Anda di halaman 1dari 48

PERANAN

DAN PROSPEK ”INTERNATIONAL CRIMINAL COURT”


SEBAGAI INTERNATIONAL CRIMINAL POLICY DALAM
MENANGGULANGI ”INTERNASIONAL CRIMES”

Widiada Gunakaya
Dosen Tetap Sekolah Tinggi Hukum Bandung
E-mail : wid_cruzzo@yahoo.co.id

ABSTRACT
International Criminal Court (ICC) is an international permanent autonomous judicial
court of law. It functions to hear, try crimes of genocide, crimes against humanity, war crimes,
and crime of aggression as four cores of international crimes which become hostis humanis
generis. Those crimes are decided and categorized by International Law as delicto jus
gentium because of their potential to create disorder, unsecured situation, and to destroy
world peace entirely, and eventually they inflict and damage the state nation interest.
Considering the impact of those crimes, the prevention and solution should be required
internationally through International Criminal Policy by Penal by hear and try the actors
through International Criminal Court (ICC). The prevention and solution should be done
internationally as those crimes mentioned above possess the following elements: 1. direct
threat to world peace and security, 2. indirect threat to world peace and security, 3. shocking
to the conscience of humanity, 4. conduct affecting more than one state, 5. conduct including
or affecting citizens of more than one state, 6. means and methods transcend national
boundaries.
ICC was founded and based on Rome Statute (1998), and it has been effectively valid since
17 July, 2002. Besides having criminal jurisdiction as it is mentioned above, it has personal
jurisdiction to investigate, hear and try, and punish an individual without any regard of
official capacity which he or she owns in his or her own country. No matter who he or she is,
the Head of the State, the Head of Government, a military commander, a superior, a civilian,
or a bounty soldier. If he or she is proved to be guilty of committing a crime in the criminal
jurisdiction of ICC, then he or she shall be individually responsible. Therefore, he or she is
liable for punishment. But, criminal jurisdiction and individuals owned by ICC can only be
applied to the citizens which the counties get involved in ratify the 1998 Rome Statute. It
means that their status as State Party. The problem here is; Can the ICC functioned as
International Criminal Policy by Penal against four cores of International Crimes be able to
apply criminal jurisdiction, and personal jurisdiction to the countries of non state parties
effectively and be more prospective to fulfill international world expectation?

Keywords: international criminal court; international criminal policy; international


crime; co-operations of states necessary to enforce

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 789


A. PENDAHULUAN yurisdiksi temporal.
Judul tulisan di atas, variabelnya Kedua yang terdapat pada variabel
didominasi oleh term internasional. judul ”International Criminal Policy”,
Pertama, ”International Criminal Court” adalah merujuk pada suatu usaha-usaha
(ICC), term Internasional di sini merujuk rasional dari negara-negara di dunia untuk
pada suatu realitas ”lembaga hukum” yang secara bersama-sama menanggulangi four
bersifat permanen dan mandiri berbentuk core crimes dimaksud yang merupakan
pengadilan atau mahkamah pidana. pelanggaran terhadap ”delicto jus
Digagas dan dibentuk oleh PBB, dan oleh gentium”. Diperlukannya penanggulangan
Statuta Roma (1998) tentang secara bersama melalui kebijakan
Pembentukan ICC diberikan kewenangan penanggulangan secara Internasional,
untuk menyelidiki, mengadili, dan karena perbuatan-perbuatan dimaksud
memidana individu tanpa memandang memiliki unsur-unsur (elements) : 1. Direct
'official capacity' yang dimiliki oleh threat to world Peace and Scurity. 2. Indirect
individu tersebut di dalam negara threat to world Peace and Scurity.
nasionalnya. Tidak perduli, apakah ia 3.“Shocking” to the conscience of Humanity.
seorang kepala Negara dan atau kepala 4. Conduct affecting more than one State. 5.
Pemerintahan, Komandan Militer, atau Conduct including or affecting citizens of
sebagai atasan, seorang sipil atau tentara more than one State. 6. Means and methods
1
bayaran, asalkan terbukti bersalah transcend national boundaries. Namun
melakukan kejahatan yang menjadi unsur yang menjastifikasi perlunya
yurisdiksi kriminal ICC, maka individu International Criminal Policy terhadap
demikian itu harus dimintakan Kejahatan Internasional di atas, menurut
pertanggungjawabannya secara pidana Bassiouni adalah “unsur kebutuhan”
(shall be individually responsible), dan (necessity element), yang di dalamnya
jika terbukti bersalah maka ia atau pejabat terdapat unsur “cooperations of States
yang bersangkutan harus dipidana (liable necessary to enforce”, yakni kebutuhan
for punishment). ICC yang berkedudukan bekerjasama antar negara-negara untuk
di Den Haag dilengkapi dengan yurisdiksi melakukan penegakan hukum /
kriminal namun terbatas pada kejahatan penanggulangan terhadap Kejahatan
genosida (the crimes of genocide), Internasional.
kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes Sedangkan term Internasional yang
against humanity), kejahatan perang (war ketiga, adalah ”International Crimes”.
crimes), dan kejahatan agresi (the crimes of Term Internasional di sini menagcu pada
aggression). Keempat jenis kejahatan ini suatu perbuatan yang oleh negara-negara
dikenal dengan sebutan four core crimes. di dunia dinyatakan dan atau ditetapkan
2
Yurisdiksi lainnya yang dimiliki adalah sebagai hostis humanis generis, karena
yurisdiksi personal, yurisdiksi teritorial, dan dinilai sebagai perbuatan yang sangat

1
Cherif Bassiouni, International Criminal Law, Vol. I Crimes, Transnational Publishers, New York, 1986.
2
Menurut Bassiouni, pengertian istilah hostis humanis generis (musuh semua umat manusia) berasal dari tulisan Cicero
yang tercermin dari hukum Romawi pada abad ke 16. Istilah tersebut semula berasal dari sebutan ”commune hostis

790 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


berpotensial menciptakan ketidaktertiban, keamanan, dan perdamaian dunia
ketidakamanan, menghancurkan memerlukan ”hubungan baik” bahkan
perdamaian dunia, dan pada akhirnya yang bersifat mutual antar bangsa, dan
sangat merugikan kepentingan negara- harus mendahulukan kepentingan
negara nasional. Oleh karena itu, Internasional daripada kepentingan
dibutuhkan International Criminal Policy negara nasionalnya. Dalam hubungan
sebagai usaha-usaha rasional dari state demikian ini, masing-masing negara
nations untuk menanggulanginya. nasional tetap harus menghormati
Perbuatan-perbuatan demikian oleh ”kedaulatan negara” lain, yang berarti pula
Hukum Internasional (HI) ditetapkan menghormati “kesamaan derajat”
sebagai Kejahatan Internasional (delicto (sovereign equality), mengakui “kesatuan
jus gentium) dan terhadap pelakunya harus teritorial” (territorial integrity) negara
dipertanggungjawabkan secara pidana. lain, serta “tidak ikut campur (non-
Pendominasian term Internasional di intervention) terhadap kepentingan
atas, juga memiliki relevansi dan maknawi nasional negara lain. Oleh karena itu dalam
sangat penting jika direlasikan dengan hubungan antar bangsa sudah menjadi
realitas Hubungan Internasional pada kebutuhan bagi negara-negara nasional
dewasa ini. Pandangan bahwa negara akan suatu realitas pengaturan yang
nasional dapat hidup mandiri hanya bersifat global/Internasional, baik berupa
menghandalkan kekuatan dan sumber Perjanjian Internasional apakah itu
daya manusia dan sumber daya alam bilateral, regional atau multilateral
nasionalnya, tanpa perlu hubungan dan maupun berupa Konvensi Internasional
atau bantuan negara lain dalam mencapai serta Hukum Kebiasaan Internasional. Pada
kesejahteraan rakyatnya, adalah suatu dewasa ini, negara-negara nasional di
paradigma yang sudah “obsolete and dunia dalam rangka Hubungan
outmoded”, dan sangat tidak realistis. Ini Internasional, satu kata kunci yang harus
berarti, bagi negara-negara nasional dalam dipegang, diresapi dan dihayati oleh
mewujudkan cita-cita bangsanya termasuk pimpinan negaranya adalah kata
dalam rangka terciptanya ketertiban, “INTERNASIONALISASI”.3

homien”. Perkembangan sejak abad ke 17 s/d abad ke19, sebutan tersebut diberikan kepada para pelaku Kejahatan
Internasional. Lahirnya istilah itu sebagai konsekuensi pemisahan antara ”jus naturale”, dan ”jus gentium”. ”Jus
naturale” berasal dari Yunani Kuno dari Plato dan Aristoteles, dan ”jus gentium” berasal dari hukum Romawi yang
berlaku bagi seluruh penduduk Romawi dan wilayah kerajaan Romawi. Pengertian istilah ”jus naturale”, ”jus gentium”,
dan ”hostis humanis generis” semuanya menggambarkan sistem nilai yang berlaku pada masa itu. Kejahatan yang
mengancam penduduk Romawi pada saat itu dipandang sebagai ancaman terhadap ”jus gentium”, sehingga
pembajakan (di laut) dan di daratan disebut dengan istilah ”piracy de jure gentium”. Para pelakunya disebut ”hostes”,
yaitu musuh yang harus diadili dan dipidana oleh hukum nasional. Dalam kaitan inilah, Hugo Grotius memperkenalkan
istilah ”au dedere au punere” untuk pembajakan, dengan menegaskan bahwa para pelakunya harus dituntut atau
dihukum. (Disitasi dari Romli Atmasasmita, Kejahatan Transnasional dan Internasional Serta Implikasi Terhadap
Pendidikan Hukum Pidana Serta Kebijakan Hukum Pidana Di Indonesia, Makalah disampaikan pada Kongres dan
Seminar ASPEHUPIKI, Bandung, 16-19 Maret 2008).
3
Di dalam era globalisasi/Internasionalisasi, bukan berarti suatu negara nasional harus tetap kukuh seterusnya
mengaplikasi paham ”monisme dengan primat Hukum Internasional”, atau sebaliknya paham ”monisme dengan
primat Hukum Nasional”. Suatu negara nasional, seharusnya menganut prinsip ”two in one”, yakni dalam rangka
menjalin Hubungan Internasional dalam rangka menyelesaikan permasalahan Internasional, kebijakan negara
nasional harus dapat merefleksikan dua kepentingan sekaligus, yakni kepentingan nasionalnya dan juga kepentingan
Internasional.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 791


Jika judul di atas didekonstruksi, dan satu sisi direlasitaskan dengan realitas
variabel-variabel judulnya direkonstruksi yang terjadi dalam Hubungan
lagi, secara deduktif akan terintegratif Internasional yang sangat
selayang pemahaman, bahwa : mengkardinalkan “kepentingan negara
nasional” (sebagai ”variabel
Pertama, national states sangat berpengaruh”) dalam rangka penegakan
membutuhkan International Criminal Hukum Pidana Internasional (HPI) oleh
Policy by penal as common necessity, ICC (ICC sebagai “variabel terpengaruh”),
yang direalisasikan melalui sedangkan di sisi lain tidak semua negara
pembentukan ICC sebagai reflection of ikut menyatakan persetujuan dan
cooperations of States necessary to meratifikasi Statuta Roma sebagai dasar
4
enforce of an act which constitues hukum pembentukan ICC, dan secara
a crime under International Law. imperatif pelakunya harus
Kedua, perbuatan hostis humanis dipertanggungjawabkan secara pidana,
generis demikian itu ditetapkan maka dapat dipermasalahkan :
sebagai ”delicto jus gentium”, harus 1. Bagaimanakah prinsip
ditanggulangi secara absolut karena pertanggungjawaban pidana menurut
secara langsung atau tidak langsung Hukum Pidana Internasional ?
menjadi ancaman bagi perdamaian 2. Apakah ICC dapat mengaplikasikan
dan keamanan dunia, menggoyahkan yurisdiksi kriminal dan yurisdiksi
perasaan kemanusiaan, akibatnya personalnya terhadap negara-negara
berdampak terhadap negara dan non State Parties dalam rangka
warga negara lebih dari satu negara, mengimplementasikan peranannya
serta dalam merealisasikannya untuk menanggulangi four core crimes
digunakan sarana atau metode-metode secara efektif dan berprospektif untuk
yang melampaui batas-batas teritorial memenuhi ekspektasi dunia
suatu negara. Ketiga, any person (the Internasional ?
criminal) who commits of an act which
constitues a crime under International B. PEMBAHASAN
Law shall be individually 1. Peranan Dan Prospek ICC Sebagai
responsible. Lembaga Penal International
Criminal Policy Dalam
Berdasarkan integralitas dari ketiga Menanggulangi Kejahatan
pemahaman di atas, dapat dijadikan suatu Internasional
postulat, bahwa “ICC memiliki peranan a. Pembentukan ICC Dalam
dan prospektus yang sangat signifikant Perkembangan Hukum (Pidana)
dalam rangka penanggulan Kejahatan Internasional
Internasional”. Namun, jika postulat ini di Sebelum fokus pada pembahasan

4
Sebagai contoh Pemerintah Amerika Serikat mencabut kembali persetujuannya, dan Pemerintah Indonesia sama
sekali belum meratifikasi Statuta Roma, akan tetapi beberapa provisi penting dari Statuta Roma telah diadopsi ke
dalam UU No. 26 Th. 2000 tentang Pengadilan HAM

792 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


terhadap permasalahan pokok, untuk untuk mendapat pengaturan di dalam HI
pemahaman komprehensif terkardinal adalah peperangan. Memang pada
mengenai peranan ICC, terlebih dahulu realitanya, peperangan ketika itu tidak
signifikan dikemukakan pembentukan ICC hanya dilakukan oleh antar suku yang
berikut kendalanya dalam perkembangan bertikai, atau dengan tujuan untuk
Hukum (Pidana) Internasional. menguasai daerah dan harta kekayaan
Pembentukan ICC tidak dapat dilepaskan suku lainnya, tetapi juga dilakukan oleh
dari perkembangan Hukum Internasional negara-negara beradab yang tumbuh pada
(HI) pada umumnya, dan perkembangan dewasa ini dengan dalih dan tujuan yang
Hukum Pidana Internasional (HPI) pada beraneka ragam. Mendesaknya
khususnya. HPI sebagai disiplin ilmu peperangan perlu diatur dalam HI, karena
berkembang pesat sejak awal tahun 1990. pada realitanya sering kali peperangan di
Perkembangan tersebut terwujud secara samping dilakukan dengan justifikasi yang
kelembagan dengan diadopsinya Statuta tidak rasional, juga dilakukan dengan
Roma tentang ICC (Mahkamah Pidana segala macam cara, yang penting bisa
Internasional(MPI)) pada tahun 1998, dan memenangkan peperangan. Oleh karena
5
berlaku efektif sejak tanggal 17 Juli 2002. itulah, diperlukan pengaturan tentang
Namun kebutuhan masyarakat perang yang kaidah-kaidahnya mengatur
Internasional akan kehadiran HPI ”sebab-sebab yang jelas” (just cause)
sesungguhnya sudah dimulai sejak abad ke dilakukannya peperangan. Selain itu,
16. Kendatipun ketika itu masyarakat peperangan juga harus dinyatakan dengan
Internasional berkembang secara tegas oleh Kepala Negara yang
tradisional, namun sudah dikehendaki bersangkutan, dilakukan dengan cara-cara
adanya pengaturan dalam HI tentang yang benar, jenis senjata yang
perbuatan-perbuatan tertentu seperti diperbolehkan, siapa-siapa dan obyek apa
piracy. Perbuatan ini sangat tidak pantas saja yang boleh dijadikan sasaran dalam
untuk dilakukan, karena sangat peperangan, dan lain sebagainya yang
mengganggu dan mengancam aktivitas berlaku dalam kebiasaan perang. Jika
perdagangan antar bangsa serta dapat terjadi pelanggaran terhadap aturan-
menimbulkkan kerugian materiil sangat aturan yang telah ditetapkan dalam suatu
besar. Oleh karena itu, perbuatan demikian Konvensi atau Kebiasaan Internasional,
oleh segenap bangsa ditetapkan sebagai maka pelakunya dinyatakan telah
Kejahatan Internasional, karena melakukan Kejahatan Internasional
merupakan hostis humanis generis, yang berupa war crimes, dan harus dituntut
harus dituntut secara pidana menurut dihadapan Mahkamah Internasional (MI).
ketentuan HI. Perkembangan pesat tentang masalah
Selain piracy, ketika itu perbuatan perang di dalam sejarah HI, terjadi pada
yang lebih kardinal dan sangat mendesak abad 16 – 18 ketika penulis-penulis

5
M. Cherif Bassiouni, The Statute of International Criminal Court: A Documentary History (Ardsley,NY : Transnational,
1998) p. 39.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 793


terkenal secara doktrinal mencari dasar yang berlangsung selama PD I telah
hukum dari suatu peperangan. Di menyebabkan lahirnya ketentuan-
antaranya adalah Hugo Grotius, seorang ketentuan di dalam Perjanjian Versailes
ahli hukum Belanda yang telah menulis yang mengatur 2 jenis peradilan. Menurut
sebuah treatise, ”De Jure belli ac pacis Pasal 227, pihak sekutu (Allied and
libri tres” (The Law of War and Peace in Associated Powers) ”akan menuntut
Three Books) pada tahun 1625. Di dalam William II dari Hobenzollern, bekas Kaisar
bukunya itu, ditegaskan : Jerman untuk pelanggaran-
1) Mereka yang melaksanakan perang pelanggarannya terhadap moralitas
untuk menang tetapi dengan niat tidak Internasional dan kesucian Perjanjian
benar layak untuk ditunut; Internasional”. Dibuatlah suatu ketentuan
2) Mereka yang melaksanakan perang untuk melaksanakan peradilannya oleh
secara melawan hukum suatu pengadilan khusus. Pengadilan
bertanggungjawab atas akibat-akibat dalam putusannya, akan berpegang pada
yang terjadi yang sepatutnya alasan utama dari kebijakan Internasional
diketahui; dan dengan mempertahankan kewajiban-
3) Sekalipun jenderal atau prajurit yang kewajiban Intrnasional dan validitas
sesungguhnya dapat mencegah moralitas Internasional.
kejadian/ kerugian sepenuhnya dapat Rencana ini ternyata tidak berjalan
dipertanggungjawabkan atas dengan baik, karena William II melarikan
tindakannya.6 diri ke Belanda dan negara ini menolak
untuk menyerahkannya. Berbeda dengan
Namun demikian, terhadap penjahat Pasal 227, Pasal 228 menetapkan, bahwa
PD I tidak berhasil dilakukan penuntutan ”pemerintah Jerman mengakui hak pihak
dan penjatuhan pidana menurut HI, karena sekutu untuk mengajukan ke hadapan
Perjanjian Versailes yang telah disepakati mahkamah militer orang-orang yang
untuk mengakhiri PD I, Pasal 227-nya diduga telah melakukan perbuatan-
telah gagal diaplikasikan. Padahal pasal perbuatan yang melanggar hukum dan
tersebut memberikan kewenangan untuk kebiasaan-kebiasaan perang”. Sehingga
menuntut dan memidana para penjahat pemerintah Jerman menyetujui untuk
perang. Memang sejak kurun kedua pada menyerahkan kepada pihak sekutu orang-
abad ke 19, secara umum telah diakui orang yang diduga telah melakukan
adanya perbuatan-perbuatan atau perbuatan demikian. Namun, pihak
kegagalan untuk bertindak yang dapat Jerman mengusulkan agar para tertuduh
menciptakan tanggungjawab pidana pada diadili di pengadilan tertinggi Jerman (di
diri individu menurut HI. Individu Leipzig). Alasannya : ”jika diadili oleh
demikian itu, oleh MI, Mahkamah Militer pihak sekutu akan dapat menciptakan
atau Pengadilan Nasional dapat dituntut, kesulitan-kesulitan politik yang serius”.
diadili dan dijatuhi pidana. Kekejaman Usulan ini oleh pihak sekutu diterima dan

6
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000, hlm 3.

