Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah Swt karena berkat ridho dan
rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “KLB Difteri” tepat
pada waktunya.
Makalah ini dibuat berdasarkan beberapa sumber yang bersangkutan dengan
materi. Dalam penyusunan makalah ini, kami banyak menemukan berbagai hambatan
dan kendala karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang kami punya. Kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna baik secara penyajian ataupun
kelengkapannya. Oleh karena itu, kami siap menerima segala kritik dan saran demi
sempurnanya makalah-makalah yang lainnya.
Tak lupa, saya juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak di bidang kedokteran dan
bidang kesehatan pada umumnya.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Lampung, 20 - Januari - 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
A. Studi Kasus .................................................................................................. 3
B. Difinisi Difteri .............................................................................................. 4
C. Bakteri Penyakit ........................................................................................... 6
D. Epidemiologi ................................................................................................ 7
E. Patogenesis ................................................................................................... 8
F. Gejala Penyakit Difteri ................................................................................. 9
G. Penularan Penyakit Difteri ........................................................................... 9
H. Komplikasi Penyakit Difteri ....................................................................... 11
I. Diagnosa pemeriksaan ............................................................................... 12
J. Perawatan dan Pengobatan ......................................................................... 13
K. Pencegahan ................................................................................................. 14
L. Determinan ................................................................................................. 14
BAB III ................................................................................................................. 16
PENUTUP ............................................................................................................. 16
Kesimpulan ........................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC,
Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu
penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Diperkirakan 1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah
akibat PD3I.
Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I). Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa
dengan kuman penyebabnya. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh
kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan
kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri
digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun
dengan drastis.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan
10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum
dari kematian bayi dan anak-anak muda. Penyakit ini juga dijmpai pada daerah
padat penduduk dingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri
sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan
buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit
difteri jarang dijumpai. Vaksi imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk
meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut.
Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksi difteri akan lebih rentan terhadap
penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, adapun rumusan masalah dari
makalah ini, yaitu: :
1. Apa pengertian penyakit difteri?
2. Bakteri apa yang menyerang penyakit difteri?
3. Bagaimana Patogenesis penyakit difteri?
4. Apa saja Gejala penyakit difteri?
5. Bagaimana penularan penyakit difteri?
6. Bagaimana Diagnosa pemeriksaan penyakit difteri?
7. Bagaimana Pengobatan penyakit difteri?
8. Bagaimana Pencegahan penyakit difteri?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan maklah ini adalah :
1. Mengetahui apakah difteri itu.
2. Mengetahui bakteri penyebab difteri.
3. Mengetahui patogenesis penyakit difteri.
4. Mengetahui gejala penyakit difteri.
5. Mengetahui cara penularan difteri.
6. Mengetahui diagnosa pemeriksaan penyakit difteri.
7. Mengetahui cara mengobati difteri.
8. Mengetahui cara mencegah difteri.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Studi Kasus
Dunia kesehatan masyarakat Indonesia dikejutkan oleh adanya penyebaran
penyakit difteri di Provinsi Jawa Timur (Jatim). Sebanyak 11 anak meninggal
dunia dari 333 kasus difteri yang muncul selama tahun 2011. Karena itu,
pemerintah Provinsi Jatim menetapkan KLB (Kejadian Luar Biasa) penyakit
difteri sejak Jumat, 7 Oktober 2011 dan mulai berlaku 10 Oktober 2011.
Penetapan status KLB dilakukan mengingat kasus ini telah tersebar di hampir
seluruh kabupaten/kota se-Jawa Timur.
Kasus difteri telah menjangkiti 34 kota/kabupaten, dan hanya empat
daerah yang belum terjangkit seperti Ngawi, Pacitan, Trenggalek, dan Magetan.
Kasus difteri yang paling parah menyerang Surabaya, Bangkalan, dan Mojokerto.
Penularan penyakit difteri sudah mulai meningkat sejak 2008. Pada tahun 2010, di
wilayah Jatim memang tinggi angka kesakitan akibat penyakit difteri sebanyak
304 kasus pada 32 daerah dan mengakibatkan 21 anak meninggal. Sedangkan
tahun 2009, terdapat 140 kasus pada 24 daerah di Jatim dengan korban 8 orang
meninggal dunia. Peristiwa KLB difteri yang terjadi di Jatim memberikan
gambaran bahwa program imunisasi harus mendapat perhatian khusus.
Sejak Januari hingga Oktober 2011, korban penyakit difteri mencapai 328
orang. Pemprov Jatim-pun melakukan vaksinasi massal yang dimulai serentak
(10/10/2011) pada 11 kabupaten/kota yaitu Kota Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan,
Mojokerto, Bangkalan, Sampang, Sumenep, Pamekasan, Blitar, Gresik, dan
Banyuwangi dengan anggaran Rp10 miliar dari Rp13 miliar yang disediakan.
Kesebelas daerah itu merupakan daerah dengan jumlah persebaran difteri terbesar.
Dari 651 desa, 483 desa tanggungjawab Pemprov Jatim, 168 desa tanggungjawab
kabupaten kota. Pemprov menambahkan dana sebanyak Rp10 miliar yang
disalurkan melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim
(beritajatim.com).

