PENDAHULUAN
1
2
tinggi glikemik dan risiko akne. Sedangkan stres psikis juga diketahui dapat
menjadi faktor pencetus akne. (Zaenglein L & Thiboutot M 2012, p.547)
Menurut World Health Organization (WHO) 2013 jumlah orang yang
merokok di dunia hingga kini tak kurang sekitar satu miliar orang dengan 80%
diantaranya disumbang dari negara berkembang. Menurut Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013 prevalensi merokok terus meningkat baik pada laki-laki maupun
perempuan, meskipun proporsi perokok setiap hari pada laki-laki lebih banyak
dibandingkan perokok perempuan (47,1% banding 1,1%). Proporsi penduduk
umur ≥15 tahun di Indonesia yang merokok dan mengunyah tembakau cenderung
meningkat dalam Riskesdas 2010 (34,7%) dan Riskesdas 2013 (36,3%). Proporsi
perokok usia ≥10 tahun terbanyak setiap hari berdasarkan provinsi menurut
Riskesdas 2013 saat ini di Kepulauan Riau (27,2%) disusul Jawa Barat (27,1%).
Menurut Riskesdas Jawa Barat 2013 penduduk Jawa Barat usia ≥10 tahun yang
merokok setiap hari tertinggi di kota Bogor yaitu 32% dan sebagian besarnya
merokok setiap hari pertama kali pada usia 15-19 tahun dengan presentase
tertinggi perokok usia 15-19 tahun di kota Bogor (51,5%). Menurut Global Youth
Tobacco Survey (GYTS) 2009 30,4% anak sekolah pernah merokok dengan 59%
dapat secara bebas membeli rokok di toko/warung.
Merokok mempunyai hubungan dengan kulit seperti menyebabkan
gangguan penyembuhan luka dan pengembangan dari keriput juga kanker. Selain
itu, beberapa penelitian menyatakan bahwa merokok berhubungan dengan
penyakit inflamasi kulit seperti palmoplantar pustulosis, psoriasis akne (inversa),
lupus eritematosus diskoid, dermatitis atopi dan dermatitis kontak. (Rombouts S et
al. 2006, p.326) Penelitian sebelumnya tentang hubungan antara merokok dan
akne vulgaris memberikan hasil yang bertentangan. Dari empat penelitian yang
diterbitkan, dua menyatakan positif, satu negatif dan satu lagi menyatakan tidak
ada hubungan antara merokok dan akne vulgaris. (Jemec GB et al. 2002,
p.178;Schafer T et al. 2001, p.100;Mills CM et al. 1993, p.100;Chuh AA et al.
2004, p.597) Perbedaan antara hasil penelitian ini mungkin karena masalah
metodologis seperti perbedaan dalam populasi penelitian, definisi merokok
dan/atau jerawat, ukuran sampel dan variabel perancu.
3
Menurut penelitian Firooz A et al. (2005, p.2) pada 293 pasien dengan
akne dan 301 pasien dengan penyakit kulit lainnya usia 15-40 tahun, terdapat 9
perokok diantara 64 laki-laki dengan akne dan 20 perokok diantara 116 laki-laki
tanpa akne dan 3 perokok diantara 229 perempuan dengan akne dan 7 perokok
diantara 185 perempuan tanpa akne, yang menyatakan tidak ada hubungan antara
merokok dengan akne. Sedangkan penelitian lain pada 600 remaja usia 14-18
tahun menunjukkan bahwa merokok bahkan dapat memiliki sifat pelindung dalam
perkembangan akne inflamasi di wajah pada perempuan, tetapi tentu saja tidak
dipromosikan sebagai terapi akne karena risiko yang terkait dan tidak ada
hubungan yang signifikan terdeteksi pada laki-laki. (Rombouts S et al. 2006,
p.326)
Berdasarkan latar belakang tersebut dimana masih terdapat kontroversi
mengenai faktor-fakor yang berhubungan dengan akne vulgaris maka penelitian
ini dilakukan dengan tujuan mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan
dengan derajat akne vulgaris di wajah terutama faktor kebiasaan merokok pada
siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Bogor Januari 2016.
5
6
1. Faktor genetik
Peran yang tepat dari predisposisi genetik tidak pasti, tetapi
diketahui jumlah, ukuran, dan aktivitas kelenjar sebasea diturunkan.