794 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


menyerahkan tanggungjawab dengan menetapkan, bahwa perang agresi
penuntutannya kepada pihak Jerman. (a war of agression) ditetapkan sebagai
Ternyata dari 1000 orang tertuduh, hanya International Crime. Bahkan pernyataan
12 orang yang diadili dan itupun LBB tersebut merupakan awal dari
setengahnya diputus bebas, dan sebagian penyusunan kodifikasi dalam bidang HPI.
lagi dijatuhi pidana ringan. Di antara yang Kendatipun ketika itu belum diwacanakan
dipidana, paling terkenal adalah kasus pembentukan ICC yang diberikan
Liandovery Castle, dua orang angkatan wewenang untuk menetapkan telah
laut Jerman bernama Dithmar dan Boldt terjadinya pelanggaran terhadap
dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun, kodifikasi tersebut.
karena telah memerintahkan dan Wacana pembentukan ICC muncul
mengambil bagian dalam penembakan kembali setelah PD II, karena telah terjadi
orang-orang yang sedang menyelamatkan pelanggaran terhadap Perjanjian
diri dalam sekoci dari sebuah kapal rumah Internasional yang telah diratifikasi oleh
sakit Inggris yang ditembak dengan negara-negara anggota LBB. Pelanggaran
terpedo. Alasan penembakan karena dimaksud antara lain dilakukannya
perintah dari komando kapal selam tidak kekejaman-kekejaman terhadap
membebaskan dari tuduhan terhadap diri kemanusiaan serta pelanggaran terhadap
mereka.7 Hukum Perang oleh tentara Jerman.
Sekalipun pertanggungjawaban Pada saat inilah perkembangan HPI
pidana (PJP) terhadap individu penjahat sangat pesat, dimulai pada era pasca
PD I boleh dikatakan belum dilaksanakan Perang Dunia (PD) II, terutama pada era
secara sungguh-sungguh oleh Mahkamah proses pengadilan pidana Nuremberg
tertinggi Jerman yang diberi tugas (oleh (1946). Pengadilan ini dibentuk dalam
pihak sekutu) untuk menjalankan rangka mengadili para perwira militer
8
yurisdiksi Internasional, namun dengan Jerman sebagai penjahat PD II. PBB pada
dipidananya sebagian pelaku kejahatan tanggal 11 Desember 1946 melalui
perang sudah menandakan, bahwa telah resolusinya telah mengakui pengadilan ini
terjadi perkembangan terhadap HPI. sebagai suatu bagian dari aplikasi prinsip-
9
Perkembangan demikian ini menjadi lebih prinsip HI. Disusul kemudian dengan
aktual ketika pada tahun 1927, LBB pembentukan pengadilan Tokyo (1948).
membuka era baru dalam sejarah HPI Pada era1990-an Mahkamah seperti ini
7
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, 1978, hlm.100.
8
Pengadilan Pidana Nuremberg (1946) dibentuk oleh Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Uni Sovyet sebagai
negara-negara pemenang PD II. Negara-negara ini menyelenggarakan Konperensi Internasional di London pada Th.
1945 dan pada tgl. 8 Agustus 1945 menghasilkan The Treaty of London. Salah satu substansi Perjanjian tersebut adalah
kesepakatan untuk membentuk pengadilan pidana Internasional yang diberi nama International Military Tribunal
yang berkedudukan di Nuremberg, Jerman. Kewenangannya, mengadili para penjahat PD II. Sedangkan untuk kawasan
Timur Jauh dibentuk International Military Tribunal for the Far East yang berkedudukan di Tokyo, Jepang pada Th.
1946. Masing-masing Mahkamah ini memiliki Piagam tersendiri, yakni Charter of the International Military Tribunal
Nuremberg 1945, dan Charter of the International Military Tribunal for the Far East-Tokyo 1946. Kejahatan-kejahatan
yang diadili adalah crimes against peace, crimes against humanity, dan war crimes.
9
Menurut Romli Atmasasmita, Ibid., hlm. xvii. Proses peradilan pidana Nuremberg ini sangat memiliki arti penting bagi
perkembangan Hukum Pidana Nasional dan HI, yakni dikesampingkannya asas legalitas, asas UU tidak berlaku surut,
dan alasan atas perintah atasan pada kasus kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan agresi.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 795


dibentuk lagi, kendatipun bersifat ad.hoc entites, and only by punishing
untuk mengadili berbagai kasus individuals who commit such crimes
”Kejahatan Terhadap Kemanusiaan” di can the provisions of international law
bekas jajahan Yugoslavia (1993), dengan be enforced”.
resolusi DK PBB No. 827 tanggal 25 Mei
1993. di Rwanda (1995) dengan Resolusi Norma Hukum (Pidana) Internasional
DK PBB No. 977 tanggal 22 Pebruari 1995. yang terdapat di dalam Pasal 6 Piagam
Perkembangan terakhir telah dibentuk Nuremberg tersebut, diperkuat dalam
Mahkamah Ad.Hoc di Darfour (2005) dan sidang MU PBB pada tanggal 11 Desember
10
di Cambodia (2006). 1946 yang dikenal dengan “Affirmation of
Satu hal sangat penting dicatat bagi the Nuremberg Principles”. Bahkan
perkembangan HI dengan diakuinya dipertegas lagi, bahwa sistem
peradilan pidana Nuremberg (1946) pertenggungjawaban pidana (PJP)
sebagai suatu bagian dari aplikasi prinsip- terhadap individu pelaku Kejahatan
prinsip HI, adalah diakuinya prinsip Internasional, adalah dengan menerapkan
individu sebagai subyek HI. Di dalam “sistem pertanggungjawaban secara
Article 6 Nuremberg Charter (Piagam langsung” (direct individual criminal
Nuremberg) ditetapkan : responsibility) tanpa terikat pada
ketentuan Hukum Nasional. Dengan
”Crimes against international law are dikesampingkannya the principle of
commited by men, not by abstract legality, khususnya the nonretroactivity of

Sedangkan bagi perkembangan HI yang bersifat khusus, di antaranya : HI mengakui individu sebagai subyek HI selain
negara. Di dalam HPI diperkenalkan juga :
a. Beberapa pengertian istilah hukum baru, seperti asas komplementaritas, asas non-impunity, asas non-lapse of time,
asas au dedere au punere, asas au dedere au judicare, asas yurisdiksi extrateritorial, asas limited non bis in idem,
atau “conditionally ne bis in idem”
b. Definisi dan lingkup transnasional crimes dan pembedaannya dengan domestic crimes (kejahatan nasional), serta
pembedaan keduanya dengan international crimes.
c. Munculnya nomenclatur baru seperti, kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan, agresi, kejahatan, kejahatan
perdagangan orang khususnya perempuan dan anak (human trafficking), penyelundupan migrant (migran
smuggling), penyelundupan senjata (smuggling firearms), dan kejahatan pencucian uang Implikasi perkembangan
baru di atas, menuntut perubahan pandangan para ahli hukum pidana untuk mencermati kembali asas-asas hukum,
dan doktrin-doktrin hukum pidana yang telah berkembang sejak abad ke 18, dan pandangan terhadap konsep serta
teori tentang yurisdiksi kriminal. Terutama yang berkaitan dengan extrateritorial jurisdiction terhadap kasus
kejahatan transnasional yang telah berkembang pesat dalam HI sejak kasus Lotus (1624) sampai dengan saat ini.
10
Peradilan Ad Hoc semacam itu hampir terbentuk di Indonesia untuk mengadili para pelaku “Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan” di Timor Timur pasca jajak pendapat yang menimbulkan kerusuhan cukup dahsyat dengan
dilakukannya tindakan-tindakan di luar batas kemanusiaan terhdap penduduk sipil. Berdasarkan report of the
commission of inquiry dalam UNHCR direkomendasikan untuk pembentukan International Human Rights Tribunal Ad
Hoc. Terhadap laporan ini DK PBB melalui Resolusinya No. 1264 tgl. 15 September 1999 menyatakan sangat prihatin,
dan mengutuk tindakan kekerasan yang tidak manusiawi itu, serta mendesak negara Indonesia untuk mengadili
pelakunya. Daripada diadili melalui Pengadilan Ad Hoc, akhirnya Indonesia menerima desakan PBB untuk mengadili
sendiri dengan membentuk Pengadilan HAM berdasarkan UU No. 26 Th. 2000 sebagai pengganti Perpu No. 1 Th. 1999
tentang Pengadilan HAM. Kemudian dengan Kepres No. 53 Th. 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, diberi tugas untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor
Timur Th 1999 dan Tanjug Priok Th 1984. Oleh karena Kepres ini dinilai terlalu luas dari segi tempus dan locus
delictinya, kemudian diganti dengan Kepres No. 96 Th. 2001, sehingga Pengadilan HAM Ad Hoc hanya berwenang
untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi pada bulan “April dan September” tahun 1999 di wilayah Licuisa,
Dilli, dan Soae, serta pelanggaran HAM berat yang terjadi pada bulan “September” Th 1984 di Tanjung Priok. Namun,
Pengadilan Ad Hoc untuk kasus Tanjung Priok ini sampai dengan sekarang belum dibentuk.

796 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


the law, merupakan hal signifikan dalam tidaklah mungkin negara dilibatkan dalam
penetapan Politik HPI. Praktik peradilan proses peradilan pada ICC. Kendala
pasca Nuremberg telah membuktikan, lainnya adalah berkaitan dengan
bahwa peradilan Kejahatan Terhadap yurisdiksi kriminal, dalam kaitan ini telah
Kemanusiaan di masa lampau dapat diadili diajukan 3 wilayah yurisdiksi keriminal
11
dengan menerapkan asas retroaktif. sebagai bahan antisipasinya, yaitu :
Dengan menerapkan asas ini, putusan 1) wilayah yurisdiksi kriminal pertama,
Mahkamah Nuremberg telah ditempatkan termasuk yurisdiksi terhadap
sebagai “landmark decision” dalam HPI, kejahatan-kejahatan antara lain
dan sekaligus menjadi preseden dalam genocide, apartheid, hijacking dan war
mengadili “Kejahatan Terhadap crimes sebagaimana ditetapkan di
Kemanusiaan” di masa yang akan datang. dalam Konvensi Jenewa 1949 serta
Selanjutnya, pada tahun 1947 rencana Protokol tahun 1977. Yurisdiksi
pembentukan ICC diserahkan kepada mahkamah ini harus mendapat
International Law Commission12 (ILC) persetujuan suatu negara yang
yang dibentuk oleh PBB dan diberi tugas menurut perjanjian ini dapat
untuk menyusun kodifikasi HI. Sejak mengadili sendiri pelaku tindak
penyerahan tugas rencana pembentukan pidana tersebut. Dalam kasus
ICC oleh PBB kepada ILC tahun 1947, genocide, persetujuan negara peserta
pembentukan ICC untuk beberapa waktu terhadap konvensi ini berlaku dengan
lamanya, sesungguhnya belum terdapat sendirinya. Jika pelaku berada di
kata sepakat. Salah satu kendalanya adalah wilayah negara asalnya atau di negara
pihak-pihak yang terlibat dalam terjadinya tempat tindak pidana tersebut
Kejahatan Internasional adalah negara dilakukan, persetujuan negara
sebagai subyek hukum dalam HI, yang tersebut atas yurisdiksi mahkamah
memiliki kedaulatan penuh atas tindakan tetap diperlukan.
warga negaranya yang melakukan 2) wilayah yurisdiksi kriminal kedua,
Kejahatan Internasional. Oleh karena itu berkaitan dengan persetujuan khusus
11
Romli Atmasasmita mengatakan, satu-satunya negara yang memasukan ketentuan retroaktif ke dalam UU Pengadilan
HAM (UU No. 26 Th 2000) adalah Indonesia. (lihat : Kejahatan Transnasional …Loc.Cit). Menurut penulis, benar
pemikiran demikian merupakan kemajuan, dan sejalan dengan kebijakan HPI, tetapi muncul persoalan baru, yakni :
“apakah kebijakan hukum pidana demkikian tidak bertentangan dengan norma HAM yang telah ditetapkan secara
konstitusional”? Mengingat di dalam Pasal 28I Bab XA tentang HAM UUD 1945 Perubahan Kedua ditetapkan, bahwa : “…
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun”.
Ini berarti secara konstitusional UUD 1945 melarang asas retroaktif, karena hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut merupakan HAM yang tidak boleh dikurangi (non-derogable rights).
12
ILC atau Komisi Hukum Internasional dibentuk oleh PBB berdasarkan Resolusi MU PBB No. 174/D. ILC diberi tugas
untuk menata seluruh bidang HI dalam usaha melaksanakan progressive development of international law and its
codification. Menurut Statuta ILC, dimaksud dengan progressive development of international law, adalah
penyiapan Rancangan-rancangan Konvensi mengenai masalah-masalah yang belum diatur oleh HI, atau masalah HI
yang mana yang belum cukup berkembang dalam praktek negara-negara. Sedangkan dimaksud dengan codification of
international law, adalah merumuskan dan mensistematisasi ketentuan-ketentuan HI secara lebih tepat dan di
bidang mana dari ketentuan tersebut sudah dilaksanakan dalam praktek, sudah menjadi precedent dan sudah terdapat
doktrinalnya yang cukup luas. Jadi, dibentuknya ILC oleh PBB adalah dalam rangka “pengembangan HI”
(“pembaharuan HI”). Mengingat di dalam Pasal 13:a Piagam PBB dinyatakan, bahwa : “The General Assembly shall
initiate studies and make recommendation for the purpose of promoting international cooperation in the political field an
ancouraging the progressive development of international law and its codification”.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 797


oleh suatu negara dalam kasus-kasus permanen, tetapi suatu mahkamah yang
tertentu lainnya. Kasus-kasus ini sewaktu-waktu dapat dibentuk jika
termasuk berbagai tindak pidana diperlukan.14
berdasarkan HI dan tindak pidana Setelah mengalami stagnasi untuk
tertentu menurut Hukum Nasional beberapa lama, padahal sudah terdapat 2
yang memberikan pengaruh terhadap RUU tentang ICC tetapi stagnasi tetap
Konvensi Multilateral, seperti terjadi. Setelah perang dingin berakhir
Konvensi 1988 tentang Convention muncul lagi desakan-desakan untuk
Against Traffic in Narcotic Drugs and membentuk ICC. Desakan itu muncul
Psychotropic Substances. sejalan dengan terjadinya kejahatan-
3) wilayah yurisdiksi kriminal ketiga, kejahatan terhadap kemanusiaan dan
adalah yurisduksi yang diperoleh dari genosida berupa pembantaian masal di
Dewan Keamanan PBB atas berbagai Yugoslavia, Irak dan Somalia. Dalam
tindak pidana yang ditetapkan dalam merealisasikan kepentingan tersebut,
Perjanjian-perjanjian Internasional pada akhirnya oleh ILC yang diberi tugas
atau berdasarkan HI. Yurisdiksi ini pada tahun 1989 oleh MU PBB, berhasil
dapat terjadi dalam kasus tindak menyiapkan rancangan naskahnya dan
pidana agresi, namun penuntutannya pada tahun 1994 diserahkan kepada MU
tidak dapat silakukan kecuali Dewan PBB.
Keamanan menetukan (menurut Bab Pada tahun 1994 ini juga MU PBB
VII dari Piagam PBB), bahwa suatu membentuk komisi ad hoc dengan tugas
tindakan agresi telah benar-benar untuk meninjau aspek-aspek substantif,
terjadi.13 administratif, dan prosedural dari
Mengingat terdapat beberapa kendala rancangan ILC dimaksud. Setelah berhasil
sebagaimana telah dikemukakan di atas, melaksanakan tugasnya, MU PBB
muncul beberapa pendapat yang pada membentuk Komisi Persiapan untuk
prinsipnya menyatakan, bahwa menindaklanjuti hasil karya dari Komisi ad
pembentukan mahkamah dapat dilakukan hoc untuk dilakukan pembahasan secara
melalui suatu Perjanjian Internasional dan lebih mendalam, yakni menyangkut aspek
melalui kesepakatan bersama dengan PBB, HI dan Hukum Pidana, seperti Hukum
karena Statuta mahkamah tidak menuntut Humaniter, Hukum Acara Pidana,
adanya perubahan terhadap Piagam PBB. Ekstradisi dan Hak-hak Asasi Manusia
Ada pula yang berpendapat, bahwa oleh (HAM). Pembahasan dilakukan selama 1
karena yurisdiksi ini tidak dibatasi pada tahun dari tahun 1996 – 1997. Akhirnya
UU tentang Kejahatan terhadap Komisi Persiapan ini berhasil
Perdamaian dan Keamanan Umat Manusia menyelesaikan tugasnya pada bulan April
(the Code of Crimes against the Peace and 1998, dan menghasilkan naskah final yang
the Scurity of Mankind), maka mahkamah bersifat otentik tentang Statua ICC. Naskah
ini tidak perlu berupa suatu mahkamah yang sudah bersifat final inilah kemudian

13
Asil Newsletter, dalam Romli Atmasasmita, Op.Cit., hlm.17.
14
Ibid.

798 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


dibahas dan diontentikasikan dengan cara Mukadimah, 13 bagian dan 128 pasal.
penandatanganan oleh segenap wakil Perlu disinggung di sini, kesuksesan
negara - negara yang hadir dalam pembentukan ICC tidak bisa dilepaskan
Konperensi Diplomatik di Roma pada dari diskusi-diskusi yang dilakukan di
tanggal 15 – 17 Juni 1998. kalangan kelompok-kelompok politik,
Konperensi ini dibuka pada tanggal 15 seperti gerakan Non Blok, Kelompok Arab,
Juni 1998, tujuan sebenarnya adalah untuk Negara-negara Eropa Barat dan lain-lain
mengisi kekosongan di bidang negara yang memiliki padangan sama.
Penanggulangan Kejahatan Internasional Mereka ini memainkan peranan penting
(International Criminal Policy), yakni dalam Komisi Persiapan dan dalam
dengan satu tujuan untuk mendirikan Konperensi Roma. Kelompok yang
sebuah Mahkamah Internasional yang berpandangan sama ini terbentuk karena
bersifat permanen. Padahal, sebagaimana merasa kecewa terhadap penolakan dari
diketahui, pembentukan ICC telah digagas negara-negara besar terhadap
dan dimulai setengah abad sebelumnya, pembentukan ICC. Kelompok ini yang
dengan diajukannya proposal oleh Henry terdiri dari sebagian besar negara-negara
Donnedeu de Verbes, seorang hakim pada Eropa dan Amerika Latin, kemudian
Mahkamah Militer Nurmberg yang jumlahnya bertambah mencakup negara-
mengadili para penjahat perang Nazi negara dari berbagai kawasan. Mereka
15
Jerman. Peserta Konperensi berjumlah mengorganisasikan diri sebagai kelompok
160 negara, 33 dari organisasi antar negara perunding yang tangguh. Setelah Partai
dan koalisi dari 236 Non Governmental Buruh memenangkan Pemilu di Inggris,
Organization (NGO/LSM). Pada akhir akhirnya negara ini bergabung dalam
konperensi statuta ini diterima dan diberi kelompok negara yang berpandangan
nama Statuta Roma (Rome Statute of the sama. Inilah kali pertama terjadi
International Criminal Court) dengan perpecahan di kalangan negara-negara
persetujuan 120 negara, 7 menentang, anggota tetap DK PBB dalam
dan 21 negara abstein, dan terdiri dari menegosiasikan statuta. Demikian pula

