Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Akne vulgaris atau jerawat merupakan penyakit peradangan kronis folikel
pilosebasea yang dihasilkan akibat peningkatan produksi sebum yang diinduksi
androgen, penyumbatan keratin, peradangan dan kolonisasi bakteri dari folikel
rambut pada wajah, leher, dada bagian atas, bahu dan punggung oleh
Propionibacterium acne. Gambaran klinisnya sering polimorfik yang terdiri atas
berbagai kelainan kulit berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut
yang terjadi akibat kelainan tersebut. (Williams HC et al. 2012, p.361)
Akne vulgaris mempengaruhi sekitar 85% dari remaja antara usia 12-24
tahun dan oleh karena itu merupakan kejadian fisiologis dalam kelompok ini.
Meskipun biasanya dianggap sebagai penyakit kaum muda, akne seringkali
berlanjut pada usia dewasa. Dalam sebuah studi berbasis survei terbaru, 35%
perempuan dan 20% laki-laki dilaporkan memiliki akne di usia 30-an, sementara
26% perempuan dan 12% laki-laki masih mengalami akne pada usia 40-an. Anak
laki-laki dan pria Kaukasia memiliki kecenderungan untuk memiliki penyakit
nodulokistik lebih parah dari kelompok lain. (Zaenglein L &Thiboutot M 2012,
p.545) Penyebab utama timbulnya akne belum diketahui dengan pasti, tetapi ada
dugaan kuat merupakan penyakit multifaktorial. Faktor-faktor penyebab akne
seperti genetik, ras, infeksi dan trauma, hormonal, diet, iklim, stres psikis, obat-
obatan dan merokok. (Wasitaatmadja 2007, hlm.255)
Penelitian genetika molekuler menyatakan genetik terlibat dalam
patogenesis akne, tetapi penjelasan mengenai interaksi tersebut tetap tidak
lengkap. Pada beberapa pasien, riwayat keluarga dengan akne berat dapat menjadi
faktor risiko. (Ali FR & Al-Niaimi F 2013, p.78) Hubungan antara diet dan akne
juga masih menjadi kontroversi. Sebuah studi observasional menemukan bahwa
asupan susu terutama susu skim berhubungan positif dengan prevalensi akne dan
keparahannya, dan studi prospektif telah mencatat adanya hubungan antara diet

1
2

tinggi glikemik dan risiko akne. Sedangkan stres psikis juga diketahui dapat
menjadi faktor pencetus akne. (Zaenglein L & Thiboutot M 2012, p.547)
Menurut World Health Organization (WHO) 2013 jumlah orang yang
merokok di dunia hingga kini tak kurang sekitar satu miliar orang dengan 80%
diantaranya disumbang dari negara berkembang. Menurut Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013 prevalensi merokok terus meningkat baik pada laki-laki maupun
perempuan, meskipun proporsi perokok setiap hari pada laki-laki lebih banyak
dibandingkan perokok perempuan (47,1% banding 1,1%). Proporsi penduduk
umur ≥15 tahun di Indonesia yang merokok dan mengunyah tembakau cenderung
meningkat dalam Riskesdas 2010 (34,7%) dan Riskesdas 2013 (36,3%). Proporsi
perokok usia ≥10 tahun terbanyak setiap hari berdasarkan provinsi menurut
Riskesdas 2013 saat ini di Kepulauan Riau (27,2%) disusul Jawa Barat (27,1%).
Menurut Riskesdas Jawa Barat 2013 penduduk Jawa Barat usia ≥10 tahun yang
merokok setiap hari tertinggi di kota Bogor yaitu 32% dan sebagian besarnya
merokok setiap hari pertama kali pada usia 15-19 tahun dengan presentase
tertinggi perokok usia 15-19 tahun di kota Bogor (51,5%). Menurut Global Youth
Tobacco Survey (GYTS) 2009 30,4% anak sekolah pernah merokok dengan 59%
dapat secara bebas membeli rokok di toko/warung.
Merokok mempunyai hubungan dengan kulit seperti menyebabkan
gangguan penyembuhan luka dan pengembangan dari keriput juga kanker. Selain
itu, beberapa penelitian menyatakan bahwa merokok berhubungan dengan
penyakit inflamasi kulit seperti palmoplantar pustulosis, psoriasis akne (inversa),
lupus eritematosus diskoid, dermatitis atopi dan dermatitis kontak. (Rombouts S et
al. 2006, p.326) Penelitian sebelumnya tentang hubungan antara merokok dan
akne vulgaris memberikan hasil yang bertentangan. Dari empat penelitian yang
diterbitkan, dua menyatakan positif, satu negatif dan satu lagi menyatakan tidak
ada hubungan antara merokok dan akne vulgaris. (Jemec GB et al. 2002,
p.178;Schafer T et al. 2001, p.100;Mills CM et al. 1993, p.100;Chuh AA et al.
2004, p.597) Perbedaan antara hasil penelitian ini mungkin karena masalah
metodologis seperti perbedaan dalam populasi penelitian, definisi merokok
dan/atau jerawat, ukuran sampel dan variabel perancu.
3

Menurut penelitian Firooz A et al. (2005, p.2) pada 293 pasien dengan
akne dan 301 pasien dengan penyakit kulit lainnya usia 15-40 tahun, terdapat 9
perokok diantara 64 laki-laki dengan akne dan 20 perokok diantara 116 laki-laki
tanpa akne dan 3 perokok diantara 229 perempuan dengan akne dan 7 perokok
diantara 185 perempuan tanpa akne, yang menyatakan tidak ada hubungan antara
merokok dengan akne. Sedangkan penelitian lain pada 600 remaja usia 14-18
tahun menunjukkan bahwa merokok bahkan dapat memiliki sifat pelindung dalam
perkembangan akne inflamasi di wajah pada perempuan, tetapi tentu saja tidak
dipromosikan sebagai terapi akne karena risiko yang terkait dan tidak ada
hubungan yang signifikan terdeteksi pada laki-laki. (Rombouts S et al. 2006,
p.326)
Berdasarkan latar belakang tersebut dimana masih terdapat kontroversi
mengenai faktor-fakor yang berhubungan dengan akne vulgaris maka penelitian
ini dilakukan dengan tujuan mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan
dengan derajat akne vulgaris di wajah terutama faktor kebiasaan merokok pada
siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Bogor Januari 2016.

I.2. Perumusan Masalah


Apakah faktor-faktor yang berhubungan dengan derajat akne vulgaris di
wajah siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016?

I.3. Tujuan Penelitian


Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah:
I.3.1.Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan derajat akne
vulgaris di wajah siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016
I.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui prevalensi penderita akne vulgaris di wajah
berdasarkan derajatnya pada siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016
2. Untuk mengetahui hubungan faktor kebiasaan merokok dengan
derajat akne vulgaris di wajah siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari
2016
4

3. Untuk mengetahui hubungan faktor genetik dengan derajat akne


vulgaris di wajah siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016
4. Untuk mengetahui hubungan faktor diet dengan derajat akne vulgaris
di wajah siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016
5. Untuk mengetahui hubungan faktor stres psikis dengan derajat akne
vulgaris di wajah siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016

I.4. Manfaat Penelitian


I.4.1. Manfaat Teoritis
Memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
derajat akne vulgaris di wajah siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016
I.4.2. Manfaat Praktis
1. Bagi Responden
a. Mendapatkan informasi dan edukasi mengenai faktor risiko
terjadinya akne vulgaris
2. Bagi Penulis
a. Menambah pengetahuan di bidang kedokteran mengenai faktor-
faktor yang berhubungan dengan derajat akne vulgaris di wajah
siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016
b. Sebagai bahan penelitian untuk melengkapi salah satu syarat
mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran
3. Bagi Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta
Penelitian ini dapat menambah sumber literatur pembelajaran dan
koleksi penelitian yang ada di perpustakaan Fakultas Kedokteran UPN
“Veteran” Jakarta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Landasan Teori


II.1.1. Akne Vulgaris
II.1.1.1. Definisi
Akne adalah penyakit dari unit pilosebasea folikel rambut di kulit yang
berhubungan dengan kelenjar minyak. Gambaran klinis dari akne termasuk
seboroik (kelebihan lemak), lesi non inflamasi (komedo terbuka dan tertutup), lesi
inflamasi (papula dan pustula) dan berbagai tingkat jaringan parut. (Williams HC
et al. 2012, p.361)
II.1.1.2. Epidemiologi
Beberapa derajat akne mempengaruhi hampir semua orang berusia 15
sampai 17 tahun, dari sedang sampai berat pada sekitar 15-20%. Meskipun
dianggap sebagai penyakit remaja, akne sering berlanjut hingga dewasa. Sebuah
studi di Jerman menemukan bahwa 64% dari mereka yang berusia 20-29 tahun
dan 43% dari mereka yang berusia 30-39 tahun terlihat memiliki akne. Akne
biasanya dimulai pada masa pubertas awal dengan peningkatan produksi minyak
wajah dan komedo pada pertengahan wajah diikuti oleh lesi peradangan. Onset
awal akne (sebelum usia 12 tahun) biasanya lebih kepada komedo daripada
peradangan, hal ini mungkin disebabkan orang tersebut belum mulai
memproduksi cukup sebum untuk mendukung sejumlah besar Proprionibacterium
acnes. (Williams HC et al. 2012, p.361)
II.1.1.3. Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebabnya multifaktorial baik yang berasal dari dalam (endogen)
maupun dari luar (eksogen). Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya akne
vulgaris, yaitu:

5
6

1. Faktor genetik
Peran yang tepat dari predisposisi genetik tidak pasti, tetapi
diketahui jumlah, ukuran, dan aktivitas kelenjar sebasea diturunkan.
Ballanger et al. (2006, p.145) pada penelitiannya melaporkan bahwa
terjadi peningkatan tingkat retensional lesi dan kesulitan terapi yang
menunjukkan nilai akne lebih parah pada pasien dengan riwayat keluarga
yang positif. Kemudian diketahui pula akne akan lebih parah pada pasien
dengan riwayat keluarga akne dari ibu atau dari kedua orangtua
dibandingkan pada pasien dengan riwayat keluarga akne dari ayah saja.
Semakin banyak anggota keluarga dengan riwayat akne, semakin
berkembangnya risiko untuk menderita akne derajat sedang sampai berat.
Hal itu dimungkinkan karena hiperkeratinisasi folikular dan sekresi sebum
dibawah kontrol hormonal. (Costa A et al. 2010, p.346)
Diketahui pula tingkat kesesuaian prevalensi dan keparahan akne
antara kembar identik sangat tinggi. Hal itu menyebabkan keyakinan yang
luas bahwa akne terkait dengan keluarga, namun karena prevalensi akne
yang sangat tinggi, sulit untuk secara eksklusif mengaitkannya dengan
faktor genetik.
2. Faktor hormonal
Efek hormonal pada sekresi sebum adalah kunci dari patogenesis
akne. Dengan terjadinya proses pematangan kelenjar adrenal yang
biasanya terjadi pada usia 7-8 tahun, mulai terjadi peningkatan sirlukasi
dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS) karena produksi kelenjar adrenal.
Hormon ini dapat berfungsi sebagai prekusor untuk sintesis androgen yang
lebih kuat dalam kelenjar sebasea. Kenaikan tingkat serum DHEAS pada
anak-anak praremaja dikaitkan dengan peningkatan produksi sebum dan
perkembangan awal dari akne komedo. (Zaenglein L &Thiboutot M 2012,
p.546)
3. Faktor infeksi dan trauma
Propionibacterium acnes berperan dalam iritasi epitel folikel dan
mempermudah terjadinya akne. Selain itu adanya trauma fisik berupa
gesekan maupun tekanan dapat juga merangsang timbulnya akne.
7

