Anda di halaman 1dari 23

USULAN PENELITIAN

DETEKSI DINI BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT VIBRIOSIS PADA


BENUR UDANG WINDU (Penaeus monodon) DI KABUPATEN
PANGANDARAN

Disusun Untuk Dipresentasikan Dalam Rangka Penelitian Untuk Skripsi Di


Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Universitas Jenderal Soedirman

Oleh :
Kikok Abidin
NIM. H1H014022

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
USULAN PENELITIAN

DETEKSI DINI BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT VIBRIOSIS PADA


BENUR UDANG WINDU (Penaeus monodon) DI KABUPATEN
PANGANDARAN

Oleh :
Kikok Abidin
NIM. H1H014022

Disetujui untuk dipresentasikan :

…………………………………………

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

NIP. NIP.

Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan,

Dr. Ir. Isdy Sulistyo, DEA.


NIP. 19600307 198601 1 003

ii
DAFTAR ISI

halaman

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv

DAFTAR TABEL ....................................................................................................v

KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi

I. PENDAHULUAN ............................................................................................1

1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 2

1.3. Tujuan ....................................................................................................... 3

1.4. Manfaat ..................................................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................4

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon) ................ 4

2.2. Siklus Hidup dan Habitat Udang Windu (Penaeus monodon) ................. 5

2.3. Vibriosis ................................................................................................... 6

2.4. Deteksi Gen .............................................................................................. 9

III. MATERI DAN METODE..............................................................................10

3.1. Materi Penelitian .................................................................................... 10

3.2. Prosedur Penelitian ................................................................................. 10

3.3. Waktu Dan Tempat ................................................................................ 14

3.4. Analisis Data .......................................................................................... 14

3.5. Jadwal Kegiatan Penelitian..................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................16

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

1. Morfologi udang windu (Penaeus monodon) .................................................... 4

2. Siklus Hidup Udang Windu (Penaeus monodon) ............................................... 6

iv
DAFTAR TABEL

Tabel halaman

1. Rencana jadwal kegiatan penelitian .................................................................. 15

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan

hidayahNya, tidak lupa solawat serta salam selalu tercurahkan kepada baginda

besar Nabi Muhammad Shallallahu‘alaihi wassalam, keluarganya, kerabatnya,

sahabatnya, dan semua umatnya yang selalu setia mengikuti tuntutan sunnah

beliau hingga akhir zaman. Laporan ususlan penelitian ini berjudul “Deteksi Dini

Bakteri Penyebab Penyakit Vibriosis Pada Benur Udang Windu (Penaeus

monodon) Di Kabupaten Pangandaran”. Tujuan dari dilakukannya penelitian ini

adalah untuk melakukan deteksi dini penyebab terjadinya penyakit vibriosis

dengan melihat kelimpahan dan jenis bakteri Vibrio yang menyerang benur udang

windu (Penaeus monodon) di kabupaten Pangandaran.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberi

dukungan sehingga proposal usulan penelitian ini telah selesai dengan tepat

waktu. Penulis menyadari bahwa proposal usulan penelitian ini masih terdapat

kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang

membangundari para pembaca. Semoga proposal ini dapat bermanfaat khususnya

bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Purwokerto, Februari 2018

Penyusun

vi
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Budidaya udang windu memberikan kontribusi yang besar bagi produksi sektor

perikanan Indonesia khususnya dalam bidang ekspor. Dalam menjaga kelangsungan

produksi udang windu yang telah memberikan devisa yang besar bagi negara, maka

berbagai faktor yang menyebabkan terhambatnya produksi udang perlu diperhatikan.

Berbagai kegagalan panen yang terjadi pada tambak udang windu di Indonesia menjadi

fenomena yang sangat merugikan petani tambak. Kegagalan panen biasanya disebabkan

serangan pathogen yang mengakibatkan kematian udang dalam waktu yang cepat dan

dalam jumlah yang besar.

Bakteri Vibriosis menyerang larva udang yaitu pada saat udang dalam keadaan

stress dan lemah, oleh karena itu sering dikatakan bahwa bakteri termasuk opportunistik

pathogen. Dengan adanya kemunculan berbagai jenis penyakit di perairan yang

disebabkan oleh bakteri Vibriosis. telah berdampak terhadap penurunan hasil produksi

budidaya perikanan. Akibat infeksi mikroorganisme pathogen tersebut, banyak

organisme perairan yang dibudidayakan mengalami kematian missal sehingga

menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi (Gonzales, 2005).