15
Tidak banyak yang mengetahui, bahwa jauh sebelum proposal diajukan oleh Henry Donnedeu de Verbes, terlebih
dahulu telah diajukan proposal serius yang serupa oleh Gustave Moynier, salah seorang pendiri International
Committee of the Red Cross. Kendatipun pada mulanya beliau ini lebih setuju membentuk Pengadilan Pidana
Internasional permanen, tetapi dalam komentarnya terhadap Konvensi Jenewa 1864 tentang perlakuan serdadu yang
mengalami luka-luka, pertimbangan beliau menjadi berubah untuk membentuk Pengadilan Internasional
nonpermanen. Ternyata beliau lebih menyukai kekuatan dari opini atau kecaman publik terhadap penyelenggaraan-
penyelenggaraan Konvesi Jenewa untuk mengatasi pelanggaran-pelanggaran tersebut. Memperkuat
pertimbangannya itu, dikatakan bahwa “suatu perjanjian internasional bukanlah hukum yang dapat dipaksakan oleh
kekuasaan yang lebih tinggi, akan tetapi hanya merupakan sebuah perjanjian (kontrak) yang para penandatangannya
tidak dapat menjatuhkan hukuman terhadap diri mereka sendiri, sebab tidak ada pihak yang dapat
mengimplementasikannya”. Namun apa yang menjadi pertimbangan Moynnier tersebut sama sekali tidak benar,
karena ketika terjadi perang antara Perancis dan Rusia pers dan opini publik terbelah dua dan saling bertentangan
mengenai berbagai kekejaman yang terjadi dalam perang tersebut. Moynier, pada akhirnya terpaksa mengakui, bahwa
sanksi moral saja tidak mampu dan mempan untuk mengendalikan semua kekerasan yang terjadi. Lebih dari itu,
sekalipun kedua belah pihak saling menuduh, ternyata mereka tidak mampu menghukum mereka yang
bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan tersebut ataupun memberlakukan sebuah undang-undang. Menyadari
akan hal tersebut, pada akhirnya Moynier menyerahkan sebuah proposal bagi pembentukan suatu Pengadilan
Internasional pada pertemuan Palang Merah Internasional pada tanggal 3 Januari 1872. Disarikan dari Hata, Hukum
Internasional Dalam Perkembangan, STHB Press, 2005, hlm. 118.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 799


organisasi-organisasi NGO ikut pula Haag.17
memainkan peranan penting dalam proses Statuta Roma memiliki yurisdiksi
negosiasi, baik di Komisi Persiapan personal yang mengakui prinsip individu
maupun selama Konperensi Roma sebagai subyek HI dan menerapkan direct
berlangsung dalam rangka merealisasikan individual criminal responsibility tanpa
tekadnya untuk pembentukan ICC. terikat pada ketentuan Hukum (Pidana)
Pengaruh dan kontribusi mereka sangat Nasional. Selain itu, ICC sebagai subyek HI
penting dalam berbagai issue, teristimewa dipandang memiliki kemampuan hukum
dalam soal perlindungan anak, kekerasan (legal capacity) untuk melakukan
seksual, kehamilan yang dipaksakan, tindakan-tindakan atau hubungan hukum
sterilisasi yang dipaksakan, dan peranan dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi,
16
bebas dari penuntut. wewenang dan kekuasaanya untuk
Perjuangan yang gigih dan terjalinnya merealisasikan apa yang menjadi
kerjasama yang baik antara pemerintah tujuannya, sehingga diberi kewenangan
negara-negara nasional dengan sejumlah untuk mengadakan perjanjian dengan
NGO, telah mendahului terbentuknya ICC. negeri Belanda sebagai Host State. Hal-hal
Tidak kurang dari 120 negara, kemudian apa saja yang diperjanjikan, harus
bertambah menjadi 139 negara berhasil mendapat persetujuan dari Assembly of
menyepakati sebuah piagam yang akan States Parties. Bertindak sebagai pihak dan
mendasari pembentukan dan atas nama ICC dalam pembuatan
operasionalisasi dari ICC. Sebagaimana perjanjian tersebut adalah Presiden ICC
18
diketahui, piagam ini kemudian dikenal (Article 3 paragraph 2 Statuta Roma).
dengan sebutan Statuta Roma yang untuk Signifikant untuk dijawab adalah
kali pertama ditandatangani oleh para pertanyaan : “apakah ada hubungan
utusan negara pada tanggal 17 Juni 1998. antara ICC dengan PBB”? Mengenai hal
Namun, pendeklarasian secara resmi ini jawabannya dapat merujuk pada
berdirinya ICC baru dilakukan pada 17 Juli Article 2 Statuta Roma di bawah titel
2002. Jadi mulai pada tanggal inilah untuk :”Relationship of the Court with the United
kali pertama di dalam Sejarah Nations”, yang menetapkan sebagai
Internasional, dunia memiliki sebuah berikut:
Mahkamah Internasional yang bersifat
permanen. Dikaitkan dengan “The Court shall be brought into
perkembangan HPI, pada tanggal tersebut relationship with the United Nations
telah lahir Forum Pengadilan Internasional trough an agreement to be approved
baru bernama International Criminal by the Assembly of States Parties to this
Court (ICC) yang berkedudukan di Den Statute Parties and there after

16
Ibid., hlm. 121-122
17
Article 3 paragraph 1 Statuta Roma: “The seat of the Court shall be established at The Hague in the Nederlands (“the
host State”)
18
Article 3 paragraph 2 Statuta Roma menetapkan : “The Court shall enter into a head quarters agrrement with the Host
State, to be approved by the Assembly of States Parties and thereafter concluded by the Precident of the Court on its behalf”.

800 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


concluded by the Precident of the Court dapat tidaknya suatu “subyek hukum”
on its behalf”. (Kursif,pen.). dipidana. Hanya permasalahannya, siapa-
siapa sajakah yang dapat diPJPkan
Jadi, dengan adanya hubungan antara menurut HPI ? Untuk menjawab
ICC dengan PBB akan lebih memperkuat permasalahan ini, berarti harus diketahui
kedudukan ICC sebagai subyek HI. terlebih dahulu “subyek hukum” dari HPI
Kendatipun hubungan tersebut itu sendiri.
berdasarkan atas suatu perjanjian, dan Subyek hukum yang merupakan salah
perjanjian itu harus mendapatkan satu pengertian pokok dalam ranah Ilmu
persetujuan dari Assembly of States Parties Hukum, sesungguhnya untuk mengetahui :
(Majelis negara-negara peserta). siapakah yang dapat mempunyai hak dan
Berdasarkan hubungan demikian, dapat kewajiban menurut hukum? Di dalam
diketahui bahwa ICC benar-benar suatu hukum, siapapun yang ditetapkan sebagai
lembaga (organisasi) Internasional yang subjectum juris (subyek hukum), sudah
mandiri, sehingga antara ICC dengan PBB dapat dipastikan, ia akan memiliki
memiliki status yang sederajat (ICC tidak ”wewenang hukum” (rechtsbevoegheid).
berada di dalam struktur organisasi PBB, Jika tindakan subyek hukum tadi
sekalipun ICC dibentuk atas prakarsa PBB). bertentangan dengan “wewenang
Dengan demikian, ICC sebagai lembaga hukum”nya, maka ia harus dapat
pengadilan pidana Internasional dalam mempertanggungjawabkannya segala
rangka penegakan dan penerapan tindakannya itu di depan hukum.
hukumnya akan benar-benar suprematif, Di dalam HPI, semula belum terdapat
mandiri bersifat permanen, serta impartial kesatuan pendapat mengenai siapa-siapa
sesuai prinsip due process of law. saja yang dapat dikualifikasikan sebagai
subjectum juris. Namun jika berpegang
b. P r i n s i p Pe r t a n g g u n g j awa b a n pada pendapat Bassiouni tentang
Pidana Dalam HI dan HPI pengertian HPI (International Criminal
19
Pertanggungjawaban pidana (PJP) Law), maka semuanya akan menjadi
merupakan salah satu element pokok jelas.
dalam sistem Hukum Pidana, dalam rangka

19
Istilah International Criminal Law agar dibedakan dengan istilah ”Transnasional Law”. Istilah yang disebut terakhir ini
pertama kali dikemukakan oleh Philip Jesus, ahli HI terkemuka Amerika Serikat. Ia menamakan ”Transnational Law”,
di samping istilah ”Hukum Internasional”. Terkait dengan kejahatan, istilah tersebut pertama kali diakui di dalam UN
Convention Against Transnational Crime (2000). Di dalam Konvensi tersebut istilah ”transnational” dikaitkan dengan
masalah yurisdiksi suatu negara, yang dibedakan dalam yurisdiksi yang bersifat ”mandatory” dan ”non-mandatory”.
Yurisdiksi yang bersifat ”mandatory” hanya diberlakukan terhadap kejahatan yang terjadi di dalam wilayah suatu
negara (locus delicti). Sedangkan Yurisdiksi yang bersifat ”non-mandatory” diberlakukan :
a. untuk kejahatan yang dilakukan terhadap korban warga negara dari negara yang bersangkutan,
b. kejahatan dilakukan oleh warga negara dari negara yang bersangkutan atau ”stateless” yang bertempat tinggal di
negara yang bersangkutan,
c. untuk kejahatan dilakukan di luar batas wilayah negara yang bersangkutan tetapi dipandang sebagai dilakukan di
wilayah negara yang bersangkutan. (Romli Atmasasmita, Loc.Cit.)
Berkaitan dengan ”Kejahatan Transnasional”, Boister mengusulkan adanya istilah ”Transnational Criminal Law”,
alasannya antara lain, karena pada dewasa ini dapat dibedakan antara ”International Criminal Law Stricto Sensu (dalam
arti sempit) yang memuat ”core crimes”, yang berbeda dari ”crimes of internationals concern” yang juga dinamakan
”Treaty Crimes”. Yang terakhir inilah oleh Boister ingin dinamakan sebagai perhatian ”Transnational Criminal Law”.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 801


Bassiouni mengatakan : derivasi dan perkembangan dari Hukum
“International Criminal Law is product Pidana Nasional (HPN). Jadi dapat
of the convergence of two legal dikatakan, bahwa HPI merupakan bagian
deciplines which have emerge and integral dari HI dan HPN. Sinergi dengan
developed along differents paths to postulat di atas, dapat diidentifikasi bahwa
become complementary and yang menjadi subjectum juris dalam HPI,
coextensive. They are the criminal adalah subjectum juris sebagaimana
law aspects of international law and the ditetapkan dalam HI dan HPN. Subjectum
international aspects of national juris dalam HI, menurut Mochtar
20
criminal law. Kusumaatmadja dengan menggunakan
pendekatan teoritis hanya ”negara” yang
Mengacu pada inti pendapat di atas, dikatakan sebagai subyek HI. Sedangkan
sesungguhnya HPI adalah suatu hasil ditinjau dari pendekatan praktis, di
konvergensi dari dua disiplin hukum, yang samping ”negara” terdapat subyek-subyek
telah muncul dan berkembang secara HI lainnya, termasuk ”individu” yang hanya
berbeda namun saling melengkapi dan mempunyai hak-hak dan kewajiban secara
mengisi. Kedua disiplin hukum tersebut terbatas. Dengan demikian, menurut
adalah aspek-aspek pidana dari Hukum Mochtar Kusumaatmadja subyek-subyek
Internasional dan aspek-aspek HI meliputi : a. Negara; b. Tahta Suci
Internasional dari Hukum Pidana. (Vatican); c. Palang Merah Internasional; d.
Dengan demikian, apapun yang menjadi Organisasi Internasional; e. Individu; dan f.
“aspek-aspek dari kedua disiplin tersebut, Pemberontak dan pihak dalam
otomatikeli menjadi lingkup kajian dari bersengketa.21
HPI. Pendapat Bassiouni di atas, Sedangkan subjectum juris HPN, tidak
sepenuhnya menjadi pegangan bagi lagi hanya ”individu/orang”, tetapi juga
penulis, karena HPI di satu pihak ”badan hukum/korporasi”. ”Badan hukum”
sesungguhnya memang merupakan sebagai subyek HPN sudah tidak menjadi
derivasi dan perkembangan dari HI yang perdebatan lagi. Para doctorum
secara khusus mengkaji tindakan-tindakan (doktrinal) beserta kebijakan-kebijakan
yang secara kriminologikal bertentangan legislasi yang ada telah mengatur dan
dengan norma-norma publik dari menetapkan ”badan hukum” sebagai
masyarakat Internasional. entitas yang dapat mendukung hak dan
Di pihak lain, HPI juga merupakan kewajiban, sehingga ia dapat menuntut

Dengan demikian, akan diperoleh padanan doktrinal untuk konsep Kriminologi ”transnational crimes”. Jadi menurut
Boister, transnational crimes adalah konsep Kriminologi bukan konsep yuridis. Dimaksud dengan transnational crimes
adalah ”certain criminal phenomena transcending international borders, transgressing the laws of national states or
having an impact on another country”. Dikatakan pula, Transnational Criminal Law dapat disandingkan dengan istilah
”Transnational Law” yakni : ”law which regulates actions or events that transcend national frontiers”. Neil Boister dalam
Mardjono Reksoddiputro, Multikuturalisme dan Negara-Nasion serta Kejahatan Transnasional dan Hukum Pidana
Internasional(Pemikiran Awa ldan Catatan untuk Direnungkan), Makalah dalam Seminar Nasional “Pengaruh
Globalisasi terhadap Hukum Pidana dan Kriminologi menghadapi Kejahatan Transnasional”, ASPEHUPIKI,
Bandung,17 Maret 2008, hlm. 8.
20
Cherif Bassiouni, International …, p. 2.
21
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, 1978.

802 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


dan ditunut di depan pengadilan. Di dalam perbuatan-perbuatan jahat demikian
Hukum Pidana dengan diberikannya itu dilakukan oleh ”individu/ orang”
kewenangan hukum untuk bertindak, dan ”badan hukum / korporasi”;
maka ia pun dapat di-PJP-kan, sehingga ”organisasi internasional”, ”negara”,
dengan sendirinya pula dapat pidana. atau oleh subyek HI lainnya?
Berdasarkan deskripsi di atas dapat Jika subyek-subyek HPI itu dapat
disimpulkan, bahwa subyek HPI dalam arti melakukan Kejahatan Internsional
luas meliputi semua entitas yang (dan juga Kejahatan Transnasional),
ditetapkan sebagai subyek hukum dalam maka timbul persoalan ikutannya,
HI maupun dalam HPN. Sedangkan subyek yakni :
HPI dalam arti sempit (dalam arti yang 2) ”Bagaimana PJP terhadap subyek HPI
sesungguhnya) karena secara riil dapat atas Kejahatan Internasional (dan juga
melakukan Kejahatan Internasional Kejahatan Transnasional) yang telah
adalah: dilakukannya itu”?
1) individu/orang; Di dalam tulisan ini pembahasannya
2) badan hukum/korporasi; hanya difokuskan kepada PJP terhadap
3) negara. suyek HPI berupa ”individu/orang” dan
Subyek-subyek HPI di atas sebagai ”negara”, serta ”pertanggungjawaban
suatu entitas riil memang secara riil dalam negara” menurut Hukum HAM.
realitanya bisa melakukan suatu ”tindakan
hukum”, karena memiliki ”wewenang 1) Pe r t a n g g u n g j awa b a n P i d a n a
hukum” dalam bertindak. Ini berarti, Terhadap Individu/Orang Dalam
subyek-subyek HPI dapat menjadi HPI
”pendukung hak” dan ”kewajiban hukum”. Penetapan individu sebagai subyek HI
Sebagai pendukung hak dan kewajiban, pada mulanya menimbulkan banyak
konsekuensinya hukumnya ia pun dapat perbedaan pendapat dari kalangan para
menuntut dan dituntut di depan ahli HI. Tentu hal demikian berimplikasi
pengadilan (MI) jika ia dirugikan atas pada HPI sebagai bagian yang tidak
pebuatan subyek HPI lain, atau terpisahkan dari disiplin HI. Ada pendapat
perbuatannya sendiri menimbulkan yang menyetujuinya, tapi ada pula yang
kerugian bagi subyek HPI yang lain. bersebrangan. Namun, sejak
Subyek HPI jika disinergikan dengan diformulasikannya Article 6 Nuremberg
obyek hukumnya yakni Kejahatan Charter yang substansinya menetapkan
Internsional (bisa juga Kejahatan bahwa:
Transnasional), maka menimbulkan
persoalan penting yang memerlukan ”Crimes against international law are
kajian komprehensif dalam studi HPI, commited by men, not by abstract
yakni : entities, and only by punishing
1) ”Apakah subyek-subyek HPI itu dapat individuals who commit such crimes
melakukan Kejahatan? Dengan can the provisions of international law
perkataan lain, ”apakah mungkin be enforced”,

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 803


tetapi untuk tujuan-tujuan tertentu,
dan norma hukum tersebut diperkuat lagi individu dapat diPJPkan atas
oleh PBB, bahkan dipertegas bahwa sistem kejahatan - kejahatan yang
PJP adalah dengan direct individual dilakukannya, seperti kejahatan
criminal responsibility tanpa terikat pada terhadap keamanan, kejahatan
ketentuan Hukum (Pidana) Nasional, maka terhadap kemanusiaan dan kejahatan
pada akhirnya para ahli HI menyepakati, perang”.
bahwa individu dapat ditetapkan sebagai
subyek HI. Brownlie lebih tegas mengatakan :
Pendapat menyetujui, termasuk “… Yet there is no rule that the individual
pendapat Mochtar Kusumaatmadja can not have some degree of legal
sebagaimana telah disitasi di atas. personality for certain purposes. Thus,
Demikian juga Brownlie yang pada the individual as such is responsible for
pokoknya menyatakan, bahwa : crimes against peace and humanity and
for war crimes. Treaties may confer
“negara ditetapkan sebagai subyek HI procedural capacity on individual
karena memiliki “procedural capacity” before international tribunals”.22
di hadapan mahkamah yang
melaksanakan yurisdiksi Sehubungan dengan hal di atas, jika
Internasional. Namun oleh karena mengacu pada sumber HPI, baik yang
tidak ada ketentuan Internasional bersumber dari HI, seperti Perjanjian-
yang menyatakan, bahwa individu perjanjian Internasional maupun
untuk tujuan-tujuan tertentu harus bersumber dari putusan-putusan Badan
memiliki “procedural capacity”, maka Peradilan Internasional, maka sebagian
individu pun dapat membawa claim besar pelaku kejahatannya adalah
Internasionalnya di hadapan individu. Misalnya konvensi tentang
mahkamah yang melaksanakan kejahatan penerbangan yang diatur dan
yurisdiksi Internasional. Memang ditetapkan dalam Konvensi Tokyo 1963,
pada mulanya dalam HI, individu tidak Konvensi Den Haag 1970 dan Konvensi
dapat membawa tuntutannya secara Montreal 1976. Konvensi Tunggal tentang
Internasional, sehingga ia pun tidak Narkotika 1976, dan Konvensi-konvensi
dibebani pertanggungjawaban untuk tentang Ekstradisi. Sedangkan yang
setiap pelanggaran yang dilakukannya bersumber dari putusan-putusan Badan
terhadap kewajiban-kewajiban yang Peradilan Internasional, adalah putusan
ditetapkan oleh hukum nasionalnya, Mahkamah Militer Internasional
karena kewajiban - kewajiban Nuremberg (1946), Mahkamah Militer
demikian itu menjadi tanggungjawab pada Peradilan Tokyo (1948), Mahkamah
pemerintah dan negaranya. Akan Kejahatan Perang untuk mengadili

