Anda di halaman 1dari 16

FARMAKOTERAPI TERAPAN

“SAKIT KEPALA”

OLEH

KELOMPOK VIII

WA ODE ASTRYA NUR FADILLAH TIWORO O1B1 21 122

WA ODE HERMIYANTI O1B1 21 123

WA ODE INDRI HARTATI O1B1 21 124

WA ODE MUTIARA O1B1 21 125

WA ODE NUR AINUN O1B1 21 126

WA ODE SUL VENNY O1B1 21 127

WINDY EGIDIA SAFITRI O1B1 21 128

YATIL HIDAYANTI O1B1 21 129

YUNI SARI DIMA O1BI 21 130

ZULFAHRI AHMAD SLAMET O1BI 21 131

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2022
SAKIT KEPALA

Kasus Sakit Kepala

Sarah 34 tahun ke klinik untuk mencari solusi migrennya. Dia mengaku mendapat migren 2 kali setiap bulan
namun harus terus bekerja disamping memiliki 2 orang anak umur 3 dan 5 tahun yang harus di rawat. Alhasil
migrennya menjadi 4-5 kali per bulan. Dia mengatakan migren terjadi di pagi hari dan menjadi lebih sering
ketika haid.
Dia mengaku sakit kepalanya terjadi kurang lebih 1 jam dengan nyeri hebat secara unilateral dan juga temporal.
Sakit kepala diawali dengan aura yang menjadi sensitive pada cahaya dan mual. Fotofobianya menjadi lebih
sering dan muntah jika sakit kepala berat. Dia bisa tidak masuk kerja sehari jika terserang migren berat dalam
setiap bulannya. Dia juga menjadi kesulitan merawat rumah dan anak ketika migren berat dating menyerang.
Kadang juga mengalami 3 hari serangan migren ringan ketika sedang bekerja di kantor dan dirumah namun
berkurang separuh dengan sendirinya. Untuk mengalahkan migrennya yang mulai meningkat, dia sudah
mencoba untuk berdiam di ruangang gelap dengan menjauhkan diri dari kebisingan namun migren masih juga
selalu kembali dating.
Dia memperkirakan dengan angka antara 7 – 8 skala sakit dari 1 – 10 dimana 10 adalah yang paling buruk.
Kunjungan ke klinik terakhir 3 bulan lalu dia mendapatkan naratriptan 2,5 mg p.o saat sakit kepala dating
setelah mengaku cafergot tidak efektiv, namun itu juga tetap kurang efektif terutama dalam 3 bulan terakhir ini.
Selama 2 kali serangan, sakit kepalanya selalu kembali di akhir hari yang sama. Alhasil dia di beri asam
valproate 500 mg/hari untuk profilaksis saat kunjungan terakhirnya itu dan yang mengejutkan dia malah
mengalami peningkatan 4,5 kg BB. Dia juga mendapat propranolol 20 mg 2 kali/hari dan mengaku pusing dan
menjadi peka terhadap cahaya lau dihentikan. Dia akhirnya meminta obat lain.
Riwayat pasien migren sejak umur 29 tahun tanpa ada gangguan di otak. Dia depresi ringan selama 8 bulan dan
mendapat bupropion SR 150 mg p.o TID dan dihentikan sendiri 3 bulan lalu. Juga sertraline 50 mg saat tidur
sejak 1 bulan terakhir. Dia juga mendapat metoklopramid 10 mg saat migren. Kedua orangtua juga migren
dimana ibunya HT dan DM2.
Dia bekerja penuh waktu sebagai sekertaris dan ibu bagi 2 orang anak dan mengaku tidak meminum alkohol
meski merokok 1 bungkus/hari sejak 3 bulan terakhir saat stress dan kadang-kadang cafeine. Baik dari the,
minuman ringan dan kopi.
Hasil pemeriksaan fisik: TD 142/86, HR 76, RR 18, Suhu 37,2, BB 75, kg TB 153 cm

Hasil Laboratorium:
Pertanyaan:

