Anda di halaman 1dari 22

ASPEK LEGAL DAN ETIK DALAM KEPERAWATAN JIWA

Pokok bahasan aspek legal dan etis dalam keperawatan jiwa diawali dengan
pembahasan peran fungsi perawat jiwa, domain aktivitas keperawatan jiwa,
standar praktik keperawatan jiwa, dan penerapan konsep etika dalam
keperawatan jiwa.
Peran dan fungsi perawat jiwa saat ini telah berkembang secara
kompleks dari elemen historis aslinya (Stuart, 2002). Peran perawat jiwa
sekarang mencakup parameter kompetensi klinik, advokasi pasien, tanggung jawab
fiskal (keuangan), kolaborasi profesional, akuntabilitas (tanggung gugat) sosial,
serta kewajiban etik dan legal. Dengan demikian, dalam memberikan asuhan
keperawatan jiwa perawat dituntut melakukan aktivitas pada tiga area utama
yaitu:
1. aktivitas asuhan langsung,
2. aktivitas komunikasi, dan
3. aktivitas pengelolaan/penatalaksanaan manajemen keperawatan.

TABEL 2.3 Domain Aktivitas Keperawatan Jiwa


Aktivitas Asuhan Langsung Aktivitas Komunikasi
Aktivitas Penatalaksanaan
· Advokasi · Peningkatan · Konferensi kasus
· Tindak kesehatan mental klinik
lanjut setelah · Pernik-pernik · Mengemban
keperawatan terapi gkan rencana
· Penanggulanga penanggulangan
· Konseling
n perilaku nutrisi · Dokumentasi
· Konsultasi asuhan
· Informed
kasus consent · Kesaksian
· Pengelolaan forensik
· Penyuluhan
kasus orang tua · Hubungan
· Penanggulanga antaragen
n kognitif · Umpan balik
· Penyuluhan sejawat
komunitas · Menyiapkan
· Konseling laporan
kepatuhan · Jaringan
· Intervensi krisis kerja perawat
profesional
· Perencanaan
pulang · Pertemuan staf
· Intervensi · Penulisan order
keluarga · Pertemuan tim
· Kerja · Laporan verbal
kelompok tentang asuhan
· Peningkatan
kesehatan
· Penyuluhan
kesehatan
· Pengkajian
risiko tinggi
· Kunjungan
rumah
· Konseling
individu
· Skrining dan
evaluasi masukan
· Pemberian
pengobatan
· Penatalaksanaa
n pengobatan
· Alokasi sumber dan · Penulisan jaminan kebijakan dan
anggaran · Pemasaran dan prosedur
· Penyelia klinik humas · Presentasi
profesional
· Kolaborasi · Mediasi dan
resolusi konflik · Evaluasi
· Peran serta komite program
· Tindakan · Pengkajian
dan perkiraan · Perencanaan
komunitas program
kebutuhan
· Hubungan · Publikasi
konsultasi · Penguasaan
organisasi · Aktivitas
· Negosiasi kontrak peningkatan kualitas
· Penatalaksanaa
· Koordinasi · Aktivitas
n hasil
pelayanan rekrutmen dan
· Evaluasi kinerja
· Delegasi penugasan retensi
· Pengembangan
Aktivitas Asuhan Langsung Aktivitas Komunikasi Aktivitas
Penatalaksanaan

· Triase pasien · Aktivitas badan


· Pengkajian fisik legislasi
· Penanganan psikologis · Penatalaksanaan
risiko
· Terapi bermain
· Pengembangan
· Obat-obatan yang diresepkan
perangkat lunak
· Memberikan
keamanan · Penjadwalan
lingkungan staf
· Penyuluhan staf
· Pengkajian psikososial
dan peserta
· Psikoterapi didik
· Pencegahan kekambuhan
Sumber: Hamid, 2008.