22
Ian Brownlie, dalam H. Hata, Individu Dalam Hukum Internasional, STHB Press, Bandung, 2005,Hlm.1.

804 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


berbagai kasus kejahatan kemanusiaan di Pengadilan Administrasi di lingkungan
bekas jajahan Yugoslavia (1993), PBB. Sedangkan Badan-badan Peradilan
Mahkamah Ad Hoc di Rwanda (1994), Nasional yang oleh hukum nasionalnya
Mahkamah Peradilan ad hoc di Darfour diberi kewenangan untuk menangani
(2005) dan di Cambodia (2006). masalah-masalah HI, dan menjalankan
Perkembangan pesat PJP terhadap yurisdiksinya tersebut sesuai dengan HI
individu demikian itu terutama setelah PD juga dianggap sebagai badan peradilan
23
II berakhir. Sedangkan pelaksanaan PJP yang melaksanakan yurisdiksi
terhadap individu ini, dilakukan pada Internasional.24
mahkamah yang dibentuk berdasarkan Berkaitan dengan hal-hal tersebut, di
Perjanjian Internasional, dan pada dalam HI terdapat 3 (tiga) jenis mahkamah
Pengadilan Nasional yang diberi yurisdiksi yang dianggap melaksanakan yurisdiksi
Internasional. Internasional, yaitu :
Di dalam HI selain terdapat 1) Mahkamah yang dibentuk oleh suatu
”Mahkamah yang dibentuk berdasarkan Perjanjian Internasional
Perjanjian Internasional”, yakni mahkamah 2) Mahkamah di lingkungan Organisasi
yang oleh HI diberi wewenang untuk Internasional, dan
melaksanakan yurisdiksi Internasional 3) Pengadilan Nasional yang diberi
terhadap persoalan hukum yang tidak Yurisdiksi Internasional
termasuk ke dalam yurisdiksi nasional,
juga terdapat ”Pengadilan Nasional yang a) Pelaksanaan Pertanggungjawaban
diberi Yurisdiksi Internasional”, yaitu Individu pada Mahkamah yang
badan-badan peradilan nasional yang oleh dibentuk berdasarkan Perjanjian
hukum nasionalnya diberi kewenangan Internasional.
untuk menangani masalah-masalah HI, Aplikasi PJP terhadap individu, dalam
serta menjalankan yurisdiksinya tersebut ranah HI (sebagai cikal bakal
sesuai dengan HI. diakuinya HPI), untuk kali pertama
Mahkamah yang melaksanakan diterapkan pada Mahkamah yang
yurisdiksi Internasional adalah setiap dibentuk berdasarkan Perjanjian
mahkamah yang menangani persoalan Internasional, yakni Mahkamah
hukum yang tidak termasuk ke dalam Militer Internasional Nuremberg
yurisdiksi nasional yang dibentuk (1946), dan Mahkamah Militer pada
berdasarkan Perjanjian Internasional, Peradilan Tokyo (1948).25 Pada era
maupun pengadilan-pengadilan yang sembilan belas sembilan puluhan,
menjalankan fungsinya di lingkungan mahkamah seperti ini dibentuk lagi,
organisasi Internasional, seperti yakni Mahkamah Kejahatan Perang

23
Sebagaimana telah dipaparkan di muka, tidak demikian halnya ketika terjadi PD I. Terhadap penjahat PD I tidak
berhasil dilakukan penuntutan dan penjatuhan pidana menurut HI, karena Perjanjian Versailes yang telah disepakati
untuk mengakhiri PD I pada Pasal 227-nya telah gagal diaplikasikan. Padahal pasal tersebut memberikan kewenangan
untuk memPJPkan para penjahat perang.
24
Brownlie, dalam Ibid. hlm. 7.
25
Mahkamah Militer Internasional Nuremberg ini dibentuk berdasarkan kesepakatan yang dituangkan ke dalam sebuah

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 805


untuk mengadili berbagai kasus selain negara. Semua terdakwa
kejahatan kemanusiaan di bekas seharusnya sudah mengetahui,
jajahan Yugoslavia (1993), dengan bahwa perbuatannya adalah
resolusi Dewan Keamanan PBB No. melawan hukum, dan salah serta
827 tanggal 25 Mei 1993. Selanjutnya m e r u p a ka n p e ny i m p a n ga n
26
dibentuk lagi Mahkamah Ad.Hoc di terhadap HI”.
Rwanda (1994) dengan Resolusi
Dewan Keamanan PBB No. 977 tanggal Mahkamah dimaksud dalam
22 Pebruari 1995. Perkembangan pemidanaannya terhadap para pelaku
terakhir telah pula dibentuk peradilan kejahatan yang terbukti bersalah,
ad.hoc di Darfour (2005) dan di telah menjatuhkan pidana penjara
Cambodia (2006). sebanyak 2 orang, pidana seumur
Berdasarkan putusan-putusan hidup sebanyak 3 orang, dan bahkan
pemidanaan dari MI di atas, berarti pidana mati sebanyak 12 orang.
pelaku kejahatan secara individual di Sedangkan Mahkamah Militer pada
samping diakui sebagai subyek HI juga Peradilan Tokyo, telah menjatuhkan
sekaligus dapat diPJPkan secara pula pidana mati sebanyak 7 orang,
pidana untuk membuktikan seumur hidup sebanyak 16, dan
kesalahannya. Khusus PJP terhadap pidana penjara sebanyak 2 orang.27
individu, putusan pemidanaan dari Bertitik tolak dari deskripsi di atas,
Mahkamah Militer Internasional dapat dikatakan bahwa putusan
Nuremberg (1946) inilah, untuk Mahkamah Militer Internasional
pertama kalinya individu ditetapkan Nuremberg 1946 telah diakui sebagai
sebagai subyek HI selain negara. prinsip-prinsip Nuremberg dan
Mahkamah ini menegaskan, bahwa : merupakan inti dari HPI sampai
dengan diadopsinya Statuta ICC pada
”HI sudah lama mengakui dan Konperensi diplomatik di Roma pada
meletakan kewajiban serta tanggal 17 Juli 1998. Sebelumnya,
tanggungjawab terhadap individu pada tanggal 9 Desember 1948

Konvensi Internasional yang dibuat oleh negara-negara pemenang PD II di London pada tanggal 8 Agustus 1945
sehingga disebut London Agreement. Perjanjian London yang ditanda-tangani oleh Pemerintah Inggris, Irlandia Utara,
Amerika Serikat, Pemerintah Sementara Republik Perancis, dan Pemerintah Uni Sovyet, menghendaki agar para
penjahat perang yang kejahatannya tidak memiliki geografis tertentu supaya diadili dalam suatu Mahkamah Militer
Internasional (International military Tribunal). Perjanjian London ini jugalah kemudian digunakan sebagai Piagam
atau Charter pada mahkamah tersebut di Nuremberg dan di Tokyo. Ternyata belakangan terdapat beberapa negara
menyatakan turut serta dalam Perjanjian London tersebut, yakni Yunani, Denmark, Yugoslavia, Netherlands,
Chekoslovakia, Polandia, Belgia, Ethiopia, Australia, Honduras, Norwegia, Panama Luxemburg, Haiti, Slandia Baru,
India, Venezuela, Uruguay, dan Paraguay. Sejak berlakunya Perjanjian London 1945 ini, kemudian ditindaklanjuti
dengan pembentukan Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg (1946) dan di Tokyo (1948). Pada mahkamagh
inilah kedudukan individu sebagai subyek HI secara de jure dan de facto ditetapkan, dan dapat dimintakan PJP secara
langsung pada tatataran Internasional melalui Badan Peradilan Pidana Internasional. Sejak dibentuknya mahkamah
ini, selanjutnya dibentuk lagi mahkamah-mahkamah pengadilan internasional ad.hoc lainnya, seperti telah disebutkan
di atas. PJP terhadap individu sudah tidak lagi diperdebatkan oleh para doctorum HI, bahkan telah ditetapkan dalam
konvensi-konvensi Internasional.
26
J.G. Starke, Introduction to International Law, Ninth Edition, London, 1984, p. 60.
27
Schwarzenberger, dalam Romli Atmasasmita, Op.Cit., hlm. 12.

806 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


Mahkamah Militer Internasional o l e h ka re n a i t u d a p a t
Nuremberg yang mengadili kejahatan dipidana). Singkatnya :
genosida dan kejahatan kemanusiaan, ”Setiap orang yang
kaidahnya dikodifikasi ke dalam melakukan kejahatan
United Nation Convention on the menurut HI dapat di-PJP-kan
Prevention and Punishment of the dan dapat dipidana”.
Crime of Genocide (lebih dikenal Menurut prinsip ini yang
dengan Convention of Genocide perlu digarisbawahi adalah :
(1948)). “'orang' yang melakukan
kejahatan menurut HI” (any
(1) Prinsip-prinsip PJP Terhadap person who commits an act
Individu dalam HPI which consitutes a crime
Setelah berdirinya ICC, prinsip- under international law).
prinsip HPI tersebut “Tidak pandang bulu”,
keberadaannya semakin ajeg. apapun kedudukan dan atau
Semua ini merupakan mata rantai jabatan orang tersebut, jika
yang berkesinambungan yang ia telah terbukti bersalah
pada dasarnya berlandaskan pada melakukan kejahatan
prinsip-prinsip yang ditetapkan di menurut HI, maka ia dapat
dalam Perjanjian London 1945 di-PJP-kan, dan dapat
sebagaimana dipaparkan pada dijatuhi pidana. Jadi,
catatan kaki nomor 26 di atas. menurut prinsip ini subyek
Prinsip-prinsip tersebut yang hukum yang dimaksud
pada tahun 1950 diformulasikan adalah “setiap orang”.
oleh ICL yang berkaitan dengan (b) Prinsip II : “The fact that
PJP terhadap individu adalah : internal law does not impose
Prinsip I sampai dengan IV, yang a penalty for an act which
formulasinya masing-masing consitutes a crime under
ditetapkan sebagai berikut : international law does not
(a) Prinsip I : ”Any person who relieve the person who
co m m i t s a n a c t w h i ch commited the act from
constitutes a crime under responsibility under
international law is international law”.
responsible therefor and (Sudah menjadi suatu fakta,
liable to punishment”. jika hukum nasional tidak
(Seseorang yang melakukan memaksakan pemidanaan
perbuatan dan terhadap suatu perbuatan
perbuatannya tersebut yang merupakan kejahatan
merupakan kejahatan menurut HI, tidak
menurut HI dapat membebaskan orang yang
dipertanggungjawabkan dan melakukan perbuatan

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 807


tersebut dari pertanggung- dari PJP menurut HI”.
jawaban menurut HI). Menurut prinsip ini
Singkatnya : “Pelaku seseorang kepala negara
Kejahatan Internasional atau pejabat pemerintah
tidak bebas dari PJP menurut bertanggungjawab terhadap
HI, jika hukum nasionalnya perbuatan yang
tidak memaksakan dilakukannya, dan apa bila
pemidanaan terhadap orang perbuatannya tersebut
tersebut”. Tujuannya adalah berdasarkan HI merupakan
untuk menghindari kejahatan, maka ia pun dapat
impunitas oleh individu yang di-PJP-kan dan karenanya
dinilai benar-benar telah dapat dibidana”.
melakukan perbuatan- (d) Prinsip IV : “The fact that a
perbuatan yang menurut HI person acted persuant to
adalah kejahatan (an act order of his Government or of
which consitutes a crime superior does not relieve him
under international law) from responsibility under
(c) Prinsip III : “The fact that a international law, provided a
person who commited an act moral choice was in fact
which constitues a crime possible to him”.
under international law (Sudah menjadi suatu fakta
acted as a Head of State or bahwa seseorang melakukan
responsible Government perbuatan atas perintah dari
official does not relieve him Pemerintahnya atau dari
from responsibility under orang yang memiliki
international law”. kekuasaan lebih tinggi tidak
(Sudah menjadi suatu fakta, membebaskannya dari
bahwa seseorang yang pertanggungjawaban
melakukan suatu perbuatan menurut HI, selama dalam
yang merupakan kejahatan kenyataannya ada pilihan
menurut HI dan perbuatan moral yang memungkinkan
tersebut dilakukan dalam ia untuk tidak melakukan
kedudukannya sebagai perbuatan yang
Kepala Negara atau sebagai diperintahkan kepadanya).
pejabat Pemerintah yang Singkatnya : “Seseorang yang
bertanggung-jawab, tidak menjalankan perintah
membebaskan ia dari jabatan, tidak membebaskan
pertanggungjawaban ia dari PJP menurut HI”.
menurut HI). Singkatnya : : Menurut prinsip ini yang
“Seorang Kepala negara atau perlu digarisbawahi adalah :
pejabat negara tidak bebas “apakah ketika orang itu

808 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


dalam mengahadapi situasi M a h ka m a h ( P i d a n a )
konkrit masih terdapat Internasional, karena
tindakan-tindakan moralitas perbuatan yang
lain yang secara obyektif diperintahkannya itu
dapat dipilih, selain merupakan kejahatan
melakukan perbuatan yang menurut HI. Berdasarkan
diperintahkannya yang “jiwa” dari prinsip di atas,
merupakan kejahatan yakni melindungi
menurut HI”. masyarakat sipil dari
Jika masih terdapat tindakan perbuatan - perbuatan
moralitas lain yang dapat biadab yang dilakukan
dipilih, seharusnya ia secara meluas atau
mengutamakan tindakan sistematik oleh individu,
demikian itu, sehingga ia maka individu tersebut
dapat berbuat lain untuk secara imperatif tidak harus
tidak melakukan perbuatan melakukan apa yang
yang secara obyektif (atau diperintahkan. Seandainya
paling tidak menurut masih tetap dilaksanakan,
penilaiannya sendiri) berarti orang tadi atau
merupakan perbuatan atasan yang bersangkutan
biadab, di luar batas telah melanggar “jiwa” dari
kemanusiaan, bersifat anti prinsip dimaksud di atas.
sosial, yang menjadi kontent Itulah sebabnya, alasan atas
dari substansi perintah perintah jabatan (superior
jabatan tersebut. order) tidak menyebabkan
Memang merupakan yang bersangkutan bisa
sesuatu yang sangat sulit dibebaskan dari PJP
bagi penerima perintah, apa menurut HI. Sebaliknya, ia
lagi bagi seorang prajurit, baru bisa bebas dari PJP
tentu menjadi suatu yang menurut HI, bila ia mampu
sangat dilematis. Di satu berbuat lain selain yang
pihak, sanksi apa yang akan diperintahkan, karena
dikenakan oleh atasan atau perbuatan yang
kesatuannya sebagai akibat diperintahkan secara
dari tidak melaksanakan obyektif atau menurut
perintah, sudah sangat pasti penilaiannya sendiri adalah
diketahui. Di pihak lain, jika merupakan perbuatan
ia melakasanakan atau biadab, di luar batas
merealisasikan apa yang kemanusiaan, dan bersifat
diperintahkan, tentu pula anti sosial.
mendapat sanksi pidana dari

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 809


(2) PJP Dalam Statuta Roma pragraph 1 dan 2 Article 25 di
Sebagaimana telah dikatakan di bawah titel “Individual criminal
muka, prinsip-prinsip PJP dalam responsibility” sebagai berikut :
Piagam Mahkamah Militer 1. The Court shal have jurisdiction
Internasional Nuremberg (1946) over natural persons persuant to
yang diterapkan untuk mengadili this Statute.
penjahat PD II, eksistensinya telah 2. A person who commit a crime
diadopsi oleh Statuta Roma, within the jurisdiction of the
karena Statuta Roma sebagai Court shall be individually
International Criminal Policy by responsible and liable for
penal juga mengakui prinsip punishment in accordance with
individu sebagai subyek HPI, dan this Statute.
menganut sistem PJP secara
langsung terhadap individu pelaku Berkaitan dengan prinsip PJP di
tanpa terikat pada ketentuan atas, menurut Article 27 Statuta
28
Hukum (Pidana) Nasional. Roma di bawah judul “Irrelevance
Kebijakan faktual demikian itu of official capacity” ditetapkan hal-
sangat jelas diformulasikan dalam hal sebagai berikut :
Article 1 Statuta Roma, sebagai 1. The Statute shall apply equally
berikut : to all persons without any
“An International Criminal Court distinction based on official
(“the Court”) is hereby established. capacity. In particular, official
It shall be permanent institution capacity as a Head of State or
and shall have the power to exercise Government, a member of a
its jurisdiction over persons for the Government or parliament, an
most serious crimes of elected presentative or a
international concern, as referred government official shall in no
to in this Statute, and shall be case exempt a person from
complemantary to national criminal responsibility under
criminal jurisdiction. The this Statute, nor shall it, in and of
jurisdiction and functioning of the itself, constitute a ground for
Court shall be governed by the reduction of sentence.
provisions of this Statute”. 2. Immunities or special
procedural rule which may
Prinsip PJP terhadap individu di attack to the official capacity of
dalam Statuta Roma a person, wether under national
diformulasikan di dalam or international law, shall not

28
Namun demikian, ICC tidak memiliki yurisdiksi personal terhadap individu (persons) yang berusia kurang dari 18
tahun. Ini berarti individu berusia demikian tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana. Article
26 Statuta Roma di bawah titel “Exclusion of jurisdiction over persons under eighteen” menetapkan, bahwa : “The Court
shall have no jurisdiction over any person who was under the age of 18 at the time of the alleged commission of crime”.

810 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


bar the Court from excercising dilakukan yang menjadi yurisdiksi
its jurisdiction over such a kriminal dari ICC sebagaimana
person. ditetapkan dalam Article 5
paragraph 1, yakni “the crime of
Berdasarkan ketentuan Statuta genocide”, “crimes against
Roma di atas, ICC diberi humanity”, “war crimes”, dan “the
kewenangan untuk crime of aggression”.
menyampingkan status resmi
pelaku kejahatan, apakah ia itu Tanggungjawab seorang
seorang kepala negara, kepala komandan muncul, jika kejahatan
pemerintahan, pejabat yang terjadi menjadi
pemerintah, anggota parlemen. tanggungjawabnya dan secara
Semua itu tidak mengecualikan efektif berada di bawah
yang bersangkutan lepas dari PJP. kendalinya. Dan ia mengetahui
Begitu pula, bila yang atau seharusnya mengetahui,
bersangkutan menikmati hak bahwa pasukan di bawah
istimewa dan kekebalan yang komandonya itu bermaksud
terikat dengan jabatan resminya, melakukan kejahatan. Atau ia
tidak menjadi alasan pula baginya gagal mengambil langkah-langkah
untuk menghindar dari PJP atas yang diperlukan dan bersifat
kejahatan yang dilakukannya. rasional untuk mencegah atau
Apa yang ditegaskan dalam Artikel mengurangi terjadinya kejahatan
27 di atas, menurut I Wayan tersebut. Tanggungjawab pidana
29
Parthiana, tampaknya diadopsi demikian ini berlaku pula
dari Pinsip ke III dari Prinsip- terhadap orang yang
prinsip dalam Piagam dan Putusan berkedudukan sebagai atasan
Mahkamah Nuremberg 1945 (superior). Atasan demikian ini,
sebagaimana telah disitasi di atas. tidak dapat menghindarkan diri
Kemudian bagaimana PJP dari PJP, dengan dalih bahwa
terhadap orang yang berstatus kejahatan itu tidak dilakukan
komandan militer dan superior olehnya tetapi oleh bawahannya,
lainnya dalam Statuta Roma? atau kejahatan itu terjadi di luar
Menurut ketentuan Article 28 di kemampuan untuk
bawah judul “Responsibility of mengendalikannya.
commanders and other superiors”, Sehubungan dengan
mereka yang berstatus demikian tanggungjawab atasan, kemudian
itu juga tidak bisa lepas dari “bagaimana dengan
tanggungjawabnya secara pidana tanggungjawab bawahan yang
atas kejahatan-kejahatan yang mendapat perintah dari atasan”?

29
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, Bandung, 2006, hlm. 212.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 811


bahwa perintah itu bersifat
Article 33 Statuta Roma melawan hukum;
menegaskan, bahwa : c. Perintah tersebut tidak secara
1. The fact that a crime within the nyata bersifat melawan hukum.
jurisdiction of the Court has been
committed by a person pursuant Namun demikian, paragraph 2
to an order of a Government or of dari Article 33 ini menegaskan,
a superior, whether military or bahwa alasan-alasan tersebut
civilian, shall not relieve that tidak dapat diterapkan terhadap
person of criminal responsibility, perintah untuk melakukan
unles : kejahatan genosida dan kejahatan
a. The person was under a legal terhadap kemanusiaan.
obligation to obey orders of
the Government or the b) Pelaksanaan Pertanggungjawaban
superior in question; Individu pada Pengadilan Nasional
b. The person did not know that ya n g d i b e r i Yu r i s d i k s i
the orders was unlawful; and Internasional.
c. The order was not manifestly Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa
unlawful. individu dapat pula dimintakan PJP-nya di
2. For the purposes of this article, hadapan Pengadilan Nasional yang
orders to commit genocide or menjalankan yurisdiksi Internasional.
crimes against humanity are Beberapa kasus yang dikemukakan di
manifestly unlawful. bawah ini akan lebih dapat memahami
pokok permasalahan.
Secara singkat, Article 33 (yang Pengadilan Militer Inggris di Hamburg
sejiwa dengan Prinsip IV pada tahun 1946 telah memidana mati
Mahkamah Nuremberg 1945 sejumlah orang sipil berkebangsaan
sebagaimana telah disitasi di atas) Jerman, karena terbukti bersalah
menegaskan, bahwa seseorang mensuplai gas beracun yang biasa dipakai
yang menjalankan perintah dari di kamp-kamp pemusnahan. Pada kasus
pemerintahnya ataupun dari lain, Pengadilan Militer Inggris di
atasannya, baik militer atau sipil, Brunswick juga telah mengadili sejumlah
tidak membebaskan orang penduduk sipil Jerman yang didakwa
tersebut dari tanggungjawab melakukan pembunuhan terhadap anak-
pidana, kecuali kalau : anak Polandia yang ibunya dideportasikan.
a. Orang tersebut berada dalam Contoh lain dari Pengadilan Nasional
kewajiban hukum untuk yang menjalankan yurisdiksi Internasional
mentaati perintah dari ini, khususnya setelah selesai PD II, adalah
Pemerintah atau dari pengadilan-pengadilan yang dibentuk oleh
atasannya; negara nasional (dalam hal ini negara-
b. Orang tersebut tidak tahu, negara sekutu). Negara Amerika dan

812 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


Inggris misalnya, telah membentuk d) perbuatan itu dilakukan atas nama
pengadilan militernya di daerah suatu negara asing.
pendudukan mereka di Jerman dan Itali. Pengadilan Israel dalam
Begitu pula di Belgia, Perancis, Belanda, jawabannya menyatakan, bahwa
Norwegia, Chekoslovakia, Polandia, dalam hal terjadi konflik hukum
Yugoslavia, dibentuk Pengadilan- antara hukum Israel dengan
pengadilan Nasional masing-masing untuk prinsip-prinsip HI, maka pengadilan
mengadili dan memidana orang-orang a ka n m e m b e rl a ku ka n h u ku m
yang terbukti bersalah melakukan Israel.30 Selanjutnya, Pengadilan Israel
kejahatan perang. dengan menggunakan “Nazi
Kasus lain yang menarik adalah Collaborators (Punishment) Law”
Pengadilan Nasional Israel telah mengadili sebagai dasar legalitas untuk
Adolf Eichman, seorang tokoh Nazi yang mengadili Eichman. Section 1 (a) dari
dituduh melakukan pembunuhan masal dasar hukum tersebut menetapkan:
terhadap orang-orang Yahudi. Setelah “A person who has commited one of
perang selesai, dia berhasil meloloskan diri the following offences :
dari Jerman dan bersembunyi di negara 1) did, during the period of the Nazi
Argentina. Pemerintah Israel mengetahui Regime, in a hostile country, an act
kalau Eichman bersembunyi di negara constituting a crime against the
Argentina. Melalui agen-agen Israel Jewish people;
kemudian Eichman diculik dari negara 2) did, during the period of Nazi
Argentina dan diadili di Israel, dengan Regime, in a hostile country, an act
ancaman “Nazi Collaborators (Punishment) constituting a crime against
Law”. humanit;
Di hadapan pengadilan, Eichman 3) did, during the period of the Second
mengajukan pembelaan bahwa World War, in a hostile country, an
penuntutan terhadap dirinya melanggar act constituting a war crime; is
31
ketentuan HI, karena pengadilan Israel liable to death penalty”.
telah mengadili :
a) individu bukan warga negara Menurut Penulis khusus terhadap
Israel; kasus Adolf Eichman juga terjadi pada
b) suatu perbuatan yang dilakukan di dekade terakhir ini, seperti yang
luar wilayah Israel, dan perbuatan dilakukan oleh Pemerintah Amerika
itu dilakukan sebelum negara Serikat terhdap Noriega sebagai
Israel berdiri; Presiden Panama. Ia dituduh telah
c) perbuatan itu dilakukan dalam memasok heroin ke wilayah negara
rangka menjalankan tugas dan Amerika Serikat, dan mengancam akan
kewajibannya; melakukan perang terhadap negara

30
Hata, Op.Cit., hlm. 78.
31
Ibid., hlm. 33

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 813


Amerika Serikat. Noriega diadili di agar negara lemah tersebut menuruti
Pengadilan Miami dan Pengadilan kehendak negara yang kuat secara militer
Tampa, negara bagian Florida dengan atau politik. Jika negara yang lemah tadi
tuduhan sebagai pendukung lalu lintas membalasnya secara militer, maka
narkotika illegal ke wilayah Amerika terjadilah konflik bersenjata
Serikat. Dan kita ketahui pula Sadam (peperangan). Jika hal demikian ini terjadi,
Husein sebagai Presiden Irak juga maka berlakulah Hukum Humaniter yang
ditangkap dan diadili di Amerika pengaturannya terdapat di dalam Konvensi
Serikat dengan tuduhan telah Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban
melakukan kejahatan kemanusiaan Perang, beserta Protokol I dan II Tahun
terhadap rakyatnya. 1997. (Seperti negara Irak dan Libia
diserang oleh tentara Amerika Serikat
2) Pertanggungjawaban Negara dalam beserta sekutunya).
HPI Contoh lain, baru-baru ini data
a) PJP Terhadap Negara mengenai kekuatan angkatan persenjataan
Sudah tidak diperlukan lagi penjelasan RI dicuri, pada saat Indonesia mengikuti
secara teoritikal terkait dengan entitas pameran senjata di Korea Selatan.
negara sebagai subyek HI. Namun yang Pencurian terjadi ketika pejabat Indonesia
masih tetap menjadi permasalahan adalah, yang ditugaskan untuk mengikuti pameran
apakah suatu negara dapat menjadi subyek tersebut sedang menghadap kepada
HPI? Apa bila kembali mengacu pada Presiden Korea Selatan. Demikian juga
definisi dari Bassiouni tentang pengertian baru-baru ini, masih pada dekade tahun
HPI, maka negara seharusnya dapat 2011, karena disebabkan oleh
menjadi subyek HPI, karena dalam HI ”keteledoran” yang dilakukan oleh
negara diakui sebagai subyek HI. Jika Pemerintah Amerika Serikat, terjadi
pendapat demikian diterima, lalu pembocoran ”rahasia negara Indonesia”
kejahatan internasional apakah yang dapat menyangkut kepentingan Presiden SBY
dilakukan oleh negara, dan bagaimanakah yang kemudian di-release oleh pers
sistem PJP-nya, serta jenis pidana macam Australia dan dimuat dikoran The Age.
apa yang dapat diancamkan atau tentu sangat dirugikan.
dijatuhkan? Contoh lain lagi, dapat juga suatu
Di dalam hubungan Internasional dari negara melakukan pelanggaran HAM berat
dahulu sampai sekarang, sering kali terjadi terhadap seseorang atau sekelompok
konflik antar negara yang penyelesaiannya orang yang menjadi warga negaranya
dilakukan dengan kekerasasan. Misalnya sendiri atau orang asing yang ada di dalam
negara lebih kuat menyerang negara yang wilayahnya. Perbuatan demikian ini yang
lemah secara militer, atau mengagresi atau dalam realitanya dilakukan oleh pejabat-
mengintervensi negara yang bersangkutan, pejabat pemerintah negara itu sendiri,
sehingga menimbulkan kerugian yang jelas merupakan kejahatan dan melanggar
cukup besar secara materiil. Tujuannya, Konvensi Anti Penyiksaan (1984). 3 2

814 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


Sedangkan negara itu termasuk negara pelaksana, penyelesaiannya adalah
yang sudah menjadi peserta pada Konvensi berdasarkan hukum nasional dari negara
tersebut. itu sendiri. Pejabat negara itu dapat
Negara-negara yang telah melakukan dikenakan tindakan administratif atau
perbuatan melalui agent-agent rahasianya pidana sesuai dengan derajat kesalahan
atau pejabat-pejabat negaranya atau oleh dan tanggungjawabnya berdasarkan
angkatan bersenjatanya yang mendapat hukum nasionalnya. Dengan kata lain,
perintah langsung dari atasannya, kerap pejabat negara ini tidak dapat diPJPkan
terjadi pada kenyataannya. Perbuatan- menurut HI, karena yang dilanggar adalah
perbuatan demikian itu dapat hukum nasionalnya sendiri. Namun,
dikualifikasikan sebagai suatu kejahatan penerapan pertanggungjawaban individu
yang tidak pantas dilakukan oleh suatu semacam ini, di dalam tataran hukum
negara melalui agent-agent rahasianya nasional baru dapat dilakukan, apabila
atau pejabat-pejabat negaranya atau sudah ada peraturan perundang-undangan
angkatan bersenjatanya yang mendapat yang mengaturnya. Terpenting lagi adalah,
perintah langsung dari atasannya atas negara itu sendiri memiliki ”kemauan” dan
nama negara. Namun kejahatan-kejahatan ”kemampuan politik” untuk menerapkan
demikian itu tidak termasuk “Four Core peraturan perundang-undangannya.
Crimes” yang menjadi jurisdiksi kriminal Namun, di dalam kenyataannya ada
ICC, kecual “kejahatan agresi”. negara-negara yang tidak memiliki
Mengenai kasus-kasus di atas jika kemauan (unwilling) dan atau tidak
dikaitkan dengan PJP, siapakah yang dapat memiliki kemampuan (unable) untuk
dimintakan PJP-nya ? Apakah “negara” itu menerapkan hukum nasionalnya. Sehingga
sendiri ataukah individu (pejabat negara) sipelakunya tetap tidak dimintakan
yang memerintahkannya, ataukah individu pertanggungjawaban pidananya atau
yang melakukan perbuatan itu ? Menjawab menikmati impunitas. Jika hal ini terjadi,
persoalan tersebut haruslah dibedakan sepanjang menyangkut kejahatan-
tanggungjawab dari masing-masing pihak kejahatan dalam kategori tertentu,
yang bersangkutan. Terdapat beberapa hal masyarakat internasional melalui Dewan
yang harus diperhatikan, yakni : Keamanan PBB dapat membentuk Badan
Pertama, tanggungjawab dari aparat Peradilan Internasional ad.hoc untuk
atau pejabat negara yang merencanakan mengadili sendiri orang yang
dan memerintahkan serta yang bersangkutan, sebagaimana yang sudah
melaksanakannya di lapangan. Masalah ini ditempuh dalam kasus bekas Yugoslavia
lebih tampak sebagai masalah domestik dan Rwanda atau mengadilinya melalui ICC
dari negara yang bersangkutan. Jika berdasarkan Statuta Roma 1998.
terbukti pejabat negara itu melakukannya, Kedua, tanggungjawab negara sebagai
baik sebagai perencana maupun sebagai pelaku terhadap negara korban, maupun

32
Konvensi Anti Penyiksaan (1984) mulai berlaku (enter into force) pada tanggal 26 Juni 1987 (Resolusi MU PBB No.
39/46, tanggal 10 Desember 1984) dikenal dengan Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 815


tanggungjawabnya terhadap masyarakat dapat pula diPJPkan. Hanya saja PJPnya
Internasional. Tanggungjawab inilah yang tidak berdasarkan kaidah HPI yang
dapat dipersoalkan, apakah berlaku. Melainkan berdasarkan
tanggungjawabnya itu adalah pertanggungjawaban menurut HI pada
tanggungjawab pidana, ataukah umumnya (responsibility of states in
tanggungjawab kontraktual? Oleh karena international law).
perbuatan tersebut misalnya telah Apa bila kebiasaan internasional
menimbulkan rasa khawatir dan rasa tidak seperti di atas tetap dipertahankan, negara
aman ataupun telah menimbulkan korban, karena ketidakpuasannya
kerugian materiil di kalangan negara- terhadap sanksi “ringan” yang dijatuhkan
negara lain, dapatlah dipandang bahwa oleh DK PBB kepada negara pelaku, dengan
perbuatan itu sudah merupakan kejahatan, segala justifikasinya tidak mustahil negara
karena itu tanggungjawabnya adalah tersebut akan membalas perbuatan negara
tanggungjawab kriminal. Persoalannya yang bersangkutan. HPI ke depan sudah
adalah, bagaimanakah perwujudan dari harus dapat mengantisipasi kemungkinan
tanggungjawab kriminal dari suatu negara perkembangan-perkembangan Kejahatan
di dalam HI? Apakah sama seperti Internasional termasuk negara sebagai
tanggungjawab individu di dalam HPI? pelakunya. Seperti kejahatan terorisme,
Dalam prakteknya, dalam kasus-kasus genosida, atau kejahatan berat HAM yang
semacam ini, negara-negara lebih banyak semuanya itu memiliki yurisdiksi
menyelesaikan melalui jalan diplomasi. Internasional, dalam realitanya dapat
Tegasnya menyelesaikan secara bilateral dilakukan oleh negara. Jika nyata-nyata
melalui negosiasi atau menyelesaikan suatu negara (apa lagi Non-State Party of
dengan mengajukan kasusnya ke hadapan ICC) melakukan perbuatan demikian dan
organ dari suatu Organisasi Internasional menghendaki akibatnya, sehingga
dimana para pihak menjadi anggotanya. menimbulkan kerugian materiil/imateriil
Misalnya, mengajukan kasusnya ke yang sangat besar bagi negara korban,
hadapan DK PBB sepanjang terpenuhinya maka tidak mungkin lagi terhadap negara
persyaratan untuk itu sebagaimana diatur pelaku diaplikasikan responsibility of states
di dalam Piagam PBB, maupun peraturan- in international law. Masyarakat
peraturan Internasional dari DK PBB. Jika Internasional harus mengaplikasikan
menurut DK PBB negara itu benar telah criminal responsibility in International
melakukannya, DK PBB memutuskan Criminal Law sebagai reaksinya, karena
resolusi yang isinya dapat berupa seruan, perbuatan yang dilakukan jelas-jelas
kutukan, atau kecaman terhadap negara merupakan hostis humanis generis. Oleh
yang bersangkutan.33 karena itu, HPI dalam perkembangannya
Berdasarkan uraian di atas dapat sudah harus mulai memikirkan,
diketahui, negara pun dapat melakukan bagaimana kejahatan demikian mendapat
Kejahatan Internasional, oleh karena itu pengaturan di dalam kaidah HPI,

33
I Wayan Parthiana,Op.Cit., hlm. 80.

816 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


bagaimana sistem dan mekanisme terhadap negara tersebut dapat dikenakan
pelaksanaan PJP-nya, mahkamah apa yang embargo atau sanksi lain yang bersifat
diberikan wewenang untuk mengadilinya, menekan.
Jenis pidana apa yang dapat dijatuhkan, Memang sangat disadari, bahwa
dan sebagainya. Pengaturan semua itu di negara melakukan perbuatan-perbuatan
dalam HPI, adalah bertujuan untuk yang biadab di luar perikemanusiaan
mencegah tindakan-tindakan “main terhadap rakyatnya secara meluas atau
hakim” sendiri yang dilakukan oleh negara meluas, adalah melalui pejabat-pejabat
korban, sehingga tidak terjadi pula atau pemimpin-pemimpin negaranya yang
pelanggaran kedaulatan, agresi, intervensi sedang berkuasa. Di sinilah negara harus
atau tindakan pembalasan lainnya. memikul tanggungjawab yang berat atas
Tuntutuan-tuntutan tersebut di atas perbuatan-perbuatan para pemimpinya
sudah seharusnya dipikirkan dan secara dengan menggunakan pihak militer untuk
mendesak dicarikan solusinya oleh merealisasikan maksudnya. Pada
International Law Commision (ILC) yang kenyataannya, negara-negara diktator
bertugas untuk menata seluruh bidang HI demikian itu bukannya tidak ada, bahkan
dalam usaha melaksanakan progressive tercatat dalam sejarah sebagaimana
development international law and pernah terjadi di negra Cile, Uruguay, El
codification of international law. Sangat Salvador dan Argentina. Akan tetapi para
dapat dimaklumi, bahwa tuntutan- pelakunya yang nyata-nyata terlibat dalam
tuntutan dimaksud muncul : terjadinya kejahatan tersebut tidak
Pertama, sebagai konsekuensi logis dilakukan pemidanaan, malahan diberikan
negara harus diakui sebagai subyek HPI. impunitas melalui pengampunan hukum
Kedua, sebagi akibat dari kebiadaban yang (amnesty of law). Dalam konteks demikian
ditimbulkan oleh kejahatan yang tergolong inilah, permasalahan PJP dalam HPI
most serious of crime oleh negara pelaku, menjadi sangat signifikan dan relevan
seperti terorisme, genosida dan kejahatan untuk mencegah terjadinya pengulangan
terhadap kemanusiaan. Perbuatan- kejahatan yang sama di masa depan yang
perbuatan itu sudah tentu perlu ancaman dilakukan oleh negara. Pelakunya secara
sanksi, baik berupa pemidanaan, ganti rugi individual tetap harus dimintakan
maupun rehabilitasi. Pemidanaan pertanggungjawabannya secara pidana.
dimaksud adalah sama halnya dengan Teori-teori yang diajukan untuk
pemidanaan terhadap badan hukum, yakni menjustifikasi perbuatannya haruslah
harus bersifat terbatas dengan memilih ditolak, manakala paham kedaulatan
jenis pidana yang bersifat non custodial negara dalam arti luas yang dijadikan
seperti pidana denda. Pidana denda ini landasan teoritikalnya. Negara–negara
melalui pengawasan Internasional yang diktator biasanya berdalih, bahwa selama
ketat dapat digunakan untuk keperluan perbuatan itu dilakukan masih dalam
rakyat yang menjadi korban tindakan koridor kedaulatan negara, apapun
kejahatan yang dilakukan oleh negaranya perbuatan yang dilakukan terhadap
sendiri. Jika pidana ini tidak dibayar, rakyatnya, adalah tidak bertentangan

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 817


dengan HI. Konsep kedaulatan negara yang demikian Mochtar Kusumaatmadja
digunakan itu berasal dari Jean Bodin mengartikan kedaulatan negara. Pendapat
(1530-1595) yang mengatakan, bahwa : ini cukup bersifat doktrinal, sehingga
“kedaulatan bermaknawi sebagai dapat dijadikan justifikasi oleh setiap
kekuasaan tertinggi dari negara atas negara untuk dapat menuntut negara lain
warga negaranya, tanpa ada suatu manakala kedaulatan negaranya dilanggar
pembatasan oleh undang-undang. oleh negara lain tadi. Pelanggaran
Justru hukum harus tunduk kepada dimaksud di sini termasuk pula perbuatan-
negara, karena hukum dibuat oleh perbuatan yang yang menurut HI
negara yang memiliki kekuasaan ditetapkan memiliki yurisdiksi
tertinggi di dalam negara. Kedaulatan Internasional. Dengan demikian, negara
bersifat tunggal, asli, abadi, dan tidak manapun yang melakukan pelanggaran
terbagi-bagi. Oleh karena itu antara terhadap perbuatan-perbuatan seperti itu,
negara dan pemerintah merupakan menjadi dapat dimintakan
satu kesatuan”. pertanggungjawabannya menurut HPI.

Demikian pula teori Machiavelli b) Pe r t a n g g u n g j awa b a n N e g a ra


(1469-1527) yang sangat Menurut Hukum HAM Internasional
menekankan, bahwa : ”dalam Permasalahan ini menjadi obyek
memimpin suatu negara tidak bahasan dalam tulisan ini, karena
diperlukan moralitas. Oleh karena itu berkaitan dengan ”Kejahatan terhadap
demi kepentingan negara, apapun Kemanusiaan” yang menjadi salah satu
boleh dilakukan oleh negara. Supaya yurisdiksi kriminal dari ICC sebagaimana
tercipta ketertiban, keamanan dan ditetapkan dalam Artcle 5 jo Article 7
ketenteraman dalam suatu negara Statuta Roma. ”Kejahatan terhadap
diperlukan kekuasaan yang absolut. Kemanusiaan” sesungguhnya merupakan
Seorang raja agar kekuasaannya abadi, ”pelanggaran HAM” yang berkategori
harus bersikap seperti singa sehingga ”berat” yang menjadi yurisdiksi Hukum
ditakuti oleh rakyatnya, dan seperti HAM. Hanya saja oleh masyarakat
kancil yang cerdas untuk menguasai Internasional ditetapkan sebagai “the most
rakyatnya”. serious of international crimes” dan
menjadi “hostis humanis generis”, sehingga
Konsep kedaulatan negara demikian perlu dijadikan ”delicto jus gentium” oleh
itu dalam konteks negara demokratis, Statuta Roma. Itulah sebabnya mengapa
sudah tidak dapat dipertahankan lagi. kemudian ”Kejahatan terhadap
”Sesungguhnya kedaulatan negara itu Kemanusiaan” menjadi salah satu
bukannya tidak terbatas, tetapi justru yurisdiksi kriminal dari ICC.
terbatas, sebatas luas wilayah negaranya. Konsekuensinya, ”pelanggaran” berat
Ketika sampai di wilayah negara lain, terhadap HAM ini (gross violation of
kedaulatan negara tersebut berakhir dan human rights) segala sesuatunya harus
kedaulatan negara lainnya mulai”, mengacu pada provisi-provisi yang

818 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


terdapat di dalam Statuta Roma, dan attack) atau “sistematis” (systematic
peradilannya harus menggunakan Sistem attack) terhadap kelompok penduduk
Peradilan Pidana Internasional. sipil. Sebaliknya, HPI tidak menggarap
Demikian pula sistem PJPnya, adalah ranah garapan Hukum HAM berupa
secara langsung menerapkan prinsip PJP ” p e l a n g g a ra n H A M ” ya n g b u k a n
terhadap individu, termasuk responsibility terkualifikasi atau terkategori “berat” yang
of commanders and other superiors. PJP menjadi “tanggungjawab negara”. Hukum
demikian itu berlaku pula terhadap HAM baru diaplikasikan jika dalam situasi
tanggungjawab bawahannya, kendatipun tertentu terjadi pengecualian terhadap
oleh Article 33 paragraph 1 Stauta Roma HAM yang sama sekali tidak boleh ditunda
sebagaimana telah disitasi di atas, dan atau dikurangi karena telah
bawahan tadi diberikan alasan-alasan dikualifikasikan sebagai ”non derogable
untuk membela diri agar terhindar dari PJP, rights”. Oleh karena itu, ”pelanggaran
akan tetapi khusus terhadap perintah HAM” di sini jangan dimaknawikan sebagai
untuk melakukan ”Kejahatan Terhadap ”the most serious internasional crimes”.
Kemanusiaan”, (dan juga genosida) alasan- Kendatipun three core crimes seperti
alasan demikian tidak dapat diterapkan genosida, kejahatan perang dan agresi yang
(lihat kembali Article 33 paragraph 2 menjadi yurisdiksi kriminal ICC
StatutaRoma di muka). sesungguhnya merupakan ”pelanggaran
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat HAM”, apa lagi core crimes yang terakhir,
ditegaskan bahwa terhadap ”pelanggaran yaitu ”Kejahatan Terhadap Kemanusiaan”
HAM” yang ”berat” dan three core crimes nyata-nyata sudah merupakan
lainnya yang menjadi yurisdiksi kriminal ”pelanggaran berat HAM”. Namun antara
ICC, PJPnya sama sekali bukan menjadi ”pelanggaran berat HAM” dengan
”tanggungjawab negara” menurut HI. ”pelanggaran HAM” memiliki
Article 25 paragraph 4 Statuta Roma tanggungjawab berbeda, yang satu
dengan tegas menyebutkan, bahwa : ”No pertanggungjawabannya secara pidana
provision in this Statute relating to terhadap individu, sedangkan yang lainnya
individual criminal responsibility shall efect pertanggungjawabannya dimintakan
the responsibility of States under kepada negara. (Harap dibedakan
international law”. Jadi, PJP terhadap ”pelanggaran berat HAM” dengan
individu tidak berpengaruh terhadap ”pelanggaran HAM”).
“tanggungjawab negara” menurut HI. Di kaitkan dengan
Dengan demikian dapat diketahui, pertanggungjawaban, di si nilah letak
bahwa ”core crimes” berupa ”Kejahatan perbedaan antara Hukum HAM dengan
Terhadap Kemanusiaan” yang merupakan HPI. Hukum HAM mengatur tentang
gross violation of human rights adalah tetap ”tanggungjawab negara” terhadap
menjadi ranah garapan HPI. Karena perlindungan HAM bagi warga negara yang
dilakukan dalam konteks khusus, yakni berada di dalam yurisdiksinya. Dalam
perbuatan itu dilakukan sebagai bagian ”tanggungjawab negara” yang demikian itu
dari serangan yang “meluas” (widespread melingkupi pula ”kewajiban negara”

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 819


untuk mengakui (to recognize), menjaga lain, ”Pelanggaran HAM” adalah ”tindakan
(to keep), dan memastikan (to ensure), atau kelalaian oleh negara terhadap norma
bahwa peraturan perundang-undangan yang belum dipidana dalam Hukum Pidana
nasionalnya sesuai denga standard Nasional, tetapi merupakan norma HAM
minimum HAM. Dan Aparat negara dari yang telah diakui secara Internasional”35
negara nasional yang bersangkutan harus Menurut penulis, untuk memahami
pula melindungi (to protect) dan maknawi ”Pelanggaran HAM”, harus
menghormati (to respect) hak-hak tersebut diketahui terlebih dahulu pengertian dari
secara efektif. (Di Indonesia, jika ada UU ”Hukum HAM”, yakni :
yang tidak sesuai dengan norma HAM yang
telah ditetapkan secara konstitusional, ”Seperangkat asas dan kaidah yang
maka Mahkamah Konstitusi akan mengatur tentang hak-hak asasi
menyatakan UU tersebut ”tidak mengikat manusia yang melekat pada hakikat
secara hukum”). Jadi HAM baru efektif, jika dan keberadaan manusia sebagai
diakui, dihormati, dijaga, dan dilindungi ciptaan dan anugrah Tuhan, yang
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap memerlukan lembaga dan proses untuk
orang, Sedangkan HPI mengatur tentang merealisasikan kaidah itu dalam
PJP terhadap individu. Namun demikian, kenyataannya, demi kehormatan serta
Hukum HAM dan HPI kedua-duanya perlindungan harkat dan martabat
36
memiliki tujuan yang sama, yaitu sama- manusia”.
sama melindungi dan menghormati
martabat manusia. Berdasarkan pemaknaan ”Hukum
Apakah yang dimaksud dengan ” HAM” demikian itu, dimaksud dengan
Pelanggaran HAM”? Menurut Rohana K.M. ”Pelanggaran HAM” adalah ”pelanggaran
Smith at.all, dalam buku ”Hukum Hak Asasi terhadap kaidah-kaidah Hukum HAM”.
Manusia”, kata pengantar Philip Alston dan Kaidah-kaidah Hukum HAM inilah
Franz Magnis–Suseno, diterbitkan oleh yang muatan substansinya mengatur dan
PUSHAM UII, adalah : ”suatu pelanggaran menetapkan segala jenis hak-hak asasi
terhadap kewajiban negara yang lahir dari manusia yang melekat pada hakikat dan
instrumen-instrumen Internasional HAM”. keberadaan manusia (inherent dignity)
Pelanggaran negara terhadap sebagai ciptaan dan anugrah Tuhan YME,
kewajibannya itu dapat dilakukan baik yang tidak boleh dicabut (inalienable) dan
dengan perbuatannya sendiri (acts of tidak boleh diderogasi (nonderogable) dan
commission) maupun karena kelalaian tidak boleh dilanggar (inviolable) sehingga
34
(acts of ommssion). Dalam rumusan yang wajib diakui, dihormati, dilindungi, dan

34
Rohana K.M. Smith at.all, Hukum Hak Asasi Manusia, Kata Pengantar Philip Alston dan Franz Magnis –Suseno, PUSHAM
UII Yogyakarta, 2008, Hlm. 69.
35
C. de Rover, dalam Ibid.
36
Definisi yang saya formulasikan di atas, mengacu pada pengertian “Hukum” yang dikemukakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja, yakni : “hukum tidak saja merupakan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses (process) yang
mewujudkan berlakunya kaidah itu dalam kenyataannya”. Lihat Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam
Rangka Pembangunan Nasional, Binacipta , Bandung, 1975, Hlm. 3.

820 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


dijunjung tinggi oleh negara, hukum, Adapun UU No.26 Th 2000 tentang
pemerintah, dan setiap orang dalam Pengadilan HAM, adalah khusus untuk
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan mengadili “Pelanggaran Berat HAM”.
bernegara demi kehormatan serta Apabila terjadi “pelanggaran” terhadap
perlindungan harkat dan martabat kaidah-kaidah Hukum HAM di atas, maka
manusia. Dalam memahami definisi dan negara nasionallah yang paling utama
postulat di atas, hindari sekali pemahaman wajib bertanggungjawab. Karena
bahwa HAM itu diberikan oleh hukum atau negaralah yang paling pertama dan utama
negara dan atau pemerintah. (HAM bukan berkewajiban untuk menghormati dan
anak kandung hukum atau negara dan atau melindungi HAM yang telah diakui secara
pemerintah). Internasional. Wajib di sini juga termasuk
Kaidah-kaidah Hukum HAM dimaksud “kewajiban negara” untuk mengambil
terdapat dalam instrumen Internasional langkah-langkah pencegahan dan
dan Nasional. Di dalam isntrumen pemberantasan supaya tidak terjadi
Internasional terdapat dalam the pelanggaran terhadap HAM. Kata
international bill of human rights, sebagai pemberantasan disertakan di situ, karena
berikut : jika terjadi “Pelanggaran Berat HAM”,
(1) Universal Declaration of Human Rights negara nasional yang pertama kali
(diterima oleh sidang umum PBB pada berkewajiban untuk mengadilinya. Dalam
tanggal 10 Desember 1948); hal demikian ini pengadilan nasional
(2) International Covenant on Economic, diberikan yurisdiksi Internasional oleh HI.
Social and Culture Rights (diterima Jika negara nasional tadi unwilling dan
oleh sidang umum PBB pada tanggal unable untuk mengadilinya, atau bahkan
16 Desember 1966 dan baru berlaku tidak mempunyai UU yang secara khusus
pada tanggal 3 Januari 1976); diperuntukkan untuk mengadili
(3) International Covenant on Civil and “Pelanggaran Berat HAM”, maka yurisdiksi
Political Rights (diterima oleh sidang Internasional yang semula diberikan
umum PBB pada tanggal 16 Desember kepada pengadinlan nasional, diambil alih
1966 dan baru berlaku pada tanggal 23 oleh Mahkamah Internasional dan atau
Maret 1976); ICC. Mahkamah inilah yang kemudian
(4) Optional Protocol to the International mengadilinya. Jadi yang paling utama
Covenant on Civil and Political Rights diterapkan adalah prinsip ”local remidies”
(diterima oleh sidang umum PBB pada dalam HI atau prinsip “complementarity”
tanggal 16 Desember 1966 dan baru yang dianut oleh ICC. Jika dalam
berlaku pada tanggal 23 Maret 1976). “Pelanggaran HAM” negara sama sekali
Sedangkan dalam instrumen HAM tidak mengambil upaya pencegahan, maka
Nasional terdapat dalam UUD 1945 dan UU negara itu harus bertanggungjawab
No. 39 Th 1999 tentang HAM, serta kepada masyarakat Internasional (erga
peraturan perundang-undangan lainnya omnes), bukan kepada ”negara yang
yang substansi provisinya mengatur secara dirugikan” (injured state's). Jadi yang
parsial tentang HAM dan penegakannya. menjadi titik tekan di sini adalah : “state

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 821


dibentuk berdasarkan UU No. 26 Th. 2000. diberikan yurisdiksi yudisial bukanlah
Kedua, dalam pengertian ”Pelanggaran pemerintah, tetapi badan pengadilan.
HAM” di atas, penetapan substansinya
sama sekali tidak mengaitkan dengan
”Tanggungjawab Negara”. Bagaimana
kalau terjadi ”Pelanggaran HAM” yang
”bukan” terkualifikasi ”berat”, namun
nyata-nyata terdapat unsur ”derogasi”
yang sangat diharamkan oleh asas maupun
kaidah HUKUM HAM?
Terhadap permasalahan demikian,
lalu siapa yang harus bertanggungjawab?
Secara imperatif menurut HI dan Hukum
HAM Internasional, seharusnya negara
wajib bertanggungjawab sebagaimana
telah dideskripsikan di atas. Dengan tidak
dicantumkannya ”Kewajiban Negara”
dalam formulasi pasal tersebut, akibatnya,
negara Indonesia dalam hal ini pimpinan
lembaga tertinggi dan tinggi negara, dapat
saja ”LEPAS TANGAN”. Karena di samping
pasal tersebut tidak mengaturnya, maka
akan terjadi ”saling tuding”
tanggungjawab.
Di dalam BAB V UU HAM dengan Titel
”Kewajiban Dan Tanggung Jawab
Pemerintah”, berarti secara yuridikal, jika
terjadi ”Pelanggaran HAM” yang ”bukan”
terkualifikasi ”berat”, maka subyek yang
ditunjuk untuk bertanggungjawab oleh UU
HAM tersebut bukanlah negara, tetapi
pemerintah. Permasalahannya, 'apakah
antara negara dengan pemerintah memiliki
pengertian sama, baik ditinaju dari optik
Hukum Tata Negara maupun HI'? Menurut
HI yang menjadi subyek hukum adalah
negara dan bukan pemerintah, sehingga
negaralah oleh HI ditetapkan sebagai
pendukung hak dan pengemban
”kewajiban”. Demikian pula dilihat dari sisi
”kedaulatan negara”, oleh HI yang

822 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


responsibility”. No. 39 Th. 1999 tentang HAM ?
Kemudian 'apakah yang dimaksud Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Th. 1999,
dengan ”tanggungjawab negara” ? ”Pelanggaran HAM” diberikan
Menurut Brownlie, di dalam HI pengertiannya sebagai berikut :
”tanggungjawab negara” adalah :
”Setiap perbuatan seseorang atau
”suatu prinsip fundamental dalam HI kelompok orang termasuk aparat
yang bersumber dari doktrin negara baik disengaja maupun tidak
kedaulatan dan persamaan hak antar disengaja atau kelalaian yang secara
negara. Tanggungjawab negara timbul melawan hukum mengurangi,
apabila terdapat pelanggaran atas menghalangi, membatasi, dan atau
suatu kewajiban Internasional untuk mencabut hak asasi manusia seseorang
berbuat sesuatu atau tidak berbuat atau kelompok orang yang dijamin oleh
sesuatu, baik kewajiban tersebut Undang-undang ini, dan tidak
berdasarkan suatu perjanjian mendapatkan, atau dikhawatirkan
internasional maup un hukum tidak akan memperoleh penyelesiaian
kebiasaan internasional”.37 hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang
Senada dengan pendapat Brownlie di berlaku”.
atas, menurut Hukum HAM Internasional,
“Tanggungjawab negara” adalah : Apakah yang dapat dipermasalahkan
”tanggungjawab yang timbul sebagai dalam UU HAM ini ? Di antaranya
akibat dari pelanggaran terhadap adalah :
kewajiban untuk melindungi dan Pertama, mekanisme peradilannya
menghormati HAM oleh negara”. Kewajiban yang terkualifikasi ”bukan” ”Pelanggaran
yang dimaksud itu adalah ”kewajiban yang Berat HAM” tidak jelas, karena tidak
lahir dari perjanjian - perjanjian ditetapkan dan tidak diatur secara khusus
Internasional HAM, maupun dari Hukum dalam UU tersebut. Di dalam UU HAM,
Kebiasaan Internasional (International kendatipun pada Bab IX diberi titel
Customary Law), khususnya norma-norma ”PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA”,
Hukum Kebiasaan Internasional yang tetapi pasal yang berkaitan dengan bab
38
memiliki sifat jus cogens. tersebut , yakni Pasal 104, hanya
Sebagai bahan sandingan, di bawah ini menetapkan dan mengatur tentang
dikemukakan 'apakah yang dimaksud kompetensi pengadilan untuk mengadili
dengan ”Pelanggaran HAM”, dan ”Pelanggaran Berat HAM”, dan pengadilan
”Tanggungjawab Negara” menurut UU dimaksud adalah ”Pengadilan HAM” yang

37
Ian Brownlie, Principle of Public International Law, Claredon Press, Oxford, 1979, p. 431.
38
Konsep tanggungjawab negara dalam HI biasanya dipahami sebagai “tanggungjawab yang timbul sebagai akibat
pelanggaran HI oleh negara”. Unsur-unsurnya biasanya dirumuskan sebagai berikut: (1) melakukan perbuatan (act)
yang tidak diperbolehkan, atau tidak melakukan (ommission) tindakan yang diwajibkan berdasarkan HI; dan (2)
melakukan perbuatan yang merupakan pelanggaran terhadap HI. Di dalam Hukum HAM Internasional , pengertian
“tanggungjawab negara” bergeser maknanya seperti dikemukakan di atas, Rohana K.M. Smith at.all dalam Ibid.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 823


semasa pemerintahan Presiden Clinton. AS mengambil langkah seperti itu,
Namun, pada masa pemerintahan Presiden secara politis tentu sangat berpengaruh
Bush Jr, dengan dalih masih terdapat terhadap negara-negara kecil, apalagi
banyak kelemahan di dalam Statuta Roma, negara berkembang yang sesungguhnya
menjadi tidak memungkinkan lagi sangat mendukung terbentuknya ICC.
negaranya untuk menyetujuinya. Aasan- Negara-negara kecil yang kekuatan
alasan yang dijadikan dasar untuk militernya sangat lemah, tidak memiliki
mendukung pernyataannya itu, di pengaruh besar secara politis dalam
antaranya adalah : Hubungan Internasional,
a. Dengan berdirinya ICC akan mengkhawatirkan ”sejarah akan berulang
menghilangkan sistem check and kembali” dengan dilakukannya tindakan-
balances yang diyakini dan dianut oleh tindakan agresi dengan dalih berbagai
pemerintah Amerika Serikat dalam macam justifikasi dari negara-negara
sistem ketatanegaraannya. relatif besar yang memiliki kekuatan besar
b. Kekuasaan jaksa penuntut akan sulit pula secara politis dan militer. Langkah AS
dikendalikan. yang mencabut persetujuannya atas
c. Dengan berdirinya ICC akan Statuta Roma, menjadikan negara tersebut
mengambil sebagian kewenangan DK tidak tunduk dan tidak harus menaati
PBB. Statuta Roma yang pada dewasa ini telah
d. Kekuasaan untuk mengadili dan menjadi ”hukum positif” (”KUHP
memidana para penjahat lebih pantas Internasional”) dalam ranah Hukum
menjadi otoritas negara nasional, (Pidana) Internasional, karena telah
bukan oleh sebuah organisasi. diratifikasi oleh lebih dari 60 negara sesuai
Banyak para ahli HI menenggarai, yang diimperasikan dalam Article 126
bahwa alasan-alasan yang dikedepankan Statuta Roma 1998.39 Selain alasan-alasan
oleh pemerintah AS sebenarnya sangat sebagaimana telah dinyatakan di atas,
mengada-ada dan tidak rasional. sesungguhnya masih ada lagi alasan lain
Khususnya terhadap alasan huruf d, karena yang dijadikan dasar pembenar oleh AS
Statuta Roma sendiri sesungguhnya telah untuk mencabut persetujuannya itu, yakni
mengantisipasi sejak tahap perencanaan terkait dengan Article 33 Statuta Roma
pembentukan ICC. Mungkin yang menjadi 1998 tentang ”Superior Orders and
alasan sebenarnya adalah, kekhawatiran Prescription of Law” sebagaimana telah
negara AS jika warga negaranya sendiri disitasi pada halaman 20 di atas.
atau personal militernya ada yang diseret Guna mendukung langkahnya yang
ke hadapan ICC, mengingat negara AS yang demikian itu, AS menghentikan bantuan
adidaya ini menempatkan orang-orangnya militernya kepada 35 negara yang
di sekitar 100 negara di dunia. Misalnya, mendukung terbentuknya ICC yang
ketika aksi-aksi militer negara ini di Irak diperkirakan tidak akan membebaskan
telah mendorong sejumlah NGO warga negara AS, jika terdapat warga
Internasional untuk menempatkan para negaranya atau personal militernya diseret
petinggi AS sebagai penjahat perang. di hadapan ICC, dan meminta

824 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


pertanggungjawaban pidananya di Madagaskar, Maldives, Marshall Island,
hadapan ICC. Lebih lanjut Pemerintah AS Mauritania, Nauru, Nepal, Palau, Filipina,
mengadakan Perjanjian Internasional Rumania, Rwanda, Sierra Leone, Sri Lanka,
dengan beberapa negara dengan mengacu Tajikistan, Thailand, Tonga, Tuvalu,
pada Pasal 98 Statuta Roma. 40 AS Uganda, dan Uzbekistan. 41
mempelajari dengan baik substansi dari Langkah AS ini sangat kontroversial,
pasal ini, karena memberi keleluasaan sehingga menurut ICC tindakan
kepada negara-negara untuk bisa bebas Pemerintah AS demikian itu dapat
dari jeratan ICC. Asalkan syaratnya, di menghambat pengekan Hukum (Pidana)
dalam Perjanjian Internasional harus Internasional. Namun, langkah AS
dinyatakan dengan tegas, bahwa para bukannya tambah surut, tetapi pada tahun
pihak (negara-negara) telah sepakat 2002 mengeluarkan “jurus yuridikal” baru
dengan negara locus delicti sebagai tempat untuk memproteksi anggota militernya,
terjadinya Kejahatan Internasional oleh terutama yang bertugas di luar negara AS,
Warga AS. yakni dengan memberlakukan UU
Negara-negara yang sepakat Perlindungan Anggota Militer yang
mengadakan perjanjian impunitas dan diperkirakan dapat menangkal yurisdiksi
atau imunitas (impunity or immunity kriminal ICC, jika aksi militer AS
agrrement) berdasarkan Pasal 98 tersebut menyebabkan para militernya terseret ke
adalah : Afganistan, Albania, Azrbaijan, hadapan ICC.
Bahrain, Bhuton, Bolivia, Bosnia- Kebijakan AS menarik kembali
Herzegovina, Djibouti, Kongo, persetujuannya terhadap Statuta Roma
DominikaTimor Leste, El Savador, Gabon, sebagaimana dikemukakan di atas,
Gambia, Honduras, India, Israel, sesungguhnya terlalu melindungi

39
Article 126 :
“Entry in to force, (1) this statute shall enter into force on the first day of the month after the 60th day following the date of
the deposit of the 60th instrument of ratification, acceptance, approval or accession with the Secretary General of the
United Nations; (2) for each state ratifying, accepting, approving acceding to the statute after the deposit of the 60th
instrument of ratification, acceptance, approval or accession, the statute shall enter into force on the first day of the
month after the 60th day following the deposit by such state of its instrument of ratification, acceptance, approval or
accession”.
Sebagaimana diketahui, kendatipun piagam (Statuta Roma) ini disepakati oleh 139 negara, namun piagam yang akan
mendasari pembentukan dan operasionalisasi dari ICC ini, tidak segera terbentuk karena ada satu syarat yang sangat
berat yang terlebih dahulu harus dipenuhi, yakni harus diratifikasi sekurang-kurangnya oleh 60 negara seperti
diimperasikan oleh Pasal 126 di atas. Banyak yang memprediksi persyaratan mengenai jumlah tersebut tidak akan
terpenuhi, sehingga Statuta Roma akan menjadi Perjanjian Internasional yang tidak efektif. Namun berkat usaha
keras dari sejumlah negara dan NGO dalam kurun waktu kurang dari 4 tahun sejak Statuta Roma ditandatangani,
jumlah negara yang ikut meratifikasi sudah melebihi jumlah yang dipersyaratkan, sehingga instrumen HPI ini bisa
diberlakukan. Pada tanggal resmi berdirinya ICC, 76 negara telah meratifikasi.
40
Article 98 :
Cooperation with respect to waiver of immunity and consent to surrender :
(1) the court may not proceed with the request for surrender or assistance which would require the requested state to act
inconsistently with its obligation under international law with respect to the state or diplomatic immunity of a person
or property of a third state , unless the court can first obtain the cooperation of that third state for the waiver of the
immunity;
(2) the court may not proceed with a request for surrender which would require the reauested state to act inconsistently
with its obligation under international law agreement pursuant to which the consent of a sending state is required to
surrender a person of that state to the court, unless the court can obtain the cooperation of the sending state for
giving of consent for the surrender”.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 825


kepentingan nasionalnya sehingga dinilai serangan AS ke Libya pada tahun 1988
sangat bersifat subyektif dalam pergaulan dan ke Iran pada tahun 1988 dalam
antar bangsa. Banyak pengamat Politik kasus Teluk Persia, AS mengawal kapal-
Internasional mengemukakan, bahwa kapal netral yang akan ke Irak.
mungkin ini disebabkan karena c. preemptive dikaitkan dengan keadaan
ke'panik'an politik AS setelah terjadinya memaksa (doctrin of state necessity).
peristiwa pemboman terhadap gedung Penggunaan ajaran tersebut
WTC di New York pada tanggal 11 dinyatakan sebagai formula negatif
September 2001 (black September). sehingga pemaksaannya benar-benar
42
Terjadinya insiden ini membuat AS selektif.
menjadi sangat protektif, dan selalu Berkaitan dengan telah terbentuknya
prejudice. Hal ini terbukti dengan ICC yang sangat diidam-idamkan
dikembangkannya doktrin preemptive eksistensinya dan menjadi ekspektasi
dalam mengahadapi negara lain yang besar bagi dunia, sejatinya terdapat
dinilai membahayakan kepentingan AS. beberapa alasan penting, mangapa ICC
Doktrin ini diaplikasikan karena : harus dibentuk? Berdasarkan alasan-
a. Alasan dasar pembelaan diri alasan yang dikemukakan nanti, menurut
(anticipatory self defence), penulis, alasan-alasan yang diajukan AS
sebagaimana dimuat dalam Pasal 51 d a l a m ra n g k a m e n c a b u t ke m b a l i
Piagam PBB. Pasal tersebut persetujuannya atas Statuta Roma dan
memungkinkan suatu negara tindakan-tindakannya untuk
menyerang negara lain sebagai suatu memandulkan ICC dengan mengajak
wujud perlindungan diri, akibat adanya sebagian negara-negara kecil untuk
serangan atau kemungkinan adanya mengadakan Perjanjian Internasional
s e ra n ga n . N a m u n s e ra n ga n nya impunitas/imunitas sebagaimana
tersebut harus mendapat persetujuan dikemukakan di atas, adalah sangat
dari Dewan Keamanan PBB. Tercatat irasional. Alasan-alasan penulis adalah
dalam sejarah beberapa peperangan sebagai berikut :
yang disetujui Dewan Keamanan PBB, Pertama, hal ini berelasitas dengan
yaitu Perang Israel 1976, serangan International Criminal Policy dalam rangka
Israel ke Irak tahun 1981, dan serangan International Crimes Prevention. Di dalam
AS ke Afganistan tahun 2002. kehidupan bangsa-bangsa di dunia,
b. Alasan tindakan pembalasan (reprisal). Kejahatan Internasional sebagai hostis
Tindakan Pembalasan persyaratannya humanis generis keberadaanya sangat
sama dengan tindakan pembelaan diri. merugikan dan sangat merusak hubungan
Aspek dalam bentuk tindakan antar bangsa, sehingga mutlak harus
mendesak dan proporsional menjadi dicegah dan ditanggulangi, jika ingin
syarat penting. Sebagai contoh, tercipta suatu ketertiban, kenyamanan,

41
A.Masyhur Effendi dan Taufani Evandri, HAM (Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, Dan Proses
Penyusunan/AplikasiHA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia) Dalam Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010,
hlm.33.

826 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


keamanan dan perdamaian dalam mampu (tidak mempunyai keseriusan)
kehidupan internasional. Mengingat sifat untuk menuntut dan mengadili pelaku
dan keberadaannya yang demikian itu, Kejahatan Internasional tersebut, maka
semua bangsa (negara) di dunia ini harus barulah ICC secara mutlak akan
bekerja sama satu dengan yang lain dalam merealisasikan kewengannya dengan
43
rangka pemberantasannya, tidak perduli mengadili sendiri pelaku kejahatan
di manapun dan oleh siapa pun perbuatan tersebut.
itu dilakukan. Berlaku ”asas au dedere au Ketiga, penetapan International
judicare”. Mengingat ICC telah terbentuk, Criminal Policy yang diformulasikan di
maka pelaku atas perbuatan tersebut dalam Statutua Roma sebagaimana alasan
harus dituntut dan diadili oleh ICC sesuai kedua di atas sama sekali tidak
dengan kewenangan yang dimiliknya. bertentangan dengan asas-asas atau
Kedua, berelasitas dengan ”kedaulatan prinsip-prinsip HI itu sendiri, yakni asas
negara nasional”. Kendatipun ”kedaulatan negara”, dan menghormati
rasionalisasinya adalah dalam konteks serta mengaplikasikan ”asas au dedere au
International Crimes Prevention, namun punere”.
dalam rangka menuntut dan mengadili Sinergi dengan alasan-alasan di atas,
pelaku Kejahatan Internasional, ICC Alman dari LSM Rights & Democracy
menerapkan yurisdiksinya dengan dengan sangat tepat mengemukakan,
memberlakukan complementarity bahwa :
principle (prinsip pelengkap), yakni ICC
baru dapat menerapkan yurisdiksi “Mulai sekarang masyarakat
kriminalnya, jika State Party sebagai locus Internasional akan memiliki sebuah
delicti unwilling atau unable mengadili pengadilan Internasional yang akan
core crimes pada pengadilan nasional mampu menyeret dan memidana
negara tersebut. orang-orang semacam Hitler,
Prinsip di atas sejiwa dengan prinsip Pinochet, atau Pol Pot di masa yang
”local remidies” yang terdapat di dalam HI, akan datang. Sesuai dengan prosedur
yakni memberikan kesempatan terlebih yang dimilikinya, ICC dapat
dahulu kepada negara nasional melalui melaksanakan hal tersebut. Namun
yurisdiksi pengadilan nasionalnya untuk demikian, para perumus Statuta Roma
menuntut dan mengadili individu pelaku tetap menghormati kedaulatan
Kejahatan Internasional di negara tempat negara, sehingga ICC ditempatkan
locus delicti. Namun, jika negara nasional sebagai pengadilan akhir (the court of
yang bersangkutan tidak mau atau tidak last resort). Artinya, negaralah yang

42
A.Masyhur Effendi dan Taufani Evandri, Op.Cit., hlm. 34.
43
Kongres kedelapan PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Tindak Pidana (Eight United
Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offender) di bawah judul “Recommendation on international
cooperation for crime prevention and criminal justice in the context of development”, antara lain direkomendasikan,
bahwa negara-negara anggota PBB hendaknya meningkatkan intensitas perjuangannya terhadap kejahatan
internasional. Secara tegas direkomendasikan pula, agar negara-negara peserta diharapkan melengkapi dan
mengembangkan hukum pidana nasionalnya, dan secara penuh melaksanakan semua perjanjian internasional dalam
bidang ini.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 827


pertama-tama memiliki hak untuk International Criminal Policy dalam rangka
memproses secara hukum orang yang memberantas perbuatan-perbuatan yang
diduga melakukan kejahatan besar, menurut HI adalah kejahatan dan telah
kecuali kalau negara yang menjadi yurisdiksi kriminal ICC. Prospek
bersangkutan tidak menunjukan dan ekspektasi besar dunia inilah yang
itikad politik atau tidak mampu harus diimplementasikan oleh ICC sebagai
memprosesnya (unwilling or unable).44 MI permanen demi terciptanya keamanan
dan perdamaian dunia. Jadi, kendatipun AS
Namun dengan adanya kebijakan AS sebagai negara super power telah
untuk mencabut kembali persetujuannya mencabut kembali persetujuannya atas
atas Statuta Roma dan tindakan- Statuta Roma sebagai ”akta kelahiran” dari
tindakannya yang bertujuan untuk ICC, tidaklah hal itu harus dinilai sebagai
memandulkan ICC dengan mengadakan suatu penghalang dalam menegakan
perjanjian impunitas/imunitas dengan keadilan, tetapi justru harus dipandang
negara-negara kecil dimaksud, di satu sebagai suatu ”tantangan” untuk
pihak justru akan “memperlemah” mewujudkan ekspektasi besar dunia tadi,
penegakan HPI oleh ICC. Di pihak lain akan dan menunjukkan kepada dunia,
berkorelasi positif terhadap penegakan khususnya kepada State Parties, bahwa ICC
Hukum HAM yang tidak suprematif sangat berprospektif.
khususnya di negara-negara berkembang. Sinergi dengan hal di atas,
Dalam hal ini tidak ada kata lain yang tepat, sesungguhnya para perancang Statuta
selain mengatakan bahwa AS telah sangat Roma sudah sangat menyadari jika terjadi
subyektif dan serius menerapkan paham situasi dan kondisi seperti ini. Dalam hal
“monisme dengan primat hukum terjadi penolakan untuk meratifikasi
nasional”, demi melindungi kepentingan Statuta Roma oleh negara-negara, atau
negara nasionalnya. Jika terjadi hal-hal negara-negara dimaksud tidak menjadi
demikian itulah, prospek ICC dan ekpektasi negara peserta, tentu ICC tidak dapat
dunia terhadap ICC sebagai lembaga penal mengaplikasikan yurisdiksi teritorial dan
International Criminal Policy untuk atau yurisdiksi kriminalnya (dan juga
menanggulangi ”four core crimes” yurisdiksi personal dan temporalnya)
efektivitasnya diragukan. terhadap kejahatan yang terjadi di wilayah
45
Bagi penulis apapun tindakan AS, ICC negara-negara itu. Akibatnya, sipelaku
tidak boleh surut langkah dalam kejahatan akan dengan leluasa menikmati
menegakan Hukum (Pidana) impunitas. Dengan diberikannya catatan
Internasional. Apa lagi pembentukan ICC kaki di bawah, keraguan terhadap prospek
itu telah lama digagas oleh PBB, yakni dan ekspektasi ICC sebagai lembaga
sudah dimulai sejak berakhirnya PD I penegak hukum dunia seolah-olah menjadi
(1919) dan dilanjutkan secara sungguh- terferivikasi dan benar adanya.
sungguh setelah PD II (1945) sebagai Namun dengan dilengkapi ketentuan-

44
Hata, Individu Dalam …, Op.Cit., hlm. 30.

828 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


ketentuan dalam Statuta Roma yang tugas dan fungsinya untuk memenuhi
disebutkan di bawah ini, maka ICC tujuannya. Bahkan menurut paragraph 2
sebetulnya bisa saja memaksakan dari Article 4, ICC dalam rangka
kewenangannya atas yurisdiksi teritorial pelaksanaan kekuasaan, dan fungsinya
dan kriminal yang dimilikinya. Ketentuan- untuk memenuhi tujuannya tersebut, tidak
ketentuan dimaksud adalah sebagai saja dapat dilaksanakan dalam wilayah
berikut : negara pesertanya, tetapi juga terhadap
Pertama, Article 4 yang menetapkan, wilayah negara lain (on the territory of any
bahwa : other State) yang bukan menjadi negara
1. The Court shall have international peserta (State Party). Asal saja untuk
legal personality. It shall also have kepentingan tersebut dilakukan melalui
such legal capacity as may be suatu “persetujuan khusus” (special
necessary for the exercise of its agreement). Menurut penulis, untuk
functions and the fulfilment of its memenuhi prinsip speedy trial, maka
purposes. “persetujuan khusus” dimaksud tidak
2. The Court may exercise its functions perlu dituangkan secara tertulis yang
and powers, as provided in this sering kali membutuhkan birokrsi yang
Statute, on the territory of any State lama dan bertele-tele. Dengan secara lisan
Party and, by special agreement, on pun “persetujuan khusus” dimaksud sudah
the territory of any other State. dapat dikatakan terpenuhi menurut
Berdasarkan provisi yang terdapat di paragraph 2 dari Article 4 di atas.
dalam paragraph 1 dari Article 4 di atas,
bahwa ICC secara legal berstatus sebagai Kedua, ICC Sesungguhnya bisa saja
subyek HI. Ini berarti ICC memiliki hak dan memaksakan penerapan yurisdiksi
kewajiban berdasarkan HI dalam lingkup kriminalnya di negara-negara non States
tugas dan wewenangnya dalam rangka Parties, asal saja Article 12 paragraph 3
mengimplementasikan tujuannya. Dengan Statuta Roma dipenuhi. Formulasinya
berlandaskan hal itulah, ICC memiliki legal adalah :
capacity, dan sepanjang diperlukan dapat “If the acceptance of a state which is not
melakukan tindakan-tindakan hukum a Party to this Statute is required under
dalam rangka pelaksanaan kekuasaan, paragraph 2, that State may, by

45
Sebagaimana diketahui, sumber HI salah satunya adalah Perjanjian Internasional. Suatu Perjanjian Internasional baru
berlaku sebagai suatu kaidah hukum positif, jika negara-negara sebagai para pihak menyatakan persetujuannya dan
meratifikasinya. Keberlakuan dan daya mengikatnyapun hanya terhadap negara-negara yang telah meratifikasinya
(States Parties). Sedangakan negara non State Party termasuk yang menolak meratifikasinya, perjanjian tersebut sama
sekali tidak mengikat. Demikian pula terhadap Statuta Roma yang sejatinya hanya merupakan Perjanjian Internasional
namun sifatnya multilateral global. Bagi negara-negara non States Parties tentu keberadaan Statuta tersebut menjadi
tidak mengikat sama sekali, kendatipun secara substantif kaidah hukumnya berlaku umum. Padahal Statuta Roma
yang dalam hal ini menjadi sumber HPI kaidah hukumnya, di samping berlaku umum secara Internasional juga nyata-
nyata berperan sebagai sarana penal dalam rangka menanggulangi kejahatan Internasional (International Criminal
Policy by penal). Akan tetapi karena keberlakuannya hanya terhadap States Parties (yang sudah meratifikasi), dan jika
terjadi kejahatan di wilayah teritorial negara-negara non States Parties, walaupun menjadi yurisdiksi kriminal ICC,
maka tetap saja ICC tidak memiliki yurisdiksi untuk itu. Di dalam Perjanjian Internasional terdapat asas yang secara
imperatif harus ditaati, yakni : “pacta tertiis nec nocent nec prosunt” (suatu Perjanjian Internasional tidak
memberikan hak dan atau membebani kewajiban kepada pihak ketiga).

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 829


declaration lodged with the registrar, yang dituangkan dalam bentuk resolusi
accept the excercise of jurisdiction by PBB, dan menyerahkan kasus tersebut
the Court with respect to the crime in kepada Prosecutor. Prosecutor dari ICC
question. The accepting State shall inilah kemudian menindaklanjuti sesuai
cooperate with the Court wothout any dengan provisi yang ditetapkan di dalam
delay or exception in accordance with Statuta Roma. Ini berarti ICC dengan
Part 9”.46 yurisdiksi kriminal yang dimilikinya tetap
dapat mengaplikasikan secara efektif
Ketiga, jika dalam rangka International provisi-provisi yang terdapat di dalam
Cooperation and Judicial Assistance justru Statuta Roma tersebut.
negara nonpartisan tidak kooperatif, Keempat, dalam rangka International
dengan kata lain terhadap provisi Statuta Cooperation and Judicial Assistance,
Roma di atas tidak diindahkan, maka seluruh negara peserta Statuta Roma harus
provisi dalam Article 13 b Statuta Roma bersatu padu dalam satu kerjasama untuk
dapat diaplikasikan. Artikel ini mendukung semua tindakan ICC dalam
menetapkan sebagai berikut : mengaplikasikan kaidah-kaidah Hukum
“A situation in which one or more of (Pidana) Internasional sebagai
such crimes appears to have been implementasai dari International Criminal
commited is referred to the Prosecutor Policy dalam rangka memberantas
by the Scurity Council acting under kejahatan yang menjadi yurisdiksi
Chapter VII of the Charter of the United kriminalnya. Dengan berbekal asas au
Nations”. dedere au judicare, ICC secara efektif dapat
menegakan Hukum (Pidana) Internasional
Berdasarkan provisi di atas, DK PBB terhadap perbuatan-perbuatan yang
dengan kewenangan yang dimiliki bersifat “hostis humanis generis” yang
menurut Piagam PBB Bab VII, berwenang secara nyata dapat menjadi ancaman
untuk menyerahkan kepada ICC melalui terhadap keamanan dan perdamaian dunia,
Prosecutornya atas core crimes yang terjadi sehingga secara Internasional ditetapkan
di wilayah negara non State Party. Hanya sebagai ”delicto jus gentium”.
saja “referred to the Prosecutor by the
Scurity Council” itu baru dapat dilakukan C. PENUTUP
setelah DK PBB bersidang untuk 1. Simpulan
membahas permsalahan yang terjadi di a. Pertanggungjawaban pidana
dalam wilayah negara non State Party tadi. menurut HPI adalah
Apakah permasalahan itu sudah mrupakan mengaplikasikan prinsip
core crimes yang benar-benar dapat individual criminal responsibility
mengancam keamanan dan perdamaian secara langsung terhadap semua
dunia. Jika memang demikian adanya, DK orang tanpa ada pembatasan dari
PBB akan mengambil suatu keputusan Hukum (Pidana) Nasional.

46
Part 9 Statuta Roma adalah tentang International Cooperation and Judicial Assistance.

830 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


Akibatnya menjadi tidak ada atau memelihara (to keep),
perbedaan PJP antara orang yang melindungi (to protect) dan
tidak memiliki jabatan resmi menghormati (to respect) HAM.
dengan orang yang memiliki Jika di dalam negara nasionalnya
jabatan resmi (official capacity), terjadi ”pelanggaran HAM” baik
baik jabatan kenegaraan, ”bukan” terkualifikasi ”berat”
pemerintahan maupun secara maupun ”berat”, maka negara
militer (irrelevance of official bersangkutan secara imperatif
capacity in criminal responsibility). wajib bertanggungjawab terhadap
Penganutan prinsip demikian pelanggaran HAM tersebut.
sebagai konsekuensi diakuinya Terhadap pelanggaran berat HAM,
“individu” sebagai subyek HI dan negara wajib melakukan tindakan-
HPI. tindakan pemberantasan dengan
1) Negara dapat dimintakan mengadili individu pelakunya
pertanggungjawaban secara melalui pengadilan nasionalnya.
pidana, jika negara tersebut Dan terhadap pelanggaran HAM
terbukti bersalah telah melakukan yang ”bukan” terkualifikasi
perbuatan yang menimbulkan ”berat”, negara wajib melakukan
rasa ketakutan, rasa tidak aman tindakan pencegahan dan
atau telah menimbulkan kerugian penanggulangan sebagaimana
materiil yang cukup besar bagi telah ditetapkan dalam Hukum
negara lain. Pertanggungjawaban HAM Internasional.
tersebut penyelesaiannya b. 1). ICC yang dibentuk
dilakukan berdasarkan berdasarkan Statuta Roma
ketentuan-ketentuan HI pada (1998) dalam rangka
umumnya (responsibility of states menjalankan peranannya
in international law), dan bukan memberantas the crime of
melalui HPI. Negara korban dapat genocide, cirmes against
mengajukan kasusnya kepada DK humanity, war crimes, dan
P B B , d a n D e wa n i n i a k a n the crime of aggression
memutuskan ”resolusi” berupa secara efektif dan
seruan, kutukan, atau kecaman berprospektif untuk
terhadap negara pelaku jika memenuhi ekspektasi dunia
kesalahannya dapat dibuktikan Internasional, harus
oleh DK PBB. mengaplikasikan semua
2) Negara sebagai subyek HI maupun yurisdiksi yang dimilikinya,
sebagai subyek Hukum HAM te r u t a m a y u r i s d i ks i
Internasional, menurut HI dan personalnya terhadap
Hukum Kebiasaan Internasional individu warga negara State
adalah berkewajiban untuk Part y dalam upaya
berbuat sesuatu, yakni menjaga penerapan International

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 831


Criminal Policy untuk negara tersebut
menanggulangi semua atau pernah terjadi semua
salah satu four core crimes atau salah satu dari
sebagai Kejahatan four core crimes, tetapi
Internasional, dengan ada indikasi unwilling
ketentuan sebagai berikut : dan unable atau negara
a) ICC memberikan itu belum memiliki UU
kesempatan kepada untuk mengadili
negara locus delicti pelaku kejahatan
terlebih dahulu untuk tersebut, maka ICC
mengadili pelaku dari dapat menggunakan
semua atau salah satu ”tangan” Dewan
four core crimes Keamanan PBB untuk
berdasarkan local membentuk Badan
remidies principle Pengadilan Pidana
menurut HI dan Internasional ad hoc
complementary untuk mengadili
principle yang dimiliki pelaku kejahatan
oleh ICC. dimaksud
b) Jika terdapat indikasi 2). ICC sebagai lembaga penal
bahwa negara locus International Criminal Policy
delicti unwilling dan d a l a m ra n gka m e m e n u h i
unable atau negara itu ekspektasi dunia Internasional,
belum memiliki UU dapat menjalankan
untuk mengadili peranannya secara efektif dan
pelaku kejahatan prospektif dengan
tersebut, maka ICC mengaplikasikan semua
harus mengadili yurisdiksi yang dimilikinya
sendiri kejahatan terhadap negara non State
tersebut dan Party, yakni dengan
memidana individu mengaplikasikan Article 13
pelakunya. point b Statuta Roma.
c) Jika suatu negara baru Kendatipun terhadap non State
mengikatkan dirinya Party berlaku prinsp Hukum
sebagai State Party Perjanjian Internasional ”pacta
setelah Statuta Roma terteiis nec nocent nec prosunt”,
diberlakukan, maka DK PBB berdasarkan Bab VII
berlaku ketentuan Piagam PBB dapat
Statuta Roma bagi menyerahkan kasus tersebut
negara tersebut. kepada Jaksa untuk diproses
Namun, jika di dalam lebih lanjut sesuai ketentuan

832 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


Statuta Roma. karena itu sudah seharusnya
semua negara tadi, termasuk
2. Rekomendasi Indonesia, mendukung dan
a. 1). Globalisasi secara berangsur- mengikatkan diri dengan
angsur tapi pasti akan meratifikasi Statuta Roma.
membawa hidup dan Seandainyapun tidak, jika di
kehidupan negara menjadi dalam negara nasional terjadi
interdependent dalam satu salah satu four core crimes dan
dunia, terbentuk karena juga kejahatan terorisme, DK
pengaruh simultan dari faktor- PBB dan atau ICC tetap dapat
faktor ekonomi, politik, sosial memaksakan kewenangannya
d a n k u l t u ra l . M e n g i n g a t untuk mengaplikasikan
kekuatannya sedemikian yurisdiksi kriminal dan
dahsyat , menyebabkan personalnya.
terjadinya perubahan terhadap 2). Terkait dengan ”Tanggungjawab
faktor-faktor pembentuk Negara” dan ”Kewajiban
globalisasi dimaskud. Negara”, negara nasional
Kekhawatiran terhadap termasuk Indonesia, sebagai
fenomena demikian itu, yang subyek HI dan Hukum HAM
oleh suatu kelompok tertentu Internasional sudah
ditenggarai faktor seharusnya melakukan
penyebabnya karena dominasi tindakan-tindakan efektif
pengaruh politik, ekonomi dan untuk mencegah terjadinya
budaya Barat yang ”Pelanggaran HAM” baik yang
individualistis kapitalistis. terkualifikasi ”berat maupun
Timbulnya kekhawatiran yang bukan ”berat. Dan kendatipun
berlebihan ini, di satu pihak telah disesuaikan dengan
justru menjadi triger terjadinya kondisi sosial kultural
kejahatan terorisme secara bangsanya, namun harus dapat
global. Sehingga di manapun d i p a s t i k a n , b a h wa t i d a k
kita berada tidak luput dari satupun kaidah hukum yang
serangan teror demikian itu. ada di dalam sistem hukumnya
Perbuatan yang tidak bertentangan dengan kaidah
menghormati nilai-nilai Hukum Internasional dan
kemanusiaan demikian ini Hukum HAM Internasional.
nyata-nyata menimbulkan rasa b. 1). HPI ke depan sudah harus dapat
tidak aman dan mengancam mengantisipasi kemungkinan
p e rd a m a i a n d u n i a , ya n g p e rke m b a n ga n - p e rke m b a n ga n
eksistensinya harus diberantas Kejahatan Internasional termasuk
secara bersama-sama oleh negara sebagai pelakunya. Seperti
semua negara di dunia. Oleh kejahatan terorisme, genosida, atau

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 833


kejahatan berat HAM yang semuanya oleh International Law Commision
itu memiliki yurisdiksi Internasional, (ILC) yang bertugas untuk menata
karena dalam realitanya dapat seluruh bidang HI dalam usaha
dilakukan oleh negara. Jika nyata- melaksanakan progressive
nyata suatu negara, apa lagi Non- development international law and
State Party melakukan perbuatan codification of international law.
demikian, sehingga menimbulkan 2) Mengingat Hukum Pidana
kerugian materiil/imateriil yang Internasional merupakan
sangat besar bagi negara korban, konvergensi dua disiplin ilmu yakni
tentu tidak mungkin lagi terhadap aspek-aspek pidana dari HI dan
negara pelaku diaplikasikan aspek-aspek Internasional dari
responsibility of states in Hukum Pidana, serta telah terjadi
international law. Masyarakat realitas Internasionalisasi di segala
Internasional harus mengaplikasikan bidang kehidupan yang tidak
criminal responsibility in mungkin lagi dihindari, maka secara
International Criminal Law sebagai teoritikal dan praktikal tidak relevan
reaksinya, karena perbuatan yang lagi memposisikan Hukum (Pidana)
dilakukan jelas-jelas merupakan Nasional di atas Hukum (Pidana)
hostis humanis generis. Oleh karena Internasional dalam rangka
itu, HPI dalam perkembangannya menanggulangi Kejahatan
sudah harus mulai memikirkan, Internasional. Bahkan sistem Hukum
bagaimana kejahatan demikian (Pidana) Nasional harus mengadopsi
mendapat pengaturan di dalam dan mengadaptasi diri terhadap
kaidah HPI, bagaimana sistem dan perkembangan sistem Hukum
mekanisme pelaksanaan PJP-nya, (Pidana) Internasional. Dengan
mahkamah apa yang diberikan penegasan lain, dalam rangka
wewenang untuk mengadilinya, dan aplikasi International Criminal Policy
“Jenis pidana apa yang dapat by penal, HPI dan Statuta Roma harus
dijatuhkan. Pengaturan semua itu di dijadikan ”jus cogen” dalam
dalam HPI, adalah bertujuan untuk pemberantasan Kejahatan
mencegah tindakan-tindakan “main Internasional.
hakim” sendiri yang dilakukan oleh
negara korban, atau tindakan negara DAFTAR PUSTAKA
super power sebagai ”polisi dunia”,
sehingga tidak terjadi pula A. Masyhur Effendi dan Taufani Evandri,
pelanggaran kedaulatan, agresi, HAM (Dalam Dimensi/Dinamika
intervensi atau tindakan pembalasan Yuridis, Sosial, Politik, Dan Proses
lainnya. Pe ny u s u n a n / Ap l i ka s i H A - K H A M
Tuntutuan-tuntutan tersebut di atas (Hukum Hak Asasi Manusia) Dalam
sudah seharusnya dipikirkan dan Masyarakat, Ghalia Indonesia,
secara mendesak dicarikan solusinya Jakarta, 2010.

834 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013


Rohana K.M. Smith at.all, Hukum Hak Asasi
Bassiouni M. Cherif, International Criminal Manusia, Kata Pengantar Philip
Law, Vol. I Crimes, Transnational Alston dan Franz Magnis –Suseno,
Publishers, New York, 1986. PUSHAM UII Yogyakarta, 2008.

Brownlie. Ian, Principle of Public Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum


International Law, Claredon Press, Pidana Internasional, Refika Aditama,
Oxford, 1979. Bandung, 2000.

H. Hata, Hukum Internasional Dalam


Perkembangan, STHB Press, 2005.

............., Individu Dalam Hukum


Internasional, STHB Press, Bandung,
2005

I Wayan Parthiana, Hukum Pidana


Internasional, Yrama Widya,
Bandung, 2006.

Mardjono Reksodiputro, Multikuturalisme


dan Negara-Nasion serta Kejahatan
Transnasional dan Hukum Pidana
Internasional (Pemikiran Awal dan
Catatan untuk Direnungkan),
Makalah disampaikan dalam
Seminar Nasional “Pengaruh
Globalisasi terhadap Hukum Pidana
dan Kriminologi menghadapi
Kejahatan Transnasional”,
ASPEHUPIKI, Bandung, 17 Maret
2008.

Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan


Hukum Dalam Rangka Pembangunan
Nasional, Binacipta , Bandung, 1975.

.............., Mochtar Kusumaatmadja,


Pengantar Hukum Internasional,
Binacipta, Bandung, 1978.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013 835


836 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02 September 2013

Anda mungkin juga menyukai