1. Apakah terdapat drug therapy problem pada pasien? Analisis DTP pada pasien
Jawab:
- Penggunaan Naratripan dan Cafergot dikontraindikasikan kepada pasien yang Hipertensi sedangkan
pasien memiliki TD 142/86
- Penggunaan Naratriptan dan Cafergot tidak adekuat karena sakit kepalanya selalu datang kembali di
akhir hari yang sama
- Asam valproate dapat menyebabkan resistensi hormon insulin
- Bupropion memiliki efek samping sakit kepala (25-34%) (MEDSCAPE)
- Propanolol dapat menyebabkan efek samping SSP sehingga tidak dianjurkan pengobatannya untuk
pasien yang depresi.
- Efek samping metoklopramid dapat menyebabkan depresi. Tidak cocok untuk pasien yang mengalami
depresi ringan

2. Hitung keparahan migren pasien berdasarkan skor MIDAS


Jawab:
Skor MIDAS yaitu 27 termasuk kedalam Severe Disability Headaches.

24

8
3. Apa informasi klinis yang menjadi parameter migren pada pasien? Apakah masalah eksaserbasi migren
pasien dipicu oleh obat? Berikan analisisnya
Jawab:
- Informasi klinis yang menjadi parameter migren pada pasien yaitu Pasien mengaku sakit kepalanya
terjadi kurang lebih 1 jam dengan nyeri hebat secara unilateral dan juga temporal. Sakit kepala diawali
dengan aura yang menjadi sensitive pada cahaya dan mual. Foto fobianya menjadi lebih sering dan
muntah jika sakit kepala berat. Dia bisa tidak masuk kerja sehari jika terserang migren berat dalam
setiap bulannya. Dia juga menjadi kesulitan merawat rumah dan anak ketika migren berat dating
menyerang. Selain itu dia memperkirakan dengan angka antara 7 – 8 skala sakit dari 1 – 10 dimana 10
adalah yang paling buruk.
- Masalah eksaserbasi pasien dapat dipicu oleh obat. Menurut (Dipiro,2016) Penggunaan obat migrain
akut yang sering atau berlebihan dapat menyebabkan peningkatan frekuensi sakit kepala dan konsumsi
obat yang dikenal sebagai sakit kepala karena penggunaan obat yang berlebihan. Hal ini terjadi
umumnya dengan penggunaan berlebihan analgesik sederhana atau kombinasi, opiat, ergotamin tartrat,
dan triptan. Sehingga penggunaannya harus dibatasi yaitu terapi migrain akut hingga 2 atau 3 hari per
minggu. Hal ini sesuai dimana pasien telah menggunakan terapi naratriptan 2,5 mg p.o saat sakit
kepala (triptan) dan cafergot (ergotamine tartat).

4. Apa tujuan terapi pada pasien?


Jawab:
Tujuannya adalah untuk mencapai peredaan sakit kepala yang cepat dan konsisten dengan efek
samping minimal dan efek minimal kekambuhan gejala, serta kecacatan minimal dan tekanan
emosional, sehingga memungkinkan pasien untuk melanjutkan aktivitas normal sehari-hari (Dipiro,
2016).

5. Apa terapi alternative untuk mual pada pasien dan bagaimana dampak pada terapi akut pasien?
Jawab:
Proklorperazin atau Klorpromazin adalah agen antiemetik yang sering digunakan sebagai tambahan
untuk pasien dengan mual dan muntah terkait migrain. Namun, jika diberikan melalui rute IV,
proklorperazin juga merupakan agen nonspesifik namun sangat efektif untuk menggugurkan migrain
yang sulit diatasi. Dalam uji coba terkontrol secara acak, proklorperazin 10 mg IV lebih efektif daripada
plasebo, metoklopramid IV, ketorolak IV, dan IV valproate untuk pengobatan migrain akut di ED.
Dalam percobaan yang lebih baru, proklorperazin IV dan metoklopramid IV sama-sama efektif untuk
pengobatan ED akut migrain (Alldredge, 2013).
6. Apa alternative terapi pada serangan migren akut pasien? Berikan penjelasan juga tentang kesuksesan
dan kegagalan terapi pasien sebelumnya sehinga apa plan terapi selanjutnya
Jawab:
 Kesukesasan dan kegagalan terapi pasien:
- Pasien telah mendapatkan terapi naratriptan 2,5 mg p.o saat sakit kepala (triptan) dan cafergot
(ergotamine tartat) tetapi hasil terapi menunjukkan kurang efektif terutama dalam 3 bulan terakhir
ini. Selama 2 kali serangan, sakit kepalanya selalu kembali di akhir hari yang sama. Kegagalan
terapi ini dapat disebabkan kontraindikasi penyakit pasien terhadap kedua pengobatan ini yaitu
pasien memiliki tekanan darah tinggi yaitu TD 142/86.
 Kontraindikasi penggunaan turunan ergot termasuk gagal ginjal dan hati; penyakit pembuluh
darah koroner, serebral, atau perifer; hipertensi yang tidak terkontrol;
 Kontraindikasi penggunaan triptan meliputi penyakit jantung iskemik, hipertensi yang tidak
terkontrol, penyakit serebrovaskular, migrain hemiplegia dan basilar, serta kehamilan.
- Pasien menggunakan obat nartripan dan cafergot, jangan berikan triptans dalam waktu 24 jam
setelah pemberian turunan ergotamine atau dalam waktu 2 minggu Penggunaan bersama triptans
dengan inhibitor reuptake serotonin selektif atau inhibitor reuptake serotonin-norepinefrin dapat
menyebabkan sindrom serotonin, kondisi yang berpotensi mengancam jiwa.
- Mual muntah pasien dapat diperparah sebab pasien mengonsumsi turunan ergotamine. Mual dan
muntah sering terjadi pada turunan ergotamine.
- Pasien menggunakan kombinasi 2 obat untuk migrain, menurut (Dipiro,2016) Penggunaan obat
migrain akut yang sering atau berlebihan dapat menyebabkan peningkatan frekuensi sakit kepala
dan konsumsi obat yang dikenal sebagai sakit kepala karena penggunaan obat yang berlebihan.
- Pasien mendapatkan propranolol sebagai lini terapi profilaksis tetapi profilaksis tidak dianjurkan
untuk pasien depresi sehingga kegagalan terapi dapat terjadi.
- Kegagalan lainnya sebab pasien belum menghindari faktor resiko kekambuhan migrain yaitu
diantaranya mengonsumsi kafein, stress dan insomnia.

 Plan selanjutnya/Alternatif terapi:


- Dyhdroergotamine subkutan
DHE-45, 1 mg secara subkutan atau intramuscular atau 0,75 mg IV, sangat efektif dalam
pengobatan akut dan sakit kepala migrain yang tidak tertahankan dan dengan demikian
mengurangi kebutuhan akan analgesik narkotik. Jika tidak efektif, dosis kedua DHE harus
diberikan 30 sampai 45 menit kemudian. Antiemetik IV (proklorperazin 5 sampai 10 mg atau
metoklopramid 10 mg) harus diberikan 15 sampai 30 menit sebelum DHE untuk meminimalkan
Efek samping GI dari agen ini.
- Seperti proklorperazin, klorpromazin yang diberikan secara parenteral memiliki baik sifat
antimigrain dan antiemetik dan telah diperoleh peningkatan penerimaan di beberapa UGD
sebagai alternatif farmakologis untuk analgesik narkotik kuat seperti meperidin. Di sebuah
double-blind, percobaan terkontrol, klorpromazin IV (0,1 mg/kg) memberikan pereda nyeri yang
lebih efektif dari migrain yang tidak dapat diobati daripada meperidin (0,4 mg/kg) ditambah
dimenhidrinat. Klorpromazin 1 mg/kg secara intramuskular juga telah terbukti meredakan sakit
kepala migrain lebih efektif daripada placebo. Analgesik narkotik parenteral juga efektif
meredakan nyeri yang tidak dapat diatasi sakit kepala migrain, tetapi umumnya harus
dicadangkan untuk terapi lini kedua atau ketiga setelah pasien gagal menanggapi sumatriptan
parenteral, DHE, proklorperazin, atau klorpromazin. Sehingga untuk terapi alternatif pasien yaitu
dengan menggunakan klorpromazin Analgesik narkotik parenteral juga efektif meredakan nyeri
yang tidak dapat diatasi sakit kepala migrain, tetapi umumnya harus dicadangkan untuk terapi lini
kedua atau ketiga setelah pasien gagal menanggapi sumatriptan parenteral, DHE, proklorperazin,
atau klorpromazin.
(Alldredge, 2013).

7. Apa terapi untuk mencegah serangan mikgren pasien?


Jawab:
Pengobatan profilaksis migrain yang efektif tidak hanya mengurangi frekuensi serangan migrain
tetapi juga dapat mengurangi keparahan sakit kepala berikutnya, membuat keadaan pasien lebih
responsif terhadap tindakan abortif, atau mengurangi durasi sakit kepala. Pedoman Akademi Neurologi
dan Federasi Ilmu Saraf Eropa untuk memulai pengobatan profilaksis untuk migrain apabila
(a) sakit kepala yang berdampak pada kehidupan pasien meskipun telah menggunakan terapi yang gagal,
(b) sakit kepala terjadi dua kali sebulan atau lebih,
(c) sakit kepala yang melumpuhkan yang tidak responsif terhadap pengobatan yang gagal, dan
(d) aura yang sering, berkepanjangan dan mengganggu.
Berdasarkan kasus tersebut mengingat frekuensi Ny. Sarah terus mengalami sakit kepala migrain
dan efek yang merugikan pada kinerja pekerjaannya, migrain profilaksis terapi harus dilakukan.
Berbagai agen profilaksis telah dianjurkan untuk mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan sakit
kepala migrain. Umumnya, agen yang disukai untuk profilaksis sakit kepala migrain adalah propranolol,
timolol, amitriptyline, topiramate, dan valproate (termasuk divalproex sodium).
Pasien tersebut telah mendapatkan terapi profilaksis yaitu asam valproate 500 mg/hari untuk
profilaksis saat kunjungan terakhirnya itu dan yang mengejutkan dia malah mengalami peningkatan 4,5
kg BB. Dia juga mendapat propranolol 20 mg 2 kali/hari dan mengaku pusing dan menjadi peka
terhadap cahaya lalu dihentikan. Meskipun proponalol merupakan lini terapi profilaksis untuk migrain
tetapi pasien mengalami efek samping yang merugikan selain itu proponalol penggunaannya harus hati-
hati pada pasien dengan gagal jantung, penyakit pembuluh darah perifer, depresi, dan diabetes.

Terapi pencegahan serangan migren pasien yaitu dengan pemberian Amitriptyline efektif untuk
pencegahan migrain dan sakit kepala tipe tegang. Ini mungkin obat pilihan untuk pasien yang
mengalami depresi pada kehidupannya (diketahui bahwa Ny. Sarah mengalami depresi selama 8 bulan).
Bersama dengan propranolol, valproate, dan topiramate, amitriptyline dianggap sebagai terapi lini
pertama untuk profilaksis migrain. Dalam studi crossover double-blind, terkontrol plasebo, amitriptyline
sama efektifnya dengan propranolol. Mekanisme efek antimigrain amitriptyline tidak tergantung pada
aktivitas antidepresannya dan mungkin terkait dengan kemampuannya untuk memblokir pengambilan
kembali 5-HT di saraf pusat. Dosis awal amitriptyline adalah 10 sampai 25 mg sebelum tidur. Dosis
malam dapat ditingkatkan dengan interval mingguan sebesar 10 hingga 25 mg sampai dosis maksimal
150 mg/hari tercapai. Kebanyakan pasien mencapai manfaat optimal dari amitriptyline 50 hingga 75
mg/hari. Dua pertiga pasien mencatat penurunan jumlah sakit kepala dalam waktu 7 hari setelah
memulai terapi amitriptyline.
(Dipiro, 2016) (Alldredge, 2013).

8. Apa KIE pasien terkait pemicu migren dan dari terapi yang diberikan
Jawab:
- Memberikan informasi kepada pasien mengenai aturan penggunaan obat amitriptylin 1xsehari
setelah makan
- Memberikan Informasi pada pasien segera kedokter jika ada gejala baru yang muncul
- Memberikan informasi kepada pasien agar patuh dalam mengonsumsi obat.
- Informasikan kepada pasien untuk menghindari agen penyebab dari migrainnya
- Edukasikan kepada pasien mengenai tingkat keparahan migrain yang dialami agar dapat memahami
keseriusan migrain yang akan berujung ke pengobatan mandiri dan pencegahan penyebab migrain
9. Apa yang harus di monitoring pada pasien?
Jawab:
 Monitoring frekuensi, intensitas, dan durasi sakit kepala atau nyeri untuk setiap perubahan dalam
pola sakit kepala. Dorong pasien untuk membuat buku harian sakit kepala untuk didokumentasikan
frekuensi, durasi, dan keparahan sakit kepala, respons sakit kepala, dan potensi pemicu sakit kepala
migrain.
 Monitoring pasien yang menggunakan terapi abortif (yang berguna unttuk mengurangi atau
menghentikan serangan sakit kepala atau nyeri yang sedang terjadi) untuk frekuensi penggunaan
resep dan obat non prescription serta memantau efek samping.
 Dokumen pola pengobatan abortif yang digunakan untuk menetapkan perlunya terapi profilaksis.
Pantau terapi profilaksis dengan cermat untuk reaksi yang merugikan, abortif kebutuhan terapi, dosis
yang memadai, dan kepatuhan.
 Monitoring tekananan darah pasien
(dipiro edisi 9)
SOAL 2

Seorang perempuan umur 34 tahun mengaku selalu sakit kepala dalam setiap bulannya setiap kali menstruasi.
Sakitnya terasa sangat berat dan setiap sakit kepala dia tidak masuk kerja dan berdiam dalam ruang gelap. Sakit
terasa tajam menusuk, sebagian, dan berdenyut-denyut, serta pandangan kabur. Dia menggunakan OTC untuk
nyerinya namun belum berhasil.

Apa tipe sakit kepala pasien, bagaimana karakteristik sakit kepalanya? Apa penyebab sakit kepala pasien?,
informasi apa yang harus diberikan untuk merencanakan terapi?

Riwayat penyakit hipertensi. Tinggal bersama ayahnya umur 67 tahun dengan penyakit HT dan DM serta
ibunya 63 tahun dengan penyakit migren serta kedua adiknya yang sehat.

Pekerjaannya sebagai teknisi lab medis/kesehatan, sudah bercerai, kadang merokok.

Obat yang dikonsumsi HCT/triamterene 50/25 mg p.o/hari, ibuprofen 200 mg 2 tablet 3-4x/hari jika sakit
kepala.

Saat ini dia merasa sakit kepala, sensitive pada cahaya, tidak pusing, tidak nyeri dada atau palpitasi, napas tidak
pendek-pendek, tidak ada keluhan sendi. Nyeri leher tapi tidak kaku/tegang.

Tanda vital: TD 143/81, HR 91, RR 18, S 37.0°C (98.6°F) oral.


NIlai lab CBC count normal.

 Apa tipe sakit kepala pasien, bagaimana karakteristik sakit kepalanya?

Jawab : Berdasarkan kondisi yang dialami pasien, pasien tersebut mengalami tipe sakit kepala yaitu migrain
dengan karakteristik sakit kepala terjadi 1x dalam sebulan (saat menstruasi), Sakit kepala berat, Sakit
terasa tajam menusuk di sebagian kepala pasien dan berdenyut-denyut, pandangan kabur serta pasien
berdiam diri dan menyendiri

 Apa penyebab sakit kepala pasien?

Jawab : Berdasarkan data pasien tersebut, penyebab sakit kepala pasien diantaranya menstruasi dan stress .
 informasi apa yang harus diberikan untuk merencanakan terapi?

Jawab :
Menyarankan pasien untuk melakukan pemeriksaan fisik medis dan neurologis umum. Periksa kelainan:
tanda vital (demam, hipertensi), funduskopi (papiledema, perdarahan, dan eksudat), palpasi dan auskultasi
kepala dan leher (nyeri tekan sinus, arteri temporal yang mengeras atau nyeri, trigger point, nyeri sendi
temporomandibular, bruit, nuchal kekakuan, dan nyeri tulang belakang leher), dan pemeriksaan neurologis
(mengidentifikasi kelainan atau defisit status mental, saraf kranial, refleks tendon dalam, kekuatan motorik,
koordinasi, gaya berjalan, dan fungsi serebelum).
Informasikan kepada pasien bahwa pasien harus mengambil peran aktif dalam pembuatan rencana
manajemen formal jangka panjang. Pendekatan individual untuk pengobatan dapat menghasilkan pengurangan
frekuensi dan keparahan serangan, sehingga meminimalkan kecacatan yang berhubungan dengan sakit kepala
dan tekanan emosional dan meningkatkan kualitas hidup pasien (Dipiro, 2016)

Pertanyaan:
1. Apa faktor komorbid dari obat yang diterima pasien?
Jawab:
- Berdasarkan DIH penggunaan dari triamterene memiliki efek samping sakit kepala sebesar 1-10%
(DIH, 2009).
- Ada beberapa faktor yang menimbulkan sakit kepala migraine salah satunya penggunaan obat
dengan golongan analgesic yang berlebihan yaitu ibu profen, dimana pasien mengonsumsi ibu profen
dengan penggunaan sebanyak 1,6 gram atau 200 mg 2 tablet 3-4x/hari melewati dosis maksimum
untuk ibu profen sebagai analgesic pada saat menstruasi yaitu 1,2 gram/hari (DIH, 2009).
- Penggunaan dari ibu profen memiliki efek samping sakit kepala sebesar 1-3%.

2. Apa tujuan terapi pasien? Bagaiaman terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi pasien?
Jawab:
a. Tujuan terapi
Tujuan terapi pada kasus tersebut adalah:
- Menghilangkan rasa sakit yang cepat untuk memungkinkan pasien melanjutkan aktivitas normal
- Menurunkan frekuensi, tingkat keparahan dan ketidakmampuan akibat migrain
- Mencegah kekambuhan nyeri kepala
- Meningkatkan kualitas hidup
(Dipiro, 2016)

b. Terapi nonfarmakologi
Terapi non farmakologi dilakukan dengan cara menghindari agen penyebab migrain dan jika migrain
telah terjadi maka dapat dilakukan pendekatan non farmakologi seperti beristrahat atau tidur,
sebaiknya diruangan yang gelap, lingkungan yang tenang (King dan Katherine, 2005).

c. Terapi farmakologi
Agonis reseptor 5-HT1B/1D atau triptan merupakan terapi pilihan utama dalam menangani serangan
migren sedang hingga berat yang kurang responsif terhadap AINS. Triptan yang memiliki efektivitas
kuat adalah sumatriptan yang diberikan 50 mg per oral. Jika respon yang memuaskan belum
diperoleh dalam 2 jam, dosis kedua dapat diberikan. Total dosis harian tidak boleh melebihi 200 mg
(Dipiro 2016; Charles dkk., 2008).

3. Apakah pasien membutuhkan terapi profilaksis jangka panjang untuk mencegah kambuhnya sakit
kepala?
Jawab:
Profilaksis untuk gangguan sakit kepala diindikasikan jika sakit kepala sering atau parah, jika
terjadi kecacatan yang signifikan, jika obat penghilang rasa sakit sering digunakan, atau jika efek
samping terjadi dengan terapi akut (Dipiro, 2016).
Terapi profilaksis dapat bermanfaat bagi penderita migrain dengan indikasi migrain kronik,
adanya kontraindikasi atau intoleransi terhadap terapi abortif, nyeri kepala terjadi lebih dari dua hari per
minggu atau yang menghambat kualitas hidup secara berat meskipun terapi abortif telah diberikan,
adanya gejala migrain yang tidak umum (hemiplegik, aura yang berkepanjangan, migrain basilar, atau
infark yang bersifat migrainous) (Abyuda, 2021).
Berdasarkan kondisi pasien, pasien tersebut tidak membutuhkan terapi profilaksis jangka
panjang. Dikarenakan pasien hanya mengalami sakit kepala dengan intensitas berat dan pasien
mengalaminya hanya 1x dalam sebulan disaat menstruasi. Menurut (Silberstein, 2012) migrain dapat
dipicu oleh perubahan keseimbangan hormonal, maka tidak heran jika beberapa wanita mengalami
migrain di sekitar waktu menstruasi. Seringkali, migrain ini dapat dicegah dengan memulai NSAID
sebelum awal menstruasi. Triptan dapat dicoba pada pasien yang tidak responsif terhadap NSAID. Tiga
triptan telah terbukti efektif dalam mencegah migrain menstruasi. Frovatriptan, naratriptan, dan
zolmitriptan dapat dipertimbangkan, dan harus dimulai 2 hingga 3 hari sebelum awal menstruasi.
Berdasarkan kasus tersebut pasien telah mengkonsumsi NSAID (ibuprofen) namun belum
berhasil, oleh karena itu direkomendasikan Triptan (Frovatriptan (Frova)). Frovatriptan adalah
obat sakit kepala migrain. Frovatriptan bekerja dengan mengurangi zat dalam tubuh yang dapat memicu
sakit kepala, mual, kepekaan terhadap cahaya dan suara, serta gejala migrain lainnya.

 Frovatriptan
Indikasi : Migrain
Dosis : 2,5 mg diberikan setelah onset, diikuti dengan 2,5 mg setelah 2 jam jika
diperlukan, interval dosis maksimum : 1 x sehari, Dosis sekali minum, max : 2,5
mg, Dosis maksimum 5 mg/hari.
Mekanisme Kerja : Frovatriptan adalah agonis selektif untuk serotonin (reseptor 5-HT1B dan 5-
HT1D) di arteri kranial. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi dan mengurangi
peradangan steril yang berhubungan dengan transmisi saraf antidromik yang
berhubungan dengan meredakan migrain.
Farmakokinetik:
Penyerapan: Makanan dapat menunda waktu untuk mencapai konsentrasi plasma
puncak.
Ketersediaan hayati: Sekitar 20% (pria); 30% (wanita). Waktu untuk konsentrasi
plasma puncak: 2-4 jam.
Distribusi: Didistribusikan ke dalam fraksi seluler darah, terutama eritrosit (sekitar
60%, terikat secara reversibel). Pengikatan protein plasma: 15%.
Metabolisme: Menjalani metabolisme hati terutama oleh isoenzim CYP1A2.
Ekskresi: Melalui feses (62%) dan urin (sekitar 32%). Waktu paruh eliminasi
plasma: Sekitar 26 jam.
Efek Samping : Mulut kering, ruam pada kulit.
Penyimpanan : Tablet : Simpan pada suhu 20-25oC, Jangan di freezer, lindungi dari cahaya dan
kelembaban.
GOUT DAN HIPERURISEMIA

Pasien 52 tahun seorang supir mobil ke rumah sakit karena nyeri pada siku kanan setelah kemarinnya bermain
tenis. Suka terbangun subuh karena nyeri dan menggunakan asetaminofen untuk nyerinya tersebut dan kembali
tidur. Riwayat penyakit adalah hipertensi dan obesitas. Sejak tamat SMA tidak pernah secara rutin ke dokter.
Kedokter hanya ketika nyeri meningkat itupun atas desakan istrinya terutama sejak ayahnya meninggal karena
iskemik stroke. Kunjungan terakhir 1 bulan lalu diresepkan HCT 12,5 mg p.o sekali sehari. Dia menjalani diet
dan olahraga. Tidak ada riwayat alergi obat dan makanan. Pemeriksaan fisik pada siku kanan terasa nyeri dan
eritema, panas dan bengkak sedang. Tanda vital normal.

Hasil lab: Asam Urat, 7.5 mg/dL


BUN, 10 mg/dL
SCr, 1.0 mg/dL
WBC count, 10.2 × 103/µL

Pertanyaan:
Apa tujuan terapi dan bagaiman tatalaksana terapi pada pasien? (first line dan terapi non farmakologi?)

Jawab:
 Tujuan Terapi
Tujuan pengobatan untuk serangan akut adalah untuk:
 Mencapai cepat dan penghilang rasa sakit yang efektif,
 Mempertahankan fungsi sendi,
 Mencegah komplikasi penyakit,
 Menghindari efek samping terkait pengobatan,
 Memberikan terapi hemat biaya, dan
 Meningkatkan kualitas hidup
Artritis gout adalah penyakit yang jarang sembuh sendiri, dan pengobatannya biasanya berfokus pada
pengurangan gejala (dipiro dkk.,2016).

 Terapi Nonfarmakologi
 Diberi kompres es ke sendi yang terasa nyeri agar mengurangi rasa sakit dan bengkak
(dipiro dkk.,2016).
 Modifikasi diet pada penderita obesitas diusahakan untuk mencapai indeks masa tubuh yang ideal, namun
diet yang terlalu ketat dan diet tinggi protein atau rendah karbohidrat (diet atkins) sebaiknya dihindari.
 Penanganan diet pada penderita artritis gout dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu avoid, limit, dan
encourage. Pada penderita yang dietnya diatur dengan baik, maka akan mengalami penurunan kadar urat
serum yang bermakna
(Widiyanto, 2014).
 Melakukan latihan fisik berupa latihan fisik aerobik dan latihan fisik ringan. Risiko terjadinya gout lebih
besar terjadi pada lelaki yang tidak memiliki aktivitas fisik dan kardiorespiratori fitnes dibandingkan
dengan lelaki yang aktif secara fisik dan kardiorespiratori.
 serum asam urat dapat diturunkan dengan melakukan olah raga rutin dan teratur, namun jika olah raga
tersebut hanya dilakukan secara intermiten justru akan meningkatkan kadar serum asam urat.
 Untuk mencegah kekakuan dan nyeri sendi, dapat dilakukan latihan fisik ringan berupa latihan isometrik,
latihan gerak sendi dan latihan fleksibiltas yang keseluruhan itu tercakup dalam stabilisasi sendi
(Sholihah, 2014).

 Terapi Farmakologi
 Anti Inflamasi Nonsteroid/NSAID (Ibuprofen)
Berdasarkan kasus tersebut, pasien didiagnosis atristis gout (Gout Arthritis Stadium Akut). Dimana
hal ini ditandai dengan gejala gejala yang dialami pasien berdasarkan pemeriksaan fisik pada siku sebelah
kanan dengan keluhan utama berupa nyeri dan eritema, bengkak sedang dan terasa panas.
Obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID), colchicine, dan kortikosteroid dianggap sebagai
monoterapi lini pertama pilihan untuk serangan akut. Pemilihan tergantung pada jumlah sendi terpengaruh,
ada/tidak adanya infeksi. NSAID sebagian besar telah menggantikan colchicine sebagai pengobatan
pilihan. Agen-agen ini paling efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama onset nyeri. Sebagian besar
penelitian telah menunjukkan hasil yang serupa di antara agen, dan tidak ada NSAID yang lebih disukai
atas yang lain sebagai pengobatan lini pertama. Colchicine juga Merupakan monoterapi lini pertama. Akan
tetapi obat ini lebih jarang digunakan karena indeks terapeutiknya yang rendah serta adanya peningkatan
harga /biaya (dipiro dkk.,2016).
Berdasarkan jumlah sendi yang terkena nyeri yaitu satu bagian sendi pada siku sebelah kanan maka
direkomendasikan untuk menggunakan obat golongan anti inflamasi nonsteroid (NSAID) sebagai terapi
lini pertama. Untuk obat yang dipilih yaitu ibuprofen sebagai analgesik atau peredah nyeri.

Dosis ibuprofen yaitu 400 mg diminum tiap 8 jam atau 3 kali sehari untuk peredah nyeri.

 Monitoring
- Dilakukan monitoring untuk nilai asam urat
- Dilakukan monitoring untuk mengontrol tekanan darah
- Dilakukan monitoring mengenai efek samping obat

DAFTAR PUSTAKA

Aberg, J.A., Lacy,C.F, Amstrong, L.L, Goldman, M.P, and Lance, L.L., 2009, Drug Information Handbook, 17
edition, LexiPharmacists Association.
Charles F., Lora L., Morton P. dan Leonard L., 2008, Drug Information Handbook 17th Edition, American
Pharmacist Association: New York.

Chisholm-Burns, M.A., Terry L.S., Barbara G.W., Dipiro J.T., 2016, Pharmacotherapy Principles & Practice,
McGraw-Hill Education, New York.

Dipiro J.T., Marie A.C., Terry L.S., Barbara G.W., Patrick M.M., dan Jill M.K., 2016, Pharmacotherapy
Principles and Practice 4th Edition, MC Graw Hill Education: New York.

King S., Deborah dan Katherina C.H., 2005, Headache Disorder in Pharmacology A Pathophysiologic
Approach, McGraw-Hill Companis.

Sholihah F.,M., 2014., Diagnosis And Treatment Gout Arthritis., Jurnal Majority, Vol. 3(7).

Widianto F., W., 2014., Artritis Gout Dan Perkembangannya, Jurnal Majority, Vol. 10(2).

Anda mungkin juga menyukai