Oleh :
Kikok Abidin
NIM. H1H014022
2018
USULAN PENELITIAN
Oleh :
Kikok Abidin
NIM. H1H014022
…………………………………………
NIP. NIP.
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan,
ii
DAFTAR ISI
halaman
I. PENDAHULUAN ............................................................................................1
2.2. Siklus Hidup dan Habitat Udang Windu (Penaeus monodon) ................. 5
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar halaman
iv
DAFTAR TABEL
Tabel halaman
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
hidayahNya, tidak lupa solawat serta salam selalu tercurahkan kepada baginda
sahabatnya, dan semua umatnya yang selalu setia mengikuti tuntutan sunnah
beliau hingga akhir zaman. Laporan ususlan penelitian ini berjudul “Deteksi Dini
dengan melihat kelimpahan dan jenis bakteri Vibrio yang menyerang benur udang
dukungan sehingga proposal usulan penelitian ini telah selesai dengan tepat
waktu. Penulis menyadari bahwa proposal usulan penelitian ini masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
Penyusun
vi
I. PENDAHULUAN
Budidaya udang windu memberikan kontribusi yang besar bagi produksi sektor
produksi udang windu yang telah memberikan devisa yang besar bagi negara, maka
Berbagai kegagalan panen yang terjadi pada tambak udang windu di Indonesia menjadi
fenomena yang sangat merugikan petani tambak. Kegagalan panen biasanya disebabkan
serangan pathogen yang mengakibatkan kematian udang dalam waktu yang cepat dan
Bakteri Vibriosis menyerang larva udang yaitu pada saat udang dalam keadaan
stress dan lemah, oleh karena itu sering dikatakan bahwa bakteri termasuk opportunistik
disebabkan oleh bakteri Vibriosis. telah berdampak terhadap penurunan hasil produksi
Penyakit Vibriosis yang disebabkan oleh bakteri genus Vibriosis telah lama
menjadi masalah utama bagi pelaku industri budidaya udang khususnya pada
larva/benih udang. Udang yang terserang vibrio umumnya ditandai dengan gejala klinis,
di mana udang terlihat lemah, berwarna merah gelap atau pucat, antena dan kaki renang
berwarna merah. Bakteri ini merupakan jenis patogen yang menginfeksi dan
menyebabkan penyakit pada saat kondisi udang lemah dan faktor lingkungan yang
1
Vibriosis merupakan penyakit yang menyerang bagian kulit udang. Penyakit ini
disebabkan oleh spesies-spesies dari jenis vibrio yang berbeda-beda, dan setiap spesies
vibrio memiliki intensitas parasitas yang berbeda-beda. Penularan penyakit vibriosis ini
tergolong cepat sehingga dapat meningkatkan nilai mortalitas pada suatu tambak.
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini dapat menyebabkan kematian larva udang
sampai 100% dalam waktu 1-2 hari. Udang yang terserang sangat sulit untuk
diselamatkan sehingga seluruh udang yang ada terpaksa dibuang atau dimusnahkan.
Penularannya dapat langsung melalui air atau kontak langsung antar ikan dan menyebar
sangat cepat pada ikan yang dipelihara pada kepadatan tinggi (Prajitno, 2005 dalam
Nasmia (2007) dalam Feliatra et. al., (2014) mengemukakan bahwa Vibrio sp
spesies Vibrio harveyi dapat menyebabkan kematian sampai 100% pada larva udang
tingkat kesehatan udang dalam usaha budidaya, maka deteksi dini tentang kondisi
kesehatan udang windu dan kondisi lingkungan perairan sangat diperlukan. Atas dasar
pemikiran tersebut, maka dilakukan studi kasus tentang kelimpahan bakteri Vibrio sp.
dan deteksi jenis-jenis bakteri vibrio sp. pada air pembesaran udang windu sebagai
deteksi dini penyakit vibriosis. Serta mengetahui gejala dini yang ditimbulkan oleh
bakteri vibrio sp. pada budidaya udang windu di Balai Pengembangan Budidaya Air
Penyakit Vibriosis yang disebabkan oleh bakteri vibrio sp. menjadi masalah
utama bagi pelaku industri budidaya udang windu khususnya pada stadia larva/benih.
