Anda di halaman 1dari 10

MANAJEMEN PERAWATAN ULKUS DECUBITUS

Disusun oleh :
Akhmad Ahadin 1607055

Fikka Amalia S 1607070

Galang Pantiner 1607071

Tri Wahyuni 1607094

PROGRAM PENDIDIKAN S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA
SEMARANG

2016
MANAJEMEN PERAWATAN ULKUS DECUBITUS
A. Pengertian
Ulkus dekubitus atau luka baring merupakan tipe luka tekan. Istilah ulkus dekubitus berasal
dari bahasa latin decumbere yang berarti berbaring (Wilhelmi, 2008 dalam Hastuti dkk, 2013).
Ulkus dekubitus adalah lesi (luka) dikulit yang terjadi akibat rusaknya epidermis, dermis, dan
kadang-kadang jaringan subkutis dan tulang di bawahnya (Corwin, 2009: 134).
Luka dekubitus adalah suatu area yang terlokalisir dengan jaringan mengalami nekrosis
(kematian jaringan) yang biasanya terjadi pada bagian tulang yang menonjol, Dekubitus
sebagai suatu daerah kerusakan seluler yang terlokalisasi, baik akibat tekanan langsung pada
kulit, sehingga menyebabkan "iskemia tekanan (suplai darah kejaringan berkurang)", maupun
akibat kekuatan gesekan sehingga menyebabkan stres mekanik terhadap jaringan (Potter, Perry
2005 dalam Sunaryanti dkk, 2013).

B. Etiologi
Penyebab utama dekubitus adalah tekanan yang mengakibatkan kerusakan struktural pada otot
dan suplai saraf perifernya. Terdapat hubungan nyata antara tekanan dan waktu dalam
timbulnya ulkus dekubitus perubahan jaringan mikroskopik sekunder akibat iskemia lokal
terjadi kurang dari 30 menit. Tekanan mengganggu aliran darah arteriolar dan kapiler. Jika
tekanan berlangsung terus menerus, terjadi kerusakan nyata pada sirkulasi dan jaringan.
Kerusakan tersebut dapat berhubungan dengan pelepuhan dan hilangnya lapisan epidermal
supervisial dari kulit (Morton dkk, 2012 : 1106).
Menurut (suriadi, 2004: 17-18) penyebab luka dekubitus dibagi menjadi 2 faktor:
1) Faktor ekstrinsik
a) Tekanan
Faktor tekanan, terutama sekali bila tekanan tersebut terjadi dalam jangka waktu lama
yang menyebabkan jaringan mengalami iskemik.
b) Pergesekan dan pergeseran
Gaya gesekan adalah sebagai faktor yang menimbulkan luka iskemik (Reichel 1958).
Hal ini biasanya akan terjadi apabila pasien di atas tempat tidur kemudian sering
merosot, dan kulit sering kali mengalami regangan dan tekanan yang mengakibatkan
terjadinya iskemik pada jaringan.
c) Kelembaban
Kondisi kulit pada pasien yang sering mengalami lembab akan mengkontribusi kulit
menjadi maserasi kemudian dengan adanya gesekan dan pergeseran, memudahkan kulit
mengalami kerusakan. Kelembaban ini dapat akibat dari incontinensia (tidak mampu
mengontrol BAK dan BAB), drain luka, banyak keringat dan lainnya.
2) Faktor intrinsik
a) Usia
Usia juga dapat mempengaruhi terjadinya luka dekubitus. Usia lanjut mudah sekali
untuk terjadi luka dekubitus. Hal ini karena pada usia lanjut terjadi perubahan kualitas
kulit dimana adanya penurunan elastisitas, dan kurangnya sirkulasi pada dermis.
b) Temperatur
Kondisi tubuh yang mengalami peningkatan temperatur akan berpengaruh pada
temperatur jaringan. Setiap terjadi peningkatan metabolisme akan menaikkan 1 derajat
celsius dalam temperatur jaringan. Dengan adanya peningkatan temperatur ini akan
beresiko terhadap iskemik jaringan. Selain itu dengan menurunnya elastisitas kulit, akan
tidak toleran terhadap adanya gaya gesekan dan pergeseran sehingga akan mudah
mengalami kerusakan kulit. Hasil penelitian didapatkan bahwa adanya hubungan yang
bermakna antara peningkatan temperatur tubuh dengan resiko terjadinya luka dekubitus
(Nancy Bergstrom and Barbara Braden, 1992).
c) Nutrisi
Nutrisi merupakan faktor yang dapat mengkontribusi terjadinya luka dekubitus. Pada
faktor ini ada juga yang yang masih belum sependapat nutrisi sebagai faktor luka
dekubitus. Namun sebagian dari hasil penelitian mengatakan adanya hubungan yang
bermakna pada klien yang mengalami luka dekubitus dengan malnutrisi. Individu
dengan tingkat serum albumin yang rendah terkait dengan perkembangan terjadi luka
dekubitus. Hypoalbuminemia berhubungan dengan luka dekubitus pada pasien yang
dirawat (Allman et al., 1986. Bergstrom, Norvel, and Braden, 1988).
Adapun faktor lainnya adalah:
(1) Menurunnya persepsi sensori.
(2) Immobilisasi, dan
(3) Keterbatasan aktivitas.
Ketiga faktor ini adalah dampak dari pada lamanya dan intensitas tekanan pada bagian
permukaan tulang yang menonjol.

