PMK No. 51 TTG Pencegahan Penularan HIV Ibu Ke Anak
PMK No. 51 TTG Pencegahan Penularan HIV Ibu Ke Anak
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1 …
-3-
Pasal 1
Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak merupakan acuan bagi
tenaga kesehatan, pengelola program, kelompok profesi, dan pemangku
kepentingan terkait Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak.
Pasal 2
(1) Penularan HIV dari Ibu ke Anak dapat terjadi selama masa kehamilan,
saat persalinan dan saat menyusui.
(2) Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui 4 (empat) prong/kegiatan, sebagai
berikut :
a. pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi;
b. pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV
positif;
c. pencegahan penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang
dikandung; dan
d. pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu
HIV positif beserta anak dan keluarganya.
Pasal 3
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
Pasal 4
Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini
dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, dinas kesehatan provinsi, dan dinas
kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan
masing-masing.
Pasal 5
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 038 Tahun 2012 tentang Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu
ke Anak, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 6 …
-4-
Pasal 6
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Juli 2013
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NAFSIAH MBOI
ttd
AMIR SYAMSUDIN
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KESEHATAN
NOMOR 51 TAHUN 2013
TENTANG
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN
HIV DARI IBU KE ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jumlah perempuan yang terinfeksi HIV dari tahun ke tahun semakin
meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan
hubungan seksual tidak aman, yang selanjutnya akan menularkan pada
pasangan seksualnya.
Infeksi HIV pada ibu hamil dapat mengancam kehidupan ibu serta ibu
dapat menularkan virus kepada bayinya. Lebih dari 90% kasus anak
terinfeksi HIV, ditularkan melalui proses penularan dari ibu ke anak atau
Mother To Child Hiv Transmission (MTCT). Virus HIV dapat ditularkan dari
ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama kehamilan, saat persalinan
dan saat menyusui.
Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) telah terbukti
sebagai intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan HIV dari
ibu ke anak. Di negara maju risiko anak tertular HIV dari ibu dapat ditekan
hingga kurang dari 2% karena tersedianya intervensi PPIA dengan layanan
optimal. Namun di negara berkembang atau negara miskin, dengan
minimnya akses intervensi, risiko penularan masih berkisar antara 20%
dan 50%.
Salah satu alasan meningkatnya cakupan tes HIV dan terapi ARV pada ibu
hamil adalah meningkatnya tes HIV dan konseling atas inisiasi petugas (Tes
HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling,
TIPK/Prevention of Mother to Child HIV Transmission, PITC) di layanan
antenatal dan persalinan, dan layanan kesehatan lainnya.
Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama
dan salah satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu
dan anak. Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah ada di Indonesia sejak
kasus pertama ditemukan tahun 1987. Sampai tahun 2012 kasus HIV dan
AIDS telah dilaporkan oleh 341 dari 497 kabupaten/kota di 33 provinsi.
Kementerian Kesehatan memperkirakan, pada tahun 2016 Indonesia akan
-6-
mempunyai hampir dua kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan
AIDS dewasa dan anak (812.798 orang) dibandingkan pada tahun 2008
(411.543 orang), bila upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang
dilaksanakan tidak adekuat sampai kurun waktu tersebut (Laporan
Pemodelan Matematika epidemi HIV di Indonesia, Kemkes, 2012).
Estimasi jumlah infeksi baru HIV (x1000)
D. Sasaran
Buku pedoman ini ditujukan untuk semua pihak yang berkepentingan
dalam upaya pengembangan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
di Indonesia, termasuk:
• Tenaga kesehatan, yaitu dokter, dokter spesialis, bidan, perawat dan
tenaga terkait lainnya yang bertugas di layanan kesehatan dasar dan
rujukan, fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta.
• Pengelola program dan petugas pencatatan-pelaporan di layanan dasar
dan rujukan, terutama layanan HIV dan AIDS, layanan KIA, KB,
kesehatan reproduksi, kesehatan remaja, baik di fasilitas pelayanan
kesehatan milik pemerintah maupun swasta.
• Pemangku kepentingan (stakeholder) baik Pemerintah maupun Non
Pemerintah, yang terkait dengan penyediaan layanan HIV dan AIDS.