4. Faktor diet
Makanan sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya akne masih
diperdebatkan. Menurut hasil survei penelitian pada 10.000 subjek di
Perancis menyatakan bahwa tingkat keparahan akne berhubungan dengan
konsumsi makanan tinggi lemak ataupun tinggi gula seperti
coklat/manisan, produk susu, soda dan makanan cepat saji. (Wolkenstein
2012, p.568) Makanan yang mengandung banyak lemak dapat merangsang
kambuhnya akne dengan cara mempertinggi kadar komposisi sebum yang
berperan pada patogenesis akne. (Siregar RS 2005, hlm.178)
Sebuah bukti signifikan juga menunjukkan diet tinggi indeks
glikemik seperti produk gandum dan gula mempengaruhi sejumlah
hormon yang mengatur proliferasi keratinosit dan deskuamasi korneosit
pada patogenesis akne. Makanan tinggi indeks glikemik terkait erat
dengan respon insulin (pengecualian untuk produk susu yang memiliki
indeks glikemik rendah tetapi menyebabkan respon insulin yang tinggi),
konsumsi akut atau kronis makanan tersebut dapat menyebabkan
hiperinsulinemia jangka panjang dan resistensi insulin. Hiperinsulinemia
meningkatkan free insuline like growth factor 1 (IGF-1) sambil
mengurangi insuline like growth factor binding protein 3 (IGFBP-3) yang
beredar, dimana IGF-1 secara langsung menstimulasi proliferasi
keratinosit sedangkan IGFBP-3 menghambat proliferasi keratinosit
terlepas dari aktivitas reseptor IGF 1-nya. Selain itu, peningkatan produksi
sebum juga dirangsang oleh insulin dan IGF-1. Sedangkan makanan
berminyak merangsang sitokin proinflamasi dan profil eicosanoid yang
mempengaruhi proses inflamasi pada patogenesis akne. (Cordain L 2005,
p.87)
5. Faktor stres psikis
Terjadinya stres psikis dapat memicu kegiatan kelenjar sebasea,
baik secara langsung atau melalui rangsangan terhadap kelenjar hipofisis
yang berkaitan dengan patogenesis akne. (Wasitaatmadja 2007, hlm.255)
Akne timbul disebabkan oleh meningkatnya kadar hormon, dan ketika
stres terjadi fluktuasi hormon yang menyebabkan kelenjar minyak kulit
8

memproduksi, membesar dan mengeluarkan lebih banyak minyak.


Kelebihan minyak ditambah sel kulit mati akan menutup pori-pori kulit.
(McCourt DF 2015, p.2) Stres menyebabkan respon inflamasi dalam tubuh
dan dapat menyebabkan dinding pori-pori yang tertutup rusak. Ketika hal
itu terjadi, tubuh merespon dengan kemerahan disekitar pori yang rusak
dan timbulnya nanah. Stres dapat membuat akne menjadi lebih parah,
tetapi bukan sebagai akar penyebabnya. (Zouboulis CC & Bohm M 2004,
p.31)
Stres psikis juga sering ditemukan sebagai faktor penyebab
kambuhnya akne. Adanya akne menimbulkan dampak psikososial yang
tidak terbantahkan, dan individu yang terkena memiliki kemungkinan
peningkatan kesadaran diri dan isolasi sosial sehingga mendorong
penderita memanipulasi aknenya secara mekanis, sehingga kerusakan
dinding folikel semakin parah dan bisa menimbulkan lesi-lesi akne baru.
(Harahap 2000, hlm.35)
6. Faktor obat-obatan
Beberapa obat mempunyai efek samping menimbulkan jerawat,
terutama kortikosteroid (mengakibatkan lesi peradangan monomorfik),
antikonvulsan, lithium, iodida dan agen kemoterapi terbaru seperti
inhibitor reseptor faktor pertumbuhan epidernal misalnya erlotinib. (Ali
FR & Al-Niaimi F 2013, p.78)
II.1.1.4. Manifestasi Klinis
Lesi utama akne vulgaris adalah mikrokomedo, atau mikrokomedone,
yaitu pelebaran folikel rambut yang mengandung sebum dan P.acnes. Sedangkan
lesi akne lainnya dapat berupa papul, pustul, nodul dan kista pada daerah
predileksi akne yaitu pada wajah, bahu, dada, punggung dan lengan atas. Komedo
yang tetap berada dibawah permukaan kulit tampak sebagai komedo white head,
sedangkan komedo yang bagian ujungnya terbuka pada permukaan kulit disebut
komedo black head karena secara klinis tampak berwarna hitam pada epidermis.
Scar dapat merupakan komplikasi dari akne, baik akne non-inflamasi maupun
inflamasi. Ada empat tipe scar karena akne, yaitu: scar icepick, rolling, boxcar
dan hipertropik. (Rizqun NA 2015, p.103)
9

Gambar 1. Komedo pada bagian pipi Gambar 2. Komedo tertutup

Gambar 3. Komedo terbuka pada pasien Gambar 4. Akne inflamasi


dengan kista jaringan parut papula,pustula dan atrofi scar

Gambar 5. Icepick scar

(Sumber: Zaenglein L&Thiboutot M,2012)


10

II.1.1.5. Klasifikasi
Sampai saat ini, belum terdapat standart internasional untuk
pengelompokan dan sistem grading akne. Hal ini tidak jarang menimbulkan
kesulitan dalam pengelompokan akne.
Klasifikasi akne yang paling ‘tua’ adalah klasifikasi oleh Pillsburry pada
tahun 1956, yang mengelompokkan akne menjadi 4 skala berdasarkan perkiraan
jumlah dan tipe lesi, serta luas keterlibatan kulit. (Barratt et al. 2009, p.132)
Klasifikasi lain oleh Plewig dan Kligman (1975), yang mengelompokkan
akne vulgaris menjadi:
1. Acne komedonal
a. Grade 1: Kurang dari 10 komedo pada tiap sisi wajah
b. Grade 2 : 10-25 komedo pada tiap sisi wajah
c. Grade 3 : 25-50 komedo pada tiap sisi wajah
d. Grade 4 : Lebih dari 50 komedo pada tiap sisi wajah

2. Acne papulopustul
a. Grade 1 : Kurang dari 10 lesi pada tiap sisi wajah
b. Grade 2 : 10-20 lesi pada tiap sisi wajah
c. Grade 3 : 20-30 lesi pada tiap sisi wajah
d. Grade 4 : Lebih dari 30 lesi pada tiap sisi wajah

3. Acne konglobata
Merupakan bentuk akne yang berat, sehingga tidak ada pembagian tingkat
beratnya penyakit. Biasanya lebih banyak diderita oleh laki-laki. Lesi yang khas
terdiri dari nodulus yang bersambung, yaitu suatu masa besar berbentuk kubah
berwarna merah dan nyeri. Nodul ini mula-mula padat, tetapi kemudian dapat
melunak mengalami fluktuasi dan regresi, dan sering meninggalkan jaringan
parut. (Ramli R et al. 2012, p.2)
11

Menurut Indonesian Acne Expert Meeting (IAEM) 2012 klasifikasi akne


adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Klasifikasi ASEAN grading Lehmann 2003 (IAEM,2012)


Klasifikasi Komedo Papul/pustul Nodul
Ringan <20 <15 (-)
Sedang 20-100 15-50 <5
Berat >100 >50 >5
(Sumber: IAEM,2012)

Gambar 6. Akne derajat ringan Gambar 7. Akne derajat sedang

Gambar 8. Akne derajat berat

(Sumber: Harahap,2000)
12

II.1.1.6. Patogenesis
Patogenesis dari akne adalah multifaktorial, tetapi terdapat 4 tahapan dasar
antara lain (Zaenglein AL et al. 2008, p.690-692):
1. Hiperproliferasi folikular epidermis
Hiperproliferasi folikular epidermis menyebabkan terbentuknya
lesi primer akne, yaitu mikrokomedo. Permukaan epitel folikel rambut,
infundibulum, menjadi hiperkeratotik disertai dengan peningkatan kohesi
keratinosit. Peningkatan sel dan kepekatannya, menyebabkan sumbatan
pada ostium folikel. Sumbatan ini menyebabkan terjadinya akumulasi
keratin, sebum dan bakteri pada folikel, yang kemudian menyebabkan
dilatasi folikel rambut bagian atas dan membentuk mikrokomedo. Sampai
saat ini yang menstimulasi terjadinya hiperproliferasi keratinosit dan
peningkatan adhesi masih belum diketahui, namun terdapat beberapa
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya hiperproliferasi keratinosit
yaitu: pengaruh hormon androgen, penurunan Linoleic Acid dan
peningkatan aktivitas IL-1α.
Androgen menyebabkan peningkatan ukuran kelenjar sebasea,
menstimulasi produksi sebum, serta menstimulasi proliferasi keratinosit
pada duktus kelenjar sebasea dan acroinfundibulum. Androgen yang
paling penting adalah testosteron, yang diubah menjadi dihidrotestosteron
(DHT) oleh enzim 5α-reduktase. DHT adalah androgen poten yang
berperan pada akne. Kulit penderita akne menunjukkan peningkatan
densitas reseptor androgen dan aktivitas 5α-reduktase yang lebih tinggi,
sehingga meningkatkan produksi DHT. DHT dapat merangsang proliferasi
keratinosit folikel.
Defisiensi asam linoleat dapat menyebabkan hiperproliferasi
keratinosit folikular dan menghasilkan sitokin pro-inflamasi. Semakin
rendah konsentrasi asam linoleat, yang berkorelasi dengan tingginya
sekresi sebum, menyebabkan defisiensi lokalisata asam lemak esensial
pada epitel folikular. Defisiensi ini kemudian bertanggungjawab terhadap
penurunan fungsi barrier epitel dan hiperkeratosis folikular, yang semakin
memperparah akne.
13

