Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ULKUS DEKUBITUS

Disusun oleh:
DEDE DHAZREKA
19400010
A. Definisi
Dekubitus sering disebut ulkus dermal / ulkus dekubitus atau luka
tekan terjadi akibat tekanan yang sama pada suatu bagian tubuh yang
mengganggu sirkulasi (Harnawatiaj, 2008).
Dekubitus adalah Kerusakan lokal dari kulit dan jaringan dibawah
kulit yang disebabkan penekanan yang terlalu lama pada area tersebut (Ratna
Kalijana, 2008)
Ulkus dekubitus adalah kerusakan kulit yang terjadi akibat
kekurangan alirandarah dan iritasi pada kulit yang menutupi tulang yang
menonjol, dimana kulit tersebut mendapatkan tekanan dari tempat tidur, kursi
roda, gips, pembidaian atau benda keras lainnya dalam jangka panjang (Susan
L, dkk. 2005)
B. Klasifikasi Ulkus Dekubitus
Salah satu cara yang paling untuk mengklasifikasikan dekubitus
adalah dengan menggunakan sistem nilai atau tahapan. Sistem ini pertama
kali dikemukakan oleh Shea (1975 dalam Potter & Perry, 2005) sebagai salah
satu cara untuk memperoleh metode jelas dan konsisten untuk
menggambarkan dan mengklasifikasikan luka dekubitus. Sistem tahapan luka
dekubitus berdasarkan gambaran kedalaman jaringan yang rusak (Maklebust,
1995 dalam Potter & Perry, 2005). Luka yang tertutup dengan jaringan
nekrotik seperti eschar tidak dapat dimasukkan dalam tahapan hingga
jaringan tersebut dibuang dan kedalaman luka dapat di observasi. Peralatan
ortopedi dan braces dapat mempersulit pengkajian dilakukan (AHPCR, 1994
dalam Potter & Perry, 2005).
Menurut NPUAP (1995 dalam Potter & Perry, 2005) ada perbandingan luka
dekubitus derajat I sampai derajat IV yaitu:
1. Derajat I
Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar. Kulit
tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indikator
2. Derajat II
Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan dermis. Luka
superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang
dangkal.
3. Derajat III
Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau
nekrotik yang mungkin akan melebar kebawah tapi tidak melampaui
fascia yang berada di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang
yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
4. Derajat IV
Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif, nekrosis
jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga misalnya
kerusakan jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan kapsul sendi.

