Anda di halaman 1dari 32

Biomarker untuk Diagnosis dan Prognosis Cedera

Intracranial Ringan/Gegar Otak

Cameron B. Jeter, Georgene W. Hergenroeder, Michael J. Hylin, John B. Redell,


Anthony N. Moore, dan Pramod K. Dasha

Abstrak
Cedera intracranial ringan (mTBI) dihasilkan dari transfer energi mekanik
menuju otak dari kejadian traumatik seperti percepatan / perlambatan
dengan cepat, tabrakan langsung ke kepala, atau ledakan. Transfer energi
ke otak bisa menyebabkan perubahan struktural, fisiologis, dan / atau
fungsional pada otak yang dapat menghasilkan gejala neurologis, kognitif,
dan perilaku yang bisa bertahan dalam waktu lama. Karena mTBI dapat
menyebabkan gejala-gejala ini meski tanpa disertai adanya temuan positif
pada neuroimaging, diagnosis dapat menjadi subjektif dan sering
didasarkan pada gejala-gejala neurologis yang dilaporkan pasien sendiri.
Lalu, diagnosis yang tepat dapat dipengaruhi oleh motivasi tertentu untuk
menyembunyikan atau melebih-lebihkan gejala dan / atau
ketidakmampuan pasien untuk merasakan disfungsi atau perubahan
kesadaran ringan. Oleh karena itu, diagnosis mTBI yang tepat akan dapat
ditentukan dari indikator cedera objektif. Istilah gegar otak dan mTBI
sering digunakan secara bergantian, dengan gegar otak terutama
digunakan dalam kedokteran olahraga, sedangkan mTBI digunakan untuk
menjelaskan cedera traumatik. Ulasan ini memberikan penilaian kritis
terhadap status biomarker yang ada saat ini dalam diagnosis mTBI pada
manusia. Kami meninjau status biomarker yang diuji pada pasien TBI
dengan cedera ringan, dan memperkenalkan konsep baru dalam
penemuan biomarker (disebut sebagai symptophenotypes) untuk
memprediksi gejala umum dan unik dari gegar otak. Akhirnya, kami
membahas kebutuhan akan biomarker / biomarker signature yang dapat
mendeteksi mTBI dalam konteks politrauma, dan untuk menilai
konsekuensi dari cedera berulang terhadap perkembangan sindroma
cedera sekunder, berkepanjangannya gejala pasca-gegar otak, dan
ensefalopati traumatik kronis.

Kata kunci: ensefalopati traumatik kronis; politrauma; sindroma pasca-


gegar otak; mTBI berulang; kembali bekerja

Pendahuluan

Cedera intracranial ringan (mTBI) muncul dari transfer energi


mekanik ke otak pada peristiwa traumatis seperti perubahan gerakan yang
cepat (akselerasi / deselerasi), tabrakan langsung ke kepala, atau ledakan.
Insidensi mTBI di Amerika Serikat diperkirakan lebih dari 1,6 juta kasus
setiap tahun. Dari jumlah tersebut, hampir 40% orang yang mengalami
cedera otak ringan tidak mencari penanganan medis. Insidensi mTBI lebih
tinggi di populasi militer kita daripada di warga sipil, dengan studi terbaru
melaporkan bahwa sekitar 20% dari Operation Enduring
Freedom/Operation Iraqi Freedom memiliki diagnosis klinis mTBI. Selain
itu, populasi ini sering memperlihatkan gangguan komorbid seperti
gangguan stres pasca-trauma (PTSD) atau depresi yang dapat
merancukan diagnosis dengan tingkat yang lebih tinggi secara tidak
proporsional daripada di warga sipil.

Gejala dan diagnosis mTBI

Yang menyulitkan diagnosis mTBI adalah kurangnya definisi


konsensus yang menentukan apakah suatu cedera pada kepala
menyebabkan mTBI. Menurut Veterans Affairs Clinical Practice Guideline,
diagnosis mTBI diberikan setelah kerusakan pada otak yang
menyebabkan timbulnya atau memburuknya salah satu dari berikut: skor
Glasgow Coma Scale (GCS) awal 13-15; hilangnya memori akan peristiwa
tepat sebelum atau setelah cedera (post-traumatic amnesia) yang
berlangsung kurang dari 24 jam; kehilangan kesadaran (LOC) yang
berlangsung kurang dari 30 menit; dan perubahan status mental pada
saat cedera (perubahan kesadaran, AOC) seperti kebingungan,
disorientasi, atau lambat berpikir. Membuktikan kebutuhan akan
pendefinisian ulang dari mTBI, hasil neuroimaging terbaru
mengindikasikan bahwa pasien dengan GCS 13 mungkin perlu
diklasifikasi ulang sebagai sedang karena adanya prevalensi temuan
positif pada pemindaian computed tomography (CT) dan magnetic
resonance imaging (MRI) yang lebih tinggi.

mTBI dapat menginduksi gejala neurologis, kognitif, dan perilaku


yang secara kolektif disebut sebagai gejala pasca-gegar otak. Gejala
neurologis yang menonjol termasuk sakit kepala, muntah, mual, masalah
pada keseimbangan, penglihatan, pusing, kelelahan, mengantuk,
sensitivitas terhadap cahaya atau suara, dan gangguan tidur. Sedangkan
gejala kognitif yang paling sering dilaporkan meliputi masalah perhatian,
konsentrasi, memori, kecepatan pemrosesan, dan fungsi eksekutif
(misalnya kerja memori dan pengambilan keputusan). Gejala perilaku
yang umum terjadi meliputi kecemasan, mudah marah, agresi, dan
depresi. Literatur yang ada menunjukkan bahwa pada sebagian besar
pasien, gejala ini akan hilang dalam waktu 10 hari hingga 2 minggu dari
cedera. Pada lebih dari 25% dari kasus, symptomology dapat terus
bertahan jauh melampaui waktu ini.

Gegar otak dan mTBI sering digunakan secara bergantian. Namun


baru-baru ini, gegar otak lebih sering digunakan dalam konteks
kedokteran olahraga, sedangkan mTBI digunakan pada cedera traumatik.
Karena adanya kontroversi yang terkait dengan definisi mTBI, dan apakah
istilah gegar otak dan cedera otak ringan dapat digunakan secara
bergantian, diagnosis mTBI masih menjadi tantangan klinis. Lalu, tidak
adanya kriteria inklusi pasien mTBI yang universal dan tercampurnya
beberapa jenis dan lokasi cedera otak yang berbeda menghambat upaya
untuk mengidentifikasi biomarker yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis populasi pasien ini. Pada artikel ini, kami meninjau keadaan
saat ini dari biomarker mTBI, dengan fokus pada indikator biokimia cedera
otak. Terakhir, kami menyarankan bahwa pendekatan yang lebih baik
untuk mencapai penemuan biomarker mTBI mungkin adalah dengan
menghubungkan pola ekspresi biomarker terhadap gejala neurokognitif
umum atau unik (di sini disebut sebagai symptophenotypes) yang muncul
dari berbagai jenis cedera TBI yang berbeda.

Mekanisme dari LOC dan AOC yang diusulkan. Meskipun LOC dan
AOC secara tradisional dianggap sebagai kriteria diagnostik mTBI,
mekanisme yang mendasari perubahan ini tidak diketahui, meskipun
beberapa hipotesis telah diusulkan.

(1) Kesadaran manusia diduga melibatkan komunikasi aktif antara


struktur subkortikal dan kortikal. Aktivitas yang menurun atau pemutusan
fungsional antara berbagai struktur ini sebagai akibat dari peregangan
atau tarikan oleh karena itu dapat memicu LOC.

(2) Demikian juga, claustrum, yang terletak tepat di bawah


neokorteks dan ada pada semua mamalia, memiliki interkoneksi dua arah
dengan sebagian besar struktur korteks dan subkortikal. Kemampuan
claustrum untuk mengintegrasikan banyak komponen yang terlibat dalam
pengalaman sadar menyebabkan beberapa peneliti menduganya sebagai
pusat untuk mempertahankan kesadaran. Dengan demikian, kerusakan
struktural atau fungsional struktur ini sebagai akibat dari mTBI bisa
mengakibatkan LOC.