Interleukin-1α (IL-1α) juga berperan dalam terjadinya


hiperproliferasi keratinosit. Jika ditambahkan IL-1, keratinosit folikular
manusia menunjukkan adanya hiperproliferasi dan pembentukan
mikrokomedo.
2. Peningkatan produksi sebum dari kelenjar sebasea
Penderita akne memproduksi sebum lebih banyak jika
dibandingkan dengan yang tidak menderita akne. Salah satu komponen
sebum yaitu trigliserida, berperan penting dalam patogenesis akne. Flora
normal unit pilosebasea yaitu P.acnes akan memecah trigliserida menjadi
asam lemak bebas. Asam lemak bebas ini akan menyebabkan terjadinya
lebih banyak kolonisasi P.acnes, memicu inflamasi dan selain itu juga
bersifat komedogenik.
Hormon androgen juga berperan dalam produksi sebum yaitu
mengikat dan mempengaruhi aktivitas sebocyte melalui sekresi insuline
like growth factor 1 (IGF-1) pada keadaan hiperinsulinemia.
3. Proses inflamasi
Ekstruksi sebum, keratin, dan bakteri ke dalam dermis
menimbulkan reaksi inflamasi. Sel dominan yang berperan dalam 24 jam
pertama saat pecahnya komedo adalah sel limfosit, 1-2 hari setelah
pecahnya komedo sel neutrofil menjadi sel yang dominan disekitar
mikrokomedo.
4. Kolonisasi Propionibacterium acnes
Bakteri ini aktif berperan serta dalam proses inflamasi pada akne.
P.acnes adalah bakteri Gram positif, anaerob dan mikroaerob yang dapat
ditemukan pada folikel sebasea. Remaja dengan akne memiliki konsentrasi
P.acnes lebih tinggi dibandingan dengan yang tidak akne.
Dinding sel dari P.acnes mengandung karbohidrat antigen yang
menstimulasi perkembangan antibodi. Antibodi antipropionibakterium
meningkatkan respon inflamasi dengan mengaktivasi komplemen,
sehingga memulai terjadinya kaskade pro-inflamasi. P.acnes juga
memfasilitasi proses inflamasi dengan mengeluarkan respon
14

hipersensitivitas tipe lambat dan dengan memproduksi enzim lipase,


protease, hialuronidase, dan faktor kemotaktik lainnya.
P.acnes juga akan merangsang pengeluaran sitokin dengan
mengikat Toll Like Receptor 2 (TLR2) pada sel monosit dan sel
polimorfonuklear di sekitar folikel sebasea. Setelah TLR2 berikatan
dengan sel monosit dan sel polimorfonuklear, terjadi pelepasan sitokin
pro-inflamasi seperti IL-1, IL-8, IL-12 dan Tumor Necrosis Factor α
(TNFα). TLR2 adalah protein transmembran yang merupakan mediator
terhadap peptidoglikan bakteri Gram positif.

Gambar 9. Patogenesis akne

(Sumber: Zaenglein AL et al.,2008)


15

II.1.1.7. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan dilihat gambaran klinis berupa:
a. Akne ringan, yang terdiri dari komedo (terbuka/tertutup) dan papul
b. Akne sedang, yang terdiri dari komedo, papul, pustul dan nodul
c. Akne berat, yang terdiri dari komedo, papul, pustul, nodul, kista dan scar
Secara umum, pemeriksaan laboratorium bukan merupakan indikasi untuk
penderita akne vulgaris, kecuali jika dicurigai adanya hiperandrogenism.
(Zaenglein AL et al. 2008, p.693)
16

II.1.1.8. Diagnosis Banding

Tabel 2. Diagnosis Banding dari Akne


ACNE VULGARIS – KOMEDONAL
Tertutup Terbuka
• Milia • Contact acne
• Osteoma cutis • Acne exacerbated by systemic
• Sebaceous hyperplasia corticosteroidsor anabolic steroids
• Syringomas • Trichostasis spinulosa
• Trichoepitheliomas • Favre–Racouchot disease
• Trichodiscomas, fibrofolliculomas • Nevus comedonicus
• Eruptive vellus hair cysts, • Basaloid follicular hamartoma
steatocystoma multiplex syndrome
• Colloid milia • Familial dyskeratotic comedones
• Acne exacerbated by systemic • Radiation-induced comedones
corticosteroidsor anabolic steroids • Dilated pore of Winer (single lesion)
• Contact acne (occupational, pomade, • Follicular spines (in settings such as
cosmetica, mechanica; chloracne) viral-associated trichodysplasia
• Follicular mucinosis spinulosa, type VI pityriasis rubra
pilaris, multiple myeloma, demodicosis,
follicular mucinosis and lithium
therapy)
ACNE VULGARIS – INFLAMASI
• Rosacea • Keratosis pilaris
• Perioral dermatitis • Viral-associated trichodysplasia
• Folliculitis – culture-negative (normal spinulosa (also referred to as viral-
flora), staphylococcal, Gram-negative, associated trichodysplasia of
eosinophilic, Pityrosporum, Demodex immunosuppression)
spp. (adults > children) • Lupus miliaris disseminatus faciei
• Acne/acneiform eruptions due to topical • Psychogenic (neurotic) excoriations,
or systemic corticosteroids, anabolic factitial lesions
steroids or other medications (e.g. • Follicular mucinosis, follicular mycosis
lithium, EGFR inhibitors) fungoides
• Pseudofolliculitis barbae, acne • Tinea faciei
keloidalis nuchae • Molluscum contagiosum (especially
• Furuncle/carbuncle inflamed lesions)
• Neutrophilic dermatoses and • Angiofibromas
neutrophilic eccrine hidradenitis
(Sumber: Zanglein AL et al.,2008)
17

II.1.1.9. Terapi
Pengobatan akne dibagi menjadi medikamentosa dan non medikamentosa.
(Harahap 2000, hlm.45)
Medikamentosa terdiri dari:
1) Pengobatan topikal
- Zat kimia iritan
-Sulfur 1-10% bersifat antibakteri, keratolitik dan antiseboroik.
-Asam alfa hidroksi (AHA) ; asam glikolat 3-8%
-Vitamin A asam (Tretinoin 0,05-0,1% krim atau 0,025% gel) sebagai
perangsang peredaran darah dan epidermolisis
- Antibiotik topikal
-Klindamisin 1%
-Eritromisin 2%
- Tindakan khusus
-Ekstraksi komedo -Insisi
-Eksisi -Krioterapi
-Injeksi kolagen -Injeksi kortikosteroid intralesi
-Laser -Dermabrasi
2) Pengobatan sistemik
- Antibiotik sistemik
-Tetrasiklin HCl 4 x 250 mg/hari selama 3-6 minggu
-Doksisiklin 1 x 100 mg/hari selama 2-4 minggu
-Eritromisin 4 x 250 mg/hari selama 2-6 minggu
- Hormon
-Antiandrogen : Spironolakton 20-50%, 50-100 mg 2x sehari
Siproteron asetat 2-100 mg dalam dosis tunggal
-Kontrasepsi oral (estrogen dan progesteron) selama 6 bulan
- Vitamin A : 50.000-100.000 UI/hari selama 6 bulan
- Seng : 3x 200 mg/hari selama 4 minggu

Non medikamentosa terdiri dari:


Nasehat untuk memberitahu penderita mengenai seluk beluk akne vulgaris.
perawatan wajah, perawatan kulit kepala dan rambut, kosmetika, diet, emosi dan
faktor psikosomatik.
18

II.1.2. Rokok
II.1.2.1. Definisi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia rokok adalah gulungan tembakau
(kira-kira sebesar kelingking) yang dibungkus (daun nipah, kertas). Rokok juga
termasuk hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya
yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies
lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa
bahan tambahan. (Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003)
II.1.2.2. Kategori Perokok
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2003 derajat berat
merokok berdasarkan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata
batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun dapat
dibagi menjadi tiga derajat yaitu:
a. Ringan: 0-200 batang
b. Sedang: 200-600 batang
c. Berat: >600 batang
Haris A et al. (2012, hlm.19) menyebutkan dua macam perokok yaitu: 1)
Perokok aktif, yaitu seseorang yang menghisap rokok dan menghirup langsung
asap rokok utama (mainstream smoke); dan 2) Perokok pasif, yaitu seseorang
yang tidak merokok tetapi secara terpaksa ataupun tidak menghirup asap rokok
lingkungan (environment tobacco smoke).
II.1.2.3. Jenis Rokok
Menurut Haris A et al. (2012, hlm.18) di Indonesia rokok dibedakan
berdasarkan bahan pembungkus rokok, bahan baku atau isi rokok dan penggunaan
filter pada rokok. Berdasarkan bahan pembungkus maka rokok dibedakan
menjadi:
a. Klobot: rokok yang bahan pembungkus berupa daun jagung
b. Kawung: rokok yang bahan pembungkus berupa daun aren
c. Sigaret: rokok yang bahan pembungkus berupa kertas
d. Cerutu: rokok yang bahan pembungkus berupa daun tembakau
19

Sedangkan berdasarkan bahan baku atau isi, rokok dibedakan menjadi:


a. Rokok putih: rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun tembakau
yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu
b. Rokok kretek: rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau
dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma
tertentu
c. Rokok klembak: rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun
tembakau, cengkeh, dan kemenyan yang diberi saus untuk mendapatkan
efek rasa dan aroma tertentu
Berdasarkan penggunaan filter, rokok dibedakan menjadi:
a. Rokok filter (RF): rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus
b. Rokok non filter (NRF): rokok yang pada bagian pangkalnya tidak
terdapat gabus.
II.1.2.4. Kandungan Rokok
Rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen-elemen dan 200
diantaranya berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada rokok adalah tar,
nikotin dan karbon monoksida (CO). Selain itu, dalam sebatang rokok juga
mengandung bahan-bahan kimia lain yang tidak kalah beracunnya. (Gondodiputro
S 2007, hlm.9-12)
1. Karbon Monoksida (CO)
Unsur ini dihasilkan oleh pembakaran tidak sempurna dari unsur zat
arang/karbon. Gas CO yang dihasilkan sebatang rokok dapat mencapai 3-
6%. Seseorang yang merokok hanya akan menghisap 1/3 bagian saja, yaitu
arus tengah, sedangkan arus pinggir akan tetap berada diluar. Gas CO
mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin yang terdapat dalam sel
darah merah lebih kuat dibandingkan oksigen, sehingga setiap ada asap
tembakau, disamping kadar oksigen udara yang sudah berkurang ditambah
lagi sel darah merah akan semakin kekurangan oksigen karena yang
diangkut adalah CO bukan oksigen. Sel tubuh yang kekurangan oksigen
akan melakukan spasme, bila proses ini berlangsung terus menerus, makan
pembuluh darah akan mudah rusak dengan terjadinya proses aterosklerosis
(penyempitan).
20

2. Nikotin
Nikotin yang terkandung dalam rokok adalah sebesar 0,5-3 nanogram, dan
semuanya diserap sehingga di darah ada sekitar 40-50 nanogram nikotin
setiap milinya. Hasil pembakaran panas dari nikotin seperti dibensakridin,
dibensokarbasol, dan nitrosaminelah yang bersifat karsinogenik. Pada
paru-paru nikotin akan menghambat aktivitas silia. Selain itu, nikotin juga
memiliki efek adiktif dan psikoaktif dimana perokok akan merasakan
kenikmatan, kecemasan berkurang, toleransi dan keterikatan fisik.
Efek lain nikotin menyebabkan perangsangan terhadap hormon
katekolamin (adrenalin) yang bersifat memacu jantung dan tekanan darah.
Jantung tidak diberikan kesempatan istirahat dan tekanan darah akan
semakin tinggi, yang mengakibatkan timbulnya hipertensi. Nikotin juga
merangsang berkelompoknya trombosit sehingga menggumpal dan akan
menyumbat pembuluh darah yang sudah sempit akibat CO.
3. Tar
Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang
merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel
pada paru-paru. Kadar tar dalam rokok antara 0,5-35 mg/batang. Tar
merupakan suatu zat karsinogen yang dapat menimbulkan kanker pada
jalan nafas dan paru-paru.
4. Amoniak
Merupakan gas yang tidak berwarna terdiri dari nitrogen dan hidrogen.
Biasa digunakan sebagai pembersih lantai
5. HCN/Asam Sianida
HCN merupakan sejenis gas yang tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak
memiliki rasa. Efisien menghalangi pernafasan dan merusak saluran napas.
6. Fenol
Adalah campuran kristal yang dihasilkan dari distilasi beberapa zat
organik seperti kayu dan arang. Zat ini beracun dan membahayakan karena
fenol terikat ke protein sehingga menghalangi aktivitas enzim.
21

7. Formaldehid
Sejenis gas dengan bau tajam. Gas ini tergolong sebagai pengawet dan
pembasmi hama
8. Toluen
Pelarut industri
9. Naptalin
Kapur barus
10. N-nitrosamina
Asap rokok mengandung 2 jenis utama N-nitrosamina, yaitu Volatile N-
nitrosamina (VNA) dan Tobacco N-nitrosamina. VNA diklasifikasikan
sebagai karsinogen potensial.
II.1.2.5. Efek Rokok Terhadap Kulit
Meskipun penjelasan mengenai hubungan antara merokok dengan akne
tidak diketahui, gangguan mikrosirkulasi pada kulit, sintesis kolagen dan elastin
juga gangguan penyembuhan luka mungkin ikut bertanggung jawab untuk efek
dari merokok pada perkembangan akne. Merokok juga mempunyai efek
imunosupresan dan mempengaruhi sel dari sistem imun bawaan seperti makrofag,
sel NK, neutrofil dan sistem imun adaptif seperti limfosit T dan B. Merokok lebih
menghambat komponen inflamasi dari akne daripada proses komedogenik.
(Rombouts S et al. 2006, p.332) Defisiensi antioksidan yang disebabkan merokok
dapat menyebabkan perubahan pada komposisi sebum. (Capitanio B et al. 2009,
p.129)
Beberapa penelitian lain menyatakan kemungkinan efek protektif dari
nikotin pada rokok terhadap perkembangan inflamasi pada kulit. Komponen
nikotin bahkan mungkin bermanfaat untuk penyakit tertentu. Nikotin
meningkatkan adhesi keratinosit, differensiasi dan apoptosis juga menghambat
migrasi keratinosit. Nikotin juga menghambat inflamasi melalui efek pada sistem
saraf pusat dan perifer dan mengubah respon imun dengan secara langsung
berinteraksi dengan sel T. (Klaz I et al. 2006, p.1751)
22

II.2. Kerangka Teori


Berdasarkan tinjauan pustaka diatas, maka disusun kerangka teori sebagai
berikut:

Akne Vulgaris

Faktor Memperburuk (-): Faktor Memperbaiki (+):

Merokok

 Genetik  Menjauhi faktor


 Hormonal pemicu
 Diet  Pola hidup sehat
 Stres  Perawatan
 Infeksi&trauma wajah
 Obat-obatan Derajat Akne
Vulgaris
Pengobatan akne
vulgaris

 Peningkatan
produksi sebum
 Hiperproliferasi
folikular epidermis
 Kolonisasi
Propionibacterium
acnes
 Proses inflamasi
23

II.3. Kerangka Konsep


Variabel Independen Variabel Dependen

Kebiasaan merokok

Genetik
Derajat akne vulgaris

Diet

Stres psikis

II.4. Hipotesis
H1:Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan derajat akne vulgaris di
wajah
H2: Ada hubungan antara genetik dengan derajat akne vulgaris di wajah

H3: Ada hubungan antara diet dengan derajat akne vulgaris di wajah

H4: Ada hubungan antara stres psikis dengan derajat akne vulgaris di wajah
BAB III
METODE PENELITIAN

III.1. Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian analytic comparatif dengan rancangan
penelitian cross sectional untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan derajat akne vulgaris di wajah dengan melakukan obervasi dan penilaian
pada waktu yang sama untuk mengetahui hubungan faktor risiko dengan efek.

III.2. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 2 Bogor
Penelitian dilakukan pada bulan November 2015- Januari 2016

III.3. Subjek Penelitian


III.3.1. Populasi target
Populasi target dari penelitian ini adalah siswa SMA Negeri di Kota Bogor
III.3.2. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau dari penelitian ini adalah siswa SMA Negeri 2 Bogor
III.3.3. Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah siswa SMA Negeri 2 Bogor kelas X-XII yang
memenuhi kriteria inklusi subjek penelitian
III.3.3.1. Kriteria Inklusi
1. Siswa laki-laki yang menderita akne vulgaris
2. Siswa laki-laki yang sehat
3. Siswa laki-laki yang bersedia menjadi responden
III.3.3.2. Kriteria Eksklusi
1. Siswa laki-laki yang sedang melakukan pengobatan akne vulgaris ke
dokter umum/spesialis kulit
2. Siswa laki-laki yang sedang mengkonsumsi obat-obatan yang
menginduksi akne vulgaris (kortikosteroid, antikonvulsan, lithium, iodida)
3. Siswa laki-laki yang sedang melakukan pengobatan penyakit lain

24
25

III.4. Teknik Sampling


Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sample non-probability
sampling, yaitu subjek yang dipilih adalah subjek yang berkaitan dengan topik
penelitian. Desain non-probability sampling yang digunakan adalah consecutive
sampling, yaitu semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan
dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi.
(Sastroasmoro S& Ismael S, 2011)

III.5. Besar Sampel


Rumus sampel yang digunakan (Dahlan MS,2009):

𝑍𝛼√2𝑃𝑄+ 𝑍𝛽 √𝑃1𝑄1+𝑃2𝑄2
n1=n2=( )²
𝑃1−𝑃2

Keterangan:
Zα= Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5% hipotesis satu arah (1,96)
Zβ= Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 20% (0,84)
P2= Proporsi perokok pada provinsi Bogor sebesar 27% (0,27)
Q2= 1-0,27= 0,73
P1-P2= Selisih proporsi perokok minimal yang dianggap bermakna, ditetapkan
sebesar 20% (0,2)
P1= P2+0,2 = 0,27+0,2= 0,47
Q1= 1-P1 = 1-0,47= 0,53
P= (P1+P2)/2= (0,47+0,27)/2= 0,37
Q= 1-P = 1-0,37= 0,63

Dengan memasukkan nilai-nilai diatas pada rumus, diperoleh:

1,96√2𝑥0,37𝑥0,63+ 0,84 √0,47𝑥0,53+0,27𝑥0,73


n1=n2=( )² = 91
0,47−0,27

Untuk mencegah drop out maka dilakukan penambahan sampel sebanyak


10% dengan asumsi bahwa desain studi cross sectional memiliki peluang drop out
sebanyak 9 sampel. Jadi besar sampel adalah 100.
26

III.6. Variabel Penelitian


III.6.1. Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kebiasaan merokok, genetik,
diet, dan stres psikis
III.6.2. Variabel Tergantung
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah derajat akne vulgaris
III.6.3. Variabel Perancu
Variabel perancu yang mungkin berpengaruh dalam penelitian ini adalah
ras, trauma dan infeksi, hormonal, iklim dan obat-obatan. Tetapi variabel
ras disamakan bahwa sampel adalah ras Mongoloid, variabel trauma dan
infeksi disamakan bahwa penyebab akne adalah bakteri P.acnes dan
pemencetan, variabel hormonal disamakan bahwa sampel sudah
mengalami pubertas, variabel iklim disamakan daerah tropis dan variabel
obat-obatan disamakan bahwa sampel tidak sedang melakukan pengobatan
akne dan pengobatan penyakit lain.
27

III.7. Definisi Operasional


No Variabel Definisi operasional Kategori pengukuran Skala
pengukuran

1 Akne vulgaris Penyakit peradangan Nilai ukur: Derajat Ordinal


menahun folikel akne menurut
pilosebasea yang
Indonesian Acne
disertai dengan
penyumbatan dan Expert Meeting (2012)
penimbunan bahan 1.akne derajat ringan
keratin yang ditandai
(komedo
dengan adanya komedo
terbuka (black <20,papul/pustul <15)
head),komedo 2.akne derajat sedang
tertutup(white head),
(komedo 20-
papul dan pustul
100,papul/pustul 15-
50,nodul <5)
3.akne derajat berat
(komedo
>100,papul/pustul
>50,nodul >5)
2 Kebiasaan Derajat merokok Nilai ukur: Kategori Ordinal
merokok (perkalian jumlah perokok menurut
batang rokok yang PDPI(2003)
dihisap perhari 1.Perokok ringan (0-
dikalikan lama merokok 200 batang)
dalam tahun) 2.Perokok sedang
(200-600 batang)
3.Perokok berat (>600
batang)
-Tidak merokok
28

3 Genetik Orang tua (ibu Nilai ukur: Nominal


dan/ayah) dan/ saudara -Ya
kandung yang -Tidak
mengalami masalah
akne
4 Diet Kebiasaan Nilai ukur: Penilaian Ordinal
mengkonsumsi frekuensi pangan
makanan dalam dengan Food
hitungan Frequency Questioner
hari,minggu,bulan,tahun (FFQ) dalam 1 bulan
terakhir
-Sering
(>1x/hri,1x/hri,4-
6x/mgg)
-Kadang-kadang (1-
3x/mgg)
-Jarang (1-3x/bln)
5 Stres psikis Reaksi non-spesifik dari Nilai ukur: Penilaian
Ordinal
manusia terhadap tingkat stres dengan
rangsangan atau stressor kuesioner Perceived
Stress Scale 1983
menurut Cohen et al.
(1997)
1.Tidak stres (skor
<20)
2.Stres ringan (skor 20-
24)
3.Stres sedang (skor
25-29)
4.Stres berat (skor ≥30)
29

III.8. Pengumpulan Data


III.8.1. Alat
Alat atau instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah daftar pertanyaan (kuesioner), yaitu instrumen penilaian derajat keparahan
akne vulgaris berdasarkan klasifikasi menurut Indonesian Acne Expert Meeting
2012, instrumen kebiasaan merokok berdasarkan Indeks Brinkman (IB) 2003,
instrumen penilaian frekuensi pangan berdasarkan Food Frequency Questioner
(FFQ) dan instrumen penilaian tingkat stres berdasarkan Perceived Stress Scale
1983.
III.8.2. Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dengan cara pengisian
kuesioner dan dalam pengisian kuesioner dipandu oleh peneliti.
III.8.3. Cara Kerja
Penelitian dilakukan pada siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Bogor
yang memiliki akne. Kemudian dimintakan informed consent dan diberikan
lembar kuesioner dimana pengisiannya dipandu oleh peneliti.
Diagnosis dilakukan oleh dokter spesialis kulit dan kelamin RSPAD
Gatot Subroto yaitu dr. Silvia Veronica, SpKK. Dengan cara, peneliti melakukan
dokumentasi atau foto wajah responden dengan menggunakan kamera NIKON
D3100 dan pengambilan foto disesuaikan dengan guideline clinical photography
(Nayler JR 2003, p.256-262), kemudian foto dicetak dikertas foto mengkilap dan
ditempelkan pada kuesioner yang sudah diisi responden dan selanjutnya dilihat
dan didiagnosis oleh dokter spesialis.
Bentuk kuesioner yang digunakan adalah bentuk multiple choice yang
mana dari pertanyaan yang ada responden bisa memilih jawaban sesuai
pendapatnya.
30

III.9. Alur Penelitian

Permintaan persetujuan
pengambilan data ke Sekolah
Menengah Atas Negeri 2
Bogor

Permintaan persetujuan
sebagai responden pada
siswa Sekolah Menengah
Atas Negeri 2 Bogor

Pengisian kuesioner oleh


responden dan dokumentasi
oleh peneliti

Pemilahan responden
berdasarkan kriteria inklusi
dan eksklusi
Hasil

Diagnosis oleh dokter


spesialis kulit dan kelamin
Pengolahan dan analisis data
RSPAD Gatot Subroto

III.10. Analisis Data


Setelah data terkumpul, maka dilakukan:
1. Pengecekan terhadap data-data yang terdapat pada kuesioner.
2. Melakukan seleksi terhadap data yang terkumpul. Pada tahap ini kita
menilai apakah sampel masuk ke dalam kriteria inklusi apa tidak.
3. Selanjutnya dilakukan analisis data
Analisis data antara variabel bebas dan variabel tergantung dilakukan uji
hipotesa dengan analisis bivariat chi square untuk melihat besar hubungannya,
31

dimana penelitian dikatakan bermakna jika mempunyai nilai expected count <5%
yang dinyatakan ada hubungan bermakna antara variabel.

III.11. Etika Penelitian


- Meminta persetujuan (informed consent) responden setelah
mendapatkan penjelasan mengenai penelitian ini.
- Kepentingan responden diutamakan.
- Responden tidak dikenai biaya apapun.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian


IV.1.1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di SMA Negeri 2 Bogor yang terletak di JL.Keranji Ujung 1,
Bogor, Jawa Barat.
IV.1.2. Visi dan Misi
a. Visi
Menghasilkan lulusan berakhlak mulia, sehat, cerdas, berprestasi dan
berbudaya lingkungan serta mampu bersaing di tingkat global
b. Misi
1. Meningkatkan ketaqwaan dengan mengoptimalkan kegiatan
keagamaan di sekolah
2. Mewujudkan peningkatan kemampuan akademik dan non akademik
yang sesuai dengan kebutuhan siswa pada konteks global
3. Melaksanakan pengembangan kurikulum 2013 berbasis lingkungan
dan berkeunggulan budaya lokal yang sesuai dengan kebutuhan
kompetensi siswa
4. Melaksanakan kegiatan pembelajaran berbasis teknologi yang
inovatif, kreatif, dan berhasil guna
5. Memberdayakan sistem penilaian autentik untuk meningkatkan
motivasi belajar siswa
6. Mewujudkan sarana dan prasarana dalam lingkungan sekolah yang
hijau, bersih, nyaman, dan terawat
7. Menerapkan manajemen perubahan sebagai strategi percepatan
pembaharuan sekolah
8. Meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan
melalui peningkatan keprofesian berkelanjutan
9. Menerapkan pola manajemen sekolah yang transparan dan akuntabel

32
33

IV.2. Hasil dan Pembahasan Penelitian


Pada bagian ini akan menjelaskan hasil dan pembahasan penelitian yang
dilakukan di SMA Negeri 2 Bogor menurut data kuesioner dan foto wajah
responden Januari 2016, meliputi karakteristik subjek berdasarkan usia, distribusi
frekuensi dari variabel dependen yaitu derajat akne vulgaris di wajah dan variabel
independen yaitu kebiasaan merokok, genetik, diet dan stres psikis serta hubungan
dari masing-masing variabel tersebut.

IV.2.1. Karakteristik Subjek


Pengumpulan subjek penelitian dilakukan dengan cara mengambil data
siswa sebanyak 100 orang yang menderita akne vulgaris di wajah di SMA Negeri
2 Bogor Januari 2016.
IV.2.1.1. Usia

Tabel 3. Distribusi Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia


Frekuensi
Usia N Persentase (%)

15 28 28%
16 23 23%
17 40 40%
18 9 9%
Total 100 100%

Berdasarkan Tabel 3 diatas dapat disimpulkan bahwa rentang usia penderita


akne vulgaris di wajah siswa SMA Negeri 2 Bogor adalah 15-18 tahun dimana
paling tinggi adalah usia 17 tahun yaitu sebayak 40 orang. Berdasarkan penelitian
Rizqun NA (2015, hlm.102), prevalensi tertinggi penderita akne vulgaris pada
wanita 83-85% yaitu umur 14-17 tahun sedangkan pada pria 95-100% yaitu pada
umur 15-19 tahun. Penelitian ini juga memberikan hasil serupa dimana siswa laki-
laki dengan usia 15-18 tahun menderita akne vulgaris, bahkan terbanyak dengan
akne derajat berat.
34

IV.2.2. Derajat Akne Vulgaris


Derajat akne vulgaris di wajah pada penelitian ini diperoleh dari diagnosis
dokter ahli pada foto wajah responden yang diambil setelah pengisian kuesioner.
Derajat akne vulgaris diklasifikasikan menjadi akne derajat ringan (komedo <20,
papul/pustul <15), sedang (komedo 20-100, papul/pustul 15-50, nodul <5) dan
berat (komedo >100, papul/pustul >50, nodul>5). Menurut Zaenglein L &
Thiboutot M (2012, p.547) gambaran klinis akne dapat bervariasi secara
signifikan, dari akne komedonal yang ringan sampai penyakit sistemik yang
berkembang cepat.
Pada Tabel 4 dapat dilihat distribusi derajat akne vulgaris di wajah 100
siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016 terdiri dari akne derajat berat sebanyak
43 orang disusul akne derajat sedang 40 orang dan akne derajat ringan 17 orang
yang menunjukkan lebih banyak siswa yang menderita akne derajat sedang
sampai berat. Hal tersebut juga dinyatakan oleh Ali FR & Al-Niaimi F (2013,
p.78) pada penelitiannya dimana pada remaja, 15-20% menderita akne derajat
sedang sampai berat.

Tabel 4. Distribusi Penderita Akne Vulgaris Di Wajah Siswa SMAN 2 Bogor


Januari 2016 Berdasarkan Derajat
Frekuensi
Derajat Akne Vulgaris N Persentase (%)
Akne Derajat Ringan 17 17%
Akne Derajat Sedang 40 40%
Akne Derajat Berat 43 43%
Total 100 100%

IV.2.3. Kebiasaan Merokok


Pada penelitian ini kebiasaan merokok didapat berdasarkan perkalian
jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap perhari dikali lama merokok dalam
tahun sehingga dibagi menjadi perokok ringan (0-200 batang), sedang (200-600
batang), berat (>600 batang) dan tidak merokok, dimana berdasarkan hasil
penelitian pada 100 orang siswa SMA Negeri 2 Bogor, distribusi jumlah siswa
yang tidak merokok sebanyak 68 orang, perokok ringan 17 orang, perokok sedang
35

7 orang dan perokok berat 8 orang yang dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah.
Kemudian berdasarkan pertanyaan langsung kepada siswa jenis rokok yang paling
sering dihisap adalah jenis rokok putih. Tetapi pada penelitian ini lebih banyak
siswa yang menjawab tidak merokok, dimungkinkan karena takut akan pelaporan
ke pihak sekolah dari jawaban yang diberikan sehingga menjadi keterbatasan
dalam penelitian ini.

Tabel 5. Distribusi Kebiasaan Merokok Siswa SMAN 2 Bogor Januari 2016


Frekuensi
Kebiasaan Merokok N Persentase (%)
Perokok Ringan 17 17%
Perokok Sedang 7 7%
Perokok Berat 8 8%
Tidak Merokok 68 68%
Total 100 100%

IV.2.4. Faktor Genetik


Pada Tabel 6 dibawah menunjukkan berdasarkan hasil penelitian pada 100
orang siswa SMA Negeri 2 Bogor, distribusi jumlah siswa yang mempunyai
faktor genetik akne vulgaris adalah 70 orang sedangkan 30 orang lainnya tidak.

Tabel 6. Distribusi Faktor Genetik Akne Vulgaris Siswa SMAN 2 Bogor Januari
2016
Frekuensi
Faktor Genetik N Persentase (%)
Ya 70 70%
Tidak 30 30%
Total 100 100%

Faktor genetik disini dimaksudkan adanya riwayat keluarga yaitu orang tua
(ibu dan/ayah) dan/ saudara kandung yang menderita akne vulgaris. Pada
penelitian ini juga diketahui dari perhitungan berdasarkan kuesioner yang diisi,
pada 70 orang siswa yang mempunyai faktor genetik akne vulgaris, anggota
keluarga yang paling mempengaruhi adalah ibu (n=41), sedangkan ayah (n=34),
36

saudara kandung (n=34) dan ayah+ibu (n=24) tidak terlalu mempengaruhi.


Menurut Robeva R et al. (2012, p.465) adanya riwayat keluarga dengan akne
berhubungan dengan munculnya akne lebih awal, meningkatkan jumlah lesi
retensional, dan kesulitan terapi.

IV.2.5. Faktor Diet


Bukti penelitian dan eksperimen terbaru menunjukkan bahwa diet mungkin
berkontribusi mempengaruhi atau memperburuk perkembangan akne terutama
makanan tinggi indeks glikemik, lemak jenuh, lemak trans, susu dan ikan. (Burris
J et al. 2014, p.384) Pada penelitian ini faktor diet siswa dilihat dengan
menghitung frekuensi mengkonsumsi makanan yang diduga memicu akne dalam
1 bulan terakhir menggunakan Food Frequency Questioner (FFQ) yaitu makanan
tinggi indeks glikemik dan makanan tinggi lemak seperti makanan pokok (nasi,
kentang, roti putih), ikan, susu dan produk olahannya (yoghurt, keju, es krim),
makanan jajanan (makanan cepat saji: hamburger, hotdog, pizza, fried chicken,
spaghetti, french fries ; gorengan ; coklat ; manisan: kue, puding, donat) dan
minuman bersoda (coca-cola, fanta, sprite, pepsi).
Hasil penelitian ini pada 100 orang siswa SMA Negeri 2 Bogor
menunjukkan, distribusi jumlah siswa yang sering (>1x/hri,1x/hri,4-6x/mgg)
mengkonsumsi makanan yang diduga memicu akne tersebut adalah sebanyak 66
orang dengan jenis makanan tinggi indeks glikemik seperti makanan pokok,
coklat, manisan dan minuman bersoda yang paling sering (n= 36), sedangkan 15
orang kadang-kadang (1-3x/mgg), dan 19 orang lainnya jarang (1-3x/bln) yang
dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini.

Tabel 7. Distribusi Faktor Diet Siswa SMAN 2 Bogor Januari 2016


Frekuensi
Faktor Diet N Persentase (%)
Sering 66 66%
Kadang-Kadang 15 15%
Jarang 19 19%
Total 100 100%
37

IV.2.6. Faktor Stres Psikis


Variabel stres psikis dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi tidak stres
(skor <20), stres ringan (skor 20-24), stres sedang (skor 25-29) dan stres berat
(skor ≥30) yang dinilai berdasarkan skoring dengan kuesioner Perceived Stress
Scale. Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 8, distribusi jumlah siswa SMA
Negeri 2 Bogor Januari 2016 yang mengalami stres psikis berat paling tinggi yaitu
sebanyak 43 orang, disusul stres sedang sebanyak 32 orang, stres ringan 12 orang
dan yang tidak mengalami stres yaitu 13 orang. Stres psikis diketahui dapat
menjadi faktor risiko penting dalam pengembangan akne derajat sedang sampai
berat. (Robeva R et al. 2012, p.465)

Tabel 8. Distribusi Faktor Stres Psikis Siswa SMAN 2 Bogor 2016


Berdasarkan Derajat
Frekuensi
Faktor Stres Psikis N Persentase (%)
Tidak Stres 13 13%
Stres Ringan 12 12%
Stres Sedang 32 32%
Stres Berat 43 43%
Total 100 100%

IV.2.7. Hubungan Faktor Kebiasaan Merokok Dengan Derajat Akne Vulgaris Di


Wajah
Berikut ini adalah hasil analisis bivariat antara faktor kebiasaan merokok
dengan derajat akne vulgaris di wajah pada siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari
2016. Di dalam penelitian ini faktor kebiasaan merokok diklasifikasikan menjadi
tidak merokok, perokok ringan, sedang dan berat.
38

Tabel 9. Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Derajat Akne Vulgaris Di Wajah


Kebiasaan Akne Vulgaris
Merokok Akne Akne Akne Total
Derajat Derajat Derajat
Berat Sedang Ringan
N % N % N % N %
Perokok 9 52,9% 8 47,1% 0 0% 17 100%
ringan
Perokok 3 42,9% 2 28,6% 2 28,6% 7 100%
sedang P-value
0,227
Perokok 4 50% 1 12,5% 3 37,5% 8 100%
berat
Tidak 27 39,7% 29 42,6% 12 17,6% 68 100%
merokok
a. 7 cells (58,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,19.

Berdasarkan Tabel 9 diatas menunjukkan bahwa pada siswa yang perokok


ringan didapatkan menderita akne derajat berat sebanyak 52,9%, akne derajat
sedang 47,1%, dan akne derajat ringan 0%. Pada siswa yang perokok sedang
didapatkan menderita akne derajat berat sebanyak 42,9%, akne derajat sedang
28,6% dan akne derajat ringan 28,6%. Pada siswa yang perokok berat didapatkan
menderita akne derajat berat sebanyak 50%, akne derajat sedang 12,5% dan akne
derajat ringan 37,5%. Sedangkan pada siswa yang tidak merokok didapatkan
menderita akne derajat berat sebanyak 39,7%, akne derajat sedang 42,6% dan
akne derajat ringan 17,6%.
Tabel 4x3 ini tidak memenuhi kriteria chi square karena lebih dari 20% sel
mempunyai expected yang kurang dari lima (58,3%), sehingga alternatifnya
adalah dilakukan penggabungan sel dimana perokok ringan, sedang dan berat
digabung sehingga variabelnya menjadi merokok (perokok ringan, sedang dan
berat) dan tidak merokok kemudian dilakukan analisis bivariat kembali.
39

Tabel 10. Hasil Penggabungan Sel Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan


Derajat Akne Vulgaris Di Wajah
Kebiasaan Merokok Akne Vulgaris
Akne Akne Akne Total
Derajat Derajat Derajat
Berat Sedang Ringan P-
N % N % N % N % value
Merokok 16 50% 11 34,4% 5 15,6% 32 100% 0,619
(ringan+sedang+berat)
Tidak merokok 27 39,7% 29 42,6% 12 17,6% 68 100%

Berdasarkan Tabel 10 diatas menunjukkan bahwa pada siswa yang merokok


(perokok ringan, sedang dan berat) didapatkan menderita akne derajat berat
sebanyak 50%, akne derajat sedang 34,4% dan akne derajat ringan 15,6%.
Sedangkan pada siswa yang tidak merokok didapatkan menderita akne derajat
berat sebanyak 39,7%, akne derajat sedang 42,6% dan akne derajat ringan 17,6%.
Setelah dilakukan penggabungan sel, pada siswa yang merokok (ringan, sedang,
berat) menderita akne derajat berat lebih tinggi (50%) dibandingkan pada yang
tidak merokok (39,7%). Dimana didapatkan p-value 0,619> 0,05 yang artinya
menolak H1 dan menerima H0 atau tidak terdapat hubungan antara kebiasaan
merokok dengan derajat akne vulgaris di wajah.
Beberapa penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara merokok
dengan akne memberikan hasil yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan
oleh Chuh et al. (2004, p.597) menunjukkan bahwa merokok memiliki korelasi
positif dengan akne pada pria, sedangkan pada penelitian ini yang dilakukan pada
100 siswa usia 15-18 tahun didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara merokok
dengan derajat akne vulgaris di wajah. Hal ini mungkin disebabkan oleh
keterbatasan dari penelitian dimana lebih banyak siswa yang menjawab tidak
merokok dan perokok pasif ataupun mantan perokok tidak dimasukkan dalam
penelitian, selain itu dapat pula disebabkan adanya faktor-faktor lain yang juga
mungkin memicu timbulnya akne. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ghodsi
SZ et al. (2009, p.2138) pada 1.002 siswa 499 laki-laki dan 503 perempuan usia
12-20 tahun juga menyatakan bahwa merokok tidak berhubungan dengan derajat
40

keparahan akne vulgaris dimana pada siswa laki-laki jumlah penderita akne
derajat sedang/berat sama antara perokok dan bukan perokok.

IV.2.8. Hubungan Faktor Genetik Dengan Derajat Akne Vulgaris Di Wajah


Berikut ini adalah hasil analisis bivariat antara faktor genetik dengan derajat
akne vulgaris di wajah pada siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016. Di dalam
penelitian ini faktor genetik diklasifikasikan menjadi ya dan tidak.

Tabel 11. Hubungan Genetik Dengan Derajat Akne Vulgaris Di Wajah


Faktor Genetik Akne Vulgaris
Akne Akne Akne Total
Derajat Derajat Derajat
Berat Sedang Ringan P-
N % N % N % N % value
Ya 31 44,3% 33 47,1% 6 8,6% 70 100% 0,002
Tidak 12 40% 7 23,3% 11 36,7% 30 100%

Berdasarkan Tabel 11 diatas menunjukkan bahwa pada siswa yang memiliki


faktor genetik akne di keluarga didapatkan menderita akne derajat berat sebanyak
44,3%, akne derajat sedang 47,1% dan akne derajat ringan 8,6%. Sedangkan pada
siswa yang tidak memiliki faktor genetik di keluarga didapatkan menderita akne
derajat berat sebanyak 40%, akne derajat sedang 23,3% dan akne derajat ringan
36,7%. Pada siswa yang memiliki faktor genetik, menderita akne derajat sedang
(47,1%) dan berat (44,3%) lebih tinggi dibandingkan pada yang tidak memiliki
faktor genetik (23,3% dan 40%). Dimana didapatkan p-value 0,002 <0,05 yang
artinya menerima H1 dan menolak H0 atau terdapat hubungan antara faktor
genetik dengan derajat akne vulgaris di wajah.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa terdapat hubungan antara faktor
genetik dengan derajat akne vulgaris, dimana siswa yang memiliki faktor genetik
menderita akne derajat berat dan sedang lebih tinggi dibandingkan pada yang
tidak memiliki faktor genetik dengan anggota keluarga yang paling
mempengaruhi adalah ibu, sedangkan ayah, saudara kandung dan ayah+ibu tidak
terlalu mempengaruhi. Sesuai dengan hasil penelitian ini, penelitian Ghodsi SZ et
al. (2009, p.2137) pada 1.002 murid SMA di Iran menyatakan murid dengan
41

riwayat keluarga akne memiliki prevalensi yang lebih tinggi menderita akne
derajat sedang/berat dan anggota keluarga dengan akne yang paling signifikan
mempengaruhi adalah ibu, disusul ayah kemudian saudara kandung. Hal ini jelas
menunjukkan transmisi vertikal dari faktor genetik yang mungkin berhubungan
dengan kromosom X dan menurut Costa A et al. (2010, p.346) hal itu
dimungkinkan pula karena hiperkeratinisasi folikular dan sekresi sebum dibawah
kontrol hormonal. Oleh karena itu, riwayat keluarga yang positif dapat dikaitkan
dengan risiko yang lebih tinggi menderita akne yang lebih parah. (Evans et al.
2005, p.579)

IV.2.9. Hubungan Faktor Diet Dengan Derajat Akne Vulgaris Di Wajah


Berikut ini adalah hasil analisis bivariat antara faktor diet dengan derajat
akne vulgaris di wajah pada siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016. Di dalam
penelitian ini faktor diet diklasifikasikan menjadi sering, kadang-kadang dan
jarang.

Tabel 12. Hubungan Diet Dengan Derajat Akne Vulgaris Di Wajah


Faktor Diet Akne Vulgaris
Akne Akne Akne Total
Derajat Derajat Derajat
Berat Sedang Ringan P-
N % N % N % N % value
Sering 34 51,5% 25 37,9% 7 10,6% 66 100% 0,007
Kadang-kadang 2 13,3% 6 40% 7 46,7% 15 100%
Jarang 7 36,8% 9 47,4% 3 15,8% 19 100%
a. 2 cells (22,2%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,55.

Berdasarkan Tabel 12 diatas menunjukkan bahwa pada siswa yang sering


mengkonsumsi makanan yang diduga memicu akne yaitu makanan tinggi indeks
glikemik dan makanan tinggi lemak seperti makanan pokok (nasi, kentang, roti
putih), ikan, susu dan produk olahannya (yoghurt, keju, es krim), makanan jajanan
(makanan cepat saji: hamburger, hotdog, pizza, fried chicken, spaghetti, french
fries ; gorengan ; coklat ; manisan: kue, puding, donat), dan minuman bersoda
(coca-cola, fanta, sprite, pepsi) didapatkan menderita akne derajat berat sebanyak
42

51,5%, akne derajat sedang 37,9% dan akne derajat ringan 10,6%. Pada siswa
yang kadang-kadang mengkonsumsi makanan yang diduga memicu akne
didapatkan menderita akne derajat berat sebanyak 13,3%, akne derajat sedang
40% dan akne derajat ringan 46,7%. Sedangkan pada siswa yang jarang
mengkonsumsi makanan yang diduga memicu akne didapatkan menderita akne
derajat berat 36,8%, akne derajat sedang 47,4% dan akne derajat ringan 15,8%.
Tabel 3x3 ini tidak memenuhi kriteria chi square karena lebih dari 20% sel
mempunyai expected yang kurang dari lima (22,2%), sehingga alternatifnya
adalah dilakukan penggabungan sel dimana diet jarang digabungkan dengan diet
kadang-kadang sehingga variabelnya menjadi diet sering dan diet kadang-
kadang+jarang kemudian dilakukan analisis bivariat kembali.

Tabel 13. Hasil Penggabungan Sel Hubungan Diet Dengan Derajat Akne Vulgaris
Di Wajah
Faktor Diet Akne Vulgaris
Akne Akne Akne Total
Derajat Derajat Derajat
Berat Sedang Ringan P-
N % N % N % N % value
Sering 34 51,5% 25 37,9% 7 10,6% 66 100% 0,017
Kadang- 9 26,5% 15 44,1% 10 29,4% 34 100%
kadang+jarang

Berdasarkan Tabel 13 diatas menunjukkan bahwa pada siswa yang sering


mengkonsumsi makanan yang diduga memicu akne yaitu makanan tinggi indeks
glikemik dan makanan tinggi lemak seperti makanan pokok (nasi, kentang, roti
putih), ikan, susu dan produk olahannya (yoghurt, keju, es krim), makanan jajanan
(makanan cepat saji: hamburger, hotdog, pizza, fried chicken, spaghetti, french
fries ; gorengan ; coklat ; manisan: kue, puding, donat), dan minuman bersoda
(coca-cola, fanta, sprite, pepsi) didapatkan menderita akne derajat berat sebanyak
51,5%, akne derajat sedang 37,9% dan akne derajat ringan 10,6%. Sedangkan
pada siswa yang kadang-kadang atau jarang mengkonsumsi makanan yang diduga
memicu akne didapatkan menderita akne derajat berat sebanyak 26,5%, akne
derajat sedang 44,1% dan akne derajat ringan 29,4%. Pada siswa yang sering
43

mengkonsumsi makanan tersebut, menderita akne derajat berat lebih tinggi


(51,5%) dibandingkan pada yang mengkonsumsinya kadang-kadang atau jarang
(26,5%). Dimana didapatkan p-value 0,017< 0,05 yang artinya menerima H1 dan
menolak H0 atau terdapat hubungan antara faktor diet dengan derajat akne
vulgaris di wajah.
Penelitian mengenai hubungan antara diet dengan akne memberikan hasil
yang berbeda-beda. Pada penelitian ini didapatkan bahwa terdapat hubungan
antara diet dengan derajat akne vulgaris yaitu siswa yang sering mengkonsumsi
makanan yang diduga memicu akne yaitu makanan tinggi indeks glikemik dan
makanan tinggi lemak seperti makanan pokok (nasi, kentang, roti putih), ikan,
susu dan produk olahannya (yoghurt, keju, es krim), makanan jajanan (makanan
cepat saji: hamburger, hotdog, pizza, fried chicken, spaghetti, french fries ;
gorengan ; coklat ; manisan: kue, puding, donat) dan minuman bersoda (coca-
cola, fanta, sprite, pepsi) menderita akne derajat berat lebih tinggi dibandingkan
pada yang mengkonsumsinya kadang-kadang atau jarang dengan makanan tinggi
indeks glikemik yang paling mempengaruhi.
Hasil penelitian yang menyatakan bahwa diet dan akne tidak terkait
kebanyakan memiliki sedikit atau tidak ada dukungan fakta. Sebaliknya, banyak
bukti telah muncul yang menunjukkan bahwa diet tinggi gula, minyak olahan,
produk susu dan makanan olahan menyebabkan perubahan pada hormonal dan
homeostasis sitokin yang merupakan faktor lingkungan yang paling mungkin
mendasari perkembangan akne. (Cordain L 2005, p.89) Hal ini juga dinyatakan
oleh Costa A et al. (2010, p.351) pada penelitiannya dimana makanan dengan
kadar gula tinggi, susu, makanan berminyak dan makanan olahan dianggap
meningkatkan insidensi akne. Tetapi hubungan antara diet dan akne masih
memerlukan bukti yang menguatkan.

IV.2.10. Hubungan Faktor Stres Psikis Dengan Derajat Akne Vulgaris Di Wajah
Berikut ini adalah hasil analisis bivariat antara faktor stres psikis dengan
derajat akne vulgaris di wajah pada siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016. Di
dalam penelitian ini faktor stres psikis diklasifikasikan menjadi tidak stres, stres
ringan, stres sedang dan stres berat.
44

Tabel 14. Hubungan Stres Psikis Dengan Derajat Akne Vulgaris Di Wajah
Faktor Akne Vulgaris
Stres Akne Akne Akne Total
Psikis Derajat Derajat Derajat
Berat Sedang Ringan
N % N % N % N %
Tidak stres 2 15,4% 4 30,8% 7 53,8% 13 100% P-value
Stres 8 66,7% 4 33,3% 0 0% 12 100% 0,001
ringan
Stres 12 37,5% 12 37,5% 8 25% 32 100%
sedang
Stres berat 21 48,8% 20 46,5% 2 4,7% 43 100%
a. 3 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,04.

Berdasarkan Tabel 14 diatas menunjukkan bahwa pada siswa yang tidak


stres didapatkan menderita akne derajat berat sebanyak 15,4%, akne derajat
sedang 30,8% dan akne derajat ringan 53,8%. Pada siswa yang stres ringan
didapatkan menderita akne derajat berat sebanyak 66,7%, akne derajat sedang
33,3% dan akne derajat ringan 0%. Pada siswa yang stres sedang didapatkan
menderita akne derajat berat sebanyak 37,5%, akne derajat sedang 37,5% dan
akne derajat ringan 25%. Sedangkan pada siswa yang stres berat didapatkan
menderita akne derajat berat sebanyak 48,8%, akne derajat sedang 46,5% dan
akne derajat ringan 4,7%.
Tabel 4x3 ini tidak memenuhi kriteria chi square karena lebih dari 20% sel
mempunyai expected yang kurang dari lima (25%), sehingga alternatifnya adalah
dilakukan penggabungan sel dimana tidak stres digabung dengan stres ringan dan
stres sedang digabung dengan stres berat kemudian dilakukan analisis bivariat
kembali.
45

Tabel 15. Hasil Penggabungan Sel Hubungan Stres Psikis Dengan Derajat Akne
Vulgaris Di Wajah
Faktor Stres Akne Vulgaris
Psikis Akne Akne Akne Total
Derajat Derajat Derajat
Berat Sedang Ringan
N % N % N % N %
Tidak stres+ 10 40% 8 32% 7 28% 25 100% P-value
stres ringan 0,226
Stres 33 44% 32 42,7% 10 13,3% 75 100%
sedang+berat
a. 1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,25.

Tabel 2x K ini masih tidak memenuhi kriteria chi square sehingga uji
alternatifnya adalah dengan menggunakan uji Kolmogorof Smirnov.

Tabel 16. Hasil Uji Kolmogorof Smirnov

Stres_2
N 100
P-value 0,000

Berdasarkan Tabel 15 diatas menunjukkan bahwa pada siswa yang tidak


stres dan stres ringan didapatkan menderita akne derajat berat sebanyak 40%,
akne derajat sedang 32% dan akne derajat ringan 28%. Sedangkan pada siswa
yang stres sedang dan stres berat didapatkan menderita akne derajat berat
sebanyak 44%, akne derajat sedang 42,7% dan akne derajat ringan 13,3%. Pada
siswa yang stres sedang dan stres berat, menderita akne derajat berat lebih tinggi
(44%) dibandingkan pada yang tidak stres dan stres ringan (40%). Dimana
didapatkan p-value 0,000< 0,05 yang artinya menerima H1 dan menolak H0 atau
terdapat hubungan antara faktor stres psikis dengan derajat akne vulgaris di wajah.
Seperti pada penelitian ini yang menyatakan terdapat hubungan antara
faktor stres psikis dengan derajat akne vulgaris di wajah, pernyataan McCourt DF
(2015) pada penelitiannya dimana akne terutama disebabkan oleh gangguan
hormonal dan stres dapat menyebabkan ketidakseimbangan hormon yang
46

mempengaruhi gejala akne. Dalam keadaan stres akan terjadi peningkatan hormon
adrenalin yang berkontribusi terhadap produksi hormon androgen dalam kelenjar
sebasea yang dapat memperparah akne.

IV.3. Keterbatasan Penelitian


Penelitian ini menggunakan data primer yaitu dengan cara pengisian
kuesioner dan foto wajah oleh siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016.
Keterbatasan dalam pengambilan data meliputi:
1. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dimana siswa dapat memilih
jawaban sesuai pendapatnya sehingga bersifat subjektif.
2. Sebagian besar siswa menjawab tidak merokok pada pertanyaan mengenai
kebiasaan merokok, dimungkinkan karena takut akan pelaporan dari hasil
penelitian yang akan diberikan kepada pihak sekolah.
3. Klasifikasi untuk kebiasaan merokok terbatas pada perokok ringan,
sedang, berat dan tidak merokok sedangkan untuk perokok pasif ataupun
mantan perokok tidak dimasukkan dalam penelitian sehingga mungkin
mempengaruhi hasil penelitian ini.
BAB V
PENUTUP

V.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Jumlah penderita akne vulgaris di wajah pada siswa SMA Negeri 2 Bogor
Januari 2016 berdasarkan derajatnya adalah akne derajat berat 43 orang,
akne derajat sedang 40 orang dan akne derajat ringan 17 orang.
2. Tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan derajat akne
vulgaris di wajah pada siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016.
3. Ada hubungan antara genetik dengan derajat akne vulgaris di wajah pada
siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016.
4. Ada hubungan antara diet dengan derajat akne vulgaris di wajah pada
siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016.
5. Ada hubungan antara stres psikis dengan derajat akne vulgaris di wajah
pada siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016.

V.2. Saran
Dari kesimpulan yang telah diuraikan, maka penulis dapat memberikan
saran sebagai berikut:
1. Perlu penelitian lebih lanjut dengan memperluas variabel penelitian seperti
jenis kelamin, usia pubertas, tipe kulit dan faktor lingkungan.
Menggunakan rancangan penelitian selain cross sectional, mencari
pengaruh dari tiap faktor risiko dengan analisis data multivariat, jumlah
sampel yang lebih banyak dengan rentang usia yang lebih luas dan
diagnosis langsung oleh dokter tanpa melalui foto.
2. Perlu adanya penyuluhan kepada siswa-siswi mengenai hal-hal yang dapat
mencegah dan mengurangi akne vulgaris seperti menjauhi faktor pemicu,
pola hidup sehat, perawatan kulit wajah dan pengobatan akne vulgaris.

47
48

DAFTAR PUSTAKA

Ali, FR, Al-Niaimi, F 2013, ‘Acne vulgaris’, British Journal of Hospital


Medicine, Vol. 74, No. 5, diakses 27 Mei 2015.
http://dx.doi.org/10.12968/hmed.2013.74.Sup5.C78
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2013, Riset kesehatan dasar:
penggunaan tembakau, Badan Litbang Kesehatan, Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2013, Riset kesehatan dasar:
dalam angka provinsi Jawa Barat, Badan Litbang Kesehatan, Jakarta.
Ballanger, F, Baudry, P, N’Guyen, JM, Khammari, A, Dreno, B 2006, ‘Heredity:
a prognostic factor for acne’, Dermatology, Vol. 212, p.145–149, dilihat 25
Februari 2016.
http://www.karger.com/DRM
Barratt, H, Hamilton, F, Car, J, Lyons, C, Layton, A, Majeed, A 2009, ‘Outcome
measures in acne vulgaris: systematic review’, British Journal of
Dermatology, Vol. 160, p.132-6.
Burris, J, Rietkerk, W, Woolf, K 2014, ‘Relationships of Self-Reported Dietary
Factors and Perceived Acne Severity in a Cohort of New York Young
Adults’, Journal Of The Academy Of Nutrition And Dietetics, Vol. 114, No.
3, p.384-392.
Capitanio, B, Sinagra, JL, Ottaviani, M, Bordignon, A, Picardo, AM 2009, ‘Acne
and smoking’, Dermato-Endocrinology, 1:3, p.129-135, diakses 27 Mei
2015.
http://dx.doi.org/10.4161/derm.1.3.9638
Chuh, AA, Zawar, V, Wong, WC, Lee, A 2004, ‘The association of smoking and
acne in men in Hong Kong and India: a retrospective case-control study in
primary care settings’, Clin Exp Dermatol, Vol. 20, p.597-599.
Cohen, S, Kamarck, T, Mermelstein, R 1997, A global measure of perceived
stress, diakses 5 Desember 2015.
http://www.mindgarden.com/132-perceived-stress-scale#horizontalTab2

Cordain, L 2005, ‘Implications for the role of diet in acne’, Semin Cutan Med
Surg, Vol. 24, p.84–91.

Costa, A, Lage, D, Moisés, TA 2010, ‘Acne and diet: truth or myth?’, An. Bras.
Dermatol, Vol. 85, No. 3, p.346-353, diakses 29 Februari 2016.
49

http://dx.doi.org/10.1590/S0365-05962010000300008

Dahlan, MS 2009, Langkah-langkah Membuat Proposal Penelitian Bidang


Kedokteran dan Kesehatan, Sagung Seto, Jakarta.

Evans DM, Kirk KM, Nyholt DR, Novac C, Martin NG 2005, ‘Teenage acne is
influenced by genetic factors’, Br J Dermatol, Vol. 152, p.579–581, dilihat
25 Februari 2016.
http://dx.doi.org/10.1111/j.1365-2133.2005.06387.x
Firooz, A, Sarhangnejad, R, Davoudi, SM, Nassiri-Kashani, M 2005, ‘Acne and
smoking: is there a relationship?’, Congress of the Eur Acad Dermatol
Venereol, Barcelona, Spain, diakses 28 Mei 2015.
http://www.biomedcentral.com/1471-5945/5/2
Ghodsi, SZ, Orawa, H, Zouboulis, CC 2009, ‘Prevalence, Severity, and Severity
Risk Factors of Acne in High School Pupils: A Community-Based Study’,
Journal of Investigative Dermatology, Vol. 129, p.2136-2141.
Gondodiputro, S 2007, Bahaya tembakau dan bentuk-bentuk sediaan tembakau,
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran, Bandung.
Harahap, M 2000, Ilmu penyakit kulit, Hipocrates, Jakarta, hlm. 35-45.
Haris, A, Ikhsan, M, Rogayah, R 2012, Asap rokok sebagai bahan pencemar
dalam ruangan, CDK-189/Vol. 39, No. 1, diakses 31 Agustus 2015.
http://www.kalbemed.com/Portals/6/07_189Asap%20Rokok%20Sebagai%2
0Bahan%20Pencemar%20dalam%20Ruangan.pdf
Jemec, GB, Linneberg, A, Nielsen, NH, Frolund, L, Madsen, F, Jorgensen, T
2002, ‘Have oral contraceptives reduced the prevalence of acne? A
population-based study of acne vulgaris, tobacco smoking and oral
contraceptives’, Dermatology, Vol. 204, p. 178-184.
Klaz, I, Kochba, I, Shohat, T, Zarka, S, Brenner, S 2006, ‘Severe acne vulgaris
and tobacco smoking in young men’, Journal of Investigative Dermatology,
Vol. 126, p. 1749-1752.
McCourt, DF 2015, ‘Off to university with acne’, ProQuest Public Health,
diakses 25 Februari 2016.
http://search.proquest.com/docview/1711263877?accountid=25704
Mills, CM, Peters, TJ, Finlay, AY 1993, ‘Does smoking influence acne?’, Clin
Exp Dermatol, Vol. 18, p. 100-101.
Nayler, JR 2003, ‘Clinical Photography: A Guide for the Clinician’, J Postgrad
Med, Vol. 49, p.256-262.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19, 2003, Pengamanan Rokok
Bagi Kesehatan, diakses 31 Agustus 2015.
50

http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/regulasi/pp/PP_No_19_Th_
2003.pdf
PERDOSKI 2012, Indonesian Acne Expert Meeting 2012, hlm. 4-5.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003, Penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK): pedoman diagnosis & penatalaksanaan asma, Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, Jakarta.
Ramli, R, Malik, AS, Hani, AFM, Jamil, A 2012, ‘Acne analysis, grading and
computational assessment methods: an overview’, Skin Research and
Technology, Vol. 18, p. 1-14.
Rizqun, NA 2015, ‘Akne vulgaris pada remaja’, J Majority, Vol. 4, No. 6, hlm.
102-109.
Robeva, R, Assyov, Y, Tomova, A, Kumanov, P 2012, ‘Acne vulgaris is
associated with intensive pubertal development and altitude of residence: a
cross-sectional population-based study on 6,200 boys’, Eur J Pediatr, Vol.
172, p.465-471.
Rombouts, S, Nijsten, T, Lambert, J 2006, ‘Cigarette smoking and acne in
adolescents: results from a cross-sectional study’, European Academy of
Dermatology and Venereology, Vol. 21, p. 326-333.
Sastroasmoro, S, Ismael, S 2011, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis,
Sagung Seto, Jakarta.
Schafer, T, Nienhaus, A, Vieluf, D, Berger, J, Ring, J 2001, ‘Epidemiology of
acne in the general population: the risk of smoking’, Br J Dermatol, Vol.
145, p. 100-104.
Siregar, RS 2005, Saripati Penyakit Kulit, EGC, Jakarta.
Tobacco Control Support Center-IAKMI 2011, Masalah rokok di Indonesia,
diakses 14 Mei 2015.
http://www.tcsc-indonesia.org
Wasitaatmadja, SM 2007, ‘Akne, erupsi akneiformis, rosasea, rinofima’, Dalam:
Djuanda, A, Hamzah, M, Aisah, S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
Edisi 5, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Williams, HC, Dellavalle, RP, Garner, S 2012, ‘Acne vulgaris’, Lancet, Vol. 379,
p.361-372.
Wolkenstein, P, Misery, L, Amici, JM, Maghia, R, Cazeau, C, Voisard, JJ, Taieb,
C 2012, ‘Acne and lifestyle: results of a survey on representative sample of
the French population’, Value in Health 15, p. A568.
World Health Organization 2013, Prevalence of tobacco use, diakses 28 Mei
2015.
http://www.who.int/gho/tobacco/use/en
51

Zaenglein, AL, Graber, EM, Thiboutot, DM, Strauss, JS 2008, ‘Acne Vulgaris
and Acneiform Eruptions’, In: Wolff, K, Goldsmith, LA, Katz, SI,
Gilchrest, BA,Paller, AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology In
General Medicine, Ed. 7, McGraw-Hill, New York, p. 690-702.
Zaenglein, AL, Thiboutot, DM 2012, ‘Acne Vulgaris’, In: Bolognia, JL, Jorizzo,
JL, Schaffer, JV, editors. Dermatology, Ed. 3, Elsevier Limited, New York,
p.545-559.

Zouboulis, CC, Bohm, M 2004, ‘Neuroendocrine regulation of sebocytes: a


pathogenetic link between stress and acne’, Experimental Dermatology,
Vol. 13 (Suppl 4), p.31-35.

Anda mungkin juga menyukai