoh:
Peta dibuat pada skala 1 : 5 000, sehingga 20 cm = 1 km, maka i = 25 / 20 = 1.5 m
Peta dibuat skala S = 1 : 5 000 dan a = 45 , maka i = 6.0 m
Berikut contoh interval kontur yang umum digunakan sesuai bentuk
permukaan tanah dan skala peta yang digunakan.
18

Tabel 1. Interval kontur berdasarkan skala dan bentuk medan

Bentuk Muka
Skala Interval Kontur
Tanah

1 : 1 000 Datar 0.2 - 0.5 m


dan Bergelombang 0.5 - 1.0 m
lebih besar Berbukit 1.0 - 2.0 m

1 : 1 000 Datar 0.5 - 1.5 m


s/d Bergelombang 1.0 - 2.0 m
1 : 10 000 Berbukit 2.0 - 3.0 m

Datar 1.0 - 3.0 m


1 : 10 000
Bergelombang 2.0 - 5.0 m
dan
Berbukit 5.0 - 10.0 m
lebih kecil
Bergunung 0.0 - 50.0 m

2.12.3 Sifat Garis Kontur


a. Garis-garis kontur saling melingkari satu sama lain
dan tidak akan saling berpotongan.
b. Pada daerah yang curam garis kontur lebih rapat dan
pada daerah yang landai lebih jarang.
c. Pada daerah yang sangat curam, garis-garis kontur
membentuk satu garis.
d. Garis kontur pada curah yang sempit membentuk
huruf V yang menghadap ke bagian yang lebih rendah.
Garis kontur pada punggung bukit yang tajam membentuk huruf V
yang menghadap ke bagian yang lebih tinggi.
e. Garis kontur pada suatu punggung bukit yang
membentuk sudut 90 dengan kemiringan maksimumnya, akan
membentuk huruf U menghadap ke bagian yang lebih tinggi.
f. Garis kontur pada bukit atau cekungan membentuk
garis-garis kontur yang menutup-melingkar.
g. Garis kontur harus menutup pada dirinya sendiri.
19

h. Dua garis kontur yang mempunyai ketinggian sama


tidak dapat dihubungkan dan dilanjutkan menjadi satu garis kontur.

Gambar 5. Kerapatan garis kontur pada daerah curam dan daerah landai

Gambar 6. Garis kontur pada daerah sangat curam

Gambar 7. Garis kontur pada curah dan punggung bukit


20

Gambar 8. Garis kontur pada bukit dan cekungan

2.13.4 Kemiringan Tanah dan Kontur Gradient


Kemiringan tanah adalah sudut miring antara dua titik = tan-1(
hAB/sAB). Sedangkan kontur gradient adalah sudut antara permukaan tanah
dan bidang mendatar.

Gambar 9. Kemiringan tanah dan kontur gradient

Titik-titik yang menggambarkan kontur gradient harus dipilih dalam


pengukuran titik detil sehingga dapat dibuat interpolasi linier dalam
penggambaran garis kontur di daerah pengukuran.
2.12.5 Kegunaan Garis Kontur
Selain menunjukkan bentuk ketinggian permukaan tanah, garis kontur juga
dapat digunakan untuk :
21

a. Menentukan potongan memanjang ( profile, longitudinal sections ) antara dua


tempat.
b. Menghitung luas daerah genangan dan volume suatu bendungan.
c. Menentukan route / trace dengan kelandaian tertentu.
d. Menentukan kemungkinan dua titik di langan sama tinggi dan saling terlihat.

Gambar 10. Potongan memanjang dari potongan garis kontur

Gambar 11. Bentuk, luas dan volume daerah genangan berdasarkan garis
kontur.
22

Gambar 12. Rute dengan kelandaian tertentu

Gambar 13. Titik dengan ketinggian sama berdasarkan garis kontur


Penentuan dan Pengukuran Titik Detil Untuk Pembuatan Garis
Kontur
Semakin rapat titik detil yang diamati, maka semakin teliti informasi yang
tersajikan dalam peta.
Dalam batas ketelitian teknis tertentu, kerapatan titik detil ditentukan oleh
skala peta dan ketelitian (interval) kontur yang diinginkan.
Pengukuran titik-titik detil untuk penarikan garis kontur suatu peta dapat
dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
a. Pengukuran Tidak Langsung
Titik-titik detail yang tidak harus sama tinggi, dipilih mengikuti pola tertentu,
yaitu: pola kotak-kotak (spot level), pola profil (grid) dan pola radial. Titik-
titik detil ini, posisi horizontal dan tingginya bisa diukur dengan cara
tachymetri - pada semua medan, sipat datar memanjang ataupun sipat datar
23

profil - pada daerah yang relatif datar. Pola radial digunakan untuk pemetaan
topografi pada daerah yang luas dan permukaan tanahnya tidak beraturan.