Penyakit Vibriosis yang disebabkan oleh bakteri genus Vibriosis telah lama

menjadi masalah utama bagi pelaku industri budidaya udang khususnya pada

larva/benih udang. Udang yang terserang vibrio umumnya ditandai dengan gejala klinis,

di mana udang terlihat lemah, berwarna merah gelap atau pucat, antena dan kaki renang

berwarna merah. Bakteri ini merupakan jenis patogen yang menginfeksi dan

menyebabkan penyakit pada saat kondisi udang lemah dan faktor lingkungan yang

ekstrim (Lopillo, 2000).

1
Vibriosis merupakan penyakit yang menyerang bagian kulit udang. Penyakit ini

disebabkan oleh spesies-spesies dari jenis vibrio yang berbeda-beda, dan setiap spesies

vibrio memiliki intensitas parasitas yang berbeda-beda. Penularan penyakit vibriosis ini

tergolong cepat sehingga dapat meningkatkan nilai mortalitas pada suatu tambak.

Penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini dapat menyebabkan kematian larva udang

sampai 100% dalam waktu 1-2 hari. Udang yang terserang sangat sulit untuk

diselamatkan sehingga seluruh udang yang ada terpaksa dibuang atau dimusnahkan.

Penularannya dapat langsung melalui air atau kontak langsung antar ikan dan menyebar

sangat cepat pada ikan yang dipelihara pada kepadatan tinggi (Prajitno, 2005 dalam

Feliatra et. al., 2014).

Nasmia (2007) dalam Feliatra et. al., (2014) mengemukakan bahwa Vibrio sp

menyebabkan mortalitas sebesar 90 % pada larva udang windu. Sedangkan untuk

spesies Vibrio harveyi dapat menyebabkan kematian sampai 100% pada larva udang

windu (Penaeus monodon) di hatchery (Manefield et.al, 2000). Mengingat pentingnya

tingkat kesehatan udang dalam usaha budidaya, maka deteksi dini tentang kondisi

kesehatan udang windu dan kondisi lingkungan perairan sangat diperlukan. Atas dasar

pemikiran tersebut, maka dilakukan studi kasus tentang kelimpahan bakteri Vibrio sp.

dan deteksi jenis-jenis bakteri vibrio sp. pada air pembesaran udang windu sebagai

deteksi dini penyakit vibriosis. Serta mengetahui gejala dini yang ditimbulkan oleh

bakteri vibrio sp. pada budidaya udang windu di Balai Pengembangan Budidaya Air

Payau dan Laut Wilayah Selatan (BPBAPLWS) Pangandaran.

1.2. Rumusan Masalah

Penyakit Vibriosis yang disebabkan oleh bakteri vibrio sp. menjadi masalah

utama bagi pelaku industri budidaya udang windu khususnya pada stadia larva/benih.

Penularan vibriosis yang sangat cepat menyebabkan kematian larva udang windu

2
sampai 100% dalam waktu 1-2 hari. Penyakit ini disebabkan oleh spesies vibrio yang

berbeda-beda dan setiap spesies vibrio memiliki intensitas parasitas yang berbeda-beda.

Oleh karena itu, perlunya upaya untuk mendeteksi terjadinya penyakit vibriosis. Hal itu

dapat dilakukan dengan cara melihat kelimpahan bakteri vibrio pada udang dan media

hidup udang windu serta jenis bakteri bakteri vibrio yang ada pada udang tersebut.

Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan permasalahan berapakah jumlah bakteri

yamg data menyebabkan penyakit vibriosis dan spesies vibrio apakah yang

menimbulkan penyakit vibriosis pada benur udang Windu (Penaeus monodon)

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelituan ini adalah untuk melakukan deteksi dini penyebab

terjadinya penyakit vibriosis dengan melihat kelimpahan dan jenis bakteri Vibrio yang

menyerang benur udang windu (Penaeus monodon) di kabupaten Pangandaran.

1.4. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai sarana informasi ilmiah kepada civitas

akademik dan pembudidaya udang windu khususnya didaerah kabupaten Pangandaran

mengenai penyebab terjadinya penyakit vibriosis yang menyerang benur udang windu

(Penaeus monodon) sehingga dapat melakukan upaya penyegahan dalam mengatasi

masalah tersebut.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon)

Gambar 1. Morfologi udang windu (Penaeus monodon) (Suwignyo,1990).

Udang windu (Penaeus monodon) yang dikenal dengan sebutan black tiger

shrimp adalah spesies udang laut yang dapat mencapai ukuran besar, dialam bebas dapat

mencapai 35 cm dan berat sekitar 260 gram, sedangkan yang dipelihara ditambak,

panjang tubuhnya hanya mencapai 20 cm dan berat sekitar 140 gram (Mujiman dan

Suyanto, 1989). Udang windu digolongkan dalam famili Penaeidae pada filum

Arthropoda. Suwignyo (1990) mengklasifikasikan udang windu sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Fillum : Arthropoda
Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae
Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus monodon

Tubuh udang windu terdiri dari dua bagian yaitu kepala dan dada

(cephalothorax) dan perut (abdomen). Pada bagian cephalothorax terdiri dari 13 ruas,

yaitu 5 ruas kepala dan 8 ruas dada. Bagian kepala terdiri dari antenna, antenulle,

mandibula dan dua pasang maxillae. Kepala dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped dan

5 pasang kaki jalan (periopoda). Bagian perut atau abdomen terdiri dari 6 ruas yang

4
tersusun seperti genting. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang (Pleopod)

dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson yang

berfungsi sebagai alat kemudi (Tricahyo, 1995).

2.2. Siklus Hidup dan Habitat Udang Windu (Penaeus monodon)

Perkembangan dan pertumbuhan larva udang windu mengalami beberapa

perubahan bentuk dan pergantian kulit (moulting). Secara umum pergantian kulit larva

dimulai dari menetas sampai menjadi post larva (PL) yang siap untuk ditebar dalam

tambak. Ada empat fase larva udang windu yang perlu diketahui yaitu: fase nauplius,

zoea, mysis dan post larva. Setelah telur menetas, larva udang windu mengalami

perubahan bentuk beberapa kali yaitu :

1. Periode nauplius atau periode pertama larva udang. Periode ini dijalani selama

46-50 jam dan larva mengalami enam kali pergantian kulit.

2. Periode zoea atau periode kedua. Periode ini memerlukan waktu sekitar 96-120

jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit.

3. Periode mysis atau periode ketiga. Periode ini memerlukan waktu 96-120 jam

dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali.

4. Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu mencapai sub

stadium post larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang

lebih menyukai perairan payau dengan salinitas 25-35 ppt.

5. Periode juvenil atau periode kelima. Juvenil merupakan udang muda yang

menyukai perairan dengan salinitas 20-25 ppt.

6. Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode juvenil hingga

udang siap berkembang biak. Setelah matang kelamin dan matang gonad, udang

dewasa akan kembali ke laut dalam untuk melakukan pemijahan. Udang dewasa

5
menyukai perairan payau dengan salinitas 15-20 ppt (Soetomo, 2002 dalam

Gusman dan Firman, 2012).

Gambar 2. Siklus Hidup Udang Windu (Penaeus monodon) (Suwignyo,1990).

Habitat udang windu adalah laut dan dikenal sebagai penghuni dasar laut.

Namun hanya udang windu dewasa yang mencari tempat yang dalam di tengah laut.

Saat muda, udang windu berada diperairan yang dangkal di tepi pantai, bahkan ada yang

memasuki muara sungai dan tambak berair payau. Udang termasuk hewan euryhaline

(dapat mentolelir kisaran salinitas yang luas). Udang windu dapat hidup pada salinitas

3-35 ppt, bahkan kini udang windu telah dipelihara dikolam air tawar (salinitas 0 ppt).

Selain bersifat euryhaline, udang windu juga bersifat eurythermal yaitu hewan yang

dapat mentolelir perubahan suhu yang luas. Perubahan suhu yang besar dimedia

budidaya yaitu pada siang hari suhu mencapai 32 oC dan pada malam hari suhu

menurun menjadi 22 oC masih dapat ditolelir oleh udang windu, walaupun pada kondisi

demikian, udang windu masih sensitif terhadap serangan penyakit (Harianto, 2002).

2.3. Vibriosis

Vibriosis adalah salah satu penyakit yang sering menyerang udang windu, yang

disebabkan oleh bakteri berpendar dari genus Vibrio (Suriyani et. al., 2013). Sunaryanto

et al, (1987) menyatakan udang yang terserang vibriosis mempunyai ciri badan terdapat

6
bercak merah-merah (red discoloration) pada pleopod dan abdominal serta pada malam

hari terlihat menyala. Gejala klinis yang ditimbulkan dari vibriosis tergantung tingkat

serangan yaitu kronik atau akut. Pada tingkat kronik dan akut gejala yang ditimbulkan

cukup jelas (Richards, 1980). Gejala yang terlihat seperti punggung kehitam-hitaman,

bercak merah pada pangkal sirip, sisik tegak, bergerak lamban, keseimbangan

terganggu, nafsu makan berkurang. Sering terjadi mata menonjol (exophotalmia), perut

kembung berisi cairan, hemorhagik pada insang, mulut, tubuh, usus dan organ dalam.

Apabila sampai fase ini udang belum mati, gejala penyakit akan berkembang yaitu kulit

mengelupas, koreng, nekrosis dibeberapa bagian tubuh dan dapat pula terbentuk ulser

(Kamiso, 1985).

Penyakit vibriosis mulai muncul di Indonesia tahun 1991 yang telah menyerang

larva udang dan mengakibatkan penurunan produksi larva hingga 70% yang

menyebabkan kerugian besar. Berbagai metode dilakukan untuk pencegahan dan

penanggulangan penyakit vibriosis. Salah satu cara dengan menggunakan antibiotik dan

makanan yang berkualitas. Namun residu antibiotik serta makanan yang digunakan

mampu bertahan dalam lingkungan perairan setelah digunakan beberapa bulan dan

berpotensi sebagai pencemar (Liu et al,. 2003). Chatterjee dan Haldar (2012)

menyatakan beberapa spesies Vibrio yang sering dilaporkan menyebabkan infeksi

vibriosis diantaranya V. harveyi, V. parahaemolyticus, V. alginolyticus, V. aguillarum

dan V. vulnificus. Infeksi vibriosis menurut Surreshvarr et al. (2011) dapat terjadi pada

semua stadium larva hingga post larva. Penyakit yang diakibatkan oleh salahsatu

spesies vibrio yakni V. harveyi bersifat sangat akut dan ganas karena dapat mematikan

populasi larva udang yang terserang dalam waktu 1 sampai 3 hari sejak awal dampak

(Rukyani et al., 1992 dalam Bintari et. al., 2016).

7
Vibrio adalah suatu jenis Bakteri Gram-Negative yang mempunyai suatu tangkai

yang bentuknya bengkok dan secara khas ditemukan pada air laut, Vibrio bersifat

fakultatif anaerob positif test untuk oxidase dan tidak membentuk spora. Semua anggota

jenis ini adalah motil (bergerak) dan mempunyai kutub flagella dengan sarung

pelindung. Sejarah evolusi suatu ras terbaru telah dibangun didasarkan pada suatu

deretan gen (analisa urutan multi-locus). Beberapa Vibrio sp. merupakan penyebab

penyakit pada populasi ikan/udang laut, baik yang dibudidayakan maupun ikan/udang

liar. Pada ikan/udang liar di perairan alami jarang terjadi wabah penyakit karena

keseimbangan antara ikan/udang, lingkungan dan bakteri lebih stabil dibanding pada

usaha budidaya, tetapi terbentuknya ikan/udang karier di perairan alami sangat

memungkinkan (Griffiths, 1983). Klasifikasi ilmiah dari jenis bakteri vibrio ini dapat

dilhat sebagaimana dalam susunan sebagai berikut :

Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria
Ordo : Vibrionales
Family : Vibrionaceae
Genus : Vibrio (Pacini, 1854).

Bakteri Vibrio mampu berkembang dengan cepat jika bahan organik dalam air

tambak banyak. Menurut Singh (1986) dan Hameed (1993) dalam Kharisma dan Manan

(2012), apabila populasi Vibrio sp. lebih banyak dibanding dengan populasi bakteri

yang lain dapat menyebabkan penurunan tingkat kelulushidupan udang pada masa

pembenihan dan pembesarannya. Menurut Taslihan et. al. (2004) dalam Gusman dan

Firman, 2012, ambang batas minimal keberadaan bakteri Vibrio sp. dalam air adalah 104

CFU/ml, sedangkan batas minimal bakteri umum diperairan adalah 106 CFU/ml. Jika

ambang batas ini dilampaui maka kematian massal udang budidaya dalam tambak dapat

terjadi (Kharisma dan Manan, 2012).

