Anda di halaman 1dari 17

Tugas Kelompok

FARMAKOLOGI TERAPAN

STUDI KASUS GANGGUAN MENSTRUASI DAN ACNE VULGARIS

OLEH
KELOMPOK I

1. ADOLFINA MANGENDE (O1B1 21 052)


2. AISAH NUR HAWA (O1B1 21 053)
3. ALICIA CATHARINA TANDRA (O1B1 21 054)
4. ALYA ZUHRIYAH (O1B1 21 055)
5. ANDRIYANI PRADITA (O1B1 21 056)
6. APRILIA REZKI SAKINA (O1B1 21 057)
7. ARIFIN (O1B1 21 058)
8. ARNIS ANGGRAINI (O1B1 21 059)
9. ASTRI WIJAYANTI (O1B1 21 060)
10. AYUVIANI INDAH LESTARI SIERI (O1B1 21 061)
.

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
A. PENDAHULUAN
1. Mentruasi
Gangguan menstruasi merupakan masalah yang sering di alami oleh remaja.
Menurut WHO (2010) terdapat 75% remaja yang mengalami gangguan haid dan ini
merupakan alasan terbanyak seorang remaja putri mengunjungi dokter spesialis
kandungan. Siklus haid pada remaja sering tidak teratur, terutama pada tahun
pertama setelah menarche sekitar 80% remaja putri mengalami terlambat haid 1
sampai 2 minggu dan sekitar 7% remaja putri yang haidnya datang lebih cepat,
disebabkan oleh ovulasi yang belum terjadi (Anovulatory cycles).
Kejadian gangguan siklus mentruasi pada wanita yang mengalami obesitas
1,89 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita dengan status gizi normal
sedangkan subjek yang mengalami stress 2 kali lebih besar dibandingkan dengan
subjek yang tidak mengalami stress. Oligomenore merupakan jenis gangguan siklus
menstruasi yang paling tinggi terjadi pada kelompok subjek yang mengalami
obesitas (30,8%) dan pada subjek yang mengalami stress adalah  polimenore
(23,1%). Obesitas dan stress merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
gangguan siklus menstruasi. Setelah dikontrol dengan stress, pengaruh obesitas
dalam menyebabkan gangguan siklus menstruasi menjadi lebih kecil (OR=1;
OR=2,8) (Rustam, 2014).
Gangguan terkait menstruasi yang paling umum termasuk dismenore,
amenore, perdarahan anovulasi, dan menoragia. Gangguan ini berdampak negatif
pada kualitas hidup, kesehatan reproduksi, produktivitas kerja, dan dapat
menyebabkan konsekuensi kesehatan jangka panjang yang merugikan, seperti
osteoporosis atau sindrom ovarium polikistik (Dipiro dkk, 2016).
Dismenorea merupakan kondisi dimana adanya rasa nyeri saat menstruasi.
Rasa nyeri ini terutama dirasakan pada perut bagian bawah dan punggung serta
biasanya terasa seperti kram. Dismenorea dibagi menjadi dua, yaitu dismenorea
primer dan dismenorea sekunder. Berkaitan dengan status gizi, ketidakseimbangan
status gizi pada remaja dapat menyebabkan ketidak seimbangan pada hormon
reproduksi (estrogen dan progesterone) juga sekresi hormon prostaglandin dapat
meningkat sehingga meningkatkan amplitude dan frekuensi kontraksi uterus dan
menyebabkan vasospasme arteriol uterus, sehingga mengakibatkan iskemi dan kram
pada abdomen bawah yang bersifat siklik (Miraturrofi’ah, 2020).
Dismenore adalah nyeri panggul, umumnya digambarkan sebagai kram, yang
terjadi selama atau sesaat sebelum menstruasi. Dismenore primer adalah nyeri dalam
pengaturan anatomi dan fisiologi panggul yang normal, sedangkan dismenore
sekunder dikaitkan dengan patologi panggul yang mendasarinya (Dipiro, dkk.,
2016).
Dismenorea adalah gangguan menstruasi terbanyak (80,0%) yang dialami oleh
pelajar perempuan maupun wanita dewasa. Pada peneitian ini. Beberapa  penelitian
lain melaporkan prevalensi dismenorea sebesar 73,83%2,63,1%. Sebesar 15,8%-
89,5% perempuan dilaporkan mengalami dismenora pada berbagai studi di dunia,
dimana perempuan usia remaja memiliki angka yang lebih tinggi. Menurut studi
yang dilakukan Zhou di sebuah universitas di China menyebutkan bahwa 56,4%
mahasiswi di universitas tersebut mengalami dismenorea. Di Indonesia sendiri
diperkirakan 60% – 70% perempuan mengalami dismenorea. Sebuah survey di