Meskipun tidak semua perawat berperan serta dalam semua aktivitas, mereka
tetap mencerminkan sifat dan lingkup terbaru dari asuhan yang kompeten dari
perawat jiwa. Selain itu, perawat jiwa harus mampu melakukan hal-hal sebagai
berikut.
1. Membuat pengkajian kesehatan biopsikososial yang peka terhadap budaya.
2. Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan untuk pasien dan
keluarga dengan masalah kesehatan yang kompleks dan kondisi yang dapat
menimbulkan sakit.
3. Berperan serta dalam aktivitas pengelolaan kasus, seperti mengorganisasi,
mengkaji, negosiasi, koordinasi, dan mengintegrasikan pelayanan serta perbaikan
bagi individu dan keluarga.
4. Memberikan pedoman pelayanan kesehatan kepada individu, keluarga, dan
kelompok untuk menggunakan sumber yang tersedia di komunitas kesehatan
mental termasuk pemberi pelayanan terkait, teknologi, dan sistem sosial yang
paling tepat.
5. Meningkatkan, memelihara kesehatan mental, serta mengatasi pengaruh
penyakit mental melalui penyuluhan dan konseling.
6. Memberikan asuhan kepada mereka yang mengalami penyakit fisik dengan
masalah psikologik dan penyakit jiwa dengan masalah fisik.
7. Mengelola dan mengoordinasi sistem pelayanan yang mengintegrasikan
kebutuhan pasien, keluarga, staf, dan pembuat kebijakan.
Dalam menjalankan peran fungsinya,
perawat jiwa harus mampu mengidentifikasi,
menguraikan, dan mengukur hasil asuhan
yang mereka berikan pada pasien, keluarga,
dan komunitas. Hasil adalah semua hal
yang terjadi pada pasien dan keluarga
ketika mereka berada dalam sistem
pelayanan kesehatan, dapat meliputi status
kesehatan, statusfungsional,
kualitas kehidupan, ada atau tidaknya penyakit, jenis respons koping, serta
kepuasan terhadap tindak penanggulangan.
Evaluasi hasil dapat berfokus pada kondisi klinik, intervensi, dan proses
pemberian asuhan. Berbagai hasil dapat dievaluasi mencakup indikator-indikator
klinik, fungsional, finansial, serta perseptual kepuasan pasien dan keluarga
seperti pada tabel berikut.
TABEL 2.4 Indikator Hasil Tindakan Keperawatan Jiwa
Indikator Hasil Tindakan
Indikator Hasil Klinik

Perilaku risiko tinggi •
Masuk kembali di rumah sakit

Simptomatologi •
Jumlah episode penanggulangan

Respons koping •
Komplikasi medik


Kekambuhan •
Laporan insidens

Kejadian berulang •
Mortalitas
Indikator Hasil Fungsional


Status fungsional •
Kualitas hidup


Interaksi sosial •
Hubungan keluarga


Aktivitas hidup sehari-hari •
Penataan rumah

Kemampuan okupasional
Indikator Hasil Perseptual, Kepuasan Pasien, dan Keluarga

· Hasil • Pelayanan yang diterima



Pemberi pelayanan •
Organisasi

Sistem pelayanan
Indikator Hasil Finansial


Biaya perepisode penanggulangan •
Penggunaan sumber pelayanan kesehatan


Pajak tiap episode penanggulangan •
Biaya yang berhubungan dengan kecacatan
• Lama masa rawat inap
Sumber: Hamid, 2008.

Standar Praktik Keperawatan Jiwa


Standar praktik klinik keperawatan jiwa menguraikan tingkat kompetensi dan
kinerja perawat yang terlibat di tiap tatanan praktik keperawatan kesehatan jiwa.
Standar ini ditujukan kepada perawat yang memenuhi persyaratan pendidikan dan
pengalaman praktik baik pada tingkat dasar atau tingkat lanjut keperawatan
kesehatan jiwa (Stuart, 2007). Oleh karena beberapa aktivitas keperawatan sangat
bergantung pada variabel seperti situasi pasien, tatanan klinik, dan penilaian
individual yang cepat, maka istilah seperti “sebagaimana mestinya”, “bila
memungkinkan”, dan “bila dapat diterapkan” digunakan untuk mengakui suatu
keadaan yang mungkin terjadi pengecualian.
Kondisi keperawatan dan perilaku keperawatan berhubungan dengan tiap tahap
proses keperawatan sebagai berikut.
Standar I Pengkajian
Perawat kesehatan jiwa mengumpulkan data kesehatan pasien.

Rasional:
Wawancara pengkajian yang memerlukan keterampilan komunikasi efektif secara
linguistik dan kultural, wawancara, observasi perilaku, tinjauan catatan-catatan
data dasar, serta pengkajian komprehensif terhadap pasien dan sistem yang relevan
memungkinkan perawat kesehatan jiwa-psikiatri untuk membuat penilaian klinis
dan rencana tindakan yang tepat dengan pasien.

Standar II Diagnosis
Perawat kesehatan jiwa menganalisis data pengkajian dalam menentukan
diagnosis.
Rasional:
Landasan untuk pemberian asuhan keperawatan kesehatan jiwa adalah
pengenalan dan pengidentifikasian pola respons terhadap masalah kesehatan
jiwa atau penyakit psikiatri yang aktual dan potensial.

Standar III Identifikasi Hasil


Perawat kesehatan jiwa mengidentifikasi hasil yang diharapkan dan bersifat
individual untuk tiap pasien.
Rasional:
Dalam konteks pemberian asuhan keperawatan, tujuan yang paling utama adalah
memengaruhi hasil kesehatan dan meningkatkan status kesehatan pasien.

Standar IV Perencanaan
Perawat kesehatan jiwa mengembangkan rencana asuhan yang menggambarkan
intervensi untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Rasional:
Rencana asuhan digunakan untuk memandu intervensi terapeutik secara
sistematis dan mencapai hasil pasien yang diharapkan.

Standar V Implementasi
Perawat kesehatan jiwa mengimplementasikan intervensi yang teridentifikasi
dalam rencana asuhan.
Rasional:
Dalam mengimplementasikan rencana asuhan, perawat kesehatan jiwa
menggunakan intervensi yang dirancang untuk mencegah penyakit fisik dan
mental, meningkatkan, mempertahankan, serta memulihkan kesehatan fisik dan
mental. Perawat kesehatan jiwa-psikiatri memilih intervensi sesuai dengan
tingkat praktiknya. Pada tingkat dasar, perawat dapat memilih konseling, terapi
lingkungan, aktivitas asuhan mandiri, intervensi psikobiologis, penyuluhan
kesehatan, manajemen kasus, peningkatan kesehatan dan pemeliharaan
kesehatan, serta berbagai pendekatan lain untuk memenuhi kebutuhan kesehatan
mental pasien. Selain pilihan intervensi yang tersedia untuk perawat kesehatan
jiwa-psikiatri tingkat dasar, pada tingkat lanjut spesialis yang diakui (yang
mempunyai sertifikasi) boleh memberikan konsultasi, terlibat dalam
psikoterapi, dan menentukan agen farmakologis sesuai dengan peraturan
negara bagian.

Standar Va. Konseling


Perawat kesehatan jiwa menggunakan intervensi konseling untuk membantu
pasien meningkatkan atau memperoleh kembali kemampuan koping, memelihara
kesehatan mental, dan mencegah penyakit atau ketidakmampuan mental.

Standar Vb. Terapi Lingkungan


Perawat kesehatan jiwa memberikan, membentuk, serta mempertahankan suatu
lingkungan yang terapeutik dalam kolaborasinya dengan pasien dan pemberi
pelayanan kesehatan lain.

Standar Vc. Aktivitas Asuhan Mandiri


Perawat kesehatan jiwa membentuk intervensi sekitar aktivitas kehidupan sehari-
hari pasien untuk memelihara asuhan mandiri dan kesejahteraan jiwa dan fisik.

Standar Vd. Intervensi Psikobiologis


Perawat kesehatan jiwa menggunakan pengetahuan intervensi psikobiologis dan
menerapkan keterampilan klinis untuk memulihkan kesehatan pasien dan
mencegah ketidakmampuan lebih lanjut.

Standar Ve. Penyuluhan Kesehatan


Perawat kesehatan jiwa, melalui penyuluhan kesehatan, serta membantu pasien
dalam mencapai pola kehidupan yang memuaskan, produktif, dan sehat.

Standar Vf. Manajemen Kasus


Perawat kesehatan jiwa menyajikan manajemen kasus untuk mengoordinasi
pelayanan kesehatan yang komprehensif serta memastikan kesinambungan
asuhan.
Standar Vg. Pemeliharaan dan Peningkatan Kesehatan
Perawat kesehatan jiwa menerapkan strategi dan intervensi untuk meningkatkan,
memelihara kesehatan jiwa, serta mencegah penyakit jiwa.

Catatan:
Intervensi Praktik Tahap Lanjut Vh–Vj
Intervensi berikut ini (Vh–Vj) hanya mungkin dilakukan oleh spesialis yang
bersertifikasi dalam keperawatan kesehatan jiwa-psikiatri.