Ballanger et al. (2006, p.145) pada penelitiannya melaporkan bahwa
terjadi peningkatan tingkat retensional lesi dan kesulitan terapi yang
menunjukkan nilai akne lebih parah pada pasien dengan riwayat keluarga
yang positif. Kemudian diketahui pula akne akan lebih parah pada pasien
dengan riwayat keluarga akne dari ibu atau dari kedua orangtua
dibandingkan pada pasien dengan riwayat keluarga akne dari ayah saja.
Semakin banyak anggota keluarga dengan riwayat akne, semakin
berkembangnya risiko untuk menderita akne derajat sedang sampai berat.
Hal itu dimungkinkan karena hiperkeratinisasi folikular dan sekresi sebum
dibawah kontrol hormonal. (Costa A et al. 2010, p.346)
Diketahui pula tingkat kesesuaian prevalensi dan keparahan akne
antara kembar identik sangat tinggi. Hal itu menyebabkan keyakinan yang
luas bahwa akne terkait dengan keluarga, namun karena prevalensi akne
yang sangat tinggi, sulit untuk secara eksklusif mengaitkannya dengan
faktor genetik.
2. Faktor hormonal
Efek hormonal pada sekresi sebum adalah kunci dari patogenesis
akne. Dengan terjadinya proses pematangan kelenjar adrenal yang
biasanya terjadi pada usia 7-8 tahun, mulai terjadi peningkatan sirlukasi
dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS) karena produksi kelenjar adrenal.
Hormon ini dapat berfungsi sebagai prekusor untuk sintesis androgen yang
lebih kuat dalam kelenjar sebasea. Kenaikan tingkat serum DHEAS pada
anak-anak praremaja dikaitkan dengan peningkatan produksi sebum dan
perkembangan awal dari akne komedo. (Zaenglein L &Thiboutot M 2012,
p.546)
3. Faktor infeksi dan trauma
Propionibacterium acnes berperan dalam iritasi epitel folikel dan
mempermudah terjadinya akne. Selain itu adanya trauma fisik berupa
gesekan maupun tekanan dapat juga merangsang timbulnya akne.
7
4. Faktor diet
Makanan sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya akne masih
diperdebatkan. Menurut hasil survei penelitian pada 10.000 subjek di
Perancis menyatakan bahwa tingkat keparahan akne berhubungan dengan
konsumsi makanan tinggi lemak ataupun tinggi gula seperti
coklat/manisan, produk susu, soda dan makanan cepat saji. (Wolkenstein
2012, p.568) Makanan yang mengandung banyak lemak dapat merangsang
kambuhnya akne dengan cara mempertinggi kadar komposisi sebum yang
berperan pada patogenesis akne. (Siregar RS 2005, hlm.178)
Sebuah bukti signifikan juga menunjukkan diet tinggi indeks
glikemik seperti produk gandum dan gula mempengaruhi sejumlah
hormon yang mengatur proliferasi keratinosit dan deskuamasi korneosit
pada patogenesis akne. Makanan tinggi indeks glikemik terkait erat
dengan respon insulin (pengecualian untuk produk susu yang memiliki
indeks glikemik rendah tetapi menyebabkan respon insulin yang tinggi),
konsumsi akut atau kronis makanan tersebut dapat menyebabkan
hiperinsulinemia jangka panjang dan resistensi insulin. Hiperinsulinemia
meningkatkan free insuline like growth factor 1 (IGF-1) sambil
mengurangi insuline like growth factor binding protein 3 (IGFBP-3) yang
beredar, dimana IGF-1 secara langsung menstimulasi proliferasi
keratinosit sedangkan IGFBP-3 menghambat proliferasi keratinosit
terlepas dari aktivitas reseptor IGF 1-nya. Selain itu, peningkatan produksi
sebum juga dirangsang oleh insulin dan IGF-1. Sedangkan makanan
berminyak merangsang sitokin proinflamasi dan profil eicosanoid yang
mempengaruhi proses inflamasi pada patogenesis akne. (Cordain L 2005,
p.87)
5. Faktor stres psikis
Terjadinya stres psikis dapat memicu kegiatan kelenjar sebasea,
baik secara langsung atau melalui rangsangan terhadap kelenjar hipofisis
yang berkaitan dengan patogenesis akne. (Wasitaatmadja 2007, hlm.255)
Akne timbul disebabkan oleh meningkatnya kadar hormon, dan ketika
stres terjadi fluktuasi hormon yang menyebabkan kelenjar minyak kulit
8
II.1.1.5. Klasifikasi
Sampai saat ini, belum terdapat standart internasional untuk
pengelompokan dan sistem grading akne. Hal ini tidak jarang menimbulkan
kesulitan dalam pengelompokan akne.
Klasifikasi akne yang paling ‘tua’ adalah klasifikasi oleh Pillsburry pada
tahun 1956, yang mengelompokkan akne menjadi 4 skala berdasarkan perkiraan
jumlah dan tipe lesi, serta luas keterlibatan kulit. (Barratt et al. 2009, p.132)
Klasifikasi lain oleh Plewig dan Kligman (1975), yang mengelompokkan
akne vulgaris menjadi:
1. Acne komedonal
a. Grade 1: Kurang dari 10 komedo pada tiap sisi wajah
b. Grade 2 : 10-25 komedo pada tiap sisi wajah
c. Grade 3 : 25-50 komedo pada tiap sisi wajah
d. Grade 4 : Lebih dari 50 komedo pada tiap sisi wajah
2. Acne papulopustul
a. Grade 1 : Kurang dari 10 lesi pada tiap sisi wajah
b. Grade 2 : 10-20 lesi pada tiap sisi wajah
c. Grade 3 : 20-30 lesi pada tiap sisi wajah
d. Grade 4 : Lebih dari 30 lesi pada tiap sisi wajah
3. Acne konglobata
Merupakan bentuk akne yang berat, sehingga tidak ada pembagian tingkat
beratnya penyakit. Biasanya lebih banyak diderita oleh laki-laki. Lesi yang khas
terdiri dari nodulus yang bersambung, yaitu suatu masa besar berbentuk kubah
berwarna merah dan nyeri. Nodul ini mula-mula padat, tetapi kemudian dapat
melunak mengalami fluktuasi dan regresi, dan sering meninggalkan jaringan
parut. (Ramli R et al. 2012, p.2)
11
(Sumber: Harahap,2000)
12
II.1.1.6. Patogenesis
Patogenesis dari akne adalah multifaktorial, tetapi terdapat 4 tahapan dasar
antara lain (Zaenglein AL et al. 2008, p.690-692):
1. Hiperproliferasi folikular epidermis
Hiperproliferasi folikular epidermis menyebabkan terbentuknya
lesi primer akne, yaitu mikrokomedo. Permukaan epitel folikel rambut,
infundibulum, menjadi hiperkeratotik disertai dengan peningkatan kohesi
keratinosit. Peningkatan sel dan kepekatannya, menyebabkan sumbatan
pada ostium folikel. Sumbatan ini menyebabkan terjadinya akumulasi
keratin, sebum dan bakteri pada folikel, yang kemudian menyebabkan
dilatasi folikel rambut bagian atas dan membentuk mikrokomedo. Sampai
saat ini yang menstimulasi terjadinya hiperproliferasi keratinosit dan
peningkatan adhesi masih belum diketahui, namun terdapat beberapa
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya hiperproliferasi keratinosit
yaitu: pengaruh hormon androgen, penurunan Linoleic Acid dan
peningkatan aktivitas IL-1α.
Androgen menyebabkan peningkatan ukuran kelenjar sebasea,
menstimulasi produksi sebum, serta menstimulasi proliferasi keratinosit
pada duktus kelenjar sebasea dan acroinfundibulum. Androgen yang
paling penting adalah testosteron, yang diubah menjadi dihidrotestosteron
(DHT) oleh enzim 5α-reduktase. DHT adalah androgen poten yang
berperan pada akne. Kulit penderita akne menunjukkan peningkatan
densitas reseptor androgen dan aktivitas 5α-reduktase yang lebih tinggi,
sehingga meningkatkan produksi DHT. DHT dapat merangsang proliferasi
keratinosit folikel.
Defisiensi asam linoleat dapat menyebabkan hiperproliferasi
keratinosit folikular dan menghasilkan sitokin pro-inflamasi. Semakin
rendah konsentrasi asam linoleat, yang berkorelasi dengan tingginya
sekresi sebum, menyebabkan defisiensi lokalisata asam lemak esensial
pada epitel folikular. Defisiensi ini kemudian bertanggungjawab terhadap
penurunan fungsi barrier epitel dan hiperkeratosis folikular, yang semakin
memperparah akne.
13
II.1.1.7. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan dilihat gambaran klinis berupa:
a. Akne ringan, yang terdiri dari komedo (terbuka/tertutup) dan papul
b. Akne sedang, yang terdiri dari komedo, papul, pustul dan nodul
c. Akne berat, yang terdiri dari komedo, papul, pustul, nodul, kista dan scar
Secara umum, pemeriksaan laboratorium bukan merupakan indikasi untuk
penderita akne vulgaris, kecuali jika dicurigai adanya hiperandrogenism.
(Zaenglein AL et al. 2008, p.693)
16
II.1.1.9. Terapi
Pengobatan akne dibagi menjadi medikamentosa dan non medikamentosa.
(Harahap 2000, hlm.45)
Medikamentosa terdiri dari:
1) Pengobatan topikal
- Zat kimia iritan
-Sulfur 1-10% bersifat antibakteri, keratolitik dan antiseboroik.
-Asam alfa hidroksi (AHA) ; asam glikolat 3-8%
-Vitamin A asam (Tretinoin 0,05-0,1% krim atau 0,025% gel) sebagai
perangsang peredaran darah dan epidermolisis
- Antibiotik topikal
-Klindamisin 1%
-Eritromisin 2%
- Tindakan khusus
-Ekstraksi komedo -Insisi
-Eksisi -Krioterapi
-Injeksi kolagen -Injeksi kortikosteroid intralesi
-Laser -Dermabrasi
2) Pengobatan sistemik
- Antibiotik sistemik
-Tetrasiklin HCl 4 x 250 mg/hari selama 3-6 minggu
-Doksisiklin 1 x 100 mg/hari selama 2-4 minggu
-Eritromisin 4 x 250 mg/hari selama 2-6 minggu
- Hormon
-Antiandrogen : Spironolakton 20-50%, 50-100 mg 2x sehari
Siproteron asetat 2-100 mg dalam dosis tunggal
-Kontrasepsi oral (estrogen dan progesteron) selama 6 bulan
- Vitamin A : 50.000-100.000 UI/hari selama 6 bulan
- Seng : 3x 200 mg/hari selama 4 minggu
II.1.2. Rokok
II.1.2.1. Definisi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia rokok adalah gulungan tembakau
(kira-kira sebesar kelingking) yang dibungkus (daun nipah, kertas). Rokok juga
termasuk hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya
yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies
lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa
bahan tambahan. (Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003)
II.1.2.2. Kategori Perokok
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2003 derajat berat
merokok berdasarkan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata
batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun dapat
dibagi menjadi tiga derajat yaitu:
a. Ringan: 0-200 batang
b. Sedang: 200-600 batang
c. Berat: >600 batang
Haris A et al. (2012, hlm.19) menyebutkan dua macam perokok yaitu: 1)
Perokok aktif, yaitu seseorang yang menghisap rokok dan menghirup langsung
asap rokok utama (mainstream smoke); dan 2) Perokok pasif, yaitu seseorang
yang tidak merokok tetapi secara terpaksa ataupun tidak menghirup asap rokok
lingkungan (environment tobacco smoke).
II.1.2.3. Jenis Rokok
Menurut Haris A et al. (2012, hlm.18) di Indonesia rokok dibedakan
berdasarkan bahan pembungkus rokok, bahan baku atau isi rokok dan penggunaan
filter pada rokok. Berdasarkan bahan pembungkus maka rokok dibedakan
menjadi:
a. Klobot: rokok yang bahan pembungkus berupa daun jagung
b. Kawung: rokok yang bahan pembungkus berupa daun aren
c. Sigaret: rokok yang bahan pembungkus berupa kertas
d. Cerutu: rokok yang bahan pembungkus berupa daun tembakau
19
2. Nikotin
Nikotin yang terkandung dalam rokok adalah sebesar 0,5-3 nanogram, dan
semuanya diserap sehingga di darah ada sekitar 40-50 nanogram nikotin
setiap milinya. Hasil pembakaran panas dari nikotin seperti dibensakridin,
dibensokarbasol, dan nitrosaminelah yang bersifat karsinogenik. Pada
paru-paru nikotin akan menghambat aktivitas silia. Selain itu, nikotin juga
memiliki efek adiktif dan psikoaktif dimana perokok akan merasakan
kenikmatan, kecemasan berkurang, toleransi dan keterikatan fisik.
Efek lain nikotin menyebabkan perangsangan terhadap hormon
katekolamin (adrenalin) yang bersifat memacu jantung dan tekanan darah.
Jantung tidak diberikan kesempatan istirahat dan tekanan darah akan
semakin tinggi, yang mengakibatkan timbulnya hipertensi. Nikotin juga
merangsang berkelompoknya trombosit sehingga menggumpal dan akan
menyumbat pembuluh darah yang sudah sempit akibat CO.
3. Tar
Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang
merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel
pada paru-paru. Kadar tar dalam rokok antara 0,5-35 mg/batang. Tar
merupakan suatu zat karsinogen yang dapat menimbulkan kanker pada
jalan nafas dan paru-paru.