C. Pembagian Stadium
Menurut (Weinstock, 2013 : 23-24), berikut ini derajat ulkus dekubitus :
1) Derajat I
a) Terlihat area kemerahan berbatas tegas yang persisten pada kulit yang berwarna
terang.
b) Pada kulit yang lebih gelap, terlihat area kemerahan, biru, atau keunguan.
2) Derajat II
a) Kehilangan sebagian ketebalan kulit epidermis atau dermis.
b) Ulkus supervisial.
c) Terdapat abrasi, lepuhan, atau kawah (gaung) dangkal.
3) Derajat III
a) Kehilangan seluruh ketebalan kulit.
b) Kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan.
c) Dapat meluas kebawah tetapi tidak sampai ke fasia
d) Terdapat kawah atau gaung yang dalam.
4) Derajat IV
a) Kehilangan seluruh ketebalan kulit.
b) Luka yang luas, terdapat jaringan nekrosis, atau kerusakan sampai ke otot,
tulang, atau struktur penunjang lainnya.
c) Kemungkinan terbentuk terowongan dan saluran sinus.

Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4


Stadium luka tekan menurut NPUAP (courtesy of Prof. Hiromi Sanada, Japan)

D. Karakteristik
klinis pada dekubitus untuk pertama kali ditandai dengan kulit eritema atau kemerahan,
terdapat ciri khas dimana bila ditekan dengan jari, tanda eritema akan lama kembali lagi atau
persisten. Kemudian diikuti dengan kulit mengalami edema, dan temperatur di area tersebut
meningkat atau bila diraba akan terasa hangat. Tanda pada luka dekubitus ini akan dapat
berkembang hingga sampai ke jaringan otot dan tulang (suriadi, 2004: 21).

Menurut (Bouwhuizen, 1986 dalam Alfiyanti, 2011) daerah tubuh yang sering terkena luka
dekubitus adalah:
1. Pada penderita dengan posisi telentang: pada daerah belakang kepala, daerah
tulang belikat, daerah bokong dan tumit.
2. Pada penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala (terutama daun
telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit pergelangan kaki, dan bagian atas jari-jari
kaki.
3. Pada penderita posisi tengkurap: dahi, lengan atas, tulang iga, dan lutut.
Gambar 2.2 Area Luka Tekan menurut (Stephen & Haynes, 2006 dalam alfiyanti, 2011).

E. Pathofisiologi dan Pathway


Luka dekubitus merupakan dampak dari tekanan yang terlalu lama pada area permukaan tulang
yang menonjol dan mengakibatkan berkurangnya sirkulasi darah pada area yang tertekan dan lama
kelamaan jaringan setempat mengalami iskemik, hipoksia dan berkembang menjadi nekrosis.
Tekanan yang normal pada kapiler adalah 32 mmHg. Apabila tekanan kapiler melebihi dari tekanan
darah dan struktur pembuluh darah pada kulit, maka akan terjadi kolaps. Dengan terjadi kolaps akan
menghalangi oksigenisasi dan nutrisi ke jaringan, selain itu area yang tertekan menyebabkan
terhambatnya aliran darah. Dengan adanya peningkatan tekanan arteri kapiler terjadi perpindahan
cairan kekapiler, ini akan menyokong untuk terjadi edema dan konsekuensinya terjadi autolisis. Hal
lain juga bahwa aliran limpatik menurun, ini juga menyokong terjadi edema dan mengkontribusi
untuk terjadi nekrosis pada jaringan (Suriadi, 2004: 19-20).

F. Pemeriksaan Penunjang
a) Darah lengkap
Peningkatan tertentu awal menunjukkan hemo konsentrasi, sehubungan dengan perpindahan
atau kehilangan cairan dan untuk mengetahui adanya defisiensi nutrisi pada klien. Jika
terjadi leukositosis karena adanya kehilangan sel pada sisi luka dan respon inflamasi
terhadap edema. Glukosa serum yang terjadi peningkatan karena respon stres.
b) Kultur : pertumbuhan mikroorganisme tiruan atau sel – sel jaringan.
c) Albumin serum : protein utama dalam plasma dan cairan serosa lain.

G. Pengkajian luka spesifik pada kasus


1. Penyebab Terjadinya Luka :
2. Riwayat Mekanisme terjadinya Luka
3. Waktu terjadinya luka / lamanya luka :
4. Stadium Luka
5. Jenis Luka berdasarkan :
a. Kontaminasi :
b. Waktu penyembuhan luka :
c. Kedalaman dan luas luka :
d. Mekanisme terjadinya luka :
e. Integritas kulit :
f. Wagner scale :

H. Issue topikal dan Modern Dressing


Teknik pembalutan luka (wound dressing) saat ini berkembang pesat dan dapat membantu pasien
untuk menyembuhkan luka kronis. Prinsip lama yang menyebutkan penanganan luka harus dalam
keadaan kering, ternyata dapat menghambat penyembuhan luka, karena menghambat proliferasi sel
dan kolagen, tetapi luka yang terlalu basah juga akan menyebabkan maserasi kulit sekitar luka.
Memahami konsep penyembuhan luka lembap, pemilihan bahan balutan, dan prinsip-prinsip
intervensi luka yang optimal merupakan konsep kunci untuk mendukung proses penyembuhan luka.
Perawatan luka menggunakan prinsip kelembapan seimbang (moisture balance) dikenal sebagai
metode modern dressing dan memakai alat ganti balut yang lebih modern. Saat ini, lebih dari 500
jenis modern wound dressing dilaporkan tersedia untuk menangani pasien dengan luka kronis antara
lain berupa hidrogel, film dressing, hydrocolloid, calcium alginate, foam/absorbant dressing,
dressing antimikrobial, hydrophobic antimikrobial. Keberhasilan proses penyembuhan luka
tergantung pada upaya mempertahankan lingkungan lembap yang seimbang, karena akan
memfasilitasi pertumbuhan sel dan proliferasi kolagen.
Perawatan luka telah mengalami perkem- bangan sangat pesat terutama dalam dua dekade terakhir,
ditunjang dengan kemajuan teknologi kesehatan. Di samping itu, isu terkini manajemen perawatan
luka berkaitan dengan perubahan profil pasien yang makin sering di- sertai dengan kondisi penyakit
degeneratif dan kelainan metabolik. Kondisi tersebut biasanya memerlukan perawatan yang tepat agar
proses penyembuhan bisa optimal.
Manajemen perawatan luka modern sangat mengedepankan isu tersebut. Hal ini ditunjang dengan
makin banyaknya inovasi terbaru produk-produk perawatan luka. Pada dasarnya, pemilihan produk
yang tepat harus berdasar- kan pertimbangan biaya (cost), kenyamanan (comfort), dan keamanan
(safety).
Cara Perawatan Luka Dengan Modern Dressing
Metode perawatan luka yang berkembang saat ini adalah menggunakan prinsip moisture balance,
yang disebutkan lebih efektif dibandingkan metode konvensional. Perawatan luka menggunakan
prinsip moisture balance ini dikenal sebagai metode modern dressing.
Selama ini, ada anggapan bahwa suatu luka akan cepat sembuh jika luka tersebut telah mengering.
Namun faktanya, lingkungan luka yang kelembapannya seimbang memfasilitasi pertumbuhan sel dan
proliferasi kolagen dalam matriks nonseluler yang sehat. Pada luka akut, moisture balance
memfasilitasi aksi faktor pertumbuhan, cytokines, dan chemokines yang mempromosi pertumbuhan
sel dan menstabilkan matriks jaringan luka. Jadi, luka harus dijaga kelembapannya. Lingkungan yang
terlalu lembap dapat menyebabkan maserasi tepi luka, sedangkan kondisi kurang lembap
menyebabkan kematian sel, tidak terjadi perpindahan epitel dan jaringan matriks.
Perawatan luka modern harus tetap memperhatikan tiga tahap, yakni mencuci luka, membuang
jaringan mati, dan memilih balutan. Mencuci luka bertujuan menurun- kan jumlah bakteri dan
membersihkan sisa balutan lama, debridement jaringan nekrotik atau membuang jaringan dan sel mati
dari permukaan luka.
Perawatan luka konvensional harus sering mengganti kain kasa pembalut luka, sedangkan perawatan
luka modern memiliki prinsip menjaga kelembapan luka dengan menggunakan bahan seperti
hydrogel. Hydrogel berfungsi menciptakan lingkungan luka tetap lembap, melunakkan serta
menghancurkan jaringan nekrotik tanpa merusak jaringan sehat, yang kemudian terserap ke dalam
struktur gel dan terbuang bersama pembalut (debridemen autolitik alami). Balutan dapat diaplikasikan
selama tiga sampai lima hari, sehingga tidak sering menimbulkan trauma dan nyeri pada saat
penggantian balutan.
Jenis modern dressing lain, yakni Ca Alginat, kandungan Ca-nya dapat membantu menghentikan
perdarahan. Kemudian ada hidroselulosa yang mampu menyerap cairan dua kali lebih banyak
dibandingkan Ca Alginat. Selanjutnya adalah hidrokoloid yang mampu melindungi dari kontaminasi
air dan bakteri, dapat digunakan untuk balutan primer dan sekunder. Penggunaan jenis modern
dressing disesuaikan dengan jenis luka. Untuk luka yang banyak eksudatnya dipilih bahan balutan
yang menyerap cairan seperti foam, sedangkan pada luka yang sudah mulai tumbuh granulasi, diberi
gel untuk membuat suasana lembap yang akan membantu mempercepat penyembuhan luka.