Penularan vibriosis yang sangat cepat menyebabkan kematian larva udang windu
2
sampai 100% dalam waktu 1-2 hari. Penyakit ini disebabkan oleh spesies vibrio yang
berbeda-beda dan setiap spesies vibrio memiliki intensitas parasitas yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, perlunya upaya untuk mendeteksi terjadinya penyakit vibriosis. Hal itu
dapat dilakukan dengan cara melihat kelimpahan bakteri vibrio pada udang dan media
hidup udang windu serta jenis bakteri bakteri vibrio yang ada pada udang tersebut.
yamg data menyebabkan penyakit vibriosis dan spesies vibrio apakah yang
1.3. Tujuan
Tujuan dari penelituan ini adalah untuk melakukan deteksi dini penyebab
terjadinya penyakit vibriosis dengan melihat kelimpahan dan jenis bakteri Vibrio yang
1.4. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai sarana informasi ilmiah kepada civitas
mengenai penyebab terjadinya penyakit vibriosis yang menyerang benur udang windu
masalah tersebut.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
Udang windu (Penaeus monodon) yang dikenal dengan sebutan black tiger
shrimp adalah spesies udang laut yang dapat mencapai ukuran besar, dialam bebas dapat
mencapai 35 cm dan berat sekitar 260 gram, sedangkan yang dipelihara ditambak,
panjang tubuhnya hanya mencapai 20 cm dan berat sekitar 140 gram (Mujiman dan
Suyanto, 1989). Udang windu digolongkan dalam famili Penaeidae pada filum
Kingdom : Animalia
Fillum : Arthropoda
Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae
Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus monodon
Tubuh udang windu terdiri dari dua bagian yaitu kepala dan dada
(cephalothorax) dan perut (abdomen). Pada bagian cephalothorax terdiri dari 13 ruas,
yaitu 5 ruas kepala dan 8 ruas dada. Bagian kepala terdiri dari antenna, antenulle,
mandibula dan dua pasang maxillae. Kepala dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped dan
5 pasang kaki jalan (periopoda). Bagian perut atau abdomen terdiri dari 6 ruas yang
4
tersusun seperti genting. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang (Pleopod)
dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson yang
perubahan bentuk dan pergantian kulit (moulting). Secara umum pergantian kulit larva
dimulai dari menetas sampai menjadi post larva (PL) yang siap untuk ditebar dalam
tambak. Ada empat fase larva udang windu yang perlu diketahui yaitu: fase nauplius,
zoea, mysis dan post larva. Setelah telur menetas, larva udang windu mengalami
1. Periode nauplius atau periode pertama larva udang. Periode ini dijalani selama
2. Periode zoea atau periode kedua. Periode ini memerlukan waktu sekitar 96-120
jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit.
3. Periode mysis atau periode ketiga. Periode ini memerlukan waktu 96-120 jam
4. Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu mencapai sub
stadium post larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang
5. Periode juvenil atau periode kelima. Juvenil merupakan udang muda yang
6. Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode juvenil hingga
udang siap berkembang biak. Setelah matang kelamin dan matang gonad, udang
dewasa akan kembali ke laut dalam untuk melakukan pemijahan. Udang dewasa
5
menyukai perairan payau dengan salinitas 15-20 ppt (Soetomo, 2002 dalam
Habitat udang windu adalah laut dan dikenal sebagai penghuni dasar laut.
Namun hanya udang windu dewasa yang mencari tempat yang dalam di tengah laut.
Saat muda, udang windu berada diperairan yang dangkal di tepi pantai, bahkan ada yang
memasuki muara sungai dan tambak berair payau. Udang termasuk hewan euryhaline
(dapat mentolelir kisaran salinitas yang luas). Udang windu dapat hidup pada salinitas
3-35 ppt, bahkan kini udang windu telah dipelihara dikolam air tawar (salinitas 0 ppt).
Selain bersifat euryhaline, udang windu juga bersifat eurythermal yaitu hewan yang
dapat mentolelir perubahan suhu yang luas. Perubahan suhu yang besar dimedia
budidaya yaitu pada siang hari suhu mencapai 32 oC dan pada malam hari suhu
menurun menjadi 22 oC masih dapat ditolelir oleh udang windu, walaupun pada kondisi
demikian, udang windu masih sensitif terhadap serangan penyakit (Harianto, 2002).