Standar Vh. Psikoterapi


Spesialis yang bersertifikasi dalam keperawatan kesehatan jiwa menggunakan
psikoterapi individu, psikoterapi kelompok, psikoterapi keluarga, psikoterapi
anak, serta pengobatan terapeutik lain untuk membantu pasien untuk memelihara
kesehatan jiwa, mencegah penyakit jiwa dan ketidakmampuan, serta memperbaiki
atau mencapai kembali status kesehatan dan kemampuan fungsional pasien.

Standar Vi. Preskripsi Agen Farmakologis


Spesialis yang bersertifikasi menggunakan preskripsi agen farmakologis sesuai
dengan peraturan praktik keperawatan negara bagian, untuk mengatasi gejala-
gejala gangguan jiwa dan meningkatkan status kesehatan fungsional.

Standar Vj. Konsultasi


Spesialis yang bersertifikasi memberikan konsultasi kepada pemberi pelayanan
kesehatan dan lainnya untuk memengaruhi rencana asuhan kepada pasien, dan
memperkuat kemampuan yang lain untuk memberikan pelayanan kesehatan jiwa
dan psikiatri serta membawa perubahan dalam sistem pelayanan kesehatan jiwa
dan psikiatri.

Standar Vl. Evaluasi


Perawat kesehatan jiwa mengevaluasi perkembangan pasien dalam mencapai
hasil yang diharapkan.
Rasional:
Asuhan keperawatan adalah proses dinamik yang melibatkan perusahaan
dalam status kesehatan pasien sepanjang waktu, pemicu kebutuhan terhadap data
baru, berbagai diagnosis, dan modifikasi rencana asuhan. Oleh karena itu, evaluasi
merupakan suatu proses penilaian berkesinambungan tentang pengaruh
intervensi keperawatan dan regimen pengobatan terhadap status kesehatan
pasien dan hasil kesehatan yang diharapkan.
Aspek Etik dalam Keperawatan Jiwa
Etika berasal dari Bahasa Yunani ethos yang berarti karakter, watak kesusilaan,
atau adat kebiasaan yang etika tersebut berhubungan erat dengan konsep
individu atau kelompok sebagai alat penilai kebenaran atau evaluasi terhadap
sesuatu yang telah dilakukan. Penerapan aspek etik dalam keperawatan jiwa sangat
terkait dengan pemberian diagnosis, perlakuan atau cara merawat, hak pasien,
stigma masyarakat, serta peraturan atau hukum yang berlaku.

Pemberian Diagnosis
Seseorang yang telah didiagnosis gangguan jiwa, misal skizofrenia, maka dia akan
dianggap sebagai orang yang mengalami pecah kepribadian (schizo =
kepribadian, phren = pecah). Beberapa kriteria diagnosis menyebutkan gangguan
jiwa adalah ketidakmampuan seseorang dalam mengadakan relasi dan
pembatasan terhadap orang lain dan lingkungan. Dengan demikian, seseorang
yang telah didiagnosis gangguan jiwa, berarti dia sudah tidak mampu lagi
menjalin hubungan dengan lingkungan. Apabila mampu, dia tidak bisa
membatasi apa yang harus atau tidak untuk dilakukan. Ia telah mengalami
gangguan perilaku, peran, dan fungsi dalam melakukan aktivitas rutin harian.
Dari kriteria diagnosis ini akan menimbulkan stigma di masyarakat bahwa
gangguan jiwa adalah orang gila. Padahal, setelah dipelajari ternyata gangguan
jiwa sangat luas spektrumnya.
Inti adalah ada gangguan jiwa ringan dan gangguan jiwa berat. Gangguan
jiwa ringan merupakan adanya masalah pada aspek psikososial (cemas dan
gangguan respons kehilangan atau berduka). Setiap orang mengalami masalah
psikososial karena merupakan tantangan dalam kehidupan agar manusia lebih
maju dan berkembang. Gangguan jiwa berat memang merupakan gangguan
perilaku kronis, yang sebenarnya merupakan gangguan perilaku yang telah lama
diabaikan. Di sinilah pelanggaran etika terjadi, bergantung pada diagnosis yang
dialami pasien. Olah karenanya, untuk mendiagnosis gangguan jiwa berat
(skizofrenia) harus menggunakan kriteria waktu bahwa gangguan yang dialami
pasien telah terjadi dalam waktu yang lama (seperti pada PPDGJ).
Cara merawat pasien gangguan jiwa juga sangat erat dengan pelanggaran
etika. Beberapa keluarga pasien malah melakukan “pasung” terhadap pasien. Jika
di rumah sakit, diikat harus menggunakan seragam khusus dengan berbagai
ketentuan khusus. Keadaan ini membuat pasien diperlakukan berbeda dengan
pasien fisik umumnya. Secara teoretis dan filosofis, perawatan pasien gangguan
jiwa harus tetap memperhatikan aspek etika sesuai diagnosis yang muncul dan
falsafah dalam keperawatan kesehatan jiwa.

Hak Pasien
Beberapa aturan di Indonesia sering mendiskreditkan pasien gangguan jiwa,
yaitu seseorang
yang mengalami gangguan jiwa tanda tangannya tidak sah. Dengan
demikian, semua
dokumen (KTP, SIM, paspor, surat nikah, surat wasiat, atau dokumen
apapun) tidak sahjika ditandatangani pasien gangguan jiwa. Haruskah
demikian? Bagaimana dengan hak pasien sebagai warga negara umumnya?
Proses rawat inap dapat menimbulkan trauma atau dukungan, yang bergantung
pada institusi, sikap keluarga dan teman, respons staf, serta jenis penerimaan
atau cara masuk rumah sakit. Ada tiga jenis proses penerimaan pasien yang
masuk ke rumah sakit jiwa, yaitu masuk secara informal, sukarela, atau masuk
dengan paksaan.
Beberapa ketentuan di atas mungkin tidak berlaku di Indonesia, tetapi perlu
diperhatikan hak pasien sebagai warga negara setelah pasien menjalani
perawatan di rumah sakit jiwa.
Hak pasien sangat bergantung pada peraturan perundangan. Menurut
UndangUndang Kesehatan Pasal 144 mengatakan, “Menjamin setiap orang
dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan,
tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa”. Beberapa
hak pasien yang telah diadopsi oleh banyak Negara Bagian di Amerika antara
lain sebagai berikut.
1. Hak untuk berkomunikasi dengan orang di luar rumah sakit.
Pasien bebas untuk mengunjungi dan berbicara melalui telepon secara
leluasa dan mengirim surat tertutup kepada siapapun yang dipilihnya.
2. Hak terhadap barang pribadi.
Pasien berhak untuk membawa sejumlah terbatas barang pribadi
bersamanya. Namun, bukan menjadi tanggung jawab rumah sakit untuk
keamanan dan tidak membebaskan staf rumah sakit tentang jaminan
keamanan pasien.
3. Hak menjalankan keinginan.
Kemampuan seseorang untuk menyatakan keinginannya yang dikenal
sebagai “surat wasiat”. Pasien dapat membuat wasiat yang apsah jika ia (1)
mengetahui bahwa ia membuat surat wasiat, (2) mengetahui sifat dan besar
miliknya, dan (3) mengetahui siapa teman dan keluarganya serta
hubungannya dengan mereka. Tiap kriteria ini harus dipenuhi dan
didokumentasikan agar surat wasiat tersebut dapat dianggap apsah.
4. Hak terhadap “Habeas Corpus”.
Semua pasien mempunyai hak, yang memperkenankan pengadilan hukum,
untuk mensyaratkan pelepasan secepatnya bagi tiap individu yang dapat
menunjukkan bahwa ia sedang kehilangan kebebasannya dan ditahan
secara tidak legal.
5. Hak terhadap pemeriksaan psikiatrik yang mandiri.
Pasien boleh menuntut suatu pemeriksaan psikiatri oleh dokter yang
dipilihnya sendiri. Jika dokter tersebut menentukan bahwa pasien tidak
menderita gangguan jiwa, maka pasien harus dilepaskan.
6. Hak terhadap keleluasaan pribadi.
Individu boleh merahasiakan beberapa informasi tentang dirinya dari
orang lain. “Kerahasiaan” membolehkan pemberian informasi tertentu
kepada orang lain, tetapi sangat terbatas pada orang yang diberi
kewenangan saja. “Komunikasi dengan hak istimewa” merupakan suatu
pernyataan legal yang hanya dapat digunakan dalam
TABEL 2.5 Cara Masuk Pasien ke Rumah
Informal Sukarela Paksaan
Masuk Permintaan Pendaftaran Pendaftaran tidak diperoleh
lisan oleh tertulis oleh dari pasien.
Pemulanga Dicetuska Dicetuska Dicetuskan oleh
n n oleh n oleh pengadilan/RS.
Status Hak Dicapai Dicapai Mungkin tidak bisa
Warga kembali kembali dicapai, sebagian, atau
Negara secara secara penuh, bergantung hukum
Pembenara Sukarela Sukarela Sakit jiwa dan satu atau
n mencari mencari lebih dari hal berikut.
• Membahayakan diri
sendiri/orang
lain.
· Membutuhkan
perawatan.
· Tidak mampu
memenuhi kebutuhan
dasarnya sendiri.

proses yang berkaitan dengan pengadilan. Ini berarti bahwa pendengar tidak
dapat memberikan informasi yang diperoleh dari seseorang kecuali
pembicara memberikan izin. Komunikasi dengan hak istimewa tidak
termasuk menggunakan catatan rumah sakit, serta sebagian besar negara
tidak memberikan hak istimewa komunikasi antara perawat dan pasien.
Selain itu, terapis bertanggung jawab terhadap pelanggaran kerahasiaan
hubungan untuk memperingatkan individu yang potensial menjadi korban
tindak kekerasan yang disebabkan oleh pasien.
7. Hak persetujuan tindakan (informed consent).
Dokter harus menjelaskan tentang pengobatan kepada pasien, termasuk
potensial komplikasi, efek samping, dan risiko. Dokter harus mendapatkan
persetujuan pasien, yang harus kompeten, dipahami, dan tanpa paksaan.
8. Hak pengobatan.
Kriteria untuk pengobatan yang adekuat didefinisikan dalam tiga area,
yaitu (1) lingkungan fisik dan psikologis manusia, (2) staf yang berkualitas
dan jumlah anggota yang mencukupi untuk memberikan pengobatan, serta
(3) rencana pengobatan yang bersifat individual.
9. Hak untuk menolak pengobatan.
Pasien dapat menolak pengobatan kecuali jika ia secara legal telah ditetapkan
sebagai tidak berkemampuan. “Ketidakmampuan” menunjukkan bahwa orang
yang mengalami gangguan jiwa dapat menyebabkan ketidakmampuannya
untuk memutuskan dan gangguan ini membuat ia tidak mampu untuk
mengatasi sendiri masalahnya. Ketidakmampuan hanya dapat dipulihkan
melalui sidang pengadilan lain.
Beberapa teori ilmiah dan aturan perundangan ini perlu diperhatikan
untuk penyelesaian masalah jika ada pelanggaran etik. Meskipun demikian,
aturan perundangan hanya berlaku bagi negara yang bersangkutan.

LATIHAN
1. Keperawatan jiwa adalah spesialisasi dari praktik keperawatan. Ilmu apa yang
digunakan sebagai dasar kajian?
2. Bagaimana cara penggunaan diri secara terapeutik dalam keperawatan
jiwa?
3. Sebutkan falsafah yang digunakan dalam keperawatan jiwa?
4. Tindakan apa yang sangat terkait dengan aspek etika dalam keperawatan
jiwa?
5. Apa yang dimaksud dengan psikodinamika terjadinya gangguan jiwa?
6. Apa dasar mempelajari penyimpangan perilaku dalam keperawatan
jiwa?
7. Apa model teori yang paling sering dikembangkan dalam keperawatan
kesehatan jiwa?

BACAAN
Depkes RI. 1998. Buku Standar Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Penerapan
Standar
Asuhan Keperawatan pada Kasus di RSJ dan RS Ketergantungan Obat.
Jakarta. Depkes RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013.
Jakarta: Depkes RI. Frisch dan Frisch. 2006. Psychiatry Mental Health
Nursing. Kanada: Thompson Delmar
Learning.
Hamid, A.Y. 2008. Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Kaplan dan Sadock. 1997. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Psikiatri
Klinis. Jilid 1. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Maramis, W.F. 2010. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga
University Press. Maslim, Rusdi. 2004. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ III). Jakarta: FK Jiwa Unika Atmajaya.
Notosoedirjo, M. Latipun. 2001. Kesehatan Mental; Konsep dan Penerapan.
Malang: UMM Press.
Stuart dan Laraia. 2005. Principles and Practice of Psychiatric Nursing, 8th edition.
St. Louis: Mosby.
Stuart, Gail W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta : EGC
World Health Organization. 2001. Mental Health: New Understanding,
New Hope. Geneva:WHO.
______. 2008. Investing in Mental Health. Geneva: WHO.

Anda mungkin juga menyukai