Gambar 14. Pengukuran kontur pola spot level dan pola grid

Gambar 15. Pengukuran kontur pola radial


b. Pengukuran Langsung
Titik-titik detil ditelusuri sehingga dapat ditentukan posisinya dalam peta dan
diukur pada ketinggian tertentu - ketinggian garis kontur. Cara pengukurannya
bisa menggunakan cara tachymetri atau cara sipat datar memanjang dan
diikuti dengan pengukuran polygon.
Cara pengukuran langsung lebih rumit dan sulit pelaksanaannya dibanding
dengan cara tidak langsung, namun ada jenis kebutuhan tertentu yang harus
menggunakan cara pengukuran kontur cara langsung, misalnya pengukuran
dan pemasangan tanda batas daerah genangan.
24

Gambar 16. Pengukuran kontur cara langsung


2.12.6 Interpolasi Garis Kontur
Pada pengukuran garis kontur cara langsung, garis-garis kontur sudah
langsung merupakan garis penghubung titik-titik yang diamati dengan ketinggian
yang sama, sedangkan pada pengukuran garis kontur cara tidak langsung
umumnya titik-titik detil itu pada ketinggian sembarang yang tidak sama. Bila
titik-titik detil yang diperoleh belum mewujudkan titik-titik dengan ketinggian
yang sama, maka perlu dilakukan interpolasi linier untuk mendapatkan titik-titik
yang sama tinggi. Interpolasi linier bisa dilakukan dengan cara: taksiran, hitungan
dan grafis.
a. Cara taksiran (visual)
Titik-titik dengan ketinggian yang sama secara visual diinterpolasi dan
diinterpretasikan langsung di antara titik-titik yang diketahui ketinggiannya.

Gambar 17. Interpolasi kontur cara taksiran


25

b. Cara hitungan (numeris)


Cara ini pada dasarnya juga menggunakan dua titik yang diketahui posisi dan
ketinggiannya, hanya saja hitungan interpolasinya dikerjakan secara numeris
(eksak) menggunakan perbandingan linier.
Pada Gambar 4.14 di atas, titik R yang terletak pada garis ketinggian + 600
berada pada jarak BR =( hBR / hBC) jarakBC.
c. Cara grafis
Pada kertas transparan, buat interpolasi dengan membuat garis-garis sejajar
dengan interval tertentu pada selang antara dua titik yang sudah diketahui
ketinggiannya. Kemudian plot salah satu titik pada kertas transparan. Titik ini
kemudian diimpitkan dengan titik yang sama pada kertas gambar dan
keduanya ditahan berimpit sebagai sumbu putar. Selanjutnya putar kertas
transparan hingga arah titik yang lain yang diketahui ketinggiannya terletak
pada titik yang sama pada kertas gambar. Maka dengan menandai perpotongan
garis-garis sejajar denga garis yang diketahui ketinggiannya diperoleh titik-
titik dengan ketinggian pada interval tertentu.
Rumus umum :
r
n 2
r
n2

h 2 2
V = 3 A0 AN 4 A2 r 1 2 A2 r .(i) atau
r 0 r 0

r
n 1
r n

h 2 1

V

A0 AN 2 Ar Ar 1 . Ar 2
(ii) atau
3 r 0 r 1

r
n 1

h 2

V
2
A0 AN 2
r 0
Ar .......... .......... .......... ........(iii )

Catatan :
26

Rumus (i) disebut rumus prisma dan digunakan


apabila n = genap
Rumus (ii) disebut rumus piramida dan digunakan
apabila n = ganjil
Rumus (iii) disebut rumus rata-rata awal dan akhir
dan digunakan apabila n = ganjil
Rumus untuk menghitung volume antara kontur z
dan titik P adalah rumus volume kerucut.
BAB III
TUJUAN DAN PROSEDUR PENGUKURAN
TITIK DETAIL TACHYMETRI

3.1 Tujan Instruksional Umum


Mampu memahami, mendeskripsikan, dan mengaplikasikan cara
menentukan kedudukan planimetris X,Y dan ketinggian Z, dari titik-titik detail
yang diukur dari titik ikatnya yang koordinat titik ikat diperoleh dari pengukuran
polygon, sedangkan ketinggian titik ikat di peroleh dari pengukuran sifat datar
vertikal.