8
2.4. Deteksi Gen

Deteksi gen dilakukan dengan mengunakan PCR. Saat ini beberapa referensi

telah menjelaskan teknik deteksi berdasarkan metode polymerase chain reaction (PCR)

dan spesies-spesifik sederhana, efektif, dan cepat untuk memfasilitasi deteksi dini

bakteri vibrio (Chari & Dubey, 2006). Gen spesifik yang dimiliki oleh bakteri Vibrio

berpendar dapat digunakan sebagai penanda molekular dalam diagnosis cepat penyakit

Vibriosis pada budidaya udang. Gen hemolisin diketahui merupakan salah satu gen

spesifik yang dimiliki bakteri patogen termasuk bakteri Vibrio (Suryani et. al., 2013).

Gen hemolisin adalah gen yang bertanggungjawab pada penghancuran membran

sel darah atau proses hemolisis (Conejero & Hedreyda, 2004). Gen yang mengkode

hemolisin ini dilaporkan ditemukan pada beberapa spesies bakteri Vibrio di antaranya

adalah V. harveyi (Zhang et al., 2001 dan Zhang & Austin, 2005 dalam Felix et. al.,

2011). Gen hemolisin dapat digunakan sebagai penanda untuk deteksi Vibriosis

(Conejero & Hedreyda, 2004 dalam Kadriah et. al., 2011). Sekuen gen hemolisin ini

bervariasi pada spesies bakteri yang berbeda, sehingga gen ini dapat digunakan untuk

mendeteksi keberadaan bakteri Vibrio sampai pada tingkat spesies.

9
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi Penelitian

3.1.1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini deteksi bakteri vibrio adalah mikro

tube, tabung eppendorf, spin colomn, tip, mikropipet, sentrifuse, vorteks, thermal

cycler, rak tube, tisu, alat tulis, penggerus organ, sarung tangan, mesin PCR,

elektroforesis, UV transluminator, hot plate, timbangan analitik, tabung elemeyer, gelas

ukur dan kamera. Sedangkan alat yang digunakan untuk menghititung kelimpahan

bakteri antara lain tabung reaksi, rak tabung, cawan petri, mikropipet, tip, pembakar

spirtus / bunsen, vorteks, erlenmeyer, gelas ukur, hot plate, ose, spatula, timbangan

elektrik, gunting, kertas label, aluminium foil, wrapping, inkubator, oven, autoklaf.

3.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sampel benur udang

Windu, air kolam pemeliharaan, air laut (inlet) dan pkan alami. Bahan untuk uji deteksi

gen bakteri vibrio antara lain ethanol, PureLink Genomic Lysis/Binding Buffer,

PureLink Genomic Wash Buffer 1, PureLink Genomic Wash Buffer 2, PureLink

Genomic Elution Buffer, Primer hemolysisn IAVh, Mytaq HS Red Mix 2x, nuclease

free water, larutan TAE, dan agarose. Sedangkan untuk analisis kelimpahan bakteri

bahan yang digunakan anatara lain media thiosulfate citrate bile salt sucrosa agar

(TCBSA), Trypticase soy agar (TSA), aquades, dan larutan fisiologis NaCl (0,9 %).

3.2. Prosedur Penelitian

3.2.1. Sampling

Sampel benur udang, air kolam, air laut (inlet) dan pakan alami diambil dari

kolam hatchery A dan B udang windu di Balai Pengembangan Budidaya Air Payau dan

Laut Wilayah Selatan (BPBAPLWS) Pangandaran. Untuk masing-masing hatchery

10
iambil lima sampel kolam secara acak. Sampel benur udang di bawa dalam kondisi

hidup, sedangkan untuk sampling air tambak dan air laut dilakukan dengan

menggunakan botol winkler yang kemudian sampel dibawa ke laboratorium untuk

dilakukan uji lebih lanjut.

3.2.2. Persiapan Media

Siapkan cawan petridisc, tabung effendoft, tip dan larutan fisiologis (NaCl

0,9%). Sterilisasi petridisc, tabung effendoft, tip dan larutan fisiologis (NaCl 0,9%)

menggunakan autoclave. Kemudian siapkan media TCBSA, Media TCBS-A dibuat

dengan cara bubuk TCBS-A dituang kedalam erlenmeyer yang berisi akuades dengan

perbandingan 8,8 gram TCBS-A: 100 ml aquades. Larutan TCBS-A dipanaskan

menggunakan kompor listrik dan diaduk hingga larut. Kemudian larutan media TCBS-

A diangkat dan dibiarkan sampai hangat kuku dan dituang pada cawan petri.

3.2.3. TPC

Media kultur yang digunakan untuk menghitung jumlah total bakteri adalah

Thiosulfate Citrate Bile Salt Sucrose Agar (TCBS-A). Jumlah bakteri Vibrio sp. pada

benur udang windu, air kolam pemeliharaan, air laut dan pakan alami dihitung dengan

metode Total Plate Count (TPC). Mikrotube kosong yang telah disterilisasi ditimbang.

Sampel benur udang windu, air kolam pemeliharaan, air laut dan pakan alami

dimasukkan ke dalam mikrotube dan ditimbang. Lalu sampel dihancurkan

menggunakan pelet pastel dan ditambahkan larutan fisiologis steril sebanyak 1000µL.

Pengenceran bertingkat dilakukan dari 100 sampai 10-3 dengan cara mengambil 100 µL

larutan saluran pencernaan dari mikrotube kemudian dimasukkan kedalam mikrotube

yang berisi 900µL larutan fisiologis steril, kemudian dilanjutkan ke pengenceran

selanjutnya. Setiap pengenceran dikultur dengan metode pour plate pada media TCBS-

A, dengan mengambil 100 µL larutan tiap pengenceran dan dimasukkan ke cawan petri

11
dan diatasnya dituang media agar TCBS-A yang masih cair untuk kemudian

dihomogenkan. Setelah itu, sampel diinkubasi pada suhu 28oC selama 18-24 jam.

Koloni bakteri yang tumbuh dihitung secara manual dengan menggunakan hand tally

counter.

3.2.4. Kultur Dan Isolasi Bakteri Vibrio Sp.

Koloni yang tumbuh dari dari pengenceran 100 dan 10-3 direinokulasi pada

media yang baru. Setiap koloni berbeda yang diperoleh direinokulasi sebanyak 3 kali

menggunakan media TCBS-A agar didapat koloni tunggal. Kemudian diisolasi pada

media miring agar mendapat kultur stok. Penyimpanan isolat bakteri Vibrio dilakukan

pada suhu 4°C dalam refrigator dan siap untuk digunakan pada pengujian selanjutnya.

3.2.5. Isolasi DNA Bakteri Vibrio

Sampel bakteri vibrio dari benur udang windu, air kolam pemeliharaan, air laut

dan pakan alami yang sudah ditumbuhkan dimedia agar TCBS-A diambil menggunakan

jarum ose. Dimasukkan kedalam tabung mikro 1,5 ml. Dihancurkngan dengan

menggunakan pellet pastel. Ditambahkan 180 µl Genomic digestion buffer dan 20 µl

proteinase. Dihomogenkan dengan cara divortex. Dimasukkan kedalam waterbath

dengan suhu 55°C selama 4 jam dan diperiksa setiap 15 menit sekali. Disentrifugasi

selama 5 menit. Diambil supernatannya dan pindahkan ketabung mikro 1,5 ml yang

baru. Ditambahkan 20 µl RNAse A dan dihomogenkan dengan vortex. Ditambahkan

200 µl Lysis/Binding buffer dan dihomogenkan dengan vortex. Ditambahkan 200 µl

ethanol 100% dan dihomogenkan dengan vortex. Dimasukkan kedalam spin column dan

disentrifugasi selama 5 menit. Spin column dilepaskan dan ditempatkan pada tabung

yang baru. Dimasukkan 500 µl wash buffer 1 yang telah ditambahkan ethanol,

disentrifugasi selama 5 menit. Dibuang larutan pada tabung penampung dan kembalikan

spin column pada posisi semula. Ditambahkan 500 µl wash buffer 2 yang telah

12
ditambahkan ethanol, disentrifugasi selama 5 menit. Spin column diletakkan pada

tabung mikro 1,5 ml yang baru. Ditambahkan 50 µl elution buffer dan diinkubasi,

sentrifugasi selama 5 menit. DNA yang telah diisolasi, disimpan dalam suhu <20oC atau

siap diproses selanjutnya.

3.2.6. Amplifikasi Dengan PCR

Deteksi gen spesifik ini dilakukan dengan melakukan amplifikasi DNA

menggunakan mesin thermocycler yang lebih dikenal dengan teknik Polymerase Chain

Reaction (PCR). Proses PCR untuk memperbanyak DNA melibatkan serangkaian siklus

temperatur yang berulang dan masing-masing siklus terdiri atas tiga tahapan. Tahapan

yang pertama adalah denaturasi cetakan DNA (DNA template) pada temperatur 94oC -

96oC, yaitu pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal. Sesudah itu,

dilakukan penurunan temperatur pada tahap kedua sampai 45oC - 60oC yang

memungkinkan terjadinya penempelan (annealing) atau hibridisasi antara

oligonukleotida primer dengan utas tunggal cetakan DNA. Tahap yang terakhir adalah

tahap ekstensi atau elongasi (elongation), yaitu pemanjangan primer menjadi suatu utas

DNA baru oleh enzim DNA polimerase. Amplifikasi untuk mengkonfirmasi keberadaan

V. harveyi patogenik dilakukan dengan menggunakan primer spesifik vvh gen

(hemolysin) (5’- GCTTGATAACACTTTGCGGT-3’). Proses amplifikasi DNA untuk

primer spesifik vvh gen (hemolysin) diatur sebanyak 30 siklus pada suhu denaturasi

94oC selama 1 menit, annealing 53oC selama 1 menit dan elongasi 72oC selama 1 menit

(Conejero & Hedreyda, 2004 dalam Kadriah et. al., 2011).

3.2.7. Elektroforesis

Disiapkan gel agarose 1,5 %. Ditimbang agarose 1,2 gram dan 10x TBE buffer

sebanyak 80 ml. Dipanaskan sambil di aduk. Didiamkan dengan suhu ruang (hangat-

hangat kuku) dan tambahkan 5 µl Sybr safe gel staining. Dituang larutan gel pada

13
cetakan yang telah disiapkan dan dipasangi sisir. Ditunggu hingga temperatur ruang ±

30 menit, kemudian lepaskan sisir dari gel agarose. Selanjutnya chamber elektroforesis

diletakkan agarose pada chamber elektroforesis.1x TBE buffer dituang hingga

menggenangi permukaan. Dimasukkan sampel DNA tepat ke dasar sumuran yang ada

di gel agarose dengan susunan yang telah ditetapkan. Dicampurkan 1 µl DNA ladder

100 bp, 4 µl TE buffer, 2 µl blue jus, dimasukkan ke sumuran ke-7. Ditutup chamber

elektroforesis tunggu ± 10 menit atau sampai ¾ dari agarose. Matikan power supply dan

ambil gel agarose. Diamati gel dengan UV transiluminator.

3.3. Waktu Dan Tempat

Penelitian ini dilakukan dari bulan Januari-April 2018, sampling udang windu,

air kolam, air laut dan pakan alami dilakukan sebanyak tiga kali pada bulan Februari

2018 di hatchery A dan B udang windu di Balai Pengembangan Budidaya Air Payau

dan Laut Wilayah Selatan (BPBAPLWS) Pangandaran-Jawa Barat. Setelah itu, sampel

dibawa untuk dilakukan uji deteksi gen dan analisis kelimpahan yang dilakukan di

laboratorium Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

3.4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil sampling dicatat, dikumpulkan dan ditabulasi.

Dari data tersebut kemudian dihitung untuk menentukan nilai kelimpahan bakteri Vibrio

sp. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif dan dibandingkan dengan referensi

untuk melihat spesies vibrio apa saja yang menyebabakan penyakit vibriosis pada udang

windu. Data yang didapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Damongilala, 2009) :

Jumlah Bakteri

1 1000 µl 1
= jumlah koloni × × ×
pengenceran 100 µl jumlah sampel (gr⁄ml)

14
Keterangan :

1. Volume total suspensi = 1000 µL

2. volume kultur = 100 µL

3. Konversi untuk air = CFU/ml

4. Konversi untuk udang = CFU/gr

5. Jumlah koloni yang dihitung yaitu jumlah koloni 30-300.

3.5. Jadwal Kegiatan Penelitian

Tabel 1. Rencana jadwal kegiatan penelitian


Bulan

No. Kegiatan Februari Maret April

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Sampling Air Dan
1 Udang Windu Dan Uji
Pendahuluan
Persiapan media dan
Analisis Kelimpahan
2
Bakteri Vibrio sp.
Dengan Metode TPC
Kultur dan isolasi
3
bakteri Vibrio sp.
Isolasi DNA Dan
4
Deteksi Gen Bakteri
5 Analisis Data