C. Etiologi
Luka Dekubitus disebabkan oleh kombinasi dari faktor ekstrinsik dan
intrinsik pada pasien.
1. Faktor Ekstrinsik
a. Tekanan
kulit dan jaringan dibawahnya tertekan antara tulang dengan
permukaan keras lainnya, seperti tempat tidur dan meja operasi.
Tekanan ringan dalam waktu yang lama sama bahayanya dengan
tekanan besar dalam waktu singkat. Terjadi gangguan mikrosirkulasi
lokal kemudian menyebabkan hipoksi dan nekrosis. tekanan antar
muka ( interface pressure). Tekanan antar muka adalah kekuatan per
unit area antara tubuh dengan permukaan matras. Apabila tekanan
antar muka lebih besar daripada tekanan kapiler rata rata, maka
pembuluh darah kapiler akan mudah kolap, daerah tersebut menjadi
lebih mudah untuk terjadinya iskemia dan nekrotik. Tekanan kapiler
rata rata adalah sekitar 32 mmHg.
b. Gesekan dan pergeseran
gesekan berulang akan menyebabkan abrasi sehingga integritas
jaringan rusak. Kulit mengalami regangan, lapisan kulit bergeser
terjadi gangguan mikrosirkulasi lokal.
c. Kelembaban
akan menyebabkan maserasi, biasanya akibat inkontinensia, drain dan
keringat. Jaringan yang mengalami maserasi akan mudah mengalami
erosi. Selain itu kelembapan juga mengakibatkan kulit mudah terkena
pergesekan (friction) dan perobekan jaringan (shear). Inkontinensia
alvi lebih signifikan dalam perkembangan luka tekan daripada
inkontinensia urin karena adanya bakteri dan enzim pada feses dapat
merusak permukaan kulit.
d. Kebersihan tempat tidur, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau
peralatan medik yang menyebabkan klien terfiksasi pada suatu sikap
tertentu juga memudahkan terjadinya dekubitus.
2. Fase Intrinsik
a. Usia
pada usia lanjut akan terjadi penurunan elastisitas dan
vaskularisasi. Pasien yang sudah tua memiliki resiko yang tinggi
untuk terkena luka tekan karena kulit dan jaringan akan berubah
seiring dengan penuaan. Penuaan mengakibatkan kehilangan otot,
penurunan kadar serum albumin, penurunan respon inflamatori,
penurunan  elastisitas kulit, serta penurunan kohesi antara epidermis
dan dermis. Perubahan ini berkombinasi dengan faktor penuaan lain
akan membuat kulit menjadi berkurang toleransinya terhadap tekanan,
pergesekan, dan tenaga yang merobek.  Selain itu, akibat dari
penuaan  adalah berkurangnya jaringan lemak subkutan,
berkurangnya jaringan kolagen dan elastin. menurunnya efesiensi
kolateral kapiler pada kulit sehingga kulit menjadi lebih tipis dan
rapuh.
b. Penurunan sensori persepsi
Pasien dengan penurunan sensori persepsi akan mengalami penurunan
untuk merasakan sensari nyeri akibat tekanan diatas tulang yang
menonjol. Bila ini terjadi dalam durasi yang lama, pasien akan mudah
terkena luka tekan. karena nyeri merupakan suatu tanda yang secara
normal mendorong seseorang untuk bergerak. Kerusakan saraf
(misalnya akibat cedera, stroke, diabetes) dan koma bisa
menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk merasakan nyeri.
c. Penurunan kesadaran
gangguan neurologis, trauma, analgetik narkotik.
d. Malnutrisi
Orang-orang yang mengalami kekurangan gizi (malnutrisi) tidak
memiliki lapisan lemak sebagai pelindung dan kulitnya tidak
mengalami pemulihan sempurna karena kekurangan zat-zat gizi yang
penting.
Karena itu klien malnutrisi juga memiliki resiko tinggi menderita
ulkus dekubitus. Selain itu, malnutrisi dapat gangguan penyembuhan
luka. Biasanya berhubungan dengan hipoalbumin. Hipoalbuminemia,
kehilangan berat badan, dan malnutrisi umumnya diidentifikasi
sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya luka tekan. Menurut
penelitian Guenter (2000) stadium tiga dan empat dari luka tekan pada
orang tua berhubungan dengan penurunan berat badan, rendahnya
kadar albumin, dan intake makanan yang tidak mencukupi.
e. Mobilitas dan aktivitas
Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi
tubuh, sedangkan aktivitas adalah kemampuan untuk berpindah.
Pasien yang berbaring terus menerus ditempat tidur tanpa mampu
untuk merubah posisi beresiko tinggi untuk terkena luka tekan.
Orang-orang yang tidak dapat bergerak (misalnya lumpuh, sangat
lemah, dipasung). Imobilitas adalah faktor yang paling signifikan
dalam kejadian luka tekan.
f. Merokok
Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan
memiliki efek toksik terhadap endotelium pembuluh darah. Menurut
hasil penelitian Suriadi (2002) ada hubungaan yang signifikan antara
merokok dengan perkembangan terhadap luka tekan.
g. Temperatur kulit
Menurut hasil penelitian Sugama (1992) peningkatan temperatur
merupakan faktor yang signifikan dengan resiko terjadinya luka tekan.
h. Kemampuan sistem kardiovaskuler menurun, sehingga perfusi kulit
menurun.
i. Anemia
j. Hipoalbuminemia, beresiko tinggi terkena dekubitus dan
memperlambat penyembuhannya.
k. Penyakit-penyakit yang merusak pembuluh darah juga mempermudah
terkena dekubitus dan memperburuk dekubitus.