3.2 Tujuan Instruksional Khusus


1. Mahasiswa mampu mendirikan alat theodolit di atas titik ikat dan
mengetengahkan gelembung nivo alat theodolit dengan prinsip pergerakan
2 sekrup kaki kiap ke arah dalam atau keluar saja dan pergerakan 1 sekrup
kaki kiap ke kiri atau kekanan saja.
2. Mahasiswa mampu membidikkan teropong kearah satu titik detail dan
membaca benang atas, benang tengah, dan benang bawah dari rambu pada
titik detail.
3. Mahasiswa mampu melakukan pembacaan sudut horizontal titik detail
yang merupakan arah azimut magnetis dalam bentuk bacaan derajat,
menit, dan detik dan mampu pula melakukan pembacaan sudut vertikal
titik detail berupa sudut zenith atau sudut miring, dimana sudut zenith =
90-sudut miring (sudut miring adalah bacaan sudut vertikal garis bidik
theodolit terhadap arah bidang nivo di bidang horizontal sedangkan sudut
zenith adalah sudut yang dibentuk dari arah sumbu I yang tegak lurus alat
terhadap bidang nivo terhadap garis bidik target titik detail.

27
28

4. Mahasiswa mampu membidik titik-titik yang dianggap titik-titik detail


pada arah horizontal maupun arah vertikal. Informasi pada arah horizontal
dan vertikal ini dijadikan data untuk pembuatan garis kontur, dengan
demikian mahasiswa diharapkan mampu membedakan secara visual
perbedaan perubahan slope terrain (permukaan tanah) atau kemiringan
tanah.
5. Mahasiswa mampu melakukan pengolahan data dari hasil pengukuran
tachymetri di lapangan dan diperoleh koordinat planimetris X,Y, dan Z
titik-titik detail yang diukur.

3.3 Alat dan Bahan


Pesawat Theodolite TOPCON Digital ()
Statif.
Unting-unting.
Benang
Pita Ukur
Payung.
Patok (paku).
Cat dan kuas.
Catatan daftar pengukuran, alat tulis, dan papan dada.
29

Gambar 18. Theodolite Wild


Heerburg Switzerland TO-241557
Gambar 19. Rambu Ukur

Gambar 20. Patok

Gambar 21. Statif

Gambar 22. Unting-Unting


Gambar 23. Pita Ukur

Gambar 24. Cat dan Kuas Gambar 25. Alat Tulis

3.4 Prosedur Pengukuran


Pasang alat dan statif diatas patok dan pasang unting-unting
Ketengahkan gelembung nivo kotak dan tabung lalu ukur tinggi alat
30

Tentukan titik detail yang akan dibidik dengan menempatkan rambu ukur
diketinggian yang berbeda
Baca benang atas, tengah dan bawah dari titik detail tersebut
Posisikan theodolite pada teropong biasa, arahkan ke target kemudian
baca sudut vertikal dan horizontal
Lakukan hal diatas pada titik detail di patok pertama
Pindahkan alat ke patok berikutnya
Lakukan pembacaan Benang Atas, Tengah, Bawah, Sudut vertikal dan
horizontal. Lakukanlah sampai patok terakhir
Pengukuran selesai. Rapihkan alat kemudian kembalikan ke lab survey
dan pemetaan
3.5 Prosedur Pengolahan Data
Siapkan data lapangan tachymetry berupa Bacaan Benang Atas, Benang
Tengah, Benang Bawah, Sudut azimuth (horizontal) dan sudut zenith
(vertikal) serta tinggi alat
Hitung sudut inklinasi dengan rumus :
i = 90 Sudut Vertikal
Catatan : Apabila pembacaan sudut vertikal relatif kecil (0 o 5o) maka
dipastikan sudut tersebut merupakan sudut inklinasi
Menghitung Cos dengan rumus :
= Cos
Catatan : sudut alfa () merupakan bacaan sudut horizontal atau azimuth
Menghitung jarak miring dengan rumus :
D miring = (BA-BB) x 100 x Cos i
Menghitung cos2i dengan rumus :
= cos i x cos i
Menghitung jarak datar dengan rumus :
= (BA-BB) x 100 x cos2i
Menghitung sin2i dengan rumus :
= sin i x sin i
Menghitung Beda Tinggi (H) dengan rumus :
31