3
Kondisi di Kota Surabaya sendiri sebagai daerah dengan tingkat migrasi
yang tinggi memiliki tingkat risiko penularan yang tinggi pula. Surabaya masuk
dalam wilayah yang mendapat perhatian dalam kasus penularan penyakit difteri.
Penelitian di lapangan, penularan penyakit ini lebih banyak ditemukan pada bayi
dan anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi. Imunisasi menjadi langkah
penting dalam mencegah penularan penyakit ini.
Temuan dilapangan, penyakit difteri yang menyerang anak-anak di Jatim
baik yang ditemukan tanpa gejala maupun sampai fatal. Kondisi yang sangat fatal,
penderita mengalami sesak nafas dan tidak bisa bernafas. Penderita yang
ditemukan kebanyakan anak-anak, dari usia 4 tahun sampai 12 tahun. Hal ini
disebabkan sistem kekebalan tubuh mereka belum terbentuk sempurna. Penderita
juga bisa terserang dengan gejala mata berdarah dan menyerang kulit. Untuk
menangani kasus difteri ini, Pemprov Jatim telah menyediakan sebanyak 40 ribu
vaksin dan telah disalurkan kepada seluruh puskesmas dan posyandu yang ada di
Jawa Timur.

B. Difinisi Difteri
Difteri adalah penyakit akibat terjangkit bakteri yang bersumber dari
Corynebacterium diphtheriae. Difteri ialah penyakit yang mengerikan di mana
pada masa lalu telah menyebabkan ribuan kematian, dan masih mewabah di
daerah-daerah dunia yang belum berkembang. Orang yang selamat dari penyakit
ini menderita kelumpuhan otot-otot tertentu dan kerusakan permanen pada
jantung dan ginjal.
Anak-anak yang berumur satu sampai sepuluh tahun sangat peka terhadap
penyakit ini.

Gambar : Infeksi difteri

4
Difteri adalah infeksi bakteri yang bersumber dari Corynebacterium
diphtheriae, yang biasanya mempengaruhi selaput lendir dan tenggorokan. Difteri
umumnya menyebabkan sakit tenggorokan, demam, kelenjar bengkak, dan lemas.
Dalam tahap lanjut, difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, ginjal dan
sistem saraf. Kondisi seperti itu pada akhirnya bisa berakibat sangat fatal dan
berujung pada kematian.
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
 Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung
dengan gejala hanya nyeri menelan.
 Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding
belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
 Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan
anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang
dirasakan pasien :
 Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan ingus
yang bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus difteri. Bila
tidak diobati akan berlangsung mingguan dan merupakan sumber utama
penularan.
 Difteri faring (pharingeal diphtheriae) dan tonsil dengan gejala radang akut
tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat,
tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada
difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor
di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
 Difteri laring ( laryngo tracheal diphtheriae ) dengan gejala tidak bias
bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat
celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher.
Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa
penderita akibat gagal nafas.

5
Gambar : Difteri Laring
 Difteri kutaneus (cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa
luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane
diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka
yang terjadi cenderung tidak terasa apa-apa.

C. Bakteri Penyakit
Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri patogen yang menyebabkan
difteri berupa infeksi akut pada saluran pernapasan bagian atas. Ia juga dikenal
sebagai basil Klebs-Löffler, karena ditemukan pada tahun 1884 oleh bakteriolog
Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Löffler (1852-1915).
Klasifikasi ilmiah dari bakteri Corynebacterium diphtheriae adalah :
Kingdom : Bakteri
Filum : Actinobacteria
Kelas : Actinobacteria
Order : Actinomycetales
Keluarga : Corynebacteriaceae
Genus : Corynebacterium
Spesies : Corynebacterium diphtheriae
Kuman difteri berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 um x 0,5-1 um,
tidak berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C.
Diphtheriae bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh
pada suasana aerob.