2.3. Vibriosis
Vibriosis adalah salah satu penyakit yang sering menyerang udang windu, yang
disebabkan oleh bakteri berpendar dari genus Vibrio (Suriyani et. al., 2013). Sunaryanto
et al, (1987) menyatakan udang yang terserang vibriosis mempunyai ciri badan terdapat
6
bercak merah-merah (red discoloration) pada pleopod dan abdominal serta pada malam
hari terlihat menyala. Gejala klinis yang ditimbulkan dari vibriosis tergantung tingkat
serangan yaitu kronik atau akut. Pada tingkat kronik dan akut gejala yang ditimbulkan
cukup jelas (Richards, 1980). Gejala yang terlihat seperti punggung kehitam-hitaman,
bercak merah pada pangkal sirip, sisik tegak, bergerak lamban, keseimbangan
terganggu, nafsu makan berkurang. Sering terjadi mata menonjol (exophotalmia), perut
kembung berisi cairan, hemorhagik pada insang, mulut, tubuh, usus dan organ dalam.
Apabila sampai fase ini udang belum mati, gejala penyakit akan berkembang yaitu kulit
mengelupas, koreng, nekrosis dibeberapa bagian tubuh dan dapat pula terbentuk ulser
(Kamiso, 1985).
Penyakit vibriosis mulai muncul di Indonesia tahun 1991 yang telah menyerang
larva udang dan mengakibatkan penurunan produksi larva hingga 70% yang
penanggulangan penyakit vibriosis. Salah satu cara dengan menggunakan antibiotik dan
makanan yang berkualitas. Namun residu antibiotik serta makanan yang digunakan
mampu bertahan dalam lingkungan perairan setelah digunakan beberapa bulan dan
berpotensi sebagai pencemar (Liu et al,. 2003). Chatterjee dan Haldar (2012)
dan V. vulnificus. Infeksi vibriosis menurut Surreshvarr et al. (2011) dapat terjadi pada
semua stadium larva hingga post larva. Penyakit yang diakibatkan oleh salahsatu
spesies vibrio yakni V. harveyi bersifat sangat akut dan ganas karena dapat mematikan
populasi larva udang yang terserang dalam waktu 1 sampai 3 hari sejak awal dampak
7
Vibrio adalah suatu jenis Bakteri Gram-Negative yang mempunyai suatu tangkai
yang bentuknya bengkok dan secara khas ditemukan pada air laut, Vibrio bersifat
fakultatif anaerob positif test untuk oxidase dan tidak membentuk spora. Semua anggota
jenis ini adalah motil (bergerak) dan mempunyai kutub flagella dengan sarung
pelindung. Sejarah evolusi suatu ras terbaru telah dibangun didasarkan pada suatu
deretan gen (analisa urutan multi-locus). Beberapa Vibrio sp. merupakan penyebab
penyakit pada populasi ikan/udang laut, baik yang dibudidayakan maupun ikan/udang
liar. Pada ikan/udang liar di perairan alami jarang terjadi wabah penyakit karena
keseimbangan antara ikan/udang, lingkungan dan bakteri lebih stabil dibanding pada
memungkinkan (Griffiths, 1983). Klasifikasi ilmiah dari jenis bakteri vibrio ini dapat
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria
Ordo : Vibrionales
Family : Vibrionaceae
Genus : Vibrio (Pacini, 1854).
Bakteri Vibrio mampu berkembang dengan cepat jika bahan organik dalam air
tambak banyak. Menurut Singh (1986) dan Hameed (1993) dalam Kharisma dan Manan
(2012), apabila populasi Vibrio sp. lebih banyak dibanding dengan populasi bakteri
yang lain dapat menyebabkan penurunan tingkat kelulushidupan udang pada masa
pembenihan dan pembesarannya. Menurut Taslihan et. al. (2004) dalam Gusman dan
Firman, 2012, ambang batas minimal keberadaan bakteri Vibrio sp. dalam air adalah 104
CFU/ml, sedangkan batas minimal bakteri umum diperairan adalah 106 CFU/ml. Jika
ambang batas ini dilampaui maka kematian massal udang budidaya dalam tambak dapat
8
2.4. Deteksi Gen
Deteksi gen dilakukan dengan mengunakan PCR. Saat ini beberapa referensi
telah menjelaskan teknik deteksi berdasarkan metode polymerase chain reaction (PCR)
dan spesies-spesifik sederhana, efektif, dan cepat untuk memfasilitasi deteksi dini
bakteri vibrio (Chari & Dubey, 2006). Gen spesifik yang dimiliki oleh bakteri Vibrio
berpendar dapat digunakan sebagai penanda molekular dalam diagnosis cepat penyakit
Vibriosis pada budidaya udang. Gen hemolisin diketahui merupakan salah satu gen
spesifik yang dimiliki bakteri patogen termasuk bakteri Vibrio (Suryani et. al., 2013).