H = Tinggi Alat + (BA-BB) x 50 x sin2i BT


Menghitung Koordinat X Pada Titik Detail dengan rumus :
X = (Sin x Jarak Datar) + X1
Catatan : X1 merupakan koordinat yang telah diukur dari pengukuran
Kerangka Dasar Horizontal
Menghitung Koordinat Y Pada Titik Detail dengan Rumus :
Y = (Cos x Jarak Datar) + Y1
Catatan : Y1 merupakan koordinat yang telah diukur dari pengukuran
Kerangka Dasar Horizontal
Menghitung Tinggi Titik (H) dengan rumus :
H = Ti + H
Catatan : Ti merupakan ketinggian yang telah diukur dari pengukuran
Kerangka Dasar Vertikal

3.6 Prosedur Penggambaran


a. Gambar Manual
Siapkan kertas A2 (42 cm x 59,4 cm) dan alat tulis seperti pulpen, pensil,
penghapus, penggaris, dan lain-lain.
Buatlah tata jarak peta meliputi muka peta dan ruang legenda
Hitunglah panjang dan lebar muka peta
Hitunglah skala jarak horizontal dan vertikal
Buatlah sumbu datar dan tegak seperti pada penggambaran polygon KDH
Gambarlah titik-titik detail tersebut dari data X,Y,Z
Untuk membuat kontur, tariklah garis dengan menghubungkan ketinggian
yang sama pada titik koordinat yang sudah di gambar sebelumnya
Buatlah keterangan nilai tinggi pada kontur tersebut serta lengkapi
legenda, informasi skala, dan lain-lain.

b. Gambar Digital
32

Pada proses penggambaran digital menggunakan software Surfer dan


Autodesk Map dengan prosedur :
Olah data lapangan hingga mendapatkan koordinat X,Y, dan Z.
Buka program SURFER.
Klik icon New Worksheet pada toolbar,
Setelah lembar worksheet tampil Copy-kan koordinat X,Y,Z hasil
pengolahan data ke dalam Worksheet tersebut,
Save data koordinat tersebut dalam format .xls (XLS Excel Spreadsheet),
Klik icon New Plot pada toolbar,
Pilih toolbar Grid Data, kemudian buka file koordinat X,Y,Z dalam
format .xls tadi,
Pilih metode kriging kemudian klik OK,
Setelah muncul Gridding Report, close dan save grid data report
tersebut,
Lalu membuat peta kontur setelah melakukan metode grid.
Pilih toolbar Map New Countur Map,
Kemuadian export kontur tersebut kedalam format .dxf (DXF AutoCAD
DXF Drawing),
Untuk membuat kontur tiga dimensi, pilih Map.
Pilih Wireframe lalu pilih data, klik Ok.
Akan muncul kontur tiga dimensi.
Untuk membuat Post Map sama seperti membuat kontur lainnya, pilih
Map.
Pilih Post lalu pilih data, klik Ok.
Akan muncul post map-nya.
Setelah pengerjaan surfer selesai, buka program Autodesk Map,
Langkah pertama ketik pada command bar dxfin - enter ,
Lalu buka data surfer tadi yang telah di export pada surfer,
Kemudian masukan foto citra satelit (diambil dari google earth), dengan
cara pilih pada toolbar Insert Raster Image,
Kemudian masukan koordinat citra satelit kepada foto wilayah lokasi
kita sesuai titik patok dimana kita melakukan pengukuran dengan cara
pilih pada toolbar Map Tools Rubber Sheet.
Klik pada titik / patok pertama kelompokan dan melakukan pengukuran,
kemudian masukan koordinat X dan Y,
Lakukan hal tersebut sampai titik / patok terakhir,
Setelah pemasukan koordinat selesai, klik enter kemudian ketik Select
lalu select object (foto wilayah) tersebut enter,
33

Setelah foto citra satelit terikat pada kontur dan telah sesuai dengan
koordinat yang sebenarnya, mulailah mendigitasi foto citra satelit
tersebut,
Pengolahan data Tachymetri selesai
BAB IV
PELAKSANAAN PRAKTIKUM

4.1 Lokasi Pengukuran


Pengukuran dilaksanakan di daerah Dormitory UPI.