6 Pembuatan Laporan
Pembuatan Dan
7 Publikasi Artikel
Ilmiah
8 Seminar Hasil

15
DAFTAR PUSTAKA

Bintari, N. W. D., Retno K. U, A.A. Gde R. D. 2016. Identifikasi Bakteri Vibrio


Penyebab Vibriosis Pada Larva Udang Galah (Macrobrachium Rosenbergii (De
Man)). Jurnal Biologi. 20 (2):: 53 - 63

Chari P.Y.B, Dubey S.K. 2006. Rapid And Specific Detection Of Luminous And Non-
Luminous Vibrio Harveyi Isolates By Pcr Amplification. Current Science 90:
1.105–1.108.

Conejero, M.J.U. & Hedreyda, C.T. 2004. Pcr Detection Of Hemolysin (Vhh) Gene In
Vibrio Harveyi. J. Gen. Appl. Microbiol., 50: 137– 142.

Damongilala, L. 2009. Kadar Air Dan Total Bakteri Pada Ikan Roa (Hemirhampus sp)
Asap Dengan Metode Pencucian Bahan Baku Berbeda. Jurnal Ilmiah Sains. 9
(2) :191-198.

Feliatra , Zainuri And Dessy Y. 2014. Pathogenitas Bakteri Vibrio sp Terhadap Udang
Windu (Penaeus Monodon). Jurnal Sungkai. 2 (1): 23-36

Felix, F., Nugroho, T.T., Silalahi, S., & Octavia, Y. (2011). Skrining Bakteri Vibrio sp.
Asli Indonesia Sebagai Penyebab Penyakit Udang Berbasis Tehnik 16S
Ribosomal Dna. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan Tropi.3 (2): 85-99

Hameed, S.A.S., K.H. Rahaman., A. Alagan., K. Yoganandha. 2003. Antibiotic


Resistance In Bacteria Isolated From Hatchery-Reared Larvae And Post-Larvae
Of Macrobrachium rosenbergii. Aquacult. 217: 39-48.

Kadriah, Endang S., Sukenda, Munti Y., Dan Enang H. 2011. Deteksi Gen-Gen
Penyandi Faktor Virulensi Pada Bakteri Vibrio. J. Ris. Akuakultur. 6 (1) : 119-
130

Kharisma, A Dan A. Manan. 2012. Kelimpahan Bakteri Vibrio sp. Pada Air Pembesaran
Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Sebagai Deteksi Dini Serangan
Penyakit Vibriosis. Jurnal Ilmiah Perikanan Dan Kelautan. 4 (2): 129-134.

Liu, P.C., W.H. Chuang And K.K. Lee., 2003. Infectious Gastroenteristis Caused By
Vibrio harveyi (V. charcariae) In Cultured Red Drum, Scianeops Ocellatus, J.
Appl. Lchtyl, 19: 59-51

Nasnia. 2007. Pathogenitas Beberpa Bakteri Vibrio Sp Terhadap Udang Windu


(Penaeus monodon). J.Agroland. 14 (1) :82-85.

Prajitno, A. 2005. Diktat Parasit Dan Penyakit Ikan. Fakultas Perikanan. Universitas
Brawijaya, 105 Hal.

Suriyani1, I., Ince A. K. K., Ilmiah K. 2013. Deteksi Vibrio harveyi Menggunakan
Primer Hemolisin Pada Benur Udang Windu Penaeus monodon. Jurnal
Akuakultur Indonesia 12 (2), 101–105

16
Tampangallo B. R. dan Nurhidayah. 2012. Uji Tantang Pasca Larva Udang Windu
Penaeus monodon Dengan Vibrio harveyi. Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi
Teknologi Akuakultur: 729-735.

Taslihan, A. S. M. Astuti. Zariah. 2004. Petunjuk Umum Cara Isolasi Dan Identifikasi
Bakteri Dari Air, Udang, Dan Ikan Di Air Payau. BBPBAP. Jepara

Zhang Xh, Austin B. 2005. A Review: Haemolysins In Vibrio Species. Journal Of


Applied Microbiology. 98: 1011–1019.

Zhang Xh, Meaden Pg, Austin B. 2001. Duplication Of Hemolysin Genes In A Virulent
Isolate Of Vibrio harveyi. Applied And Environmental Microbiology. 67: 3.161–
3167.

17

Anda mungkin juga menyukai