(3) Telah diusulkan juga bahwa percepatan angular menyebabkan


decoupling fungsional dari komunikasi neural antara struktur korteks dan
subkortikal otak. Ini mungkin dihasilkan dari hiperaktivitas saraf yang
menyebabkan pelepasan neurotransmitter dalam jumlah besar di awal,
diikuti oleh hipoaktivitas neuronal. Konsisten dengan mekanisme tersebut,
aktivitas mirip kejang dapat diamati setelah cedera tabrakan.

(4) Hipotesis lain berpendapat bahwa aktivasi mekanisme kolinergik


inhibisi di tegmentum pontine dorsal menyebabkan LOC. Hal ini didukung
oleh observasi eksperimental yang menunjukkan bahwa injeksi agonis
kolinergik ke batang otak menyebabkan supresi perilaku, yang berkaitan
dengan ketidaksadaran.

(5) Baru-baru ini, model elemen tiga dimensi terbatas


dikembangkan dan memasukkan percepatan linear dan angular serta
anatomi otak, seperti lokasi ventrikel, adanya tulang orbital, invaginasi
dura, dan perbedaan ambang jaringan dan seluler. Model ini memprediksi
bahwa gaya yang menyebabkan gegar menimbulkan gerakan diferensial
pada berbagai daerah otak yang relatif terhadap satu sama lain dan
terhadap tengkorak, yang menyebabkan kerusakan otak dan mungkin
juga menyebabkan LOC / AOC.

(6) Hipotesis yang telah diteliti dengan baik menyatakan bahwa


cedera aksonal traumatis (TAI) pada white matter otak bertanggung jawab
pada inisiasi LOC, dan derajat TAI menentukan durasi LOC. Seperti
ditunjukkan di atas, percepatan angular (atau rotasional) dari otak
menyebabkan TAI. Menggunakan model babi TBI, percepatan angular
hemisfer kortikal dalam kaitannya dengan batang otak terbukti penting
untuk menimbulkan LOC. Lalu, telah dibuktikan juga bahwa rotasi batang
otak transversal, bukan melingkar, mencukupi untuk menyebabkan LOC
pada miniatur babi. Peneliti ini juga melaporkan bahwa TAI kortikal tanpa
adanya TAI batang otak tidak menghasilkan LOC, menunjukkan bahwa
TAI batang otak, bukan TAI luas di seluruh otak, adalah faktor utama LOC.
Perbedaan anatomi dan fisiologi antara babi (dan hewan lainnya) dan
manusia memang perlu dipertimbangkan dalam menginterpretasikan
temuan ini untuk menjelaskan LOC pada manusia.
Sejumlah besar hasil eksperimen menunjukkan bahwa TAI bersifat
progresif, yang dimulai dari perubahan fokal sitoskeleton (disebut sebagai
undulasi akson) dan disregulasi kalsium, pada akhirnya menghasilkan
pemutusan aksonal. Berbagai mekanisme disregulasi kalsium telah
terbukti terjadi pada model in vitro dan in vivo. Ini meliputi
mechanoporation mikroskopis dari axolemma yang memungkinkan
masuknya kalsium ekstraseluler, aktivasi kanal Na+ yang menyebabkan
depolarisasi neuron dan aktivasi kanal Ca+2 voltage gated, aktivasi Na+ /
Ca+2 exchangers, dan pelepasan kalsium dari deposit intraseluler. Pada
model eksperimental TBI, patologi TAI berkembang perlahan-lahan,
memuncak dalam waktu 24 jam, dan dapat berkembang sampai dengan 1
tahun pasca-cedera. Maka, perjalanan waktu perkembangan TAI tidak
konsisten dengan LOC / AOC setelah mTBI, yang menunjukkan bahwa
disfungsi aksonal, bukan TAI, adalah yang menyebabkan LOC / AOC.
Berdasarkan observasi terbaru bahwa kanal transient receptor potential
(TRP) yang diaktifkan oleh regangan ada pada sel-sel saraf dan
permeabilitas membran terganggu setelah cedera regangan, kami
menduga bahwa meningkatnya permeabilitas membran dan / atau aktivasi
kanal TRP dapat untuk sementara menurunkan fungsi aksonal yang
menyebabkan LOC / AOC. Percobaan lebih lanjut diperlukan untuk
mendukung atau menyanggah hipotesis ini dan lainnya.

Diagnosis mTBI. Pengenalan mTBI adalah bagian yang paling


menantang dari manajemen gejala pasca-cedera. Tanda-tanda dan gejala
mTBI dapat tidak tampak jelas, dan tantangan diagnostik dibuat lebih sulit
oleh pasien yang mungkin mengabaikan, menyembunyikan, atau melebih-
lebihkan gejala mereka. Laporan saksi yang dapat dipercaya dan
pertanyaan tertutup untuk mengevaluasi LOC, amnesia pasca-trauma,
dan kebingungan diperlukan untuk diagnosis. Kesulitan-kesulitan dalam
diagnosis ini dipersulit lebih jauh oleh tak adanya definisi kriteria mTBI
yang jelas. GCS sering digunakan pada awal untuk menilai derajat
kesadaran setelah TBI. Nilai GCS ditentukan dari tiga tes yang meliputi
respon mata, verbal, dan motorik, dan hasil mereka dijumlahkan untuk
mengevaluasi LOC dan digunakan sebagai salah satu pengukuran
keparahan cedera. Nilai gabungan berkisar dari 3 (koma dalam atau mati)
hingga 15 (sadar penuh). Nilai ≤8 digolongkan sebagai berat, skor 9
hingga 12 diklasifikasikan sebagai sedang, dan ≥ 13 dianggap ringan,
meskipun studi terbaru menentang stratifikasi ini. Adanya politrauma,
alkohol, obat penenang, penghilang rasa sakit, penyalahgunaan obat dan
/ atau stres dapat memunculkan nilai GCS yang salah, sehingga
membatasi kegunaannya sebagai tes khusus untuk menilai mTBI. Sistem
penilaian gegar otak The American Academy of Neurology menilai
berdasarkan lamanya waktu gejala bertahan dan apakah LOC terjadi atau
tidak. Penggunaan alat penilaian ini membantu diagnosis dan
memfasilitasi manajemen pasien secara tepat. Dalam bidang atletik, Sport
Concussion Assessment Tool 2 dan Standardized Assessment of
Concussion telah diterima dengan baik.

Selain penilaian neuropsikologis, teknik pencitraan seperti CT dan


MRI banyak digunakan sebagai alat diagnostik untuk menilai cedera otak.
Karena manfaat yang terbatas dari CT dan MRI kepala pada gegar otak,
kekhawatiran akan paparan radiasi, dan pemanfaatan sumber daya yang
tepat, pencitraan ini tidak diindikasikan kecuali ada penurunan status
neurologis, peningkatan keparahan gejala, atau defisit fokal persisten. CT
scan berguna untuk deteksi lesi fokal, perdarahan, midline shift, kompresi
ventrikel dan sisterna basalis. mTBI yang terkait dengan temuan abnormal
pada CT klinis sering disebut sebagai mTBI komplikasi.

Meskipun penelitian telah menunjukkan bahwa MRI lebih sensitif


dibandingkan CT untuk mendeteksi kerusakan otak ringan dalam tahap
akut, ia tidak rutin dilakukan karena pertimbangan biaya pemindaian,
ketersediaan alat (misalnya, di ruang operasi militer), kekhawatiran
mengenai keselamatan dan kelayakan memindai seseorang dengan LOC
/ AOC, dan durasi pemindaian. Sebagai contoh, sebuah ulasan dari empat
studi komparatif menunjukkan bahwa pada pasien mTBI dengan temuan
CT kepala negatif, 30% dari mereka memiliki hasil MRI abnormal. Selain
itu, studi terbaru menggunakan pencitraan fungsional seperti MRI
fungsional, positron emission tomography (PET), proton magnetic
resonance spectroscopy (MRS) dan electroencephalography (EEG) untuk
mendeteksi aktivitas otak abnormal yang diduga terkait dengan mTBI.
Bahkan dengan kemajuan teknologi, banyak pasien dengan mTBI masih
didiagnosis secara retrospektif, bahkan beberapa bulan setelah
kecelakaan, dengan mengandalkan laporan pasien mengenai gangguan
yang dialami setelah cedera. Dengan demikian, keuntungan besar bisa
diambil dari biomarker yang tervalidasi secara klinis yang dapat digunakan
untuk mendiagnosis mTBI dan / atau memprediksi symptomology secara
obyektif.

Biomarker mTBI

Biomarker merupakan indikator fisiologis obyektif dari penyakit


biologis atau cedera. Dengan demikian, biomarker dapat dideteksi oleh
pencitraan (misalnya CT, diffusion tensor imaging [DTI]) atau analisis
laboratorium indikator biologis seperti asam ribonukleat (RNA),
metabolit, lipid, peptida, protein, atau autoantibodi terhadap protein yang
dilepaskan dari jaringan yang sakit / cedera. Akurasi diagnostik biomarker
atau biomarker signature secara kuantitatif dilambangkan dengan
sensitivitas dan spesifisitas. Sensitivitas adalah persentase positif sejati,
atau kemungkinan hasil tes positif untuk mengidentifikasi kondisi yang
benar-benar ada (tidak luput mendiagnosis). Spesifisitas adalah
persentase negatif sejati, atau probabilitas hasil tes negatif untuk secara
akurat mengidentifikasi orang tidak sakit (tidak memberikan diagnosis
palsu).
Penerapan dan keterbatasan neuroimaging dalam diagnosis mTBI
telah menjadi subyek dari beberapa ulasan baru-baru ini. Oleh karena itu
kami akan membahas status pencitraan otak saat ini untuk mendeteksi
biomarker mTBI secara singkat, dan terutama berfokus pada keadaan
penelitian saat ini untuk mengidentifikasi indikator biologis cedera otak
ringan pada manusia.

Axonopathy sebagai biomarker

Pencitraan struktural seperti DTI berguna dalam mendeteksi


dugaan TAI, yang terjadi sebagai akibat dari tarikan yang disebabkan
percepatan linear dan rotasional angular. Fractional anisotropy (FA,
tingkat arah difusi air) dan apparent diffusion coefficient (ADC, tingkat
rata-rata difusi ke semua arah) yang dihitung dari DTI memberikan ukuran
integritas struktural white matter otak. Jalur akson bermielin normal
biasanya memiliki nilai ADC rendah dan FA tinggi, meskipun nilai-nilai ini
juga terkait dengan edema sitotoksik patogenik. Dalam
tahap kronis mTBI, peningkatan ADC dan penurunan FA muncul,
menunjukkan kerusakan akson yang mungkin ireversibel. Selain
mendeteksi cedera aksonal, DTI memiliki keuntungan berupa
menghubungkan cedera white matter dengan defisit fungsional.

Sejumlah studi terbaru menunjukkan bahwa keparahan disfungsi


kognitif dapat berkorelasi dengan tingkat kerusakan white matter. Teknik
pencitraan ini juga dapat mendeteksi kelainan kecil di area otak tertentu
dan memprediksi defisit pada pasien mTBI. Sebagai contoh, satu
penelitian terbaru melaporkan adanya hubungan antara peningkatan FA di
forniks (jalur masuk / keluar dari hippocampus yang penting untuk
pembelajaran dan memori) dan kinerja kognitif yang lebih buruk 6 hari
pasca-mTBI. Evaluasi struktural untuk cedera aksonal atau perdarahan
mikro menunjukkan tidak ada perbedaan dan tidak ada kelainan pada T1-
weighted MRI, susceptibility weighted MRI, DTI, atau proton MRS dalam
studi terbaru mengenai pasien usia 11-15 tahun yang dibandingkan
dengan 12 atlet yang mengalami gegar otak karena olahraga dengan
kontrol sehat yang memiliki usia dan jenis kelamin sama. Aliran darah otak
(CBF) berubah pada kelompok gegar otak dan tetap berbeda secara
statistik pada pengujian akhir (rerata 41,3 hari sejak cedera). Meski tidak
ada korelasi antara uji neuropsikologi yang dilakukan di sini dengan CBF,
dan ukuran sampelnya kecil, penulis menduga perubahan CBF bisa
mempengaruhi symptomatology, patofisiologi, dan hasil akhir fungsional.
Perbedaan temuan pada studi mengenai orang dewasa dan anak
berhubungan dengan biofisiologi, jenis cedera, atau penyebabnya.

Protein sebagai biomarker

Penggunaan klinis biomarker protein menyediakan beberapa


keuntungan, terutama untuk diagnosis mTBI. Pertama, pengukuran
biomarker dari jaringan perifer (misalnya darah, air liur, atau urin) yang
invasif minimal dan dikenakan biaya yang relatif sedikit untuk pemrosesan
dan analisisnya. Kedua, jika kadar biomarker mengindikasikan kerusakan
otak (atau ketiadaannya), ia akan membantu dalam menentukan apakah
pencitraan otak diperlukan atau tidak. Ini penting untuk kasus di mana
seseorang menderita mTBI di lokasi terpencil atau di mana spesialis dan /
atau peralatan pencitraan tidak ada. Ia juga relevan pada anak-anak di
mana skor GCS yang akurat sulit untuk ditentukan, dan CT scan
berpotensi menyebabkan kerusakan otak makin parah. Ketiga, jika kadar
biomarker terbukti dapat memberi indikasi sejauh mana kerusakan otak
yang terjadi, kadar ini dapat digunakan untuk menilai efektivitas
tatalaksana eksperimental secara obyektif.

Satu hal yang penting untuk diperhatikan terkait dengan biomarker


adalah bahwa mereka bisa membuat kita menganggap remeh cedera atau
perubahan parah secara tidak proporsional terhadap disfungsi
neurobehavioral. Karena fungsi otak tidak terdistribusikan secara merata,
melainkan terlokalisir pada beberapa area tertentu, kerusakan area
tertentu dapat menyebabkan perubahan fungsional mendalam yang tidak
menyebabkan peningkatan / penurunan kadar biomarker yang substansial.
Misalnya, kerusakan lokal (misalnya dari cedera penetrasi otak) ke area
terfokus seperti area Wernicke akan menyebabkan gangguan
pemahaman bahasa tetapi tidak menyebabkan peningkatan atau
penurunan proporsional dari kadar biomarker secara keseluruhan.

S100B. Biomarker TBI yang paling luas dipelajari adalah S100B.


S100B adalah anggota dari famili S-100 dari protein pengikat kalsium
dengan berat molekul rendah (10,5 kDa) yang banyak ada di otak. S100B
terutama diekspresikan di astrosit, membentuk 1-1.5 µg / mg dari semua
protein terlarut dalam otak. S100B dapat ditemukan pada kadar sangat
rendah dalam cairan serebrospinalis (CSF) dan serum (0,05 ng / mL)
manusia, dengan peningkatan dianggap sebagai indikator kerusakan
astrosit setelah cedera otak sedang-berat.

Mirip dengan yang diamati pada cedera yang lebih berat,


Ingebrigsten dan Romner menemukan bahwa pada pasien dengan mTBI
(GCS 14-15) yang memiliki temuan CT negatif, konsentrasi marker ini
dalam serum meningkat segera setelah cedera dan menurun kemudian.
Tingkat yang lebih tinggi lagi dapat dideteksi pada pasien (GCS 13-15)
dengan cedera intrakranial (ditentukan menggunakan CT kepala) jika
dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami cedera tersebut.
Sebuah evaluasi ulang terbaru mengenai enam uji klinis prospektif yang
melibatkan lebih dari 2000 pasien dengan mTBI menunjukkan bahwa
S100B memiliki sensitivitas 98,2% dalam mengidentifikasi adanya cedera
otak.

Beberapa pengamatan baru mengenai S100B, menurunkan


antusiasme awal tentang kegunaan protein ini sebagai biomarker.
Pertama, karena S100B tidak menyeberangi blood-brain barrier (BBB)
yang intak, sehingga hanya ada sedikit korelasi antara kadarnya di CSF
dan yang terdeteksi dalam serum. Ini memunculkan keraguan apakah
kadar serum protein ini sebenarnya berkorelasi dengan tingkat kerusakan
otak atau lebih mencerminkan gangguan BBB. Kedua, meski sensitivitas
biomarker ini tinggi, ia memiliki spesifisitas yang rendah. Sebagai contoh,
dalam sebuah studi kohort prospektif, Nygren De Boussard dan rekan-
rekan menunjukkan bahwa meski kadar S100B meningkat secara
signifikan dalam serum setelah mTBI akut (GCS 14-15), kadar ini tidak
dapat digunakan untuk membedakan antara kelompok TBI dan kelompok
cedera ortopedik. Terakhir, hasil laporan yang telah diterbitkan mengenai
kegunaan marker ini dalam memprediksi hasil akhir TBI pada pasien anak
banyak yang bertentangan.

Meskipun kenaikan S100B sulit untuk dikaitkan dengan mTBI, studi


terbaru menunjukkan bahwa sedikitnya peningkatan S100B serum dapat
menjadi biomarker yang sangat baik untuk mengeksklusi mTBI. Di sebuah
penelitian pada 1309 pasien, nilai cut off S100B 0,1 ng / mL dilaporkan
memiliki sensitivitas 99% untuk mendeteksi cedera pada CT
scan. Cut off ini dikonfirmasi oleh studi multicenter lain yang melaporkan
bahwa sensitivitasnya 95%. Meski studi ini melaporkan sensitivitas yang
tinggi, spesifisitas S100B untuk mendeteksi mTBI rendah (30-31%). Tes
ini secara akurat menentukan proporsi individu yang tidak memiliki temuan
CT abnormal, menunjukkan bahwa hasil S100B negatif dapat digunakan
untuk menentukan apakah CT scan diindikasikan. Berdasarkan hal ini,
pedoman yang dikeluarkan oleh American College of Emergency
Physicians merekomendasikan bahwa CT kepala adalah opsional jika
konsentrasi S100B serum kurang dari 0,1 ng / mL dalam 4 jam pertama
setelah cedera.

Neuron specific enolase (NSE). NSE adalah salah satu dari lima
isozim dari enzim glikolitik enolase. NSE adalah famil yang meliputi tiga
protein glikolitik; isoform α, ß, dan, γ yang ada dalam sejumlah jaringan,
dengan homodimer γ- γ sangat banyak di otak. NSE awalnya dianggap
spesifik neuron, tetapi studi selanjutnya menunjukkan bahwa sel-sel
neuroendokrin, oligodendrosit, trombosit, dan eritrosit juga
mengekspresikan NSE. NSE memiliki waktu paruh serum sekitar 24 jam
dan dapat dideteksi dalam waktu 6 jam setelah cedera. Kadar serum NSE
(biasanya kurang dari 12,5 ng / mL) telah dilaporkan meningkat setelah
TBI, kadar ini berkorelasi dengan keparahan cedera. Pada kadar serum
lebih dari 21,7 ng / mL, NSE menjadi indikator yang sensitif dari kematian
(sensitivitas 85%) dan hasil akhir buruk (sensitivitas 80%). Sensitivitas dan
spesifisitas yang tidak memadai membatasi penggunaan NSE dalam
konteks neuropsikologi (sensitivitas 55%, spesifisitas 77,8%) dan
memprediksi adanya lesi intrakranial (sensitivitas 77%, spesifisitas 52%).
Digunakan sendirian, kadar NSE serum belum tentu menunjukkan adanya
trauma otak, karena protein ini juga diduga menjadi marker small cell
cancer paru, tumor kandung kemih neuroendokrin, stroke iskemik, dan
neuroblastoma.

Berbeda dengan sensitivitas tinggi tetapi dengan spesifisitas


rendah yang terlihat pada S100B setelah cedera otak parah, NSE memiliki
masalah sebaliknya sebagai biomarker dari mTBI. Ingebrigsten dan rekan-
rekan mengevaluasi potensi diagnostik NSE setelah kejadian mTBI dan
menemukan bahwa meskipun marker ini memiliki spesifisitas yang tinggi,
ia tidak sensitif terhadap keparahan cedera. Hal ini mungkin disebabkan
karena peningkatan kadar NSE serum yang relatif kecil setelah mTBI.
Meskipun perbedaan kadar NSE yang signifikan terdeteksi setelah data
dikoreksi sesuai usia dan jenis kelamin, tidak adanya perbedaan secara
keseluruhan bisa disebabkan karena variasi penyebab cedera pasien
mTBI (misalnya kecelakaan kendaraan bermotor, cedera olahraga, dll),
kemungkinan yang belum pernah diteliti.

Protein breakdown products (protein BDP). Salah satu ciri patologis


kunci dari TBI adalah pemecahan protein seluler tanpa regulasi melalui
aktivasi famili protease seperti calpain dan caspase. Baru-baru ini, BDP
dari structural protein alpha-II spectrin dan endritically enriched
microtubule-binding protein Tau telah terbukti berkorelasi dengan
keparahan cedera pad model pengerat TBI. Pada manusia, kadar BDP
spectrin secara eksklusif meningkat pada orang dengan TBI sedang dan
berat, tanpa peningkatan setelah mTBI selesai. Demikian juga, kadar
cleaved-tau (c-Tau) awal pasca-cedera di CSF ditemukan meningkat pada
pasien dengan TBI berat, berkaitan dengan hasil klinis (sensitivitas 92%
dan spesifisitas 94%), dan memprediksi tekanan intrakranial tinggi (ICP;
sensitivitas 78% dan spesifisitas 79%). Pada mTBI, c-Tau tidak
berkorelasi dengan temuan CT abnormal dan tidak memprediksi sindroma
pasca gegar otak (PCS).

Glial fibrillary acidic protein (GFAP). GFAP adalah protein filamen


intermediet monomerik yang diekspresikan oleh astrosit. Ia adalah protein
spesifik otak yang dilepaskan setelah TBI, dan memprediksi peningkatan
ICP, penurunan mean arterial pressure, cerebral perfusion pressure
rendah, skor Glasgow Outcome Scale (GOS) jelek, dan peningkatan
mortalitas. Contohnya, konsentrasi GFAP serum di atas 1,5 ng / mL
ditemukan prediktif terhadap kematian (sensitivitas 85%, spesifisitas 52%)
atau hasil akhir buruk (GOS 6 bulan; sensitivitas 80% dan 59%
spesifisitas). Konsisten dengan ekspresinya yang spesifik otak, kadar
GFAP normal pada pasien politrauma biasa yang tidak mengalami cedera
otak. Baru-baru ini, dalam penelitian kohort prospektif dari 108 pasien
dengan TBI, produk pemecahan GFAP (GFAP-BDP) dalam serum
meningkat 1 jam setelah TBI ringan atau sedang (GCS 9-15),
membedakan pasien TBI dari kontrol sehat dengan area di bawah kurva
(AUC) 0,90. GFAP-BDP juga mampu membedakan pasien mTBI dengan
skor GCS dari 15 kontrol sehat dengan AUC 0.88. Yang terpenting,
GFAP-BDP serum membedakan pasien dengan dan tanpa lesi otak pada
CT dengan AUC 0.79.

Ubiquitin carboxy-terminal hydrolase L1 (UCHL1). UCHL1 adalah


protease sistein kecil, sekitar 25 kDa, yang menghidrolisis ikatan C-
terminal antara ubiquitin dan adducts kecil atau polipeptida unfolded.
Enzim ini membentuk sekitar 1-2% dari total protein terlarut dalam otak
yang diekspresikan terutama di neuron, dengan kadar yang sangat rendah
juga diekspresikan di beberapa sel neuroendokrin. Mutasi pada UCHL1
mungkin berhubungan dengan penyakit Parkinson dan penyakit
neurodegeneratif lainnya, dan telah diusulkan untuk menjadi biomarker
TBI. Untuk menguji kemungkinan ini, Papa dan rekan-rekan melakukan
studi prospektif untuk menentukan kadar UCHL1 di CSF pada pasien
dengan cedera otak parah dan kontrol sehat. Mereka menemukan bahwa
kadar UCHL1 meningkat secara signifikan pada CSF pasien cedera otak,
dan besarnya kenaikan ini berkorelasi dengan kematian, komplikasi
pasca-cedera, dan hasil 6 bulan pasca keluar rumah sakit. Pada pasien
dengan mTBI, Papa dan rekan-rekan mendeteksi UCHL1 serum dalam
waktu 1 jam dari cedera tidak hanya dapat membedakan pasien dengan
TBI ringan dari kontrol sehat, tetapi juga pasien dengan skor GCS 15 dari
kontrol sehat (keduanya dengan AUC 0,87). Yang terpenting, UCHL1
membedakan pasien dengan lesi pada CT dari pasien TBI CT negatif
dengan AUC 0,73.

Kadar UCHL1 serum memiliki korelasi yang signifikan dengan


permeabilitas BBB yang dinilai dengan mengukur jumlah albumin QA,
yang didefinisikan sebagai (albumin CSF / albumin serum). Pada 12 jam
setelah cedera, UCHL1 serum dan QA memiliki hubungan yang signifikan
dengan AUC 0,76. Juga perlu dicatat, berbeda dari orang dewasa, tidak
ada peningkatan kadar UCHL1 serum pada pasien anak dengan mTBI.

Myelin basic protein (MBP). MBP adalah protein komponen utama


mielin yang diekspresikan oleh oligodendrosit. Kadar MBP serum
normalnya sangat rendah, biasanya kurang dari 0,3 ng / mL. Tes MBP
sering digunakan untuk menilai kadar protein ini dalam CSF dalam kondisi
neurologis di mana dicurigai ada demielinasi. Laserasi white matter otak
yang menimbulkan diffuse axonal injury bisa mengakibatkan pelepasan
MBP ke dalam CSF dan serum, di mana ia tetap tinggi hingga 2 minggu
pasca cedera. MBP dapat menyebabkan pembukaan BBB, sehingga
memfasilitasi masuknya MBP itu sendiri (dan mungkin biomarker turunan
dari sistem saraf pusat [CNS] lainnya) ke dalam sirkulasi. Dalam sebuah
studi tentang cedera otak anak, kadar MBP serum tinggi berkorelasi
dengan hasil akhir yang buruk. Menariknya, penelitian yang sama
menunjukkan bahwa MPB tidak meningkat pada anak-anak dengan
ensefalopati hipoksik-iskemik. Ini konsisten dengan observasi sebelumnya
bahwa cedera iskemik tidak menyebabkan gangguan white matter.
Meskipun kadar MBP di sirkulasi pada orang yang menderita mTBI belum
diukur, kemampuan protein ini untuk membuka BBB menunjukkan bahwa
ia mungkin terdeteksi pada mTBI di mana cedera aksonal menjadi salah
satu cirinya.

MicroRNA sebagai biomarker

MicroRNA (miRNAs) adalah superfamili besar dari RNA regulasi


non-koding pendek (rata-rata panjang ~ 22 nukleotida) yang terlibat dalam
regulasi ekspresi protein pasca transkripsi. miRNA memiliki beberapa
karakteristik yang membuat mereka menarik sebagai biomarker molekuler
yang berpotensi berguna untuk mengidentifikasi patologi spesifik jaringan
dan penyakit, termasuk pola ekspresi spesifik sel dan jaringan, tingkat
ekspresi yang dipengaruhi pola penyakit tertentu, dan mereka stabil serta
mudah terdeteksi dalam serum, plasma, CSF, dan cairan tubuh lainnya.
Diduga bahwa miRNA yang ditemukan dalam cairan tubuh diliputi
mikropartikel lipoprotein yang melindungi mereka dari degradasi dan
mungkin berfungsi sebagai transportasi komunikasi interseluler.
Pengukuran kadar miRNA dalam sampel plasma yang dikumpulkan dari
pasien dengan TBI berat, orang-orang dengan mTBI, sukarelawan sehat,
dan pasien dengan cedera ortopedik menunjukkan bahwa penurunan
kadar mir-16 dan mir-92A, dan peningkatan kadar mir-765, adalah marker
yang baik untuk TBI berat (nilai AUC masing-masing 0.89, 0.82, dan 0.86)
pada 25-48 jam setelah cedera. Analisis regresi logistik mltipel
mengungkapkan bahwa menggabungkan miRNA ini meningkatkan
akurasi diagnostik dengan tajam (spesifisitas 100% dan sensitivitas 100%)
dibandingkan dengan sukarelawan sehat atau pasien dengan cedera
ortopedik. Menariknya, pada pasien dengan mTBI (GCS> 12), kadar mir-
765 yang ditemukan tidak berubah, sedangkan kadar mir-92A dan mir-16
plasma meningkat secara signifikan dalam 24 jam pertama setelah cedera
jika dibandingkan dengan sukarelawan sehat dan memiliki nilai AUC
masing-masing 0,78 dan 0,82. Meski alasan untuk respon yang berbeda
ini (penurunan kadar pada TBI berat, peningkatan kadar pada mTBI)
belum jelas, ia menggambarkan kemungkinan keterbatasan penggunaan
biomarker yang diidentifikasi dalam kasus TBI berat untuk mendiagnosis
mTBI. Hal ini mungkin terjadi karena keterlibatan beberapa proses
patologis TBI berat yang mungkin tidak ada pada mTBI.

Metabolit sebagai biomarker

Metabolit lipid, neurotransmitter, dan intermediet glikolitik telah


menunjukkan potensi sebagai biomarker untuk TBI. Sejumlah penelitian
telah menunjukkan bahwa TBI mengubah kadar laktat, glukosa, piruvat,
gliserol, dan glutamat dalam CSF dan di microdialysates yang didapat dari
otak yang cedera. Sebagai contoh, akumulasi laktat dalam CSF setelah
cedera kranioserebral terbukti berkorelasi dengan keparahan cedera.
Menggunakan PET untuk memeriksa metabolisme glukosa pada pasien
dengan mTBI, metabolisme otak yang abnormal dapat diamati pada area
otak midtemporalis, cingulate anterior, precuneus, temporal anterior,
frontal white, dan corpus callosum. Perubahan ini berkorelasi dengan
masalah perhatian, konsentrasi, dan disfungsi neuropsikologis secara
keseluruhan. Selain glukosa, otak bergantung pada fosfokreatinin sebagai
sumber energi dalam kondisi ketika ada kebutuhan energi yang tinggi.
Saat kadar kreatinin dan fosfokreatinin diperiksa setelah mTBI,
peningkatan kadar metabolit ini dapat diamati pada white matter yang
bertahan hingga 4 bulan pasca cedera. Studi terbaru untuk mengevaluasi
kadar kreatinin plasma pasien TBI mengungkapkan bahwa meskipun
kadar kreatinin sirkulasi meningkat pada pasien TBI ringan dan berat,
hanya kadar pada pasien TBI berat yang mencapai signifikansi secara
statistik.

Salah satu biomarker metabolit cedera yang paling potensial


adalah brain N-acetylaspartic acid (NAA), terdeteksi menggunakan proton
MRS. NAA diusulkan untuk menjadi marker integritas neuronal, dan
perubahan kadarnya diduhga dapat menjadi indikasi kerusakan saraf
pada penyakit seperti amyotrophic lateral sclerosis (ALS), multiple
sclerosis, demensia vaskular, dan TBI. Sebagai contoh, Cohen dan rekan-
rekan telah menemukan bahwa NAA keseluruhan otak menurun pada
orang dengan mTBI (GCS 13-15) dan penurunan ini ada pada pasien
dengan mTBI dengan dan tanpa patologi yang terlihat di MRI. Konsisten
dengan ini, sebuah studi mengenai 40 atlet yang telah didiagnosis gegar
otak memiliki penurunan kadar NAA signifikan (diperiksa 3 hari pasca
cedera) yang kembali ke kadar normal dalam 30 hari. Seperti yang akan
dibahas di bawah ini, perubahan berkepanjangan dalam metabolisme otak
ini mungkin memiliki implikasi dalam keputusan untuk kembali bekerja.

Biomarker mTBI dan politrauma

Sebagian besar pasien dengan mTBI juga memiliki cedera


traumatik organ lain. Diagnosis mTBI dalam konteks cedera fisik lain
dapat menantang jika menggunakan biomarker perifer yang juga
dilepaskan dari organ lain. Meskipun S100B tidak menarik sebagai
biomarker cedera otak karena kurangnya spesifisitas jaringan, studi
terbaru menunjukkan bahwa peningkatan kadar S100B serum setelah
trauma mungkin lebih didominasi dari otak dibandingkan dengan organ
tubuh lainnya. Lebih lanjut lagi, perjalanan waktu perubahan S100B serum
berbeda pada pasien politrauma dengan dan tanpa cedera otak. Misalnya,
pada pasien politrauma tanpa TBI, kadar serum S100B menurun 6 jam
pasca cedera, menunjukkan bahwa peningkatan lambat kadar marker ini
pada pasien politrauma dengan TBI mungkin mengindikasikan cedera
otak. Konsisten dengan gagasan ini, sebuah studi baru menunjukkan
bahwa kadar S100B tidak berbeda antara pasien dengan TBI saja dan
pasien dengan politrauma dan TBI saat dites 11 jam pasca cedera, dan
kadarnya tetap prediktif terhadap hasil akhir buruk karena TBI berat,
terlepas dari adanya cedera ekstrakranial.

Untuk marker spesifik CNS, adanya politrauma mungkin tidak


secara negatif mempengaruhi interpretasi perubahan kadar perifernya.
Misalnya, kadar GFAP serum tidak meningkat secara signifikan pada
pasien dengan politrauma tanpa TBI. Konsisten dengan ini, konsentrasi
GFAP tidak berbeda antara pasien dengan TBI berat saja dan pasien
dengan politrauma dan TBI berat. Oleh karena itu, kombinasi beberapa
biomarker, dengan perjalanan waktu dan spesifisitas masing-masing,
mungkin sangat berguna di keadaan di mana mTBI diduga ada pada
pasien dengan cedera pada bagian tubuh lainnya.

Kombinasi biomarker

Kombinasi biomarker, sering disebut sebagai ''biomarker signature''


dapat dibuat untuk meningkatkan akurasi diagnostik. Biomarker signature
potensial harus memiliki berbagai aplikasi, termasuk diagnosis kondisi,
penilaian patologi sekunder, evaluasi efek pengobatan, menetukan
perjalanan waktu penyakit, dan identifikasi mekanisme cedera tertentu
serta tingkat keparahan, progresi, atau hasil akhirnya. Sebuah signature
dapat mencakup data klinis, data pencitraan, kadar beberapa biomarker
sirkulasi, dan penilaian fisiologis dan / atau neurokognitif lainnya.

Berdasarkan biomarker yang telah diuji sampai saat ini, tidaklah


mungkin bahwa satu biomarker akan memiliki spesifisitas dan sensitivitas
yang cukup untuk berperan sebagai tes diagnostik untuk mTBI yang dapat
berdiri sendiri, atau dapat memprediksi pasien mana yang mungkin akan
mengalami hasil akhir yang buruk. Pendekatan statistik seperti regresi
logistik bertahap sering digunakan untuk menentukan nilai prediktif dari
kombinasi biomarker. Pada pendekatan ini, biomarker tunggal
ditambahkan secara bertahap (biasanya berdasarkan penurunan nilai
prediktif individu), sampai penambahan dari biomarker baru berhenti
mengubah nilai prediktif dari kombinasi biomarker.

Cara lainnya, metode seperti ''boosting'' telah dikembangkan dan


berguna untuk menggabungkan beberapa marker ''lemah'' menjadi marker
''kuat gabungan.'' Meski pendekatan ini telah berhasil digunakan dalam
menentukan biomarker signature dari berbagai jenis kanker, hanya ada
beberapa studi yang telah mengevaluasi apakah kombinasi marker dapat
digunakan untuk meningkatkan akurasi diagnostik / prognostik biomarker
TBI. Sebagai contoh, dalam sebuah studi pasien TBI sedang-berat (GCS
<12), ditemukan bahwa kombinasi dari lesi massa, kadar GFAP, pupil
negatif, usia, dan skor keparahan cedera prediktif terhadap kematian dan
hasil akhir buruk. Demikian juga, Lo dan rekan-rekan menemukan bahwa
menggabungkan skor GCS yang dijumlahkan saat pemulangan pasien
dengan kadar IL-8 yang dicatat selama 24 jam pertama setelah cedera
prediktif terhadap hasil akhir 6 bulan pasca cedera pada anak-anak kritis
dengan trauma otak karena kecelakaan.

Dalam studi pasien mTBI, kombinasi skor Galveston Orientation


and Amnesia Test (GOAT), kadar S100B (<4 jam dari cedera), dan
Rivermead Post-concussion Symptoms Questionnaire (RPSQ) saat
masuk prediktif terhadap hasil akhir buruk pada 1 minggu pasca cedera,
sedangkan LOC, kadar NSE, dan skor RPSQ pada wanita dikaitkan
dengan hasil akhir buruk 6 minggu pasca cedera. Meski studi ini
mendukung penetapan biomarker signature mTBI, penelitian lebih lanjut
dibutuhkan untuk menentukan tes yang sesuai untuk dimasukkan.
Biomarker untuk Gegar Otak

Secara klinis, evaluasi gegar otak dan mTBI mirip dan tidak perlu
dibedakan. Bahkan, The American Academy of Neurology (1997)
menggunakan sistem grading gegar otak untuk mTBI. Konferensi
Internasional Gegar otak pertama yang diadakan di Wina memberikan
definisi bahwa gegar otak adalah proses patofisiologis kompleks yang
mempengaruhi otak, yang disebabkan oleh gaya biomekanik traumatik
dan mungkin disertai LOC. Ciri khas dari gegar otak adalah kebingungan.
Gejala lain termasuk pusing, mual, sakit kepala, gangguan fungsi memori,
masalah keseimbangan, gangguan visual dan pendengaran, dan masalah
emosional, dengan adanya satu atau lebih dari gejala-gejala ini
mendukung diagnosis gegar otak. Telah dikagtakan bahwa lesi struktural
yang diidentifikasi pada MRI adalah pertanda dari mTBI. Kebanyakan
penelitian DTI dilakukan pada pasien mTBI dengan GCS antara 13-15.
Tidak semua pasien gegar otak memiliki kelainan struktural.

Sebuah studi oleh Centers for Disease Control and Prevention


memperkirakan 300.000 gegar otak yang terkait dengan olahraga terjadi
setiap tahun di Amerika Serikat. Tetapi, penelitian ini hanya menginklusi
orang yang mengalami LOC, gejala yang terjadi hanya pada 8-20% dari
gegar otak yang berhubungan dengan olahraga. Pasien gegar otak yang
terkait dengan olahraga sering tidak menunjukkan skor GCS kurang dari
15, meskipun orang-orang ini memiliki gejala neurologis yang telah
disebutkan sebelumnya dalam onset yang cepat.

Symptophenotypes

Kriteria inklusi yang beragam dalam studi biomarker disebabkan


kurangnya konsensus mengenai definisi gegar otak, menyebabkan
literatur saat ini sulit untuk diinterpretasikan ke aplikasi klinis. Lalu, tidak
semua pasien memiliki gejala gegar otak, sehingga menciptakan sub
kelompok pasien di mana temuan umum tidak berlaku. Alih-alih
mengelompokkan pasien dengan kriteria diagnostik yang belum diterima
secara universal di bidang ini, kami menyarankan bahwa pendekatan
yang lebih baik dalam menemukan biomarker gegar otak adalah mungkin
dengan menghubungkan pola ekspresi biomarker dengan gejala
neurokognitif umum atau khusus (di sini disebut sebagai
symptophenotypes). Setelah TBI, gangguan perhatian, disfungsi memori
kerja, defisit memori deklaratif, dan perubahan kecepatan pemrosesan
secara rutin terlihat setelah berbagai macam cedera TBI dan dapat
dianggap sebagai symptophenotypes umum. Sebaliknya, kombinasi dari
gejala seperti sosial perilaku yang tidak pantas, epilepsi, dan kesulitan
berbahasa hanya dapat terjadi setelah TBI jenis tertentu (misalnya cedera
penetrasi otak) dan dianggap sebagai symptophenotypes khusus.

Oleh karena itu, serangkaian gejala kompleks, seperti PCS, dapat


dipecah menjadi beberapa gejala tersendiri yang terkait dengan biomarker.
Karena faktor non cedera (misalnya gangguan mood sebelumnya,
demografi, isu-isu sosial) dapat mempengaruhi keparahan gejala tertentu,
mereka dapat mempersulit penemuan biomarker symptophenotype. Jika
populasi pasien yang cukup besar memiliki gejala tertentu (misalnya
disfungsi memori kerja), pengaruh faktor non cedera ini bisa diminimalisasi.
Strategi ini memiliki potensi untuk memisahkan pasien gegar otak yang
menunjukkan berbagai gejala menjadi kelompok-kelompok homogen yang
lebih mudah diinterpretasikan.

Identifikasi biomarker untuk symptophenotypes tertentu lebih


prediktif terhadap lokasi cedera otak, gejala yang muncul, dan tatalaksana
tepat setelah gegar otak. Dengan mencari lokasi cedera otak secara
neuroanatomikal, penilaian gerakan mata pasien mTBI dan PCS dapat
mengungkapkan bahwa gejala gangguan kognitif pasien dengan PCS
terkait dengan area otak tertentu yang juga bertanggung jawab terhadap
defisit okulomotor. Mendemonstrasikan bahwa ada hubungan antara
biomarker dan gejala spesifik, S100B ditemukan terkait dengan gejala
mual setelah mTBI. Dengan demikian, pada saat fase akut,
symptophenotypes dapat mengidentifikasi pasien mana yang gejalanya
kemungkinan akan berlanjut, hilang, atau berubah menjadi gejala lain
yang terkait. Lalu, marker tersebut jika dikombinasikan dengan penilaian
neuropsikologis dan klinis dapat membantu studi klinis untuk memberikan
penilaian kuantitatif mengenai pengobatan eksperimental untuk
mengurangi defisit neurokognitif tertentu.

Dalam genetika, strategi analog digunakan untuk menghubungkan


gejala dan polimorfisme genetik. Terutama pada penyakit psikiatri, istilah
endophenotype digunakan untuk membagi gejala perilaku menjadi fenotip
yang lebih stabil dengan koneksi genetik yang jelas. Misalnya, PTSD
adalah penyakit kompleks yang terdiri dari sekitar 17 gejala yang terbagi
menjadi tiga kluster. Endophenotypes PTSD dapat mencakup respon
terkejut yang berlebihan, perubahan aktivitas otonom seperti denyut
jantung atau konduktansi kulit, atau disregulasi hypothalamic-pituitary-
adrenal (HPA) axis. Dengan demikian, mirip dengan PTSD, PCS dapat
dipecah menjadi gejala spesifik yang dapat digunakan sebagai
endophenotypes jika hubungan genetiknya telah dipastikan.

Tabel 1 mencantumkan sejumlah defisit neurologis, kognitif, dan


perilaku yang umumnya termasuk bagian dari patofisiologi TBI dan
polimorfisme genetik yang dikaitkan dengan kondisi ini pada penyakit otak
lainnya. Tabel 1 menunjukkan bahwa polimorfisme genetik pada lebih dari
satu gen telah ditemukan dapat mempengaruhi gejala tertentu. Kemudian,
banyak gejala dapat dikaitkan dengan satu polimorfisme (misalnya,
polimorfisme G ke A pada kodon 158 dari COMT mempengaruhi fungsi
eksekutif, inhibisi respon, kerja memori, dan agresi). Pada gegar otak,
tidak setiap symptophenotype berasal dari polimorfisme, tetapi ketika ada
polimorfisme, gejala yang terkait kemungkinan akan muncul. Jika
penelitian di masa depan dapat menghubungkan hal ini atau polimorfisme
lain dengan gejala spesifik pasca gegar otak, mereka akan berguna dalam
penetapan endophenotypes untuk gegar otak.

Biomarker untuk memprediksi hasil akhir

Selain gangguan memori, cedera otak dikaitkan dengan


peningkatan angka depresi, gangguan tidur, perubahan mood, perilaku
impulsif, dan ketidakmampuan untuk melupakan kenangan menakutkan.
Masalah memori dan perilaku tersebut dapat mengganggu pemulihan dan
rehabilitasi pasca TBI. Identifikasi biomarker yang dapat digunakan untuk
memprediksi hasil akhir klinis ini akan sangat berharga untuk
mengidentifikasi pasien mana yang mungkin diuntungkan oleh regimen
rehabilitasi tertentu atau untuk informasi dan konseling anggota keluarga
mengenai prognosisnya.

Beberapa studi menghubungkan biomarker dengan hasil akhir,


terutama pada pasien PCS dengan gejala persisten. Satu studi proton
MRS menemukan perubahan metabolik setelah gegar otak yang bertahan
sampai hari 30 setelah cedera meskipun pernyataan pasien adalah telah
terjadi resolusi gejala antara hari ke 3 dan 15, membuktikan bahwa
biomarker lebih sensitif dibandingkan laporan pasien. Laporan lain
menggunakan DTI untuk membedakan hasil akhir baik pasien (mTBI) dari
hasil akhir buruk (PCS) dengan melihat perubahan difusi dalam traktus
asosiasi panjang white matter. Analisis regresi logistik mengungkapkan
hubungan signifikan antara kadar S100B awal dan kecacatan jangka
panjang. Lima dan rekan-rekannya melaporkan bahwa kadar S100B
serum awal yang tinggi tidak berkorelasi dengan
penurunan kualitas hidup, kecemasan, dan depresi saat dites 18 bulan
pasca cedera.

Ketika kadar c-Tau dievaluasi karena kemampuan mereka untuk


memprediksi PCS, ditemukan bahwa pasien mTBI dengan symptomology
jangka panjang tidak memiliki kadar c-Tau awal yang lebih tinggi daripada
pasien yang tidak mengalami PCS. Konsisten dengan ini, ulasan dari 11
studi prospektif mengungkapkan bahwa S100B, NSE, atau c-Tau secara
konsisten tidak mampu memprediksi PCS pada pasien dengan mTBI.
Dengan demikian, penelitian lanjutan diperlukan untuk mengidentifikasi
biomarker yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan
gegar otak yang beresiko mengalami gejala jangka panjang.

Biomarker untuk gegar otak berulang dan kembali bekerja

Mendapatkan riwayat cedera lengkap sangat penting ketika


memeriksa pasien gegar otak, karena cedera kumulatif dapat memiliki
konsekuensi berbahaya. Jarak waktu antar gegar otak, durasi gejala, dan
jenis cedera merupakan faktor penting. Meskipun beberapa studi
melaporkan tidak ada kesempatan yang lebih besar untuk mengalami
cedera berulang setelah gegar otak, studi lain melaporkan ada
peningkatan kejadian tiga kali lipat setelah gegar otak tunggal pada
pemain di satu musim tertentu dibandingkan dengan pemain sehat - dan
peningkatan tiga kali lipat setelah tiga kali atau lebih gegar otak dalam
jangka waktu 7 tahun. Maka, ada ketertarikan signifikan untuk
menentukan diagnosis dan manajemen gegar otak yang terkait olahraga,
terutama berkenaan dengan kembali bekerja/bermain.

Bukti yang ada menunjukkan bahwa atlet muda lebih rentan gegar
otak daripada atlet tua, butuh waktu yang lebih lama untuk pulih, dan
mengalami defisit neurokognitif signifikan. Karena efek kumulatif ini,
diduga bahwa otak memiliki periode kerentanan di mana tabrakan kedua
(atau ketiga) memperparah patologi yang sedang berlangsung (misalnya
second impact syndrome atau ensefalopati traumatik kronis). Maka,
apresiasi patologi yang mendasari dan identifikasi marker yang dapat
digunakan untuk menggambarkan periode kerentanan ini diperlukan untuk
meminimalisasi kemungkinan kecacatan jangka panjang yang disebabkan
oleh cedera kepala berulang.
Tiga patologi utama telah ditemukan ada pada gegar otak berulang:
second impact syndrome (SIS), pemulihan PCS berkepanjangan, dan
ensefalopati traumatik kronis (CTE). SIS penuh kontroversi karena ia
terjadi ketika ada cedera kepala kedua saat masih memiliki gejala dari
cedera pertama. SIS hampir secara eksklusif mempengaruhi atlet usia
kurang dari 20 tahun dan memiliki angka kematian 12-50% dan angka
morbiditas yang mendekati 100%. SIS diduga disebabkan oleh hilangnya
autoregulasi otak dengan cepat yang menyebabkan edema serebri masif.
Atlet dengan riwayat gegar otak juga memiliki gejala pasca gegar otak
yang lebih lama pemulihannya. CTE pertama kali dikenali pada petinju,
disebut ''demensia pugilistica,'' dan sekarang juga tampak pada atlet
olahraga kontak lain. CTE diduga diakibatkan oleh mTBI berulang pada
area vital dari otak yang mengakibatkan disfungsi memori, masalah
keseimbangan, perubahan perilaku, dan kehilangan kecerdasan. Gejala
biasanya muncul beberapa tahun setelah cedera dengan gambaran
neurofibrillary tangles seperti yang terlihat di pasien Alzheimer.

Peneliti menduga bahwa kombinasi gangguan ionik seluler,


penurunan CBF, dan disfungsi metabolisme glukosa menimbulkan cedera
otak yang lebih parah setelah gegar otak berulang. Model eksperimental
telah menunjukkan bahwa setelah satu gegar otak, tingkat metabolisme
glukosa serebral lokal meningkat dalam 30 menit pertama, tetapi diikuti
hipometabolisme setelah periode waktu lama. Cedera tambahan selama
periode hipometabolisme dapat menimbulkan kerusakan otak yang lebih
parah.

NAA, turunan dari aspartat, ada dalam kadar tinggi di otak, dan
meskipun fungsinya belum sepenuhnya jelas, ia dihubungkan dengan
perubahan fungsi mitokondria dan metabolisme ATP. Meski NAA telah
terbukti menurun setelah TBI dengan MRS, Maugans dan rekan-rekannya
tidak menemukan perubahan atau perubahan yang berhubungan dengan
kelompok yang signifikan pada NAA atau rasio NAA dan kreatinin (Cr),
atau korelasi dengan uji neurokognitif pada anak-anak dengan gegar otak
yang berhubungan dengan olahraga dibandingkan dengan kontrol.
Sebaliknya, penelitian terbaru untuk mengetahui perubahan metabolisme
menggunakan MRS pada atlet tua menunjukkan bahwa rasio NAA:Cr
pada pasien cedera berkurang sebesar 18,5% pada 3 hari pasca gegar
otak dan kembali ke normal setelah 30 hari. Atlet yang mengalami gegar
otak berulang dalam waktu 3 sampai 15 hari dari cedera pertama
mengalami penurunan awal rasio NAA:Cr yang serupa, tetapi perubahan
ini tidak menjadi normal hingga 45 hari pasca cedera. Penurunan
berkelanjutan ini terkait dengan gejala gegar otak yang menjadi lebih
parah, menunjukkan bahwa rasio NAA:Cr otak mungkin merupakan
biomarker yang baik untuk menentukan kapan bisa kembali bermain.
Studi lanjutan untuk meneliti NAA dengan ukuran sampel yang lebih besar
akan membantu menilai biomarker ini dan memahami etiologi gegar otak
berulang.

Ketahanan terhadap PCS dan peran polimorfisme genetik dan epigenom

Saat ini, tidaklah jelas mengapa peristiwa traumatis yang sama


dapat menyebabkandekompensasi neurobehavioral dramatis pada
beberapa orang, tetapi tidak pada orang lainnya. Penelitian saat ini mulai
mengindikasikan bahwa interaksi antara perbedaan yang tipis pada gen
dan / atau lingkungan dapat secara bersama-sama mengubah
perkembangan otak dan memberi kecenderungan menuju kerentanan
atau ketahanan terhadap peristiwa traumatis.

Variasi genetik dapat mendasari perbedaan perkembangan yang


memberi kerentanan dan / atau ketahanan terhadap PCS. Sebagai contoh,
sebuah studi pada 4042 veteran Vietnam kembar menunjukkan bahwa
sekitar sepertiga dari variasi gejala PTSD terkait dengan pengaruh genetik
setelah mengontrol paparan terhadap medan perang. Studi kembar juga
telah menunjukkan bahwa penurunan volume hipokampus mungkin
merupakan faktor kerentanan terhadap PTSD setelah peristiwa traumatis
yang diturunkan dan sejak lahir sudah ada. Kesimpulan serupa juga
didapat dari penurunan volume grey matter di pregenual anterior cingulate
cortex. Polimorfisme Val(66)Met open reading frame pada gen faktor
neurotropik yang diturunkan dari otak terbukti mempengaruhi risiko
munculnya depresi pada orang yang mempunyai peristiwa penuh stres
atau trauma pada masa kecilnya. Demikian juga , beberapa polimorfisme
nukleotida tunggal dalam gen reseptor GABAa2 (GABRA2) terbukti
prediktif terhadap munculnya PTSD saat dewasa setelah trauma masa
kecil, lagi-lagi mendukung interaksi antara faktor genetik dan lingkungan.
Polimorfisme gen apolipoprotein E (ApoE) mendapat perhatian sains dan
masyarakat yang besar karena hubungan mereka dengan risiko penyakit
Alzheimer. Studi menunjukkan bahwa varian ini juga mungkin memainkan
peran dalam kemunculan tanda dan gejala CTE. Kemudian, isoform
ApoE4 dikaitkan dengan peningkatan deposit amyloid ß peptides di otak
pasien TBI dan mempengaruhi fungsi memori setelah TBI. Selain itu,
polimorfisme genetik memiliki kemampuan untuk mempengaruhi
pemulihan perilaku dan pengobatan rehabilitatif. Oleh karena itu,
polimorfisme genetik perlu dipertimbangkan ketika menentukan program
rehabilitasi individu.

Selain variasi genetik polimorfik, lingkungan dapat mempengaruhi


perkembangan dan fungsi otak dengan mengubah ekspresi gen melalui
mekanisme epigenetik. Modifikasi epigenetik adalah perubahan yang
diturunkan pada ekspresi gen atau fenotip seluler yang disebabkan oleh
mekanisme selain perubahan sequence DNA primer yang mendasari.
Mekanisme ini termasuk modifikasi (misalnya asetilasi atau metilasi) dari
DNA dan histon serta ekspresi RNA non koding. Modifikasi epigenetik
yang paling baik dimengerti adalah metilasi DNA, yang biasanya terjadi
pada posisi C5 dari CpG dinucleotide repeats (atau CpG islands).
Meskipun metilasi yang spesifik promotor berkorelasi dengan silencing
gen, laporan terbaru menunjukkan bahwa metilasi sequence koding
berkorelasi dengan peningkatan ekspresi gen.
Selain metilasi DNA, beberapa modifikasi kovalen protein histon
seperti asetilasi, metilasi, fosforilasi, ubiquitination, dan sumoylation telah
terbukti mempengaruhi ekspresi gen tertentu. Perubahan ini spesifik
terhadap periode perkembangan penting tertentu, stabil, kuat, spesifik
lokasi, dan dapat diturunkan. Tak seperti genom, epigenom bersifat
dinamis dan dapat berubah untuk merespon berbagai faktor lingkungan
seperti stres, TBI, obat, dan interaksi sosial. Dengan demikian, hubungan
antara regulasi ekspresi gen epigenetik dan munculnya symptomology
berkepanjangan setelah mTBI makin banyak diteliti. Identifikasi marker
yang dapat digunakan untuk menentukan kerentanan seseorang akan
sangat berguna untuk memastikan bahwa orang yang beresiko menerima
terapi / intervensi yang sesuai untuk meminimalisasi dampak cedera.

Kesimpulan

Diagnosis mTBI saat ini terutama didasarkan pada yang gejala


dilaporkan pasien sendiri, yang dapat dipengaruhi oleh motivasi dan / atau
ketidakmampuan pasien untuk merasakan disfungsi ringan atau
perubahan kesadaran. Lalu, definisi mTBI yang tidak konsisten dan sering
mengalami pergeseran menyebabkan praktek diagnostik yang
menciptakan kelompok pasien heterogen yang, pada akhirnya,
menyebabkan kurangnya atau bertentangannya temuan studi yang ada.
Oleh karena itu, diagnosis yang tepat bisa didapat dari indikator objektif
status penyakit, yang ditemukan paling baik dengan penelitian yang
menggunakan kriteria inklusi standar yang disepakati di bidang ini.
Penelitian mengenai mTBI / pasien gegar otak yang dikelompokkan
berdasarkan symptophenotypes dapat membantu identifikasi biomarker
yang unik yang terkait dengan gejala pasca gegar otak. Setelah
diidentifikasi dan divalidasi, marker ini dapat digunakan sebagai marker
alternatif untuk memprediksi gejala yan akan timbul. Tabel 2 merangkum
biomarker mTBI potensial dalam artikel ini. Selain itu, biomarker
symptophenotype akan berguna dalam studi klinis mengenai efektivitas
dari obat yang berbasis mekanisme dan cenderung lebih sensitif dalam
menentukan nilai terapeutik mereka daripada skala hasil akhir yang saat
ini digunakan. Pemeriksaan detail mengenai perjalanan waktu biomarker
(mTBI dan symptophenotype) dan hubungan mereka dengan hasil akhir
setelah gegar otak berulang dapat membantu menentukan periode
kerentanan dan menetapkan pedoman kapan bisa kembali bermain atau
bekerja. Terakhir, biomarker ini dapat memprediksi pasien mana yang
kuat dan yang dirasa akan mengalami konsekuensi neurologis, kognitif,
dan perilaku berkepanjangan dari mTBI.

Anda mungkin juga menyukai