sel darah atau proses hemolisis (Conejero & Hedreyda, 2004). Gen yang mengkode
hemolisin ini dilaporkan ditemukan pada beberapa spesies bakteri Vibrio di antaranya
adalah V. harveyi (Zhang et al., 2001 dan Zhang & Austin, 2005 dalam Felix et. al.,
2011). Gen hemolisin dapat digunakan sebagai penanda untuk deteksi Vibriosis
(Conejero & Hedreyda, 2004 dalam Kadriah et. al., 2011). Sekuen gen hemolisin ini
bervariasi pada spesies bakteri yang berbeda, sehingga gen ini dapat digunakan untuk
9
III. MATERI DAN METODE
3.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini deteksi bakteri vibrio adalah mikro
tube, tabung eppendorf, spin colomn, tip, mikropipet, sentrifuse, vorteks, thermal
cycler, rak tube, tisu, alat tulis, penggerus organ, sarung tangan, mesin PCR,
ukur dan kamera. Sedangkan alat yang digunakan untuk menghititung kelimpahan
bakteri antara lain tabung reaksi, rak tabung, cawan petri, mikropipet, tip, pembakar
spirtus / bunsen, vorteks, erlenmeyer, gelas ukur, hot plate, ose, spatula, timbangan
elektrik, gunting, kertas label, aluminium foil, wrapping, inkubator, oven, autoklaf.
3.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sampel benur udang
Windu, air kolam pemeliharaan, air laut (inlet) dan pkan alami. Bahan untuk uji deteksi
gen bakteri vibrio antara lain ethanol, PureLink Genomic Lysis/Binding Buffer,
Genomic Elution Buffer, Primer hemolysisn IAVh, Mytaq HS Red Mix 2x, nuclease
free water, larutan TAE, dan agarose. Sedangkan untuk analisis kelimpahan bakteri
bahan yang digunakan anatara lain media thiosulfate citrate bile salt sucrosa agar
(TCBSA), Trypticase soy agar (TSA), aquades, dan larutan fisiologis NaCl (0,9 %).
3.2.1. Sampling
Sampel benur udang, air kolam, air laut (inlet) dan pakan alami diambil dari
kolam hatchery A dan B udang windu di Balai Pengembangan Budidaya Air Payau dan
10
iambil lima sampel kolam secara acak. Sampel benur udang di bawa dalam kondisi
hidup, sedangkan untuk sampling air tambak dan air laut dilakukan dengan
Siapkan cawan petridisc, tabung effendoft, tip dan larutan fisiologis (NaCl
0,9%). Sterilisasi petridisc, tabung effendoft, tip dan larutan fisiologis (NaCl 0,9%)
dengan cara bubuk TCBS-A dituang kedalam erlenmeyer yang berisi akuades dengan
menggunakan kompor listrik dan diaduk hingga larut. Kemudian larutan media TCBS-
A diangkat dan dibiarkan sampai hangat kuku dan dituang pada cawan petri.
3.2.3. TPC
Media kultur yang digunakan untuk menghitung jumlah total bakteri adalah
Thiosulfate Citrate Bile Salt Sucrose Agar (TCBS-A). Jumlah bakteri Vibrio sp. pada
benur udang windu, air kolam pemeliharaan, air laut dan pakan alami dihitung dengan
metode Total Plate Count (TPC). Mikrotube kosong yang telah disterilisasi ditimbang.
Sampel benur udang windu, air kolam pemeliharaan, air laut dan pakan alami
menggunakan pelet pastel dan ditambahkan larutan fisiologis steril sebanyak 1000µL.
Pengenceran bertingkat dilakukan dari 100 sampai 10-3 dengan cara mengambil 100 µL
selanjutnya. Setiap pengenceran dikultur dengan metode pour plate pada media TCBS-
A, dengan mengambil 100 µL larutan tiap pengenceran dan dimasukkan ke cawan petri
11
dan diatasnya dituang media agar TCBS-A yang masih cair untuk kemudian
dihomogenkan. Setelah itu, sampel diinkubasi pada suhu 28oC selama 18-24 jam.
Koloni bakteri yang tumbuh dihitung secara manual dengan menggunakan hand tally
counter.
Koloni yang tumbuh dari dari pengenceran 100 dan 10-3 direinokulasi pada
media yang baru. Setiap koloni berbeda yang diperoleh direinokulasi sebanyak 3 kali
menggunakan media TCBS-A agar didapat koloni tunggal. Kemudian diisolasi pada
media miring agar mendapat kultur stok. Penyimpanan isolat bakteri Vibrio dilakukan
pada suhu 4°C dalam refrigator dan siap untuk digunakan pada pengujian selanjutnya.
Sampel bakteri vibrio dari benur udang windu, air kolam pemeliharaan, air laut
dan pakan alami yang sudah ditumbuhkan dimedia agar TCBS-A diambil menggunakan
jarum ose. Dimasukkan kedalam tabung mikro 1,5 ml. Dihancurkngan dengan
dengan suhu 55°C selama 4 jam dan diperiksa setiap 15 menit sekali. Disentrifugasi
selama 5 menit. Diambil supernatannya dan pindahkan ketabung mikro 1,5 ml yang
ethanol 100% dan dihomogenkan dengan vortex. Dimasukkan kedalam spin column dan
disentrifugasi selama 5 menit. Spin column dilepaskan dan ditempatkan pada tabung
yang baru. Dimasukkan 500 µl wash buffer 1 yang telah ditambahkan ethanol,
disentrifugasi selama 5 menit. Dibuang larutan pada tabung penampung dan kembalikan
spin column pada posisi semula. Ditambahkan 500 µl wash buffer 2 yang telah
12
ditambahkan ethanol, disentrifugasi selama 5 menit. Spin column diletakkan pada
tabung mikro 1,5 ml yang baru. Ditambahkan 50 µl elution buffer dan diinkubasi,
sentrifugasi selama 5 menit. DNA yang telah diisolasi, disimpan dalam suhu <20oC atau
menggunakan mesin thermocycler yang lebih dikenal dengan teknik Polymerase Chain
Reaction (PCR). Proses PCR untuk memperbanyak DNA melibatkan serangkaian siklus
temperatur yang berulang dan masing-masing siklus terdiri atas tiga tahapan. Tahapan
yang pertama adalah denaturasi cetakan DNA (DNA template) pada temperatur 94oC -
96oC, yaitu pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal. Sesudah itu,
dilakukan penurunan temperatur pada tahap kedua sampai 45oC - 60oC yang
oligonukleotida primer dengan utas tunggal cetakan DNA. Tahap yang terakhir adalah
tahap ekstensi atau elongasi (elongation), yaitu pemanjangan primer menjadi suatu utas
DNA baru oleh enzim DNA polimerase. Amplifikasi untuk mengkonfirmasi keberadaan
primer spesifik vvh gen (hemolysin) diatur sebanyak 30 siklus pada suhu denaturasi
94oC selama 1 menit, annealing 53oC selama 1 menit dan elongasi 72oC selama 1 menit
3.2.7. Elektroforesis
Disiapkan gel agarose 1,5 %. Ditimbang agarose 1,2 gram dan 10x TBE buffer
sebanyak 80 ml. Dipanaskan sambil di aduk. Didiamkan dengan suhu ruang (hangat-
hangat kuku) dan tambahkan 5 µl Sybr safe gel staining. Dituang larutan gel pada
13
cetakan yang telah disiapkan dan dipasangi sisir. Ditunggu hingga temperatur ruang ±
30 menit, kemudian lepaskan sisir dari gel agarose. Selanjutnya chamber elektroforesis
menggenangi permukaan. Dimasukkan sampel DNA tepat ke dasar sumuran yang ada
di gel agarose dengan susunan yang telah ditetapkan. Dicampurkan 1 µl DNA ladder
100 bp, 4 µl TE buffer, 2 µl blue jus, dimasukkan ke sumuran ke-7. Ditutup chamber
elektroforesis tunggu ± 10 menit atau sampai ¾ dari agarose. Matikan power supply dan
Penelitian ini dilakukan dari bulan Januari-April 2018, sampling udang windu,
air kolam, air laut dan pakan alami dilakukan sebanyak tiga kali pada bulan Februari
2018 di hatchery A dan B udang windu di Balai Pengembangan Budidaya Air Payau
dan Laut Wilayah Selatan (BPBAPLWS) Pangandaran-Jawa Barat. Setelah itu, sampel
dibawa untuk dilakukan uji deteksi gen dan analisis kelimpahan yang dilakukan di
Data yang diperoleh dari hasil sampling dicatat, dikumpulkan dan ditabulasi.
Dari data tersebut kemudian dihitung untuk menentukan nilai kelimpahan bakteri Vibrio
sp. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif dan dibandingkan dengan referensi
untuk melihat spesies vibrio apa saja yang menyebabakan penyakit vibriosis pada udang
windu. Data yang didapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Damongilala, 2009) :
Jumlah Bakteri
1 1000 µl 1
= jumlah koloni × × ×
pengenceran 100 µl jumlah sampel (gr⁄ml)
14
Keterangan :
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Sampling Air Dan
1 Udang Windu Dan Uji
Pendahuluan
Persiapan media dan
Analisis Kelimpahan
2
Bakteri Vibrio sp.
Dengan Metode TPC
Kultur dan isolasi
3
bakteri Vibrio sp.
Isolasi DNA Dan
4
Deteksi Gen Bakteri
5 Analisis Data
6 Pembuatan Laporan
Pembuatan Dan
7 Publikasi Artikel
Ilmiah
8 Seminar Hasil
15
DAFTAR PUSTAKA
Chari P.Y.B, Dubey S.K. 2006. Rapid And Specific Detection Of Luminous And Non-
Luminous Vibrio Harveyi Isolates By Pcr Amplification. Current Science 90:
1.105–1.108.
Conejero, M.J.U. & Hedreyda, C.T. 2004. Pcr Detection Of Hemolysin (Vhh) Gene In
Vibrio Harveyi. J. Gen. Appl. Microbiol., 50: 137– 142.
Damongilala, L. 2009. Kadar Air Dan Total Bakteri Pada Ikan Roa (Hemirhampus sp)
Asap Dengan Metode Pencucian Bahan Baku Berbeda. Jurnal Ilmiah Sains. 9
(2) :191-198.
Feliatra , Zainuri And Dessy Y. 2014. Pathogenitas Bakteri Vibrio sp Terhadap Udang
Windu (Penaeus Monodon). Jurnal Sungkai. 2 (1): 23-36
Felix, F., Nugroho, T.T., Silalahi, S., & Octavia, Y. (2011). Skrining Bakteri Vibrio sp.
Asli Indonesia Sebagai Penyebab Penyakit Udang Berbasis Tehnik 16S
Ribosomal Dna. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan Tropi.3 (2): 85-99
Kadriah, Endang S., Sukenda, Munti Y., Dan Enang H. 2011. Deteksi Gen-Gen
Penyandi Faktor Virulensi Pada Bakteri Vibrio. J. Ris. Akuakultur. 6 (1) : 119-
130
Kharisma, A Dan A. Manan. 2012. Kelimpahan Bakteri Vibrio sp. Pada Air Pembesaran
Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Sebagai Deteksi Dini Serangan
Penyakit Vibriosis. Jurnal Ilmiah Perikanan Dan Kelautan. 4 (2): 129-134.
Liu, P.C., W.H. Chuang And K.K. Lee., 2003. Infectious Gastroenteristis Caused By
Vibrio harveyi (V. charcariae) In Cultured Red Drum, Scianeops Ocellatus, J.
Appl. Lchtyl, 19: 59-51
Prajitno, A. 2005. Diktat Parasit Dan Penyakit Ikan. Fakultas Perikanan. Universitas
Brawijaya, 105 Hal.
Suriyani1, I., Ince A. K. K., Ilmiah K. 2013. Deteksi Vibrio harveyi Menggunakan
Primer Hemolisin Pada Benur Udang Windu Penaeus monodon. Jurnal
Akuakultur Indonesia 12 (2), 101–105
16
Tampangallo B. R. dan Nurhidayah. 2012. Uji Tantang Pasca Larva Udang Windu
Penaeus monodon Dengan Vibrio harveyi. Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi
Teknologi Akuakultur: 729-735.
Taslihan, A. S. M. Astuti. Zariah. 2004. Petunjuk Umum Cara Isolasi Dan Identifikasi
Bakteri Dari Air, Udang, Dan Ikan Di Air Payau. BBPBAP. Jepara
Zhang Xh, Meaden Pg, Austin B. 2001. Duplication Of Hemolysin Genes In A Virulent
Isolate Of Vibrio harveyi. Applied And Environmental Microbiology. 67: 3.161–
3167.
17