4. Amoniak
Merupakan gas yang tidak berwarna terdiri dari nitrogen dan hidrogen.
Biasa digunakan sebagai pembersih lantai
5. HCN/Asam Sianida
HCN merupakan sejenis gas yang tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak
memiliki rasa. Efisien menghalangi pernafasan dan merusak saluran napas.
6. Fenol
Adalah campuran kristal yang dihasilkan dari distilasi beberapa zat
organik seperti kayu dan arang. Zat ini beracun dan membahayakan karena
fenol terikat ke protein sehingga menghalangi aktivitas enzim.
21
7. Formaldehid
Sejenis gas dengan bau tajam. Gas ini tergolong sebagai pengawet dan
pembasmi hama
8. Toluen
Pelarut industri
9. Naptalin
Kapur barus
10. N-nitrosamina
Asap rokok mengandung 2 jenis utama N-nitrosamina, yaitu Volatile N-
nitrosamina (VNA) dan Tobacco N-nitrosamina. VNA diklasifikasikan
sebagai karsinogen potensial.
II.1.2.5. Efek Rokok Terhadap Kulit
Meskipun penjelasan mengenai hubungan antara merokok dengan akne
tidak diketahui, gangguan mikrosirkulasi pada kulit, sintesis kolagen dan elastin
juga gangguan penyembuhan luka mungkin ikut bertanggung jawab untuk efek
dari merokok pada perkembangan akne. Merokok juga mempunyai efek
imunosupresan dan mempengaruhi sel dari sistem imun bawaan seperti makrofag,
sel NK, neutrofil dan sistem imun adaptif seperti limfosit T dan B. Merokok lebih
menghambat komponen inflamasi dari akne daripada proses komedogenik.
(Rombouts S et al. 2006, p.332) Defisiensi antioksidan yang disebabkan merokok
dapat menyebabkan perubahan pada komposisi sebum. (Capitanio B et al. 2009,
p.129)
Beberapa penelitian lain menyatakan kemungkinan efek protektif dari
nikotin pada rokok terhadap perkembangan inflamasi pada kulit. Komponen
nikotin bahkan mungkin bermanfaat untuk penyakit tertentu. Nikotin
meningkatkan adhesi keratinosit, differensiasi dan apoptosis juga menghambat
migrasi keratinosit. Nikotin juga menghambat inflamasi melalui efek pada sistem
saraf pusat dan perifer dan mengubah respon imun dengan secara langsung
berinteraksi dengan sel T. (Klaz I et al. 2006, p.1751)
22
Akne Vulgaris
Merokok
Peningkatan
produksi sebum
Hiperproliferasi
folikular epidermis
Kolonisasi
Propionibacterium
acnes
Proses inflamasi
23
Kebiasaan merokok
Genetik
Derajat akne vulgaris
Diet
Stres psikis
II.4. Hipotesis
H1:Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan derajat akne vulgaris di
wajah
H2: Ada hubungan antara genetik dengan derajat akne vulgaris di wajah
H3: Ada hubungan antara diet dengan derajat akne vulgaris di wajah
H4: Ada hubungan antara stres psikis dengan derajat akne vulgaris di wajah
BAB III
METODE PENELITIAN
24
25
𝑍𝛼√2𝑃𝑄+ 𝑍𝛽 √𝑃1𝑄1+𝑃2𝑄2
n1=n2=( )²
𝑃1−𝑃2
Keterangan:
Zα= Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5% hipotesis satu arah (1,96)
Zβ= Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 20% (0,84)
P2= Proporsi perokok pada provinsi Bogor sebesar 27% (0,27)
Q2= 1-0,27= 0,73
P1-P2= Selisih proporsi perokok minimal yang dianggap bermakna, ditetapkan
sebesar 20% (0,2)
P1= P2+0,2 = 0,27+0,2= 0,47
Q1= 1-P1 = 1-0,47= 0,53
P= (P1+P2)/2= (0,47+0,27)/2= 0,37
Q= 1-P = 1-0,37= 0,63
Permintaan persetujuan
pengambilan data ke Sekolah
Menengah Atas Negeri 2
Bogor
Permintaan persetujuan
sebagai responden pada
siswa Sekolah Menengah
Atas Negeri 2 Bogor
Pemilahan responden
berdasarkan kriteria inklusi
dan eksklusi
Hasil
dimana penelitian dikatakan bermakna jika mempunyai nilai expected count <5%
yang dinyatakan ada hubungan bermakna antara variabel.
32
33
15 28 28%
16 23 23%
17 40 40%
18 9 9%
Total 100 100%
7 orang dan perokok berat 8 orang yang dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah.
Kemudian berdasarkan pertanyaan langsung kepada siswa jenis rokok yang paling
sering dihisap adalah jenis rokok putih. Tetapi pada penelitian ini lebih banyak
siswa yang menjawab tidak merokok, dimungkinkan karena takut akan pelaporan
ke pihak sekolah dari jawaban yang diberikan sehingga menjadi keterbatasan
dalam penelitian ini.
Tabel 6. Distribusi Faktor Genetik Akne Vulgaris Siswa SMAN 2 Bogor Januari
2016
Frekuensi
Faktor Genetik N Persentase (%)
Ya 70 70%
Tidak 30 30%
Total 100 100%
Faktor genetik disini dimaksudkan adanya riwayat keluarga yaitu orang tua
(ibu dan/ayah) dan/ saudara kandung yang menderita akne vulgaris. Pada
penelitian ini juga diketahui dari perhitungan berdasarkan kuesioner yang diisi,
pada 70 orang siswa yang mempunyai faktor genetik akne vulgaris, anggota
keluarga yang paling mempengaruhi adalah ibu (n=41), sedangkan ayah (n=34),
36
keparahan akne vulgaris dimana pada siswa laki-laki jumlah penderita akne
derajat sedang/berat sama antara perokok dan bukan perokok.
riwayat keluarga akne memiliki prevalensi yang lebih tinggi menderita akne
derajat sedang/berat dan anggota keluarga dengan akne yang paling signifikan
mempengaruhi adalah ibu, disusul ayah kemudian saudara kandung. Hal ini jelas
menunjukkan transmisi vertikal dari faktor genetik yang mungkin berhubungan
dengan kromosom X dan menurut Costa A et al. (2010, p.346) hal itu
dimungkinkan pula karena hiperkeratinisasi folikular dan sekresi sebum dibawah
kontrol hormonal. Oleh karena itu, riwayat keluarga yang positif dapat dikaitkan
dengan risiko yang lebih tinggi menderita akne yang lebih parah. (Evans et al.
2005, p.579)
51,5%, akne derajat sedang 37,9% dan akne derajat ringan 10,6%. Pada siswa
yang kadang-kadang mengkonsumsi makanan yang diduga memicu akne
didapatkan menderita akne derajat berat sebanyak 13,3%, akne derajat sedang
40% dan akne derajat ringan 46,7%. Sedangkan pada siswa yang jarang
mengkonsumsi makanan yang diduga memicu akne didapatkan menderita akne
derajat berat 36,8%, akne derajat sedang 47,4% dan akne derajat ringan 15,8%.
Tabel 3x3 ini tidak memenuhi kriteria chi square karena lebih dari 20% sel
mempunyai expected yang kurang dari lima (22,2%), sehingga alternatifnya
adalah dilakukan penggabungan sel dimana diet jarang digabungkan dengan diet
kadang-kadang sehingga variabelnya menjadi diet sering dan diet kadang-
kadang+jarang kemudian dilakukan analisis bivariat kembali.
Tabel 13. Hasil Penggabungan Sel Hubungan Diet Dengan Derajat Akne Vulgaris
Di Wajah
Faktor Diet Akne Vulgaris
Akne Akne Akne Total
Derajat Derajat Derajat
Berat Sedang Ringan P-
N % N % N % N % value
Sering 34 51,5% 25 37,9% 7 10,6% 66 100% 0,017
Kadang- 9 26,5% 15 44,1% 10 29,4% 34 100%
kadang+jarang
IV.2.10. Hubungan Faktor Stres Psikis Dengan Derajat Akne Vulgaris Di Wajah
Berikut ini adalah hasil analisis bivariat antara faktor stres psikis dengan
derajat akne vulgaris di wajah pada siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016. Di
dalam penelitian ini faktor stres psikis diklasifikasikan menjadi tidak stres, stres
ringan, stres sedang dan stres berat.
44
Tabel 14. Hubungan Stres Psikis Dengan Derajat Akne Vulgaris Di Wajah
Faktor Akne Vulgaris
Stres Akne Akne Akne Total
Psikis Derajat Derajat Derajat
Berat Sedang Ringan
N % N % N % N %
Tidak stres 2 15,4% 4 30,8% 7 53,8% 13 100% P-value
Stres 8 66,7% 4 33,3% 0 0% 12 100% 0,001
ringan
Stres 12 37,5% 12 37,5% 8 25% 32 100%
sedang
Stres berat 21 48,8% 20 46,5% 2 4,7% 43 100%
a. 3 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,04.
Tabel 15. Hasil Penggabungan Sel Hubungan Stres Psikis Dengan Derajat Akne
Vulgaris Di Wajah
Faktor Stres Akne Vulgaris
Psikis Akne Akne Akne Total
Derajat Derajat Derajat
Berat Sedang Ringan
N % N % N % N %
Tidak stres+ 10 40% 8 32% 7 28% 25 100% P-value
stres ringan 0,226
Stres 33 44% 32 42,7% 10 13,3% 75 100%
sedang+berat
a. 1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,25.
Tabel 2x K ini masih tidak memenuhi kriteria chi square sehingga uji
alternatifnya adalah dengan menggunakan uji Kolmogorof Smirnov.
Stres_2
N 100
P-value 0,000
mempengaruhi gejala akne. Dalam keadaan stres akan terjadi peningkatan hormon
adrenalin yang berkontribusi terhadap produksi hormon androgen dalam kelenjar
sebasea yang dapat memperparah akne.
V.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Jumlah penderita akne vulgaris di wajah pada siswa SMA Negeri 2 Bogor
Januari 2016 berdasarkan derajatnya adalah akne derajat berat 43 orang,
akne derajat sedang 40 orang dan akne derajat ringan 17 orang.
2. Tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan derajat akne
vulgaris di wajah pada siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016.
3. Ada hubungan antara genetik dengan derajat akne vulgaris di wajah pada
siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016.
4. Ada hubungan antara diet dengan derajat akne vulgaris di wajah pada
siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016.
5. Ada hubungan antara stres psikis dengan derajat akne vulgaris di wajah
pada siswa SMA Negeri 2 Bogor Januari 2016.
V.2. Saran
Dari kesimpulan yang telah diuraikan, maka penulis dapat memberikan
saran sebagai berikut:
1. Perlu penelitian lebih lanjut dengan memperluas variabel penelitian seperti
jenis kelamin, usia pubertas, tipe kulit dan faktor lingkungan.
Menggunakan rancangan penelitian selain cross sectional, mencari
pengaruh dari tiap faktor risiko dengan analisis data multivariat, jumlah
sampel yang lebih banyak dengan rentang usia yang lebih luas dan
diagnosis langsung oleh dokter tanpa melalui foto.
2. Perlu adanya penyuluhan kepada siswa-siswi mengenai hal-hal yang dapat
mencegah dan mengurangi akne vulgaris seperti menjauhi faktor pemicu,
pola hidup sehat, perawatan kulit wajah dan pengobatan akne vulgaris.
47
48
DAFTAR PUSTAKA
Cordain, L 2005, ‘Implications for the role of diet in acne’, Semin Cutan Med
Surg, Vol. 24, p.84–91.
Costa, A, Lage, D, Moisés, TA 2010, ‘Acne and diet: truth or myth?’, An. Bras.
Dermatol, Vol. 85, No. 3, p.346-353, diakses 29 Februari 2016.
49
http://dx.doi.org/10.1590/S0365-05962010000300008
Evans DM, Kirk KM, Nyholt DR, Novac C, Martin NG 2005, ‘Teenage acne is
influenced by genetic factors’, Br J Dermatol, Vol. 152, p.579–581, dilihat
25 Februari 2016.
http://dx.doi.org/10.1111/j.1365-2133.2005.06387.x
Firooz, A, Sarhangnejad, R, Davoudi, SM, Nassiri-Kashani, M 2005, ‘Acne and
smoking: is there a relationship?’, Congress of the Eur Acad Dermatol
Venereol, Barcelona, Spain, diakses 28 Mei 2015.
http://www.biomedcentral.com/1471-5945/5/2
Ghodsi, SZ, Orawa, H, Zouboulis, CC 2009, ‘Prevalence, Severity, and Severity
Risk Factors of Acne in High School Pupils: A Community-Based Study’,
Journal of Investigative Dermatology, Vol. 129, p.2136-2141.
Gondodiputro, S 2007, Bahaya tembakau dan bentuk-bentuk sediaan tembakau,
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran, Bandung.
Harahap, M 2000, Ilmu penyakit kulit, Hipocrates, Jakarta, hlm. 35-45.