D. Manifestasi Klinis
Terjadi pada pasien-pasien paraplegia, quadriplegia, spina bifida,
multiple sklerosis dan imobilisasi lama di rumah sakit. Selain itu, faktor lain
perlu diketahui dari riwayat penderita meliputi onset, durasi, riwayat
pengobatan sebelumnya, perawatan luka, riwayat operasi sebelumnya, status
gizi dan perubahan berat badan, riwayat alergi, konsumsi alkohol, merokok
serta keadaan sosial ekonomi penderita. Anamnesa sistem termasuk di
dalamnya antara lain demam, keringat malam, spasme (kaku), kelumpuhan,
bau, nyeri (Arwaniku, 2007).
Menurut NPUAP ( National Pressure Ulcer Advisory Panel ), luka tekan
dibagi menjadi empat tadium, yaitu :
1. Stadium Satu
Adanya perubahan dari kulit yang dapat diobservasi. Apabila
dibandingkan dengan kulit yang ormal, maka akan tampak salah satu
tanda sebagai berikut : perubahan temperatur kulit ( lebih dingin atau
lebih hangat ), perubahan konsistensi jaringan ( lebih keras atau lunak ),
perubahan sensasi (gatal atau nyeri). Pada orang yang berkulit putih, luka
mungkin kelihatan sebagai kemerahan yang menetap. Sedangkan pada
yang berkulit gelap, luka akan kelihatan sebagai warna merah yang
menetap, biru atau ungu.
2. Stadium Dua
Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau
keduanya. Cirinya adalah lukanya superficial, abrasi, melempuh, atau
membentuk lubang yang dangkal.
3. Stadium Tiga
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis
dari jaringn subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fascia.
Luka terlihat seperti lubang yang dalam
4. Stadium Empat
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap dengan kerusakan yang luas,
nekrosis jaringan, kerusakan pada otot, tulang atau tendon. Adanya
lubang yang dalam serta saluran sinus juga termasuk dalam stadium IV
dari luka tekan.

Menurut stadium luka tekan diatas, luka tekan berkembang dari


permukaan luar kulit ke lapisan dalam ( top-down).Namun menurut hasil
penelitian saat ini, luka tekan juga dapat berkembang dari jaringan bagian
dalam seperti fascia dan otot walapun tanpa adanya adanya kerusakan pada
permukaan kulit. Ini dikenal dengan istilah injuri jaringan bagian dalam
(Deep Tissue Injury). Hal ini disebabkan karena jaringan otot dan jaringan
subkutan lebih sensitif terhadap iskemia daripada permukaan kulit. Kejadian
DTI sering disebabkan karena immobilisasi dalam jangka waktu yang lama,
misalnya karena periode operasi yang panjang. Penyebab lainnya adalah
seringnya pasien mengalami tenaga yang merobek (shear).
Jenis luka tekan ini lebih berbahaya karena berkembang dengan cepat
daripada luka tekan yang dimulai dari permukaan kulit. Kebanyakan DTI
juga lebih sulit disembuhkan walaupun sudah diberikan perawatan yang
adekuat. NPUAP dan WOCN (2005) menyimpulkan bahwa DTI masuk ke
dalam kategori luka tekan, namun stadium dari DTI masih diperdebatkan
karena stadium yang selama ini ada merepresentasikan luka tekan yang
dimulai dari permukaan menuju kedalam jaringan (top-down), sedangkan
DTI dimulai dari dalam jaringan menuju ke kulit superficial ( bottom-up).