6
Gambar : Corynebacterium diphteriae
Ada tiga strain C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat
keparahan penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu gravis,
intermedius, dan mitis. Ketiga subspesies sedikit berbeda dalam morfologi koloni
dan sifat-sifat biokimia seperti kemampuan metabolisme nutrisi tertentu.
Perbedaan virulensi dari tiga strain dapat dikaitkan dengan kemampuan relatif
mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan
tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain gravis memiliki waktu generasi (in
vitro) dari 60 menit; strain intermedius memiliki waktu generasi dari sekitar 100
menit, dan mitis memiliki waktu generasi dari sekitar 180 menit.. Dalam
tenggorokan (in vivo), tingkat pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan
organisme untuk menguras pasokan besi lokal lebih cepat dalam menyerang
jaringan.

D. Epidemiologi
Difteri terdapat di seluruh dunia dan sering terdapat dalam bentuk wabah.
Penyakit ini terutama menyerang anak umur 1-9 tahun. Difteri mudah menular
dan menyebar melalui kontak langsung secara droplet. Banyak spesies
Corynebacteria dapat diisolasi dari berbagai tempat seperti tanah, air, darah, dan
kulit manusia. Strain patogenik dari Corynebacteria dapat menginfeksi tanaman,
hewan, atau manusia. Namun hanya manusia yang diketahui sebagai reservoir
penting infeksi penyakit ini. Bakteri ini umumnya ditemukan di daerah beriklim
sedang atau di iklim tropis, tetapi juga dapat ditemukan di bagian lain dunia.

7
E. Patogenesis
Di alam, Corynebacterium diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan,
dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang
membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau kontak dengan
individu yang peka. Bakteri kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit
yang lecet, dan bakteri mulai menghasilkan toksin.
Pembentukan toksin ini secara in vitro terutama bergantung pada kadar
besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi 0,14 μg/ml perbenihan tetapi
benar-benar tertekan pada 0,5 μg/ml. Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya
toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam amino, pH, dan tersedianya
sumber-sumber karbon dan nitrogen yang cocok.
Toksin difteri adalah polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang
dapat mematikan pada dosis 0,1 μg/kg. Bila ikatan disulfida dipecah, molekul
dapat terbagi menjadi 2 fragmen, yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen B
tidak mempunyai aktivitas tersendiri, tetapi diperlukan untuk pemindahan
fragmen A ke dalam sel. Fragmen A menghambat pemanjangan rantai polipeptida
(jika ada NAD) dengan menghentikan aktivitas faktor pemanjangan EF-2. Faktor
ini diperlukan untuk translokasi polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat
donor pada ribosom eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2
dengan mengkatalisis reaksi yang menhasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu
kompleks adenosin difosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek
nekrotik dan neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis
protein yang mendadak.
Patogenisitas Corynebacterium diphtheriae mencakup dua fenomena yang
berbeda, yaitu :
1. Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan
proliferasi bakteri berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme
kepatuhan terhadap difteri C. diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa
jenis pili. Toksin difteri juga mungkin terlibat dalam kolonisasi tenggorokan.
2. Toxigenesis: produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian
sel eukariotik dan jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun

8
toksin bertanggung jawab atas gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi
dari C. diphtheriae tidak dapat dikaitkan dengan toxigenesis saja, sejak fase
invasif mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan. Namun,
belum dipastikan bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam proses
penjajahan karena efek jangka pendek di lokasi kolonisasi.

F. Gejala Penyakit Difteri


Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
1. Panas lebih dari 38 °C.
2. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil.
3. Sakit waktu menelan.
4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena
pembengkakan kelenjar leher.
Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas
yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada
psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih kebau-abuan
disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen)
berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium. Gejala
diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang
diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan
kelenjar getah bening di leher sering terjadi.

G. Penularan Penyakit Difteri


Bakteri C.diphtheriae dapat menyebar melalui tiga rute:
1. Bersin
Ketika orang yang terinfeksi bersin atau batuk, mereka akan melepaskan
uap air yang terkontaminasi dan memungkinkan orang di sekitarnya terpapar
bakteri tersebut.
2. Kontaminasi barang pribadi
Penularan difteri bisa berasal dari barang-barang pribadi seperti gelas yang
belum dicuci.