• Kelompok profesi dan kelompok seminat bidang kesehatan terkait
layanan kesehatan bagi ODHA, layanan KIA, KB, kesehatan reproduksi,
kesehatan remaja, IMS, dan layanan lainnya.
-12-
BAB II
secara cepat dan diikuti dengan perusakan sel limfosit T CD4 dan sel
kekebalan lainnya sehingga terjadilah gejala berkurangnya daya tahan
tubuh yang progresif. Progresivitas tergantung pada beberapa faktor
seperti: usia kurang dari 5 tahun atau di atas 40 tahun, infeksi lainnya,
dan faktor genetik.
Infeksi, penyakit, dan keganasan dapat terjadi pada individu yang terinfeksi
HIV. Penyakit yang berkaitan dengan menurunnya daya tahan tubuh pada
orang yang terinfeksi HIV, misalnya infeksi tuberkulosis (TB), herpes zoster
(HSV), oral hairy cell leukoplakia (OHL), oral candidiasis (OC), papular
pruritic eruption (PPE), Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), cryptococcal
meningitis (CM), retinitis Cytomegalovirus(CMV), dan Mycobacterium avium
(MAC).
1 0 0 0
9 0 0 CD4 + T cells
8 0 0
CD44 + cell Count
7 0 0
Acute HIV TB
6 0 0 Infection Asymptomatic
Syndrome
5 0 0
HZV
CD
4 0 0 Window OHL
period Relative level of
3 0 0 Plasma HIV- RNA OC
2 0 0 PPE
PCP
1 0 0 CM
Antibody
0 CMV, MAC
CMV,
0 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0
1 1 ……. .
Months ……. Years After HIV Infection
1. Hubungan seksual
Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan
dari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat
terjadi selama sanggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki
dengan laki-laki. Sanggama berarti kontak seksual dengan penetrasi
vaginal, anal, atau oral antara dua individu. Risiko tertinggi adalah
-14-
penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang
terinfeksi HIV. Kontak seksual oral langsung (mulut ke penis atau mulut
ke vagina) termasuk dalam kategori risiko rendah tertular HIV.
Tingkatan risiko tergantung pada jumlah virus yang ke luar dan masuk
ke dalam tubuh seseorang, seperti pada luka sayat/gores dalam mulut,
perdarahan gusi, dan atau penyakit gigi mulut atau pada alat genital.
2. Pajanan oleh darah, produk darah, atau organ dan jaringan yang
terinfeksi
Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji
saring) untuk pemeriksaan HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit
suntikan, atau penggunaan alat medik lainnya yang dapat menembus
kulit. Kejadian di atas dapat terjadi pada semua pelayanan kesehatan,
seperti rumah sakit, poliklinik, pengobatan tradisional melalui alat
penusuk/jarum, juga pada pengguna napza suntik (penasun). Pajanan
HIV pada organ dapat juga terjadi pada proses transplantasi
jaringan/organ di fasilitas pelayanan kesehatan.
3. Penularan dari ibu ke anak
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya. Virus
dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama
hamil, saat persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan
dini, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan meninggal
sebelum ulang tahun kedua.
Tabel 1. Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke bayi
Waktu Risiko
Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30%
dan akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan ARV. Pemberian
ARV jangka pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV
sebesar 15-25% dan risiko penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak
menyusui (PASI). Akan tetapi, dengan terapi antiretroviral (ART) jangka
panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke anak dapat diturunkan lagi
hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui secara eksklusif memiliki risiko yang
sama untuk menularkan HIV ke anaknya dibandingkan dengan ibu yang
tidak menyusui (De Cock KM, Fowler MG, Mercier E, et al. JAMA 2000;
283:1175-82). Dengan pelayanan PPIA yang baik, maka tingkat penularan
dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%.
Gambar 4. Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak saat hamil, bersalin
dan menyusui
BAB III
PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Sejalan dengan kemajuan pengobatan HIV dan intervensi PPIA, ibu dengan
HIV dapat merencanakan kehamilannya dan diupayakan agar bayinya
tidak terinfeksi HIV. Petugas kesehatan harus memberikan informasi yang
lengkap tentang berbagai kemungkinan yang dapat terjadi, terkait
-22-
C. Prong 3: Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi
yang dikandungnya
Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah terinfeksi
HIV ini merupakan inti dari kegiatan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke
Anak. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak yang komprehensif mencakup
kegiatan sebagai berikut:
1. Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV;
2. Diagnosis HIV
3. Pemberian terapi antiretroviral;
4. Persalinan yang aman;
5. Tata laksana pemberian makanan bagi bayi dan anak;
6. Menunda dan mengatur kehamilan;
7. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak;
8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada anak.
Semua jenis kegiatan di atas akan mencapai hasil yang efektif jika
dijalankan secara berkesinambungan. Kombinasi kegiatan tersebut
-23-
Keterangan:
* Penggunaan Nevirapin (NVP) pada perempuan dengan CD4 >250
sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya dapat
menimbulkan reaksi hipersensitif berat
** Efavirens tidak boleh diberikan pada ODHA hamil trimester 1
karena teratogenik
4. Persalinan aman
Pemilihan persalinan yang aman diputuskan oleh ibu setelah
mendapatkan konseling lengkap tentang pilihan persalinan, risiko
penularan, dan berdasarkan penilaian dari tenaga kesehatan. Pilihan
persalinan meliputi persalinan per vaginam dan per abdominam
(bedah sesar atau seksio sesarea).
Dalam konseling perlu disampaikan mengenai manfaat terapi ARV
sebagai cara terbaik mencegah penularan HIV dari ibu ke anak.
Dengan terapi ARV yang sekurangnya dimulai pada minggu ke-14
kehamilan, persalinan per vaginam merupakan persalinan yang
-30-
Syarat: Syarat:
• Pemberian ARV mulai • Ada indikasi obstetrik; dan
pada < 14 minggu (ART • VL >1.000 kopi/µL atau
> 6 bulan); atau • Pemberian ARV dimulai pada
• VL <1.000 kopi/µL usia kehamilan > 36 minggu
5 – 15% 0% 24,1%
8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada bayi yang lahir dari ibu dengan HIV
Penularan HIV pada anak dapat terjadi selama masa kehamilan, saat
persalinan, dan menyusui. Antibodi HIV dari ibu dapat berpindah ke
bayi melalui plasenta selama kehamilan berada pada darah
bayi/anak hingga usia 18 bulan. Penentuan status HIV pada
bayi/anak (usia <18 bulan) dari ibu HIV tidak dapat dilakukan
dengan cara pemeriksaan diagnosis HIV (tes antibodi) biasa.
Pemeriksaan serologis anti-HIV dan pemeriksaan virologis HIV RNA
(PCR) dilakukan setelah usia 18 bulan atau dapat dilakukan lebih
awal pada usia 9-12 bulan, dengan catatan bila hasilnya positif,
maka harus diulang setelah usia 18 bulan.
Pemeriksaan virologis, seperti HIV DNA (PCR), saat ini sudah ada di
Indonesia dan dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis HIV
pada anak usia di bawah 18 bulan. Pemeriksaan tersebut harus
dilakukan minimal 2 kali dan dapat dimulai ketika bayi berusia 4-6
minggu dan perlu diulang 4 minggu kemudian. Pemeriksaan HIV
DNA (PCR) adalah pemeriksaan yang dapat menemukan virus atau
partikel virus dalam tubuh bayi dan saat ini sedang dikembangkan di
Indonesia untuk diagnosis dini HIV pada bayi (Early Infant Diagnosis,
EID).
Untuk pemeriksaan diagnosis dini HIV pada bayi ini, Kementerian
Kesehatan sedang mengembangkan laboratorium rujukan nasional
dan beberapa laboratorium rujukan regional. Spesimen darah anak
yang akan diperiksa dapat dikirimkan berupa tetes darah kering (Dry
Blood Spot, DBS) ke laboratorium tersebut. Dengan pemeriksaan
tersebut, diagnosis HIV pada anak dapat ditegakkan sedini mungkin.
-35-
Ibu Hamil
• Pemerintah
Partisipasi Laki-laki Mobilisasi Masyarakat • Tenaga LSM
• Kader
• Dokter
Pelayanan KIA di Fasyankes Penyuluhan Kesehatan & PPIA • Bidan/ Perawat
(Puskesmas, RS, klinik) di masyarakat • LSM/ Kader
• Dokter
Penawaran dan informasi Tes HIV • Bidan/ Perawat
Konseling Pra-tes
• Petugas
Pemeriksaan Laboratorium Laboratorium
• Dokter
Konseling
• Bidan
persalinan aman
• Dokter
Dukungan Psikososial • Bidan/Perawat
dan Perawatan bagi Ibu • Relawan
dengan HIV & bayinya • ODHA (KDS)
Gambar 7. Alur proses ibu hamil menjalani kegiatan Prong 3 dan 4 dalam
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
-37-
BAB IV
JEJARING PPIA
Komisi Penanggulangan
AIDS
Fasyankes Fasyankes
Sekunder Primer
RS Kab/ Kota KADER
PBM
Fasyankes Kelompok LSM, Ormas,
Orsos, Relawan
Tersier Dukungan
PBR
RS Provinsi Keluarga ODHA
COMMUNITY
ORGANIZER
Dalam jejaring PPIA setiap institusi memiliki peran tersendiri yang terintegrasi
dan saling berhubungan dengan institusi lainnya. Di sarana kesehatan,
pelayanan PPIA dijalankan oleh Puskesmas dan jajarannya, Rumah Sakit,
serta bidan praktek swasta. Di tingkat masyarakat, pelayanan PPIA dijalankan
oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ataupun Kelompok Dukungan
Sebaya (KDS) ODHA.
Agar peran masing-masing institusi berjalan secara optimal, diperlukan
sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan
pelayanan PPIA yang memadai. Untuk itu, diperlukan adanya pelatihan PPIA
yang berorientasi terhadap kebutuhan pelayanan di lapangan. Adanya Task
Shifting dimungkinkan untuk menjalankan kegiatan PPIA dengan disesuaikan
pada kondisi setempat. Kegiatan pelatihan-pelatihan tersebut memerlukan
dukungan dari ikatan profesi, seperti IDI, IDAI, POGI, IBI, PAPDI, PDUI, PPNI
serta ikatan profesi lainnya. Ikatan profesi juga berperan meningkatkan
kinerja tenaga kesehatan untuk menjamin pemberian pelayanan yang
berkualitas, serta menjalin koordinasi antar ikatan profesi dan bermitra
dengan lainnya
Alur layanan kegiatan PPIA adalah sama dengan alur layanan komprehensif
HIV untuk ODHA, yang dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Layanan HIV dan AIDS khususnya PPIA dibagi dalam empat tingkatan (strata)
pelayanan, yaitu strata I, II, III dan layanan berbasis masyarakat. Strata III
biasanya dilaksanakan di tingkat Provinsi atau Nasional. Strata II atau tingkat
menengah, biasanya dilaksanakan di tingkat Kabupaten/Kota. Strata I atau
-40-
BAB V
MONITORING DAN EVALUASI PPIA
B. Pelaporan
Hasil kegiatan pelayanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak tiap
bulan dilaporkan secara berjenjang oleh Puskesmas, Layanan Swasta dan
RSU ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi ke
Kementerian Kesehatan menggunakan format pelaporan dalam buku
Pedoman Nasional Monitoring dan Evaluasi Program Pengendalian HIV dan
AIDS, Kementerian Kesehatan, 2010.
Laporan di setiap layanan atau Puskesmas atau RS dibuat mulai tanggal 26
bulan sebelumnya sampai tanggal 25 bulan sekarang. Kemudian
dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota akan merekapitulasi laporan semua layanan di
wilayahnya, kemudian melaporkan ke Dinas Kesehatan Provinsi dengan
melampirkan laporan dari layanan. Seterusnya, Dinas Kesehatan Provinsi
melaporkan ke Kementerian Kesehatan. Di Pusat, data akan diolah,
disesuaikan dengan kebutuhan dan indikator yang telah ditentukan.
Laporan kegiatan merangkum kegiatan masing masing unit pelayanan.
Sedangkan data individu pasien disimpan di unit layanan dan menjadi
milik unit layanan. Dalam menyelenggarakan pemantauan atau monitoring
guna meningkatkan akses dan kualitas pelayanan dan sistem maka data
harus dikompilasi dan dianalisis di tingkat kabupaten/kota kemudian
-42-
BAB VI
PENUTUP
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NAFSIAH MBOI