Gambar 26. Lokasi pengukuran

34
35

4.2 Waktu Pengukuran


Hari : Rabu
Tanggal : April 2017
Kegiatan : Pengenalan Alat Tachymetri
Pukul : 13.00 16.00
Lokasi : Helipad FPTK UPI

Hari : Sabtu
Tanggal : April 2017
Kegiatan : Pengukuran titik detail tachymetri
Pukul : 07.30 17.30
Lokasi : Dormitory UPI

4.3 Pelaksanaan Praktikum


Setelah mendapat pengarahan dan pengenalan alat theodolite titik detail
tachymetri, maka saya bersama rekan dari kelompok 1 melaksankan
praktikum pengukuran sipat datar di Dormitory UPI. Adapun langkah-langkah
yang dilakukan :
1. Membaca paduan dan prosedur pelaksanaan praktikum
2. Meminjam alat theodolite dan alat-alat lain yang diperlukan dalam
kegiatan praktikum pengukuran titik detail tachymetry.
3. Setelah ke lapangan, buatlah sketsa pembidikan pada peta yang
sudah di cetak
4. Dalam membuat sketsa pertimbangan jumlah titik detail yang
memiliki ketinggian berbeda
5. Jumlah titik detail yang di bidik minimal 18 titik detail
6. Pembacaan yang dilakukan adalah pembacaan BA,BT,BB, Sudut
Vertikal dan Sudut Horizontal
7. Hasil data di lapangan kami melakukan pengolahan data di
komputer dengan program excel dan menampilkan gambar dengan Auto CAD.
BAB V
PENGOLAHAN DATA

5.1 Data Hasil Pengukuran di Lapangan


Tanggal Pengukuran : 15 April 2017 Cuaca : Cerah
Lokasi Pengukuran : Gymnasium-UPI Diukur Oleh : Kelompok 1
Alat Ukur : Theodolite TOPCON
Digital

Tabel 2. Data Hasil Pengukuran di Lapangan

36
37
38
39
40
41

5.2 Pengolahan Data Tachymetri


Sebagai contoh perhitungan, diambil titik 1 sebagai contoh dan
perhitungan titik lainnya disajikan dalam bentuk tabel pada Lampiran.
A. Titik 1
TA = 1,420 m
Ttitik(awal) = 917,3363 m
XA = 786336,0326
YA = 9241000,848
1. Titik ikat 1
i = 0,844
dA1 = (BA-BB) 100 Cos2 i
= (2,50-2,30) 100 Cos2 (0,99640)
= 19,8565 m
X1 = XA + da1 Sin A1
= 786336,0326 + 19,8565. Sin 271,5375

= 786316.1833 m
Y1 = YA + da1 Cos A1
= 9241000,848 + 19,8565. Cos 271,5375
= 9241001.3807 m
HA1 = TA + ( (BA-BB) 50 . Sin2i- BT
= 1,420 + (2,50-2,30) 50 . Sin2 4,8597 - 2,40
= 0.7082 m
Ttitik = TA + HA1
= 917,3363 + 0,7082
= 918,0445 m

2. Titik ikat 2
i = 4.8597
dA1 = (BA-BB) 100 Cos2 i
= (2,50-2,332) 100 . 0,9929
= 16,6807 m
X2 = XA + da1 Sin A1
= 786336,0326 + 16,6807 . Sin 257,9125
= 786315,031 m
Y2 = YA + da1 Cos A1
= 9241000,848 + 16,6807. Cos 257,9125
42

= 9240997,3549 m
HA1 = TA + ((BA-BB) 50 . Sin2i- BT
= 1,420 + ((2,50 - 2,332) 50 . Sin2 4,8347 - 2,416
= 0,4149 m
Ttitik = TA + HA1
= 917.3363 + 0.4149
= 917.7512 m

3. Titik ikat 3
i = 7,813
dA1 = (BA-BB) 100 Cos2 i
= (2,50 - 2,32) 100 Cos2 (4,3833)
= 17,8949 m
X3 = XA + da1 Sin A1
= 786336,0326 + 17,8949 . Sin 247,647
= 786319.4824 m
Y3 = YA + da1 Cos A1
= 9241000,848 + 17,8949 . Cos 247,647
= 9240994,0423 m
HA1 = TA + ((BA-BB) 50 . Sin2i- BT
= 1,420 + ((2,50 - 2,32) 50 . Sin2 4,3833 - 2,32
= 0,3817 m
Ttitik = TA + HA1
= 917,3363 + 0,3817
= 917,718 m