9
3. Barang rumah tangga
Dalam kasus yang jarang, difteri menyebar melalui barang-barang rumah
tangga yang biasanya dipakai secara bersamaan, seperti handuk atau mainan.
Selain itu, juga dapat terkontaminasi bakteri berbahaya tersebut apabila
menyentuh luka orang yang sudah terinfeksi. Orang yang telah terinfeksi
bakteri difteri dan belum diobati dapat menginfeksi orang nonimmunized
selama enam minggu - bahkan jika mereka tidak menunjukkan gejala apapun.
Sistem penularan penyakit difteri disebabkan oleh kuman, kontak
langsung dengan penderita karena penyebarannya sangat cepat melalui udara,
serta penyerangan yang disebabkan oleh droplet atau percikan ludah dari
penderita kepada orang lain. Pada penderita yang parah harus dibawa ke
rumah sakit dengan isolasi.
Orang yang terinfeksi namun tidak menyadarinya dikenal sebagai
carier (pembawa) difteri. Carrier penyakit difteri biasanya orang dewasa atau
orang tua meski tidak mendapat gejala penyakit difteri namun bisa
menyebarkan kepada keluarga dan lingkungannya, terutama bagi anak-anak.
Karena itu, sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik
sebagai penderita maupun sebagai carier.
Orang-orang yang berada pada risiko tertular difteri meliputi: anak-
anak dan orang dewasa yang tidak mendapatkan imunisasi terbaru; orang
yang hidup dalam kondisi tempat tinggal penuh sesak atau tidak sehat; orang
yang memiliki gangguan sistem kekebalan; siapapun yang bepergian ke
tempat atau daerah endemik difteri. Seseorang dapat terkontaminasi bakteri
berbahaya tersebut apabila menyentuh orang yang sudah terinfeksi.
Orang yang telah terinfeksi bakteri difteri dan belum diobati dapat
menginfeksi orang nonimmunized selama enam minggu - bahkan jika mereka
tidak menunjukkan gejala apapun.
Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita
2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa
sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan
bagian atas. Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah

10
tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh
darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak,
lalu terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan (psedomembrane).
Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini
bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang
memberikan gejala-gejala dan miyocarditis. Penderita yang paling berat
didapatkan pada difteri fauncial dan faringeal.
Adapun orang-orang yang berada pada risiko tertular difteri meliputi:
 Anak-anak dan orang dewasa yang tidak mendapatkan imunisasi terbaru.
 Orang yang hidup dalam kondisi tempat tingal penuh sesak atau tidak
sehat.
 Orang yang memiliki gangguan sistem kekebalan.
 Siapapun yang bepergian ke tempat atau daerah endemik difteri
Difteri jarang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan
Eropa, karena telah mewajibkan imunisasi pada anak-anak selama beberapa
dekade. Namun, difteri masih sering ditemukan pada negara-negara
berkembang di mana tingkat imunisasinya masih rendah seperti halnya yang
saat ini terjadi di Jawa timur.

H. Komplikasi Penyakit Difteri


Jika tidak diobati, difteri dapat menyebabkan:
1. Gangguan pernapasan
C. Diphtheriae dapat menghasilkan racun yang menginfeksi jaringan di
daerah hidung dan tenggorokan. Infeksi tersebut menghasilkan membaran
putih keabu-abuan (psedomembrane) terdiri dari membran sel-sel mati,
bakteri dan zat lainnya. Membran ini dapat menghambat pernapasan.
2. Kerusakan jantung
Toksin (racun) difteri dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak
jaringan lain dalam tubuh Anda, seperti otot jantung, sehingga menyebabkan
komplikasi seperti radang pada otot jantung (miokarditis).

11
Kerusakan jantung akibat miokarditis muncul sebagai kelainan ringan
pada elektrokardiogram yang menyebabkan gagal jantung kongestif dan
kematian mendadak.
3. Kerusakan saraf
Toksin juga dapat menyebabkan kerusakan saraf khususnya pada
tenggorokan, di mana konduksi saraf yang buruk dapat menyebabkan
kesulitan menelan. Bahkan saraf pada lengan dan kaki juga bisa meradang
yang menyebabkan otot menjadi lemah. Jika racun ini merusak otot-otot
kontrol yang digunakan untuk bernapas, maka otot-otot ini dapat menjadi
lumpuh. Kalau sudah seperti itu, maka diperlukan alat bantu napas.
Dengan pengobatan, kebanyakan orang dengan difteri dapat bertahan
dari komplikasi ini, namun pemulihannya akan berjalan lama.