I. Gambar-gambar Terkait Materi


DAFTAR PUSTAKA

Aini, Faridah & Purwaningsih Heni. 2012. Pengaruh Alih Baring Terhadap Kerjadian Dekubitus
pada pasien Stroke Yang Mengalami Hemipareses Di Ruang Yudistira RSUD Semarang.
Skripsi, Stikes Ngudi Waluyo. Semarang.

Alfiyanti, Dera. 2011. Pengaruh Perawatan Kulit Berdasarkan Skore Skala Braden Q Terhadap
Kejadian Luka Tekan Anak Di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) RS. Tugurejo Dan RS.
Roemani Semarang. Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta.

Corwin, Elizabeth J. 2008. Handbook Of Pathophysiology. 3 Ed. Williams, Lippincott dkk. USA.
Terjemahan Subekti, Nike Budhi. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Buku Kedokteran.
Jakarta. EGC.

Dewandono, Irawan Derajat. 2014. Pemanfaatan VCO (Virgin Coconut Oil) Dengan Teknik Masage
Dalam Penyembuhan Luka Dekubitus Derajat II Pada Lansia. Skripsi. Stikes Kusuma
Husada. Surakarta.
Hastuti, Sri dkk. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dekubitus Pada Pasien
Di Ruang Intensive Care Unit Rumah Sakit Ibnu Sina Makasar. 2 (5): 39-45.

Marina, Bella dkk. 2013.Pencegahan Kejadian Luka Tekan Melalui Masase Virgin Coconut Oil
Pada Pasien Dengan Imobilisasi. 1 (1): 38-42.

NANDA, 2011. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC.

Nurarif, Amin Huda & Kusuma Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
DiagnosaMedis & NANDA, Jilid 2. Media Action Publising.
Rohmah, N & Walid. S. 2012. Proses Keperawatan Teori & Aplikasi. Yogya: AR-RUZZ Media.

Setiyawan, 2010. Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Dengan Perilaku Perawat Dalam
Upaya Pencegahan Dekubitus Di Rumah Sakit Cakra Husada Klaten. 1 (1): 1-7.

Sunaryanti, Betty dkk. 2013. Perbedaan Penagruh Antara Pemberian Minyak Kelapa Dan
Penyuluhan Kesehatan Tentang Reposisi Terhadap Pencegahan Dekubitus. 1 (1):

Suriadi, 2004. Perawatan Luka. Edisi 1. Sagung Seto. Jakarta.

Wahyuni, Tri, 2014. Pengaruh Posisi Miring 30 Derajat Menggunakan Absorbent Triangle Pillow
Terhadap Dekubitus Grade I Pada Pasien Gngguan Penurunan Kesadaran Di Ruang ICU
RSUD Sragen. Skripsi. Stikes Kusuma Husada. Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai