Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akne vulgaris atau yang lebih dikenal dengan jerawat adalah penyakitkulit
kronis yang terjadi akibat peradangan menahun pilosebasea yang ditandai
dengan

adanya

komedo,

papul,

pustul,

nodul dan

kista pada tempat

predileksinya yang biasanya pada kelenjar se basea berukuran besar seperti


wajah, dada dan punggung bagian atas. (Tjekyan, R.M.S. 2008)
Angka kejadian akne vulgaris berkisar 85 % dan terjadi pada usia 1417tahun pada wanita dan 16-19 tahun pada laki-laki, dengan lesi predominan
adalah komedo dan papul. Akne sudah timbul pada anak usia 9 tahun namun
puncaknya pada laki-laki terutama usia 17-18 tahun sedangkan wanita usia 1617 tahun. Akne vulgaris umumnya lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan dengan wanita pada rentang usia 15-44 tahun yaitu 34 % pada lakilaki dan 27 % pada wanita. (Tjekyan, R.M.S. 2008)
Akne vulgaris merupakan kasus akne yang kerap dijumpai pada
kunjungan di Poli Kulit dan Kelamin. Sebuah survei di kawasan Asia Tenggara
diketahui terdapat sebesar 20 hingga 40% kasus akne vulgaris. Menurut para ahli
kulit di Filipina, sebesar 50 % kasus yang ditangani adalah akne. Menurut
catatan kelompok studi dermatologi kosmetika Indonesia, menunjukkan terdapat
23,6 % penderita akne di tahun 2002 dan 23,8 % di tahun 2003. (Wasiso, S.S.
2010)

Akne yang terjadi pada usia pubertas dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu: meningkatnya kadar hormon androgen, penggunaan kosmetik, stres dan
pola hidup yang tidak sehat seperti tidur larut malam. (Vgontzas, A.N., et al 2006
dan Goklas 2001). Tidur terlalu larut malam diperkirakan dapat mengakibatkan
aktivitas hormon androgen meningkat. Hormon androgen berperan penting dalam
regulasi mekanisme produksi sebum. (Harper, J.C., and Fulton, J.J. 2008)
Produksi sebum yang berlebihan akan menyebabkan kulit menjadi
sangat berminyak. Kulit berminyak cenderung lebih mudah terjadi akne
dibanding kulit normal dan kulit kering, sehingga produksi sebum yang
berlebihan akan menimbulkan sumbatan pada kelenjar pilosebasea yang
mengakibatkan timbulnya akne. (Eun Do, E., et al. 2008)
Tidur merupakan sesuatu yang diperlukan tubuh sebagaimana makanan
dan udara yang memiliki efek baik pada jiwa dan raga. Tidur pada malam
hari, mulai jam 22.00 WIB - 06.00 WIB terjadi proses regenerasi kolagen,
selain itu pada jam 23.00 WIB - 02.00 WIB terjadi sekresi peningkatan
hormon kortisol tubuh, dan setelah itu menurun dan kembali meningkat pada
jam 08.00 WIB. Kurang tidur dapat menyebabkan peningkatan faktor-faktor
inflamasi, penurunan imunitas tubuh, memicu resistensi insulin dan peningkatan
level stres.( Harper, J.C., and Fulton, J.J2008., Vgontzas, A.N., et al2004., dan
Hastings, M.2005)
Hasil studi

epidemiologi akne vulgaris di Jepang pada tahun 2010

menyatakan bahwa tiga faktor yang paling sering memicu timbulnya dan

eksaserbasi akne adalah stres, kurang tidur dan keringat. (Kubota, Y., et al.
2010)
Faktor-faktor yang berperang penting dalam terjadinya akne pada remaja
adalah makanan, kosmetik, stress, kurang tidur dan hormonal. (Tan, H.H., et al,
2007).
Faktor makanan masih diperdebatkan, ada penelitian yang setuju makanan
berpengaruh pada timbulnya akne, ada pula yang kontra. Jenis makanan yang
sering dihubungkan dengan timbulnya akne adalah makanan tinggi lemak
(kacang, daging berlemak, susu, es krim), makanan tinggi karbohidrat, makanan
beriodida tinggi (makanan asal laut) dan pedas. Menurut yang pro, makanan dapat
merubah komposisi sebum dan menaikan produksi kelenjar sebasea (Cordain L,
Lindeberg S, Hurtado M, Hill K, Eaton B, Brand-Miller B, 2002; Smith, R N,
Mann N J, Braue A, Makelainen H, Varigos G A, 2007).
Penelitian tentang efek makanan terhadap akne vulgaris sebenarnya telah
berlangsung sejak tahun 1946 oleh Steiner yang melakukan observasi pada
penduduk Okinawa yang daerahnya terisolasi dari dunia luar dan tidak didapati
adanya akne vulgaris. Pada tahun 1967, Findlay melakukan pengamatan terhadap
prevalensi akne vulgaris pada penduduk Afrika Selatan yang tidak mengkonsumsi
dan yang mengkonsumsi makanan cepat saji dan didapati hasil 16% untuk
penduduk yang tidak mengkonsumsi dan 45% untuk yang mengkonsumsi.
Sulzberger, 1969, melakukan uji trial pertama terhadap efek coklat terhadap
eksaserbasi akne vulgaris, dan tidak dijumpai adanya perbedaan yang bermakna
antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, tetapi belakangan penelitian

ini ditolak karena kandungan coklat bar dan plasebo yang digunakan sama. 1971,
Schaefer selama 30 tahun melihat adanya peningkatan prevalnsi akne pada Suku
Inuit di Eskimo setelah mereka mengadopsi gaya hidup barat. 1981, Bechelli
melakukan survei pada anak 6-16 tahum dengan responden sebanyak 9955, dan
hanya didapati prevalensi akne vulgaris sekitar 2,7%. Freye, 1998, melihat adanya
perbedaan prevalensi penduduk tradisional Suku Pruvian dengan penduduk
perkotaannya dan didapati perbedaan prevalensi sebesar 28% dan 43%. 2002,
Cordein melakukan pengamatan pada penduduk Kitavan, dan didapati prevalensi
akne sangat rendah. Penelitian terakhir pada tahun 2007, oleh Smith dengan suatu
uji trial terhadap pola makan dengan Glicemic load rendah ternyata dijumpai
adanya penurunan lesi akne yang significan (Cordain L, Lindeberg S, Hurtado M,
Hill K, Eaton B, Brand-Miller B, 2002).
Di Indonesia sendiri, belum pernah dilakukan penelitian mengenai
hubungan pola diet, khususnya makanan cepat saji, terhadap timbulnya akne
vulgaris.

B. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara waktu tidur malam dan konsumsi makanan siap
saji dengan timbulnya acne vulgaris pada mahasisiwi fakultas kedokteran UWKS
agkatan 2012?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan antara waktu tidur malam dan konsumsi


makanan siap saji dengan timbulnya acne vulgaris pada mahasisiwi
fakultas kedokteran UWKS agkatan 2012.
2.

Tujuan khusus
a.
Mengidentifikasi waktu tidur malam mahasiswa di fakultas
b.

kedokteran Universitas Wijaya Kusuma angkatan 2012.


Mengidentifikasi pola konsumsi makanan siap saji mahasiswa di

c.

fakultas kedokteran Universitas Wijaya Kusuma angkatan 2012.


Mengetahui hubungan antara waktu tidur malam dan konsumsi
makanan siap saji dengan timbulnya acne vulgaris pada
mahasisiwi fakultas kedokteran UWKS agkatan 2012

B. Manfaat Penelitian
1. Bagi petugas kesehatan
Penelitian ini bisa menjadi landasan baru yang lebih profesional dan
lebih akurat serta memberikan wawasan baru untuk dijadikan rujukan
terutama dalam masalah acne vulgaris yang berhubungan dengan
waktu tidur malam dan konsumsi makanan siap saji.
2.

Bagi Universitas
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi bagi
mahasiswa kedokteran khususnya tentang permasalahan waktu
tidur malam dan konsumsi makanan siap saji yang dapat
b.

3.

menimbulkan acne vulgaris.


Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar bagi penelitian

selanjutnya terkait dengan permasalahan acne vulgaris.


Bagi peneliti
a. Sebagai salah satu kewajiban mahasiswa untuk menyelesaikan
program studi Sarjana Pendidikan Dokter

b.

Untuk menambah point pada sistem kredit point yang akan


digunakan sebagai syarat mengikuti yudisium.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

Akne Vulgaris
1. Definisi Akne Vulgaris
Akne vulgaris adalah penyakit peradangan folikel menahun dengan
gambaran klinis berupa komedo, papul, pustule, nodus dan jaringan
parut yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh
sendiri.Tempat predileksi adalah di muka, bahu, dada bagian atas dan
punggung. (Wisataatmaja,2008).Meskipun dapat sembuh sendiri, namun
sekuel bisa seumur hidup, yaitu berupa formasi jaringan parut
hipertropis ataupun berlubang (Zaenglein,2008).
Penyakit ini paling sering didapati pada usia remaja, dan hampir
semua remaja terkena penyakit ini. Meskipun begitu, penyakit ini juga
didapati ataubertahan pada usia dewasa. Akne vulgaris terjadi terutama
pada kulit yangberminyak (Odom,2000).

2. Epidemiologi
Penyakit ini mengenai hampir semua remaja di seluruh belahan
dunia.Umumnya insiden terjadi pada usia 14-17 tahun pada wanita, dan
16-19 tahun pada pria dan umumnya lesi yang predominan adalah
komedo dan papul. Pada wanita, akne dapat menetap lebih lama sampai
pada usia tiga puluh tahun atau lebih bila dibandinngkan dengan pria.
Namun derajat akne yang lebih berat justru didapati pada pria
(Wasitaatmadja,2008).
Diketahui bahwa ras Oriental (Jepang, Cina, Korea) lebih jarang
menderita akne dibandingkan dengan ras Kaukasia (Eropa, Amerika)
(Wasitaatmadja,2008). Diketahui bahwa genetik memegang peranan
penting dalam kejadian akne vulgaris. Bila kedua orang tua menderita
akne maka 3 dari 4 anak akan menderita akne juga (Fulton,2009),. Dan
diketahui pasien dengan genotip XXY memiliki gejala yang lebih berat
(Zaenglein,2008).

3. Etiologi dan Patogenesis


Akne vulgaris memiliki etiologi yang kompleks, termasuk
abnormal keratinisasi, fungsi hormonal, pertumbuhan bakteri, dan reaksi
hipersensifitas

(Webster,2002).

Tetapi

faktor

keturunan/genetik

merupakan sesuatu yang sangat nyata dalam terjadinya akne vulgaris.

Dimana jika kedua orangtua menderita akne, maka 3 dari 4 anaknya


akan menderita akne (Fulton,2009).
Akne vulgaris secara eksklusif merupakan penyakit folikular.
Patogenesisnya multifaktorial, namun 4 hal utama yang berpengaruh
sudah diidentifikasi, yaitu: (1) hiperproliferasi folikel epidermis, (2)
produksi sebum yang berlebihan, (3) inflamasi, dan (4) keberadaan dan
aktifitas Propionibacterium acnes (Zaenglein,2008; Wasitaatmadja).
Hiperproliferasi folikel epidermis menghasilkan formasi lesi
primer, mikrokomedo.Epithelium dari bagian atas folikel rambut,
infundibulum, menjadi hyperkeratosis dengan peningkatan kohesi dari
keratosit-keratosit.Sel-sel yang begitu banyak dan perlekatannya
menghasilkan sumbatan pada saluran folikel.Sumbatan ini kemudian
menyebabkan peningkatan akumulasi keratin, sebum, dan bakteri dalam
folikel.Ini

menyebabkan

dilatasi

bagian

atas

folikel

rambut,

menghasilkan komedo.Stimulus dari hiperproliferasi keratosit dan


peningkatan adhesi ini belum diketahui. Tetapi beberapa faktor yang
diduga termasuk stimulasi androgen, penurunan asam linoleat, dan
peningkatan aktifitas interleukin (IL)-1 (Zaenglein,2008).
Faktor lain yang berpengaruh adalah hiperinsulinemia akut/kronik.
Hiperinsulinemia akan mengakibatkan kenaikan insulin like growth
factor (IGF-1) dan menurunkan level IGF binding protein 3 (IGFBP-3).
Kenaikan IGF-1 memiliki potensi yang tinggi untuk pertumbuhan semua

jaringan, termasuk folikel yang kemudian dapat menimbulkan akne


(Cordain,2002).
Faktor kedua adalah produksi sebum yang berlebihan dari kelenjar
sebasea. Pasien dengan akne memproduksi sebum yang lebih banyak
daripada orang yang tanpa akne, meskipun kualitas dari sebum yang
dihasilkan tetap sama. Salah satu komponen sebum, trigliserida,
memiliki peran dalam patogenesis akne.Trigliserida diubah menjadi
asam lemak bebas oleh P. acnes, flora normal unit pilosebasea. Asam
lemak bebas ini akan mempromosikan penggumpalan bakteri lebih
lanjut dan kolonisasi P.acnes, inflamasi, dan mungkin komedogenik.
Halhal yang berpengaruh dalam peningkatan produksi sebum adalah
aktifitas androgen, hiperinsulinemia yang berperan dalam sintesis
androgen di ovarium, dan stress (Cordain, 2002; Wasitaatmadja, 2008;
Zaenglein, 2008).
Hormon-hormon androgenik juga mempengaruhi produksi sebum,
seperti testosteron yang mengakibatkan pembesaran kelenjar sebasea
yang akhirnya meningkatkan produksi sebum (Odom,2000).
Peran estrogen pada produksi sebum belum begitu dipahami.Dosis
estrogen yang dibutuhkan untuk mengurangi produksi sebum lebih
tinggi daripada dosis yang dibutuhkan untuk menghambat ovulasi.
Mekanisme kerja estrogen termasuk: (1) secara langsung melawan efek
androgen pada kelenjar sebasea; (2) inhibisi produksi androgen pada
jaringan gonad melalui negative feedback pada pelepasan gonadotropin

hipofisis; (3) regulasi gen yang menekan pertumbuhan kelenjar sebasea


atau produksi lipid (Zaenglein,2008).
Mikrokomedo berlanjut semakin meluas dengan penumpukan
keratin, sebum, dan bakteri yang bersifat padat.Kemudian distensi ini
menyebabkan dinding folikel rusak. Dan masuknya keratin, sebum, dan
bakteri ke dalam dermis menghasilkan respon inflamasi yang
berlangsung cepat (Zaenglein,2008).
Elemen keempat adalah keberadaan dan aktifitas P.acnes.Bakteri
ini termasuk gram positif, anaerobic dan mikroaerobik yang ditemukan
di folikel sebasea.Remaja dengan akne memiliki konsentrasi P.acnes
yang lebih tinggi daripada mereka yang tanpa akne.Dinding sel bakteri
ini

mengandung

antigen

karbohidrat

yang

menstimulasi

antibodi.Antibodi anti propionibakteri meningkatkan respon inflamasi


dengan

mengaktifasi

komplemen.Bakteri

ini

juga

memfasilitasi

inflamasi dengan menimbulkan reaksi hipersensitif tipe 4 melalui


produksi lipase, protease, hialonidase, dan faktor kemotaktik.Sebagai
tambahan, bakteri ini juga menstimulasi upregulasi dari sitokin dengan
berikatan dengan Toll like receptor 2. Setelah berikatan, kemudian
sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-8, IL-12, dan TNF dikeluarkan
(Zaenglein,2008).

4. Gejala Klinis

Tempat predileksi akne adalah bagian tubuh dengan kelenjar


sebasea terbanyak dan terbesar, yaitu: pada wajah, bahu, dada bagian
atas, dan punggung bagian atas (Feldman,2004). Lokasi kulit lainnya
yang kadang-kadang terkena adalah leher, lengan bagian atas, dan glutea
(Wasitaatmadja,2008).
Lesi biasa berupa komedo, papul, pustul, dan nodul serta parut
akibat proses aktif. Komedo merupakan lesi primer, ada yang blackhead
dan ada yang whitehead. Gejala lokal dapat berupa nyeri, nyeri tekan,
dan gatal (Fulton, 2009; Wasitaatmadja,2008) . Selain itu kejadian akne
vulgaris

sering

mempengaruhi

kondisi

psikologis

pasien

dan

mempengaruhi kualitas hidup penderita sesuai dengan keparahan atau


gradasi dari penyakit (Hafez,2009).

5. Gradasi
Ada berbagai kriteria gradasi akne yang ada saat ini, dan beberapa
diantaranya adalah:
a. Cunliie et al (James,2005)
1) Ringan: lesi utama berupa komedo. Papul dan pustul mungkin
ada, tetapi berukuran kecil dan sedikit (<10).
2) Sedang: papul dan pustul dalam jumlah sedang (10-40)
dandidapati komedo (10-40). Penyakit juga mungkin ditemukan
di badan.

3) Sedang-berat: papul dan pustul dalam jumlah banyak (40-100),


biasanya dengan komedo

dalam jumlah banyak (40-100),

kadang-kadang dengan lesi yang lebih besar dan dalam. Daerah


yang terkena luas, termasuk wajah, dada, dan punggung.
4) Berat: akne konglobata dan akne nodulistik dengan banyak
nodul atau pustule yangn sangat sakit dan berukuran besar.
b. Dan gradasi yang dipakai di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin

FKUI/RSUPN

Dr.

Ciptomangunkusumo

(Wasitaatmadja,2008)
1) Ringan :
a) beberapa lesi tak beradang pada 1 predileksi
b) sedikit lesi tak beradang pada beberapa tempat predileksi
c) sedikit lesi beradang pada 1 predileksi
2) Sedang :
a) banyak lesi tak beradang pada 1 predileksi
b) beberapa lesi tak beradang pada lebih dari 1 predileksi
c) beberapa lesi beradang pada 1 predileksi
d) sedikit lesi beradang pada lebih dari 1 predileksi.
3) Berat
a) banyak lesi tak beradang pada lebih dari 1 predileksi
b) Banyak lesi beradang pada 1 atau lebih predileksi
Catatan :
sedikit<5, beberapa5-10, banyak >10

Lesi tak beradang: komedo putih, komedo hitam, papul


Lesi beradang: pustul, nodul, kista.

6. Diagnosis
Diagnosis akne vulgaris dibuat atas dasar klinis dan pemeriksaan
ekskohleasi sebum, yaitu pengeluaran sumbatan sebum dengan komedo
ekstraktor (sendok Unna). Sebum yang menyumbat folikel tampak
sebagai massa padat seperti lilin atau massa lebih lunak bagai nasi yang
ujungnya kadang berwarna hitam (Wasitaatmadja,2008).
Pemeriksaan histopatologis memperlihatkan gambaran yang tidak
spesifik berupa serbukan sel radang kronis di sekitar folikel pilosebasea
dengan massa sebum di dalam folikel. Pada kista, radang sudah
menghilang diganti dengan jaringan ikat pembatas massa cair sebum
bercampur dengan darah, jaringan mati, dan keratin yang lepas
(Wasitaatmadja,2008).
Pemeriksaan mikrobiologis terhadap jasad renik yang mempunyai
peran pada etiologi dan patogenesis penyakit dapat dilakukan
laboratorium mikrobiologi yang lengkap untuk tujuan penelitian, namun
hasilnya sering tidak memuaskan (Wasitaatmadja,2008).
Pemeriksaan susunan dan kadar lipid permukaan kulit (skin surface
lipids) dapat pula dilakukan untuk tujuan serupa. Pada akne vulgaris
kadar asam lemak bebas (free fatty acid) meningkat dan karena itu pada

pencegahan dan pengobatan digunakan cara untuk menurunkannya


(Wasitaatmadja,2008).

7. Diagnosis banding (Wasitaatmadja,2008).


a. Erupsi

akneiformis

yang

disebabkan

oleh

induksi

obat,

misalnyakortikosteroid, INH, barbiturate, bromide, yodida, difenil


hidantoin, trimetadion, ACTH, dan lainnya. Klinis berupa erupsi
papulo pustule mendadak tanoa adanya komedo di hampir seluruh
bagian tubuh. Dapat disertai demam dan dapat terjadi di semua
usia.
b. Akne venenata dan akne akibat rangsangan fisis. Ummumnya lesi
monomorfi, tidak gatal, bisa berupa komedo atau papul, dengan
tempat predileksi di tempat kontak zat kimia atau rangsang
fisisnya.
c. Rosasea, merupakan penyakit peradangan kronik di daerah muka
dengan gejala eritema, pustule, telangiektasi, dan kadang-kadang
disertai hipertrofi kelenjar sebasea. Tidak terdapat komedo kecuali
bila kombinasi dengan akne.
d. Dermatitis perioral yang terjadi terutama pada wanita dengan gejala
klinis polimorfi eritema, papul, pustule, di sekitar mulut yang terasa
gatal.

8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan akne vulgaris meliputi usaha untuk mencegah


terjadinya erupsi (preventif) dan usaha untuk menghilangkan jerawat
yang terjadi (kuratif). Kedua usaha tersebut harus dilakukan bersamaan
mengingat bahwa kelainan ini terjadi akibat pengaruh berbagai faktor
(multifaktorial), baik faktor internal dari dalam tubuh sendiri (ras,
familial, hormonal), maupun faktor eksternal (makanan, musim, stres)
yang

kadang-kadang

tidak

dapat

dihindari

oleh

penderita

(Wasitaatmadja,2008).

a. Pengobatan Topikal (Fulton,2009).


Retinoid topikal merupakan obat dengan efek komedolitik dan
antiinflamasi.Obat

ini

menormalkan

hiperkeratinisasi

dan

hiperproliferasi folikel yang terjadi.Retinoid topikal ini mengurangi


jumlah mikrokomedo, komedo, dan lesi meradang.Obat ini dapat
digunakan sendiri saja ataupun kombinasi dengan obat-obat akne
lainnya.Sediaan yang sering termasuk adapalene, tazanotene, dan
tretinoin.
Antibiotik topikal terutama digunakan untuk melawan P
acnes.Obat ini juga memiliki efek antiinflamasi.Antibiotik topikal
tidak memiliki efek komedolitik, dan resistensi dapat terjadi pada
beberapa jenis obat ini.Resistensi dapat dikurangi jika dikombinasi
dengan benzoil peroksida.Sediaan obat yang sering dipakai adalah

eritromisin dan klindamisin.Produk-produk benzoil peroksida juga


efektif digunakan untuk melawan P acnes, dan belum terbukti
adanya resistensi pada obat ini.

b. Pengobatan Sistemik (Wasitaatmadja,2008).


Pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk menekan
aktifitas jasad renik disamping dapat juga mengurangi reaksi radang,
menekan produksi sebum, dan mempengaruhi keseimbangan
hormonal.
Antibiotik sistemik seperti tetrasiklin, eritromisin, doksisiklin,
dan trimetroprim efektif untuk melawan P acnes.Obat hormonal
untuk menekan produksi androgen dan secara kompetitif menduduki
reseptor organ target di kelenjar sebasea, misalnya estrogen atau
antiandrogen siproteron asetat. Pengobatan ini ditujukan untuk
penderita wanita dewasa yang gagal dengan pengobatan lain.
Kortikosteroid sistemik seperti prednisone dan deksametason
diberikan untuk menekan peradangan dan menekan sekresi kelenjar
adrenal.
Retinoid oral atau derivatnya seperti isotretinoin menghambat
produksi sebum. Obat ini merupakan pilihan untuk akne nodulokistik
atau konglobata yang tidak sembuh dengan pengobatan lain.Obat
lain seperti antiinflamasi nonsteroid ibuprofen, dapson, dan seng
sulfat juga digunakan.

c. Bedah Kulit (Wasitaatmadja,2008).


Tindakan bedah kulit terkadang perlu terutama untuk
perbaikan jaringan parut akibat akne vulgaris meradang yang berat,
baik yang hipertropik maupun yang hipotropik.Tindakan bedah
disesuaikan dengan macam dan kondisi jaringan parut yang terjadi.
Jenis tindakan bedah: bedah scalpel, bedah listrik, bedah kimia,
bedah beku, dan dermabrasi.

B.

Tidur
1. Fisiologi Tidur
Tidur merupakan kebutuhan dasar tubuh kita dan penting untuk
kesehatan kita, kualitas hidup yang bagus, dan melaksanakan aktifitas
dengan maksimal. Dan kita menghabiskan hampir sepertiga hidup kita
untuk tidur (WHO,2004).Dalam tulisannya, dr Iskandar Japardi (2002)
menuliskan bahwa semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan
yang sesuai dengan beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang
seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai irama sirkadian.Pusat
kontrol irama

sirkadian terletak pada bagian ventral anterior

hypothalamus.
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi
terletak pada substansia ventrikulo retikularis medulo oblogata yang
disebut sebagai pusat tidur. Bagian susunan saraf pusat yang

menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral


medulo oblogata disebut sebagai pusat penggugah atau aurosal state
(Japardi,2002).
Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:
a. Tipe Rapid Eye Movement (REM)
b. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4
stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase
NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-7 kali siklus
semalam (Japardi,2002).

Menurut Japardi (2002), tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu:


a. Tidur stadium satu.
Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur.Fase ini
didapatkan kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan tampak
gerakan bola mata ke kanan dan ke kiri.Fase ini hanya berlangsung
3-5 menit dan mudah sekali dibangunkan.Gambaran EEG biasanya
terdiri dari gelombang campuran alfa, betha dan kadang gelombang
theta dengan amplitudo yang rendah. Tidak didapatkan adanya
gelombang sleep spindle dan kompleks K.
b. Tidur stadium dua
Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot
masih berkurang, tidur lebih dalam dari pada fase pertama.Gambaran

EEG terdiri dari gelombang theta simetris. Terlihat adanya


gelombang sleep spindle, gelombang verteks dan komplek K.
c. Tidur stadium tiga
Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran EEG
terdapat lebih banyak gelombang delta simetris antara 25%-50%
serta tampak gelombang sleep spindle.

d. Tidur stadium empat


Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan. Gambaran
EEG didominasi oleh gelombang delta sampai 50% tampak
gelombang sleep spindle. Fase tidur NREM, ini biasanya
berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan
masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya
berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih insten dan panjang saat
menjelang pagi atau bangun (Japardi,2002).

Pola tidur REM ditandai adanya gerakan bola mata yang cepat,
onus otot yang sangat rendah, apabila dibangunkan hampir semua organ
akan dapat menceritakan mimpinya, denyut nadi bertambah dan pada
laki-laki terjadi eraksi penis, tonus otot menunjukkan relaksasi yang
dalam (Japardi,2002).

Pola tidur REM berubah sepanjang kehidupan seseorang seperti


periode neonatal bahwa tidur REM mewakili 50% dari waktu total
tidur.Periode neonatal ini pada EEG-nya masuk ke fase REM tanpa
melalui stadium 1 sampai 4. Pada usia 4 bulan pola berubah sehingga
persentasi total tidur REM berkurang sampai 40% hal ini sesuai dengan
kematangan sel-sel otak, kemudian akan masuk keperiode awal tidur
yang didahului oleh fase NREM kemudian fase REM pada dewasa muda
dengan distribusi fase tidur sebagai berikut: NREM (75%) yaitu stadium
1: 5%; stadium 2 : 45%; stadium 3 : 12%; stadium 4 : 13%; dan REM;
25% (Japardi,2002).
Bayi baru lahir total tidur 16-20 jam/hari, anak-anak 10-12
jam/hari, kemudian menurun 9-10 jam/hari pada umur diatas 10 tahun
dan kira-kira 7-7,5 jam/hari pada remaja dan menurun menjadi 6,5
jam/hari pada orang dewasa lanjut. Tetapi terdapat perbedaan pada tiap
individu terhadap lama tidur dan dalamnya tidur. Ini dipengaruhi genetic,
early-life conditioning, jumlah aktifitas fisik, dan status psikologis
seseorang (Adams,2005). Sedangkan dari sumber lain, sebuah artikel
Medscape (2005), durasi tidur rata-rata usia dewasa adalah 7-8 jam per
hari. Sementara remaja butuh waktu yang lebih lama, yaitu sekitar 9 jam,
meskipun banyak yang tidur kurang dari 8 jam pada hari sekolah.

2. Efek Tidur Pada Kesehatan

Tidur merupakan kebutuhan dasar tubuh kita dan penting untuk


kesehatan kita, kualitas hidup yang bagus, dan melaksanakan aktifitas
dengan maksimal.Akibat utama dari kurangnya waktu tidur atau tidur
yang tidak maksimal adalah efek fisik (mengantuk, lelah, dan hipertensi),
efek gangguan kognitif (penampilan/aktifitas, perhatian dan motivasi
yang buruk/menurun; berkurangnya konsentrasi dan kapasitas intelektual
dan meningkatnya kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja atau
kecelakaan saat berkendara), dan efek gangguan psikologis.
Tidur yang tidak adekuat mempengaruhi kemampuan berpikir,
kemampuan menghadapi stress, menjaga system imun yang sehat, dan
mengakibatkan stress tingkat sedang (WHO,2004).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengurangan durasi tidur
memiliki beberapa pengaruh yang cukup nyata, yaitu: peningkatan
sitokin proinflamasi IL-6 dan/atau TNF, dan penuruan konsentrasi
kortisol

pada

pagi hari dan meningkat pada malam hari

(Vgontzas,2004). Dan pada penelitian Gottlieb dkk (2005), pengurangan


waktu tidur juga berpengaruh pada meningkatnya kemungkinan untuk
menderita diabetes mellitus (DM) dan juga impaired glucose tolerance
(IGT).

C.

Keseimbangan Energi, Makanan Cepat Saji, Glykemic Index dan


Glykemic Load

1.

Keseimbangan Energi

Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang


pertumbuhan, dan melakukan aktivitas fisik. Energi diperoleh dari
karbohidrat, lemak dan protein yang ada di dalam makanan. Kandungan
karbohidrat, lemak dan protein suatu makanan menentukan nilai energinya.
Kebutuhan energi seorang sehari-hari ditaksir dari kebutuhan energi
untuk komponen-komponen sebagai berikut:
a.

Angka metabolism basal/AMB (kebutuhan sedang istirahat).

b.

Aktivitas fisik

c.

Pengaruh dinamik khusus makanan/SDA (dapat diabaikan).


Jadi, taksiran kebutuhan energi sehari seorang mahasiswa, berumur 20

tahun dengan berat badan 65 Kg dan aktivitas ringan adalah sebagai berikut:
a. Kebutuhan energi untuk angka metabolism basal adalah (15,3 x 65) + 679
= 1674 kkal (lihat lampiran 4)
b. Kebutuhan energi total dengan aktivitas fisik adalah 1,56 x 1674 = 2611
kkal
Jadi taksiran kebutuhan energi seharinya adalah sebanyak 2611 kkal.

2.

Makanan Cepat Saji


Makanan cepat saji adalah makanan olahan yang biasanya disajikan
dengan cepat. Makanan cepat saji umumnya mengandung kalori yang sangat
tinggi. Sebuah gelas ukuran regular 32 oz. minuman cola mengandung sekitar
425 kalori, coba bayangkan berapa kalori yang dikonsumsi untuk 1 paket
makanan cepat saji yang terdiri atas ayam goreng, nasi, dan cola, belum lagi
bila ditambah satu gelas ice cream atau kentang goreng. Berdasarkan USDA

(2005) 1 potong ayam goreng mengandung sekitar 515 Kkal, Cola 425 kkal,
nasi 216 kkal, ice cream 164 kkal dan kentang goreng 291 kkal. Sehingga
total kalori yang dikonsumsi untuk 1 porsi sekitar 1551 kkal. Apabila
seseorang sehari makan 3 kali, maka kalori yang dikonsumsi orang tersebut
sekitar 4653 kkal. Hal ini dapat meningkatkan hipersekresi insulin dalam
darah yang akan menyebabkan meningkatkanya androgen (USDA, 2005).

3.

Glykemic index dan Glykemic load


Glicemic index adalah nilai dari tiap jenis atau kaulitas karbohidrat
dalam suatu makanan dan seberapa cepat 50 gram karbohidrat dalam
makanan ini meningkatkan level gula darah (dan konsekuensi peningkatan
sekresi insulin yang diproduksi oleh pankreas) pada saat dicerna. Semakin
tinggi GI (glicemic index) suatu makan yang kita makan maka fluktuasi
level gula darah tubuh akan semakin tinggi begitu juga dengan level insulin
di dalam tubuh (Foster et al, 2003).
Level gula darah akan meningkat setelah kita memakan makanan
yang mengandung karbohidrat (gula dan zat tepung). Perbedaan kandungan
karbohidrat suatu makanan menetukan perbedaan peningkatan level gula
darah. Contohnya adalah white bread yang memiliki GI sebesar 70,
dibandingkan dengan makanan lain (Gambar 2.5).
Glykemic index dibedakan berdasarkan tingkatannya. Dikatakan GI
tinggi apabila nilainya 70-100; medium 50-70 dan rendah 50 (Rakel,

2008).
Semakin tinggi GI, semakin tinggi kadar glukosa di dalam darah,
dan akan semakin banyak insulin yang akan diproduksi untuk dapat
menyalurkan glukosa ke dalam sel. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan
yang sangat tinggi pada insulin, sehinga dapat terjadi inflamasi,
penambahan berat badan, peningkatan hormon, bahkan dapat menyebabkan
resistensi insulin.

Glicemic Load adalah suatu tingkat yang menyatakan kandungan


karbohidrat di dalam suatu makanan didasarkan pada Glicemic index dan
nilai karbohidrat. Glicelic load mengindikasikan seberapa cepat suatu porsi
standard dari suatu jenis makanan untuk meningkatkan kadar gula darah,
dan hal ini memberi indikasi dari glicemic dan respon insulin. Rumus: GL =
(GI x Jumlah karbohidrat)/100. Misalnya GI ayam goreng adalah 63, Ayam
goreng mengandung sekitar 52 gram karbohidrat tiap 100 gram. Jadi untuk
menghitung GL untuk standart pemberian 50 g, 63 dibagi 100 (0.63)
kemudian dikalikan dengan 26,. GL untuk ayam goreng adalah 16,3.

D.

Hubungan Tidur dan makanan dengan Kejadian Akne Vulgaris


Ada berbagai efek yang terjadi akibat pengurangan waktu tidur.Beberapa

diantaranya kemungkinan berpengaruh terhadap pathogenesis akne vulgaris.


Halhal yang kemungkinan berpengaruh ini antara lain: meningkatnya level
stress,meningkatnya kadar ghrelin yang disertai penurunan leptin dalam plasma

pada malam hari, menurunnya kadar kortisol pada pagi hari lalu meningkat pada
malam hari, peningkatan sitokin proinflamasi IL-6 dan/atau TNF sirkulasi,
dan meningkatnya kemungkinan menderita IGT dan DM.
Stress berhubungan dengan meningkatnya kerja kelenjar sebasea, baik
secara langsung ataupun melalui rangsangan terhadap kelenjar hipofisis
(Wasitaatmadja,2008). Peningkatan produksi sebum berhubungan dengan
peningkatan asam lemak bebas yang bersifat komedogenik yangn merupakan
salah satu dasar pathogenesis akne (Zaenglein,2008). Jadi secara tidak langsung
kita dapat menyimpulkan kurangnya durasi tidur atau kehilangan waktu tidur
berperan terhadap timbulnya akne.
Meningkatnya kadar ghrelin serta menurunnya kadar leptin dalam plasma
pada malam hari memiliki pengaruh untuk seseorang mengkonsumsi lebih banyak
makanan pada malam hari. Dan ini bisa mengakibatkan keadaan hiperinsulinemia
akibat diet berlebihan. Dan kondisi hiperinsulinemia ini mengakibatkan
meningkatnya kadarinsulinlike growth factor-1 (IGF-1) dan menurunnya
insulinlike growth factor binding protein 3 (IGFBP-3). ). Kenaikan IGF-1
memiliki potensi yang tinggi untuk pertumbuhan semua jaringan, termasuk folikel
yang kemudian dapat menimbulkan akne.Insulin dan IGF-1 menstimulasi sintesis
androgen pada jaringan testis dan ovarium. Lebih lanjut, insulin dab IGF-1
menginhibisi sintesis sex hormone binding protein (SHBP) di hepar sehingga
bioavailability androgen meningkat (Cordain,2002).
Glukortikoid kortisol sering disebut stress hormone memiliki efek
metabolism (glukoneogenesis), meningkatkan resistensi terhadap stress dengan

memberikan energy melalui glukoneogenesis, mengatur kadar sel darah merah


dalam plasma dan mendistribusi eosinofil, basofil, monosit, limfosit ke jaringan
limfoid sehingga berkurang di sirkulasi dan dan meningkatkan kadar Hb, eritrosit,
trombosit dan leukosit, memiliki efek anti inflamasi dan mempengaruhi sistem
mekanisme umpan balik. Sehingga bila kadar kortisol rendah pada pagi hari,
maka kemampuan menangani stress akan berkurang, energy berkurang akibat
berkurangnya glukoneogenesis, dan inflamasi akan lebih mudah terjadi akibat
tingginya eosinofil, basofil, monosit, limfosit dalam plasma. Hal-hal tersebut
kemungkinan akan mempermudah terjadinya akne.
Peningkatan

sitokin

proinflamasi,

khususnya

TNF,

kemungkinan

berhubungan dengan kejadian akne melalui efek inflamasi yang ditimbulkan. Dan
pada penderita akne ditemukan peningkatan sekresi TNF seperti pada
uraian pathogenesis akne sebelumnya.
Makanan sendiri tidak dapat secara langsung menyebabkan akne. Setelah
diteliti ternyata terdapat faktor hormon yang memicu timbulnya akne vulgaris
yaitu androgen, insulin like growth factor, insulin like growth factor binding
protein 3 dan retinoid signaling pathway. Hormon androgen selain berperan besar
dalam memicu timbulnya hiperproliferasi folikular keratinosit, juga mempunyai
pengaruh yang besar terhadap aktivitas sel sebosit dalam memproduksi sebum.
Androgen yang terpenting dalam stimulasi produksi sebum adalah testosteron
yang akan diubah menjadi bentuk aktifnya oleh perantaraan enzim type I-5
reductase menjadi 5 DHT. Hal inilah yang memicu timbulnya akne pada masa
pubertas, dimana sudah umum diketahui bahwa pada usia pubertas terjadi

peningkatan yang signifikan dari hormon androgen. Dengan demikian,


peningkatan sebum dapat ditingkatkan apabila terjadi peningkatan dari androgen,
peningkatan sensitivitas reseptor sel sebosit terhadap 5-DHT atau akibat
peningkatan dari enzim type I-5 reductase (Cordain L, Lindeberg S, Hurtado M,
Hill K, Eaton B, Brand-Miller B, 2002; Jappe, 2003).
Hasilnya studi terbaru dari American Journal of Clinical Nutrison pada Juli
2007 melihat pengaruh faktor diet atau nutrisi khususnya pada sisi glycemic load
(GL) dalam menyebabkan jerawat. Glycemic index (GI) merupakan suatu sistem
peringkat untuk menilai seberapa cepat glukosa atau gula dari suatu jenis makanan
memasuki aliran darah, atau dapat dikatakan seberapa cepat karbohidrat dalam
makanan dapat meningkatkan kadar gula darah.
Berbeda dengan GI, GL tidak hanya menilai seberapa cepat glukosa dari
makanan memasuki peredarah darah, tetapi juga menilai seberapa banyak glukosa
yang terkandung dari makanan tersebut sehingga GL lebih menilai secara
keseluruhan. GL dinyatakan sebagai peringkat standar saji dari suatu makanan
untuk dapat meningkatkan kadar gula darah. Makin rendah GL, makain kecil
kemampuan makanan yang disajikan memicu peningkatan gula darah secara
berlebihan (Smith, R N, Mann N J, Braue A, Makelainen H, Varigos G A, 2007).
Makanan dengan Glycemic Load yang tinggi meningkatkan kadar gula
dalam darah sehingga terjadi suatu kondisi hiperinsulinemia. Kondisi ini akan
meningkatkan kadar IGF 1 (insulinlike growth factor) yang merangsang terjadinya
jerawat lewat peningkatan proses keratinisasi pada folikel polisebasea dan
stimulasi pada ovarium dan testikular untuk memproduksi hormon androgen yang

mengakibatkan produksi minyak atau sebum. Selain itu hiperinsulinemia akan


menyebabkan meningkatknya kadar non stratified fatty acid di dalam plasma yang
akan meningkatkan epidermal growth factor receptor. Bersamaan dengan ini
insulin akan meningkatkan transforming growth factor
1 yang mana akan menghambat sintesis insulin growth factor binding
protein 3 di keratinosit, dimana IGFBP 3 merupakan inhibitor dari IGF 1,
sehingga tidak terjadi hiperkeratinisasi. Retinoid signaling pathway juga mungkin
berperan dalam hal ini. Retinoid merupakan penghambat proliferasi dari sel dan
bertugas untuk mengadakan apoptosis pada sel. Ada 2 bentuk dari retinoid di
dalam tubuh yaitu trans retinoid dan 9 cis retinoid acid yang mempunyai 2
reseptor RAR-RXR yang berperan untuk transkripsi dan RXR-RXR yang
berperan untuk membatasi proliferasi dari hampir seluruh sel tubuh. Di kulit
sendiri, terdapat RXR yang berperan untuk membatasi proliferasi sel folikular,
akan tetapi terjadi penurunan sensitifitas pada sistem ini akibat penurunan dari
kadar plasma IGFBP 3. Peningkatan insulin dan IGF 1 juga diketahui akan
menhambat hati mensisntesis sex hormone binding globulin (SHBG) sehingga
bioavaibilitas androgen terhadap jaringan akan meningkat drastis (Guyton A C,
Hall J E, 2007).

BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

A.

Kerangka Konsep
Tidur yang
kurang dan
makanan siap
saji

Akne
Vulgaris

Gambar 3.1 Kerangka hubungan tidur dana makanan siap saji dengan timbulnya
akne vulgaris

Variabel independen pada penelitian ini adalah tidur yang kurang dari tujuh
jam perhari serta makanan siap saji, sedangkan variabel dependen adalah kejadian
akne vulgaris.
B.

Hipotesis
Ada hubungan antara kurangnya kualitas dan kuantitas tidur dengan
timbulnya akne vulgaris.

DAFTAR PUSTAKA
Eun Do, E., et al, Psychosocial Aspects of Acne Vulgaris: A Communitybased Study with Korean Adolescents, The Korean Society for
Investigative Dermatology, PubMed, 2008.
Goklas, Hubungan Kualitas Dan Kuantitas Tidur Terhadap Timbulnya Akne
Vulgaris Pada Dokter Muda Di RSUP H. Adam Malik, Skripsi,
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, 2011.
Harper, J.C., and Fulton, J.J., Acne Vulgaris, eMedicine Dermatology, 2008.
Hastings, M., The Brain, Circardian Rhythms, and Clock Genes, British Medical
Journal, 2005; Vol.317:1704-7.
Kubota, Y., Shirahige, Y., Nakai, K., Katsuura, J., Moriue, T., and Yoneda,
K., Community-Based Epidemiological Study of Psychosocial Effects of
Acne in Japanese Adolescents, Japanese Journal of Dermatology,
2010;Vol.37:617622.
Tan, H.H., Tan, A., Barkham, T., Yan, X.Y. and Zhu, M., CommunityBased Study
of Acne Vulgaris in Adolescents in Singapore, British Journal of
Dermatology, 2007;Vol.157:547-551.
Tjekyan, R.M.S., Kejadian dan Faktor Resiko Akne Vulgaris, Jurnal
Kedokteran Media Medika Indonesia, 2008;Vol.43, No.1:37-43.
Vgontzas, A.N., et al., Adverse Effects of Modest Sleep Restriction on Sleepiness,
Performance, and Inflammatory Cytokines, The Journal of Clinical
Endocrinology & Metabolism, 2004;Vol.89: 2119-2126.
_________________, Circardian Interleukin-6 Secretion and Quantity and Depth
of Sleep, Sleep Research and Treatment Center, 2006.
Wasiso, S.S., Perbandingan Antara Pemakaian Bedak Tabur dan Bedak Padat
dengan Timbulnya Acne Vulgaris pada Karyawati Toko Luwes Gading
Surakarta, Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2010.
Cordain L, Lindeberg S, Hurtado M, Hill K, Eaton B, Brand - Miller B. Acne
vulgaris - a disease of Western civilization. Arch Dermatol. 2002; 138 :
1584-90.
Smith, R. N., Mann, N. J., Braue, A., Mkelinen, H., dan Varigos, G. A. 2007.
The Effect of A High-Protein, Low Glycemic-Load Diet Versus A
Conventional, High Glycemic-Load Diet on Biochemical Parameters

Associated With Acne Vulgaris: A Randomized, Investigator-Masked,


Controlled Trial. Journal of The American Academy of Dermatology 57
(2): 247-256.
Wasitaatmadja SM. Akne, erupsi akneiformis, rosasea, rinofima. Dalam: Djuanda
A, Hamzah M, Aisyah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. h.253-63
Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, Strauss JS. Acne Vulgaris and
Acneiform Eruptions. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill; 2008. h. 897-917.
Fulton, J., 2009. Acne Vulgaris. eMedicine Articles. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/1069804 (Accesed: September 9.
2015)
Webster, G.F. 2002. Acne Vulgaris. BMJ/Vol 325:425-9
Odom, R.B. 2000. ADREWS Diseases of Skin Clinical Dermatology. 9 th ed.
USA: W.B. Saunders Company.
Feldman, S., Careccia, R., Barham, K. & Hancox, J. 2004 Diagnosis and
Treatment of Acne. Am Fam Physician. 69: 2123-30.
Hafez, K.A., Mahran, A.M., Mahran, A.M., Hofny, E.R.M., Mohamed, K.A.,
Darweesh, A.m., and Aal, A.A. 2009. The Impact of acne vulgaris on the
quality of life and psycologic status from upper Egypt. Internasional
Journal of Dermatology/Vol 48: 280-285
James, W.D. 2005. Acne. N Engl J Med/Vol 352:14
WHO Regional Office for Europe. 2004. WHO technical meeting on sleep and
health
Japardi, Iskandar. 2002. Gangguan Tidur. USU Digital Library
Medscape Family Medicine, 2005. The Normal Duration of Daily Sleep for
Different
Age
Groups.
Available
from:
http://cme.medscape.com/viewarticle/511229 [Accessed: September 9,
2015]
Adam R.D., Victor M., Ropper A.H. 2005. Principles of Neurology.8thed. McGraw
Hill. New York.

Gottlieb, D.J., Punjabi, N.M., Newman, A.B., Resnick, H.E., Redline, S.,
Baldwin, C.M., et al. 2005. Association of Sleep Time With Diabetes
Mellitus and Impaired Glucose Tolerance. Arch Intern Med
Foster GD, Wyatt HR, Hill JO, McGuckin BG, Brill C, Mohammed BS, et al
(2003). A randomized trial of a lowcarbohydrate diet for obesity. N Engl J
Med 348, 2082-2090
Rakel. 2008. University of Winconsin Hospital and Clinics: Glykemic Index.
Available from: http://mendosa.com/gilists.htm [Accesed 9
September 2015]
Jappe,U. 2003. Pathological Mechanisms of Acne with Special Emphasis on
Propinobbacterium Acnes and Related Therapy. Acta Derm Venereol 83.
241-248
Guyton A C, Hall J E. 2007. Metabolisme Karbohidrat dan Pembentukan
Adenosin Trifosfat. Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. 11.
Jakarta: EGC, 871-874.
USDA. 2005. Nutrition Facts and Analysis for Rice. Diakses 9 September 2015,
dari United States Departement of Agriculture : http://www.usda.gov

Anda mungkin juga menyukai