E. Patofisiologi
Tiga elemen yang menjadi dasar terjadinya dekubitus yaitu:
1. Intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler
2. Durasi dan besarnya tekanan
3. Toleransi jaringan
Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antar waktu dengan tekanan
(Stortts, 1988 dalam Potter & Perry, 2005). Semakin besar tekanan dan
durasinya maka semakin besar pula insidensinya terbentuknya luka ( Potter &
Perry, 2005).
Pembentukan luka dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya
gesek yang terjadi saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area
sakral dan tumit merupakan area yang paling rentan (Maklebust, 1987 dalam
Potter & Perry, 2005). Efek tekanan juga dapat di tingkatkan oleh distribusi
berat badan yang tidak merata. Seseorang mendapatkan tekanan konstan pada
tubuh dari permukaan tempatnya berada karena adanya gravitasi (Berecek,
1975 dalam Potter & Perry, 2005). Jika tekanan tidak terdistribusi secara
merata pada tubuh maka gradien tekanan jaringan yang mendapatkan tekanan
akan meningkat dan metabolisme sel kulit di titik tekanan mengalami
gangguan.

F. Pathway Faktor Intrinsik


Usia - Merokok
G. Faktor Ekstrinsik Penurunan persepsi sensori - Malnutrisi
Tekanan Penurunan kesadaran - Tirah baring
Geseskan dan pergoresan Temperature kulit - Anemia
Kelembaban Hipoalbuminemia - Kebiasaan makan
Kebersihan tembat tidur System kardiovaskuler menurun

Kulit & jaringan tidak dapat metoleransi Kulit & jaringan dapat metoleransi beberapa
tekanan

Menghilangkan aliran darah ke jaringan

Akan pulih dengan mekanisme fisiologis


hyperemia reaktif
Jaringan menjadi hipoksi

Tekanan dihilangkan sebelum titik kritis


Cidera Iskemik

Tekanan tidak di hilangkan


Nyeri Kerusakan Jaringan

Resiko Infeksi Terjadi di ekstrimitas

H. Komplikasi
Gangguan
Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV,fisik
mobilisasi walaupun
dapat terjadi pada luka yang superfisial. Menurut subandar (2008) komplikasi
yang dapat terjadi antara lain:
1. Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik aerobik maupun anaerobik.
2. Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteotitis,
osteomielitis, dan arthritis septik.
3. Septikimia
4. Animea
5. Hipoalbuminea
6. Kematian.

I. Pemeriksaan Penunjang
1. Kultur dan analisis urin
Kultur ini dibutuhakan pada keadaan inkontinensia untuk melihat apakah
ada masalah pada ginjal atau infeksi saluran kencing, terutama pada
trauma medula spinalis.

2. Kultur Tinja
Pemeriksaan ini perlu pada keadaan inkontinesia alvi untuk melihat
leukosit dan toksin Clostridium difficile ketika terjadi pseudomembranous
colitis.
3. Biopsi
Biopsi penting pada keadaan luka yang tidak mengalami perbaikan
dengan pengobatan yang intensif atau pada ulkus dekubitus kronik untuk
melihat apakah terjadi proses yang mengarah pada keganasan. Selain itu,
biopsi bertujuan untuk melihat jenis bakteri yang menginfeksi ulkus
dekubitus. Biopsi tulang perlu dilakukan bila terjadi osteomyelitis.
4. Pemeriksaan Darah
Untuk melihat reaksi inflamasi yang terjadi perlu diperiksa sel darah putih
dan laju endap darah. Kultur darah dibutuhkan jika terjadi bakteremia dan
sepsis.
5. Keadaan Nutrisi
Pemeriksaan keadaan nutrisi pada penderita penting untuk proses
penyembuhan ulkus dekubitus. Hal yang perlu diperiksa adalah albumin
level, prealbumin level, transferrin level, dan serum protein level.
6. Radiologis: Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kerusakan tulang
akibat osteomyelitis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sinar-X,scan
tulang atau MRI.