I. Diagnosa pemeriksaan
Diagnosis klinik difteri tidak selalu mudah ditegakkan oleh klinikus-
klinikus dan sering terjadi salah diagnosis. Hal ini terjadi karena strain C.
Diphtheriae baik yang toksigenik maupun nontoksigenik sulit dibedakan, lagipula
spesies Corynebacterium yang lain pun secara morfologik mungkin serupa.
Karena itu bila pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan kuman khas difteri,
maka hasil presumtif adalah: ditemukan kuman-kuman tersangka difteri. Hal ini
menunjukkan pentingnya dilakukan diagnosis laboratorium secara mudah, cepat,
dan dengan hasil yang dipercaya untuk membantu klinikus. Walaipun demikian,
diagnosis laboratorium harus dianggap sebagai penunjang bukan pengganti
diagnosis klinik agar penanganan penyakit dapat cepat dilakukan. Hapusan
tenggorok atau bahan pemeriksaan lainnya harus diambil sebelum pemberian obat
antimikroba, dan harus segera dikirim ke laboratorium.
Pada penyakit difteri ini diagnosis dini sangat penting. Keterlambatan
pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa. Diagnosa harus
ditegakakkan berdasarkan gejala klinik. Test yang digunakan untuk mendeteksi
penyakit Difteri boleh meliputi:

12
 Gram Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk mengidentifikasi
Corynebacterium diphtheriae.
 Untuk melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding otot jantung)
dapat di lakuka dengan electrocardiogram (ECG). Pengambilan smear dari
membran dan bahan dibawah membran, tetapi hasilnya kurang dapat
dipercaya. Pemeriksaan darah dan urine, tetapi tidak spesifik. Pemeriksaan
Shick test bisa dilakukan untuk menentukan status imunitas penderita.
 Diagnosis klinis bakteriologis difteri membutuhkan konfirmasi laboratorium
C.diphtheriae toxigenic atau kultur lesi tenggorokan. Untuk isolasi primer,
berbagai media yang dapat digunakan: Loeffler agar, Mueller-Miller Agar
tellurite, atau agar-agar tellurite Tinsdale.
 Menyusul isolasi awal, C diphtheriae dapat diidentifikasi sebagai mitis,
intermedius, atau biotipe gravis berdasarkan pola fermentasi karbohidrat dan
hemolisis pada agar pelat darah domba. Strain C.diphtheriae ditentukan oleh
secara in vitro dan in vivo.

J. Perawatan dan Pengobatan


Difteri adalah penyakit yang serius. Para ahli di Mayo Clinic, memaparkan,
ada beberapa upaya pengobatan yang dapat dilakukan diantaranya:
1. Pemberian antitoksin: Setelah dokter memastikan diagnosa awal difteri, anak
yang terinfeksi atau orang dewasa harus menerima suatu antitoksin.
Antitoksin itu disuntikkan ke pembuluh darah atau otot untuk menetralkan
toksin difteri yang sudah terkontaminasi dalam tubuh. Sebelum memberikan
antitoksin, dokter mungkin melakukan tes alergi kulit untuk memastikan
bahwa orang yang terinfeksi tidak memiliki alergi terhadap antitoksin. Dokter
awalnya akan memberikan dosis kecil dari antitoksin dan kemudian secara
bertahap meningkatkan dosisnya.
2. Antibiotik: Difteri juga dapat diobati dengan antibiotik, seperti penisilin atau
eritromisin. Antibiotik membantu membunuh bakteri di dalam tubuh dan
membersihkan infeksi. Anak-anak dan orang dewasa yang telah terinfeksi
difteri dianjurkan untuk menjalani perawatan di rumah sakit untuk perawatan.

13
Mereka mungkin akan diisolasi di unit perawatan intensif karena difteri dapat
menyebar dengan mudah ke orang sekitar terutama yang tidak mendapatkan
imunisasi penyakit ini.