Haris, A, Ikhsan, M, Rogayah, R 2012, Asap rokok sebagai bahan pencemar
dalam ruangan, CDK-189/Vol. 39, No. 1, diakses 31 Agustus 2015.
http://www.kalbemed.com/Portals/6/07_189Asap%20Rokok%20Sebagai%2
0Bahan%20Pencemar%20dalam%20Ruangan.pdf
Jemec, GB, Linneberg, A, Nielsen, NH, Frolund, L, Madsen, F, Jorgensen, T
2002, ‘Have oral contraceptives reduced the prevalence of acne? A
population-based study of acne vulgaris, tobacco smoking and oral
contraceptives’, Dermatology, Vol. 204, p. 178-184.
Klaz, I, Kochba, I, Shohat, T, Zarka, S, Brenner, S 2006, ‘Severe acne vulgaris
and tobacco smoking in young men’, Journal of Investigative Dermatology,
Vol. 126, p. 1749-1752.
McCourt, DF 2015, ‘Off to university with acne’, ProQuest Public Health,
diakses 25 Februari 2016.
http://search.proquest.com/docview/1711263877?accountid=25704
Mills, CM, Peters, TJ, Finlay, AY 1993, ‘Does smoking influence acne?’, Clin
Exp Dermatol, Vol. 18, p. 100-101.
Nayler, JR 2003, ‘Clinical Photography: A Guide for the Clinician’, J Postgrad
Med, Vol. 49, p.256-262.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19, 2003, Pengamanan Rokok
Bagi Kesehatan, diakses 31 Agustus 2015.
50
http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/regulasi/pp/PP_No_19_Th_
2003.pdf
PERDOSKI 2012, Indonesian Acne Expert Meeting 2012, hlm. 4-5.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003, Penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK): pedoman diagnosis & penatalaksanaan asma, Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, Jakarta.
Ramli, R, Malik, AS, Hani, AFM, Jamil, A 2012, ‘Acne analysis, grading and
computational assessment methods: an overview’, Skin Research and
Technology, Vol. 18, p. 1-14.
Rizqun, NA 2015, ‘Akne vulgaris pada remaja’, J Majority, Vol. 4, No. 6, hlm.
102-109.
Robeva, R, Assyov, Y, Tomova, A, Kumanov, P 2012, ‘Acne vulgaris is
associated with intensive pubertal development and altitude of residence: a
cross-sectional population-based study on 6,200 boys’, Eur J Pediatr, Vol.
172, p.465-471.
Rombouts, S, Nijsten, T, Lambert, J 2006, ‘Cigarette smoking and acne in
adolescents: results from a cross-sectional study’, European Academy of
Dermatology and Venereology, Vol. 21, p. 326-333.
Sastroasmoro, S, Ismael, S 2011, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis,
Sagung Seto, Jakarta.
Schafer, T, Nienhaus, A, Vieluf, D, Berger, J, Ring, J 2001, ‘Epidemiology of
acne in the general population: the risk of smoking’, Br J Dermatol, Vol.
145, p. 100-104.
Siregar, RS 2005, Saripati Penyakit Kulit, EGC, Jakarta.
Tobacco Control Support Center-IAKMI 2011, Masalah rokok di Indonesia,
diakses 14 Mei 2015.
http://www.tcsc-indonesia.org
Wasitaatmadja, SM 2007, ‘Akne, erupsi akneiformis, rosasea, rinofima’, Dalam:
Djuanda, A, Hamzah, M, Aisah, S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
Edisi 5, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Williams, HC, Dellavalle, RP, Garner, S 2012, ‘Acne vulgaris’, Lancet, Vol. 379,
p.361-372.
Wolkenstein, P, Misery, L, Amici, JM, Maghia, R, Cazeau, C, Voisard, JJ, Taieb,
C 2012, ‘Acne and lifestyle: results of a survey on representative sample of
the French population’, Value in Health 15, p. A568.
World Health Organization 2013, Prevalence of tobacco use, diakses 28 Mei
2015.
http://www.who.int/gho/tobacco/use/en
51
Zaenglein, AL, Graber, EM, Thiboutot, DM, Strauss, JS 2008, ‘Acne Vulgaris
and Acneiform Eruptions’, In: Wolff, K, Goldsmith, LA, Katz, SI,
Gilchrest, BA,Paller, AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology In
General Medicine, Ed. 7, McGraw-Hill, New York, p. 690-702.
Zaenglein, AL, Thiboutot, DM 2012, ‘Acne Vulgaris’, In: Bolognia, JL, Jorizzo,
JL, Schaffer, JV, editors. Dermatology, Ed. 3, Elsevier Limited, New York,
p.545-559.