J. Pengkajian

Data dasar pengkajian yang terus-menerus memberi informasi penting


integritas kulit pasien dan peningkatan resiko terjadinya dekubitus.
Pengkajian dekubitus tidak terlepas pada kulit karena dekubitus mempunyai
banyak faktor etiologi. Oleh karena itu, pengkajian awal pasien luka
dekubitus memiliki beberapa dimensi (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry,
2005).
1. Ukuran Perkiraan
Pada saat seseorang masuk ke rumah sakit perawatan akut dan
rehabilitasi, rumah perawatan, program perawatan rumah, fasilitas
perawatan lain maka pasien harus dikaji resiko terjadi dekubitus
(AHPCR, 1992). Pengkajian resiko luka dekubitus harus dilakukan secara
sistematis (NPUAP, 1989) seperti
Pengkajian Resiko Luka Dekubitus Identifikasi resiko terjadi pada pasien:
a Identifikasi resiko terjadi pada pasien:
1) Paralisis atau imobilisasi yang disebabkan oleh alat-alat yang
membatasi gerakan pasien.
2) Kehilangan sensorik
3) Gangguan sirkulasi
4) Penurunan tingkat kesadaran, sedasi, atau anastesi
5) Gaya gesek, friksi
6) Kelembaban: inkontensia, keringat, drainase luka dan muntah
7) Malnutrisi
8) Anemia
9) Infeksi
10) Obesitas
11) Kakesia
12) Hidrasi: edema atau dehidrasi
13) Lanjut usia
14) Adanya dekubitus
b Kaji kondisikulit disekitar daerah yang mengalami penekanan pada
area sebagai berikut:
1) Hireremia reaktif normal
2) Warna pucat
3) Indurasi
4) Pucat dan belang-belang
5) Hilangnya lapisan kulit permukaan
6) Borok, lecet atau bintik-bintik
c Kaji daerah tubuh pasien yang berpotensi mengalami tekanan:
1) Lubang hidung
2) Lidah, bibir
3) Tempat pemasangan intravena
4) Selang drainase
5) Kateter foley
d Observasi posisi yang lebih disukai pasien saat berada di atas tempat
tidur atau kursi
e Observasi mobilisasi dan kemampuan pasien untuk melakukan dan
membantu dalam mengubah posisi.
f Tentukan nilai resiko:
1) Skala Norton

Resiko terjadi dkubitus jika skor total < 14


(sumber: Morison, Moya J. 2003)
2) Skala Gosnell
3) Skala Barden
g Pantau lamanya waktu daerah kemerahan
h Dapatkan data pengkajian nutrisi yang meliputi jumlah serum albumin,
jumlah protein total, jumlah hemoglobin, dan presentasi berat badan
ideal
i Kaji pemahaman pasien dan keluarga tentang resiko dekubitus.
Keuntungan dari instrumen perkiraan adalah meningkatkan deteksi
dini perawat pada pasien beresiko maka intervensi yang tepat diberikan
untuk mempertahankan integritas kulit. pengkajian ulang untuk resiko luka
dekubitus harus dilakukan secara teratur ( AHPCR, 1992). Sanagt dianjurkan
manggunakan alat pengkajian yang tervalidasi untuk jenis populasi pasien
tertentu.
2. Kulit
Perawat harus mengkaji kulit terus-menerus dari tanda-tanda
munculnya luka pada kulit klien gangguan neurologi, berpenyakit kronik
dalam waktu lama, penurunan status mental, dan dirawat di ruang ICU,
berpenyakit onkologi, terminal, dan orthopedi berpotensi tinggi terjadi luka
dekubitus.

3. Mobilisasi
Pengkajian meliputi pendokumentasian tingkat mobilisasi pada
integritas kulit. Pengkajian mobilisasi juga harus memperoleh data tentang
kualitas tonus dan kekuatan otot. Klien yang mempunyai rentang gerak yang
adekuat untuk bergerak secara mandiri ke bentuk posisi yang lebih
terlindungi.
4. Status Nutrisi
Pengkajian nutrisi klien harus menjadi bagian integral dalam pengkajian data
awal pada pasien beresiko gangguan integritas kulit (Breslow & Bergstrom,
1994; Water et el, 1994; Finucance, 1995;). Pasien malnutrisi atau kakesia
dan berat badan kurang dari 90% berat badan ideal atau pasien yang berat
badan lebih dari 110% berat badan ideal lebih beresiko terjadi luka dekubitus
(Hanan & Scheele, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Walaupun presentase
berat badan bukan indikator yang baik, tapi jika ukuran ini digunakan
bersama-sama dengan jumlah serum albumin atau protein total yang rendah,
maka presentase berat badan ideal pasien dapat mempengaruhi timbulnya
luka dekubitus (Potter & Perry, 2005).

4. Nyeri
Sampai saat ini, hanya sedikit tulisan atau penelitian yang dilakukan
tentang nyeri dan luka dekubitus, AHPCR (1994) telah merekomendasi
pengkajian dan manajemen nyeri termasuk dalam perawatan pasien luka
dekubitus. Selain itu AHPCR (1994) menegaskan perlunya penelitian tentang
nyeri pada pasien luka dekubitus. Salah satu studi yang pertama kali
menghitung pengalaman nyeri pasien yang dirawat di rumah sakit karena
luka dekubitus telah dilakukan oleh Dallam et el (1995). Pada studi ini 59,1%
pasien melaporkan adanya nyeri dangan menggunakan skala analog visual,
68,2% melaporkan adanya nyeri akibat luka dekubitus dengan menggunakan
skala urutan nyeri faces.
K. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncu
1. Kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan dengan destruksi
mekanis jaringan sekunder terhadap tekanan, gesekan dan fraksi.
2. Kerusakan mobilisasi fisik berhubungan dengan pembatasan gerak yang
diharuskan, kehilangan control motorik.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan pemasukkan oral,anoreksia.
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemajanan dasar
dekubitus, penekanan respons inflamasi.
5. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan di area dekubitus.

L. Intervensi Keperawatan
1. Kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan dengan destruksi
mekanis jaringan sekunder terhadap tekanan, gesekan dan fraksi.
Diagnosa Rencana keperawatan
Keperawatan/
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Masalah
Hasil
Kolaborasi

Kerusakan NOC: NIC :


integritas jaringan 1. Tissue integrity : Pressure ulcer prevention
berhubungan skin and mucous Wound care
dengan: membranes 1. Anjurkan pasien untuk
Gangguan 2. Wound healing : menggunakan pakaian yang
sirkulasi, iritasi primary and longgar
kimia (ekskresi secondary 2. Jaga kulit agar tetap bersih dan
dan sekresi tubuh, intention kering
medikasi), defisit Setelah dilakukan 3. Mobilisasi pasien (ubah posisi
cairan, kerusakan tindakan pasien) setiap dua jam sekali
mobilitas fisik, keperawatan selama 4. Monitor kulit akan adanya
keterbatasan …. kerusakan kemerahan
pengetahuan, integritas jaringan 5. Oleskan lotion atau minyak/baby
faktor mekanik pasien teratasi oil pada daerah yang tertekan
(tekanan, dengan kriteria hasil: 6. Monitor aktivitas dan mobilisasi
gesekan),kurangny 1. Perfusi jaringan pasien
a nutrisi, radiasi, normal 7. Monitor status nutrisi pasien
faktor suhu (suhu 2. Tidak ada tanda- 8. Memandikan pasien dengan
yang ekstrim) tanda infeksi sabun dan air hangat
DO : 3. Ketebalan dan 9. Kaji lingkungan dan peralatan
1. Kerusakan tekstur jaringan yang menyebabkan tekanan
jaringan normal 10. Observasi luka : lokasi, dimensi,
(membran 4. Menunjukkan kedalaman luka,
mukosa, pemahaman karakteristik,warna cairan,
integumen, dalam proses granulasi, jaringan nekrotik,
subkutan) perbaikan kulit tanda-tanda infeksi lokal, formasi
dan mencegah traktus
terjadinya cidera 11. Ajarkan pada keluarga tentang
berulang luka dan perawatan luka
5. Menunjukkan 12. Kolaborasi ahli gizi pemberian
terjadinya proses diet TKTP, vitamin
penyembuhan 13. Cegah kontaminasi feses dan urin
luka 14. Lakukan tehnik perawatan luka
dengan steril
15. Berikan posisi yang mengurangi
tekanan pada luka
16. Hindari kerutan pada tempat tidur

2. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan pembatasan gerak yang


diharuskan, kehilangan control motorik.
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil

Gangguan mobilitas fisik NOC : NIC :


Berhubungan dengan : 1. Joint Movement : Exercise therapy :
1. Gangguan Active ambulation
metabolisme sel 2. Mobility Level 1. Monitoring vital sign
2. Keterlembatan 3. Self care : ADLs sebelm/sesudah latihan
perkembangan 4. Transfer dan lihat respon pasien
3. Pengobatan performance saat latihan
4. Kurang support Setelah dilakukan 2. Konsultasikan dengan
lingkungan tindakan keperawatan terapi fisik tentang
5. Keterbatasan selama….gangguan rencana ambulasi
ketahan kardiovaskuler mobilitas fisik teratasi sesuai dengan
6. Kehilangan dengan kriteria hasil: kebutuhan
integritas struktur tulang 1. Klien meningkat 3. Bantu klien untuk
7. Terapi pembatasan dalam aktivitas menggunakan tongkat
gerak fisik saat berjalan dan cegah
8. Kurang pengetahuan 2. Mengerti tujuan terhadap cedera
tentang kegunaan dari peningkatan 4. Ajarkan pasien atau
pergerakan fisik mobilitas tenaga kesehatan lain
9. Indeks massa tubuh 3. Memverbalisasikan tentang teknik
diatas 75 tahun percentil perasaan dalam ambulasi
sesuai dengan usia meningkatkan 5. Kaji kemampuan
10. Kerusakan persepsi kekuatan dan pasien dalam
sensori kemampuan mobilisasi
11. Tidak nyaman, nyeri berpindah 6. Latih pasien dalam
12. Kerusakan 4. Memperagakan pemenuhan kebutuhan
muskuloskeletal dan penggunaan alat ADLs secara mandiri
neuromuskuler Bantu untuk sesuai kemampuan
13. Intoleransi mobilisasi (walker) 7. Dampingi dan Bantu
aktivitas/penurunan pasien saat mobilisasi
kekuatan dan stamina dan bantu penuhi
14. Depresi mood atau kebutuhan ADLs ps.
cemas 8. Berikan alat Bantu jika
15. Kerusakan kognitif klien memerlukan.
16. Penurunan kekuatan 9. Ajarkan pasien
otot, kontrol dan atau bagaimana merubah
masa posisi dan berikan
17. Keengganan untuk bantuan jika
memulai gerak diperlukan
18. Gaya hidup yang
menetap, tidak digunakan,
deconditioning
19. Malnutrisi selektif
atau umum
DO:
20. Penurunan waktu
reaksi
21. Kesulitan merubah
posisi
22. Perubahan gerakan
(penurunan untuk
berjalan, kecepatan,
kesulitan memulai
langkah pendek)
23. Keterbatasan
motorik kasar dan halus
24. Keterbatasan ROM
25. Gerakan disertai
nafas pendek atau tremor
26. Ketidak stabilan
posisi selama melakukan
ADL
27. Gerakan sangat
lambat dan tidak
terkoordinasi
DAFTAR PUSTAKA

Guenter P., Malyszck R.,Bliss D.Z.,et al. Survey of nutritional status


in newly hospitalized patiens with stage III or stage IV pressure ulcers.
Advances in Wound Care.2000;13:164-168
Pendland, Susan L., dkk.Skin and Soft Tissue Infections. Dalam
Joseph T. DiPiro, kk, editor. Pharmacotherapy A Pathophysiologic
Approach.Edisi 6. Chicago: McGrawHill Company; 2005. p1998-90
Potter & Perry, 2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik, Jakarta: EGC
Sugama., J., Sanada, H., Kanagawa, K., et al . Risk factors of pressure
sore development, intensive care unit, Pressure – relieving care, the Japanese
version of the Braden Scale. Kanazawa Junior Collage, 1992, 16, 55-59
Suriadi, Sanada H, Kitagawa A, et.al. Study of reliability and validity
of the braden scale translated into indonesia. 2002. Master thesis. Kanazawa
University, Japan
Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan:
Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Ed 9. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai