Enuresis
Enuresis
ENURESIS
Penyaji:
DIPPOS THEOFILUS H.
NIM. 110100096
Supervisor:
dr. Sri Sofyani, M.Ked (Ped), Sp.A(K)
dr. Lily Rahmawati, M.Ked (Ped), Sp.A IBCLC
dr. Monalisa Elisabeth, M.Ked (Ped), Sp.A
dr. Ika Citra Dewi Tanjung, M.Ked (Ped), Sp.A
Enuresis atau dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan istilah “mengompol”
merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada anak. Keadaan ini dapat menimbulkan
masalah, baik bagi anak, orangtua, keluarga, maupun dokter anak yang menanganinya.
Terhadap anak, enuresis dapat mempengaruhi kehidupan seperti misalnya timbul rasa kurang
percaya diri, merusak pergaulan, yang semuanya dapat berpengaruh terhadap perkembangan
sosial anak sehingga memerlukan pertolongan dokter, terutama pada anak yang sudah
mengalami tekanan mental dan gangguang perkembangan kepribadian1,2. Bagi orangtua dan
keluarganya, gejala ini dapat menimbulkan frustrasi dan kecemasan.
Kontrol kandung kemih yang normal dapat dicapai dengan bertahap dan dipengaruhi
oleh perkembangan neuromuskular dan kognitif, faktor sosioekonomi, latihan toilet, dan
kemungkinan faktor genetik. Kesulitan pada salah satu atau beberapa bidang tersebut dapat
memperlambat kontinesia urin. Walaupun suatu penyebab organik mengeluarkan diagnosis
enuresis, koreksi defek anatomis atau menyembuhkan infeksi tidak selalu menyembuhkan
enuresis, yang menyatakan bahwa penyebabnya mungkin tidak berhubungan dengan kelainan
organik pada beberapa kasus.3
Prevalensi enuresis menurun dengan meningkatnya usia. Jadi, 82 persen anak berusia
2 tahun, 49 persen anak berusia 3 tahun, 36 persen anak berusia 4 tahun, dan 7 persen anak
berusia 57 tahun ahun telah di laporkan mengalami enuretik secara teratur. Tetapi,
prevalensi adalah bervariasi, tergantung pada populasi yang diteliti dan toleransi untuk gejala
dalam berbagai kelompok kultur dan sosiekonomi.3
Untuk membuat diagnosis, anak harus menunjukkan usia perkembangan atau usia
kronologis sekurangnya 5 tahun. Menurut DSM-IV-TR, untuk dapat memenuhi kriteria
diagnosis, perilaku harus terjadi dua kali minggu selama periode sekurangnya tiga bulan atau
harus menyebabkan penderitaan dan gangguan dalam fungsi. Enuresis didiagnosis hanya jika
merupakan suatu perilaku, bukan karena kondisi medis.3
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Enuresis berasal dari kata Yunani (Enourein) yang berarti pengeluaran air kemih
yang tidak disadari, dimana hal ini terjadi pada anak yang seharusnya sudah mampu
mengendalikan proses berkemih secara normal1,2 . Enuresis seperti yang didefinisikan
oleh DSM-IV-TR merupakan mengeluarkan urin berulang kali di tempat tidur atau
pakaian minimal 2 kali dalam seminggu sekurangnya dalam 3 bulan berturut-turut pada
anak di bawah 5 tahun.3,4
B. ETIOLOGI
C. JENIS-JENIS ENURESIS
Ada dua jenis enuresis yang terjadi pada anak, yaitu enuresis primer dan sekunder
yang diuraikan sebagai berikut5:
1. Enuresis Primer
Enuresis primer terjadi pada anak yang sejak lahir hingga berusia lima atau enam
tahun yang masih mengompol5. Faktor-faktor penyebabnya yaitu:
1) Faktor genetik
Dari hasil penelitian terlihat bahwa sebanyak 77% anak mengalami enuresis,
bila kedua orang tuanya mempunyai riwayat enuresis. 44% anak mengalami enuresis,
bila salah satu orang tuanya enuresis dan 15 %. anak enuresis, bila kedua orang tua
sama sekali tidak enuresis1.
5) Keterlambatan perkembangan
Keterlambatan dalam perkembangan, yang menyebabkan anak menjadi
enuresis, bukan disebabkan gangguan pematangan sistem neurofisiologi, tetapi
disebabkan kurangnya latihan pola buang air kemih yang baik (toilet training). Hal ini
sering terjadi pada golongan masyarakat dengan sosio ekonomi yang buruk, jumlah
keluarga yang besar, broken home, dan stres lingkungan6.
6) Kelainan anatomi, misalnya kandung kemih yang kecil5.
2. Enuresis Sekunder
1) Faktor psikologis
Biasanya berupa pemisahan dari keluarga, kematian orang tua, kelahiran
saudara kandung (adik), pindah rumah, dan pertengkaran. Enuresis karena stress,
bersifat kambuhan dan sementara.