Canada yang diikuti oleh lebih dari 1.500 perempuan menstruasi yang dipilih acak
menyebutkan bahwa angka kejadian dismenorea sedang hingga berat terjadi pada
60% responden, yang menyebabkan  penurunan aktivitas pada 50% responden serta
absen pada sekolah atau pekerjaan  pada 17% responden. Studi lain pada populasi
remaja perempuan di Tbilisi, Georgia menyebutkan bahwa 52,07% responden
mengalami dismenorea. Studi dismenorea lainnya yang dilakukan pada remaja
perempuan di Kelantan, Malaysia melaporkan bahwa dismenorea mempengaruhi
konsentrasi di sekolah dan partisipasi sosial, meskipun demikian hanya sebagian
kecil remaja perempuan yang mengalami dismenorea yang mencari pengobatan
medis. Beberapa studi melaporkan bahwa angka kejadian dismenorea meningkat
pada perempuan dengan riwayat keluarga yang mengalami dismenorea, merokok,
indeks massa tubuh kurang dari 20, menarche dini(sebelum usia 12 tahun), serta
jarak antar menstruasi dan durasi menstruasi yang lebih panjang. Sedangkan
kontrasepsi oral, olahraga dan menikah dilaporkan menurunkan kemungkinan
dismenorea (Rustam, 2014).
Tingkat dismenore berkisar antara 16% hingga 90%. Sekitar 8% hingga 15%
persen wanita dengan dismenore melaporkan aktivitas harian yang terbatas atau
melewatkan hari kerja atau sekolah.
2. Acne vulgaris
Acne vulgaris (AV) adalah penyakit peradangan menahun unit pilosebasea,
dengan gambaran klinis biasanya polimorfik yang terdiri atas berbagai kelainan kulit
berupa: komedo, papul, pustul, nodul, dan jaringan parut. Komedo adalah lesi utama
jerawat. Lesi komedo berupa papula datar atau sedikit lebih tinggi dengan
permukaan sentral melebar yang diisi dengan keratin yang hitam (komedo terbuka
atau blackhead komedo). Komedo tertutup (whitehead) biasanya berukuran 1 mm
dan berwarna kekuningan. Papul dan pustul berukuran 1-5 mm disebabkan oleh
peradangan, sehingga terjadi eritema dan edema. Komedo ini dapat membesar
menjadi nodular dan menyatu menjadi plak yang fluktuatif, membentuk saluran
sinus, dan mengeluarkan nanah serosanguineous atau kekuningan. Penderita
biasanya mengeluh akibat erupsi kulit pada pada tempat-tempat predileksi, yakni
muka, bahu, leher, dada, punggung bagian atas dan lengan bagian atas oleh karena
kelenjar sebasea pada daerah yang aktif (Sibero, dkk., 2019).
Data prevalensi dunia mengatakan penderita AV 80 – 85% terjadi pada
remaja dengan puncak insidens usia 15 - 18 tahun, 12% pada wanita usia > 25 tahun
dan 3% pada usia 35 – 44 tahun. Acne vulgaris yang berat terlihat pada laki-laki.
Berdasarkan data nasional dalam catatan kelompokstudi dermatologi kosmetika
Indonesia terdapat peningkatandari 60% penderita Acne vulgaris pada tahun 2006
menjadi 80% pada tahun 2007 dan tahun 2009 naik menjadi 90%. Sebuah studi
menunjukkan bahwa 79% sampai 95% remaja mengalami akne Insiden jerawat 80-
90% pada usia dewasa muda, yaitu 14-17 tahun pada wanita, dan 16-19 tahun pada
pria (Sibero, dkk., 2019; Pratama, dkk., 2017)
Akne vulgaris termasuk penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limited
disease). Penyakit ini dapat ditemukan di segala usia. Penyebabnya multifaktor
namun secara pasti masih belum diketahui. Beberapa etiologi diduga turut berperan
adalah hipersekresi sebum, hiper keratinisasi, koloni propionibakterium aknes ( P.
acnes), dan inflamasi. Beberapa faktor lain juga dianggap turut berperan dalam
pemicu terjadinya akne vulgaris seperti faktor intrinsik yaitu genetik, ras, hormonal
dan faktor ekstrinsik yaitu stres, iklim, suhu, kelembaban, kosmetik, diet dan obat-
obatan. Pada umumnya banyak remaja yang bermasalah dengan jerawat, bagi
mereka jerawat merupakan siksaan psikis. Meskipun begitu, acne tetap menjadi
masalah kesehatan yang umum, bagi masyarakat, terutama mereka yang peduli akan
penampilan (Sibero, dkk., 2019).

B. PATOFISIOLOGI
1. Menstruasi
Pada dismenore primer, peningkatan kadar asam arakidonat dalam cairan
menstruasi menyebabkan peningkatan konsentrasi prostaglandin dan leukotrien
di dalam rahim. Ini menginduksi kontraksi uterus, merangsang serat nyeri,
mengurangi aliran darah uterus, dan menyebabkan hipoksia uterus.
2. Acne vulgaris
Terdapat empat patogenesis yang paling berpengaruh pada timbulnya AV, yaitu :
1) Peningkatan produksi sebum
Kelenjar sebasea berfungsi menyekresi sebum. Fungsi kelenjar sebasea
lainnya dihubungkan dengan perkembangan akne. Seburn adalah campuran
lipid non polar, yangsebagian besar disintesis dalam kelenjar sebasea guna
melapisi kulit agar terlindung dari keringat yang berlebih dan panas.
Komposisi sebum sangat spesifik pada setiap spesies. Adanya peningkatan
ekskresi sebum yang berada di bawah kontrol hormon androgen merupakan
faktor utama pada patofisiologi akne.
2) Hiperkornifikasi duktus pilosebasea
Pada keadaan normal, sel keratinosit fol ikular akan dilepaskan satu
persatu
ke dalam lumen dan kemudian di ekskresi. Pada akne terjadi hiperproliferasi
sel keratinosit, dan sel tidak dilepaskan secara tunggal sebagai mana keadaan
normal. Perubahan awal yang terjadi pada folikel pilosebasea berupa
perubahan pola keratinisasi dalam folikel. Sel stratum korneurn
infrainfundibulum menjadi lebih banyak rnengandung desmosorn,
tonofilarnen, butir keratohialin, dan lipid, tetapi mengandung lebih sedikit
butir-butir lamelar, sehingga stratum korneum lebih tebal dan lebih melekat.
Akibatnya terjadi penyumbatan saluran folikular yang akan menyebabkan
timbul nya mikrokomedo, yang merupakan prekursor kornedo dan lesi
inflamasi pada AV.
3) Kolonisasi mikroflora kulit, terutama P.acnes
Propionibacterium acnes ( PA) merupakan mikroorganisme utama yang
ditemukan di daerah infra infundibulurn, dapat mencapai pennukaan kulit
dengan mengikuti aliran sebum. P.acnes akan bertambah banyak seiring
dengan meningkatnya jumlah trigliserida dalam sebum yang merupakan
nutrisi bagi PA. P.acnes diduga berperan penting menimbulkan inflamasi
pada AV dengan menghasilkan faktor kemotaktik dan enzim lipase yang
akan mengubah trigliserida menjadi asarn lemak bebas. Dinding sel P. Acnes
mengandung antigen karbohidrat yang dapat menstimulasi pembentukan
antibodi. Titer antibodi yang tinggi ditemukan pada pasien dengan AV berat.
Antibodi anti propioni bacterium akan meningkatkan respons inflamasi
melalui aktivasi komplemen, sehingga memicu kaskade pro-inflamasi.
Propionibacteriurn acnes juga memicu inflamasi melalui elisitasi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, produksi lipase, protease, hialuronidase, dan
faktor kemotaktik.
4) Proses inflamasi dan respons imun
Proses inftamasi yang diperantarai sistem imun dapat melibatkan limfosit
C D4 dan makrofag, yang menstimulasi vaskularisasi pil osebaseus dan
memicu hiperkeratinisasi folikular. Di bawah pengaruh hormon androgen
dan perubahan pada lipid sebum yang menginduksi sekresi interleukin 1
terjadi kegagalan diferensiasi keratinosit terminal yang pada akhirnya
memicu pembentukan komedo. Kelenjar sebasea merupakan bagian penting
sistem imun, menghasilkan berbagai peptida anti mi kroba, neuropeptida, dan
lipid antibakteri misalnya sapienic acid. Fungsi kelenjar sebasea menyerupai
organ endokrin independen, dipengaruhi oleh corticotropine releasing
hormone, yang diduga memengaruhi hubungan stres dan eksaserbasi pada
akne. Vitamin D pun mengatur produksi sebum, dan insulin – likegrowth
factor 1 dapat meningkatkan sebum melalui sterol-respons element binding
proteins. Lipid teroksidasi, misalnya skualen dapat menstimulasi proliferasi
keratinosit dan respons inflamasi yang diperantarai oleh l eukotrien
inflamasi. Matriks metaloproteinase pada sebum berperan dalam proses
inflamasi, proliferasi sel, degradasi matriks dermis dan respons terapi .

C. TATA LAKSANA TERAPI


1. Menstruasi
Tatalaksana terapi dismenore dapat dilihat pada alogaritma berikut:

Alogaritma dismenore
1) Terapi farmakologi

 Obat Antiinflamasi Nonsteroid (NSAID). NSAID adalah pengobatan


pilihan untuk dismenore. NSAID bekerja dengan menghambat produksi
prostaglandin, mereka mengerahkan sifat analgesik, mengurangi kontraksi
rahim, dan mengurangi aliran darah menstruasi. Pilihan satu agen di atas
yang lain didasarkan pada biaya, kenyamanan, dan preferensi pasien. Agen
yang paling umum digunakan adalah naproxen dan ibuprofen. Pengobatan
dengan NSAID harus dimulai 1 sampai 2 hari sebelum dimulainya
menstruasi atau pada awal dismenore dan dilanjutkan selama 2 sampai 3
hari atau sampai nyeri hilang. Dosis pemuatan (dua kali dosis tunggal biasa)
direkomendasikan, diikuti dengan dosis yang biasanya direkomendasikan.
Untuk pasien yang NSAID dikontraindikasikan, kontrasepsi hormonal
kombinasi harus dipertimbangkan.
 Kontrasepsi Hormonal Kombinasi (CHC). CHC memperbaiki dismenore
ringan sampai berat dengan menghambat proliferasi jaringan endometrium
dan ovulasi, sehingga mengurangi sekresi prostaglandin dan volume darah
menstruasi. Diperlukan dua hingga tiga bulan terapi untuk mencapai efek
penuh. Baik terapi standar (28 hari) dan siklus diperpanjang (91 hari)
efektif untuk dismenore primer. Regimen siklus yang diperpanjang
dianggap sebagai lini pertama untuk dismenore karena endometriosis.
Manfaat tambahan termasuk kontrasepsi dan meningkatkan jerawat.
Meskipun formulasi monofasik dianggap lebih efektif untuk indikasi ini,
bukti yang mendukung hal ini terbatas. Jika tidak ada respon yang terjadi
setelah 3 bulan terapi, pasien harus dievaluasi untuk penyebab sekunder.
 Kontrasepsi Hormonal Khusus Progestin. Agen ini mengurangi
dismenore dengan mengurangi atau menghilangkan menstruasi dari waktu
ke waktu, sehingga menghilangkan pelepasan prostaglandin. Tiga agen
tersedia: depot medroxyprogesterone acetate, implan etonogestrel, dan
sistem intrauterin pelepas levonorgestrel. Data observasi menunjukkan
penurunan dismenore dari 60% menjadi 29% dengan terapi levonorgestrel-
releasing intrauterine device (IUD) selama 3 tahun. Meskipun data terbatas,
ini merupakan pilihan untuk manajemen dismenore.
2) Terapi Non Farmakologi
Terapi Intervensi nonfarmakologis yang mengurangi gejala dismenore
termasuk terapi panas topikal, olahraga teratur, stimulasi saraf listrik
transkutan (TENS), dan akupunktur. Selain itu, diet vegetarian rendah lemak
telah terbukti mengurangi intensitas dan durasi dismenore.
2. Acne vulgaris
Klasifikasi acne vulgaris menurut koda kimble, 2013
Derajat ringan Komedo dengan atau tanpa pustula atau papula
Derajat sedang Komedo dengan beberapa pustula atau papula dengan
atau tanpa sedikit nodul
Derajat berat Jerawat bervariasi, seperti acne conglobata atau acne
fulminans
Tata laksana terapi menurut Guideline dari The American Academy of
Dermatology (AAD), 2017
Diet Derajat ringan Derajat sedang Derajat berat
Menghindari produk benzoyl peroxide Antibiotik oral, Lini pertama
susu terutama susu atau topikal retinoid topikal retinoid Isotretinoid Oral.
skim yang dapat atau kombinasi. Pada wanita dapat Antibiotik Oral,
memperburuk Alternative yang ditambahkan Benzoil Peroksida,
jerawat dapat digunakan spironolakton Antibiotik Topikal,
(Perbaikan gaya dapsone dan kontrasepsi Retinoid Topikal
hidup) oral atau keduanya.

Tujuan dari penulisan ini yaitu untuk mengentahui pengertian jerawat,


jenis jenis jerawat, serta pengobatan mengenai jerawat.

D. MONITORING
1. Menstruasi
Keberhasilan pengobatan untuk gangguan terkait menstruasi diukur dengan
sejauh mana pengobatan (a) mengurangi atau membalikkan gejala, (b) mencegah
atau membalikkan komplikasi (misalnya, osteoporosis, anemia, dan infertilitas), dan
(c) menyebabkan efek samping yang minimal. Dimulainya kembali siklus
menstruasi yang teratur dengan gejala pramenstruasi atau dismenore minimal harus
terjadi. Tergantung pada keinginan untuk konsepsi dan terapi terkait, siklus ini
mungkin ovulasi atau anovulasi. Kaji efektivitas pengobatan dalam mengembalikan
siklus menstruasi normal dengan efek samping minimal setelah interval pengobatan
yang tepat (1-2 bulan). Kaji peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup (misalnya,
fungsi fisik, psikologis, dan sosial). Target capaian keberhasilan terapi untuk tiap
patologi penyakit dapat dilihat pada tabel berikut.
E. KIE
1. Menstruasi
a. Edukasi pasien tentang pentingnya modifikasi gaya hidup guna memperbaiki
gejala dan mencegah komplikasi.
b. Informasikan kepada pasien mengenai pilihan terapi, indikasi obat,
keaamanan dan efektivitas serta kemungkinan efek samping yang diterima.
c. Informasikan pasien untuk menjalani perawatan pemeliharaan jangka panjang
diperlukan.
d. Membantu mengatasi masalah pasien tentang kualitas hidup (fungsi fisik,
psikologis, dan sosial) dan infertilitas.
e. Diskusikan mengenai pentingnya kepatuhan terhadap manajemen pengobatan
dan modifikasi gaya hidup.
(DiPiro, 2016)
KASUS GANGGUAN MENSTRUASI
Seorang perempuan 22 tahun ke dokter karena merasa nyeri bagian pelvic dan
kram perut selama menstruasi dan tidak masuk kerja 1-2 hari selama menstruasi. Dia
telah aktif secara seksual. Siklus menstruasi terakhir 9 hari lalu dan menstruasi pertama
umur 11 tahun. Siklus 26 – 28 hari setiap menstruasi. Setiap nyeri dia menggunakan
asetaminofen dan ibuprofen. Pernah mengalami clamidiasis.
Riwayat penyakit adalah asma dan menggunakan fluticasone 110 mcg 2
semprotan 2x/hari dan albuterol 90 mcg 2 semprotan prn jika sesak.
Hasil pemeriksaan fisik terdapat jerawat pada bagian wajah dan dada, nyeri panggul
sedang – berat saat haid.
VS: TD 116/64, HR 74, Pernapasan 14, BB 58.2 kg, TB 163 cm, BMI: 22 kg/m2.

Pertanyaan
1. Bagaimana penilaian pasien?
2. Apa tujuan terapi? Bagiaman tatalaksana terapi non farmakologi dan terapi
farmakologi?
3. Bagaiaman parameter monitoring efektivitas terapi?
4. JIka jerawat pasien mengalami 2 – 4 lesi di bagian pipi dan hidung (3 papula)
Penyelesaian
1. Penilaian Pasien
Nama : Ny. X
Umur : 22 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Gejala : nyeri bagian pelvic dan kram perut
Riwayat Penyakit :Asma, , pernah mengalami clamidiasis
Riwayat Sosial : tidak masuk kerja 1-2 hari selama menstruasi, dan telah
aktif secara seksual.
Riwayat pengobatan : Menggunakan Asetaminofen dan Ibu profen saat nyeri
haid, dan untuk obat asma Fluticasone 110 mcg 2
semprotan 2x/hari dan albuterol 90 mcg 2 semprotan.
Hasil pemeriksaan Fisik :
Terdapat jerawat pada bagian wajah dan dada, nyeri panggul sedang – berat saat
haid.
TD 116/64, HR 74, Pernapasan 14, BB 58.2 kg, TB 163 cm, BMI: 22 kg/m2.
1. Pasien mengalami dismenorea sekunder yang ditandai dengan gejala nyeri
panggul sedang - berat dan kram perut selama menstruasi. Selain itu pasien
pernah mengalami clamidiasis. Peningkatan kadar asam arakidonat dalam cairan
menstruasi menyebabkan peningkatan konsentrasi prostaglandin dan leukotrien
di dalam rahim sehingga menginduksi kontraksi uterus dan merangsang serat
nyeri.
2. Jenis Jerawat : Derajat Ringan
2. Tujuan terapi dan tata laksana terapi
1. Tujuan terapi
dismenore : menghilangkan nyeri pada panggul dan meningkatkan kualitas hidup
(Dipiro, 2016).
2. Tatalaksana terapi
a. Terapi non farmakologi
Terapi panas topical, olahraga teratur, stimulasi saraf listrik transkutan
(TENS), dan akupunktur. Selain itu, diet vegetarian rendah lemak telah
terbukti mengurangi intensitas dan durasi dismenore.
b. Terapi farmakologi
 Ibuprofen 800 mg jika nyeri
 Fluticasone 110 mcg 2 semprotan jika sesak
 Albuterol 90 mcg 2 semprotan jika sesak
 Benzoil peroksida + Retinoid untuk mengobati jerawat
Alas an pemilihan Terapi
 Ibuprofen
NSAID adalah pengobatan pilihan untuk dismenore. Dengan menghambat
produksi prostaglandin, mereka mengerahkan sifat analgesik, mengurangi
kontraksi rahim, dan mengurangi aliran darah menstruasi. Pilihan satu agen di
atas yang lain didasarkan pada biaya, kenyamanan, dan preferensi pasien.
 retinoid dan benzoyl peroxide yaitu (adapalene 0,1 % and benzoyl peroxide 2,5
%) merupakan kombinasi terbaik untuk mengatasi jerawat ringan hingga sedang
namun , retinol dan benzoyl peroxide dapat mengiritasi kulit di rekomendasikan
untuk menggunakan dengan konsetrasi yang rendah terlebih dahulu (2,5%).
Dimana dia direkomendasikan untuk menggunakan 2,5-5% sediaan krim atau gel
benzoyl peroxide setiap hari selama 1-2 minggu, dan diaplikasikan ke seluruh
wajah (kecuali mata dan selaput lendir) dan digunakan pada malam hari sebelum
tidur. Untuk meminimalisir iritasi, pasien harus meningkatkan hidrasi kulit cont
menggunakan pelembab yang mengandung ceramide, atau hyluronic acid, dll,
dan pasien setiap hari harus menggunakan tabir surya.
Biasanya pasien bisa mengurai dari lesinya sekitar 20-80 % selama 2-8
bulan. Terapi topokal umumnya digunakan untuk jerawat ringan hingga sedang,
dimana retinoid sebagai monoterapi, untuk jerawat ringan yang dioleskan pada
jerawat. Perawatan diterapakan ke seluruh area yang rawan berjerawat, bukan
hanya untuk lesi, tetapi karena terapi yang tersedia lebih efektif untuk mencegah
lesi baru dibanding mengatasi lesi yang ada. Dimana sidiaan gel cocok untuk
kulit berminyak, sedangkan krim atau losion cocok untuk kulit kering, dimana
salep tidak direkomendasikan karena sifatnya yang komedogenik.
Alasan
Retinoid topikal efektif menormalkan deskuamasi dan digunakan untuk
lesi komedo serta lesi infiamasi. Agen ini mengurangi obstruksi folikel
sehinggamengurangi risiko ruptur dan lesi inflamasi.Retinoid topikal juga
mempunyai fungsi membantu penetrasi zat aktif lainnya seperti antibiotik dan
BPO. Adapalen merupakan retinoid topikal, tersedia dalam konsentrasi 0, I %
gel yang sama efektifnya dengan tretinoin 0,025 % dan kurang iritatif serta
bersifat photostabile. Efek samping dari retinoid topikal meliputi iritasi,
kemerahan dan kering, untuk mengurangi efek samping tersebut maka digunakan
mulai dengan konsentrasi rendah kemudian dinaikkan secara bertahap. Retinoid
topikal dapat digunakan sebagai pilihan lini pertama untuk jerawat ringan dan
pilihan kombinasional untuk jerawat sedang, serta pilihan lini pertama dalam
pemeliharaan jerawat. Biasanya retinoid generasi pertama (all-trans retinoic acid
dan isotretinoin) dan retinoid generasi ketiga (adapalene dan tazarotene)
direkomendasikan. Adapalen topikal direkomendasikan sebagai opsi lini pertama
karena toleransinya yang lebih baik terhadap kulit daripada retinoid topikal
lainnya.
Benzoil peroksida merupakan preparat akne yang aman dan efektif,
mempunyai efek sebagai antimikroba, komedolitik, mengurangi terbentuknya
asam lemak bebas, meningkatkan deskuamasi folikuler dan mengurangi
terbentuknya follicular pluging. Benzoil peroksida diindikasikan untuk pasien
akne komedonal dan infiamasi, tersedia dalam konsentrasi 2,5 % -10%. Menurut
rekomendasi Global Alliance, Benzoil peroksida digunakan untuk akne ringan
dan sedang, digunakan 1 -2 kali perhari di seluruh area. Untuk konsentrasi
rendah digunakan pada pasien akne dengan kulit sensitif. direkomendasikan
sebagai agen topikal lini pertama untuk lesi inflamasi. Benzoil peroksida dapat
digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan retinoid topical
4. KIE
1. Menginformasi kepada pasien untuk menggunakan kombinasi retinoid dan
benzoyl peroxide (dioleskan kewajah) pada saat malam sebelum tidur dan
sesudah mencuci muka
2. Menginformasikan kepada pasien untuk rutin menggunakan terapi
3. Menginformasikan ke pasien bahwa efek samping yang terjadi berupa iritasi dan
kemerahan pada wajah
4. Mengedukasian pasien untuk menghindari makanan penyebab jerawat seperti
makanan yang berminyak, serta makanan yang tinggi gula
5. Mengedukasikan kepada pasien untuk menjaga kebersihan dengan rajin
membersihkan wajah dan tidak sering menyentuh wajah atau memencet jerawat
6. Mengedukasikan kepasien untuk membershikan peralatan make up sebelum
digunanakan
7. Mengedukasin kepada pasien untuk tidak stress dan istrahat yang cukup

5. Monitoring dan evaluasi


1. Memantau perkembangan acne pasien
2. Pasien harus konsultasi dalam waktu 2-3 minggu setelah dimualinya terapi untuk
menlai kemajuan
3. Jumlah lesi akan berkurang 10-15% dalam waktu 4 -8 minggu atau lebih dari
50% dalam waktu 2-4 bulan, lesi akan sembuh dalam ebebrapa minggu dan
komedo akan hilang dalam 3-4 bulan
4. Parameter jangka panjang, mencangkup tidak ada perkembangan keparahan.
5. Karena menggunakan retinoid dan benzol perokside disarankan untuk lebih
menghidrasi kulit, dan menggunakannya saat malam hari, serta di siang harinya
menggunakan tabir surya
6. Pantau pasien secara teratur mengenai efek samping obat
Daftar Pustaka

Alldrege dkk., 2013, Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs 9 th


Edition,
Lippincott Williams & Wilkins : Philadephia USA

American Family Physician. Acne Vulgaris: Treatment Guidelines From AAD. 2017.

DiPiro JT, Marie AC, Terry LS, Barbara GW, Patrick MM, Jill MK, 2016,
Pharmacotherapy Principles & Practice 4th Edition, McGraw-Hill Education
: USA

Pengobatan Jerawat di Kalangan Mahasiswa Kesehatan Universitas Jember, e-Jurnal


Pustaka Kesehatan, Vol. 5 (2).

Pratama, N.W., Maulina H.P., Afifah M., 2017, Survei Pengetahuan dan Pilihan Sibero
H.T. , I Wayan A. P., Dwi I.A., 2019, Tatalaksana Terkini Acne Vulgaris, JK
Unila, Vol. 3(2).

Rustam, E., 2014, Gambaran Pengetahuan Remaja Puteri Terhadap Nyeri Haid
(Dismenore)

Wasitaatmadja, S., M., 2018, Akne, Fakultas kedokteran UI : Jakarta.

Wills, dkk., 2015, Pharmacotherapy Handbook 9 th


Edition , McGraw-Hill Educatio,
USA

Anda mungkin juga menyukai