Anda di halaman 1dari 142

LAPORAN PENILAIAN PERFORMA

PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP


DENGAN INDIKATOR EAFM
(Ecosystem Approach to Fishereis Management)

Kabupaten Wakatobi
Propinsi Sulawesi Tenggara

Tim Kerja EAFM / Penyusun:

Learning Center EAFM


Universitas Halu Oleo

Kerja Sama Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Halu Oleo


Dengan WWF-Indonesia

TAHUN 2016

0
1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Kabupaten Wakatobi berada dalam gugusan pulau-pulau di jazirah Tenggara


Kepulauan Sulawesi Tenggara, tepatnya di sebelah Tenggara Pulau Buton. Secara
astronomis Kabupaten Wakatobi terletak pada bagian selatan garis khatulistiwa,
membentang dari Utara ke Selatan pada posisi garis lintang 5º12’ – 6º25’ Lintang Selatan
(sepanjang kurang lebih 160 km) dan garis bujur 123º20’ – 124º39’ Bujur Timur (sepanjang
kurang lebih 120 km).
Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah
diamanatkan oleh Undang-Undang No 31/2004 yang ditegaskan kembali pada perbaikan
undang-undang tersebut yaitu pada Undang-Undang No 45/2009. Dalam konteks adopsi
hukum tersebut, pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai semua upaya, termasuk
proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan
hukum dari peraturan-peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan
oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan
produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga
dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan
ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial
ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri (Charles, 2001).
Terkait dengan tiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan saat ini masih belum
mempertimbangkan keseimbangan ketiga dimensi tersebut, di mana kepentingan
pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar
dibanding dengan misalnya kesehatan ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan yang
dilakukan masih parsial belum terintegrasi dalam kerangka dinamika ekosistem yang
menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan. Dalam konteks ini lah,
pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan
(ecosystem approach to fisheries management, selanjutnya disingkat EAFM) menjadi
sangat penting.
Wakatobi sebagai wilayah kepulauan di Sulawesi Tenggara dikaruniai dengan
ekosistem perairan tropis memiliki karakterstik dinamika sumberdaya perairan, termasuk di
dalamnya sumberdaya ikan, yang tinggi. Tingginya dinamika sumberdaya ikan ini tidak
terlepas dari kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang telah
menjadi salah satu ciri dari ekosistem tropis. Dalam konteks ini, pengelolaan perikanan

1
yang tujuan ultimatnya adalah memberikan manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi
masyarakat tidak dapat dilepaskan dari dinamika ekosistem yang menjadi media hidup bagi
sumberdaya ikan itu sendiri. Gracia and Cochrane (2005) memberikan gambaran model
sederhana dari kompleksitas sumberdaya ikan sehingga membuat pendekatan terpadu
berbasis ekosistem menjadi sangat penting.
Kabupaten Wakatobi merupakan kawasan konservasi Taman Nasional terletak pada
posisi geografis antara 50° 12´– 6° 10´ Lintang Selatan dan 123° 20´ - 124° 39´ Bujur Timur.
Wilayah timur berbatasan dengan Laut Banda, barat berbatasan dengan Pulau Buton dan
Laut Flores, utara berbatasan dengan laut Banda dan selatan berbatasan dengan laut
Flores. Secara keseluruhan Kabupaten Wakatobi memiliki luas daratan 823 km², dengan
panjang garis pantai kurang lebih 315 km dan memiliki 30 pulau terdiri 10 pulau terhuni dan
20 pulau tidak terhuni. Secara administrasi Kabupaten Wakatobi memiliki 5 Kecamatan dan
52 desa pantai dengan luas perairan diperkirakan 55.131 km².
Kabupaten Wakatobi merupakan kawasan konservasi Taman Nasional terletak pada
posisi geografis antara 50° 12´– 6° 10´ Lintang Selatan dan 123° 20´ - 124° 39´ Bujur Timur.
Wilayah timur berbatasan dengan Laut Banda, barat berbatasan dengan Pulau Buton dan
Laut Flores, utara berbatasan dengan laut Banda dan selatan berbatasan dengan laut
Flores. Secara keseluruhan Kabupaten Wakatobi memiliki luas daratan 823 km², dengan
panjang garis pantai kurang lebih 315 km.

Kabupaten Wakatobi memiliki potensi sumberdaya perikanan baik ikan pelagis


maupun ikan demersal termasuk ikan karang didalamnya. Kebijakan yang berdampak
berkelanjutannya sektor kelautan dan perikanan sudah menjadi urgensi dalam setiap sendi
kebijakan daerah. Melalui kajian EAFM yang bersifat komprehensif, meliputi domain
Sumberdaya ikan, Teknologi Penangkapan, Habitat dan ekosistem, Sosial, Ekonomi dan
Kelembagaan diharapkan dapat menggambarkan performa pengelolaan perikanan
berbasis ekosistem yang diterapkan di kabupaten Wakatobi.

TNW memiliki keistimewaan yang terletak pada keindahan bawah laut,


keanekaragaman biota laut dan terumbu karangnya, karena kawasan ini terletak di tengah
kawasan segitiga karang dunia. Tercatat sebanyak 396 jenis karang keras berterumbu
(scleractanian hermatripic), 10 spesies karang keras tak-berterumbu (scleractanian
ahermatripic), 28 genera karang lunak, dan 31 spesies karang fungi di TNW. Sebanyak 590
spesies ikan ditemukan di Wakatobi, bahkan hasil ekstrapolasi menggunakan Coral Fish
Diversity Index, diperkirakan ikan karang di Wakatobi mencapai 942 spesies (WWF-TNC,
2003). Keanekaragaman jenis lamun juga termasuk tinggi dengan ditemukan 11 spesies

2
lamun di perairan Wakatobi dari 12 spesies yang ada di Indonesia (Sahri dan Subhan, in
prep). Dengan demikian, tidak mengherankan jika dilihat dari keragaman hayati lautnya,
ukuran atau skala, serta kondisi terumbu karangnya, TNW termasuk dalam prioritas
tertinggi dalam pelestarian laut di Indonesia.

Penilaian EAFM merupakan salah satu alat pengukur dalam melihat kondisi
pengelolaan perikanan disuatu daerah, terdapat 6 Domain yang terdiri atas 31 indikator.
Melalui analisis indikator EAFM ini, diharapkan dapat memeberikan gambaran status dan
kondisi perikanan, khususnya perikanan tuna dan perikanan karang sebagai baseline data
bagi pemerintah baik itu di KKP pusat dan pemerintah Kabupaten Wakatobi sebagai dasar
pengelolaan perikanan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat pesisir dan
sekitarnya.

Berikut merupakan gambaran status dan performa sumberdaya perikanan khususnya


ikan karang dan tuna di Kabupaten Wakatobi berdasarkan hasil analisis indeks dekomposit
indikator EAFM pada tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel.1. Status dan Performa Sumberdaya Perikanan Karang di Kabupaten Wakatobi
Tahun 2012
Domain Nilai Komposit Deskripsi

Sumberdaya Ikan 180 Sedang


Habitat & ekosistem 257.5 Baik Sekali
Teknik Penangkapan Ikan 210 Baik
Sosial 200 Sedang
Ekonomi 185 Sedang
Kelembagaan 209.1 Baik
Aggregat 206.9 Baik *
* kategori baik.
Pada Tabel 1 terlihat bahwa performa perikanan karang tahun 2012 di Kabupaten
Wakatobi secara keseluruhan dari domain dan indikator EAFM adalah dalam kondisi baik.
Dari analisi indikator untuk setiap domain maka terlihat bahwa nilai komposit tertinggi
terdapat pada domain habitat dan ekosistem dan terendah adalah domain: sumberdaya
ikan, sosial dan ekonomi. Walaupun performa perikanan karang menunjukkan kondisi yang
baik namun perlu ada perbaikan pengolaan perikanan karang khususnya pada setiap
domain agar dapat ditingkatkan pada performa sangat baik untuk setiap domain.

3
Tabel.2. Status dan Performa Sumberdaya Perikanan Tuna di Kabupaten Wakatobi
Tahun 2012
Domain Nilai Komposit Deskripsi

Sumberdaya Ikan 270 Baik Sekali


Habitat & ekosistem 257.5 Baik Sekali
Teknik Penangkapan Ikan 235 Baik
Sosial 200 Sedang
Ekonomi 200 Sedang
Kelembagaan 209.1 Baik
Aggregat 228.6 Baik *
* kategori baik.
Pada Tabel 2 terlihat bahwa performa perikanan tuna tahun 2012 di Kabupaten
Wakatobi secara keseluruhan dari domain dan indikator EAFM adalah dalam kondisi baik.
Setiap domain yang berdasarkan kriteria masing-masing indikator domain pada domain
habitat & ekosistem, sumberdaya ikan, teknik penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan
kelembagaan menunjukkan bahwa nilai komposit tertinggi terdapat pada domain habitat
dan ekosistem dan sumberdaya ikan dengan status sangat baik sedangkan nilai terendah
adalah domain sosial dan ekonomi dengan status: sedang.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas WWF-South East Sulawesi Sub Seascape
program akan dilaksanakan kegiatan survei lapangan untuk mengumpulkan infromasi
terkini perihal data indikator baik data primer maupun sekunder untuk melihat
perkembangan pengelolaan perikanan karang dan tuna sejak tahun 2012.

2. Tujuan
Tujuan kegiatan ini adalah :
1. Pembaharuan status penilaian indikator EAFM di Kabupaten Wakatobi
2. Sosialisasi hasil update data performa EAFM Kab.Wakatobi
3. Hasil
Adapun hasil yang diharapkan dari pertemuan ini adalah :
1. Adanya update hasil penilaian EAFM di Kab. Wakatobi.
2. Adanya Rencana kegiatan tindak lanjut untuk peningkatan performa EAFM dalam
mendukung Pengelolaan Perikanan yang berkelanjutan di Kabupaten Wakatobi.
4. Sekilas Kondisi Perikanan Wakatobi
Kegiatan perikanan di kabupaten Wakatobi merupakan sumber mata pencaharian
sebagian besar masyarakat pesisir. Kegiatan perikanan tangkap merupakan bidang
perikanan yang utama, sedangkan kegiatan budidaya laut yang menonjol hanyalah
budidaya rumput laut. Sumberdaya perikanan yang dimanfaatkan adalah ikan-ikan pelagis

4
kecil seperti layang, kembung, selar, tongkol, kuweh, terbang, dan julung-julung, dan
pelagis besar seperti cakalang dan tuna, serta ikan demersal utamanya ikan-ikan karang.
Beberapa jenis hewan lunak seperti gurita dan teripang juga memberi kontribusi yang cukup
signifikan pada produksi perikanan. Produksi ikan laut di Kabupaten Wakatobi diperlihatkan
pada Tabel 3

Tabel 3. Produksi Perikanan Tangkap Kabupaten Wakatobi Tahun 2012.


Produksi
Udang
Cumi-
Ikan Tuna dan
Cumi dan
No Kecamatan dan Jenis Binatang Jumlah
Binatang
Ikan Laut Berkulit
Lunak
Lain Keras
Lainnya
Lainnya
1 Wangi-Wangi 1.538,0 0,7 64,6 1.603,3
Wangi-Wangi
2 Selatan 1.551,9 2,5 173,8 728,2
3 Kaledupa 791,6 0,6 67,4 859,6
4 Kaledupa Selatan 737,9 0,5 43,5 781,9
5 Tomia 867,4 0,5 61,2 929,1
6 Tomia Timur 795,7 0,6 53,2 849,5
7 Binongko 442,1 0,2 16,1 458,4
8 Togo Binongko 295,9 0,2 17,6 313,7
Total 7.020,5 5,8 497,4 7.523,
Sumber : Kab. Wakatobi dalam Angka Tahun 2013

Produksi perikanan tangkap pada tahun 2012 mencapai 7.523,7 ton dengan produksi
tertinggi terdapat di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan yang mencapai 1.603,3 ton atau
sekitar 23 persen dari total produksi Kabupaten, dan Kecamatan Wangi-Wangi sebanyak
1.603,3 ton atau 21,3 persen. Secara keseluruhan, produksi ikan tuna dan jenis ikan laut
lainnya lebih dominan dari produksi jenis komoditas lain yakni sebanyak 7.020,5 ton
sedangkan produksi udang dan binatang berkulit keras lainnya, cumi-cumi dan binatang
lunak lainnya masing-masing sebanyak 5,8 ton dan 497,4 ton.

Berdasarkan data statistik, pada tahun 2013, jumlah nelayan tangkap di Kabupaten
Wakatobi adalah 5.894 KK atau sekitar 23,9 persen dari total rumah tangga penduduk yang
tersebar pada seluruh pulau dan kecamatan se Kabupaten Wakatobi. Persebaran
mayoritas nelayan tangkap diidentifikasi berdasarkan lokasi desa yang dapat dilihat pada
Tabel 4. di bawah ini.

5
Tabel 4. Persebaran Nelayan Tangkap dan Jenis Hasil Tangkapan di Kabupaten
Wakatobi.
Jenis Hasil
No. Kecamatan Desa/Kelurahan
Tangkapan
1. Wangi-Wangi - Wandoka - Pelagis Besar
- Sombu - Pelagis Kecil
- Waha
- Patuno
- Waelumu
2. Wangi-Wangi Selatan - Liya Mawi - Pelagis Besar
- Liya Togo - Pelagis Kecil
- Mola Selatan - Demersal
- Mola Utara
- Wisata Kolo
- Mola Samaturu
- Mola Bahari
- Mola Nelayan
- Bakti
- Kabita Togo
3. Kaledupa - Sama Bahari - Pelagis Besar
- Mantigola - Pelagis Kecil
makmur - Demersal
- Waduri
- Balasuna
- Balasuna Selatan
- Sombano
- Ollo
- Horuo
4. Kaledupa Selatan - Tanomeha - Pelagis Besar
- Darawa - Pelagis Kecil
- Tanjung - Demersal
5. Tomia - Waitii Barat - Pelagis Kecil
- Lamanggau - Demersal
- Onemay
- Waha
- Kollo Soha
6. Tomia Timur - Tongano Barat - Pelagis Kecil
- Tongano Timur - Demersal
- Timu
- Kulati
- Wawotimu
7. Binongko - Taipabu - Pelagis Kecil
- Wali - Demersal
- Lagongga
- Kampo-Kampo
- Makoro
- Jaya Makmur
8. Togo Binongko - Waloindi - Pelagis Kecil
- Popalia - Demersal
- Sowa
Sumber : Wakatobi Dalam Angka dan Hasil Survay Tahun 2014.

6
Wilayah persebaran nelayan tangkap seperti disajikan pada Tabel 4. adalah wilayah
dimana nelayannya mayoritas melakukan penangkapan baik jenis ikan pelagis besar
(Tuna, Cakalang, tongkol, Tengiri, dsb.) dan pelagis kecil (layang, kembung, sardin, dll)
maupun jenis ikan demersal atau ikan dasar seperti kerapu, kakap, dan sebagainya.
Nelayan yang mayoritas menagkap ikan pelagis besar tersebar di beberapa kecamatan
seperti Wangi-Wangi (Wandoka, Waha, Sombu, Patuno dan Waelumu), Kecamatan Wangi-
Wangi Selatan (Mola Samaturu, Mola Bahari, Mola Nelayan Bakti, Mola Selatan, Mola
Utara), Kecamatan Kaledupa (Sama bahari, Mantigola Makmur), dan Kaledupa Selatan
(Desa Tanjung). Sedangkan desa-desa lainnya seperti tercantum dalam Tabel 4. adalah
mayoritas sebagai nelayan tangkap ikan demersal atau ikan dasar.

Taman Nasional Laut Wakatobi

Kawasan Kepulauan Wakatobi dan perairan di sekitarnya seluas ± 1.390.000 Ha


ditunjuk sebagai Taman Nasional berdasarkan SK Menhut No. 393/Kpts-VI/1996, tanggal
30 Juli 1996 dan telah ditetapkan berdasarkan SK Menhut No. 7651/Kpts-II/2002, tanggal
19 Agustus 2002, terdiri dari 4 (empat) pulau besar (Pulau Wangi-Wangi, Pulau Kaledupa,
Pulau Tomia dan Pulau) yang terbagi menjadi 5 (lima) kecamatan dalam wilayah
administratif Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.
Taman Nasional Wakatobi (TNW) dikelola dengan sistem zonasi, yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No.
198/Kpts/DJVI/1997 tanggal 31 Desember 1997, terdiri atas: zona inti, zona pelindung,
zona rehabilitasi, zona pemanfaatan, dan zona pemanfaatan tradisional. Rumusan zonasi
TNW diuraikan sebagai berikut:

1. Zona Inti (Core Zone), bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik
biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak
dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang
asli dan khas.
Zona inti yang hanya terdapat di sebagian Pulau Moromaho memiliki potensi dan
keterwakilan sumberdaya penting yaitu ekosistem mangrove, habitat burung, dan
pantai peneluran penyu yang mutlak dilindungi dan tertutup dari berbagai macam
aktivitas manusia untuk menjaga keutuhan dan kelestarian ekosistem asli dan fungsi
ekologisnya. Zona inti TNW meliputi wilayah perairan dan sebagian daratan Pulau
Moromaho seluas ± 1.300 ha (0,09 persen).
2. Zona Perlindungan Bahari (No Take Zone), adalah bagian taman nasional yang
karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian
pada zona inti dan zona pemanfaatan.

7
Zona perlindungan bahari di TNW memiliki potensi dan keterwakilan sumberdaya
penting yaitu ekosistem mangrove, daerah pemijahan ikan (SPAGS), pantai peneluran
penyu, keterwakilan ekosistem karang penghalang (barrier reef), keterwakilan
ekosistem karang cincin (atoll) yang harus dilindungi untuk menjaga keutuhan dan
kelestarian keterwakilan ekosistem asli dan fungsi ekologisnya serta mendukung zona
inti.
Zona perlindungan bahari TNW meliputi sebagian wilayah karang penghalang bagian
timur Pulau Wangi-Wangi, karang Pasiroka, bagian Utara dan Timur Pulau Kaledupa,
perairan bagian Selatan Pulau Lentea Utara, perairan bagian Utara Pulau Darawa,
bagian Selatan Karang Tomia/Kaledupa, pantai dan perairan Pulau Anano, perairan
bagian Tenggara Pulau Runduma, karang Runduma, perairan Pulau Kenteole,
perairan Pulau Cowo-Cowo/Tuwu-Tuwu, karang Koko dan perairan Pulau Moromaho
(di luar zona inti) seluas ± 36.450 ha (2,62 persen).
3. Zona Pariwisata (Tourism Zone), adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi
dan potensi alamnya yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam
dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.
Zona pariwisata di TNW memiliki potensi dan keterwakilan sumberdaya penting yang
merupakan daya tarik wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan lainnya berupa
ekosistem mangrove, daerah pemijahan ikan (SPAGS), pantai pasir putih Pulau Hoga,
keterwakilan ekosistem karang penghalang (barrier reef), keterwakilan ekosistem
karang cincin (atoll) dan keterwakilan ekosistem karang tepi (fringing reef) yang harus
dilindungi untuk menjaga keutuhan dan kelestarian keterwakilan ekosistem asli dan
fungsi ekologisnya serta mendukung zona inti.
Zona pariwisata TNW meliputi wilayah perairan bagian Timur Pulau Wangi-Wangi
(barrier reef), perairan dan pantai bagian Barat Pulau Hoga, perairan Tanjung
Sombano, mangrovedi pesisir Sombano-Mantigola Pulau Kaledupa, mangrove di
pesisir Pulau Darawa, perairan bagian Barat Waha Pulau Tomia, perairan sekitar Pulau
Tolandono Tomia (Onemobaa), dansebagian wilayah bagian Tengah ke arah Selatan
karang Koromaho, karang bagian Barat,Utara dan Selatan karang Tomia, bagian
Tenggara karang Kapota, perairan bagian Utaradan Selatan Pulau Binongko serta
Karang Otiolo yang merupakan lokasi di wilayah perairan Kepulauan Wakatobi yang
selama ini telah menjadi daerah tujuan wisata serta menjadi sasaran pengembangan
pariwisata Kabupaten Wakatobi seluas 6.180 ha (0,44%).
4. Zona Pemanfaatan Lokal (Local Using Zone) adalah zona yang dapat dikembangkan
dan dimanfaatkan terbatas secara tradisional untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari
bagi masyarakat sekitarnya yang biasanya menggantungkan hidupnya pada sumber
daya alam laut.

8
Zona pemanfaatan lokal memiliki kekayaan sumberdaya alam laut berupa ikan karang,
ikan pelagis dan biota laut ekonomis lainnya yang dapat dikembangkan untuk usaha
perikanan karang dan perikanan tangkap laut dalam bagi masyarakat Wakatobi
berdasarkan ketentuan yang berlaku. Zona pemanfaatan lokal TNW meliputi sebagian
besar wilayah perairan pesisir pulau-pulau di Kepulauan Wakatobi selain peruntukan
zona lainnya dalam radius ± 4 mil dari Pulau Wangi-Wangi, Pulau Kaledupa, Pulau
Tomia, Pulau Binongko, Pulau Runduma, Pulau Kapota, Pulau Komponaone, Pulau
Nuabalaa, Pulau Nuaponda, Pulau Matahora, Pulau Sumanga, Pulau Oroho, Pulau
Ndaa dan serta sebagian besar wilayah karang Kapota, karang Kaledupa/Tomia, dan
bagian Tengah ke arah Utara karang Koromaho seluas 804.000 ha (57,84 persen).
5. Zona Pemanfaatan Umum (Common Using Zone) adalah zona yang diperuntukan
bagi pengembangan dan pemanfaatan perikanan laut dalam. Zona pemanfaatan
umum memiliki kekayaan sumberdaya alam laut berupa ikan pelagis yang dapat
dikembangkan untuk usaha perikanan tangkap laut dalam bagi masyarakat Wakatobi
maupun bagi nelayan atau pengusaha perikanan dari luar Wakatobi berdasarkan
ketentuan yang berlaku.
Zona pemanfaatan umum TNW meliputi sebagian besar wilayah perairan di luar radius
± 4 mil dari pulau-pulau dan gugusan terumbu karang di Wakatobi seluas 495.700 ha
(35,66 persen).
6. Zona Daratan/Khusus (Land Zone) adalah wilayah daratan berupa pulau-pulau yang
berpenduduk dan telah terdapat hak kepemilikan atas tanah oleh masyarakat atau
kelompok masyarakat yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai
taman nasional dimana pengaturannya akan dilakukan lebih lanjut melalui rencana tata
ruang wilayah kabupaten. Cakupan zona daratan/khusus meliputi Pulau Wangi-Wangi
dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, Pulau Binongko,
Pulau Runduma, Pulau Anano, Pulau Kapota, Pulau Komponaone, Pulau Hoga, Pulau
Lentea, Pulau Darawa, Pulau Lentea Selatan, Pulau Sawa, Pulau Kenteole, Pulau
Tuwu-Tuwu, dan sebagian Pulau Moromaho seluas± 46.370 ha (3,34 persen).

Peta Pembagian zonasi Taman Nasional Kabupaten Wakatobi sebagaimana


diuraikan di atas dapat dilihat pada Gambar 1.

9
Gambar 1
. Peta Zonasi Taman Nasional Kabupaten Wakatobi.

5. Metode Penilaian Performa Indikator EAFM

5.1. Pengumpulan data

Lokasi pelaksanaan pilot test EAFM di laksanakan di Kabupaten Wakatobi dan untuk
pengumpulan data dilakukan mulai tanggal 14 Mei – 27 Mei 2016. Pengumpulan data
primer dilakukan melalui survei dan pengamatan langsung serta wawancara di lapangan
pada sejumlah responden yang berkaitan dengan aktivitas perikanan ikan karang dan ikan
tuna. Pengumpulan data sekunder perikanan yanng dimaksud lebih diprioritaskan di Dinas
Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Tenggara, Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Wakatobi, Balai Taman Nasional Wakatobi, WWF-TNC Wakatobi.. Data
sekunder yang dikumpulkan berupa Laporan Tahunan dan Statistik Perikanan Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi sejak tahun 2012 – 2014. Sedangkan data-
data lain yang tidak dapat diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan khususnya yang
terkait dengan ketujuh domain EAFM berupa laporan hasil-hasil penelitian yang telah di
publish oleh WWF Wakatobi, Hasil Penelitian Universitas Haluoleo sejak tahn 2012 – 2015.

Pengumpulan data yang berkaitan dengan Domain Habitat dan Ekosistem bersumber
dari hasil-hasil penelitian baik telah terpublikasi dalam bentuk jurnal maupun laporan-

10
laporan penelitian dan dokumen yang relevan khusunya yang mengkaji mengenai
sumberdaya perikanan dan perairan pesisir dan laut Kabupaten Wakatobi.

Selain melakukan pengumpulan data sekunder tersebut, dilakukan pula pengumpulan


informasi melalui wawancara. Wawancara ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu
wawancara yang dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang kelembagaan dan
sebagai respondennya adalah Kepala Bidang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kepala Bidang
Pengawasan, Coremap II Dinas Kelautan dan Perikanan Wakatobi, Kepala Balai Taman
Nasional Wakatobi, Kepala Desa di lingkungan lokasi target survei di Kabupaten Wakatobi.

Kelompok kedua yang menjadi responden adalah nelayan sebagai sumber informasi
dilapangan pada setiap desa nelayan atau penduduknya mayoritas sebagai nelayan,
dimana responden nelayan ini mewakili tiga kelompok nelayan yaitu nelayan ikan tuna,
nelayan ikan karang dan nelayan umum atau lainnya. Setiap kelompok nelayan di tentukan
respoden sejumlah 5 orang. Pelaksanaan wawancara tersebut didukung dan dilaksanakan
oleh rekan-rekan dari WWF Kabupaten Wakatobi yang dilaksanakan sejak tanggal 14 Mei
– 27 Mei 2016. Adapun sebaran jumlah responden pada setiap desa pesisir target tertera
pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Jumlah Responden Berdasarkan Desa Nelayan Target Setiap Kecamatan


Jumlah
Kecamatan Desa RTP Nelayan Responden
1. Mola Bahari 5
2. Mola Nelayan Bakti 5
3. Mola Samaturu 219 5
Wangi-Wangi
4. Mola Selatan 5
5. Mola Utara 5
6. Kapota/Kollo 5
7. Wapia-pia 5
8. Waha 5
9. Koroe 5
10. Waelumu 5
Wangi-Wangi
11. Patuno 309 5
Selatan
12. Sombu/Wandoka 5
13. Longa 5
14. Sousu 5
15. Matahora 5
16. Sama Bahari 5
17. Mantigola 5
18. Tanomeha 5
Kaledupa dan 19. Balasuna 5
705
Kaledupa Selatan 20. Darawa 5
21. langge 5
22. Lentea 5
23. Lewuto 5

11
Jumlah
Kecamatan Desa RTP Nelayan Responden
24. Peropa 5
25. Sombano 5
26. Lamanggau 5
27. Kolosoha 5
28. Onemay 5
29. Waha 5
30. Tongano Barat 5
31. Waitii 326 5
32. Waitii Barat 5
33. Kulati 5
34. Patipelong 5
Tomia dan Tomia 35. Timu 5
Timur 36. Teemoane 5
37. Runduma 10
38. Patua 1/2 5
Tomia dan Tomia 39. Tongano Timur 5
Timur 40. Kahianga 5
41. Wawo Timu 5
42. Dete 5
43. Lagongga 5
44. Kampo-Kampo 5
45. Jaya Makmur 5
46. Wali 5
47. Rukua 5
Binongko dan Togo 48. Palahidu 5
102
Binongko 49. Makoro/Taipabu 5
50. Waloindi 5
51. Oihu 5
52. Sowa/Popalia 5
53. Palahidu Barat 5
54. Haka 5
Jumlah 1830 275

Adapun pengumpulan data untuk penilaian status indikator setiap domain yang menjadi
fokus penilaian ini, sebagai berikut :

a. Indikator Domain Sumberdaya Ikan

Indikator Sumber data Kriteria


Kondisi Perikanan Di Wilaya Coremap II 1 = CPUE baku menurun tajam
CPUE Baku Kab. Wakatobi Tahun 2011 dan
2 = CPUE baku menurun sedikit
(Standarize CPUE) Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan
Nelayan) 3 = CPUE baku stabil atau meningkat
1 = trend ukuran rata-rata ikan yang
ditangkap semakin kecil
Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan
Ukuran Ikan
Nelayan) 2 = trend ukuran relatif tetap
3 = trend ukuran semakin besar

12
Indikator Sumber data Kriteria
1 = banyak sekali (> 60 %)
Proporsi Ikan Yuwana
Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan
(Juvenile) yang 2 = banyak (30 – 60 %)
Nelayan)
ditangkap
3 = sedikit (<30 %)
1 = proporsi target lebih sedikit
Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan 2 = proporsi target sama dengan non-
Komposisi Spesies
Nelayan) target
3 = proporsi target lebih banyak
1 = semakin Sulit
2 = relatif tetap
DKP Kab. Wakatobi 2010 dan 3 = makin mudah
"Range Collapse"
Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan
sumberdaya Ikan 1 = fishing ground menjadi sangat jauh
Nelayan)
2 = fishing ground jauh
3 = fishing ground relatif tetap jaraknya.
1 = banyak tangkapan spesies ETP
Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan 2 = sedikit tangkapan spesies ETP
Spesies ETP
Nelayan)
3 = tidak ada spesies ETP yang
tertangkap

b. Indikator Domain Habitat dan Ekosistem

Indikator Sumber data Kriteria


Limbah yang reidentivikasi secara klinis,
audio/visual
1 = tercemar
2 = tercemar sedang
3 = tidak tercemar
Tingkat kekeruhan

Data skunder : Hasil penelitian 1 = > 20 mg/m3 konsentrasi tinggi


baik telah dipublikasikan maupun 2 = 10 – 20 mg/m3 konsentrasi sedang
Kualitas perairan
tidak terpublikasi, laporan dan
dokumen yang relevan. 3 = < 10 mg/m3 konsentrasi rendah
Eutrofikasi
1 = konsentrasi klorofil a > 10 mg/m3 terjadi
eutrofikasi.
2 = konsentrasi klorofil a 1 - 10 mg/m3 potensi
terjadi eutrofikasi.
3 = konsentrasi klorofil a < 1 mg/m3tidak
terjadi eutrofikasi
1 = tutupan rendah, :5 29,9 %
Data skunder : Hasil penelitian 2 = tutupan sedang, 30–49,9 %.
baik telah dipublikasikan maupun
Status lamun 3 = tutupan tinggi ;: 50 %
tidak terpublikasi, laporan dan
dokumen yang relevan. 1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau
H' < 1)

13
Indikator Sumber data Kriteria
2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97
atau 1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau
H’>3)
1 = kerapatan rendah, <1000 pohon/ha,
tutupan <50%;
2 = kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha,
tutupan 50-75%;
3 = kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha,
tutupan >75%
1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau
H' < 1)
2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97
atau 1<H’<3);
Data skunder : Hasil penelitian
baik telah dipublikasikan maupun 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau
Status Mangrove H’>3)
tidak terpublikasi, laporan dan
dokumen yang relevan.
Kriteria Luasan :
1= luasan mangrove berkurang dari data
awal;
2= luasan mangrove tetap dari data awal; 3=
luasan mangrove bertambah dari data
awal
1 = INP rendah;
2 = INP sedang;
3 = INP tinggi;
1 = tutupan rendah, < 25 %
2 = tutupan sedang, 25 – 49,9 %.
3 = tutupan tinggi > 50 %
Data skunder : Hasil penelitian
Status Terumbu baik telah dipublikasikan maupun 1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau
Karang tidak terpublikasi, laporan dan H' < 1)
dokumen yang relevan. 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97
atau 1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau
H’>3)
1 = tidak diketahui adanya habitat
Habitat unik/khusus unik/khusus;
Data skunder : Hasil penelitian
(spawning ground,
baik telah dipublikasikan maupun 2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi
nursery ground,
tidak terpublikasi, laporan dan tidak dikelola dengan baik;
feeding ground,
dokumen yang relevan.
upwelling). 3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan
dikelola dengan baik
Status dan Data skunder : Hasil penelitian 1 = produktivitas rendah;
produktivitas Estuari baik telah dipublikasikan maupun
2 = produktivitas sedang;
dan perairan tidak terpublikasi, laporan dan
sekitarnya dokumen yang relevan. 3 = produktivitas tinggi
Perubahan iklim 1= belum adanya kajian tentang dampak
terhadap kondisi perubahan iklim;
perairan dan habitat

14
Indikator Sumber data Kriteria
2= diketahui adanya dampak perubahan
iklim tapi tidak diikuti dengan strategi
adaptasi dan mitigasi;
3 = diketahui adanya dampak perubahan
iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi
dan mitigasi

c. Indikator Domain Teknik Penangkapan Ikan

Indikator Sumber data Kriteria


1 = frekuensi pelanggaran > 10 kasus per
tahun
Metode penangkapan Wawancara (DKP Kab. Wakatobi
2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per
ikan yang bersifat dan Nelayan) dan Laporan hasil
tahun
destruktif dan atau ilegal pengawas perikanan
3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per
tahun
1 = lebih dari 50% ukuran target spesies <
Modifikasi alat Lm
penangkapan ikan dan Wawancara (DKP Kab. Wakatobi
alat bantu dan Nelayan) 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm
penangkapan.
3 = <25% ukuran target spesies < Lm
1 = R kecil dari 1;
Fishing capacity dan Wawancara (DKP Kab. Wakatobi
2 = R sama dengan 1;
Effort dan Nelayan)
3 = R besar dari 1
1 = rendah (> 75%) ;
Statistika Perikanan Kab. Wakatobi
Selektivitas 2 = sedang (50-75%) ;
2010 dan Wawancara (DKP Kab.
penangkapan
Wakatobi dan Nelayan) 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan
alat tangkap yang tidak selektif)
1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50%
sampel tidak sesuai dengan dokumen
legal);
Kesesuaian fungsi dan
Laporan tahunan DKP Kab.
ukuran kapal 2 = kesesuaiannya sedang (30-50%
Wakatobi dan Wawancara (DKP
penangkapan ikan sampel tdk sesuai dgn dokumen legal);
Kab. Wakatobi dan Nelayan)
dengan dokumen legal
3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari
30%) sampel tidak sesuai dgn dokumen
legal
1= Kepemilikan sertifikat <50%;
Sertifikasi awak kapal Laporan tahunan DKP Kab.
perikanan sesuai Wakatobi dan Wawancara (DKP 2= Kepemilikan sertifikat 50-75%;
dengan peraturan. Kab. Wakatobi dan Nelayan)
3 = Kepemilikan sertifikat >75%

15
d. Indikator Domain Ekonomi

Indikator Sumber data Kriteria

1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%) ;


Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan
Kepemilikan aset 2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%);
Nelayan)
3 = nilai aset bertambah (di atas 50%)

1 = kurang dari 100,


Nilai Tukar Nelayan Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan
2 = 100,
(NTN) Nelayan)
3 = lebih dari 100

1 = kurang dari rata-rata UMR,


Pendapatan rumah Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan
2 = sama dengan rata-rata UMR,
tangga (RTP) Nelayan)
3 = > rata-rata UMR

1 = kurang dari bunga kredit pinjaman;

Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan 2 = sama dengan bungan kredit pinjaman;
Saving rate
Nelayan)
3 = lebih dari bunga kredit
pinjaman

e. Domain Sosial

Indikator Sumber data Kriteria


Data skunder : Hasil penelitian baik 1 = kurang dari 50%;
telah dipublikasikan maupun tidak
terpublikasi, laporan dan dokumen 2 = 50-100%;
Partisipasi pemangku
kepentingan yang relevan. 3 = 100 %
Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan
Nelayan)
Data skunder : Hasil penelitian baik 1= lebih dari 5 kali/tahun;
telah dipublikasikan maupun tidak
2 = 2-5 kali/tahun;
terpublikasi, laporan dan dokumen
Konflik perikanan yang relevan. 3 = kurang dari 2 kali/tahun
Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan
Nelayan)
Pemanfaatan Data skunder : Hasil penelitian baik 1 = tidak ada;
pengetahuan lokal telah dipublikasikan maupun tidak
terpublikasi, laporan dan dokumen 2 = ada tapi tidak efektif;
dalam pengelolaan
sumberdaya ikan yang relevan. 3 = ada dan efektif digunakan
(termasuk di dalamnya
TEK, traditional Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan
ecological knowledge) Nelayan)

16
f. Domain Kelembagaan

Indikator Sumber data Kriteria


1 = lebih dari 5 kali terjadi
pelanggaran hukum dalam
pengelolaan perikanan;
2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran
Kepatuhan terhadap hukum;
prinsip-prinsip perikanan
yang bertanggung jawab Laporan tahunan DKP Kab. 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran
dalam pengelolaan Wakatobi, Statistika Perikanan Kab. hukum
perikanan yang telah Wakatobi 2010, Wawancara (DKP
Non formal
ditetapkan baik secara Kab. Wakatobi dan Nelayan)
formal maupun non-formal 1 = lebih dari 5 informasi
(Alat) pelanggaran,
2 = lebih dari 3 informasi
pelanggaran,
3 = tidak ada informasi pelanggaran
1 = tidak ada;
2 = ada tapi tidak lengkap;

Kelengkapan aturan main 3 = ada dan lengkap


Wawancara (DKP Kab., TNL Elaborasi untuk poin 2
dalam pengelolaan
Wakatobi dan Nelayan)
perikanan 1 = ada tapi jumlahnya berkurang;
2 = ada tapi jumlahnya tetap;
3 = ada dan jumlahnya bertambah
Mekanisme Kelembagaan Laporan tahunan DKP Kab. 1 = tidak ada penegakan aturan
Wakatobi, Statistika Perikanan Kab. main;
Wakatobi 2010, Wawancara (DKP
Kab. Wakatobi dan Nelayan), 2 = ada penegakan aturan main
namun tidak efektif;
3 = ada penegakan aturan main dan
efektif
1 = tidak ada alat dan orang;
2 = ada alat dan orang tapi tidak ada
tindakan;
3 = ada alat dan orang serta ada
tindakan
1 = tidak ada teguran maupun
hukuman;
2 = ada teguran atau hukuman;
3 = ada teguran dan hukuman
Mekanisme Kelembagaan Laporan tahunan DKP Kab. 1 = tidak ada
Wakatobi, Statistika Perikanan Kab. mekanisme kelembagaan;
Wakatobi 2010, Wawancara (DKP
Kab. Wakatobi dan Nelayan), dan 2= ada mekanisme tapi tidak berjalan
efektif;
3 = ada mekanisme kelembagaan
dan berjalan efektif
1 = ada keputusan tapi tidak
dijalankan;

17
Indikator Sumber data Kriteria
2 = ada keputusan tidak sepenuhnya
dijalankan;
3 = ada keputusan dijalankan
sepenuhnya
Rencana pengelolaan Laporan tahunan DKP Kab. 1 = belum ada RPP;
perikanan Wakatobi, Statistika Perikanan Kab.
Wakatobi 2010, Wawancara (DKP 2 = ada RPP namun belum
Kab. Wakatobi dan Nelayan). sepenuhnya dijalankan;
3 = ada RPP dan telah dijalankan
sepenuhnya
Tingkat sinergisitas Laporan tahunan DKP Kab. 1 = konflik antar lembaga (kebijakan
kebijakan dan Wakatobi, Statistika Perikanan Kab. antar lembaga berbeda
kelembagaan pengelolaan Wakatobi 2010, Wawancara (DKP, kepentingan);
perikanan TNL Kab. Wakatobi dan Nelayan
2 = komunikasi antar lembaga tidak
efektif;
3 = sinergi antar lembaga berjalan
baik

1 = terdapat kebijakan yang saling


bertentangan;
2 = kebijakan tidak saling
mendukung;
3 = kebijakan saling mendukung
Kapasitas pemangku Laporan tahunan DKP Kab. 1 = tidak ada peningkatan;
kepentingan Wakatobi, Statistika Perikanan Kab.
2 = ada tapi tidak difungsikan;
Wakatobi 2010, Wawancara (DKP,
TNL Kab. Wakatobi dan Nelayan 3 = ada dan difungsikan

5.2 Analisa Komposit

Penilaian indikator EAFM merupakan sebuah sistem multikriteria yang berujung pada
indeks komposit terkait dengan tingkat pencapaian sebuah pengelolaan perikanan sesuai
dengan prinsip EAFM. Dalam Pilot Test ini disajikan dua jenis “tools” yang digunakan untuk
mengubah indikator parsial menjadi indikator komposit yaitu (1). Teknik Flag Modeling; dan
(2) Teknik Rapfish (Direktorat SDI-KKP, WWF Indonesia dan PKSPL-IPB, 2012).

5.3. Teknis Flag Modeling

Teknis Flag Modeling dilakukan dengan menggunakan pendekatan multi-criteria analysis


(MCA) di mana sebuah set kriteria dibangun sebagai basis bagi analisis keragaan wilayah
pengelolaan perikanan dilihat dari pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan
(EAFM) melalui pengembangan indeks komposit dengan tahapan sebagai berikut
(Adrianto, Matsuda, and Sakuma, 2005) :

18
 Tentukan kriteria untuk setiap indikator masing-masing aspek EAFM (habitat,
sumberdaya ikan, teknis penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan)

 Kaji keragaan masing-masing WPP untuk setiap indikator yang diuji

 Berikan skor untuk setiap keragaan indikator pada masing-masing WPP (skor Likert
berbasis ordinal 1,2,3)

 Tentukan bobot untuk setiap indikator

 Kembangkan indeks komposit masing-masing aspek untuk setiap WPP dengan


model fungsi :

CAi = f (CAni….n=1,2,3…..m)

 Kembangkan indeks komposit untuk seluruh keragaan EAFM pada masing-masing


WPP dengan model fungsi sebagai berikut :

C-WPPi = f (CAiy……y = 1,2,3……z; z = 11)

Dari tiap indikator yang dinilai, kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis komposit
sederhana berbasis rataan aritmetik yang kemudian ditampilkan dalam bentuk model
bendera (flag model) dengan kriteria seperti yang dapat dilihat pada Tabel 8-7 berikut ini.

Tabel 7. Visualisasi Model Bendera untuk Indikator EAFM Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia

Nilai Skor
Model Bendera Deskripsi
Komposit

100-125 Buruk

126-150 Kurang Baik

151-200 Sedang

201-250 Baik

256-300 Baik Sekali

Template Flag Modeling ini diperoleh di Learning Center EAFM PKSPL-IPB dan WWF
Indonesia dalam bentuk file MS Excel.

19
5.3. Teknik Rapfish

RAPFISH menggunakan scoring yang sederhana dan mudah untuk atribut yang luas dari
berbagai disiplin ilmu, sehingga dapat menghasilkan penilaian secara cepat dan
menggunakan biaya yang efektif pada bidang kelestarian sumberdaya perikanan serta
sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (Alder et al., 2000). Dalam
analisis RAPFISH, MDS digunakan untuk membangun peta yang menggambarkan
hubungan antar sejumlah objek berdasarkan tabel jarak antar beberapa objek (Manly, 1994
dalam Alder et al., 2000). Peta tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih dimensi, hanya
saja bila dimensi tersebut lebih dari tiga, maka akan kesulitan untuk menggambarkan dan
menginterpretasikannya.

MDS dalam RAPFISH didasarkan pada meta distantance, dalam aplikasi MDS digunakan
kuadrat jarak Euclidean (Gambar 8-7). Normalisasi nilai hasil skoring akan digunakan
terhadap Kuadrat Jarak Euclidean. Dalam analisis MDS, analisis tersebut digunakan
formula sebagai berikut :

Z = (x-)/

Keterangan : = adalah rata-rata (mean) = standar deviasi

20
Start

Identifikasi Data dan


Review Atribut Penentuan Jenis Perikanan
Dalam Beberapa Berdasar Kriteria
Kriteria dan Kategori yang Ditentukan

Penyusunan Nilai Skor dan


Penentuan Titik Referensi
Nilai Tengah, Bad dan Good

Ordinasi MDS untuk Tiap Set Atribut,


Rotasi Plot Ordinasi
Bad dan Good dalam Garis Horisontal

Simulasi Monte Carlo Analisis Leverage


Untuk Mengecek Untuk Mengidentifikasi
Ketidakpastian Anomali Atribut yang Dianalisis
dari Analisis

Penilaian Kelestarian

Gambar 2. Tahapan Analisis Aplikasi MDS Dalam Teknik RAPFISH (Diadaptasi dari Alder
et al., 2000 dalam Taryono, 2002).
Sedangkan untuk melakukan analisis dalam masing-masing dimensi analisis multivariat ke
dalam peta layang-layang, dapat diilustrasikan dalam Gambar 3.

E ko logis
E k on om is
S osial

B ad

G ood
G ood
E tik a

P erik anan A
T ek nis P erik ana n B

Gambar 3. Analisis Multivariate dalam Teknik RAPFISH (Alder et al., 2000 dalam
Taryono, 2002).

21
Keseluruhan kelompok atribut tersebut merupakan satu indikator untuk setiap dimensi
tertentu yang direpresentasikannya. Dengan teknik ordinasi horizontal, maka keseluruhan
nilai masing-masing atribut akan diekstrak menjadi satu vektor skalar, yang merupakan titik
dalam skala 0-100% pada aksis horizontal.

6. Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan

6.1 Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan Berbasis Ikan Karang

6.1.1 Domain Sumberdaya Ikan

Penilaian Domain Sumberdaya Ikan terbagi dalam 7 indikator penilaian yaitu CPUE Baku,
Ukuran ikan, Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap, Komposisi spesies, Spesies
ETP, "RangeCollapse" sumberdaya ikan, dan Densitas/Biomassa untuk ikan karang.
Berdasarkan hasil analisis pemberian skor kriteria indikator-indikator domain sumberdaya
ikan dapat dilihat pada Tabel 8

22
Tabel 8. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Sumberdaya Ikan

DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT


INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)

1. CPUE CPUE adalah hasil Logbook, 1 = menurun tajam 2 40 1 (Killer 80


Baku tangkapan per satuan Enumerator, Indicator)
upaya penangkapan. Observer 2 = menurun sedikit
Upaya penangkapan
harus distandarisasi 3 = stabil atau meningkat
sehingga bisa
menangkap tren
perubahan upaya
penangkapan.
2. Ukuran -Panjang total Interview, Sampling 1 = trend ukuran rata-rata 2 20 2 40
ikan - Panjang standar program secara ikan yang ditangkap
- Panjang karapas / sirip reguler untuk LFA semakin kecil;
(minimum dan maximum (Length Frequency
size, modus) Analysis) 2 = trend ukuran relatif
tetap;

3 = trend ukuran semakin


besar

3. Proporsi Persentase ikan yang Interview, Sampling 1 = banyak sekali (> 60%) 3 15 3 45
ikan yuwana ditangkap sebelum program secara
(juvenile) mencapai umur dewasa reguler 2 = banyak (30 - 60%)
yang (maturity).
ditangkap 3 = sedikit (<30%)

4. Komposisi Jenis target dan non- Logbook, observasi, 1 = proporsi target lebih 2 10 4 20
spesies target (discard dan by interview sedikit
catch)

23
DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)

2 = proporsi target sama


dgn non-target

3 = proporsi target lebih


banyak

5. Spesies Populasi spesies ETP Survey dan 1= banyak tangkapan 2 5 6 10


ETP (Endangered species, monitoring, logbook, spesies ETP;
Threatened species, and observasi, interview
Protected species) 2= sedikit tangkapan
sesuai dengan kriteria spesies ETP;
CITES
3 = tidak ada spesies ETP
yang tertangkap

6. "Range SDI yang mengalami Survey dan 1 = semakin sulit; 2 10 5 20


Collapse" tekanan penangkapan monitoring, logbook, 2 = relatif tetap;
sumberdaya akan "menyusut" observasi, interview 3 = semakin mudah
ikan biomassa-nya secara 1 = fishing ground menjadi 2
spasial sehingga sangat jauh
semakin sulit / jauh 2= fishing ground jauh
untuk ditemukan/dicari. 3= fishing ground relatif
tetap jaraknya
TOTAL 2.14 100 215

24
CPUE didefinisikan sebagai laju tangkap perikanan per tahun yang diperoleh dengan
menggunakan data time series, minimal selama 5 tahun. Sedangkap effort atau upaya
penangkapan ikan itu sendiri diartikan jumlah waktu yang dihabiskan untuk menangkap
ikan di wilayah perairan tertentu. Tujuan perlunya menganalisa indikator ini adalah untuk
mengetahui trend perubahan stock perikanan dari waktu ke waktu. Trend CPUE yang
cenderung menurun, dapat dijadikan sebagai indikasi dampak negatif terhadap stok ikan
atau bahkan kecenderungan overfishing. Oleh karena itu nilai CPUE tertinggi adalah ketika
penangkapan ikan yang banyak namun tetap memberikan ruang ikan untuk bereproduksi
dan berkembang untuk terus mendukung penangkapanyang lestari.

Berdasarkan analisa data statistik perikanan selama 7 tahun (tahun 2008-2014) di


kabupaten Wakatobi(grafik CPUE pada gambar menunjukkan tren penurunandari tahun
2008 sampai 2010, dan kembali meningkat nilainya pada tahun 2011. Setelah itu, menurun
kembali hingga tahun 2013 dan kembali meningkat pada tahun 2014.Berdasarkan tren
CPUE di wakatobi dalam kurun 7 tahun belakangan, menunjukkan bahwa meskipun pada
tahun tertentu CPUEnya menurun, namun ditahun-tahun selanjuntnya kembali meningkat.
Hal ini diduga berhubungan dengan tingkat recoveryperikanan tangkap wakatobi yang
masih baik. Sehingga dari ulasan ini dapat ditarik benang merah bahwa CPUE atau hasil
tangkapan ikan di kabupaten wakatobi secara umum relatif sama saja. Hal ini didukung
pula oleh hasil wawancara dengan responden dalam kaitan dengan hasil tangkapan per
unit usaha (CPUE), menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan setuju jika hasil
tangkapan dari tahun ke-tahun relatif sama saja. Adapaun pada tahun tertentu menurun,
namun pada tahun-tahun berikutnya biasanya meningkat.

25
Sumber: Diolah dari BPS Perikanan kabupaten Wakatobi Tahun 2015

Gambar 9. CPUE Perikanan Karang Kabupaten Wakatobi dari tahun 2008-2014

Selain itu, kondisi ini pula dapat dilihat berdasarkan produksi perikanan ikan karang
wakatobi sejak tahun 2012 hingga 2014 pada histogram produksi perikanan karang
wakatobi di masing-masing kecamatan (Gambar 8-10). Histogram tersebut menunjukkan
bahwa meskipun pada daerah wangi-wangi selatan produksi perikanan sangat tinggi pada
tahun 2014, namun di kecamatan lain menunjukkan produksi perikanan yang relatif tetap
atau stabil dari tahun 2012 hingga 2014. Berdasarkan informasi dan uraian CPUE dan
Produksi perikanan karang Wakatobi di atas maka untuk indikator CPUE Baku diberikan
skor 2 denga nilai 80

26
3000
2500
2000
1500
1000 2012
2013
500
2014
0

Sumber: Diolah dari Data Statistik Produksi Perikanan Wakatobi Tahun 2012-2014

Gambar 10. Tren Produksi Perikanan Karang pada Masing-masing Kecamatan di


Kabupaten Wakatobi Tahun 2012- 2014
Indikator ukuran ikan diberikan skor 2 pada kriteria dan status sedang dengan nilai 20. Hal
ini berdasarkan hasil analisis yang menunjukkan bahwa 80% responden mengatakan
bahwa ukuran ikan hasil tangkapan “relatif sama saja” dalam kurun 3 tahun terakhir (2012-
2014). Meskipun demikian, 16% responden mengatakan bahwa ukuran ikan semakin kecil
dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. Adapun sisanya (4%) responden mengatakan bahwa
ukuran ikan yang tertangkap semakin panjang. Nilai persentase masing-masing kategori ini
menujukkan bahwa meskipun pada derah-daerah tertentu di wakatobi ukuran ikannya
relatif sama saja, namun di daerah lain ukuran ikannya cenderung lebih panjang dan di
daerah lain cenderung lebih pendek dengan persentase yang berbeda-beda. Tingginya
persentase ukuran ikan kategori “relatif sama saja” dalam kurun 3 tahun terakhir, sehingga
untuk indikator ini diberi skor 2 dengan nilai 40. Terdapatnya persentase (meskipun
rendah) kategori ukuran ikan “relatif lebih pendek” dan “relatif lebih panjang” menujukkan
pula bahwa ikan-ikan target penangkapan tidak tertekan akibat aktivitas penangkapan pada
daerah tertentu sehingga ikan masih tumbuh dan berkembang dengan baik (relatif lebih
panjang) namun didaerah lain ikan-ikan sudah sangat tertekan akibat aktivitas
penangkapan sehingga pertumbuhan dan perkembangan ikan terganggu (relatif lebih
pendek). Bagaimanapun juga, hal positif yang dapat diambil bahwa sebagian besar ikan-
ikan cenderung masih tumbuh dan berkembang dengan normal yang ditandai dengan
tingginya persentase ukuran ikan yang “relatif sama saja” (80%).

27
Data yang yang berkaitan proporsi ikan yuwana yang tertangkap khususnya indikator
proporsi ikan yuwana untuk tiga tahun ini (2012-2014)dianalisis secara kualitatif
berdasarkan informasi hasil wawancara. Terkait dengan indikator ini maka untuk indikator
ikan karang maka peluang tertangkapnya ikanyuwana semakin besar, hal ini berkaitan
dengan adanya kecenderungan penurunan ukuran ikan yang tertangkap maka maka akan
memberikan peluang yang lebih besar tertangkapnya juvenil. Terlebih lagi dengan adanya
alat-alat tangkap non-selektif seperti bubu dan sero pada beberapa daerah di wakatobi,
maka peluang tertangkapnya ikan juvenil semakin besar pula. Namun, yang menarik adalah
dalam kurun waktu tiga tahun terakhir telah banyak masyarakat nelayan baik individu
maupun kelompok-kelompok nelayan yang sadar akan pentingnya untuk tidak menangkap
ikan-ikan yang masih kecil (juvenil). Hal ini ditandai dengan terdapatnya beberapa daerah
atau desa di wakatobiyang sudah atau sedang mencanangkan peraturan desa ataupun
peraturan adat terkait dengan pelarangan penangkapan ikan-ikan yang masih kecil atau
biasa disebut juvenil. Adapaun jika sudah terlanjur tertangkap atau tanpa sengaja masuk
kedalam alat tangkap maka disarankan untuk dilepas (release) kembali ke laut. Selain
itu,hal ini didukung pula bahwa alat-alat tangkap seperti bubu dan sero umumnya hasil
tangkapan ikan-ikannya masih hidup, sehingga jika terdapat ikan yang masih kecil atau
juvenil atau tidak diinginkan (bycatch) maka dapat dilepas kembali kelaut. Berdasarkan hal
tersebut, maka komposisi tertangkapnya ikan yuwana diharapkan dapat diminimalisir dari
3 tahun belakangan hingga seterusnya, sehingga untuk indikator ini diberikan skor 3
dengan nilai 45.

Berdasarkan hasil wawancara, komposisi spesies ikan karang yang tertangkap selama
tahun 2012 hingga tahun 2014 menggambarkan kecenderungan proporsi komposisi hasil
tangkapan “ikan target lebih banyak dibanding ikan non target”. Kondisi ini ditemukan pada
berbagai macam alat tangkap yang beroperasi aktif di wakatobi. Berdasarkan akumulasi
informasi dari berbagai nelayan berbeda dengan alat tangkap berbeda pula, ditemukan
bahwa prosentase ikan target dengan ikan non target pada keempat pulau (wangi-wangi,
kaledupa, tomia binongko) bahkan mencapai 75% (ikan target) berbanding 25 % (non
target). Meskipun demikian, hal berbeda ditunjukkan pada pulau runduma. Berdasarkan
hasil wawancara di pulau ini, nelayan yang mendapati kondisi proporsi hasil tangkapan
“ikan target lebih sedikit” mencapai 40% dari total responden dan 30% nelayan mendapati
kondisi “ikan target lebih banyak”. Adapun sisanya 30%, nelayan mendapati kondisi
proporsi “ikan target sama dengan non target”. Berdasarkan gambaran akumulasi kondisi
hasil tangkapan spesies ikan karang target dan non target dari kelima pulau yang telah
disebutkan, maka untuk indikator ini diberikan skor 2 dengan nilai 20.

28
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Coremap II Wakatobi dan laporan
tahunan DKP Kabupaten Wakatobi menunjukkan tidak ada ikan hasil tangkapan yang
termasuk dalam kelompok ikan ETP. Namun berdasarkan hasil wawancara secara
mendalam maka diperoleh infromasi bahwa masih ada sebagian kecil nelayan atau
masyarakat baik sengaja maupun tidak sengaja menangkap beberapa spesies penyu.
Umumnya penyu yang telah ditangkap tersebut dimanfaatkan untuk konsumsi. Meskipun
demkian hal ini hanya dilakukan pada masyarakat-masyarakat tertentu saja.Maka
berdasarkan kriteria ini, untuk indikatorspesies ETP dapat diberi skor 2 dengan nilai 20
(sedikit tangkapan spesies ETP).

Berdasarkan hasil wawancara kepada nelayan ikan karang, ditemukan bahwa bahwa 48%
kondisi mencari ikan 510 tahun terakhir relatif lebih sulit, 50% mengatakan relatif
tetap, dan 2% mengatakan relatif lebih mudah. Berdasarkan hal tersebut maka
kondisi sumbedaya ikan dapat diberikan skor kriteria 2. Sedangkan untuk lokasi
fishingground dari jumlah respoden ikan karang sebagaian besar mengatakan bahwa
lokasi penangkapan tidak berubah karena penangkapan ikan karang di lakukan di area
terumbu karang. Namun demikian sebagian kecil mengatakan bahwa lokasi semakin
jauh karena kebiasaan menangkap ikan yang sebelumnya dilakukan di sekitar karang
tepi pantai yang dekat daratan sudah berubah ke lokasi yang lebih jauh seiring dengan
tingginya keinginan untuk meningkatkan produksi,sehingga berdasarkan kondisi ini
maka diberikan skor kriteria 2.Berdasarkan infomasi tersebut di atas maka indikator
range of collapse sumberdaya ikan dapat diberi skor 2 dengan nilai 20 atau status
sedang.

6.1.2 Domain Habitat

Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain habitat dan


ekosistem yang meliputi Kualitas perairan, status lamun , status mangrove, status terumbu
karang, habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling),
status dan produktivitas estuari dan perairan sekitarnya, perubahan iklim terhadap kondisi
perairan dan habitat. Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain habitat
dan ekosistem ditampilkan dalam Tabel 11.

29
Tabel 11. Hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain habitat dan ekosistem
DEFINISI/ BOBOT
INDIKATOR MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN (%)
1. Kualita Limbah yang Data sekunder, sampling, 1= tercemar; 3 20 1 60
s perairan teridentifikasi secara monitoring, 2=tercemar sedang; klinis,
audio dan atau >> Sampling dan monitoring : 4 kali 3= tidak tercemar visual
(Contoh :B3- dalam satu tahun (mewakili musim
bahan berbahaya & dan peralihan)
beracun)
Tingkat kekeruhan Survey, monitoring dan data 1= > 20 mg/m^3 konsentrasi tinggi 3
(NTU) untuk sekunder, CITRA SATELIT 2= 10-20 mg/m^3 konsentrasi
mengetahui laju >> monitoring : dengan coastal sedang;
sedimentasi perairan bouy/ water quality checker 3= <10 mg/m^3 konsentrasi
(continous), Citra satelite (data deret rendah
waktu) dan sedimen trap (setahun Satuan NTU
sekali) => pengukuran turbidity di
Lab
Eutrofikasi >> Survey : 4 kali dalam satu tahun 1= konsentrasi klorofil a > 10 3
(mewakili musim dan peralihan) mg/m^3 terjadi eutrofikasi;
>> monitoring : dengan coastal 2= konsentrasi klorofil a 1-10
bouy/ water quality checker mg/m^3 potensi terjadi eutrofikasi;
(continous), Citra satelite (data deret dan
waktu) 3= konsentrasi klorofil a <1
mg/m^3 tidak terjadi eutrofikasi
2. Status lamun Luasan tutupan, Survey dan data sekunder, 1=tutupan rendah, :529,9%; 3 15 2 45
densitas dan jenis monitoring, CITRA SATELIT. 2=tutupan sedang, 30-49,9%;
Lamun. >> Sampling dan monitoring : 3=tutupan tinggi, ;:50%
Seagrass watch 1=keanekaragaman rendah (H' < 3
(www.seagrasswatch.org) dan 3,2 atau H' < 1);
seagrass net 2 = kanekaragaman sedang
(www.seagrassnet.org) (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi
(H’>9,97 atau H’>3)

30
DEFINISI/ BOBOT
INDIKATOR MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN (%)
3. Status Kerapatan, nilai Survey dan data sekunder, CITRA 1=kerapatan rendah, <1000 1 15 2 26.25
mangrove penting, perubahan SATELIT, foto udara pohon/ha, tutupan <50%;
luasan dan jenis >> Citra satelite dengan resolusi 2=kerapatan sedang 1000-1500
mangrove tinggi (minimum 8 m) - minimal satu pohon/ha, tutupan 50-75%;
tahun sekali dengan diikuti oleh 3=kerapatan tinggi, >1500
survey lapangan pohon/ha, tutupan >75%
>> Survey : Plot sampling 1=keanekaragaman rendah (H' < 2
3,2 atau H' < 1);
2 = kanekaragaman sedang
(3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi
(H’>9,97 atau H’>3)
1= luasan mangrove berkurang 1
dari data awal;
2= luasan mangrove tetap dari
data awal;
3= luasan mangrove bertambah
dari data awal
1 = INP rendah; 2 = INP sedang; 3
3 = INP tinggi
4. Status > Persentase Survey dan data sekunder, CITRA 1=tutupan rendah, <25%; 2 15 2 37.5
terumbu tutupan karang keras SATELIT, foto udara 2=tutupan sedang, 25-49,9%;
karang hidup (live hard coral Survey : Transek (2 kali dalam 3=tutupan tinggi, >50%
cover). setahun) 1=keanekaragaman rendah (H' < 3
Citra satelite dengan hiper spektral 3,2 atau H' < 1);
- minimal tiga tahun sekali dengan 2 = kanekaragaman sedang
diikuti oleh survey lapangan (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi
(H’>9,97 atau H’>3)
5. Habitat Luasan, waktu, Fish Eggs and Larva survey, GIS 1=tidak diketahui adanya habitat 3 15 3 45
unik/khusus siklus, distribusi, dgn informasi Citra Satelit, Informasi unik/khusus;
(spawning larva drift, spill over, Nelayan, SPAGs (Kerapu dan 2=diketahui adanya habitat
ground, , dan kesuburan kakap), ekspedisi oseanografi unik/khusus tapi tidak dikelola
upwelling). perairan dengan baik; 3 = diketahui adanya

31
DEFINISI/ BOBOT
INDIKATOR MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN (%)
habitat unik/khusus dan dikelola
dengan baik

6. Status Tingkat produktivitas Survey dan data sekunder, CITRA 1=produktivitas rendah; 3 10 4 30
dan perairan estuari SATELIT, foto udara 2=produktivitas sedang;
produktivitas Survey : 2 kali dalam setahun 3=produktivitas tinggi
Estuari dan Citra satelite dengan resolusi tinggi
perairan - minimal dilakukan 2 kali setahun
sekitarnya dengan diikuti oleh survey lapangan
7. Perubahan Untuk mengetahui Survey dan data sekunder, CITRA > State of knowledge level : 2 10 5 25
iklim terhadap dampak perubahan SATELIT, data deret waktu, 1= belum adanya kajian tentang
kondisi iklim terhadap kondisi monitoring dampak perubahan iklim;
perairan dan perairan dan habitat 2= diketahui adanya dampak
habitat perubahan iklim tapi tidak diikuti
dengan strategi adaptasi dan
mitigasi;
3 = diketahui adanya dampak
perubahan iklim dan diikuti dengan
strategi adaptasi dan mitigasi
> state of impact (key indicator 3
menggunakan terumbu karang):
1= habitat terkena dampak
perubahan iklim (e.g coral
bleaching >25%);
2= habitat terkena dampak
perubahan iklim (e.g coral
bleaching 5-25%);
3= habitat terkena dampak
perubahan iklim (e.g coral
bleaching <5%)
2.53 100 268.75

32
Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu lokasi yang menjadi titik sentra dalam
evaluasi program EAFM - 2016 (Ecosystem Approach to Fisheries Management Program).
Sebagai salah satu daerah dengan potensi yang cukup besar dengan luas perairan yang
mencakup 97% dari daratannya, menjadi sangat penting untuk dilakukan suatu program
evaluasi yang berbasis ekosistem yang dapat melahirkan suatu upaya penting yang dapat
menjaga kesehatan habitat berserta ekosistem yang berasosiasi di dalamnya. Keberadaan
habitat yang sehat dengan kondisi yang stabil sangat bergantung pada kondisi kualitas air
yang mendukung. Melalui program EAFM beberapa parameter kualitas perairan seperti
Salinitas, DO, pH, TSS, BOD5 dan COD menjadi bagian penting untuk menentukan kondisi
kesehatan suatu habitat. Berdasarkan kajian analisis kualitas air di perairan Wakatobi yang
dilakukan oleh COREMAP-CTI (2014) menyajikan bahwa untuk konsentrasi salinitas yang
diperoleh mencakup kisaran 34.0 – 34.7 ppm, DO 7.38 – 8.66 ppm, TSS 29 - 33 mg/L, pH
7.75 - 7.91, BOD5 2.77 – 3.04 dan rata-rata nilai COD 4.85 – 7.08 kondisi parameter yang
diperoleh tersebut jika dibandingkan dengan baku mutu perairan dalam KEPMEN No.
51/2004 masih dikategorikan cukup baik atau belum tercemar. Beberapa parameter lain
dari hasil analisis kualitas air yang diperoleh dari data lapangan EAFM-Wakatobi (2016)
menunjukkan bahwa untuk konsentrasi suhu mencakup kisaran 29 – 32oc, pH sebesar 6,
DO 6.48, TSS 0.443, Klorofil a 0.825. Parameter yang diperoleh tersebut memperkuat
kondisi kualitas perairan di Perairan Wakatobi yang masih cukup baik ataupun masih dalam
kategori belum tercemar, Secara rinci hasil analisis parameter kualitas air yang diperoleh
di Perairan Wakatobi disajikan pada tabel 12 berikut :
RATA-
PARAMETER LOKASI PERAIRAN
NO RATA
LINGKUNGAN WANCI KALEDUPA TOMIA BINONGKO
1 Suhu (oC) 31 32 31 30 31
2 Derajat Keasaman (pH) 6
6 6 6 6

3 DO (mg/l) 5,97 6,35 6,75 6,87 6,48


4 TSS (mg/l) 0,353 0,530 0,448 0,441 0,443
5 Klorofil-a 0,93 0,80 0,87 0,70 0,825
Sumber : Laboratorium Dasar UHO, 2016

Berdasarkan informasi yang diperoleh tersebut maka indikator penilaian untuk


kualitas air yang terdiri dari komponen limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan
atau visual (Contoh : B3-bahan berbahaya & beracun), kemudian kekeruhan dan
eutrofikasi, maka Perairan Kabupaten Wakatobi masih memenuhi baku mutu perairan
dalam KEPMEN No. 51/2004 tentang Baku Mutu Perairan. sehingga secara umum perairan
Kabupaten Wakatobi dapat di katakan tidak tercemar. Dengan demikian indikator kualitas
perairan di berikan skor 3.

33
Disamping indikator kualitas perairan tersebut diatas, indikator penting yang
menjadi perhatian pada domain habitat adalah ekosistem lamun. Ekosistem lamun
merupakan salah satu habitat yang memberikan peranan yang cukup besar bagi
keberadaan organisme di perairan. Fungsi keberadaannya memberikan peran aktif
terhadap penyediaan sumber makanan (feeding ground) bagi organisme grazer. tempat
pemijahan (spawning ground), serta sebagai tempat pembesaran (nursery ground) bagi
sebagian besar organisme ikan dan kerang. Besarnya manfaat keberadaan ekosistem
lamun tersebut memberikan indikasi perlu adanya upaya evaluasi terhadap
keberadaannya sehngga kedepan dari hasil tersebut dapat menjadi langkah awal dalam
memperbaiki kondisi yang sedang atau telah mengalami kerusakan khususnya di Wilayah
Wakatobi yang menjadi salah satu sentra program EAFM 2016.
Berdasarkan hasil analisa citra satelit tahun 2004 Kabupaten Wakatobi memiliki luas
padang lamun sebesar 7.067,25 ha (Hardin, 2007). Lebih rinci dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh COREMAP-CTI (2014) menyebutkan bahwa komposisi jenis lamun di
Perairan Wakatobi dari luas padang lamun yang tersedia khususnya di daerah DPL
(Perlindungan Laut) ditemukan di 7 (tujuh) lokasi yang berbeda, yaitu Desa Waha dengan
jenis lamun Halophila minor, Halodule pnifolia, Thalassia hemperichii, Desa Matahora
dengan jenis lamun Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides,
Halophila ovalis, Halodule uninervis, Thalassodendron ciliatum dan Thalassia hemprichii,
Desa Waelumu dengan 1 jenis lamun yaitu Cymodocea serrulata, Liya Mawi dengan jenis
lamun Halophila minor dan Thalassia hemperichii, Kabita dengan jenis lamun Enhalus
acoroides, Halophila minor , dan Halodule pnifolia, Sama Bahari dengan jenis Cymodocea
rotundata dan Enhalus acoroides, Kulati dengan jenis lamun Halodule pnifolia.
Sebagai data tambahan yang diperoleh dari data lapangan EAFM-Wakatobi 2016
bahwa beberapa desa yang juga ditemukan memiliki ekosistem lamun di Perairan
Wakatobi adalah Desa Peropa di Pulau Kaledupa dengan jenis lamun Enhalus acoroides
dan Halophila minor, Desa Lagongga di Pulau Binongko dengan jenis lamun Thallassia
hemperichii dan Desa Waha di Pulau Wanci dengan jenis Halophila minor dan Halodule
pnifolia. Masing-masing jenis lamun yang diperoleh di lokasi tersebut menunjukkan persen
tutupan yang berbeda-beda. Dari hasil estimasi persen tutupan lamun yang didasarkan
pada McKenzie et al., (2002) diketahui bahwa rata-rata persen tutupan lamun yang
diperoleh di Perairan Wakatobi berkisar pada 60 – 100 o/o. COREMAP-CTI (2014)
melaporkan bahwa dari beberapa jenis lamun yang ditemukan di 7 (tujuh) lokasi DPL
dengan persen tutupan lamun tertinggi adalah jenis Thalassia hemprichi. Sehingga dengan
demikian berdasarkan data-data yang diperoleh tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

34
indikator status padang lamun di Kabupaten Wakatobi dengan penutupan diatas 60 % dan
keanakaragaman yang tinggi (11 jenis) maka berdasarkan kondisi status lamun yang
dinyatakan dalam Kemen LH No. 200 tahun 2004 dapat dikatakan masih dalam kondisi
kaya/sehat. Sehingga nilai indikator tersebut dapat di berikan skor 3.
Indkator lain yang juga memiliki nilai penting yang sama dalam domain habitat adalah
ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove di ketahui menyebar diseluruh Kepulauan
Wakatobi degan konsentrasi yang berbeda-beda dan sebagian hanya merupakan bagian
kecil pelengkap ekosisten pesisir. Keberadaan komunitas mangrove tertinggi terpusat di
Pulau Kaledupa dan sekitarnya seperti pulau Derawa, Pulau Lentea. Beradasarkan laporan
COREMAP-CTI (2014) menyebutkan bahwa penyebaran mangrove terluas di Kabupaten
Wakatobi dapat ditemukan di Pulau Kaledupa dengan komunitas mangrove yang
ditemukan hampir di semua desa meliputi Desa Tanomehe, Langge, Balasuna, Ambeua,
Sombano, dan Desa Horua, ketebalan komunitas mangrove pada masing-masing desa
tersebut bervariasi hingga mencapai ± 750 m, komunitas mangrove juga ditemukkan pada
beberapa pulau disekitarnya seperti Lentea, Derawa, dan Pulau Hoga. Disamping itu
sebaran mangrove juga ditemukan di Pulau Wangi-wangi di Desa Liya Mawi dan Pulau
Kapota dengan total ketebalan hanya mencapai ± 185 m, dari arah laut ke arah darat.
Sementara di Pulau Tomia sebaran mangrove hanya ditemukan di Desa Waiti dengan
ketebalan hanya mencapai ± 70 m. Hal tersebut sama dengan yang ditemukan di Pulau
Binongko dimana mangrove hanya ditemukan menyebar di dua desa yaitu Desa Sowa, dan
Desa Wali dengan ketebalan ± 70 m.
Selanjutnya Jamili (2010), melaporkan bahwa tingkat kerapatan mangrove pada
lokasi kajian di pulau Kaledupa, Hoga dan pulau Derawa pada kategori pohon dan tiang
menunjukkan tingkat kerapatan yang bervariasi dimana untuk pulau Kaledupa sebesar
1054 - 1829 pohon/ha, pulau Hoga sebesar 500 – 917 pohon/ha dan Pulau Derawa
sebesar 521 – 1010 pohon/ha sedangkan kerapatan kategori sapihan dan semai diperoleh
lebih tinggi. Data yang berbeda yang ditunjukkan dari hasil penelitian yang dilaporkan oleh
COREMAP – CTI 2014 di lokasi yang sama, yaitu khusus di Pulau Kaledupa tingkat
kerapatan untuk strata pohon dan tiang diperoleh sebesar 395,05 pohon/ha, Pulau Derawa
974,29 pohon/ha, dan untuk Pulau Hoga sebesar 173,91 pohon/ha. Perbedaan data yang
dilaporkan pada tahun 2010 dan pada tahun 2014 yang diperoleh tersebut menggambarkan
penurunan status kerapatan mangrove di Kabupaten Wakatobi. Menurunnya komunitas
mangrove yang ditemukan di beberapa daerah di Kabupaten Wakatobi khususnya di Pulau
Kaledupa disebutkan dalam laporan COREMAP – CTI 2014 disebabkan oleh banyak faktor,
salah satunya adalah adanya intervensi dari manusia untuk berbagai keperluan seperti

35
konversi lahan mangrove menjadi pemukiman, lahan tanaman budidaya, pembangunan
sarana umum dan pengambilan kayu bakau oleh masyarakat untuk keperluan kayu bakar,
tiang jaring ikan, dan bahan dasar pembuatan rumah. Dengan demikian berdasarkan nilai
kerapatan yang diperoleh tersebut diatas maka jika dikelompokkan dalam kriteria skor
kerapatan mangrove dalam Kepmen LH No. 201 tahun 2004 tentang kriteria baku
kerusakan mangrove termasuk dalam kategorikan kerapatan <1000 pohon/ha dengan
persen penutuan < 50 % (kriteria jarang) sehingga skor yang diberikan sebesar 1
Indeks keanekaragaman komunitas mangrove pada tiga lokasi tersebut pada kategori
pohon hingga kategori semai juga menunjukkan kondisi yang berbeda, di pulau Kaledupa
diperoleh nilai keanekaragaman yang berkisar 1,3 – 1,7; pulau Hoga berkisar 0,59 – 1,41
dan di pulau Derawa berkisar 0,34 – 0,69 dengan rata-rata kisaran sebesar 0,86 – 1,15
atau rata-rata indeks keanekragaman mangrove di lokasi kajian sebesar 1,07. Jika nilai
indeks tersebut dibandingkan dengan kriteria skor nilai indeks keanekaragaman yaitu : 1 =
keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97
atau 1<H’<3); dan 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3), maka berdasarkan nilai
indeks keanekaragaman rata-rata tersebut di atas maka rata-rata indeks keanekaragaman
mangrove di beberapa wilayah yang menjadi keterwakilan di Kabupaten mangrove tersebut
dapat dikatakan termasuk dalam kriteria keanekaragaman sedang. Melalui indeks
keanekaragaman tersebut pula diketahui rata-rata menunjukan INP sebesar 300 sehingga
berdasarkan kategori INP yang ada maka dapat dikatakan INP yang diperoleh termasuk
dalam kriteria tinggi.
Selanjutnya berdasarkan luas kawasan mangrove yang diketahui di Kabupaten
Wakatobi khususnya di Pulau Kaledupa sejak tahun 1996 hingga tahun 2014 dilaporkan
oleh Agusrinal dkk., (2015) terus mengalami perubahan yang cukup tinggi sebesar 214, 04
ha atau sebesar 21,89% dari total 978,03 ha pada tahun 1996 hingga 763,99 ha pada tahun
2014, demikian pula yang terjadi pada pulau lain baik di Wanci, Tomia, Binongko.
Menurunnya luasan kawasan mangrove yang ditemukan disebagian besar di wilayah
Wakatobi disebabkan oleh tingginya tingkat kerusakan yang terjadi di tiap tahunnya kondisi
tersebut diperparah dengan adanya tindakan konversi kawasan mangrove menjadi
pemukiman, tanaman budidaya, sarana umum dan pengambilan kayu bakau untuk bahan
bakar dan kontruksi. Sehingga dengan demikian berdasarkan kondisi tersebut maka
berkaitan dengan kriteria penilaian luasan kawasan mangrove di Kabupaten Waktobi
diberikan skor rendah dengan nilai sebesar 1 (luasan mangrove berkurang dari data awal).
Dengan demikian secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa indikator status mangrove

36
di Kabupaten Wakatobi yang meliputi kerapatan, keanekaragaman, luasan dan INP secara
keseluruhan dapat di berian nilai skor total 25.
Indikator penting selanjutnya adalah terumbu karang. Ekositem terumbu karang
dapat menjadi salah satu bio indikator dalam menentukan kondisi sumber daya perikanan
di suatu perairan. Pentingnya ekosistem terumbu karang bagi kehidupan pesisir
menjadikan ekositem tersebut sebagai objek perhatian yang dikaji dalam bentuk penelitian
oleh berbagai lembaga di dunia. Wakatobi merupakan salah pusat kekayaan terumbu
karang, dengan letak yang strategis, wakatobi disebut sebagai pusat segi tiga karang dunia
(coral triangle center). Berdasarkan keberadaan lokasi geografi ekosistem terumbu karang
dan status Kabupaten Wakatobi sebagai kawasan konservasi beberapa hasil penelitian
mengekelompokan terumbu karang di wilayah Wakatobi menjadi tiga wilayah (habitat) yaitu
kondisi terumbu karang tepi (main land), kondisi terumbu karang di luar pulau (outer land)
dan kondisi terumbu karang kawasan atol. Sedangkan berdasarkan status kawasan maka
di fokuskan pada hasil peneltian di kawasan pemanfaatan (use zone) dan kawasan
perlidungan (no take zone). Hasil penelitian yang dilakukan oleh TNC-WWF yang
mengamati kondisi terumbu karang pada tahun 2009 – 2011 menunjukan kondisi terumbu
karang sebagai berikut :
Grafik 1. Kondisi Terumbu Karang Pada Tipe habitat dan Zona Tahun 2009 – 2011 di
Kabupaten Wakatobi

37
Sumber : Adaptasi TNC-WWF, 2011

Keterangan : a. Presentase tutupan terumbu karang keras. b. Presentase tutupan terumbu


karang lunak

Dari grafik hasil penelitian yang dilakukan oleh TNC-WWF pada tahun 2009 hingga
tahun 2011 tersebut di atas menggambarkan bahwa rata-rata persen tutupan karang pada
zona larang ambil baik pada tutupan karang keras maupun lunak cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan zona pemanfaatan. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa pada
zona dengan aktivitas yang cenderung tinggi menyebabkan kondisi terumbu karang tidak
dapat tumbuh dengan baik hal tersebut dibuktikan berdasarkan data yang diperoleh bahwa
sebagian besar zona pemanfaatan menunjukkan presentase tutupan karang yang lebih
kecil dibanding dengan zona tutupan.

Berdasarkan laporan BPPD Wakatobi (2010) bahwa secara umum pada tahun 2008
presentase tutupan terumbu karang hidup terbesar terdapat di Pulau Wangi-Wangi. Namun
pada tahun 2009, presentase karang hidup di Pulau Wangi-Wangi menurun drastis hingga
48%. Sementara itu di wilayah Tomia, Presentase tutupan mengalami peningkatan dari
58% menjadi 64% di tahun 2009. Secara rinci presentase tutupan terumbu karang hidup di
Kabupaten Wakatobi pada tahun 2008 – 2009 disajikan pada grafik berikut :
Grafik 2. Presentase Tutupan Terumbu Karang Tahun 2009 – 2011 di Kabupaten Wakatobi

38
Sumber : Adaptasi TNC-WWF, 2011

Disamping data yang disajikan tersebut diatas, Data lain menyebutkan bahwa hasil
monitoring sumber daya terumbu karang di 15 lokasi DPL COREMAP-CTI Kabupaten
Wakatobi tahun 2014, menunjukkan presentase penutupan karang hidup (living hidup)
berkisar 20 – 60 %. Dari nilai tersebut sesuai dengan kriteria kurang hingga baik. Sehingga
dengan demikian berdasarkan data series yang dilaporkan oleh TNC-WWF pada tahun
2008 – 2009 tersebut diatas dan data yang dilaporkan oleh COREMAP-CTI pada tahun
2014, maka dapat disimpulkan bahwa kategori tutupan karang di Perairan Wakatobi masih
termasuk dalam kriteria kurang hingga baik sehingga skor yang diberikan skor 2 dengan
keterangan =tutupan sedang, 25-49,9%;

Di Kabupaten Wakatobi tercatat sebanyak 396 jenis karang keras berterumbu


(scleractanian hermatripic), 10 spesies karang keras tak-berterumbu (scleractanian
ahermatripic), 28 genera karang lunak, dan 31 spesies karang fungi di TNW. Kondisi ini
menggambarkan bahwa di Kabupaten Wakatobi memiliki keanekaragaman karang yang
tinggi (WWF-TNC, 2003). Berdasarkan kenyataan tersebut walaupun tidak melakukan
analisa ekologi maka keanekaragama karang tergolong tinggi sehingga dapat di berikan
skor 3. Secara keseluruhan status karang di Kabupaten wakatobi berdasarkan kriteria
persentase penutupan karang keras dan keanekaragaman maka dapat di berikan nilai 37,5.

Indikator habitat khusus/unik mengenai daerah pemijahan ikan di Kabupaten Wakatobi


diperoleh dari data SPAGs (Spawning Agregation Site) dalam laporan akhir rencana
pengelolaan parawisata Wakatobi tahun 2013. Dari data tersebut disebutkan bahwa
terdapat 10 (sepuluh) lokasi pemantauan pemijahan ikan di kawasan Wakatobi dan telah
ditetapkan sebagai wilayah zona perlindungan bahari. Kesepuluh lokasi tersebut adalah

39
Ontiolo, Hoga Channel, Table coral city, Mari mabuk, Pintu masuk karang Keledupa,
Tanjung Binongko, Pintu masuk karang Koko, Tanjung Kentiole, dan Anano. Namun yang
masih aktif digunakan sebagai lokasi pemantauan pemijahan adalah Runduma, Ontiolo,
Hoga Channel, dan Table coral city, sementara itu Sopari (2014) dengan menguitp data
BTNW (2013) Menyebutkan terdapat 11 (sebelas) lokasi pemijahan ikan yang diketahui
yaitu Hoga Channel, Marimabuk, Table Coral City, Pintu masuk karang kaledupa, Tanjung
Binongko, Pintu masuk karang Koko, Kantiole, Runduma, Anano, Otiolo, dan Karang
Kapota. Dari lokasi tempat pemijahan ikan yang diketahui tersebut disebutkan oleh Sopari
(2014) telah dikelolah oleh Balai TN Wakatobi dengan melakukan tindakan monitoring,
patroli pengamanan, kawasan, penyuluhan/sosalisasi dan Pemerintah Kabupaten
Wakatobi dengan melakukan patroli pengamanan kawasan. Sehingga dengan demikian
berdasarka informasi tersebut maka dapat diketahui bahwa keberadaan habitat
khusus/unik telah diketahui keberadaannya dan juga telah ditetapkan sebagai zona
perlindungan bahari, dan telah ada pengelolaan dengan baik, oleh Balai TN Wakatobi dan
Pemerintah Kabupaten Wakatbi. Oleh karen itu berdasarkan informasi tersebut maka
indikator habitat khusus dapat di berikan skor 3.
Produktivitas perairan menurut Wood (1967) merupakan kapasitas atau kemampuan
suatu perairan dalam memproduksi suatu materi per satuan waktu. Materi yang diproduksi
oleh suatu perairan dapat berupa materi organik yang dihasilkan oleh organisme hidup per
satuan waktu dan sering diestimasi sebagai jumlah karbon yang didapatkan dalam material
hidup dan secara umum dapat dinyatakan sebagai gram carbon yang dihasilkan satuan
meter kuadrat kolom air perhari (gc m-3hari-1) (Ariyana, 2012). Organisme hidup di perairan
yang memberikan konstribusi besar dalam memproduksi materi organik adalah dari
kelompok tumbuhan air meliputi fitoplankton, rumput laut, lamun, mangrove, dan mikroalga
bentik. Khusus untuk fitoplankton disebutkan oleh Asriyana (2012) merupakan salah satu
organisme yang dapat menghasilkan 98% dari total produksi di perairan terutama di laut.
Disamping beberapa komponen yang memberikan pengaruh terhadap produktivitas
perairan tersebut, komponen lain yang juga memberikan pengaruh adalah ketersediaan
cahaya, zat hara, suhu, dan derajat keasamaan (pH). Menurut Pescod (1973) pH
merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan produktivitas suatu perairan. pH
ideal di suatu perairan terdapat pada zona fotosintesis dengan kisaran optimum 6,5 – 8,0.
Dari hasil data lapangan EAFM 2016 di Perairan Wakatobi berkaitan dengan
komponen yang memberikan konstribusi terhadap prodktivitas perairan tersebut diatas
ditemukan cukup tersedia. Sebagai contoh untuk kelompok tumbuhan air seperti lamun,
mangrove, dan rumput laut ke tiga komponen ekosistem tersebut ditemukan menyebar

40
hampir di seluruh wilayah Wakatobi dengan jumlah presentase tutupan yang bervariasi, di
samping itu komponen lain berupa parameter lingkungan yang menentukan produktivitas
perairan seperti pH juga diperoleh mencakup parameter ideal yang dibutuhkan yaitu
sebesar 6. Nilai pH yang diperoleh tersebut berdasarkan kriteria yang ada masih dalam
kategori cukup baik dengan indikasi masih termasuk perairan yang produktif. Berdasarkan
informasi tersebut maka perairan Kabupaten Wakatobi cenderung pada kategori
produktivitas tinggi sehingga indikator produktivitas perairan pada domain habitat ini dapat
diberkan skor 3.
Pengkajian dampak perubahan iklim di Kabupaten Wakatobi belum banyak
dilakukan, namun secara kualitatif dampak perubahan iklim sudah dapat di rasakan oleh
masyarakat yaitu adanya perubahan pola arus dan gelombang serta hujan yang sulit di
prediksi dan tidak teratur. Keberadaan infromasi yang demikian belum diikuti langkah-
langkah strategis untuk mengantisipasinya, oleh karenan itu kriteria ini dapat diberikan skor
2.

Sedangkan kriteria indikator perubahan iklim yang didasarkan pada terumbu karang
di peroleh informasi dari Yulius dkk., (2015) bahwa pada tahun 2012 terumbu karang di
perairan wakatobi sebanyak 65% yang terkena dampak pemutihan, dengan mortalitas 5%
sebelumnya april 2010 ditemukan 70% karang juga terkena dampak pemutihan di rataan
karang dalam dengan 35% koloni tercatat berwarna pucat, disamping itu Laporan TNC
(2012) menyebutkan bahwa kondisi pemutihan karang di Taman Nasional Wakatobi
disebabkan oleh meningkatnya suhu permukaan laut (SPL), yang pada dasarnya
diakibatkan oleh perubahan iklim. Dari data yang dilaporkan bahwa pada tahun 2010 bulan
april grafik komposisi kondisi karang dengan keterangan pucat lebih tinggi berada di atas
50% pada terumbu dangkal (S) dan di atas 40% pada terumbu dalam (D), sementara pada
terumbu karang yang mengalami pemutihan pada daerah dangakal berada pada 10% dan
pada daerah dalam di atas 10%. Kondisi lain juga ditunjukkan pada bulan september 2010
dan januari 2011 bahwa komposisi kondisi karang yang mengalami pemutihan menurun
hingga di bawah 1% , secara rinci digambarkan pada grafik sebagai berikut :

41
Grafik 3. Komposisi (%) kondisi koloni karang di Taman Nasional Wakatobi (sumber : TNC,
2012)

Keterangan : Gambar inset adalah gambar yang sama dengan gambar utama, aksis-y
disesuaikan dan hanya menampilkan kondisi September 2010 dan Januari
2011. S = terumbu dangkal (1-3 m) dan D = terumbu dalam (7-10 m).

Dengan demikian berdarkan informasi maka dapat diketahui bahwa kondisi karang
yang mengalami pemutihan dari tahun 2010 hingga tahun 2011 mengalami penurunan
intensitas. Sehinga berdasarkan kondisi tersebut maka skor yang dapat diberikan adalah
sebesar 3 dengan keterangan bahwa habitat terumbu karang di Perairan Wakatobi terkena
dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching) dengan presentasi kurang dari 5%.

6.1.3 Domain Teknik Penangkapan Ikan

Berdasarkan aspek teknis penangkapan ikan telah dirumuskan 6 (enam) indikator utama,
yakni: (1) metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal, (2) modifikasi
alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan, (3) Fishing capacity dan effort, (4)
Selektivitas penangkapan, (5) Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan
dengan dokumen legal, dan (6) Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.
Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain teknik penangkapan ikan
ditampilkan dalam Tabel 13.

42
Tabel 13. Hasil Analisis Komposit Indikator DomainTeknik Penangkapan Ikan.

DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT


INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)

1. Metode Penggunaan alat Laporan hasil 1=frekuensi pelanggaran > 10 3 30 1 (Killer 90


penangkapan dan metode pengawas kasus per tahun ; Indicator)
ikan yang penangkapan yang perikanan, survey
bersifat merusak dan atau 2 = frekuensi pelanggaran 5-10
destruktif dan tidak sesuai kasus per tahun ;
atau ilegal peraturan yang
berlaku. 3 = frekuensi pelanggaran <5
kasus per tahun

2. Modifikasi Penggunaan alat Sampling ukuruan 1 = lebih dari 50% ukuran 2 25 2 50


alat tangkap dan alat ikan target/ikan target spesies < Lm ;
penangkapan bantu yang dominan.
ikan dan alat menimbulkan 2 = 25-50% ukuran target
bantu dampak negatif spesies < Lm
penangkapan. terhadap SDI
3 = <25% ukuran target
spesies < Lm

3. Fishing Besarnya kapasitas Interview, survey, 1 = R kecil dari 1; 2 15 3 30


capacity dan dan aktivitas logbook
Effort penangkapan 2 = R sama dengan 1;

3 = R besar dari 1

4. Selektivitas Aktivitas Statistik Perikanan 1 = rendah (> 75%) ; 3 15 4 45


penangkapan penangkapan yang Tangkap, logbook,
dikaitkan dengan survey 2 = sedang (50-75%) ;
luasan, waktu dan
3 = tinggi (kurang dari 50%)
keragaman hasil
penggunaan alat tangkap yang
tangkapan
tidak selektif)

43
DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)

5. Kesesuaian Sesuai atau Survey/monitoring 1 = kesesuaiannya rendah 2 10 5 20


fungsi dan tidaknya fungsi dan fungsi, ukuran dan (lebih dari 50% sampel tidak
ukuran kapal ukuran kapal jumlah kapal. sesuai dengan dokumen legal);
penangkapan dengan dokumen
ikan dengan legal 2 = kesesuaiannya sedang
dokumen (30-50% sampel tidak sesuai
legal dengan dokumen legal);

3 = kesesuaiannya tinggi
(kurang dari 30%) sampel tidak
sesuai dengan dokumen legal

6. Sertifikasi Kualifikasi Sampling 1 = Kepemilikan sertifikat 1 5 6 5


awak kapal kecakapan awak kepemilikan <50%;
perikanan kapal perikanan. sertifikat
sesuai 2 = Kepemilikan sertifikat 50-
dengan 75%;
peraturan.
3 = Kepemilikan sertifikat
>75%

2,16 100 240

44
Secara definisi metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif atau merusak
adalah cara menangkap ikan yang dapat menimbulkan kerusakan secara langsung,
baik terhadap habitat (tempat hidup dan berkembang biak) ikan maupun terhadap
sumber daya ikan itu sendiri. Sementara, yang dimaksud dengan metode
penangkapan ikan yang ilegal adalah cara menangkap ikan yang melanggar atau
bertentangan dengan ketentuan peraturan yang berlaku, baik ditingkat lokal, nasional,
regional maupun internasional (Modul EAFM, 2012).
Berdasarkan hasil survei EAFM Kabupaten Wakatobi baik yang di peroleh dari
informasi responden maupun dari pihak instansi berwenang maka domain teknik
penangkapan pada indikator Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau
illegal di temukan di perairan Kabupaten Wakatobi. Hal ini di buktikan dengan di
temukannya alat tangkap yang di operasikan oleh nelayan yang dapat merusak habitat
maupun ekosistem perairan yaitu salah satunya adalah alat tangkap kompresor dan bius
yang di operasikan oleh beberapa nelayan yang ada di wakatobi meskipun alat tersebut
tidak di izinkan beroperasi. Akibat dari penggunaan alat tangkap ini maka pengelolaan
berbasis ekosistem akan sulit untuk di wujudkan karena kurangnya pemahaman dari
masyarakat akan pentingnya menggunakan alat tangkap yag tidak merusak ekosistem dan
habitat dari sumberdaya ikan. Dengan demikian, implementasi pendekatan ekosistem
dalam pengelolaan perikanan dapat dikatakan berhasil atau sangat baik, bila tidak ada lagi
nelayan yang menggunakan metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau
ilegal. Hal tersebut dapat dipahami, karena metode penangkapan tersebut akan
memberikan tekanan langsung terhadap proses terjadinya kerusakan sumber daya ikan
dan ekosistemnya di suatu perairan dalam waktu yang relatif cepat. Padahal, untuk
memulihkan sumber daya ikan dan ekosistem yang rusak tersebut agar menjadi baik
kembali, membutuhkan waktu yang sangat lama dan biaya yang tidak sedikit. Tambahan
pula, larangan penggunaan metode penangkapan ikan yang destruktif dan atau ilegal ini
diatur dalam UU No.31/2004 jo. UU No.45/2009 tentang Perikanan, pasal 8 ayat 1 sampai
3 dan pasal 12 ayat 1. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapat dinyatakan bahwa
indikator metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau illegal merupakan
indikator yang sangat sensitif terhadap kerusakan langsung sumber daya ikan dan
ekosistemnya, sehingga indikator ini ditetapkan menjadi indikator penentu utama atau killer
indicator dalam menilai salah satu keberhasilan implementasi pendekatan ekosistem dalam
pengelolaan perikanan. Berdasarkan hal diatas maka pemberian skor untuk domain
metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau illegal di beri nilai 3 karena

45
metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau illegal yang terjadi di Kabupaten
Waktatobi ditemukan kurang dari 5 kasus per tahunnya.
Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan didefinisikan sebagai
penggunaan alat tangkap dan dan alat bantu yang tidak sesuai dengan peraturan yang
dapat menimbulkan dampak negatif terhadap sumber daya ikan. Penentuan indikator ini
dilakukan karena modifikasi alat tangkap dan alat bantu yang tidak sesuai dengan
peraturan akan memberikan dampak langsung terhadap kelestarian sumber daya ikan.
Umumnya alat tangkap yang dimodifikasi tanpa memperhatikan peraturan atau panduan
yang telah ditetapkan pemerintah akan berpotensi mengancam kelestarian sumber daya
ikan.
Hasil survei EAFM yang di peroleh dari responden di kabupaten Wakatobi mengenai
modifikasi alat tangkap tidak di temukan pada nelayan,karena nelayan yang ada di
kabupaten Wakatobi mayoritas adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing
dan jaring. Sehingga modifikasi dari alat tangkap yang mereka gunakan tidak di lakukan
dan para nelayan di kabupaten Wakatobi menggap bahwa alat tangkap jaring dan pancing
adalah jenis alat tangkap yang paling selektif untuk mereka gunakan dalam proses
penangkapan disamping pengoperasian yang gampang dan biaya yang di keluarkan tidak
banyak maka para nelayan menggapnya sebagai alat tangkap yang pas untuk digunakan.
Di kalangan masyarakat nelayan sudah diketahui dan dipahami bahwa alat tangkap sejenis
pukat harimau merupakan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem. Oleh karena itu
perlu kehati-hatian yang tinggi untuk mengelola jenis alat tangkap tersebut. Alat tangkap
yang serupa dengan alat tangkap trawl ini, ditinjau dari cara pengoperasiannya maka jaring
tersebut dapat menimbulkan perubahan ekosistem dasar perairan pada lokasi
pengoperasian alat. Perubahan ekosistem dasar perairan tidak hanya akan mempengaruhi
kondisi ekosistem laut tetapi selanjutnya juga akan mempengaruhi rantai makanan (food
chain) atau jaring makanan (food web) ekosistem sekitarnya atau ekosistem secara
keseluruhan. Pada akhirnya lambat atau cepat akan memberikan dampak negatif terhadap
populasi sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan bagi nelayan. Berdasarkan
hal diatas maka pemberian skor untuk domain modifikasi alat tangkap dan alat bantu
penangkapan di beri nilai 2 karena mengenai modifikasi alat tangkap dan alat bantu
penangkapan dari informasi yang di peroleh adalah 25-50% ukuran target spesies < Lm
yang di peroleh dari hasil tangkapan nelayan.
Fishing capacity didefinisikan sebagai jumlah hasil tangkapan ikan maksimum
yang dapat dihasilkan pada periode waktu tertentu (tahun) oleh satu kapal atau armada bila
dioperasikan secara penuh, dimana upaya dan tangkapan tersebut tidak dihalangi

46
oleh berbagai tindakan pengelolaan perikanan yang menghambatnya. Satuan unit
yang digunakan untuk fishing capacity adalah ton/tahun.

Fishing capacity menjadi input control dalam manajemen perikanan tangkap. Input
perikanan yang berlebih berpotensi menimbulkan kapasitas yang berlebih (over capacity).
Overcapacity yang berlangsung terus menerus akan menyebabkan overfishing, sehingga
hal ini tentu saja akan dapat menghambat terwujudnya perikanan yang berkelanjutan dan
lestari (Modul EAFM, 2012).
Informasi yang diperoleh dari responden yang ada di Kabupaten Wakatobi
berhubungan dengan Indikator fishing capasity dan effort adalah para nelayan melakukan
kegiatan penangkapan setiap harinya dengan jumlah hasil tangkapan berkisar antara 50-
150 kg per tripnya pada musim muncak. Kondisi ini di dukung pula oleh beberapa faktor
seperti ketersediaan bahan bakar,cuaca yang mendukung dan musim penangkapan. Dari
uraian berkaitan dengan potensi perikanan tangkap yang telah dikemukakan sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa kegiatan perikanan tangkap yang ada didominasi oleh usaha
perikanan skala kecil. Hal ini dapat dilihat dari struktur ukuran armada kapal motor yang
digunakan sebagai sarana penangkapanyang hanya berukuran lebih dominan
berkapasitas < 5 GT, disamping jumlah unitnya yang relatif terbatas kondisi usaha
penangkapan ikan dengan armada penangkapan yang demikian, mengakibatkan daya
jelajah penangkapan menjadi terbatas dan hanya mampu mencapai daerah penangkapan
tidak lebih dari 4 mil laut dari garis pantai. Akan tetapi konsekuensi dari kondisi usaha
penangkapan yang demikian, berimpikasi pada rendahnya produktivitas hasil tangkapan,
yang pada akhirnya berujung pada kemiskinan bagi para nelayan. Dalam skala yang lebih
besar, produktivitas penangkapan yang rendah ini juga dibarengi dengan jumlah unit
armada penangkapan yang terbatas, sehingga total produksi ikan hasil usaha
penangkapan ini juga menjadi rendah. Implikasi lanjutannya bagi pengembangan ekonomi
daerah adalah rendahnya sumbangan pendapatan daerah dari kegiatan penangkapan ikan.
Berdasarkan hal diatas maka pemberian skor untuk domain fishing capasity dan effort di
beri nilai 2 karena rasio kapasitas sama dengan satu untuk fishing capasity dan effort yang
ada di Kabupaten Waktatobi.
Berdasarkan hasil EAFM Wakatobi 2016, terdaftar aktivitas penangkapan ikan di
Kabupaten Wakatobi didominasi oleh alat tangkap jaring dan pancing, serta alat tangkap
lainnya seperti bubu, sero, panah, tombak, pukat serta pengunaan kompresor.. Armada
penangkapan didominasi oleh bodi batang yang digunakan untuk mengoperasikan alat
tangkap seperti pancing, jaring dan bubu diperairan pantai serta terumbu karang disekitar
pulau-pulau utama. Alat tangkap ini sangat ramah lingkungan karena dalam

47
pengoperasiannya, alat tangkap ini tidak merusak ekosistem disekitarnya. Selain itu, alat
tangkap ini juga sangat selektif karena ukuran ikan yang tertangkap sesuai dengan ukuran
alat tangkap yang digunakan. Misal alat tangkap jaring yang digunakan untuk menangkap
serta ukuran mata pancing yang cukup besar menyebabkan ikan yang tertangkap memiliki
ukuran yang cukup besar bahkan telah mencapai ukuran matang gonad sehingga ikan
dapat melakukan pemijahan sebelum akhirnya tertangkap. Hal ini dapat menjaga stok ikan
dilaut sehingga jumlahnya dapat lestari dan secara terus menerus termanfaatkan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat di kategorikan bahwa persentase penggunaan alat
tangkap yang tidak atau kurang selektif lebih kecil dari (<) 50%. Sehingga diberi skor 3.
Kesesuaian Fungsi dan Ukuran Kapal Penangkapan Ikan Dengan Dokumen Legal
di Kabupaten Wakatobi didominasi oleh kapal berukuran panjang maksimal 15 meter
dengan lebar 1,6 meter serta kapasitas muat kurang dari 5 GT. Berdasarkan hasil EAFM
Wakatobi 2016, diperoleh masih banyaknya kegiatan penangkapan yang tidak dilengkapi
dengan sertifikat atau bukti kelengkapan dokumen kegiatan penangkapan. Berdasarkan
laporan Dinas Kelautan dan Perikanan tahun 2009 tentang pendataan alat tangkap bahwa
kapal-kapal penangkap ikan tidak diwajibkan memiliki izin operasi oleh pemerintah
sehingga pengawasannya tidak dilakukan secara intensif khususnya bekaitan dengan
dokumen yang berhubungan dengan spesifikasi alat tangkap, sehingga secara umum
kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkap ikan tidak dapat diverifikasi. Namun
berdasarkan informasi tersebut dapat dikatakan bahwa persentase jumlah sampel
dokumen legal yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan berkisar antata 30% - 50%
sehingga indikator ini di berikan skor 2.
Berdasarkan Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi
tahun 2009 tidak ditemukan data atau pelaporan jumlah kepemilikan sertifikat kecakapan
awak kapal perikanan. Hal ini disebabkan kapal penangkap ikan tidak diwajibkan untuk
mengurus izin dalam melakukan operasi penangkapan dan para nelayan tidak diwajibkan
untuk memiliki sertifikat yang sesuai dengan kualifikasi penangkapannya. Berdasarkan
informasi tersebut, maka sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan di
Kabupaten Wakatobi dapat diberikan skor 1 dimana kepemilikan serifikasi kurang dari 50%.

6.1.4 Domain Sosial

Terdapat 3 indikator penilaian untuk domain sosial yaitu partisipasi pemangku kepentingan,
konflik perikanan dan pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya
ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge). Berdasarkan hasil
analisis setiap indikator EAFM pada domain sosial ditampilkan dalam Tabel 14

48
Partisipasi pemangku kepentingan merupakan frekuensi keiikutsertaan pemangku
kepentingan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Jumlah kegiatan pengelolaan
sumberdaya ikan yang diikuti oleh pemangku kepentingan dihitung kemudian dibandingkan
dengan seluruh kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang pernah dilakukan di lokasi
yang diteliti. Pengukuran partisipasi pemangku kepentingan ini bertujuan untuk melihat
keaktifan pemangku kepentingan dalam seluruh kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan.
Tingkat keaktifan pemangku kepentingan sangat menentukan keberhasilan kegiatan
pengelolaan sumberdaya ikan. Oleh karena itu, semakin aktif pemangku kepentingan
dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan, semakin tinggi tingkat keberhasilan
pengelolaan sumberdaya ikan (Modul EAFM, 2012).

Terdapat 3 indikator penilaian untuk domain sosial yaitu partisipasi pemangku kepentingan,
konflik perikanan dan pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya
ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge). Berdasarkan hasil
analisis setiap indikator EAFM pada domain sosial ditampilkan dalam Tabel 15.

Kabupaten Wakatobi merupakan kawasan konservasi dan secara kelembagaan di kelola


oleh Balai Taman Nasional Wakatobi. Pengelolaan kawasan tersebut melibatkan banyak
stakeholder maupun pemamngku kepentingan. Pemamngku kepentingan tersebut baik
daerah (Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Wakatobi dan Pemerintah Daerah Kab.
Wakatobi) dan pusat (Dewan Perwakilan Rakyat, Kementrian Kelautan dan Perikanan RI,
Perguruan Tinggi (Universitas Haluoleo dan Konsorsium Mitra Bahari Prov.Sulawesi
Tenggara) serta lembaga non-pemerintah (WWF, TNC) muapun pihak swasta seperti
Wakatobi Dive Resort. Keberadaan lembaga tersebut menunjukan bahwa banyak
pemangku kepentingan yang berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan termasuk
didalamnya pemanfaatan ikan karang dan lembaga-lembaga tersebut mulai dari tahun
2012 sampai sekarang masih sama model pengelolaannya. Keberadaan dari beberapa
lembaga ini sangat baik bagi keberlansungan potensi sumberdaya hayati yang menjadi
suatu investasi yang besar bagi masyarakat Wakatobi, karena dengan semakin banyaknya
ahli dalam suatu wilayah pengembangan maka dapat membawa kesejahteraan bagi orang-
orang didalamnya. Tetapi, perlu adanya pendekatan-pendekatan yang perlu dilakukan oleh
lembaga-lembaga tersebut kepada masyarakat setempat secara rutin guna untuk
memberikan pemahaman atau penjelasan terkait kegiatan atau aturan-aturan yang ada
dalam pengelolaan tersebut. Karena dengan adanya pendekatan yang baik akan
menciptakan kerjasama yang baik pula. Meskipun keberadaan lembaga tersebut dalam
aktivitasnya belum terintegrasi tapi masih menjalankan tupoksi masing-masing sehingga

49
kadang belum sinergis apa yang dilakukan antar lembaga. Berdasarkan uraian di tersebut
maka kriteria skor untuk keterlibatan pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan
karang termasuk kategori moderat dan dalam skor 2

Berdasarkan hasil wawancara dari 210 responden nelayan ikan karang, hanya nelayan
karang di Pulau Kaledepa yang mengatakan pernah terjadi konflik antar nelayan sekitar 3
kali pertahun, konflik tersebut dari tahun 2012 sampai 2014 mengalami penurunan yang
dimana pada tahun 2012 konflik antar nelayan sekitar 10 kali pertahun. Konflik yang
dimaksud adalah berkaitan dengan alat penangkapan yang digunakan nelayan lain yang
ditemui di laut dengan alat bantu bom atau bius sehingga diantara mereka terjadi konflik
namun bisa diselesaikan di tempat dan tidak dilaporkan ke pihak pemerintah dan tidak
tercatat pula. Sedangkan nelayan di pulau lainnya mengatakan tidak ad a konflik diantara
nelayan.

50
Tabel 15. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Sosial.
DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)

1. Partisipasi Keterlibatan Recording partisipasi 1 = kurang dari 50%; 2 40 1 80


pemangku pemangku dilaksanakan secara
kepentingan kepentingan kontinyu sesuai dengan 2 = 50-100%;
pentahapan pengelolaan
perikanan. Evaluasi dari 3 = 100 %
record ini dilakukan setiap
tahap dan siklus
pengelolaan.

2. Konflik perikanan Resources Arahan pengumpulan data 1 = lebih dari 5 2 35 2 70


conflict, policy konflik adalah setiap kali/tahun;
conflict, fishing semester (2 kali setahun)
gear conflict, atau sesuai musim (asumsi 2 = 2-5 kali/tahun;
konflik antar level of competition
3 = kurang dari 2
sector. berbeda by musim)
kali/tahun

Pemanfaatan Pemanfaatan Recording pemanfaatan 1 = tidak ada; 2 25 3 50


pengetahuan lokal pengetahuan TEK dilaksanakan secara
dalam pengelolaan lokal yang terkait kontinyu sesuai dengan 2 = ada tapi tidak
sumberdaya ikan dengan pentahapan pengelolaan efektif;
(termasuk di pengelolaan perikanan. Evaluasi dari
3 = ada dan efektif
dalamnya TEK, perikanan record ini dilakukan setiap
digunakan
traditional siklus pengelolaan dan
ecological dilakukan secara partisipatif
knowledge)

2 100 200

51
Konflik perikanan merupakan pertentangan yang terjadi antar nelayan akibat perebutan
fishing ground (resources conflict) dan benturan alat tangkap (fishing gear conflict).
Konflik perikanan juga dapat terjadi akibat pertentangan kebijakan (policy conflict) pada
kawasan yang sama atau pertentangan kegiatan antar sektor. Konflik diukur dengan
frekuensi terjadinya konflik sebagai unit indikator. Indikator ini bertujuan untuk melihat
potensi kontra produktif dan tumpang tindih pengelolaan yang berakibat pada kegagalan
implementasi kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan. Semakin tinggi frekuensi konflik
perikanan, semakin sulit pengelolaan sumberdaya perikanan. Demikian pula sebaliknya,
semakin rendah frekuensi terjadinya konflik diharapkan semakin mudah implementasi
pengelolaan sumberdaya perikanan (Modul EAFM, 2012).

Secara umum berdasarkan hasil studi yang dilakukan KMB Sultra tahun 2010 bahwa
pelanggaran yang terjadi biasanya diikuti dengan konflik namum frekuensinya semakin
menurun sejak tahun 2005 – 2010 dari 14 kasus menjadi 2 kasus termasuk konflik
didalammnya. Sampai sekarang (2012 saampai 2014) konflik terkait dengan kebijakkan
dimana pada zonasi TNW ditetapkan sebagai daerah pemanfaatan tradisional yang
mengacu pada undang-undang konservasi sedang DKP Wakatobi pada daerah tersebut
ditetapkan sebagai daerah perlindungan laut (DPL) kemudian berdasarkan wawancara
dengan pihak DKP dan KOMUNTO (Komunitas Nelayan Tomia) mengatakan bahwa ada
pertentangan kebijakan khususnya aturan yang berkaitan dengan larangan penggunaan
kompresor secara umum namun dipihak lain apabila penggunaannya tidak merusak maka
di bolehkan. Oleh karena itu indikator konflik perikanan yang berkaitan dengan
sumberdaya, kebijakan, fishing gear maupun antar sektor dapat diberikan skor 2.

Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan merupakan ukuran


dari keberadaan serta keefektifan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan
sumberdaya ikan. Ada tidaknya pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan
sumberdaya ikan yang diikuti oleh efektif tidaknya penerapan pengetahuan lokal dalam
kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang pernah dilakukan di lokasi yang diteliti.
Tingkat keefektifan penerapan pengetahuan lokal sangat menentukan keberhasilan
kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Oleh karena itu, semakin efektif penerapan
pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan, semakin tinggi tingkat
keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan

Keberadaan program Coremap II dan WWF-TNC serta lembaga pemerintah lainnya di


Kabupaten Wakatobi yang menerapkan konsep konservasi berbasis masyarakat telah
meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya pengelolaan

52
sumberdaya esisir dan laut secara lestari. Di Masyarakat Kabupaten Wakatobi terdapat
beberapa kerifan lokal maupun pengetahuan lokal yang dapat dimanfaatkan untuk
mengelola termasuk memanfaatkan sumberdaya khususnya diwilayah pesisir namun
dalam penerapannya belum efektif artinya hanya sebagian kecil masyarakat nelayan
wakatobi yang mngikuti aturan adat tersebut dalam pengelolaan perikanan. Salah satunya
adalah cara menentukan kapan waktu yang tepat untuk menangkap ikan karang, dimana
masyarakat dapat mengetahui pada waktu-waktu tertentu ikan karang datang memijah di
lokasi tersebut. Namun pengetahuan ini bisa sangat berbahaya karena memungkinkan ikan
yang tertangkap belum bertelur.

Berdasarkan hasil wawancara 210 responden hanya sekitar 20 % yang mengatakan bahwa
keberadaan pengetahuan lokal tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di
Kabupaten Wakatobi ini secara umum telah lama namun dengan kemajuan pengetahuan
dan teknologi hal-hal tersebut mulai terkikis dan belum terkelola dengan baik oleh karena
itu perlu adanya revitalisasi terhadap pengetahuan lokal maupun kearifan lokal yang ada di
masyarakat. Pentingnya meningkatkan pemahaman dan mengefisiensikan pelibatan
masyarakat dalam setiap pembangunan terutama dalam pengelolaan wilayah laut sangat
dibutuhkan, kajian lebih mendetail di setiap desa pesisir perlu diidentifikasi lebih lanjut,
dikarenakan kearifan lokal yang ada pun masih bisa diperkuat untuk mendukung
pengelolaan perikanan yang lebih selektif dan tetap mengakomodir nilai-nilai budaya
setempat.

Berdasarkan informasi tersebut maka indikator pemanfaatan pengetahuan lokal dalam


pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological
knowledge) diberikan status moderat dengan skor 2.

6.1.5. Domain Ekonomi

Aspek ekonomi ditetapkan 4 (empat) indikator utama, yakni: pendapatan rumah tangga
perikanan (RTP), nilai tukar nelayan (NTN), dan rasio tabungan, dan (4) kepemilikan aset.
Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain ekonomi ditampilkan dalam
Tabel berikut

53
Tabel 16. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Ekonomi.
DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)
1. kepemilikan perubahan Arahan frekuensi survey dan 1 = nilai aset berkurang 2 35 1 70
aset nilai/jumlah aset pengumpulan data (lebih dari 50%) ;
usaha RTP cat :aset pendapatan RTP adalah 2 = nilai aset tetap
usaha perikanan atau menurut musim tangkapan (kurang dari 50%);
aset RT. ikan 3 = nilai aset bertambah
(di atas 50%)
2. Nilai Tukar Rasio penerimaan Pengumpulan data NTN 1 = kurang dari 100, 2 30 2 60
Nelayan (NTN) terhadap menggunakan sumber
2 = 100,
pengeluaran. sekunder (BPS dan
PUSDATIN) yang 3 = lebih dari 100
dikumpulkan setiap tahun
3. Pendapatan Pendapatan total Arahan frekuensi survey 1= kurang dari rata-rata 2 20 3 40
rumah tangga RTP yang dihasilkan (atau penggunaan UMR,
(RTP) dari usaha RTP note/catatan yang ada di 2= sama dengan rata-
lapangan, mis: pengumpul rata UMR,
ikan) dan pengumpulan data 3 = > rata-rata UMR
pendapatan RTP adalah
menurut musim tangkapan
ikan
4. Saving rate menjelaskan tentang Arahan frekuensi survey dan 1 = kurang dari bunga 1 15 4 15
rasio tabungan pengumpulan data kredit pinjaman;
terhadap income pendapatan RTP adalah 2 = sama dengan
menurut musim tangkapan bungan kredit pinjaman;
ikan 3 = lebih dari bunga
kredit pinjaman
1,75 100 185

54
Kepemilikan aset merupakan perbandingan antara jumlah aset produktif yang dimiliki
rumah tangga perikanan saat ini dengan tahun sebelumnya. Bila aset produktif dari rumah
tangga nelayan bertambah maka diberi nilai tinggi dan sebaliknya. Aset produkstif
merupakan aset rumah tangga yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan,
budidaya ikan, pengolahan ikan, atau perdagangan ikan, bahkan kegiatan ekonomi lainnya
seperti pertanian. Pengukuran kepemilikan aset ini bertujuan untuk melihat kemampuan
rumah tangga nelayan dalam meningkatkan usaha ekonominya (Modul EAFM, 2012).

Berdasarkan hasil wawancara dari 210 responden nelayan ikan karang dari tahun 2012
sampai 2014 menunjukkan bahwa nilai aset cenderung bertambah terlihat dari adanya
perubahan posisi kerja yang sebelumnya menjadi ABK saat ini memiliki kapal sendiri dan
beberapa RTP lainya memiliki aset rumah tangga berupa sepeda motor, kulkas, mesin cuci,
generator, TV, VCD/DVD, dan HP sera jenis bangunannya sudah permanen dan rata-rata
memiiki sumber listrik. Peningkatan aset tersebut dari 2– 3 tahun terakhir berkisar antara
27,45 % - 70,82 % dengan rata-rata 49,14 %. Oleh karena itu berdasarkan kriteria pada
indikator ini skor dapat diberikan 2.

Pengeluaran nelayan terbesar di Kabupaten Wakatobi adalah untuk keperluan sekolah dan
biaya hidup berkisar Rp 500.000 hingga Rp. 7.000.000 dengan pendapatan antara Rp.
250.000 – Rp 7.000.000. Berdasarkan infromasi dari responden nelayan ikan karang yang
ada di Kabupaten Wakatobi mengatakan bahwa pendapatan lebih kecil bila dibanding
dengan pengeluaran (40.21 %), sebagian mengatakan pendapatan lebih besar
pengeluaran (24,61%) dan 35,18 % mengatakan antara pengeluaran dan pendapatan
nelayan sama saja. Berdasarkan informasi tersebut maka secara keseluruhan dapat
disimpulkan bahwa indikator nilai tukar nelayan (NTN) dapat diberikan skor 2.

Pendapatan nelayan pengkapan ikan karang dari tahun 2012 samapai 2014 mengalami
peningkatan. Berdasarkan hasil wawancara nelayan penangkapan ikan karang yang
dilakukan sebnyak 210 responden maka dapat dikelompokan berdasarkan geografi pulau
yaitu pulau Wanci, pulau Kaledupa, pulau Tomia dan Pulau Binongko. Pendapatan bersih
nelayan ikan karang di Pulau Binongko berkisar Rp 300.000 – Rp. 2.000.000, nelayan
Pulau Tomia berkisar Rp. 550.000 – Rp. 7.000.000, nelayan karang di Pulau Kaledupa
berkisar Rp. 100.000 – Rp 5.000.000 dan nelayan ikan karang di Pulau Wanci berkisar Rp.
100.000 – Rp 7.000.000. Besarnya pendapatan tersebut bila dibandingkan dengan UMR
regional Sulawesi Tenggara sebesar Rp. 1.070.000 maka berada pada kisaran menengah
atau moderat dan berdasarkan kisaran dan rata-rata pendapatan nelayan ikan karang di

55
Kabupaten Wakatobi maka untuk kriteria skor mencapai 2 = sama besar dengan rata-rata
UMR regional.

Informasi yang berkaitan dengan saving rate tidak banyak terungkap, namun sebagai
pendekatan berdasarkan kisaran pendapatan dan pengeluaran yang sangat bervariasi dan
standar deviasi pendapatan yang tinggi maka dapat diduga bahwa perbandingan antara
selisih pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan ikan karang dengan
pendapatannya rata-rata berkisar dibawah 10 % dimana bunga kredit di bank setempat
rata-rata 12,5 %. Kondisi ini dapat menggambarkan secara kasar tentang indikator saving
rate hanya dapat diberikan skor 1.

6.1.6 Domain Kelembagaan

Aspek kelembagaan telah dirumuskan 7 (tujuh) indikator utama, yakni: (1) kepatuhan
terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan
yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (alat), (2) kelengkapan aturan
main dalam pengelolaan perikanan, (3) mekanisme kelembagaan, (4) rencana pengelolaan
perikanan, (5) tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan, (6)
kapasitas pemangku kepentingan dan (7) keberadaan otoritas tunggal pengelolaan
perikanan. Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain kelembagaan
ditampilkan dalam Tabel 17.

Berdasarkan laporan tahunan DKP Kabupaten Wakatobi tahun 2011 mengatakan bahwa
pada tahun 2010 terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan perikanan yang telah di
tetapkan baik formal maupun tidak formal. Hal ini di perkuat pula dari hasil wawancara
dengan pihak DKP menyebutkan bahwa dalam setahun terkhir tercatat 8 pelanggaran,
yaitu: 1) Perijinan tidak lengkap dengan kategori ringan dan dilakukan pembinaan serta
melengkapi dokumen sesuai kebutuhan, 2) Pelanggaran daerah penangkapan dengan
kategori ringan dan dilakukan pembinaan, 3) Cara penangkapan tidak ramah lingkungan
dengan kategori ringan (membawah kompresor kapal kurang dari 5 GT). Oleh karena itu
kriteria pelanggaran terhadap aturan perikanan dapat di kategorikan buruk dengan skor 1.
Sedangkan untuk pelangaran terhadap aturan non formal tidak ada informasi pelanggaran
dan kriteria ini dapat di berikan kategori baik dengan skor 3. Sehingga berdasarkan hal
tersebut maka indikator kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung
jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-
formal diberikan nilai 50.

Berdasarkan wawancara dengan perangkap DKP Kabupaten Wakatobi bahwa RPP belum
ada, namun aturan-aturan lain khususnya secara nasional masih mendominasi aturan

56
untuk dijadikan rujukan dalam pengelolaan perikanan di Kab. Wakatobi yang meliputi UU
No 27 Tahun 2007, UU No 45 Tahun 2009, UU No 45 tahun 2007, UU No 45 tahun 2004,
PP No 60 tahun 2009. Sedangkan aturan yang bersifat teknis dan operasional.

57
Tabel 17. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Kelembagaan.

DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT


INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)
1. Kepatuhan Tingkat Monitoring ketaatan: 1= lebih dari 5 kali terjadi 1 25 1 50
terhadap kepatuhan pelanggaran hukum dalam
1. Laporan/catatan terhadap
prinsip-prinsip (compliance) pengelolaan perikanan;
pelanggaran formal dari
perikanan yang seluruh
pengawas, 2 = 2-4 kali terjadi
bertanggung pemangku
pelanggaran hukum;
jawab dalam kepentingan 2. Wawancara/kuisioner
pengelolaan WPP terhadap (key person) terhadap 3 = kurang dari 2 kali
perikanan yang aturan main pelanggaran non formal pelanggaran hukum
telah ditetapkan baikformal termasuk ketaaatan
Non formal 3
baik secara maupun tidak terhadap peraturan sendiri
formal maupun formal maupun peraturan 1= lebih dari 5 informasi
non-formal diatasnya pelanggaran,
(Alat)
2= lebih dari 3 informasi
pelanggaran,
3= tidak ada informasi
pelanggaran
2. Kelengkapan Sejauh mana 1) Benchmark sesuai 1 = tidak ada; 2 22 2 61,6
aturan main kelengkapan dengan Peraturan nasional,
2 = ada tapi tidak lengkap;
dalam regulasi dalam
2) membandingkan situasi
pengelolaan pengelolaan 3 = ada dan lengkap
sekarang dengan yang
perikanan perikanan
sebelumnya Elaborasi untuk poin 2 3
3) replikasi kearifan lokal 1= ada tapi jumlahnya
berkurang;
2= ada tapi jumlahnya
tetap;

58
DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)
3= ada dan jumlahnya
bertambah

Ada atau tidak Survey dilakukan melalui 1=tidak ada penegakan 3


penegakan wawancara/ kuisioner: aturan main;
aturan main dan
1) ketersediaan alat, orang 2=ada penegakan aturan
efektivitasnya
main namun tidak efektif;
2) bentuk dan intensitas
penindakan (teguran, 3=ada penegakan aturan
hukuman) main dan efektif
1= tidak ada alat dan orang; 3
2=ada alat dan orang tapi
tidak ada tindakan;
3= ada alat dan orang serta
ada tindakan
1= tidak ada teguran 3
maupun hukuman;
2= ada teguran atau
hukuman;
3=ada teguran dan
hukuman
3. Mekanisme Ada atau Survey dilakukan dengan : 1=tidak ada mekanisme 2 18 3 36
pengambilan tidaknya analisis dokumen antar pengambilan keputusan;
keputusan mekanisme lembaga dan analisis
2=ada mekanisme tapi
pengambilan
tidak berjalan efektif;

59
DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)
keputusan dalam stakeholder melalui 3=ada mekanisme dan
pengelolaan wawancara/kuisioner berjalan efektif
perikanan
1= ada keputusan tapi tidak 2
dijalankan;
2= ada keputusan tidak
sepenuhnya dijalankan;
3= ada keputusan
dijalankan sepenuhnya
4. Rencana Ada atau Survey dilakukan dengan 1=belum ada RPP; 1 15 4 15
pengelolaan tidaknya RPP wawancara/kuisioner:
2=ada RPP namun belum
perikanan untuk wilayah
1. Adakah atau tidak RPP sepenuhnya dijalankan;
pengelolaan
disuatu daerah
perikanan 3=ada RPP dan telah
dimaksud 2. Dilaksanakan atau tidak dijalankan sepenuhnya
RPP yang telah dibuat
5. Tingkat Semakin tinggi Survey dilakukan dengan : 1=konflik antar lembaga 2 11 5 27.5
sinergisitas tingkat sinergi analisis dokumen antar (kebijakan antar lembaga
kebijakan dan antar lembaga lembaga dan analisis berbeda kepentingan);
kelembagaan (span of control- stakeholder melalui
2 = komunikasi antar
pengelolaan nya rendah) wawancara/kuisioner
lembaga tidak efektif;
perikanan maka tingkat
efektivitas 3 = sinergi antar lembaga
pengelolaan berjalan baik
perikanan akan
semakin baik

60
DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)
Semakin tinggi Survey dilakukan dengan : 1= terdapat kebijakan yang 3
tingkat sinergi analisis dokumen antar saling bertentangan;
antar kebijakan lembaga dan analisis
2 = kebijakan tidak saling
maka tingkat stakeholder melalui
mendukung;
efektivitas wawancara/kuisioner
pengelolaan 3 = kebijakan saling
perikanan akan mendukung
semakin baik
6. Kapasitas Seberapa besar Survey dilakukan dengan 1=tidak ada peningkatan; 3 5 6 15
pemangku frekuensi wawancara/kuisioner
2 = ada tapi tidak
kepentingan peningkatan terhadap:
difungsikan;
kapasitas
1) Ada atau tidak, berapa
pemangku 3 = ada dan difungsikan
kali
kepentingan
dalam 2) Materi
pengelolaan
perikanan
berbasis
ekosistem
7. Keberadaan Dengan adanya Survey dilakukan dengan : 1= tidak ada single authority 1 4 7 4
otoritas tunggal single authority analisis dokumen antar ;
pengelolaan akan lembaga
2 = lebih dari satu authority;
perikanan meningkatkan
efektivitas 3 = ada single authority
kelembagaan
pengelolaan
perikanan
2.29 100 209,1

61
Kabupaten Wakatobi meliputi; Perda Zonasi tahun 2007, Perda 15 dan 16 tahun
2005, serta aturan-aturan lainnya berupa SIUP, SIPI, SIKPI. Raperda tentang perlindungan
darah pemeijahan. Berdasarkan kriteria skor maka termasuk dalam skor 2 = ada tapi tidak
lengkap.

Keberadaan dan kelengkapan aturan main pegelolaan perikanan di Kabupaten Wakatobi


sejak di canangkan sebagai Kawasan Taman Nasional pada tahun 1996 dan sebagai
daerah otomini sejak tahun 2003 telah mengalami perkembangan dan penambahan aturan-
aturan pengelolaan kawasan konservasi secara umum dan perikanan secara khusus
seperti tersebut diatas. Oleh karena itu kriteria jumlah aturan pada indikator tersebut dapat
di beri skor 3.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap perangkat DKP Wakatobi dan hasil penelitian yang
dilakukan KMB Sultra tahun 2010 terlihat bahwa setiap adanya pelanggaran terhadap
aturan-aturan perikanan selalu diikuti tindakan penegakan hukum sesuai dengan aturan
main yang berlaku baik pelanggaran kategori ringan maupun kategori sedang hingga berat
dengan tindakan mulai teguran hingga penahanan melalui proses hukum. Oleh karena itu
ketiga kriteria tesebut (penegakan aturan main, ketersediaan alat dan tindakan dan adanya
teguran dan hukuman) dapat diberikan skor 3.

Berdasarkan infromasi tersebut maka indikator kelengkapan aturan main dalam


pengelolaan perikanan secara umum walaupun rencana pengelolaan perikanan (RPP)
spesifik belum ada namun aturan-aturan umum yang berkaitan dengan pengeloaan
sumberdaya perikanan dan kelautan sudah ada seperti dijelaskan diatas oleh karena itu
status tersebut di Kabupaten Wakatobi dapat di kategorikan dalam keadaan baik dengan
nilai 61,5

Dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan termasuk wilayah pesisir setiap
instansi melakukannya umumnya masih secara parsial dan masing-masing memiliki
mekanisme tersendiri dalam mengambil keputusan. Berdasarkan informasi dari DKP
Kabupaten Wakaobi bahwa apabila ada kegiatan atau permasalahan yang terkait
pemanfaatan sumberdaya perikanan maka dilakukan koordinasi dengna instansi terkait
seperti Balai Tman Nasional namun keputusan diserahkan pada lembaga yang terkait
langsung dengan tupoksinya. Mekanisme dan pengambilan keputusan hanya ada pada
instansi masing-masing dan komunikasi dilakukan melalui workshop, seminar atau kegiatan
lainnya sehingga mekanisme keputusan tidak berjalan dengan lancar dan akhirnya
berhubungan dengan keputusan yang akan diambil tidak berjalan dengan sepenuhnya.
Kondisi ini disebabkan juga belum terdapatnya rencana pengelolaan perikanan dalam

62
mengelolala sumberdaya kelautan dan perikanan di Kabupaten Wakatobi. Oleh karena itu
berdasarkan hasil wawancara tersebut secara keseluruhan tergambar pula secara spesifik
bawa belum tergambar dari rekapan kuisioner tentang mekanisme pengambilan keputusan
dalam pengelolaan perikanan, namun dapat terlihat bahwa telah terbentuk wadah
(kelembagaan formal) yang mendukung mekanisme kelembagaan ditingkat masyarakat
dan selalu dibina/dipantau DKP Kabupaten Wakatobi yaitu kelompok masyarakat
pengawasan (Pokmaswas) sehingga indikator mekanisme pengambilan keputusan
diberikan status sedang dengan nilai 36.

Berdasarkan hasil wawancara bahwa di DKP Kabupaten belum memiliki RPP, namun
sebagai dokumen pendukung maka Kabupaten Waktobi telah memiliki dokumen Zonasi
yang didalamnya sudah termasuk pengelolaan perikanan. Sebagai pendukung kegiatan
pengelolaan perikanan salah satunya adalah berkaitan dengan penegakan aturan yaitu
pembentukan kelompok masyarakat pengawasan (Pokmaswas). Berdasarkan hal tersebut
di atas dan dihubungkan dengan kriteria skor maka indikator ini dapat diberikan skor 1(
belum ada RPP) dengan nilai 15.

Berdasarkan hasil wawancara di DKP Kabupaten Wakatobi bahwa sinergi antar lembaga
telah berjalan namun belum efektif. Kondisi ini tergambar dari wawanara dan diskusi bahwa
doukumen hasil penangkapan dan tindakan pelanggaran pemanfaatan sumberdaya
perikanan hanya dijumpai pada instansi tertentu. Hal ini menggambarkan bahwa belum
berjalannya secara efektif komunikasi antara lembaga yang terkait. Oleh karena itu kriteria
ini menggambarkan pula tidak ada konflik antar lembaga sehingga dapat di beri skor 2.

Sejak adanya program Coremap II di Kabupaten Wakatobi maka pembentukan


SISWASMAS dan POWASMAS telah berjalan dengan baik dimana hingga tahun 2011
telah terbentu kelompok pengawas swadaya di setiap desa target Coremap. Keberadaan
kelompok-kelompok pengawas tersebut menurut staf DKP Kabupaten Wakatobi sangat
bermanfaat dalam mendukung pengwasan swakarsa di setiap wilayah perairan mereka.
Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut maka indikator kapasitas pemangku kepentingan
terjadi peningkatan dan berfungsi dengan baik sehingga kriteria ini dapat diberi skor 3
dengan nilai 15.

Keberadaan RPP hingga saat ini di Kabupaten Wakatobi belum terwujud sehingga
pengelolaan perikanan masih terikat didalam tupoksi dinas kelautan dan perikanan
sedangkan yang berkaitan dengan sumberdaya kelautan lainnya yang melibatkan antar
sektor dikoordinasikan oleh Bappeda Kabupaten namun masing-masing lembaga (SKPD)
memiliki kewenangan sendiri-sendiri. Berdasarkan informasi tersbut maka indikator

63
keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan diberikan skor 1 dengan nilai 4 karena
belum ditemukan adanya single authority ditingkat kabupaten dalam rencana pengelolaan
perikanan (RPP).

Sejak adanya program Coremap II di Kabupaten Wakatobi maka pembentukan


SISWASMAS dan POWASMAS telah berjalan dengan baik dimana hingga tahun 2011
telah terbentu kelompok pengawas swadaya di setiap desa target Coremap. Keberadaan
kelompok-kelompok pengawas tersebut menurut staf DKP Kabupaten Wakatobi sangat
bermanfaat dalam mendukung pengwasan swakarsa di setiap wilayah perairan mereka.
Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut maka indikator kapasitas pemangku kepentingan
terjadi peningkatan dan berfungsi dengan baik sehingga kriteria ini dapat diberi skor 3
dengan nilai 15.

Keberadaan RPP hingga saat ini di Kabupaten Wakatobi belum terwujud sehingga
pengelolaan perikanan masih terikat didalam tupoksi dinas kelautan dan perikanan
sedangkan yang berkaitan dengan sumberdaya kelautan lainnya yang melibatkan antar
sektor dikoordinasikan oleh Bappeda Kabupaten namun masing-masing lembaga (SKPD)
memiliki kewenangan sendiri-sendiri. Berdasarkan informasi tersbut maka indikator
keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan diberikan skor 1 dengan nilai 4 karena
belum ditemukan adanya single authority ditingkat kabupaten dalam rencana pengelolaan
perikanan (RPP).

6.2 Analisis Tematik Perikanan Berbasis Perikanan Tuna

6.2.1 Domain Sumberdaya Ikan

Penilaian Domain Sumberdaya Ikan terbagi dalam 7 indikator penilaian yaitu CPUE Baku,
Ukuran ikan, Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap, Komposisi spesies, Spesies
ETP, "Range Collapse" sumberdaya ikan, dan Densitas/Biomassa untuk ikan tuna.
Berdasarkan hasil analisis pemberian skor kriteria setiap indikator-indikator domain
sumberdaya ikan dapat dilihat pada Tabel 18

Nelayan ikan tuna di Kabupaten Waatobi melakukan penangkapan ikan menggunakan alat
tangkap pancing baik pancing tonda maupun pancing rawai (mini longline). Berdasarkan
volume produksi penangkapan ikan jenis ikan tuna sejak 2012 hingga 2014 tergambar
bahwa perhitungan CPUE ikan tuna di Kabpaten Wakatobi selama 3 tahun (20012 – 2014)
secara umum menujunkan adanya kecenderungan peningkatan CPUE ikan tuna
menunjukan adanya peningkatan, dimana pada pada tahun 2013 CPUE ikan tuna sebesar
36,1 ton, tahun 2014 meningkat sebesar 110,5 ton.

64
Tabel 18.Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Sumberdaya Ikan

DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT


INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)
1. CPUE CPUE adalah hasil Logbook, Enumerator, 1 = menurun tajam 3 40 1 (Killer 120
Baku tangkapan per satuan Observer Indicator)
2 = menurun sedikit
upaya penangkapan.
Upaya penangkapan 3 = stabil atau meningkat
harus distandarisasi
sehingga bisa
menangkap tren
perubahan upaya
penangkapan.
2. Ukuran - Panjang total Interview, Sampling 1 = trend ukuran rata-rata 2 20 2 40
ikan - Panjang standar program secara reguler ikan yang ditangkap semakin
- Panjang karapas / untuk LFA (Length kecil;
sirip (minimum dan Frequency Analysis)
2 = trend ukuran relatif tetap;
maximum size, modus)
3 = trend ukuran semakin
besar
3. Proporsi Persentase ikan yang Interview, Sampling 1 = banyak sekali (> 60%) 3 15 3 45
ikan yuwana ditangkap sebelum program secara reguler
2 = banyak (30 - 60%)
(juvenile) mencapai umur
yang dewasa (maturity). 3 = sedikit (<30%)
ditangkap
4. Komposisi Jenis target dan non- Logbook, observasi, 1 = proporsi target lebih 3 10 4 30
spesies target (discard dan by interview sedikit
catch)
2 = proporsi target sama dgn
non-target
3 = proporsi target lebih
banyak

65
DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)
5. Spesies Populasi spesies ETP Survey dan monitoring, 1= banyak tangkapan 3 5 6 15
ETP (Endangered species, logbook, observasi, spesies ETP;
Threatened species, interview
2= sedikit tangkapan spesies
and Protected species)
ETP;
sesuai dengan kriteria
CITES 3 = tidak ada spesies ETP
yang tertangkap
6. "Range SDI yang mengalami Survey dan monitoring, 1 = semakin sulit; 2 10 5 20
Collapse" tekanan penangkapan logbook, observasi,
2 = relatif tetap;
sumberdaya akan "menyusut" interview
ikan biomassa-nya secara 3 = semakin mudah
spasial sehingga
1 = fishing ground menjadi 2
semakin sulit / jauh
sangat jauh
untuk ditemukan/dicari.
2= fishing ground jauh
3= fishing ground relatif tetap
jaraknya
2.57 100 270

66
Demikian pula CPUE ikan tuna apabila dilihat perkembangan bulanan selama tiga tahun
yang memberikan gambaran bahwa terjadi fluktuasi CPUE secara umum terjadi pada bulan
Oktober hingga Desember.

25.00

20.00

15.00

10.00

5.00

0.00

Gambar.13. Kecenderungan CPUE Ikan TunaKabupaten WakatobiTahun 2012-2014

Berdasarkan informasi dan gambaran seperti telah dijelaskan di atas maka indikator CPUE
baku perikanan ikan tuna di Kabupaten Wakatobi dapat diberikan skor 3 dengan kategori
baik dan nilai 120. Adanya peningkatan tersebut disebabkan adanya permintaan dan
harga yang baik sehingga nelayan berusaha meningkatkan produksi dengan memperluas
jangkauan lokasi penangkapan ikan tuna.

Informasi yang terkait dengan ukuran ikan yang tertangkap khususnya panjangnya tidak
banyak terungkap secara kuantitatif namun berdasarkan hasil wawancara sebanyak 208
responden tentang persepsi masyarakat terhadap perkembangan ukuran ikan tuna yang
tertangkap mengatakan bahwa bahwa 50 % mengatakan bahwa selama 5 tahun terakhir
ukuran ikan tuna yang tertangkap cenderung sama saja, 20 % cenderung lebih kecil, 20 %
tidak tahu dan 10 % mengatakan ukuran hasil tangkapan cenderung menurun. Berdasarkan
informasi tersebut maka indikator ukuran ikan tuna di Kabupaten Wakatobi dapat diberikan
skor 2 dengan kategori sedang dengan nilai 40.

Data yang berkaitan proporsi ikan yuwana tuna yang tertangkap terindikasi bahwa indikator
proporsi ikan yuwana tuna tidak tersedia termasuk hasil wawancara, namun secara
kualitatif berdasarkan informasi hasil wawancara untuk indikator ukuran ikan tuna maka
peluang tertangkapnya ikan yuwana sangat kecil, hal ini berkaitan dengan adanya
kecenderungan harga jual dan permintaan pasar yang begitu tinggi dalam betuk tuna loin,
kondisi ini akan memberikan peluang yang lebih sedikit juvenil atau yuwana ikan tuna yang

67
tertangkap yang hanya di konsumsi lokal dengan harga yang sangat rendah, oleh karena
itu indikator ini dapat diberikan skor 3 dengan nilai 45.

Berdasarkan hasil wawancara pada responden dan staf DKP Kabupaten Wakatobi yang
berkaitan dengan komposisi spesies ikan tuna yang menjadi target penangkapan selama
5 tahun terakhir menggambarkan bahwa tujuan penangkapan adalah ikan tuna maka
peralatan yang digunakan dirancang untuk menangkap ikan tuna sehingga ikan yang
tertangkap adalah dominan ikan tuna pula sedangkan ikan-ikan lain sangat sedikit. Kondisi
ini dapat disimpulkan dan memberikan gambaran indikator komposisi spesies tangkapan
proporsi target lebih besar dari pada non terget sehingga dapat di berikan skor 3 dengan
nilai 30

Berdasarkan hasil wawancara terhadap 208 nelayan tuna menunjukan bahwa 80%
responden mengatakan tidak ada ikan yang dilindungi atau terancam punah (spesies ETP)
yang tertangkap sedangkan sisanya ada yang mengatakan kadang-kadang misalnya ikan
hiu dan ikan putih dapat tertangkap tetapi jarang sekali. Demikian pula informasi yang
diberikan oleh pihak DKP Kabupaten Wakatobi mengatakan bahwa tidak ada spesies ETP
yang tertangkap saat menangkap ikan tuna. Maka berdasarkan informasi tersebut kritria
ini dapat diberikan skor 3 dengan kategori baik dan diberi nilai 15 yaitu tidak ada tangkapan
spesies ETP;

Berdasarkan hasil wawancara kepada 208 nelayan ikan tuna mengatakan bahwa sebagian
besar tidak memberikan respon (mengatakan tidak tahu), 20 % mengatakan kondisi
mencarikan sama dengan tahun-tahun sebelumnya 10 % mengatakan semakin sulit
kondsi mencari ikan 5 – 10 tahun terakhir. Berdasarkan hal tersebut maka kondisi
sumbedaya ikan kriteria ini dapat di berikan skor 2. Sedankan lokasi fishing ground dari
jumlah respoden ikan tuna sebagaian besar (20%) mengatakan bahwa lokasi
penangkapan tidak berubah bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya karena
penangkapan ikan tuna dapat dilakukan pada jalur migrasi ikan tuna yang salah satunya
melewati perairan Kabupaten Wakatobi. Namun demikian sebagian kecil (10 %)
mengatakan bahwa lokasi semakin jauh karena kebiasaan menangkap ikan yang
sebelumnya dilakukan di sekitar perairan mereka sudah sulit menangkap ikan dan
melakukan pencarian pada fishing ground yang ke lokasi yang lebih jauh seiring dengan
tingginya keinginan untuk meningkatkan produksi, sehingga kondisi ini dapat di berikan nilai
kriteria 2. Berdasarkan infromasi tersebut maka indikator range of collapse sumberdaya
ikan tuna dapat di beri nilai 20.

68
6.2.2 Domain Habitat

Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain habitat dan


ekosistem yang meliputi Kualitas perairan, status lamun , status mangrove, status terumbu
karang, habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling),
status dan produktivitas estuari dan perairan sekitarnya, perubahan iklim terhadap kondisi
perairan dan habitat. Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain habitat
dan ekosistem ditampilkan dalam Tabel 19.

69
DEFINISI/ BOBOT
INDIKATOR MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN (%)
1. Kualit Limbah yang Data sekunder, sampling, 1= tercemar; 3 20 1 60
as perairan teridentifikasi monitoring, 2=tercemar sedang;
secara klinis, audio >> Sampling dan monitoring : 4 3= tidak tercemar
dan atau visual kali dalam satu tahun (mewakili
(Contoh :B3-bahan musim dan peralihan)
berbahaya &
beracun)
Tingkat kekeruhan Survey, monitoring dan data 1= > 20 mg/m^3 konsentrasi tinggi 3
(NTU) untuk sekunder, CITRA SATELIT 2= 10-20 mg/m^3 konsentrasi
mengetahui laju >> monitoring : dengan coastal sedang;
sedimentasi bouy/ water quality checker 3= <10 mg/m^3 konsentrasi
perairan (continous), Citra satelite (data rendah
deret waktu) dan sedimen trap Satuan NTU
(setahun sekali) => pengukuran
turbidity di Lab
Eutrofikasi >> Survey : 4 kali dalam satu 1= konsentrasi klorofil a > 10 3
tahun (mewakili musim dan mg/m^3 terjadi eutrofikasi;
peralihan) 2= konsentrasi klorofil a 1-10
>> monitoring : dengan coastal mg/m^3 potensi terjadi eutrofikasi;
bouy/ water quality checker dan
(continous), Citra satelite (data 3= konsentrasi klorofil a <1
deret waktu) mg/m^3 tidak terjadi eutrofikasi
2. Status Luasan tutupan, Survey dan data sekunder, 1=tutupan rendah, :529,9%; 3 15 2 45
lamun densitas dan jenis monitoring, CITRA SATELIT. 2=tutupan sedang, 30-49,9%;
Lamun. >> Sampling dan monitoring : 3=tutupan tinggi, ;:50%
Seagrass watch 1=keanekaragaman rendah (H' < 3
(www.seagrasswatch.org) dan 3,2 atau H' < 1);
seagrass net 2 = kanekaragaman sedang
(www.seagrassnet.org) (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi
(H’>9,97 atau H’>3)

70
DEFINISI/ BOBOT
INDIKATOR MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN (%)
3. Status Kerapatan, nilai Survey dan data sekunder, CITRA 1=kerapatan rendah, <1000 1 15 2 26.2
mangrove penting, perubahan SATELIT, foto udara pohon/ha, tutupan <50%; 5
luasan dan jenis >> Citra satelite dengan resolusi 2=kerapatan sedang 1000-1500
mangrove tinggi (minimum 8 m) - minimal pohon/ha, tutupan 50-75%;
satu tahun sekali dengan diikuti 3=kerapatan tinggi, >1500
oleh survey lapangan pohon/ha, tutupan >75%
>> Survey : Plot sampling 1=keanekaragaman rendah (H' < 2
3,2 atau H' < 1);
2 = kanekaragaman sedang
(3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi
(H’>9,97 atau H’>3)
1= luasan mangrove berkurang 1
dari data awal;
2= luasan mangrove tetap dari
data awal;
3= luasan mangrove bertambah
dari data awal
1 = INP rendah; 2 = INP sedang; 3
3 = INP tinggi
4. Statu > Persentase Survey dan data sekunder, CITRA 1=tutupan rendah, <25%; 2 15 2 37.5
s terumbu tutupan karang SATELIT, foto udara 2=tutupan sedang, 25-49,9%;
karang keras hidup (live Survey : Transek (2 kali dalam 3=tutupan tinggi, >50%
hard coral cover). setahun) 1=keanekaragaman rendah (H' < 3
Citra satelite dengan hiper 3,2 atau H' < 1);
spektral - minimal tiga tahun sekali 2 = kanekaragaman sedang
dengan diikuti oleh survey (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3);
lapangan 3 = keanekaragaman tinggi
(H’>9,97 atau H’>3)

71
DEFINISI/ BOBOT
INDIKATOR MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN (%)
5. Habit Luasan, waktu, Fish Eggs and Larva survey, GIS 1=tidak diketahui adanya habitat 3 15 3 45
at siklus, distribusi, dgn informasi Citra Satelit, unik/khusus;
unik/khusus larva drift, spill Informasi Nelayan, SPAGs 2=diketahui adanya habitat
(spawning over, dan (Kerapu dan kakap), ekspedisi unik/khusus tapi tidak dikelola
ground, , kesuburan perairan oseanografi dengan baik; 3 = diketahui adanya
upwelling). habitat unik/khusus dan dikelola
dengan baik
6. Statu Tingkat Survey dan data sekunder, CITRA 1=produktivitas rendah; 3 10 4 30
s dan produktivitas SATELIT, foto udara 2=produktivitas sedang;
produktivitas perairan estuari Survey : 2 kali dalam setahun 3=produktivitas tinggi
Estuari dan Citra satelite dengan resolusi
perairan tinggi - minimal dilakukan 2 kali
sekitarnya setahun dengan diikuti oleh survey
lapangan
7. Perubah Untuk mengetahui Survey dan data sekunder, CITRA > State of knowledge level : 2 10 5 25
an iklim dampak perubahan SATELIT, data deret waktu, 1= belum adanya kajian tentang
terhadap iklim terhadap monitoring dampak perubahan iklim;
kondisi kondisi perairan 2= diketahui adanya dampak
perairan dan dan habitat perubahan iklim tapi tidak diikuti
habitat dengan strategi adaptasi dan
mitigasi;
3 = diketahui adanya dampak
perubahan iklim dan diikuti
dengan strategi adaptasi dan
mitigasi
> state of impact (key indicator 3
menggunakan terumbu karang):
1= habitat terkena dampak
perubahan iklim (e.g coral
bleaching >25%);

72
DEFINISI/ BOBOT
INDIKATOR MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN (%)
2= habitat terkena dampak
perubahan iklim (e.g coral
bleaching 5-25%);
3= habitat terkena dampak
perubahan iklim (e.g coral
bleaching <5%)
268.
2.53 100
75

73
Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu lokasi yang menjadi titik sentra dalam
evaluasi program EAFM - 2016 (Ecosystem Approach to Fisheries Management Program).
Sebagai salah satu daerah dengan potensi yang cukup besar dengan luas perairan yang
mencakup 97% dari daratannya, menjadi sangat penting untuk dilakukan suatu program
evaluasi yang berbasis ekosistem yang dapat melahirkan suatu upaya penting yang dapat
menjaga kesehatan habitat berserta ekosistem yang berasosiasi di dalamnya. Keberadaan
habitat yang sehat dengan kondisi yang stabil sangat bergantung pada kondisi kualitas air
yang mendukung. Melalui program EAFM beberapa parameter kualitas perairan seperti
Salinitas, DO, pH, TSS, BOD5 dan COD menjadi bagian penting untuk menentukan kondisi
kesehatan suatu habitat. Berdasarkan kajian analisis kualitas air di perairan Wakatobi yang
dilakukan oleh COREMAP-CTI (2014) menyajikan bahwa untuk konsentrasi salinitas yang
diperoleh mencakup kisaran 34.0 – 34.7 ppm, DO 7.38 – 8.66 ppm, TSS 29 - 33 mg/L, pH
7.75 - 7.91, BOD5 2.77 – 3.04 dan rata-rata nilai COD 4.85 – 7.08 kondisi parameter yang
diperoleh tersebut jika dibandingkan dengan baku mutu perairan dalam KEPMEN No.
51/2004 masih dikategorikan cukup baik atau belum tercemar. Beberapa parameter lain
dari hasil analisis kualitas air yang diperoleh dari data lapangan EAFM-Wakatobi (2016)
menunjukkan bahwa untuk konsentrasi suhu mencakup kisaran 29 – 32oc, pH sebesar 6,
DO 6.48, TSS 0.443, Klorofil a 0.825. Parameter yang diperoleh tersebut memperkuat
kondisi kualitas perairan di Perairan Wakatobi yang masih cukup baik ataupun masih dalam
kategori belum tercemar, Secara rinci hasil analisis parameter kualitas air yang diperoleh di
Perairan Wakatobi disajikan pada tabel berikut :
RATA-
PARAMETER LOKASI PERAIRAN
NO RATA
LINGKUNGAN
WANCI KALEDUPA TOMIA BINONGKO
1 Suhu (oC) 31 32 31 30 31
2 Derajat Keasaman 6
(pH) 6 6 6 6
3 DO (mg/l) 5,97 6,35 6,75 6,87 6,48
4 TSS (mg/l) 0,353 0,530 0,448 0,441 0,443
5 Klorofil-a 0,93 0,80 0,87 0,70 0,825
Sumber : Laboratorium Dasar UHO, 2016

Berdasarkan informasi yang diperoleh tersebut maka indikator penilaian untuk


kualitas air yang terdiri dari komponen limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan
atau visual (Contoh : B3-bahan berbahaya & beracun), kemudian kekeruhan dan
eutrofikasi, maka Perairan Kabupaten Wakatobi masih memenuhi baku mutu perairan
dalam KEPMEN No. 51/2004 tentang Baku Mutu Perairan. sehingga secara umum perairan
Kabupaten Wakatobi dapat di katakan tidak tercemar. Dengan demikian indikator kualitas
perairan di berikan skor 3.

74
Disamping indikator kualitas perairan tersebut diatas, indikator penting yang
menjadi perhatian pada domain habitat adalah ekosistem lamun. Ekosistem lamun
merupakan salah satu habitat yang memberikan peranan yang cukup besar bagi
keberadaan organisme di perairan. Fungsi keberadaannya memberikan peran aktif
terhadap penyediaan sumber makanan (feeding ground) bagi organisme grazer. tempat
pemijahan (spawning ground), serta sebagai tempat pembesaran (nursery ground) bagi
sebagian besar organisme ikan dan kerang. Besarnya manfaat keberadaan ekosistem
lamun tersebut memberikan indikasi perlu adanya upaya evaluasi terhadap
keberadaannya sehngga kedepan dari hasil tersebut dapat menjadi langkah awal dalam
memperbaiki kondisi yang sedang atau telah mengalami kerusakan khususnya di Wilayah
Wakatobi yang menjadi salah satu sentra program EAFM 2016.
Berdasarkan hasil analisa citra satelit tahun 2004 Kabupaten Wakatobi memiliki luas
padang lamun sebesar 7.067,25 ha (Hardin, 2007). Lebih rinci dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh COREMAP-CTI (2014) menyebutkan bahwa komposisi jenis lamun di
Perairan Wakatobi dari luas padang lamun yang tersedia khususnya di daerah DPL
(Perlindungan Laut) ditemukan di 7 (tujuh) lokasi yang berbeda, yaitu Desa Waha dengan
jenis lamun Halophila minor, Halodule pnifolia, Thalassia hemperichii, Desa Matahora
dengan jenis lamun Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides,
Halophila ovalis, Halodule uninervis, Thalassodendron ciliatum dan Thalassia hemprichii,
Desa Waelumu dengan 1 jenis lamun yaitu Cymodocea serrulata, Liya Mawi dengan jenis
lamun Halophila minor dan Thalassia hemperichii, Kabita dengan jenis lamun Enhalus
acoroides, Halophila minor , dan Halodule pnifolia, Sama Bahari dengan jenis Cymodocea
rotundata dan Enhalus acoroides, Kulati dengan jenis lamun Halodule pnifolia.
Sebagai data tambahan yang diperoleh dari data lapangan EAFM-Wakatobi 2016
bahwa beberapa desa yang juga ditemukan memiliki ekosistem lamun di Perairan
Wakatobi adalah Desa Peropa di Pulau Kaledupa dengan jenis lamun Enhalus acoroides
dan Halophila minor, Desa Lagongga di Pulau Binongko dengan jenis lamun Thallassia
hemperichii dan Desa Waha di Pulau Wanci dengan jenis Halophila minor dan Halodule
pnifolia. Masing-masing jenis lamun yang diperoleh di lokasi tersebut menunjukkan persen
tutupan yang berbeda-beda. Dari hasil estimasi persen tutupan lamun yang didasarkan
pada McKenzie et al., (2002) diketahui bahwa rata-rata persen tutupan lamun yang
diperoleh di Perairan Wakatobi berkisar pada 60 – 100 o/o. COREMAP-CTI (2014)
melaporkan bahwa dari beberapa jenis lamun yang ditemukan di 7 (tujuh) lokasi DPL
dengan persen tutupan lamun tertinggi adalah jenis Thalassia hemprichi. Sehingga dengan
demikian berdasarkan data-data yang diperoleh tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

75
indikator status padang lamun di Kabupaten Wakatobi dengan penutupan diatas 60 % dan
keanakaragaman yang tinggi (11 jenis) maka berdasarkan kondisi status lamun yang
dinyatakan dalam Kemen LH No. 200 tahun 2004 dapat dikatakan masih dalam kondisi
kaya/sehat. Sehingga nilai indikator tersebut dapat di berikan skor 3.
Indkator lain yang juga memiliki nilai penting yang sama dalam domain habitat adalah
ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove di ketahui menyebar diseluruh Kepulauan
Wakatobi degan konsentrasi yang berbeda-beda dan sebagian hanya merupakan bagian
kecil pelengkap ekosisten pesisir. Keberadaan komunitas mangrove tertinggi terpusat di
Pulau Kaledupa dan sekitarnya seperti pulau Derawa, Pulau Lentea. Beradasarkan laporan
COREMAP-CTI (2014) menyebutkan bahwa penyebaran mangrove terluas di Kabupaten
Wakatobi dapat ditemukan di Pulau Kaledupa dengan komunitas mangrove yang
ditemukan hampir di semua desa meliputi Desa Tanomehe, Langge, Balasuna, Ambeua,
Sombano, dan Desa Horua, ketebalan komunitas mangrove pada masing-masing desa
tersebut bervariasi hingga mencapai ± 750 m, komunitas mangrove juga ditemukkan pada
beberapa pulau disekitarnya seperti Lentea, Derawa, dan Pulau Hoga. Disamping itu
sebaran mangrove juga ditemukan di Pulau Wangi-wangi di Desa Liya Mawi dan Pulau
Kapota dengan total ketebalan hanya mencapai ± 185 m, dari arah laut ke arah darat.
Sementara di Pulau Tomia sebaran mangrove hanya ditemukan di Desa Waiti dengan
ketebalan hanya mencapai ± 70 m. Hal tersebut sama dengan yang ditemukan di Pulau
Binongko dimana mangrove hanya ditemukan menyebar di dua desa yaitu Desa Sowa, dan
Desa Wali dengan ketebalan ± 70 m.
Selanjutnya Jamili (2010), melaporkan bahwa tingkat kerapatan mangrove pada
lokasi kajian di pulau Kaledupa, Hoga dan pulau Derawa pada kategori pohon dan tiang
menunjukkan tingkat kerapatan yang bervariasi dimana untuk pulau Kaledupa sebesar
1054 - 1829 pohon/ha, pulau Hoga sebesar 500 – 917 pohon/ha dan Pulau Derawa
sebesar 521 – 1010 pohon/ha sedangkan kerapatan kategori sapihan dan semai diperoleh
lebih tinggi. Data yang berbeda yang ditunjukkan dari hasil penelitian yang dilaporkan oleh
COREMAP – CTI 2014 di lokasi yang sama, yaitu khusus di Pulau Kaledupa tingkat
kerapatan untuk strata pohon dan tiang diperoleh sebesar 395,05 pohon/ha, Pulau Derawa
974,29 pohon/ha, dan untuk Pulau Hoga sebesar 173,91 pohon/ha. Perbedaan data yang
dilaporkan pada tahun 2010 dan pada tahun 2014 yang diperoleh tersebut menggambarkan
penurunan status kerapatan mangrove di Kabupaten Wakatobi. Menurunnya komunitas
mangrove yang ditemukan di beberapa daerah di Kabupaten Wakatobi khususnya di Pulau
Kaledupa disebutkan dalam laporan COREMAP – CTI 2014 disebabkan oleh banyak faktor,
salah satunya adalah adanya intervensi dari manusia untuk berbagai keperluan seperti

76
konversi lahan mangrove menjadi pemukiman, lahan tanaman budidaya, pembangunan
sarana umum dan pengambilan kayu bakau oleh masyarakat untuk keperluan kayu bakar,
tiang jaring ikan, dan bahan dasar pembuatan rumah. Dengan demikian berdasarkan nilai
kerapatan yang diperoleh tersebut diatas maka jika dikelompokkan dalam kriteria skor
kerapatan mangrove dalam Kepmen LH No. 201 tahun 2004 tentang kriteria baku
kerusakan mangrove termasuk dalam kategorikan kerapatan <1000 pohon/ha dengan
persen penutuan < 50 % (kriteria jarang) sehingga skor yang diberikan sebesar 1
Indeks keanekaragaman komunitas mangrove pada tiga lokasi tersebut pada kategori
pohon hingga kategori semai juga menunjukkan kondisi yang berbeda, di pulau Kaledupa
diperoleh nilai keanekaragaman yang berkisar 1,3 – 1,7; pulau Hoga berkisar 0,59 – 1,41
dan di pulau Derawa berkisar 0,34 – 0,69 dengan rata-rata kisaran sebesar 0,86 – 1,15
atau rata-rata indeks keanekragaman mangrove di lokasi kajian sebesar 1,07. Jika nilai
indeks tersebut dibandingkan dengan kriteria skor nilai indeks keanekaragaman yaitu : 1 =
keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97
atau 1<H’<3); dan 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3), maka berdasarkan nilai
indeks keanekaragaman rata-rata tersebut di atas maka rata-rata indeks keanekaragaman
mangrove di beberapa wilayah yang menjadi keterwakilan di Kabupaten mangrove tersebut
dapat dikatakan termasuk dalam kriteria keanekaragaman sedang. Melalui indeks
keanekaragaman tersebut pula diketahui rata-rata menunjukan INP sebesar 300 sehingga
berdasarkan kategori INP yang ada maka dapat dikatakan INP yang diperoleh termasuk
dalam kriteria tinggi.
Selanjutnya berdasarkan luas kawasan mangrove yang diketahui di Kabupaten
Wakatobi khususnya di Pulau Kaledupa sejak tahun 1996 hingga tahun 2014 dilaporkan
oleh Agusrinal dkk., (2015) terus mengalami perubahan yang cukup tinggi sebesar 214, 04
ha atau sebesar 21,89% dari total 978,03 ha pada tahun 1996 hingga 763,99 ha pada tahun
2014, demikian pula yang terjadi pada pulau lain baik di Wanci, Tomia, Binongko.
Menurunnya luasan kawasan mangrove yang ditemukan disebagian besar di wilayah
Wakatobi disebabkan oleh tingginya tingkat kerusakan yang terjadi di tiap tahunnya kondisi
tersebut diperparah dengan adanya tindakan konversi kawasan mangrove menjadi
pemukiman, tanaman budidaya, sarana umum dan pengambilan kayu bakau untuk bahan
bakar dan kontruksi. Sehingga dengan demikian berdasarkan kondisi tersebut maka
berkaitan dengan kriteria penilaian luasan kawasan mangrove di Kabupaten Waktobi
diberikan skor rendah dengan nilai sebesar 1 (luasan mangrove berkurang dari data awal).
Dengan demikian secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa indikator status mangrove

77
di Kabupaten Wakatobi yang meliputi kerapatan, keanekaragaman, luasan dan INP secara
keseluruhan dapat di berian nilai skor total 25.
Indikator penting selanjutnya adalah terumbu karang. Ekositem terumbu karang dapat
menjadi salah satu bio indikator dalam menentukan kondisi sumber daya perikanan di suatu
perairan. Pentingnya ekosistem terumbu karang bagi kehidupan pesisir menjadikan
ekositem tersebut sebagai objek perhatian yang dikaji dalam bentuk penelitian oleh
berbagai lembaga di dunia. Wakatobi merupakan salah pusat kekayaan terumbu karang,
dengan letak yang strategis, wakatobi disebut sebagai pusat segi tiga karang dunia (coral
triangle center). Berdasarkan keberadaan lokasi geografi ekosistem terumbu karang dan
status Kabupaten Wakatobi sebagai kawasan konservasi beberapa hasil penelitian
mengekelompokan terumbu karang di wilayah Wakatobi menjadi tiga wilayah (habitat) yaitu
kondisi terumbu karang tepi (main land), kondisi terumbu karang di luar pulau (outer land)
dan kondisi terumbu karang kawasan atol. Sedangkan berdasarkan status kawasan maka
di fokuskan pada hasil peneltian di kawasan pemanfaatan (use zone) dan kawasan
perlidungan (no take zone). Hasil penelitian yang dilakukan oleh TNC-WWF yang
mengamati kondisi terumbu karang pada tahun 2009 – 2011 menunjukan kondisi terumbu
karang sebagai berikut :
Grafik 4. Kondisi Terumbu Karang Pada Tipe habitat dan Zona Tahun 2009 – 2011 di
Kabupaten Wakatobi

78
Sumber : Adaptasi TNC-WWF, 2011
Keterangan : a. Presentase tutupan terumbu karang keras. b. Presentase tutupan
terumbu karang lunak

Dari grafik hasil penelitian yang dilakukan oleh TNC-WWF pada tahun 2009 hingga tahun
2011 tersebut di atas menggambarkan bahwa rata-rata persen tutupan karang pada zona
larang ambil baik pada tutupan karang keras maupun lunak cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan zona pemanfaatan. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa pada
zona dengan aktivitas yang cenderung tinggi menyebabkan kondisi terumbu karang tidak
dapat tumbuh dengan baik hal tersebut dibuktikan berdasarkan data yang diperoleh bahwa
sebagian besar zona pemanfaatan menunjukkan presentase tutupan karang yang lebih
kecil dibanding dengan zona tutupan.

Berdasarkan laporan BPPD Wakatobi (2010) bahwa secara umum pada tahun 2008
presentase tutupan terumbu karang hidup terbesar terdapat di Pulau Wangi-Wangi. Namun
pada tahun 2009, presentase karang hidup di Pulau Wangi-Wangi menurun drastis hingga
48%. Sementara itu di wilayah Tomia, Presentase tutupan mengalami peningkatan dari
58% menjadi 64% di tahun 2009. Secara rinci presentase tutupan terumbu karang hidup di
Kabupaten Wakatobi pada tahun 2008 – 2009 disajikan pada grafik berikut :
Grafik 5. Presentase Tutupan Terumbu Karang Tahun 2009 – 2011 di Kabupaten Wakatobi

79
Sumber : Adaptasi TNC-WWF, 2011

Disamping data yang disajikan tersebut diatas, Data lain menyebutkan bahwa hasil
monitoring sumber daya terumbu karang di 15 lokasi DPL COREMAP-CTI Kabupaten
Wakatobi tahun 2014, menunjukkan presentase penutupan karang hidup (living hidup)
berkisar 20 – 60 %. Dari nilai tersebut sesuai dengan kriteria kurang hingga baik. Sehingga
dengan demikian berdasarkan data series yang dilaporkan oleh TNC-WWF pada tahun
2008 – 2009 tersebut diatas dan data yang dilaporkan oleh COREMAP-CTI pada tahun
2014, maka dapat disimpulkan bahwa kategori tutupan karang di Perairan Wakatobi masih
termasuk dalam kriteria kurang hingga baik sehingga skor yang diberikan skor 2 dengan
keterangan =tutupan sedang, 25-49,9%;

Di Kabupaten Wakatobi tercatat sebanyak 396 jenis karang keras berterumbu


(scleractanian hermatripic), 10 spesies karang keras tak-berterumbu (scleractanian
ahermatripic), 28 genera karang lunak, dan 31 spesies karang fungi di TNW. Kondisi ini
menggambarkan bahwa di Kabupaten Wakatobi memiliki keanekaragaman karang yang
tinggi (WWF-TNC, 2003). Berdasarkan kenyataan tersebut walaupun tidak melakukan
analisa ekologi maka keanekaragama karang tergolong tinggi sehingga dapat di berikan
skor 3. Secara keseluruhan status karang di Kabupaten wakatobi berdasarkan kriteria
persentase penutupan karang keras dan keanekaragaman maka dapat di berikan nilai 37,5.

Indikator habitat khusus/unik mengenai daerah pemijahan ikan di Kabupaten Wakatobi


diperoleh dari data SPAGs (Spawning Agregation Site) dalam laporan akhir rencana
pengelolaan parawisata Wakatobi tahun 2013. Dari data tersebut disebutkan bahwa
terdapat 10 (sepuluh) lokasi pemantauan pemijahan ikan di kawasan Wakatobi dan telah
ditetapkan sebagai wilayah zona perlindungan bahari. Kesepuluh lokasi tersebut adalah

80
Ontiolo, Hoga Channel, Table coral city, Mari mabuk, Pintu masuk karang Keledupa,
Tanjung Binongko, Pintu masuk karang Koko, Tanjung Kentiole, dan Anano. Namun yang
masih aktif digunakan sebagai lokasi pemantauan pemijahan adalah Runduma, Ontiolo,
Hoga Channel, dan Table coral city, sementara itu Sopari (2014) dengan menguitp data
BTNW (2013) Menyebutkan terdapat 11 (sebelas) lokasi pemijahan ikan yang diketahui
yaitu Hoga Channel, Marimabuk, Table Coral City, Pintu masuk karang kaledupa, Tanjung
Binongko, Pintu masuk karang Koko, Kantiole, Runduma, Anano, Otiolo, dan Karang
Kapota. Dari lokasi tempat pemijahan ikan yang diketahui tersebut disebutkan oleh Sopari
(2014) telah dikelolah oleh Balai TN Wakatobi dengan melakukan tindakan monitoring,
patroli pengamanan, kawasan, penyuluhan/sosalisasi dan Pemerintah Kabupaten
Wakatobi dengan melakukan patroli pengamanan kawasan. Sehingga dengan demikian
berdasarka informasi tersebut maka dapat diketahui bahwa keberadaan habitat
khusus/unik telah diketahui keberadaannya dan juga telah ditetapkan sebagai zona
perlindungan bahari, dan telah ada pengelolaan dengan baik, oleh Balai TN Wakatobi dan
Pemerintah Kabupaten Wakatbi. Oleh karen itu berdasarkan informasi tersebut maka
indikator habitat khusus dapat di berikan skor 3.

Produktivitas perairan menurut Wood (1967) merupakan kapasitas atau kemampuan


suatu perairan dalam memproduksi suatu materi per satuan waktu. Materi yang diproduksi
oleh suatu perairan dapat berupa materi organik yang dihasilkan oleh organisme hidup per
satuan waktu dan sering diestimasi sebagai jumlah karbon yang didapatkan dalam material
hidup dan secara umum dapat dinyatakan sebagai gram carbon yang dihasilkan satuan
meter kuadrat kolom air perhari (gc m-3hari-1) (Ariyana, 2012). Organisme hidup di perairan
yang memberikan konstribusi besar dalam memproduksi materi organik adalah dari
kelompok tumbuhan air meliputi fitoplankton, rumput laut, lamun, mangrove, dan mikroalga
bentik. Khusus untuk fitoplankton disebutkan oleh Asriyana (2012) merupakan salah satu
organisme yang dapat menghasilkan 98% dari total produksi di perairan terutama di laut.
Disamping beberapa komponen yang memberikan pengaruh terhadap produktivitas
perairan tersebut, komponen lain yang juga memberikan pengaruh adalah ketersediaan
cahaya, zat hara, suhu, dan derajat keasamaan (pH). Menurut Pescod (1973) pH
merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan produktivitas suatu perairan. pH
ideal di suatu perairan terdapat pada zona fotosintesis dengan kisaran optimum 6,5 – 8,0.
Dari hasil data lapangan EAFM 2016 di Perairan Wakatobi berkaitan dengan
komponen yang memberikan konstribusi terhadap prodktivitas perairan tersebut diatas
ditemukan cukup tersedia. Sebagai contoh untuk kelompok tumbuhan air seperti lamun,

81
mangrove, dan rumput laut ke tiga komponen ekosistem tersebut ditemukan menyebar
hampir di seluruh wilayah Wakatobi dengan jumlah presentase tutupan yang bervariasi, di
samping itu komponen lain berupa parameter lingkungan yang menentukan produktivitas
perairan seperti pH juga diperoleh mencakup parameter ideal yang dibutuhkan yaitu
sebesar 6. Nilai pH yang diperoleh tersebut berdasarkan kriteria yang ada masih dalam
kategori cukup baik dengan indikasi masih termasuk perairan yang produktif. Berdasarkan
informasi tersebut maka perairan Kabupaten Wakatobi cenderung pada kategori
produktivitas tinggi sehingga indikator produktivitas perairan pada domain habitat ini dapat
diberkan skor 3.
Pengkajian dampak perubahan iklim di Kabupaten Wakatobi belum banyak dilakukan,
namun secara kualitatif dampak perubahan iklim sudah dapat di rasakan oleh masyarakat
yaitu adanya perubahan pola arus dan gelombang serta hujan yang sulit di prediksi dan
tidak teratur. Keberadaan infromasi yang demikian belum diikuti langkah-langkah strategis
untuk mengantisipasinya, oleh karenan itu kriteria ini dapat diberikan skor 2.

Sedangkan kriteria indikator perubahan iklim yang didasarkan pada terumbu karang
di peroleh informasi dari Yulius dkk., (2015) bahwa pada tahun 2012 terumbu karang di
perairan wakatobi sebanyak 65% yang terkena dampak pemutihan, dengan mortalitas 5%
sebelumnya april 2010 ditemukan 70% karang juga terkena dampak pemutihan di rataan
karang dalam dengan 35% koloni tercatat berwarna pucat, disamping itu Laporan TNC
(2012) menyebutkan bahwa kondisi pemutihan karang di Taman Nasional Wakatobi
disebabkan oleh meningkatnya suhu permukaan laut (SPL), yang pada dasarnya
diakibatkan oleh perubahan iklim. Dari data yang dilaporkan bahwa pada tahun 2010 bulan
april grafik komposisi kondisi karang dengan keterangan pucat lebih tinggi berada di atas
50% pada terumbu dangkal (S) dan di atas 40% pada terumbu dalam (D), sementara pada
terumbu karang yang mengalami pemutihan pada daerah dangakal berada pada 10% dan
pada daerah dalam di atas 10%. Kondisi lain juga ditunjukkan pada bulan september 2010
dan januari 2011 bahwa komposisi kondisi karang yang mengalami pemutihan menurun
hingga di bawah 1% , secara rinci digambarkan pada grafik sebagai berikut :

Grafik 6. Komposisi (%) kondisi koloni karang di Taman Nasional Wakatobi (sumber : TNC,
2012)

82
Keterangan : Gambar inset adalah gambar yang sama dengan gambar utama, aksis-y
disesuaikan dan hanya menampilkan kondisi September 2010 dan Januari
2011. S = terumbu dangkal (1-3 m) dan D = terumbu dalam (7-10 m).

Dengan demikian berdarkan informasi maka dapat diketahui bahwa kondisi karang
yang mengalami pemutihan dari tahun 2010 hingga tahun 2011 mengalami penurunan
intensitas. Sehinga berdasarkan kondisi tersebut maka skor yang dapat diberikan adalah
sebesar 3 dengan keterangan bahwa habitat terumbu karang di Perairan Wakatobi terkena
dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching) dengan presentasi kurang dari 5%.

6.2.3 Domain Teknik Penangkapan Ikan

Berdasarkan aspek teknis penangkapan ikan telah dirumuskan 6 (enam) indikator utama,
yakni: (1) metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal, (2) modifikasi
alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan, (3) Fishing capacity dan effort, (4)
Selektivitas penangkapan, (5) Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan
dengan dokumen legal, dan (6) Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.
Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain teknik penangkapan ikan
ditampilkan dalam Tabel 20.

83
DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)

1. Metode Penggunaan alat Laporan hasil 1=frekuensi pelanggaran > 10 3 30 1 (Killer 90


penangkapan dan metode pengawas kasus per tahun ; Indicator)
ikan yang penangkapan yang perikanan, survey
bersifat merusak dan atau 2 = frekuensi pelanggaran 5-10
destruktif dan tidak sesuai kasus per tahun ;
atau ilegal peraturan yang
berlaku. 3 = frekuensi pelanggaran <5
kasus per tahun

2. Modifikasi Penggunaan alat Sampling ukuruan 1 = lebih dari 50% ukuran 2 25 2 50


alat tangkap dan alat ikan target/ikan target spesies < Lm ;
penangkapan bantu yang dominan.
ikan dan alat menimbulkan 2 = 25-50% ukuran target
bantu dampak negatif spesies < Lm
penangkapan. terhadap SDI
3 = <25% ukuran target
spesies < Lm

3. Fishing Besarnya kapasitas Interview, survey, 1 = R kecil dari 1; 0 15 3 0


capacity dan dan aktivitas logbook
Effort penangkapan 2 = R sama dengan 1;

3 = R besar dari 1

4. Selektivitas Aktivitas Statistik Perikanan 1 = rendah (> 75%) ; 3 15 4 45


penangkapan penangkapan yang Tangkap, logbook,
dikaitkan dengan survey 2 = sedang (50-75%) ;
luasan, waktu dan
3 = tinggi (kurang dari 50%)
keragaman hasil
penggunaan alat tangkap yang
tangkapan
tidak selektif)

84
DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)

5. Kesesuaian Sesuai atau Survey/monitoring 1 = kesesuaiannya rendah 2 10 5 20


fungsi dan tidaknya fungsi dan fungsi, ukuran dan (lebih dari 50% sampel tidak
ukuran kapal ukuran kapal jumlah kapal. sesuai dengan dokumen legal);
penangkapan dengan dokumen
ikan dengan legal 2 = kesesuaiannya sedang
dokumen (30-50% sampel tidak sesuai
legal dengan dokumen legal);

3 = kesesuaiannya tinggi
(kurang dari 30%) sampel tidak
sesuai dengan dokumen legal

6. Sertifikasi Kualifikasi Sampling 1 = Kepemilikan sertifikat 1 5 6 5


awak kapal kecakapan awak kepemilikan <50%;
perikanan kapal perikanan. sertifikat
sesuai 2 = Kepemilikan sertifikat 50-
dengan 75%;
peraturan.
3 = Kepemilikan sertifikat
>75%

2 100 235

85
Meningkatnya pemberdayaan masyarakat melalui SISWASMAS dan POKWASMAS baik
kelembagaannya maupun kapasitas pengurusnya serta peningkatan kerjasama dengan
instansi terkait/antar lembaga yaitu POL AIR dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Wakatobi serta Taman Nasional akatobi yang di fasilitasi Coremap II sehingga indikator
metode penankapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal dapat di beri skor 3 dengan
nilai 90.

Penangkapan ikan tuna di Kabupaten Wakatobi di dominasi jenis madidihang dan tuna
mata besar dengan menggunkanan alat tangkap pancing tonda maupun pancing rawai
dengan daerah penangkapan dilepas pantai hingga diatas 20 mil laut. Keberadaan alat
tangkap tuna ini tidak banyak dilakukan modifikasi karena alat tangkapnya cukup
sederhana dan disesuaikan dengan kapasitas kapal yang mereka gunakan maksimum
panjangnya 12 meter. Berdasarkan informasi dari nelayan penangkap tuna bahwa ukuran
panjang ikan yang umum ditangkap berkisar 90 – 120 cm. Penggunaan alat tangkap
pancing tidak berdampak negatif tehadap sumberdaya ikan tuna . Adanya fluktuasi hasil
tangkapan sangat terkait dengan kelimpahan yang ada tetapi bukan karena modifikasi alat
tangkap. Oleh karena itu berdasarkan informasi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
indikator modifikasi alat tangkap ikan dan alat bantu penangkapan pada kriteria ukuran ikan
target dapat diberikan pada skor 3 dengan nilai 75.

Informasi yang berhubungan dengan Indikator fishing capasity dan effort tidak
mendapatkan data yang cukup untuk memberikan kesimpulan pada domain teknik
penangkapan ikan khususnya yang berhubungan dengan ikan tuna, sehingga indikator ini
tida dilakukan asesmen.

Berdasarkan hasil wawancara dan laporan DKP Kabupaten Wakatobi mengatakan bahwa
alat tangkap ikan tuna yang gunakan nelayan Kabupaten Wakatobi adalah pancing yang
merupakan alat tangkat yang tergolong selektivitasnya sangat tinggi, sehingga indikator
selektifitas penangkapan ikan tuna pada kriteria dapat diberikan skor 3 dengan nilai 45.

Kapal tangkap ikan tuna di Kabupaten Wakatobi memiliki panjang maksimum 12 m


dengan lebar 1 meter serta kapasitas muat kurang dari 5 GT. Berdasarkan laporan Dinas
Kelautan dan Perikanan tahun 2009 tentang pendataan alat tangkap bahwa kapal-kapal
pengkap ikan tuna tidak perlu memilik izin dalam melakukan penangkapan oleh pemerintah
sehingga pengawasannya tidak dilakukan secara intensif khususnya bekaitan dengan
dokumen yang berhubungan dengan spesifikasi alat tangkap. Sehingga secara umum
kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkap ikan karang dengan dokumennya tidak

86
dapat diverifikasi namun berdasarkan informasi tersebut maka indikator ini dapat di berikan
skor moderat atau 2 dengan nilai 20.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak DKP dan laporan tahunan Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Wakatobi tidak ditemukan data atau pelaporan jumlah kepemilikan
sertifikat kecakapan awak kapal perikanan termasuk kapal penangkap ikan tuna, hal ini
disebabkan kapal penangkap ikan tuna tidak diwajibkan utuk mengurus izin dalam
melakukan operasi penangkapan dan para nelayan tidak diwajibkan untuk memiliki
sertifikat yang sesuai dengan kualifikasi penangkapannya. Sehingga berdasarkan
informasi tersebut maka untuk kriteria ini dapat diberikan skor 1 dimana kepemilikan
serifikasi kurang dari 50% dengan nilai 5.

6.2.4 Domain Sosial

Terdapat 3 indikator penilaian untuk domain sosial bagi domain sosial pengelolaan ikan
yaitu partisipasi pemangku kepentingan, konflik perikanan dan pemanfaatan pengetahuan
lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional
ecological knowledge). Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain
sosial ditampilkan dalam Tabel 20

Kabupaten Wakatobi merupakan kawasan konservasi dan secara kelembagaan di kelola


oleh Balai Taman Nasional. Pengelolaan kawasan tersebut melibatkan banyak stakeholder
maupun pemamngku kepentingan. Pemamngku kepentingan tersebut meliputi lembaga
baik daerah (Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Wakatobi dan Pemerintah Daerah Kab.
Wakatobi) dan pusat (Dewan Perwakilan Rakyat, Kementrian Kelautan dan Perikanan RI,
Perguruan Tinggi (Universitas Haluoleo dan Konsorsium Mitra Bahari Prov.Sulawesi
Tenggara) serta lembaga non-pemerintah (WWF, TNC) muapun pihak swasta seperti
Wakatobi Dive Resort. Keberadaan lembaga tersebut menunjukan bahwa banyak
pemangku kepentingan yang berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan termasuk
didalamnya pemanfaatan ikan tuna. Keberadaan lembaga tersebut dalam aktifitasnya
belum terintegrasi tapi masih menjalankan tupoksi masing-masing sehing kadang belum
sinergis apa yang dilakukan lembaga yan dengan lembaga lainya. Berdasarkan uraian di
tersebut maka kriteria skor untuk keterlibatan pemangku kepentingan dalam pengelolaan
perikan arang termasuk kategori moderat dan dalam skor 2 = 50 - 100 % dengan nilai 80.

87
Tabel 20. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Sosial.

DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT


INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)
1. Partisipasi Keterlibatan pemangku Recording partisipasi 1 = kurang dari 50%; 2 40 1 80
pemangku kepentingan dilaksanakan secara kontinyu 2 = 50-100%;
kepentingan sesuai dengan pentahapan 3 = 100 %
pengelolaan perikanan.
Evaluasi dari record ini
dilakukan setiap tahap dan
siklus pengelolaan.
2. Konflik Resources conflict, Arahan pengumpulan data 1 = lebih dari 5 2 35 2 70
perikanan policy conflict, fishing konflik adalah setiap semester kali/tahun;
gear conflict, konflik (2 kali setahun) atau sesuai 2 = 2-5 kali/tahun;
antar sector. musim (asumsi level of 3 = kurang dari 2
competition berbeda by musim) kali/tahun
3. Pemanfaatan Recording pemanfaatan TEK 1 = tidak ada; 2 25 3 50
Pemanfaatan pengetahuan lokal yang dilaksanakan secara kontinyu 2 = ada tapi tidak
pengetahuan terkait dengan sesuai dengan pentahapan efektif;
lokal dalam pengelolaan perikanan pengelolaan perikanan. 3 = ada dan efektif
pengelolaan (termasuk di dalamnya Evaluasi dari record ini digunakan
sumberdaya TEK, traditional dilakukan setiap siklus
ikan ecological knowledge) pengelolaan dan dilakukan
secara partisipatif
2 100 200

Berdasarkan hasil wawancara dari 208 responden nelayang ikan tuna, 90 % responden yang mengatakan tidak pernah terjadi konflik antar
nelayan yang menangkap ikan tuna khususnya yang berkaitan dengan penggunaan alat penangkapan tuna yang digunakan nelayan lain,
yang ditemui di laut termasuk penggunaan. Sedangkan yang terkait dengan kebijakan masih dijumpai adanya aturan yang dianggap tidak
operasioal khususnya penggunaan kompresor yang menimbulkan pertentangan antar sektor.

88
Hal ini didukung juga hasil wawancara dengan pihak DKP maupun pihak Taman Nasional
yang mengatakan bahwa kebijakan berkaitan dengan sumberdaya ikan masih ada yang
perlu di perbaiki sehingga tidak membingunkan petugas dilapangan dalam mengambil
keputusan atau penindakan. Selain itu juga terjadi konflik terkait dengan kebijakkan dimana
pada zonasi TNW ditetapkan sebagai daerah pemanfaatan tradisional yang mengacu pada
undang-undang konservasi sedang DKP Wakatobi pada daerah tersebut ditetapka sebagai
daerah perlindungan laut (DPL). Oleh karena itu indikator konflik perikanan yang berkaitan
dengan sumberdaya, kebijakan, fishing gear maupun antar sektor dapat diberikan skor 2
dengan nilai 70.

Keberadaan program Coremap II dan WWF-TNC serta lembaga pemerintah lainnya di


Kabupaten Wakatobi yang menerapkan konsep konservasi berbasis masyarakat telah
meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya pengelolaan
sumberdaya perikanan secara lestari. Di Masyarakat Kabupaetn Wakatobi terdapat
beberapa kearifan lokal maupun pengetahuan lokal yang dapat dimanfaatkan untuk
mengelola termasuk memanfaatkan sumberdaya perikaan. Salah satunya adalah cara
menentukan kapan waktu yang tepat untuk menangkap ikan, dimana masyarakat dapat
mengetahui pada waktu-waktu tertentu untuk manangkap dan dapat memperkirakan
dimana lokasi-lokasi keberadaan ikan (jalur migrasi).

Keberadaan pengetahuan lokal tentang pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten


Wakatobi ini secara umum telah lama ada namun dengan kemajuan pengetahuan dan
teknologi hal-hal tersebut mulai terkikis dan belum terkelola dengan baik oleh karena itu
perlu adanya revitalisasi terhadap penetahuan lokal maupun kearifan lokal yang ada di
masyarakat. Berdasarkan informasi tersebut maka indikator pemanfaatan pengetahuan
lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan secara umum (termasuk di dalamnya
TEK/traditional ecological knowledge) diberikan status moderat dengan skor 2 dan nilai 50.

6.2.5. Domain Ekonomi

Aspek ekonomi ditetapkan 4 (empat) indikator utama, yakni: pendapatan rumah tangga
perikanan (RTP), nilai tukar nelayan (NTN), dan rasio tabungan, dan (4) kepemilikan aset.
Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain ekonomi ditampilkan dalam
Tabel 21

89
Tabel 21. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Ekonomi.
DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)
1. perubahan Arahan frekuensi survey dan 1 = nilai aset berkurang 2 35 1 70
kepemilikan nilai/jumlah aset pengumpulan data pendapatan (lebih dari 50%) ;
aset usaha RTP cat :aset RTP adalah menurut musim 2 = nilai aset tetap
usaha perikanan tangkapan ikan (kurang dari 50%);
atau aset RT. 3 = nilai aset bertambah
(di atas 50%)
2. Nilai Rasio penerimaan Pengumpulan data NTN 1 = kurang dari 100, 2 30 2 60
Tukar terhadap menggunakan sumber sekunder
2 = 100,
Nelayan pengeluaran. (BPS dan PUSDATIN) yang
(NTN) dikumpulkan setiap tahun 3 = lebih dari 100
3. Pendapatan total Arahan frekuensi survey (atau 1= kurang dari rata-rata 2 20 3 40
Pendapatan RTP yang dihasilkan penggunaan note/catatan yang UMR,
rumah dari usaha RTP ada di lapangan, mis: pengumpul 2= sama dengan rata-
tangga ikan) dan pengumpulan data rata UMR,
(RTP) pendapatan RTP adalah 3 = > rata-rata UMR
menurut musim tangkapan ikan
4. Saving menjelaskan Arahan frekuensi survey dan 1 = kurang dari bunga 1 15 4 15
rate tentang rasio pengumpulan data pendapatan kredit pinjaman;
tabungan terhadap RTP adalah menurut musim 2 = sama dengan
income tangkapan ikan bungan kredit pinjaman;
3 = lebih dari bunga
kredit pinjaman
1,75 100 185

90
Kepemilikan aset merupakan perbandingan antara jumlah aset produktif yang dimiliki
rumah tangga perikanan saat ini dengan tahun sebelumnya. Bila aset produktif dari rumah
tangga nelayan bertambah maka diberi nilai tinggi dan sebaliknya. Aset produkstif
merupakan aset rumah tangga yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan,
budidaya ikan, pengolahan ikan, atau perdagangan ikan, bahkan kegiatan ekonomi lainnya
seperti pertanian. Pengukuran kepemilikan aset ini bertujuan untuk melihat kemampuan
rumah tangga nelayan dalam meningkatkan usaha ekonominya (Modul EAFM, 2012).

Berdasarkan hasil wawancara dari 208 responden nelayan ikan karang dari tahun 2012
sampai 2014 menunjukkan bahwa nilai aset cenderung bertambah terlihat dari adanya
perubahan posisi kerja yang sebelumnya menjadi ABK saat ini memiliki kapal sendiri dan
beberapa RTP lainya memiliki aset rumah tangga berupa sepeda motor, kulkas, mesin cuci,
generator, TV, VCD/DVD, dan HP sera jenis bangunannya sudah permanen dan rata-rata
memiiki sumber listrik. Peningkatan aset tersebut dari 2– 3 tahun terakhir berkisar
antara 27,45 % - 70,82 % dengan rata-rata 49,14 %. Oleh karena itu berdasarkan
kriteria pada indikator ini skor dapat diberikan 2.

Pengeluaran nelayan terbesar di Kabupaten Wakatobi adalah untuk keperluan sekolah dan
biaya hidup berkisar Rp 500.000 hingga Rp. 7.000.000 dengan pendapatan antara Rp.
250.000 – Rp 7.000.000. Berdasarkan infromasi dari responden nelayan ikan karang yang
ada di Kabupaten Wakatobi mengatakan bahwa pendapatan lebih kecil bila dibanding
dengan pengeluaran (40.21 %), sebagian mengatakan pendapatan lebih besar
pengeluaran (24,61%) dan 35,18 % mengatakan antara pengeluaran dan pendapatan
nelayan sama saja. Berdasarkan informasi tersebut maka secara keseluruhan dapat
disimpulkan bahwa indikator nilai tukar nelayan (NTN) dapat diberikan skor 2.

Pendapatan nelayan pengkapan ikan tuna dari tahun 2012 samapai 2014 mengalami
peningkatan. Berdasarkan hasil wawancara nelayan penangkapan ikan tuna yang
dilakukan sebnyak 208 responden maka dapat dikelompokan berdasarkan geografi pulau
yaitu pulau Wanci, pulau Kaledupa, pulau Tomia dan Pulau Binongko. Pendapatan bersih
nelayan ikan karang di Pulau Binongko berkisar Rp 300.000 – Rp. 2.000.000, nelayan
Pulau Tomia berkisar Rp. 550.000 – Rp. 7.000.000, nelayan karang di Pulau Kaledupa
berkisar Rp. 100.000 – Rp 5.000.000 dan nelayan ikantuna di Pulau Wanci berkisar Rp.
100.000 – Rp 7.000.000. Besarnya pendapatan tersebut bila dibandingkan dengan UMR
regional Sulawesi Tenggara sebesar Rp. 1.070.000 maka berada pada kisaran menengah
atau moderat dan berdasarkan kisaran dan rata-rata pendapatan nelayan ikan karang di

91
Kabupaten Wakatobi maka untuk kriteria skor mencapai 2 = sama besar dengan rata-rata
UMR regional.

Informasi yang berkaitan dengan saving rate tidak banyak terungkap, namun sebagai
pendekatan berdasarkan kisaran pendapatan dan pengeluaran yang sangat bervariasi dan
standar deviasi pendapatan yang tinggi maka dapat diduga bahwa perbandingan antara
selisih pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan ikan tuna dengan
pendapatannya rata-rata berkisar dibawah 10 % dimana bunga kredit di bank setempat
rata-rata 12,5 %. Kondisi ini dapat menggambarkan secara kasar tentang indikator saving
rate hanya dapat diberikan skor 1.

6.2.6 Domain Kelembagaan

Aspek kelembagaan telah dirumuskan 7 (tujuh) indikator utama, yakni: (1) kepatuhan
terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan
yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (alat), (2) kelengkapan aturan
main dalam pengelolaan perikanan, (3) mekanisme kelembagaan, (4) rencana pengelolaan
perikanan, (5) tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan, (6)
kapasitas pemangku kepentingan dan (7) keberadaan otoritas tunggal pengelolaan
perikanan. Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain kelembagaan
ditampilkan dalam Tabel 22

Berdasarkan laporan tahunan DKP Kabupaten Wakatobi tahun 2011 mengatakan bahwa
pada tahun 2010 terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan perikanan yang telah di
tetapkan baik formal maupun tidak formal. Hal ini di perkuat pula dari hasil wawancara
dengan pihak DKP menyebutkan bahwa dalam setahun terkhir tercatat 8 pelanggaran,
yaitu: 1) Perijinan tidak lengkap dengan kategori ringan dan dilakukan pembinaan serta
melengkapi dokumen sesuai kebutuhan, 2) Pelanggaran daerah penangkapan dengan
kategori ringan dan dilakukan pembinaan, 3) Cara penangkapan tidak ramah lingkungan
dengan kategori ringan (membawah kompresor kapal kurang dari 5 GT). Oleh karena itu
kriteria pelanggaran terhadap aturan perikanan dapat di kategorikan buruk dengan skor 1.
Sedangkan untuk pelangaran terhadap aturan non formal tidak ada informasi pelanggaran
dan kriteria ini dapat di berikan kategori baik dengan skor 3. Sehingga berdasarkan hal
tersebut maka indikator kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung
jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-
formal diberikan nilai 50.

92
Berdasarkan wawancara dengan perangkap DKP Kabupaten Wakatobi bahwa RPP belum
ada, namun aturan-aturan lain khususnya secara nasional masih mendominasi aturan
untuk dijadikan rujukan dalam pengelolaan perikanan di Kab. Wakatobi yang meliputi UU
No 27 Tahun 2007, UU No 45 Tahun 2009, UU No 45 tahun 2007, UU No 45 tahun 2004,
PP No 60 tahun 2009. Sedangkan aturan yang bersifat teknis dan operasional.

93
Tabel 22. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Kelembagaan.
DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)
1. Kepatuhan Tingkat Monitoring ketaatan: 1= lebih dari 5 kali terjadi 1 25 1 50
terhadap kepatuhan 1. Laporan/catatan terhadap pelanggaran hukum dalam
prinsip-prinsip (compliance) pelanggaran formal dari pengelolaan perikanan;
perikanan yang seluruh pengawas, 2 = 2-4 kali terjadi
bertanggung pemangku 2. Wawancara/kuisioner pelanggaran hukum;
jawab dalam kepentingan (key person) terhadap 3 = kurang dari 2 kali
pengelolaan WPP terhadap pelanggaran non formal pelanggaran hukum
perikanan yang aturan main termasuk ketaaatan Non formal 3
telah ditetapkan baikformal terhadap peraturan sendiri 1= lebih dari 5 informasi
baik secara maupun tidak maupun peraturan pelanggaran,
formal maupun formal diatasnya 2= lebih dari 3 informasi
non-formal pelanggaran,
(Alat) 3= tidak ada informasi
pelanggaran
2. Kelengkapan Sejauh mana 1) Benchmark sesuai 1 = tidak ada; 2 22 2 61,6
aturan main kelengkapan dengan Peraturan nasional, 2 = ada tapi tidak lengkap;
dalam regulasi dalam 2) membandingkan situasi 3 = ada dan lengkap
pengelolaan pengelolaan sekarang dengan yang Elaborasi untuk poin 2 3
perikanan perikanan sebelumnya 1= ada tapi jumlahnya
3) replikasi kearifan lokal berkurang;
2= ada tapi jumlahnya
tetap;
3= ada dan jumlahnya
bertambah
Ada atau tidak Survey dilakukan melalui 1=tidak ada penegakan 3
penegakan wawancara/ kuisioner: aturan main;
aturan main dan 1) ketersediaan alat, orang 2=ada penegakan aturan
efektivitasnya 2) bentuk dan intensitas main namun tidak efektif;
penindakan (teguran, 3=ada penegakan aturan
hukuman) main dan efektif

94
DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)
1= tidak ada alat dan orang; 3
2=ada alat dan orang tapi
tidak ada tindakan;
3= ada alat dan orang serta
ada tindakan
1= tidak ada teguran 3
maupun hukuman;
2= ada teguran atau
hukuman;
3=ada teguran dan
hukuman
3. Mekanisme Ada atau Survey dilakukan dengan : 1=tidak ada mekanisme 2 18 3 36
pengambilan tidaknya analisis dokumen antar pengambilan keputusan;
keputusan mekanisme lembaga dan analisis 2=ada mekanisme tapi
pengambilan stakeholder melalui tidak berjalan efektif; 3=ada
keputusan dalam wawancara/kuisioner mekanisme
pengelolaan dan berjalan efektif
perikanan 1= ada keputusan tapi tidak 2
dijalankan;
2= ada keputusan tidak
sepenuhnya dijalankan;
3= ada keputusan
dijalankan sepenuhnya
4. Rencana Ada atau Survey dilakukan dengan 1=belum ada RPP; 1 15 4 15
pengelolaan tidaknya RPP wawancara/kuisioner: 2=ada RPP namun belum
perikanan untuk wilayah 1. Adakah atau tidak RPP sepenuhnya dijalankan;
pengelolaan disuatu daerah 3=ada RPP dan telah
perikanan 2. Dilaksanakan atau tidak dijalankan sepenuhnya
dimaksud RPP yang telah dibuat

95
DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)
5. Tingkat Semakin tinggi Survey dilakukan dengan : 1=konflik antar lembaga 2 11 5 27.5
sinergisitas tingkat sinergi analisis dokumen antar (kebijakan antar lembaga
kebijakan dan antar lembaga lembaga dan analisis berbeda kepentingan);
kelembagaan (span of control- stakeholder melalui 2 = komunikasi antar
pengelolaan nya rendah) wawancara/kuisioner lembaga tidak efektif;
perikanan maka tingkat 3 = sinergi antar lembaga
efektivitas berjalan baik
pengelolaan
perikanan akan
semakin baik
Semakin tinggi Survey dilakukan dengan : 1= terdapat kebijakan yang 3
tingkat sinergi analisis dokumen antar saling bertentangan;
antar kebijakan lembaga dan analisis 2 = kebijakan tidak saling
maka tingkat stakeholder melalui mendukung;
efektivitas wawancara/kuisioner 3 = kebijakan saling
pengelolaan mendukung
perikanan akan
semakin baik
6. Kapasitas Seberapa besar Survey dilakukan dengan 1=tidak ada peningkatan; 3 5 6 15
pemangku frekuensi wawancara/kuisioner 2 = ada tapi tidak
kepentingan peningkatan terhadap: difungsikan;
kapasitas 1) Ada atau tidak, berapa 3 = ada dan difungsikan
pemangku kali
kepentingan 2) Materi
dalam
pengelolaan
perikanan
berbasis
ekosistem

96
DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)
7. Keberadaan Dengan adanya Survey dilakukan dengan : 1= tidak ada single authority 1 4 7 4
otoritas tunggal single authority analisis dokumen antar ;
pengelolaan akan lembaga 2 = lebih dari satu authority;
perikanan meningkatkan 3 = ada single authority
efektivitas
kelembagaan
pengelolaan
perikanan
2.29 100 209,1

97
Di Kabupaten Wakatobi meliputi; Perda Zonasi tahun 2007, Perda 15 dan 16 tahun 2005,
serta aturan-aturan lainnya berupa SIUP, SIPI, SIKPI. Raperda tentang perlindungan darah
pemeijahan. Berdasarkan kriteria skor maka termasuk dalam skor 2 = ada tapi tidak
lengkap.

Keberadaan dan kelengkapan aturan main pegelolaan perikanan di Kabupaten Wakatobi


sejak di canangkan sebagai Kawasan Taman Nasional pada tahun 1996 dan sebagai
daerah otomini sejak tahun 2003 telah mengalami perkembangan dan penambahan aturan-
aturan pengelolaan kawasan konservasi secara umum dan perikanan secara khusus
seperti tersebut diatas. Oleh karena itu kriteria jumlah aturan pada indikator tersebut dapat
di beri skor 3.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap perangkat DKP Wakatobi dan hasil penelitian yang
dilakukan KMB Sultra tahun 2010 terlihat bahwa setiap adanya pelanggaran terhadap
aturan-aturan perikanan selalu diikuti tindakan penegakan hukum sesuai dengan aturan
main yang berlaku baik pelanggaran kategori ringan maupun kategori sedang hingga berat
dengan tindakan mulai teguran hingga penahanan melalui proses hukum. Oleh karena itu
ketiga kriteria tesebut (penegakan aturan main, ketersediaan alat dan tindakan dan adanya
teguran dan hukuman) dapat diberikan skor 3.

Berdasarkan infromasi tersebut maka indikator kelengkapan aturan main dalam


pengelolaan perikanan secara umum walaupun rencana pengelolaan perikanan (RPP)
spesifik belum ada namun aturan-aturan umum yang berkaitan dengan pengeloaan
sumberdaya perikanan dan kelautan sudah ada seperti dijelaskan diatas oleh karena itu
status tersebut di Kabupaten Wakatobi dapat di kategorikan dalam keadaan baik dengan
nilai 61,5

Dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan termasuk wilayah pesisir setiap
instansi melakukannya umumnya masih secara parsial dan masing-masing memiliki
mekanisme tersendiri dalam mengambil keputusan. Berdasarkan informasi dari DKP
Kabupaten Wakaobi bahwa apabila ada kegiatan atau permasalahan yang terkait
pemanfaatan sumberdaya perikanan maka dilakukan koordinasi dengna instansi terkait
seperti Balai Taman Nasional namun keputusan diserahkan pada lembaga yang terkait
langsung dengan tupoksinya. Mekanisme dan pengambilan keputusan hanya ada pada
instansi masing-masing dan komunikasi dilakukan melalui workshop, seminar atau
kegiatan lainnya sehingga mekanisme keputusan tidak berjalan dengan lancar dan
akhirnya berhubungan dengan keputusan yang akan diambil tidak berjalan dengan
sepenuhnya. Kondisi ini disebabkan juga belum terdapatnya rencana pengelolaan

98
perikanan dalam mengelolala sumberdaya kelautan dan perikanan di Kabupaten Wakatobi.
Oleh karena itu berdasarkan hasil wawancara tersebut secara keseluruhan tergambar pula
secara spesifik bawa belum tergambar dari rekapan kuisioner tentang mekanisme
pengambilan keputusan dalam pengelolaan perikanan, namun dapat terlihat bahwa telah
terbentuk wadah (kelembagaan formal) yang mendukung mekanisme kelembagaan
ditingkat masyarakat dan selalu dibina/dipantau DKP Kabupaten Wakatobi yaitu kelompok
masyarakat pengawasan (Pokmaswas) sehingga indikator mekanisme pengambilan
keputusan diberikan status sedang dengan nilai 36.

Berdasarkan hasil wawancara bahwa di DKP Kabupaten belum memiliki RPP, namun
sebagai dokumen pendukung maka Kabupaten Waktobi telah memiliki dokumen Zonasi
yang didalamnya sudah termasuk pengelolaan perikanan. Sebagai pendukung kegiatan
pengelolaan perikanan salah satunya adalah berkaitan dengan penegakan aturan yaitu
pembentukan kelompok masyarakat pengawasan (Pokmaswas). Berdasarkan hal tersebut
di atas dan dihubungkan dengan kriteria skor maka indikator ini dapat diberikan skor 1(
belum ada RPP) dengan nilai 15.

Berdasarkan hasil wawancara di DKP Kabupaten Wakatobi bahwa sinergi antar lembaga
telah berjalan namun belum efektif. Kondisi ini tergambar dari wawanara dan diskusi bahwa
doukumen hasil penangkapan dan tindakan pelanggaran pemanfaatan sumberdaya
perikanan hanya dijumpai pada instansi tertentu. Hal ini menggambarkan bahwa belum
berjalannya secara efektif komunikasi antara lembaga yang terkait. Oleh karena itu kriteria
ini menggambarkan pula tidak ada konflik antar lembaga sehingga dapat di beri skor 2.

Sejak adanya program Coremap II di Kabupaten Wakatobi maka pembentukan


SISWASMAS dan POWASMAS telah berjalan dengan baik dimana hingga tahun 2011
telah terbentu kelompok pengawas swadaya di setiap desa target Coremap. Keberadaan
kelompok-kelompok pengawas tersebut menurut staf DKP Kabupaten Wakatobi sangat
bermanfaat dalam mendukung pengwasan swakarsa di setiap wilayah perairan mereka.
Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut maka indikator kapasitas pemangku kepentingan
terjadi peningkatan dan berfungsi dengan baik sehingga kriteria ini dapat diberi skor 3
dengan nilai 15.

Keberadaan RPP hingga saat ini di Kabupaten Wakatobi belum terwujud sehingga
pengelolaan perikanan masih terikat didalam tupoksi dinas kelautan dan perikanan
sedangkan yang berkaitan dengan sumberdaya kelautan lainnya yang melibatkan antar
sektor dikoordinasikan oleh Bappeda Kabupaten namun masing-masing lembaga (SKPD)
memiliki kewenangan sendiri-sendiri. Berdasarkan informasi tersbut maka indikator

99
keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan diberikan skor 1 dengan nilai 4 karena
belum ditemukan adanya single authority ditingkat kabupaten dalam rencana pengelolaan
perikanan (RPP).

Sejak adanya program Coremap II di Kabupaten Wakatobi maka pembentukan


SISWASMAS dan POWASMAS telah berjalan dengan baik dimana hingga tahun 2011
telah terbentu kelompok pengawas swadaya di setiap desa target Coremap. Keberadaan
kelompok-kelompok pengawas tersebut menurut staf DKP Kabupaten Wakatobi sangat
bermanfaat dalam mendukung pengwasan swakarsa di setiap wilayah perairan mereka.
Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut maka indikator kapasitas pemangku kepentingan
terjadi peningkatan dan berfungsi dengan baik sehingga kriteria ini dapat diberi skor 3
dengan nilai 15.

Keberadaan RPP hingga saat ini di Kabupaten Wakatobi belum terwujud sehingga
pengelolaan perikanan masih terikat didalam tupoksi dinas kelautan dan perikanan
sedangkan yang berkaitan dengan sumberdaya kelautan lainnya yang melibatkan antar
sektor dikoordinasikan oleh Bappeda Kabupaten namun masing-masing lembaga (SKPD)
memiliki kewenangan sendiri-sendiri. Berdasarkan informasi tersbut maka indikator
keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan diberikan skor 1 dengan nilai 4 karena
belum ditemukan adanya single authority ditingkat kabupaten dalam rencana pengelolaan
perikanan (RPP).

7. Analisis Komposit Pengelolaan Perikanan

7.1 Analisa Menggunakan sistem Flag

7.2 Perikanan Berbasis Ikan Karang

Berdasarkan hasil pemberian nilai terhadap skor kriteria untuk domain sumberdaya ikan
terhadap penglolaan ikan karang pada keenam indikator penialaian yaitu CPUE baku,
ukura ikan, proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap, komposisi spesies, spesies
ETP dan range collapse sumberdaya ikan. Penialaian status pada masing-masing indikator
Sumberadaya ikan dapat di lihat pada Tabel berikut :

100
Tabel 23. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Domain Sumberdaya Ikan
BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
(%)
1. CPUE Baku 1 = menurun tajam 2 40 1 (Killer 80
2 = menurun sedikit Indicator)
3 = stabil atau meningkat
2. Ukuran ikan 1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap 2 20 2 40
semakin kecil;
2 = trend ukuran relatif tetap;
3 = trend ukuran semakin besar
3. Proporsi ikan yuwana 1 = banyak sekali (> 60%) 3 15 3 45
(juvenile) yang ditangkap 2 = banyak (30 - 60%)
3 = sedikit (<30%)
4. Komposisi spesies 1 = proporsi target lebih sedikit 2 10 4 20
2 = proporsi target sama dgn non-target
3 = proporsi target lebih banyak
5. Spesies ETP 1= banyak tangkapan spesies ETP; 2 5 6 10
2= sedikit tangkapan spesies ETP;
3 = tidak ada spesies ETP yang tertangkap
6. "Range Collapse" 1 = semakin sulit; 2 10 5 20
sumberdaya ikan 2 = relatif tetap;
3 = semakin mudah
1 = fishing ground menjadi sangat jauh 2
2= fishing ground jauh
3= fishing ground relatif tetap jaraknya
TOTAL 2,14 100 215

101
Berdasarkan hasil pemberian nilai berdasarkan kriteria skor untuk domain habitat dan
ekosistem untuk pengelolaan ikan karang pada ketujuh indikator penilaian yaitu kualitas
perairan, status lamun, . Status mangrove, Status terumbu karang, Habitat unik/khusus
(spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling). Status dan produktivitas
Estuari dan perairan sekitarnya dan Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat.
Penialaian status pada masing-masing indikator Sumberdaya Ikan dapat dilihat pada Tabel
24.

102
Tabel 24. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Domain Habitat dan Ekosistem
BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
(%)
1. Kualitas perairan 1= tercemar; 3 20 1 60
2=tercemar sedang;
3= tidak tercemar
1= > 20 mg/m^3 konsentrasi tinggi 3
2= 10-20 mg/m^3 konsentrasi sedang;
3= <10 mg/m^3 konsentrasi rendah
Satuan NTU
1= konsentrasi klorofil a > 10 mg/m^3 terjadi 3
eutrofikasi;
2= konsentrasi klorofil a 1-10 mg/m^3 potensi terjadi
eutrofikasi; dan
3= konsentrasi klorofil a <1 mg/m^3 tidak terjadi
eutrofikasi
2. Status lamun 1=tutupan rendah, :529,9%; 3 15 2 45
2=tutupan sedang, 30-49,9%;
3=tutupan tinggi, ;:50%
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 3
2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
1=kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%; 1
2=kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan
50-75%;
3=kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75%
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2
3. Status mangrove 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 15 2 26,25
1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
1= luasan mangrove berkurang dari data awal; 1
2= luasan mangrove tetap dari data awal;

103
BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
(%)
3= luasan mangrove bertambah dari data awal

1 = INP rendah; 3
2 = INP sedang;
3 = INP tinggi
1=tutupan rendah, <25%; 2
2=tutupan sedang, 25-49,9%;
3=tutupan tinggi, >50%
4. Status terumbu karang 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 3 15 2 37.5
2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 3
5. Habitat unik
2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak
(spawning ground, nurser
dikelola dengan baik; 15 3 45
ground, feeding ground
3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola
upwelling).
dengan baik
6. Status dan 1=produktivitas rendah; 3
produktivitas Estuari dan 2=produktivitas sedang; 10 4 30
perairan sekitarnya 3=produktivitas tinggi
> State of knowledge level : 2
1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan
7. Perubahan iklim iklim;
terhadap kondisi peraira n 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak 10 5 25
dan habitat diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi;
3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan
diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi

104
BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
(%)
> state of impact (key indicator menggunakan 3
terumbu karang):
1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral
bleaching >25%);
2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral
bleaching 5-25%);
3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral
bleaching <5%)
2.53 100 268.75

105
Berdasarkan hasil pemberian nilai pada skor kriteria untuk domain teknik penangkapn ikan
pada keenam indikator penialaian yaitu metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif
dan atau ilegal, modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan. fishing
capacity dan effort selektivitas penangkapan, kesesuaian fungsi dan ukuran kapal
penangkapan ikan dengan dokumen legal dan sertifikasi awak kapal perikanan sesuai
dengan peraturan. Penilaian status pada masing-masing indikator domain teknik
peangkapan ikan dapat di lihat pada Tabel 25

106
Tabel 25. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Teknik Penangkapan Ikan

INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI


1. Metode penangkapan 1=frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun ; 3 30 1 (Killer 90
ikan yang bersifat 2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun ; Indicator)
destruktif dan atau ilegal 3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun

2. Modifikasi alat 1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm ; 2 25 2 50


penangkapan ikan dan 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm
alat bantu penangkapan. 3 = <25% ukuran target spesies < Lm
3. Fishing capacity dan 1 = R kecil dari 1; 2 15 3 30
Effort 2 = R sama dengan 1;
3 = R besar dari 1
4. Selektivitas 1 = rendah (> 75%) ; 3 15 4 45
penangkapan 2 = sedang (50-75%) ;
3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat
tangkap yang tidak selektif)
5. Kesesuaian fungsi dan 1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel 2 10 5 20
ukuran kapal tidak sesuai dengan dokumen legal);
penangkapan ikan dengan 2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak
dokumen legal sesuai dengan dokumen legal);
3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel
tidak sesuai dengan dokumen legal
6. Sertifikasi awak kapal 1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 1 5 6 5
perikanan sesuai dengan 2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%;
peraturan. 3 = Kepemilikan sertifikat >75%
2,16 100 240

107
Berdasarkan hasil pemberian nilai pada skor kriteria untuk domain sosial pada ketiga indikator penilaian yaitu partisipasi pemangku
kepentingan, konflik perikanan dan pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK,
traditional ecological knowledge). Penialaian status pada masing-masing indikator Sosial dapat di loihat pada Tabel 26

Tabel 26. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Sosial

INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI


1. Partisipasi pemangku 1 = kurang dari 50%; 2 40 1 80
kepentingan
2 = 50-100%;
3 = 100 %
2. Konflik perikanan 1 = lebih dari 5 kali/tahun; 2 35 2 70
2 = 2-5 kali/tahun;
3 = kurang dari 2 kali/tahun
Pemanfaatan pengetahuan 1 = tidak ada; 2 25 3 50
lokal dalam pengelolaan
2 = ada tapi tidak efektif;
sumberdaya ikan (termasuk di
dalamnya TEK, traditional 3 = ada dan efektif digunakan
ecological knowledge)

2 100 200

Berdasarkan hasil pemberian nilai berdasarkan kriteria skor untuk domain ekonomi pada keempat indikator penialaian yaitu kepemilikan
aset, nilai tukar nelayan (NTN), pendapatan rumah tangga (RTP) dan saving rate. Penilaian status pada masing-masing indikator sosial
dapat di lihat pada Tabel 27

108
Tabel 27. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Domain Ekonomi

BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
(%)
1. kepemilikan aset 1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%) ; 2 35 1 70
2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%);
3 = nilai aset bertambah (di atas 50%)
2. Nilai Tukar Nelayan 1 = kurang dari 100, 2 30 2 60
(NTN)
2 = 100,
3 = lebih dari 100
3. Pendapatan rumah 1= kurang dari rata-rata UMR, 2 20 3 40
tangga (RTP)
2= sama dengan rata-rata UMR,
3 = > rata-rata UMR
4. Saving rate 1 = kurang dari bunga kredit pinjaman; 1 15 4 15
2 = sama dengan bungan kredit pinjaman;
3 = lebih dari bunga kredit pinjaman
1,75 100 185

Berdasarkan hasil pemberian nilai berdasarkan kriteria skor untuk domain kelembagaan pada keempat indikator penilaian yaitu kepatuhan
terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun
non-formal (alat), kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan, mekanisme kelembagaan, rencana pengelolaan perikanan,
tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan, kapasitas pemangku kepentingan dan keberadaan otoritas tunggal
pengelolaan perikanan. Penilaian status pada masing-masing indikator Sosial dapat di loihat pada Tabel 28

109
Tabel 28. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Domain Kelembagaan

BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
(%)
1. Kepatuhan terhadap prinsip- 1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum 25 1 50
prinsip perikanan yang dalam pengelolaan perikanan;
bertanggung jawab dalam 1
2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum;
pengelolaan perikanan yang telah
ditetapkan baik secara formal 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum
maupun non-formal (Alat)
Non formal
1= lebih dari 5 informasi pelanggaran,
3
2= lebih dari 3 informasi pelanggaran,
3= tidak ada informasi pelanggaran
2. Kelengkapan aturan main dalam 1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak lengkap; 2 18 3 50.4
pengelolaan perikanan
3 = ada dan lengkap
Elaborasi untuk poin 2 3
1= ada tapi jumlahnya berkurang;
2= ada tapi jumlahnya tetap;
3= ada dan jumlahnya bertambah
1=tidak ada penegakan aturan main; 3
2=ada penegakan aturan main, tidak efektif;
3=ada penegakan aturan main dan efektif
1= tidak ada alat dan orang; 3
2=ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan;

110
BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
(%)
3= ada alat dan orang serta ada tindakan

1= tidak ada teguran & hukuman; 2= ada teguran 3


atau hukuman;3=ada teguran & hukuman
1=tidak ada mekanisme pengambilan keputusan; 2
2=ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif;

3. Mekanisme pengambilan 3=ada mekanisme dan berjalan efektif


18 3 36
keputusan 1= ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2
2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan;
3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya
1=belum ada RPP; 1
2=ada RPP namun belum sepenuhnya
4. Rencana pengelolaan perikanan 15 4 15
dijalankan;
3=ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya
1=konflik antar lembaga (kebijakan antar 2
lembaga berbeda kepentingan);
2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif;
5. Tingkat sinergisitas kebijakan
dan kelembagaan pengelolaan 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik 11 5 27.5
perikanan 1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 3
2 = kebijakan tidak saling mendukung;
3 = kebijakan saling mendukung

111
BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
(%)
1=tidak ada peningkatan; 3
6. Kapasitas pemangku
2 = ada tapi tidak difungsikan; 5 6 15
kepentingan
3 = ada dan difungsikan
1= tidak ada single authority ; 1
7. Keberadaan otoritas tunggal
2 = lebih dari satu authority; 4 7 4
pengelolaan perikanan
3 = ada single authority
2.29 100 197.9

112
Berdasarkan hasil analisis dan penilaian setiap domain yang berdasarkan kriteria masing-
masing indikator domain pada domain habitat & ekosistem, sumberdaya ikan, teknik
penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan menunjukkan bahwa nilai komposit
tertinggi terdapat pada domian habitat dan ekosistem dan terendah adalah domain
sumberdaya ikan. Nilai komposit pada setiap domain secara detail dapat di lihat pada Tabel
29 berikut:

Tabel 29. Nilai Komposit dan Deskripsi Perikanan Berbasis Ikan Karang Pada Setiap
Domain Yang di Nilai

Domain Nilai Komposit Deskripsi

Sumberdaya Ikan 215 Baik

Habitat & ekosistem 268.5 Baik Sekali

Teknik Penangkapan Ikan 240 Baik

Sosial 200 Sedang

Ekonomi 185 Sedang

Kelembagaan 197.9 Sedang

Aggregat 217.7 Baik

7.2 Perikanan Berbasis Ikan Tuna

Berdasarkan hasil pemberian skor dan nilai pada kriteria setiap indikator pada Domain
Sumberdaya ikan terhadap pengelolaan ikan tuna pada keenam indikator penialaian yaitu
CPUE, ukura ikan, proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap, komposisi spesies,
spesies ETP dan range collapse sumberdaya ikan. Penialaian status pada masing-masing
indikator sumeradaya ikan dapat di lihat pada Tabel 30).

113
Tabel 30. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Domain Sumberday Ikan

INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI


1. CPUE Baku 1 = menurun tajam 3 40 1 (Killer 120
Indicator)
2 = menurun sedikit
3 = stabil atau meningkat
2. Ukuran ikan 1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap 2 20 2 40
semakin kecil;
2 = trend ukuran relatif tetap;
3 = trend ukuran semakin besar
3. Proporsi ikan 1 = banyak sekali (> 60%) 3 15 3 45
yuwana (juvenile) yang
2 = banyak (30 - 60%)
ditangkap
3 = sedikit (<30%)
4. Komposisi spesies 1 = proporsi target lebih sedikit 3 10 4 30
2 = proporsi target sama dgn non-target
3 = proporsi target lebih banyak
5. Spesies ETP 1= banyak tangkapan spesies ETP; 3 5 6 15
2= sedikit tangkapan spesies ETP;
3 = tidak ada spesies ETP yang tertangkap
6. "Range Collapse" 1 = semakin sulit; 2 10 5 20
sumberdaya ikan
2 = relatif tetap;
3 = semakin mudah
1 = fishing ground menjadi sangat jauh 2
2= fishing ground jauh

114
INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI
3= fishing ground relatif tetap jaraknya

2.57 100 280

Berdasarkan hasil pemberian nilai berdasarkan kriteria skor untuk domain habitat dan ekosistem terhadap pengelolaan ikan tuna pada
ketujuh indikator penilaian yaitu kualitas perairan, status lamun, status mangrove, status terumbu karang, habitat unik/khusus (spawning
ground, nursery ground, feeding ground, upwelling), status dan produktivitas estuari dan perairan sekitarnya dan perubahan iklim terhadap
kondisi perairan dan habitat. Penilaian status pada masing-masing indikator sumeradaya ikan dapat di lihat pada Tabel 31.

Tabel 31. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Domain Habitat dan Ekosistem

INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI


1. Kualitas perairan 1= tercemar; 3 20 1 60
2=tercemar sedang;
3= tidak tercemar
1= > 20 mg/m^3 konsentrasi tinggi ; 3
2= 10-20 mg/m^3 konsentrasi sedang;
3= <10 mg/m^3 konsentrasi rendah
Satuan NTU

115
INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI
1= konsentrasi klorofil a > 10 mg/m^3 terjadi 3
eutrofikasi;
2= konsentrasi klorofil a 1-10 mg/m^3 potensi
terjadi eutrofikasi; dan
3= konsentrasi klorofil a <1 mg/m^3 tidak terjadi
eutrofikasi
2. Status lamun 1=tutupan rendah, :529,9%; 3 15 2 45
2=tutupan sedang, 30-49,9%;
3=tutupan tinggi, ;:50%
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 3
2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
1=kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan 1 15 2 26.25
<50%;
2=kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha,
tutupan 50-75%;
3=kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan
>75%
3. Status mangrove
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2
2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
1= luasan mangrove berkurang dari data awal; 1

116
INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI
2= luasan mangrove tetap dari data awal;
3= luasan mangrove bertambah dari data awal
1 = INP rendah; 3
2 = INP sedang;
3 = INP tinggi
1=tutupan rendah, <25%; 2
2=tutupan sedang, 25-49,9%;
3=tutupan tinggi, >50%
4. Status terumbu
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 3 15 2 37.5
karang
2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 3 15 3 45
2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak
5. Habitat unik/ khusus dikelola dengan baik;
3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan
dikelola dengan baik
6. Status dan 1=produktivitas rendah; 3 10 4 30
produktivitas Estuari
2=produktivitas sedang;
dan perairan
sekitarnya 3=produktivitas tinggi

7. Perubahan iklim > State of knowledge level : 2 10 5 25


terhadap kondisi 1= belum adanya kajian tentang dampak
perairan dan habitat perubahan iklim;

117
INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI
2= diketahui adanya dampak perubahan iklim
tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan
mitigasi;
3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim
dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi
> state of impact (key indicator menggunakan 3
terumbu karang):
1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g
coral bleaching >25%);
2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g
coral bleaching 5-25%);
3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g
coral bleaching <5%)
2.53 100 268.75

Berdasarkan hasil pemberian nilai kriteria skor untuk domain teknik penangkapan ikan terhadap pengelolaan ikan tuna pada keenam
indikator penilaian yaitu; metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal, modifikasi alat penangkapan ikan dan alat
bantu penangkapan, fishing capacity dan effort selektivitas penangkapan, Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan
dokumen legal dan sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. Penilaian status pada masing-masing indikator teknik
penangkapan ikan dapat di lihat pada Tabel 32

Tabel 32. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Teknik Penangkapan Ikan

118
BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
(%)
1. Metode penangkapan 1=frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun ; 2 3 30 1 (Killer 90
ikan yang bersifat Indicator)
= frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun ; 3
destruktif dan atau
ilegal = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun
2. Modifikasi alat 1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm ; 3 25 2 75
penangkapan ikan
2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm
dan alat bantu
penangkapan. 3 = <25% ukuran target spesies < Lm
3. Fishing capacity dan 1 = R kecil dari 1; 0 15 3 0
Effort
2 = R sama dengan 1;
3 = R besar dari 1
4. Selektivitas 1 = rendah (> 75%) ; 3 15 4 45
penangkapan
2 = sedang (50-75%) ;
3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat
tangkap yang tidak selektif)
5. Kesesuaian fungsi 1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel 2 10 5 20
dan ukuran kapal tidak sesuai dengan dokumen legal);
penangkapan ikan
2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak
dengan dokumen
sesuai dengan dokumen legal);
legal
3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%)
sampel tidak sesuai dengan dokumen legal
6. Sertifikasi awak kapal 1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 1 5 6 5
perikanan sesuai
2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%;
dengan peraturan.
3 = Kepemilikan sertifikat >75%

119
BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
(%)
2 100 235

Berdasarkan hasil pemberian nilai kriteria skor untuk domain sosial terhadap pengelolaan ikan tuna pada ketiga indikator penilaian yaitu;
partisipasi pemangku kepentingan, konflik perikanan dan pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk
di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge). Penilaian status pada masing-masing indikator sosial dapat di lihat pada Tabel 33

Tabel 33. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Domain Sosial

BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
(%)
1. Partisipasi pemangku 1 = kurang dari 50%; 2 40 1 80
kepentingan
2 = 50-100%;
3 = 100 %
2. Konflik perikanan 1 = lebih dari 5 kali/tahun; 2 35 2 70
2 = 2-5 kali/tahun;
3 = kurang dari 2 kali/tahun
3. Pemanfaatan 1 = tidak ada; 2 25 3 50
pengetahuan lokal dalam
2 = ada tapi tidak efektif;
pengelolaan
sumberdaya ikan 3 = ada dan efektif digunakan
2 100 200

120
Berdasarkan hasil pemberian nilai kriteria skor untuk domain ekonomi terhadap pengelolaan ikan tuna pada keempat indikator penialaian
yaitu kepemilikan aset, nilai tukar nelayan (NTN), pendapatan rumah tangga (RTP) dan saving rate. Penilaian status pada masing-masing
indikator Sosial dapat di lihat pada Tabel 34

Tabel 34. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Domain Ekonomi

BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
(%)
1. kepemilikan aset 1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%) ; 2 35 1 70
2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%);
3 = nilai aset bertambah (di atas 50%)
2. Nilai Tukar Nelayan 1 = kurang dari 100, 2 30 2 60
(NTN)
2 = 100,
3 = lebih dari 100
3. Pendapatan rumah 1= kurang dari rata-rata UMR, 2 20 3 40
tangga (RTP)
2= sama dengan rata-rata UMR,
3 = > rata-rata UMR
4. Saving rate 1 = kurang dari bunga kredit pinjaman; 1 15 4 15
2 = sama dengan bungan kredit pinjaman;
3 = lebih dari bunga kredit pinjaman
1.75 100 185

121
Berdasarkan hasil pemberian nilai kriteria skor untuk domain kelembagaan pada ketujuh indikator penialaian yaitu; kepatuhan terhadap
prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-
formal (alat), kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan, mekanisme kelembagaan, rencana pengelolaan perikanan, tingkat
sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan, Kapasitas pemangku kepentingan dan keberadaan otoritas tunggal
pengelolaan perikanan. Penilaian status pada masing-masing indikator kelembagaan dapat di lihat pada Tabel 35.

Tabel 35. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Domain Kelembagaan

BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
(%)
1. Kepatuhan terhadap 1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam 3 25 1 50
prinsip-prinsip pengelolaan perikanan;
perikanan yang
2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum;
bertanggung jawab
dalam pengelolaan 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum
perikanan yang telah
Non formal 1
ditetapkan baik secara
formal maupun non- 1= lebih dari 5 informasi pelanggaran,
formal (Alat) 2= lebih dari 3 informasi pelanggaran,
3= tidak ada informasi pelanggaran
2. Kelengkapan aturan 1 = tidak ada; 2 22 2 52.8
main dalam
2 = ada tapi tidak lengkap;
pengelolaan perikanan
3 = ada dan lengkap
Elaborasi untuk poin 2 3
1= ada tapi jumlahnya berkurang;
2= ada tapi jumlahnya tetap;
3= ada dan jumlahnya bertambah

122
BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
(%)
1=tidak ada penegakan aturan main; 3
2=ada penegakan aturan main namun tidak efektif;
3=ada penegakan aturan main dan efektif
1= tidak ada alat dan orang; 2
2=ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan;
3= ada alat dan orang serta ada tindakan
1= tidak ada teguran maupun hukuman; 2
2= ada teguran atau hukuman;
3=ada teguran dan hukuman
1=tidak ada mekanisme pengambilan keputusan; 2 18 3 36
2=ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif;

3. Mekanisme 3=ada mekanisme dan berjalan efektif


pengambilan keputusan 1= ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2
2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan;
3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya
1=belum ada RPP; 1 15 4 15
4. Rencana
2=ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan;
pengelolaan perikanan
3=ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya
1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga 2 11 5 27.5
5. Tingkat sinergisitas berbeda kepentingan);
kebijakan dan 2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif;

123
BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR RANKING NILAI
(%)
kelembagaan 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik
pengelolaan perikanan

1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 3


2 = kebijakan tidak saling mendukung;
3 = kebijakan saling mendukung
1=tidak ada peningkatan; 3
6. Kapasitas pemangku
2 = ada tapi tidak difungsikan; 5 6 15
kepentingan
3 = ada dan difungsikan
1= tidak ada single authority ; 1
7. Keberadaan otoritas 2 = lebih dari satu authority; 4 7 4
tunggal pengelolaan
perikanan 3 = ada single authority
2.14 100 200.3

124
Berdasarkan hasil analisis dan penilaian setiap domain yang berdasarkan kriteria masing-
masing indikator domain pada domain habitat & ekosistem, sumberdaya ikan, teknik
penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan menunjukkan bahwa nilai komposit
tertinggi terdapat pada domian habitat dan ekosistem dan sumberdaya ikan dengan status
sangat baik sedangkan nilai terendah adalah domain sosial dan ekonomi dengan status
sedang. Nilai komposit pada setiap domain secara detail dapat di lihat pada Tabel 36
berikut:

Tabel 36. Nilai Komposit dan Deskripsi Perikanan Berbasis Ikan Tuna Pada Setiap Domain
Yang di Nilai.

Domain Nilai Komposit Deskripsi

Sumberdaya Ikan 270 Baik Sekali

Habitat & ekosistem 268.75 Baik Sekali

Teknik Penangkapan Ikan 235 Baik

Sosial 200 Sedang

Ekonomi 185 Sedang

Kelembagaan 200.3 Baik

Aggregat 226.5 Baik

8.1 Performa Perikanan yang dikaji

8.1.2 Perikanan Berbasis Ikan Karang

Berdasarkan hasil penilaian pada indikator setiap domain melalui pemberian nilai pada
kriteria maka performa perikanan berbasis ikan karang di Kabupaten Wakatobi
menunjukkan bahwa terdapat tiga pengelompokan berdasakan nilai komposit, yaitu domain
yang berkualifikasi sedang adalah Domain Sumberdaya Ikan, Domain Sosial dan Ekonomi.
Domain yang berkualifikasi baik dimiliki oleh Domain Teknik Penangkapan dan Domain
Kelembagaan, sedangkan domain yang termasuk dalam kualifikasi baik sekali adalah
Domain Habitat.

Hasil dari nilai komposit dari keenam domain tersebut diperoleh nilai agregat, dimana nilai
aggregat tersebut dibandingkan ke dalam lima rentang nilai (Tabel 37). Berdasarkan nilai

125
aggregat pada Tabel 29 yang mencapai 217,7, maka penilaian terhadap perikanan berbasis
ikan karang di Kabupaten Wakatobi termasuk dalam kategori status baik.

Penilaian status keberlanjutan sumberdaya ikan karang menggunakan indeks


keberlanjutan yang ditetapkan berdasarkan enam domain, yaitu domain sumberdaya ikan,
habitat dan ekosistem, teknik penangkapan, sosial, ekonomi dan kelambagaan. Hasil
analisis memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan sebesar 69,12 pada skala
keberlanjutan 0 – 100 yang termasuk dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis ini
menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan karang di Kabupaten Wakatobi masih
memperhatikan aspek-aspek sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem, teknik
penangkapan, sosial, ekonomi dan kelembagaan secara terpadu (integrated)

Tabel 37. Penilaian Dimensi Status Keberlanjutan Sumberdaya ikan karang di Kabupaten
Wakatobi
Indeks Aspek Indeks
Dimensi Keberlanjutan Nilai Bobot
keberlanjutan Pembobotan
Sumberdaya Ikan 215 71.67 0.167 11.97
Habitat & ekosistem 268.75 89.58 0.167 14.96
Teknik Penangkapan Ikan 216 72 0.167 12.02
Sosial 200 66.67 0.167 11.13
Ekonomi 185 61.67 0.167 10.30
Kelembagaan 197.9 65.97 0.167 11.02
Total Indeks Gabungan 71.40
Kategori keberlanjutan Berkelanjutan
Sumber : Data Primer yang diolah (2016)

a. Domain Sumberdaya Ikan

Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain sumberdaya terhadap


performa ikan karang di Kabupaten Wakatobi sebanyak tujuh indikator. Pemberian skor
terhadap ketujuh parameter domain ini akan memberikan gambaran seberapa besar
keberlanjutan ikan karang pada domain sumberdaya ikan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain sumberdaya ikan
karang sebesar 71.67 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang termasuk dalam kategori
berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi faktor pembangkit utama
dalam peningkatan status dan keberlanjutan domain sumberdaya ikan perikanan ikan
karang di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan urutan prioritasnya adalah; CPUE baku,
proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap, ukuran ikan, komposisi jenis dan spesies

126
ETP sumberdaya ikan (Gambar 18). Sedangkan indikator range collapse memiliki
kontribusi yang kurang dalam peningkatan status domain sumberdaya ikan karang di
Kabupaten Wakatobi.

6. Spesies ETP 6.7

5. "Range Collapse" sumberdaya ikan 3.3

4. Komposisi spesies hasil tangkapan 6.7

3. Proporsi ikan yuwana yang ditangkap 15.0 Series1

2. Tren ukuran ikan 13.3

1. CpUE Baku 26.7

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0

Gambar 18. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks pembobotan


dalam Domain Sumberdaya ikan.

b. Domain Habitat dan Ekosistemnya

Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain habitat dan ekosistem terhadap
performa ikan karang di Kabupaten Wakatobi sebanyak tujuh indikator. Pemberian skor
terhadap ketujuh parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa
besar keberlanjutan ikan karang pada domain tersebut.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain habitat dan ekosistem
untuk pengelolaan ikan karang sebesar 89,58 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang
termasuk dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi
faktor pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan domain habitat dan
ekosistem perikanan ikan karang di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan urutan prioritasnya
adalah; (1) kualitas perairan,(2) Status lamun, (3) habitat unik/khusus, (4) Status terumbu,
(5) Status dan produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya, (6) Status mangrove dan (7)
Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat (Gambar 19).

127
7. Perubahan iklim terhadap… 8.33

6. Staus dan produktivitas 9.99

5. Habitat unik/khusus 14.99

4. Status ekosistem terumbu… 12.49


Series1
3. Status ekosistem mangrove 8.750

2. Status ekosistem lamun 14.999

1. Kualitas perairan 19.999

0.000 5.000 10.00015.00020.00025.000

Gambar 19. Peran masing-masing indikator berdasarkan indeks pembobotan dalam


Domain Habitat dan Ekosistem.

c. Domain Teknik Penangkapan Ikan

Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain teknik penangkapan ikan
terhadap performa ikan karang di Kabupaten Wakatobi sebanyak enam indikator.
Pemberian skor terhadap keenam parameter indikator domain ini akan memberikan
gambaran seberapa besar keberlanjutan ikan karang dari aspek teknik penangkapan ikan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain teknik penangkapan
ikan untuk pengelolaan ikan karang sebesar 72 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang
termasuk dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi
faktor pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan pengelolaan ikan
karang dari aspek domain teknik penangkapan ikan di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan
urutan prioritasnya adalah; (1) metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau
ilegal, (2) modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan, (3) selektivitas
penangkapan, (4) fishing capacity dan effort, (5) kesesuaian fungsi dan ukuran kapal
penangkapan ikan dengan dokumen legal dan (6) sertifikasi awak kapal perikanan sesuai
dengan peraturan. (Gambar 20). Indikator pada domain ini yang memiliki paling sedikit
kontribusi dalam peningkatan status domain teknik pennagkapan dalam pengelolaan dan
keberlanjutan ikan karang adalah sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan
peraturan.

128
6. Sertifikasi awak kapal… 1.5
5. Kesesuaian fungsi dan ukuran… 6.0
4. Selektivitas penangkapan 13.5
3. Kapasitas Perikanan dan… 9.0 Series1
2. Modifikasi alat penangkapan… 15.0
1. Penangkapan ikan yang… 27.0

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0

Gambar 20. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks pembobotan


dalam Domain Teknik Penangkapan Ikan

d. Domain Sosial

Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain sosial terhadap performa ikan
karang di Kabupaten Wakatobi sebanyak tiga indikator. Pemberian skor terhadap ketiga
parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa besar keberlanjutan
ikan karang dari aspek sosial.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain sosial untuk
pengelolaan ikan karang sebesar 66,67 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang termasuk
dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi faktor
pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan pengelolaan ikan karang
dari aspek domain sosial di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan urutan prioritasnya adalah;
(1) partisipasi pemangku kepentingan, (2) Konflik perikanan dan (3) pemanfaatan
pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK,
traditional ecological knowledge) (Gambar 21).

3. Pemanfaatan pengetahuan
16.7
lokal dalam pengelolaan…

2. Konflik perikanan 23.3


Series1
1. Partisipasi pemangku
26 .7
kepentingan

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0

Gambar 21. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks pembobotan


dalam Domain Sosial.

129
e. Domain Ekonomi

Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain ekonomi terhadap performa
ikan karang di Kabupaten Wakatobi sebanyak empat indikator. Pemberian skor terhadap
keempat parameter indikator domain ini akan membeikan gambaran seberapa besar
keberlanjutan ikan karang dari aspek ekonomi.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain ekonomi untuk
pengelolaan ikan karang sebesar 61,67 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang termasuk
dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi faktor
pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan pengelolaan ikan karang
dari aspek domain ekonomi di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan urutan prioritasnya
adalah; (1) kepemilikan aset, (2) Nilai Tukar Nelayan (NTN), (3) Pendapatan rumah tangga
(RTP) dan (4) Saving rate (Gambar 22). Indikator pada domain ini yang memiliki paling
sedikit kontribusi dalam peningkatan status domain ekonomi dalam pengelolaan dan
keberlanjutan ikan karang adalah saving rate nelayan ikan karang dimana masyarakat
belum sepenuhnya memberikan informasi tentang tabungan mereka.

4. Saving rate 5.00

3. Pendapatan rumah tangga (RTP) 13.33

2. Nilai Tukar Nelayan (NTN) 20.00

1. kepemilikan aset 23.33

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00

Gambar 22. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks pembobotan


dalam Domain Ekonomi.

e. Domain Ekonomi

Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain ekonomi terhadap performa
ikan karang di Kabupaten Wakatobi sebanyak empat indikator. Pemberian skor terhadap
keempat parameter indikator domain ini akan membeikan gambaran seberapa besar
keberlanjutan ikan karang dari aspek ekonomi.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain ekonomi untuk
pengelolaan ikan karang sebesar 61,67 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang termasuk

130
dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi faktor
pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan pengelolaan ikan karang
dari aspek domain ekonomi di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan urutan prioritasnya
adalah; (1) kepemilikan aset, (2) Nilai Tukar Nelayan (NTN), (3) Pendapatan rumah tangga
(RTP) dan (4) Saving rate (Gambar 22). Indikator pada domain ini yang memiliki paling
sedikit kontribusi dalam peningkatan status domain ekonomi dalam pengelolaan dan
keberlanjutan ikan karang adalah saving rate nelayan ikan karang dimana masyarakat
belum sepenuhnya memberikan informasi tentang tabungan mereka.

4. Rasio Tabungan (Saving ratio) 5.00

3. Pendapatan rumah tangga


13.3
perikanan (RTP)
Series1
2. Nilai Tukar Nelayan (NTN) 20.0

1. Kepemilikan Aset 23.3

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0

Gambar 22. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks pembobotan


dalam Domain Ekonomi.

f. Domain Kelembagaan

Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain kelembagaan terhadap


performa ikan karang di Kabupaten Wakatobi sebanyak tujuh indikator. Pemberian skor
terhadap ketujuh parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa
besar keberlanjutan ikan karang dari aspek kelembagaan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain kelembagaan untuk
pengelolaan ikan karang sebesar 65,9 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang termasuk
dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi faktor
pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan pengelolaan ikan karang
dari aspek domain kelembagaan di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan urutan prioritasnya
adalah; (1) kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan, (2) kepatuhan
terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan
yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (lat), (3) mekanisme
pengambilan keputusan, (4) tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan

131
perikanan, (5) rencana pengelolaan perikanan, (6) kapasitas pemangku kepentingan dan
(7) keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan (Gambar 23). Tiga indikator pada
domain ini yang memiliki paling sedikit kontribusi dalam peningkatan status domain
kelembagaan dalam pengelolaan dan keberlanjutan ikan karang adalah rencana
pengelolaan perikanan dan kapasitas pemangku kepentingan serta keberadaan otoritas
tunggal pengelolaan perikanan disebabkan indikator ini belum banyak mendapat perhatian
dari pemangku kepentingan di Kabupaten Wakatobi.

7. Keberadaan otoritas tunggal 1.33


6. Kapasitas pemangku kepentingan 5.00
5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan… 9.17
4. Rencana pengelolaan perikanan 5.00
Series1
3. Mekanisme pengambilan… 12.00
2. Kelengkapan aturan main dalam… 16.80
1. Kepatuhan terhadap prinsip-… 16.67

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00

. Gambar 23. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks


pembobotan dalam Domain Kelembagaan.

7.2.2 Perikanan Berbasis Ikan Tuna

Berdasarkan hasil penilaian pada indikator setiap domain melalui pemberian nilai pada
kriteria maka performa perikanan berbasis ikan tuna di Kabupaten Wakatobi menunjukkan
bahwa terdapat tiga pengelompokan berdasakan nilai komposit, yaitu domain yang
berkualifikasi sedang adalah domain sosial dan domain ekonomi. Domain yang
berkualifikasi baik dimiliki oleh domain teknik penangkapan dan domain kelembagaan,
sedangkan domain yang termasuk dalam kualifikasi baik sekali adalah domain sumberdaya
ikan dan domain habitat dan ekosistem.

Hasil dari nilai komposit dari keenam domain tersebut diperoleh nilai agregat, dimana nilai
aggregat tersebut dibandingkan ke dalam lima rentang nilai. Berdasarkan nilai aggregat
pada Tabel 36 yang mencapai 228,6, maka penilaian terhadap perikanan berbasis ikan
tuna di Kabupaten Wakatobi termasuk dalam kategori status baik.

Penilaian status keberlanjutan sumberdaya ikan tuna menggunakan indeks keberlanjutan


yang ditetapkan berdasarkan enam domain, yaitu domain sumberdaya ikan, habitat dan

132
ekosistem, teknik penangkapan, sosial, ekonomi dan kelambagaan. Hasil analisis
memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan sebesar 75,64 pada skala keberlanjutan
0 – 100 yang termasuk dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa
pengelolaan sumberdaya ikan tuna di Kabupaten Wakatobi masih memperhatikan aspek-
aspek sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem, teknik penangkapan, sosial, ekonomi dan
kelembagaan secara terpadu (integrated), seperti terlihat pada Tabel 38 berikut.

Tabel 38. Penilaian Dimensi Status Keberlanjutan Sumberdaya ikan tuna di Kabupaten
Wakatobi

Indeks Indeks
Dimensi Keberlanjutan Nilai Bobot
Aspek keberlanjutan Pembobotan

Sumberdaya Ikan 270 90.00 0.167 15.03

Habitat & ekosistem 268,75 89,58 0.167 14.96

Teknik Penangkapan Ikan 235 78.33 0.167 13.08

Sosial 200 66.67 0.167 11.13

Ekonomi 185 61.67 0.167 10,29

Kelembagaan 200,3 66,76 0.167 11.15

Total Indeks Gabungan 75.64

Kategori keberlanjutan Berkelanjutan


Sumber : Data Primer yang diolah (2016)

a. Domain Sumberdaya Ikan

Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain sumberdaya terhadap


performa ikan tuna di Kabupaten Wakatobi sebanyak enam indikator. Pemberian skor
terhap keenam parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa
besar keberlanjutan ikan tuna pada domain sumberdaya ikan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain sumberdaya ikan
untuk ikan tuna sebesar 90 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang termasuk dalam
kategori berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi faktor pembangkit
utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan domain sumberdaya ikan perikanan
ikan tuna di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan urutan prioritasnya adalah; (1) CPUE
baku, (2) proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap, (3) tren ukuran ikan, (4) komposisi
jenis, (5) spesies ETP dan (6) range collapse sumberdaya ikan (Gambar 24). Dua indikator

133
pada domain ini yang memiliki paling sedikit kontrbusinya dalam peningkatan status domain
sumberdaya ikan untuk keberlanjutan pengelolaan ikan tuna serta dalam peningkatan
status domain sumberdaya ikan untuk ikan tuna di Kabupaten Wakatobi.yaitu range
collapse sumberdaya ikan dan dan spesies ETP.

6. Spesies ETP 6.7

5. "Range Collapse" sumberdaya ikan 5.0

4. Komposisi spesies hasil tangkapan 10.0

3. Proporsi ikan yuwana yang… Series1


15.0

2. Tren ukuran ikan 13.3

1. CpUE Baku 40.0

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0

Gambar 24. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks pembobotan


dalam Domain Sumberdaya ikan.

b. Domain Habitat dan Ekosistemnya

Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain habitat dan ekosistem terhadap
performa ikan tuna di Kabupaten Wakatobi sebanyak tujuh indikator. Pemberian skor
terhadap ketujuh parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa
besar keberlanjutan pengelolaan ikan tuna pada domain tersebut.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain habitat dan
ekosistem untuk pengelolaan ikan tuna sebesar 89,58 pada skala sustainabilitas 0 – 100,
yang termasuk dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang
menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan domain
habitat dan ekosistem perikanan untuk ikan tuna di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan
urutan prioritasnya adalah; (1) kualitas perairan,(2) status lamun, (3) habitat unik/khusus,
(4) status terumbu karang, (5) status dan produktivitas estuari dan perairan sekitarnya, (6)
Status mangrove dan (7) perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat (Gambar
25).

134
7. Perubahan iklim terhadap kondisi… 8.3
6. Staus dan produktivitas 10.00
5. Habitat unik/khusus 15.00
4. Status ekosistem terumbu karang 12.5
Series1
3. Status ekosistem mangrove 8.7
2. Status ekosistem lamun 15.0
1. Kualitas perairan 20.0

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0

Gambar 25. Peran masing-masing indikator berdasarkan indeks pembobotan dalam


Domain Habitat dan Ekosistem.

c. Domain Teknik Penangkapan Ikan

Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain teknik penangkapan ikan
terhadap performa ikan tuna di Kabupaten Wakatobi sebanyak enam indikator. Pemberian
skor terhadap keenam parameter indikator domain ini akan membeikan gambaran
seberapa besar keberlanjutan pengelolaan ikan tuna dari aspek teknik penangkapan ikan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain teknik penangkapan
ikan untuk pengelolaan ikan tuna sebesar 78,33 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang
termasuk dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi
faktor pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan pengelolaan ikan
tuna dari aspek domain teknik penangkapan ikan di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan
urutan prioritasnya adalah; (1) metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau
ilegal, (2) modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan, (3) selektivitas
penangkapan, (4) kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan
dokumen legal, (5) sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan dan (6)
fishing capacity dan Effort (Gambar 26). Dua indikator pada domain ini yang memiliki paling
sedikit kontribusi dalam peningkatan status domain teknik penangkapan untuk
keberlanjutan dalam pengelolaan ikan tuna adalah sertifikasi awak kapal perikanan sesuai
dengan peraturan dan fishing capacity dan effort dimana fishing capasity dan effort
disebabkan tidak ada informasi yng cukup untuk dianalisis.

135
6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai
1.7
dengan peraturan.
5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal
6.7
penangkapan ikan dengan dokumen legal
4. Selektivitas penangkapan 15.0
3. Kapasitas Perikanan dan Upaya Series1
0.0
Penangkapan (Fishing Capacity and…
2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan
25.0
alat bantu penangkapan
1. Penangkapan ikan yang bersifat
30.0
destruktif
0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

Gambar 26. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks pembobotan


dalam Domain Teknik Penangkapan Ikan

d. Domain Sosial

Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain sosial terhadap performa ikan
tuna di Kabupaten Wakatobi sebanyak tiga indikator. Pemberian skor terhadap ketiga
parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa besar keberlanjutan
pengelolaan ikan tuna dari aspek sosial.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain sosial untuk
pengelolaan ikan tuna sebesar 66,67 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang termasuk
dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi faktor
pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan pengelolaan ikan tuna dari
aspek domain sosial di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan urutan prioritasnya adalah; (1)
partisipasi pemangku kepentingan, (2) konflik perikanan dan (3) pemanfaatan pengetahuan
lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional
ecological knowledge) (Gambar 27).

136
3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam
16.7
pengelolaan sumberdaya ikan

2. Konflik perikanan 23.3


Series1

1. Partisipasi pemangku kepentingan 26.7

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0

Gambar 27. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks pembobotan


dalam Domain Sosial.

e. Domain Ekonomi

Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain ekonomi terhadap performa
ikan tuna di Kabupaten Wakatobi sebanyak empat indikator. Pemberian skor terhadap
keempat parameter indikator domain ini akan membeikan gambaran seberapa besar
keberlanjutan pengelolaan ikan tuna dari aspek ekonomi.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain ekonomi untuk
pengelolaan ikan tuna sebesar 61,67 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang termasuk
dalam kategori pengelolaan berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang
menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan
pengelolaan ikan tuna dari aspek domain ekonomi di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan
urutan prioritasnya adalah; (1) kepemilikan aset, (2) Nilai Tukar Nelayan (NTN), (3)
Pendapatan rumah tangga (RTP) dan (4) Saving rate (Gambar 8-28). Indikator pada
domain ini yang memiliki paling sedikit kontribusi dalam peningkatan status domain
ekonomi dalam pengelolaan dan keberlanjutan ikan tuna adalah saving rate nelayan ikan
tuna dimana masyarakat belum sepenuhnya memberikan informasi tentang tabungan
mereka.

137
4. Rasio Tabungan (Saving ratio) 5.00

3. Pendapatan rumah tangga perikanan


13.3
(RTP)
Series1
2. Nilai Tukar Nelayan (NTN) 20.0

1. Kepemilikan Aset 23.3

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0

Gambar 28. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks pembobotan


dalam Domain Ekonomi.

f. Domain Kelembagaan

Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain kelembagaan terhadap


performa ikan tuna di Kabupaten Wakatobi sebanyak tujuh indikator. Pemberian skor
terhadap ketujuh parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa
besar pengelolaan ikan tuna dari aspek kelembagaan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain kelembagaan untuk
pengelolaan ikan tuna sebesar 69,76 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang termasuk
dalam kategori pengelolaan berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang
menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan
pengelolaan ikan tuna dari aspek domain kelembagaan di Kabupaten Wakatobi sesuai
dengan urutan prioritasnya adalah; (1) kelengkapan aturan main dalam pengelolaan
perikanan, (2) kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal
(lat), (3) mekanisme pengambilan keputusan, (4) tingkat sinergisitas kebijakan dan
kelembagaan pengelolaan perikanan, (5) rencana pengelolaan perikanan, (6) kapasitas
pemangku kepentingan dan (7) keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan
(Gambar 29). Tiga indikator pada domain ini yang memiliki paling sedikit kontribusi dalam
peningkatan status domain kelembagaan dalam keberlanjutan pengelolaan ikan tuna
adalah rencana pengelolaan perikanan dan kapasitas pemangku kepentingan serta
keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan disebabkan indikator ini belum banyak
mendapat perhatian dari pemangku kepentingan di Kabupaten Wakatobi.

138
.

7. Keberadaan otoritas tunggal 1.33


6. Kapasitas pemangku kepentingan 5.00
5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan… 9.17
4. Rencana pengelolaan perikanan 5.00
Series1
3. Mekanisme pengambilan… 12.00
2. Kelengkapan aturan main dalam… 17.60
1. Kepatuhan terhadap prinsip-… 16.67

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00

Gambar 29. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks pembobotan


dalam Domain Kelembagaan.

139
Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan

1. Perikanan Berbasis Ikan Karang

 Penilaian terhadap perikanan berbasis ikan karang di Kabupaten Wakatobi termasuk


dalam kreteria baik.
 Penilaian status keberlanjutan sumberdaya ikan karang menggunakan indeks
keberlanjutan diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 71,40 pada skala
keberlanjutan 0 – 100 yang termasuk dalam kategori berkelanjutan.
 Pengelolaan sumberdaya sumberdaya ikan karang di Kabupaten Wakatobi masih
memperhatikan aspek-aspek Habitat dan Ekosistem, Sumberdaya Ikan, Teknik
Penangkapan, Sosial, Ekonomi dan kelembagaan secara terpadu (integrated).

2 Perikanan Berbasis Ikan Tuna

 Penilaian terhadap perikanan berbasis ikan tuna di KabupatenWakatobi termasuk


dalam kreteria baik.
 Penilaian status keberlanjutan sumberdaya ikan karang menggunakan indeks
keberlanjutan diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 75,64 pada skala
keberlanjutan 0 – 100 yang termasuk dalam kategori berkelanjutan.
 Pengelolaan sumberdaya sumberdaya penangkapan udang di Kabupaten Wakatobi
masih memperhatikan aspek-aspek Habitat dan Ekosistem, Sumberdaya Ikan, Teknik
Penangkapan, Sosial, Ekonomi dan kelembagaan secara terpadu (integrated).

Rekomendasi

Beberapa rekomendasi yang diberikan pada hasil penelitian ini, yaitu:


1. Perlu adanya serial diskusi lintas SKPD dan instansi terkait, akademisi dan masyarakat
dalam membahas peningkatan nilai komposit pada analisa EAFM sebagai dasar
Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP).
2. Penegakan hukum lebih diefisiensikan dengan mengakomodir hukum adat atau non
formal yang berlaku di masyarakat. Perlu adanya kajian lebih lanjut dalam
mengidentifikasi aturan non formal sebagai peluang penegakan hukum secara sosial.
3. Perlunya membuat mekanisme implementasi pencatatan, pengumpulan dan analisa
hasil tangkapan perikanan perlu diperkuat tidak hanya di tingkat private sektor namun

140
juga didesa pesisir sebagai data primer yang akurat dalam pengkajian Pengelolaan
Perikanan Berbasis Ekosistem dan juga mendukung informasi statistik perikanan
kabupaten.
4. Perlunya menindaklanjuti kajian EAFM sebagai basis pengelolaan perikanan yang
berkelanjutan dalam dokumen perencanaan daerah baik jangka pendek dalam bentuk
Renstra dan juga jangka panjang dalam bentuk RTRW.
5. Metode analisa data pada indikator EAFM memiliki tingkatan keakuratan data yang
disesuaikan dengan kondisi yang ada dilokasi survey, terutama pada Domain
Sumberdaya Ikan, Teknik Penangkapan, Habitat dan Ekosistem dan Ekonomi. Metode
pengumpulan data yang diutamakan adalah data primer dan kajian ilmiah, salah satu
yang mendukung hal ini adalah data logbook perikanan dan kajian ilmiah. Data persepsi
masyarakat melalui interview dilakukan untuk memperkuat justifikasi hal tersebut.
6. Perlunya mendorong penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Perikanan didalam
dokumen perencanaan pengelolaan Kawasan Konservasi.

141

Anda mungkin juga menyukai