Untuk membuat diagnosis, anak harus menunjukkan usia perkembangan atau usia
kronologis sekurangnya 5 tahun. Menurut DSM-IV-TR, untuk dapat memenuhi kriteria
diagnosis, perilaku harus terjadi dua kali minggu selama periode sekurangnya tiga bulan atau
harus menyebabkan penderitaan dan gangguan dalam fungsi. Enuresis didiagnosis hanya jika
merupakan suatu perilaku, bukan karena kondisi medis. Anak dengan enuresis berisiko tinggi
ADHD dibandingkan dengan populasi umum. Anak-anak tersebut juga dapat memiliki
komorbid berupa enkopresis. DSM-IV-TR membagi gangguan menjadi tiga tipe; [1]
nokturnal saja, [2] diurnal saja, [3] nokturnal dan diurnal (Tabel 2.1.).3
A Mengeluarkan urin berulang kali di tempat tidur atau pakaian (baik tidak
disadari atau disengaja)
B Perilaku bermakna secara klinis yang dimanifestasikan oleh frekuensi 2 kali
seminggu selama sekurangnya 3 bulan berturut-turut atau adanya penderitaan
yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, akademik
(pekerjaan), atau fungsi penting lain.
C Usia kronologis kurang dari 5 tahun (atau tingkat perkembangan ekuivalen)
D Perilaku bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (seperti diuretik)
atau suatu kondisi medis umum (seperti diabetes, spina bifida, atau gangguan
kejang)
Sebutkan tipe:
Hanya nokturnal
Hanya diurnal
Nokturnal dan diurnal
Tabel 2.2. ICD-10 Kriteria Diagnosis untuk Non-Organik Enuresis3
E. DIAGNOSIS BANDING
Penyebab organik yang mungkin harus disingkarkan. Ciri organik paling sering
ditemukan pada anak-anak dengan enuresis nokturnal maupun diurnal yang dikombinassikan
dengan frekuensi dan urgensi urin. Ciri organik adalah (1) patologi genitourinarius–
struktural, neurologis, dan infeksi–seperti uropati obstruktif, spina bifida okulta, dan sistitis;
(2) gangguan organik lain yang dapat menyebabkan poliuria dan enuresis, seperti diabetes
melitus, dan diabetes insipidus; (3) gangguan kesadaran dan tidur, seperti kejang, intoksikasi,
dan gangguan tidur sambil jalan, sejauh mana pasien miksi; dan (4) efek samping terapi
dengan antipsikotik–sebagai contoh, thioricazine (Mellaril).3
F. TERAPI
Karena tidak ada penyebab enuresis yang dapat dikenali dan karena gangguan
cenderung menghilang dengan spontan, kendatipun tidak diobati, beberapa keberhasilan telah
dicapai dengan sejumlah metode.
1. Latihan Toilet
Latihan toilet yang tepat dengan dorongan dari orangtua harus diusahakan,
terutama pada enuresis dimana gangguan tidak didahului oleh periode kontinensia
urin. Jika latihan toilet belum pernah dicoba, orangtua dan pasien harus dibantu dalam
melakukannya. Catatan dapat menolong dalam menentukan keadaan dasar dan
mengikuti perkembangan anak dan catatan sendiri dapat menjadi pendorong. Kartu
bintang mungkin cukup menolong. Teknik lain yang berguna adalah membatasi
asupan cairan sebelum tidur dan latihan pergi ke toilet di malam hari bagi anak-anak.3
2. Terapi Perilaku
Pembiasaan klasik dengan perangkat bel (atau buzzer) dan pelapis biasanya
merupakan terapi yang paling efektif untuk enuresis. Kekeringan dihasilkan pada
lebih dari 50 persen kasus. Terapi adalah sama efektifnya pada anak-anak dengan dan
tanpa gangguan mental penyerta, dan tidak terdapat bukti substitusi gejala. Kesulitan
dapat berupa ketidakpatuhan anak dan keluarga, pemakaian perangkat yang tidak
tepat, dan relaps.3,9
3. Psikoterapi
4. Farmakoterapi
Obat harus jarang digunakan untuk mengobati enuresis dan hanya sebagai
usaha terakhir pada kasus yang tidak dapat disembuhkan yang menyebabkan kesulitan
emosional serius bagi penderitanya. Imipramine (Tofranil) bermanfaat dan telah
diizinkan untuk digunakan dalam mengobati enuresis masa anak-anak, terutama atas
dasar jangka pendek. Awalnya, sampai 30 persen pasien enuretik mulai menjadi
kering, dan sampai 85 persen adalah lebih jarang basah dibandingkan sebelum terapi.
Tetapi, keberhasilan jarang bertahan lama. Toleransi berkembang setelah enam
minggu terapi. Jika obat dihentikan, relaps dan enuresis dengan frekuensi sebelumnya
biasanya terjadi dalam beberapa bulan. Masalah yang serius adalah efek merugikan
dari obat, yang termasuk kardiotoksisitas.3,8
Enuresis biasanya berhenti sendiri. Anak akhirnya dapat tetap kering tanpa
sekuel psikiatrik. Sebagian besar anak enuretik merasakan gejalanya ego distonik dan
mengalami peningkatan harga diri dan perbaikan keyakinan sosial jika mereka
menjadi kontinen.3
Kesulitan emosional dan sosial yang bermakna pada anak enuretik biasanya
adalah citra diri yang buruk, rendah diri, rasa malu sosial dan pengekangan, dan
konflik dalam keluarga.3
KESIMPULAN