K. Pencegahan
Difteri adalah penyakit yang umum pada anak-anak. Penyakit ini tidak
hanya dapat diobati tetapi juga dapat dicegah dengan vaksin. Vaksin difteri
biasanya dikombinasikan dengan vaksin untuk tetanus dan pertusis, yang dikenal
sebagai vaksin difteri, tetanus dan pertusis.
Versi terbaru dari vaksin ini dikenal sebagai vaksin DTaP untuk anak-anak dan
vaksin Tdap untuk remaja dan dewasa. Pemberian vaksinasi sudah dapat
dilakukan saat masih bayi dengan lima tahapan yakni, 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan,
12-18 bulan dan 4-6 tahun.
Vaksin difteri sangat efektif untuk mencegah difteri. Tapi pada beberapa
anak mungkin akan mengalami efek samping seperti demam, rewel, mengantuk
atau nyeri pasca pemberian vaksin. Pemberian vaksin DTaP pada anak jarang
menyebabkan komplikasi serius, seperti reaksi alergi (gatal-gatal atau ruam
berkembang hanya dalam beberapa menit pasca injeksi), kejang atau shock. Untuk
beberapa anak dengan gangguan otak progresif - tidak dapat menerima vaksin
DTaP.
Pencegahan penyebaran penyakit Difteri juga dilakukan dengan
menerapkan pola hidup bersih dan sehat atau PHBS yang harus terus dilakukan
seperti mencuci tangan sebelum makan. Tujuan PHBS salah satunya agar
penyebaran penyakit menular itu bisa ditangkal. Lain lainnya adalah
memperhatikan asupan makanan yang bergizi dan seimbang juga harus terus
dijaga.

L. Determinan
Beberapa kemungkinan faktor yang menyebabkan kejadian difteria
diantaranya :

14
1. Cakupan imunisasi, artinya dimana ada bayi yang kurang bahkan tidak
mendapatkan imunisasi DPT secara lengkap. Berdasarkan penelitian Basuki
Kartono bahwa anak dengan status imunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap
beresiko menderita difteri 46.403 kali lebih besar dari pada anak yang status
imunisasi DPT dan DT lengkap.
2. Kualitas vaksin, artinya pada saat proses pemberian vaksinasi kurang menjaga
Coldcain secara sempurna sehingga mempengaruhi kualitas vaksin.
3. Faktor Lingkungan, artinya lingkungan yang buruk dengan sanitasi yang
rendah dapat menunjang terjadinya penyakit Difteri. Letak rumah yang
berdekatan sangat mudah sekali menyebarkan penyakit difteria bila ada sumber
penularan.
4. Rendahnya tingkat pengetahuan ibu, dimana pengetahuan akan pentingnya
imunisasi sangat rendah dan kurang bisa mengenali secara dini gejala-gejala
penyakit difteria.
5. Akses pelayanan kesehatan yang rendah, dimana hal ini dapat dilihat dari
rendahnya cakupan imunisasi di beberapa daerah tertentu.

15
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil
racun corynebacterium diphtheria, dan lebih sering menyerang anak-anak. Bakteri
ini biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama laring, tonsil, dan faring.
Tetapi tidak jarang racun juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan
kerusakaan saraf dan juga jantung.
Penularan difteri dapat melalui kontak langsung seperti berbicara dengan
penderita, melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan
sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Tetapi sejak diperkenalkan vaksin DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus),
penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-
anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit
tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin akan lebih rentan terhadap
penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

Anda.Com,,2007,Difteriae,http://Medlineplus.com/Difteriae,2007
Biofarma, 2007, Vaksinasi, http:/www.biofarma.com,2007
Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan
Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi
Penyakit),2007, Jakarta
Ditjen P2PL, Depkes RI, Panduan Praktis Surveilens Epidemiologi Penyakit,
2003, Jakarta,
Ditjen P2PL, Depkes RI, Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas, 2005,
Jakarta
Kadun I Nyoman, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, CV
Infomedika, Jakarta
Kartono, 2008, Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di Kabupaten
Tasikmalaya dan Kabupaten Garut, Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional Vol.2 No.5
Profil,2004, Profil Kesehatan ,http:// www.Bank Data/Depkes.go.id/,
KJ,2007.Difteri,http://.WWW.Balita
Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr.Sulianti Saroso, 2007,
Imunisasi,http:/www.info@infeksi.com
Seksi P & SE, 2008, KLB Difteri Jatim, Dinas Kesehatan Propinsi Jawa
Timur,2008
Supriyanto,dkk, 2008, Reaksi Kekebalan Anak Sekolah Terhadap Toksoid
Difteri.http:/www.kalbe.co.id/files/cdk/files/2008
Wijaya Kusuma, 2004, Difteri, Cara Mencegah dan Mengatasinya,
http:/Cyberhelath.com,2004

17

Anda mungkin juga menyukai