4. Titik ikat 4
i = 4,7361
dA1 = (BA-BB) 100 Cos2 i
= (2,50 - 2,24) 100 Cos2 (4,7361)
= 11,651 m
X4 = XA + da1 Sin A1
= 786336,0326 + 25,8228 . Sin 243,1125
= 786313,0014 m
43

Y4 = YA + da1 Cos A1
= 9241000,848 + 25,8228. Cos 243,1125
= 9240994,0423 m
HA1 = TA + ( (BA-BB) 50 . Sin2i- BT
= 1,420 + ((2,50 - 2,24) 50 . Sin2 4,7361 - 2,37
= 1,1894 m
Ttitik = TA + HA1
= 917.3363 + 1,1894
= 918,5257 m

5. Titik ikat 5
i = 6,5569
dA1 = (BA-BB) 100 Cos2 i
= (2,50 - 2,36) 100 Cos2 (6,5569)
= 13,8174 m
X5 = XA + da1 Sin A1
= 786336,0326 + 13,8174 . Sin 220,68
= 786327,0261 m
Y5 = YA + da1 Cos A1
= 9241000,848 + 13,8174 . Cos 220,68
= 9240990,3691 m
HA1 = TA + ((BA-BB) 50 . Sin2i- BT
= 1,420 + ((2,50 - 2,36) 50 . Sin2 6,5569 - 2,431
= 0,5782 m
Ttitik = TA + HA1
= 917.3363 + 0,5782
= 917,9145 m

6. Titik ikat 6
i = 1,5972
dA1 = (BA-BB) 100 Cos2 i
= (2,50 2,30) 100 Cos2 (1,5972)
= 19,9845 m
44

X6 = XA + da1 Sin A1
= 786336,0326 + 19,9845 . Sin 197,04
= 786330,1753 m
Y6 = YA + da1 Cos A1
= 9240981,7411 + 19,9845 . Cos 197,04
= 9240965,834 m
HA1 = TA + ((BA-BB) 50 . Sin2i- BT
= 1,420 + ((2,50 - 2,30) 50 . Sin2(1,5972) - 2,427
= -0,4228 m
Ttitik = TA + HA1
= 917.3363 + (-0,4228)
= 916,9135 m

7. Titik ikat 7
i = 1,5792
dA1 = (BA-BB) 100 Cos2 i
= (2,50-2,35) 100 Cos2 (1,57920)
= 14,9886 m
X7 = XA + da1 Sin A1
= 786336,0326 + 14,9886. Sin 185,60
= 786334,5689 m
Y7 = YA + da1 Cos A1
= 9241000,848 + 14,9886. Cos 185,60
= 9240985,9309 m
HA1 = TA + ((BA-BB) 50 . Sin2i- BT
= 1,420 + ((2,50 - 2,35) 50 . Sin2(1,5792) - 2,42
= -0,5908 m
Ttitik = TA + HA1
= 917.3363 + (-0,5908)
= 916,7455 m
45

8. Titik ikat 8
i = 0,71940
dA1 = (BA-BB) 100 Cos2 i
= (2,50 - 2,35) 100 Cos2 (0,71940)
= 14,9976 m
X8 = XA + da1 Sin A1
= 786336,0326 + 14,9976. Sin 117,2028
= 786338,6144 m
Y8 = YA + da1 Cos A1
= 9241000,848 + 14,9976. Cos 117,2028
= 9240986,0742 m
HA1 = TA + ((BA-BB) 50 . Sin2i- BT
= 1,420 + ((2,50 - 2, 35) 50 . Sin2(0,7194) - 2,43
= -0,8177 m
Ttitik = TA + HA1
= 917.3363 + (-0,8177)
= 916,5186 m

9. Titik ikat 9
i = 2,0083
dA1 = (BA-BB) 100 Cos2 i
= (2,50 - 2,389) 100 Cos2 (2,0083)
= 11,2861 m
X8 = XA + da1 Sin A1
= 786336,0326 + 11,2861. Sin 174,8153
= 786341,6144 m
Y8 = YA + da1 Cos A1
= 9241000,848 + 11,2861. Cos 174,8153
= 9240990,8263 m
HA1 = TA + ((BA-BB) 50 . Sin2i- BT
= 1,420 + ((2,50 - 2,389) 50 . Sin2(2,0083) - 2,44
= -0,6282 m
46

Ttitik = TA + HA1
= 917.3363 + (-0,6282)
= 916,7081 m

10. Titik ikat 10


i = 4,8833
dA1 = (BA-BB) 100 Cos2 i
= (2,50 - 2,398) 100 Cos2 (4,8833)
= 10,1261 m
X8 = XA + da1 Sin A1
= 786336,0326 + 10,1261. Sin 137,71
= 786342,8463 m
Y8 = YA + da1 Cos A1
= 9241000,848 + 10,1261. Cos 137,71
= 9240993,3572 m
HA1 = TA + ((BA-BB) 50 . Sin2i- BT
= 1,420 + ((2,50 - 2,398) 50 . Sin2(4,8833) - 2,448
= -0,1629 m
Ttitik = TA + HA1
= 917.3363 + (-0,1629)
= 917,1734 m

11. Titik ikat 11


i = 8,0306
dA1 = (BA-BB) 100 Cos2 i
= (2,50-2,418) 100 Cos2 (8,0306)
= 8,04 m
X2 = XA + da1 Sin A1
= 786336,0326 + 8,04 . Sin 118,78
= 786343,0794 m
Y2 = YA + da1 Cos A1
= 9241000,848 + 8,04 . Cos 118,78
47

= 9240996,9770 m
HA1 = TA + ((BA-BB) 50 . Sin2i- BT
= 1,420 + ((2,50 - 2,418) 50 . Sin2(8,0306) 2,46
= 0,0943 m
Ttitik = TA + HA1
= 917.3363 + 0,0943
= 917,4306 m

12. Titik ikat 12


i = 9,9986
dA1 = (BA-BB) 100 Cos2 i
= (2,50 - 2,412) 100 Cos2 (9,9986)
= 0,9699 m
X3 = XA + da1 Sin A1
= 786336,0326 + 0,9699 . Sin 69,32
= 786344,0173 m
Y3 = YA + da1 Cos A1
= 9241000,848 + 0,9699 . Cos 69,32
= 9241003,8622 m
HA1 = TA + ((BA-BB) 50 . Sin2(9,9986)- BT
= 1,420 + ((2,50 - 2,412) 50 . Sin2i - 2,456
= 0,4687 m
Ttitik = TA + HA1
= 917.3363 + 0,4687
= 917,8050 m

13. Titik ikat 13


i = 11,5944
dA1 = (BA-BB) 100 Cos2 i
= (2,50 - 2,40) 100 Cos2 (11,5944)
= 9,5961 m
X4 = XA + da1 Sin A1
48

= 786336,0326 + 9,5961. Sin 39,64


= 786342,1542 m
Y4 = YA + da1 Cos A1
= 9241000,848 + 9,5961. Cos 39,64
= 9241008,2378 m
HA1 = TA + ((BA-BB) 50 . Sin2i- BT
= 1,420 + ((2,50 - 2,40) 50 . Sin2(11,5944) - 2,45
= 0,9388 m
Ttitik = TA + HA1
= 917.3363 + 0,9388
= 918,2751 m

14. Titik ikat 14


i = 8,6194
dA1 = (BA-BB) 100 Cos2 i
= (2,50 - 2,396) 100 Cos2 (8,6194)
= 10,1664 m
X5 = XA + da1 Sin A1
= 786336,0326 + 10,1664. Sin 11,02
= 786337,9766 m
Y5 = YA + da1 Cos A1
= 9241000,848 + 10,1664. Cos 11,02
= 9241010,8267 m
HA1 = TA + ((BA-BB) 50 . Sin2i- BT
= 1,420 + ((2,50 - 2,396) 50 . Sin2(8,6194) 2,448
= 0,5131 m
Ttitik = TA + HA1
= 917.3363 + 0,5131
= 917,8494 m

15. Titik ikat 15


i = 6,1542
49

dA1 = (BA-BB) 100 Cos2 i


= (2,50 - 2,321) 100 Cos2 (6,1542)
= 17,6943 m
X6 = XA + da1 Sin A1
= 786336,0326 + 17,6943 . Sin 7,75
= 786338,4191 m
Y6 = YA + da1 Cos A1
= 9241000,848 + 17,6943 . Cos 7,75
= 9241018,3805 m
HA1 = TA + ((BA-BB) 50 . Sin2i- BT
= 1,420 + ((2,50 - 2,321) 50 . Sin2(6,1542) 2,41
= 0,9179 m
Ttitik = TA + HA1
= 917,3363 + 0,9179
= 918, 2542 m

16. Titik ikat 16


i = 5,8153
dA1 = (BA-BB) 100 Cos2 i
= (2,50-2,306) 100 Cos2 (5,81530)
= 19,2008 m
X7 = XA + da1 Sin A1
= 786336,0326 + 19,2008. Sin 358,45
= 786335,5137 m
Y7 = YA + da1 Cos A1
= 9241000,848 + 19,2008. Cos 358,45
= 9241020,0417 m
HA1 = TA + ((BA-BB) 50 . Sin2i- BT
= 1,420 + ((2,50 - 2,306) 50 . Sin2(5,8153) - 2,404
= 0,9715 m
Ttitik = TA + HA1
= 917,3363 + 0,9715
50

= 918,3078 m

17. Titik ikat 17


i = 11,71940
dA1 = (BA-BB) 100 Cos2 i
= (2,50 - 2,34) 100 Cos2 (11,71940)
= 15,3399 m
X8 = XA + da1 Sin A1
= 786336,0326 + 15,3399. Sin 319,14
= 786325,9971 m
Y8 = YA + da1 Cos A1
= 9241000,848 + 15,3399. Cos 319,14
= 9241012,4497 m
HA1 = TA + ((BA-BB) 50 . Sin2(11,7194)- BT
= 1,420 + ((2,50 - 2,34) 50 . Sin2i - 2,419
= 2,1832 m
Ttitik = TA + HA1
= 917,3363 + 2,1832
= 919,5195 m

18. Titik ikat 18


i = 11,9111
dA1 = (BA-BB) 100 Cos2 i
= (2,50 - 2,35) 100 Cos2 (11,9111)
= 14,361 m
X8 = XA + da1 Sin A1
= 786336,0326 + 14,361. Sin 297,20
= 786323,2601 m
Y8 = YA + da1 Cos A1
= 9241000,848 + 14,361. Cos 297,20
= 9241007,4132 m
HA1 = TA + ((BA-BB) 50 . Sin2(11,9111)- BT
51

= 1,420 + ((2,50 - 2, 35) 50 . Sin2i - 2,425


= 2,0243 m
Ttitik = TA + HA1
= 917,3363 + 2,0243
= 913,158 m
52

BAB VI
PENUTUP

6.1. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa pengukuran titik-titik detail tachymetri
merupakan cara yang paling banyak digunakan dalam praktik, terutama dalam
pemetaan daerah yang luas dan bentuknya tidak beraturan.
Pada arah-arah garis di lapangan diukur dengan jarum kompas dan
jaraknya diukur dengan benang silang diafragma pengukur jarak yang terdapat
pada teropong. Selain itu, dapat diukur pula besarnya sudut tegak sehingga jarak
mendatar dan beda tinggi dapat dihitung. Dengan cara ini titik-titik detail dapat
diukur dari titik penolong.
Berdasarkan isi laporan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan
ssebagai berikut:
a. Pengukuran di sekitar DORMITORY UPI dengan jumlah patok 14;
b. Alat yang digunakan yaitu Theodolite Topcon Digital;
c. Besaran-besaran yang diukur yaitu azimuth, jarak, dan sudut tegak;
d. Jumlah titik detail yang kami ukur sebanyak 258 titik detail;
e. Hasil koordinat awal yaitu 786232.5265; 9241046.258.

6.2. Saran
Untuk mminimalisir kesalahan yang mungkin terjadi saat pengukuran
titik-titik detail Tachymetri maka kita mengikuti prosedur-prosedur yang ada (step
by step). Mulai dari mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan, membaca dahulu
prosedur pengukuran, prosedur pengolahan data, dan prosedur penggambaran.
DAFTAR PUSTAKA

Purwaamijaya, Iskandar Muda. (2008). Teknik Survei dan Pemetaan Jilid 1


Untuk SMK. Jakarta: Direktorat Pembiaan SMK.

Purwaamijaya, Iskandar Muda. (2017). Petunjuk Praktikum Ilmu Ukur Tanah.


Bandung: Laboratorium Survei dan Pemetaan DPTS FPTK UPI

Anda mungkin juga menyukai