Kelas : B
Disusun Oleh:
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SEMARANG
2019
1. Sebutkan poin dalam DRP disertai contoh, dalam format sebagai berikut
NO DRP CONTOH
Indikasi tanpa obat Pasien menderita demam tinggi, tetapi tidak
1
diberi antipiretik
Obat tidak tepat Pasien nyeri sendi memiliki asam lambung,
2
dalam resep mendapatkan obat asam mefenamat
Dosis obat kurang Pada penyakit tifus ampicillin digunakan 4 x
3 sehari 1-2 g, tetapi pasien mendapatkan terapi
ampicillin dengan frekuensi 3 x sehari
Dosis obat lebih Pada penyakit diare ciprofloxacin digunakan 2 x
4 sehari 500-750mg, sedangkan pasien
mendapatkan reseep 3 x sehari
Interaksi obat Paracetamol jika diminum bersama dengan
5 makanan berkarbohidrat tinggi dapat
menurunkan efeknya
3. Apakah dokter/ bidan praktek mandiri dapat membeli obat untuk kebutuhan praktiknya di
apotek? Landasannya?
Jawab : Boleh seorang bidan atau dokter membeli obat di Apotek untuk kebutuhan
praktiknya
Landasan : Peraturan Kepala BPOM Nomor 4 tahun 2018
4. Obat apa saja yang dapat digunakan ketika dokter praktek mandiri/ darurat medis!
Sebutkan dan alasanya!
Jawab :
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/263/2018
1) Adrenalin ( Epinefrin)
2) Lidokain
3) Atropin
4) Isosorbidinitrat
5) Oksigen
6) NaCl
7) Deksametason
8) Salbutamol
9) Ringer Lactat
10) Glukosa 40%
11) Diazepam
12) Klorpromazin
13) Difenhidramin
14) Domperidon
15) Ketoprofen
Alasan : Karena obat – obat tersebut merupakan obat darurat atau emergency dimana
ketika pasien membutuhkan obat tersebut harus segera diberikan untuk
menghindari resiko yang tidak diinginkan bahkan kematian.
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, September 2018 Tersedia online pada:
Vol. 7 No. 3, hlm 162–171 http://ijcp.or.id
ISSN: 2252–6218 DOI: 10.15416/ijcp.2018.7.3.162
Artikel Penelitian
2
Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, Indonesia
Abstrak
Penyakit vertigo dapat berlangsung beberapa detik, menit hingga beberapa jam, tergantung dari
penyebab, jenis serta lama durasi. Gejala yang muncul dapat menurunkan kenyamanan dan produktivitas
kerja pasien. Tingginya angka kunjungan pasien ke dokter terkait keluhan vertigo akan memperbesar
kemungkinan terjadinya Drug Related Problems (DRPs). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan karakteristik pasien, gambaran umum pengobatan dan mengindentifikasi DRPs terkait
penggunaan obat anti vertigo pada pengobatan pasien vertigo perifer di instalasi rawat jalan Rumah
Sakit Bethesda Yogyakarta pada periode Januari–Juni 2016. Penelitian ini merupakan penelitian non-
eksperimental deskriptif evaluatif dengan rancangan case series dan menggunakan data retrospektif.
Evaluasi penggunaan obat antivertigo dianalisis dengan metode subjective, objective, assessment,
plan (SOAP). Data 75 pasien vertigo perifer terdiri dari 28 laki-laki (37%) dan 47 perempuan (63%).
Golongan obat antivertigo yang paling banyak diresepkan yaitu golongan histaminergik (97,33%) dan
golongan antagonis kalsium (53,33%). Kejadian DRPs yang muncul yaitu obat kurang efektif (10,66%),
dosis kurang (36%) serta interaksi dan efek samping (48%).
Abstract
Vertigo disease is able to last for a few seconds, minutes to several hours, depends on the cause, type
and duration. The symptoms can reduce the patient’s comfort and productivity. High number of patient
visitation to physicians related to vertigo will increase the possibility of the occurance of Drug Related
Problems (DRPs). The purpose of this study was to describe the characteristics of the patients, general
treatment, and identify DRPs related to antivertigo drug in the medical treatment of patients diagnosed
with peripheral vertigo at outpatient care Bethesda Hospital in Yogyakarta from January–June 2016. The
study employed a non-experimental evaluative descriptive that used case series design and retrospective
data. The antivertigo drug use evaluation was analyzed using subjective, objective, assessment, plan
(SOAP) method. Data collected from 75 patients diagnosed with peripheral vertigo consisted of 28 men
(37%) and 47 women (63%). The group of antivertigo drug which mostly prescribed were histaminergic
(97.33%) and calcium antagonists (53.33%). The DRPs found in this study are ineffective drug (10.66%),
too low dosage (36%) and also interactions and adverse drug reaction (48%).
Korespondensi: Andreas K. Rendra, S.Farm., Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 55284,
Indonesia, email: akrisyonas@ymail.com
Naskah diterima: 10 Maret 2018, Diterima untuk diterbitkan: 6 Agustus 2018, Diterbitkan: 1 September 2018
162
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 7, Nomor 3, September 2018
163
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 7, Nomor 3, September 2018
4,9% dari 13.355 kunjungan, lalu diperoleh form subjective, objective, assessment, plan
hasil perhitungan besar sampel sebanyak 72 (SOAP) dan dilakukan analisis secara evaluatif
kasus, namun dalam penelitian ini digunakan terhadap DRPs penggunaan obat antivertigo
75 kasus. Proses pengambilan data diperoleh berdasarkan guideline yang digunakan. Acuan
dengan melihat e-prescription pada sistem yang digunakan untuk evaluasi terapi
data rekam medis yang memuat kejadian vertigo pasien dengan diagnosis vertigo perifer
perifer di instalasi rawat jalan poliklinik saraf adalah Clinical Practice Guideline Vertigo
Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta pada bulan in Adult, 2nd Edition,7 Treatment of Vertigo,8
Januari hingga Juni tahun 2016. dan Monthly Index of Medical Specialities
Data diolah secara deskriptif dengan (MIMS) treatment guidelines for vertigo.,9
memberikan gambaran karakteristik pasien Evaluasi DRPs kategori interaksi dan efek
serta profil penggunaan obat antivertigo samping obat menggunakan Medscape dan
dan obat penyakit penyerta yang didapatkan MIMS interaction checker (2016).9,10 Hasil
pasien. Pengolahan data secara evaluatif evaluasi kemudian dikelompokkan ke dalam
dilakukan dengan mengevaluasi DRPs pada enam kategori DRPs dan dihitung persentase
penggunaan obat anti vertigo pada pasien pada masing-masing kategori dengan rumus:
dengan diagnosis vertigo perifer. %𝐷𝑅𝑃𝑠 𝑡𝑖𝑎𝑝𝑝 𝑘𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖 =
jumlah kasus DRPs pada tiap kategori
𝑥100%
jumlah seluruh kasus
164
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 7, Nomor 3, September 2018
analgesik (18,66%), antihistamin (13,33%), Hal ini dikarenakan seseorang yang menjadi
vasodilator (14,66%), antidopaminergik (9,33%), lansia akan memiliki lebih banyak penyakit
dan antidepresan (3,99%). komplikasi seperti hipertensi dan stroke
Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa dari yang merupakan salah satu faktor risiko
75 kasus yang terpilih berdasarkan kriteria munculnya penyakit vertigo. Menurut Chaker
inklusi dan eksklusi, diperoleh tiga kategori and Eklare (2012), penyakit cerebrovascular
DRPs yaitu: obat kurang efektif (10,66%), seperti iskemia, infrak dan hemoragik dapat
dosis kurang (36%) serta interaksi dan efek dikaitkan dengan peningkatan risiko vertigo.3
samping (48%). Penelitian lain yang dilakukan Al-Asadi
dan Al-Lami (2015) menyebutkan bahwa
Pembahasan pengaruh peningkatan usia terhadap risiko
seseorang mengalami vertigo pada usia lanjut
Karakteristik pasien disebabkan oleh penurunan fleksibilitas dan
Berdasarkan penelitian ini, pasien berjenis fungsi membran otolithic.12 Penelitian tersebut
kelamin perempuan yang memiliki rentang juga menyatakan bahwa alasan perempuan
usia 51–60 tahun merupakan karakeristik lebih banyak mengalami vertigo masih belum
pasien yang mengalami vertigo perifer dengan dipahami, namun diduga berkaitan dengan
jumlah terbanyak, yaitu 16 pasien (21,33%). jenis vertigo Benign Paroximal Posisional
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Vertigo (BPPV) associated migraine yang
angka kejadian penyakit vertigo perifer akan banyak ditemukan pada perempuan. Diduga
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. penyebabnya yaitu osteoporosis yang lebih
Hal ini sesuai dengan penelitian Shami and Al sering pada perempuan setengah baya
Sanosi (2011) yang mengungkapkan bahwa hingga lanjut usia yang berhubungan dengan
distribusi penyakit vertigo berdasarkan usia perubahan hormon, sehingga dikaitkan dengan
yang paling banyak pada rentang usia 41–50 meningkatnya risiko BPPV.
tahun (38,7%) dan 51–60 tahun (19,3%).
Dari penelitian tersebut juga diketahui bahwa Gambaran umum penggunaan obat antivertigo
jenis kelamin perempuan (72,6%) lebih Pada penelitian ini, diketahui histaminergik
berisiko memiliki vertigo dibandingkan laki- merupakan golongan obat yang digunakan
laki (27,4%) .11 paling banyak (97,33%) yang memiliki efek
Semakin tua usia seseorang, risiko untuk vasodilatasi untuk memperbaiki aliran darah
mengalami vertigo semakin meningkat pula. pada mikrosirkulasi di daerah telinga tengah
165
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 7, Nomor 3, September 2018
Tabel 2 Gambaran Umum Penggunaan Obat Antivertigo pada Pengobatan Pasien dengan Diagnosis
Vertigo Perifer
Golongan Jenis Obat n (%)
Histaminergik Betahistine mesilate 48 (64)
Betahistine Dihidrochloride 25 (33,33)
Antagonis Kalsium Flunarizin 40 (53,33)
Antihistamin Dimenhidrinat 13 (17,33)
Antidopaminergik Domperidon 7 (9,33)
Vasodilator Citikolin 4 (5,33)
Ginkgo biloba 7 (9,33)
Suplemen Vitamin B Complex 16 (21,33)
Yekaneuron 1 (1,33)
Furneuro 1 (1,33)
Neurobion 3 (4)
Benzodiazepin Alprazolam 15 (20)
Analgesik Metampiron + Diazepam 14 (18,66)
Antidrepesan Amitriptyline 2 (2,66)
Fluoxentine 1 (1,33)
dan sistem vestibuler untuk mengatasi pusing flunarizine yang bekerja dengan menghambat
berputar.1 Hal ini sesuai dengan penelitian kanal kalsium di dalam sistem vestibuler,
yang dilakukan Heike et al. (2010) bahwa sehingga akan mengurangi jumlah ion
di Eropa penggunaan obat antivertigo yang kalsium intrasel.1 Penghambat kanal kalsium
paling banyak digunakan adalah betahistine.13 ini berfungsi sebagai supresan vestibuler.
Pada penelitian ini, diketahui bahwa terapi Flunarizine diresepkan dalam 2 dosis, yaitu 5
vertigo perifer di instalasi rawat jalan Rumah mg 1x1 atau 5 mg 2x1.
Sakit Bethesda menggunakan dua jenis Penggunaan golongan benzodiazepin (20%)
betahistin yaitu betahistine mesilate (64%) yaitu penggunaan alprazolam yang merupakan
dan betahistine dihydrochloride (33,33%). obat dengan mekanisme merelaksasi otot-
Golongan antagonis kalsium (53,33%) otot saraf dan menimbulkan efek sedasi agar
menempati posisi kedua terbanyak yaitu dapat rileks dan beristirahat.1 Penggunaan
Tabel 3 Kejadian DRPs yang Terjadi pada Pengobatan Pasien dengan Diagnosis Vertigo Perifer
No. Kategori Obat Jumlah n (%)
1 Terapi tanpa indikasi (n=75) - 0 0 (0)
2 Indikasi tanpa terapi (n=75) - 0 0 (0)
3 Obat kurang efektif (n=75) Flunarizin (Digunakan malam) 6
8 (10,66)
Alprazolam (Setengah tablet) 2
4 Dosis kurang (n=75) Betahistine mesilate 21
27 (36)
Betahistin Dihydrochloride 6
5 Dosis berlebih (n=75) - 0 0 (0)
6 Interaksi dan efek samping (n=75) Minor 19
36 (48)
Moderate/Monitor Closely 17
166
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 7, Nomor 3, September 2018
obat alprazolam yaitu 0,25 mg 1x1 atau 0,5 vertigo ketika perubahan posisi kepala, yang
mg 1x1 dan digunakan saat malam hari. dapat mengakibatkan pasien merasa pusing
Penggunaan antiemetik golongan berputar. Kandungan methampiron bertujuan
antidopaminergik yaitu domperidon (9,33%) untuk mengatasi nyeri tengkuk yang muncul,
dan golongan antihistamin yaitu dimenhidrinat sedangkan kandungan diazepam berfungsi
(17,33%) yang digunakan untuk mengurangi sebagai antidepresan guna mengatasi gangguan
keluhan berupa mual yang muncul pada gejala tidur yang muncul akibat timbulnya rasa
vertigo.14 Dosis penggunaan dimenhidrinat nyeri. Penggunaan obat ini tidak tercantum
yaitu 50 mg 3x1 dan domperidone 10 mg 3x1. dalam panduan penatalaksanaan vertigo,
Penggunaan analgesik fixed dose namun sering digunakan dalam terapi vertigo
combination antara metampiron (500 mg) dan perifer.
diazepam (2 mg) bertujuan untuk mengatasi Golongan antidepresan yang digunakan
nyeri tengkuk yang muncul pada pasien adalah golongan trisiklik dan selective
Interaksi Minor
No. Obat 1 Obat 2 Jumlah Interaksi
1 Dramamine Betaserc 9
Betahistine mesilate 1
Merislon 1
2 Cyanocobalamin (vit B 12) Gabapentin 1
Metformin 1
Aspirin 1
Lansoprazol 1
3 Gingkoforce Lansoprazol 1
4 Metilprednisolon Lansoprazol 3
Amitriptiline 1
Jumlah 19
167
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 7, Nomor 3, September 2018
serotonin reuptake inhibitor (SSRI) yang penelitian ini diberikan dalam 2 macam dosis
mekanismenya memberikan efek sedatif yang yaitu 5 mg 1x1 dan 5 mg 2x1. Berdasarkan
bermanfaat untuk perbaikan pada pola tidur, MIMS Treatment Guidelines (2016), sebaiknya
menangani motion sickness dan menurunkan pemberian flunarizin 5 mg 1x1 diberikan saat
kecemasan yang terkadang muncul sebagai menjelang tidur atau malam hari, sedangkan
gejala pada vertigo.14 Penggunaan golongan dalam penelitian ini terdapat 6 kasus yang
vasodilator gingko biloba sebanyak (14,66%) menunjukkan bahwa flunarizin dosis 5 mg
bertujuan untuk memberikan efek vasodilatasi 1x1 tidak diberikan pada saat malam hari.9
sehingga mengurangi gejala pusing berputar Pertimbangan pemberian flunarizin diberikan
pada penderita vertigo.14 Suplemen seperti malam hari dikaitkan dengan adanya efek
vitamin B complex (27,99%) bertujuan untuk samping berupa sedasi.
melindungi dan meregenerasi saraf hal untuk Kejadian pemilihan sediaan terkait potensi
menunjang terapi vertigo itu sendiri. obat yang tidak tepat terjadi pada alprazolam
(2 pasien) yang diresepkan setengah tablet
Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) sehingga tidak tepat dalam pemilihan potensi
Terapi tanpa indikasi (unnecessary drug sediaan meskipun sediaan obat dengan potensi
therapy) yang lebih kecil tersedia. Menurut Swartz
Dalam penelitian ini, tidak ditemukan DRPs et al. (2005), dosis penggunaan alprazolam
kategori ini. yaitu 0,25 mg 1x1 atau 0,5 mg 1x1 yang
biasanya digunakan saat malam hari.8 Dalam
Indikasi tanpa obat (need additional drug penelitian ini, pemberian dosis sudah tepat,
therapy) akan tetapi pemilihan kekuatan sediaan tidak
Dalam penelitian ini, tidak ditemukan DRPs tepat, yaitu pasien mendapatkan alprazolam
kategori ini. dengan kekuatan obat 0,5 mg sedangkan
dosis yang dibutuhkan adalah 0,25 mg,
Obat kurang efektif (ineffective drug) sehingga perlu dilakukan pembagian tablet.
Menurut Cipolle (2012), DRPs kategori obat Penggunaan sediaan obat alprazolam dengan
kurang efektif ini tidak hanya mengevaluasi dosis terbagi perlu menjadi perhatian. Hal ini
terkait pemilihan obat apakah sesuai dengan terkait kemungkinan adanya dosis yang lebih
kondisi pasien atau tidak, akan tetapi juga besar dari seharusnya yang mengakibatkan
pemilihan bentuk sediaan dan potensi obat munculnya efek sedasi dengan durasi lebih
yang digunakan serta aturan penggunaan obat panjang, selain itu juga dapat meningkatkan
sesuai yang dengan rekomendasi guideline.6 toleransi khusunya pada penggunaan jangka
Dalam penelitian ini, ditemukan dua macam panjang.15
kejadian DRPs kategori obat kurang efektif Penelitian yang dilakukan Mosena and
yaitu waktu pemberian obat yang tidak Merwe (2009) menyatakan bahwa pembagian
sesuai dengan rekomendasi guideline serta tablet menjadi dua bagian dapat meningkatkan
pemilihan sediaan terkait potensi obat yang risiko munculnya kesalahan intepretasi dosis
tidak tepat. sesuai dengan label intruksi pada resep.16
Berdasarkan hasil penelitian ini, waktu Pada penelitian tersebut, disebutkan bahwa
pemberian obat yang tidak sesuai dengan meskipun Food and Drug Administration
rekomendasi pada guideline ditemukan (FDA) memperbolehkan obat yang memiliki
pada penggunaan flunarizin, meskipun pada indeks terapi yang lebar dan waktu paruh
pengobatan pasien telah mendapatkan dosis yang kecil dapat diresepkan dengan membagi
yang sesuai yaitu 5–10 mg/hari yang dalam tablet, namun perlu dipertimbangkan pula
168
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 7, Nomor 3, September 2018
pada kasus kondisi pasien khusus, misalnya merupakan keterbatasan penelitian ini.
geriatri atau pasien yang menurun fungsi
penglihatannya karena akan muncul masalah Dosis berlebih (dosage too high)
terkait kesulitan dalam membagi tablet dan Dalam penelitian ini, tidak ditemukan DRPs
dikhawatirkan dapat mempengaruhi kepatuhan kategori ini.
pasien. Untuk mengatasi masalah tersebut,
diperlukan adanya peran tenaga kesehatan, Interaksi dan efek samping obat
baik apoteker maupun dokter, untuk memastikan Jenis interaksi obat yang ditemukan pada
bahwa pasien dapat mengerti informasi yang penelitian ini berupa interaksi potensial, yaitu
disampaikan saat konseling. efek interaksi obat tidak terjadi pada pasien,
namun memiliki kemungkinan untuk terjadi,
Dosis kurang (dosage too low) sehingga perlu dilakukan pemantauan.
Dalam penelitian ini, ditemukan terdapat Interaksi obat dianalisis berdasarkan acuan
dua macam obat yang pemberian dosisnya Medscape Drug Interaction Checker dan
tidak sesuai dengan rekomendasi, dari MIMS Interaction.9,10 Dalam penelitian ini,
total kejadian sebanyak 48 kasus (36%), ditemukan dua macam interaksi, yaitu minor
yakni betahistine mesilate (21 kasus) dan sebanyak (19 kejadian), dan moderate atau
betahistine dihydrochloride (6 kasus). Kedua monitor closely atau signifikan (17 kejadian,
obat tersebut mengalami DRPs kategori dosis sehingga total kejadian DRPs kategori interaksi
kurang pada beberapa kasus, yaitu frekuensi dan efek samping yang ditemukan yaitu 36
obat diresepkan lebih sedikit dibandingkan kejadian (48 %) (Tabel 4).
rekomendasi guideline yang digunakan. Interaksi kategori minor umumnya tidak
Berdasarkan MIMS Treatment Guidelines mengubah status klinis dari pasien sehingga
(2016) dosis minimal betahistine mesilate pasien tidak memerlukan perubahan terapi,
yaitu 6 mg 3x1 dengan dosis rekomendasi tetapi tetap dilakukan pemantauan, sedangkan
12 mg 3x1, namun dalam penelitian ini interaksi berkategori moderate merupakan
ditemukan dari 48 pasien yang mendapatkan interaksi potensial yang kemungkinan dapat
peresepan betahistine mesilate, sebanyak mengakibatkan perubahan status klinis pasien
23 pasien yang mendapatkan dosis kurang, sehingga pemantauan ketat dan pertimbangan
yakni 6 mg 2x1.9 Dosis minimal betahistine perubahan regimen terapi berupa penyesuaian
dihydrochloride yaitu 8–24 mg 3x1, namun dosis perlu dipertimbangkan.17
dalam penelitian ini ditemukan bahwa dari 25 Kelebihan penelitian ini terletak pada
pasien terdapat 6 pasien yang mendapatkan jenis penelitian yang menggunakan rancangan
dosis kurang yaitu 8 mg 2x1 (3 pasien) dan 8 penelitian case series, yakni evaluasi dilakukan
mg 1x1 (1 pasien) serta 8 mg 3x1 (2 pasien).7 terhadap satu per satu kasus, sehingga didapat
Beberapa kasus yang mendapatkan dosis hasil yang lebih spesifik dengan melihat
lebih rendah dari rekomendasi kemungkinan penatalaksanaan terapi setiap pasien yang
berkaitan dengan adanya pertimbangan oleh akan disesuaikan dengan kondisi dari pasien.
dokter dalam pelaksanaan terapi pada pasien Kelemahan penelitian ini adalah penggunaan
dengan diagnosis awal untuk memonitor data retrospektif sehingga data diperoleh
perkembangan penyakit. Pada penelitian ini, dari penelusuran dokumen terdahulu, yaitu
peresepan dosis yang kurang pada kedua rekam medis pasien. Pendekatan retrospektif
obat tersebut di beberapa kasus tidak dapat memiliki keterbatasan dalam hal kelengkapan
dijelaskan apakah berpengaruh pada luaran data rekam medis, sehingga tidak dapat
klinis yang diperoleh pasien, sehingga hal ini dilakukan evaluasi terhadap DRPs kategori
169
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 7, Nomor 3, September 2018
170
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 7, Nomor 3, September 2018
171