Anda di halaman 1dari 35

TUGAS RESUME / UAS

SEJARAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM


Ujian akhir semester ( UAS )

TAKE HOME ESAM

Dosen Pengampu

Prof. Dr. H. ALI MODLOFIR, MA

Oleh

SUPRIYO

NIM : 6117001

PROGAM PASCA SARJANA

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM

2017
PENDIDIKAN PROFESSIONAL,

Profesi digunakan teknik dan prosedur intelektual yang harus


dipelajari secara sengaja, sehingga dapat diterapkan untuk kemaslahatan
orang lain. Dalam kaitan ini seorang pekerja profesional dapat dibedakan dari
seorang pekerja amatir walaupun sama-sama menguasai sejumlah teknik dan
prosedur kerja tertentu, seorang pekerja profesional memiliki filosofi
untuk menyikapi dan melaksanakan pekerjaannya. (Syafruddin Nurdin, 2005:
13-14).

Sementara Ahmad Tafsir mengemukakan 10 kriteria/syarat untuk


sebuah pekerjaan yang bisa disebut profesi, yaitu:

1. Profesi harus memiliki suatu keahlian yang khusus.

2. Profesi harus diambil sebagai pemenuhan panggilan hidup.

3. Profesi memiliki teori-teori yang baku secara universal.

4. Profesi adalah diperuntukkan bagi masyarakat.

5. Profesi harus dilengkapi dengan kecakapan diagnostic dan


kompetensi aplikatif.

6. Pemegang profesi memegang otonomi dalam melakukan profesinya.

7. Profesi memiliki kode etik.

8. Profesi miliki klien yang jelas.

9. Profesi memiliki organisasi profesi.

10. Profesi mengenali hubungan profesinya dengan bidang-bidang lain.


(Ahmad Tafsir, 1992: 108).
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Pasal 39
(ayat 2) jabatan guru dinyatakan sebagai jabatan professional. Teks lengkapnya
sebagai berikut:

“Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas


merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada
perguruan tinggi”.

Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

pasal 7 ayat 1, prinsip profesional guru mencakup karakteristik sebagai


berikut:

1. Memiliki bakat, minat, panggilan, dan idealisme.

2. Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai


dengan bidang tugas.

3. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas.

4. Memiliki ikatan kesejawatan dan kode etik profesi.

5. Bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan.

6. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.

7. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesi berkelanjutan.

8. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan


keprofesionalan.

9. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal


yang berkaitan dengan keprofesian. (Sekretariat Negara, 2005: 15):
ETIKA

Etika didefinisikan sebagai “A set of rules that define right and


wrong conducts” (William C. Frederick, 1998:52). Seperangkat aturan/undang-
undang yang menentukan pada perilaku benar dan salah.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa ethical rules: when our behaviors


is acceptable and when it is disapproved and considered to be wrong. Ethical
rules are guides to moral behavior. Aturan perilaku etik ketika tingkah laku kita
diterima masyarakat, dan sebaliknya manakala perilaku kita ditolak oleh
masyarakat karena dinilai sebagai perbuatan salah Jika perilaku kita
diterima dan menguntungkan bagi banyak pihak, maka hal itu dinilai sebagai
perilaku etis karena mendatangkan manfaat positif dan keuntungan bagi
semua pihak. Sebaliknya manakala perilaku kita merugikan banyak pihak,
maka pasti akan ditolak karena merugikan masyarakat, dan karena itu perilaku
ini dinilai sebagai tidak etis dilakukan. Oleh karenanya aturan etika merupakan
pedoman bagi perilaku moral di dalam masyarakat.

Etika merupakan suatu studi moralitas. Kita dapat


mendefinisikan moralitas sebagai pedoman atau standar bagi individu atau
masyarakat tentang tindakan benar dan salah atau baik dan buruk. Dengan
perkataan lain bahwa moralitas merupakan standar atau pedoman bagi individu
atau kelompok dalam menjalankan aktivitasnya. Sehingga dengan demikian
dapat diketahui bagaimana perilaku salah dan benar atau baik dan buruk itu.
Standar dan pedoman itu dapat dipakai sebagai landasan untuk mengukur
perilaku benar atau salah, baik dan buruk atas perilaku orang atau kelompok
orang di dalam interaksinya dengan orang lain atau lingkungan dan masyarakat.

Etika di dalam Islam mengacu pada dua sumber yaitu Qur‟an


dan Sunnah atau Hadits Nabi. Dua sumber ini merupakan sentral segala sumber
yang membimbing segala perilaku dalam menjalankan ibadah, perbuatan atau
aktivitas umat Islam yang benar-benar menjalankan ajaran Islam. Tetapi
dalam implementasi pemberlakuan sumber ini secara lebih substantive sesuai
dengan tuntutan perkembangan budaya dan zaman yang selalu dinamis ini
diperlukan suatu proses penafsiran, ijtihad baik bersifat kontekstual maupun
secara tekstual. Oleh karena yaitu diperlukan proses pemikiran dan logika yang
terbimbing oleh nalar sehat, pikiran jernih, nurani yang cerdas dalam
pemahaman ayat-ayat Qur‟an dan Sunnah Nabi dalam rangka memperoleh
filosofi etika di dalam masyarakat Islam. Bukankah Allah menuntut di dalam
Qur‟an kepada umat manusia agar menggunakan akal dalam mensikapi dan
mengkritisi kehidupan yang dinamis ini.

Etika di dalam Islam mengacu pada dua sumber yaitu

Qur‟an dan Sunnah atau Hadits Nabi. Dua sumber ini merupakan
sentral segala sumber yang membimbing segala perilaku dalam menjalankan
ibadah, perbuatan atau aktivitas umat Islam yang benar-benar menjalankan
ajaran Islam. Etika dalam Islam menyangkut norma dan tuntunan atau ajaran
yang mengatur sistem kehidupan individu atau lembaga (corporate), kelompok
dan masyarakat dalam interaksi hidup antar individu, antar kelompok atau
masyarakat dalam konteks hubungan dengan Allah dan lingkungan. Di dalam
sistem etika Islam ada sistem penilaian atas perbuatan atau perilaku yang
bernilai baik dan bernilai buruk.
Perilaku baik menyangkut semua perilaku atau aktivitas yang
didorong oleh kehendak akal fikir dan hati nurani dalam berkewajiban
menjalankan perintah Allah dan termotivasi untuk menjalankan anjuran Allah.
Perilaku buruk menyangkut semua aktivitas yang dilarang oleh Allah, di mana
manusia dalam melakukan perilaku buruk atau jahat ini tedorong oleh hawa
nafsu, godaan syaitan untuk melakukan perbuatan atau perilaku buruk atau
jahat yang akan mendatangkan dosa bagi pelakunya dalam arti merugikan diri
sendiri dan yang berdampak pada orang lain atau masyarakat.

Etika profesi keguruan adalah aplikasi etika umum yang mengatur


perilaku keguruan. Norma moralitas merupakan landasan yang menjadi
acuan profesi dalam perilakunya. Dasar perilakunya tidak hanya hukum-
hukum pendidikan dan prosedur kependidikan saja yang mendorong perilaku
guru itu, tetapi nilai moral dan etika juga menjadi acuan penting yang harus
dijadikan landasan kebijakannya.

Dari sudut pandang keprofesian, kita dihadapkan pada tidak


mudahnya mendefinisikan secara pasti mengenai apa, siapa, dan bagaimana
profesi keguruan. Sekalipun jabatan guru disebut sebagai suatu profesi dan
definisi profesi beserta krietrianya telah dibuat, kesulitan dihadapi pada saat
definisi dan kriteria tersebut dicocokan dengan kenyataan di lapangan. Latar
belakang pendidikan, pengalaman, komitmen dan penampilan guru kita amat
beragam. Akses dan motivasi para guru untuk meningkatkan
profesionalismenya juga berbeda-beda. Sementara itu, kehendak untuk
meningkatkan profesionalisme guru seringkali dihadapkan pada agenda-agenda
mendesak yang membuat skenario yang telah dibuat sebelumnya mengalami
penyesuaian.

perbedaan pokok antara profesi guru dengan profesi lainnya


terletak dalam tugas dan tanggungjawabnya. Tugas dan tanggung jawab
tersebut erat kaitannya dengan kemampuan-kemampuan yang disyaratkan
untuk memangku profesi tersebut. Kemampuan dasar tersebut tidak lain ialah
kompetensi guru.

Profesionalitas guru PAI adalah gambaran atau keadaan derajat keprofesian


setiap guru PAI dalam menggapai sikap mental, pengetahuan, dan
keahlian/keterampilan yang dimiliki untuk melaksanakan tugasnya dalam
pembelajaran bidang studi PAI secara optimal efektif dan efisien.

Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidikan adalah:


“satu upaya sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara.” (Pasal 1 UU No.20/2003).

Selanjutnya, fungsi dan tujuan pendidikan adalah: “Pendidikan


nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta
berakhlak mulia, segat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi di warga
Negara yang demokratis serta bertanggungjawab” (Pasal 4, UU No.20/2003).
Apa saja sebenarnya wujud soft skills itu? Perhatikan beberapa contoh soft
skills berikut ini, yaitu kejujuran, tanggung jawab, berlaku adil, kemampuan
bekerja sama, kemampuan beradaptasi, kemampuan berkomunikasi, toleran,
hormat terhadap sesama, kemampuan mengambil keputusan, dan kemampuan
memecahkan masalah. Coba renungkan sejenak, apa jadinya jika seorang
petani tidak bertanggung jawab. Apa jadinya jika polisi tidak jujur. Apa
jadinya jika seorang pedagang tidak menghargai orang lain. Apa jadinya juga
jika Kita selaku guru tidak jujur, tidak bertanggung jawab, tidak adil, tidak
dapat berkomunikasi, tidak dapat mengambil keputusan, tidak toleran dan tidak
dapat memecahkan masalah, meskipun Kita orang yang cerdas dan terampil
dalam mengajar?

Dengan demikian, apapun profesinya, terlebih bagi para guru harus mempunyai
soft skills yang kuat. Sebab, soft skills pada dasarnya merupakan keterampilan
seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (interpersonal skills) dan
keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri (intrapersonal skills) yang mampu
mengembangkan unjuk kerja secara maksimal.

1. Soft skills adalah kemampuan mengelola diri secara tepat dan


kemampuan membangun relasi dengan orang lain secara efektif.
Kemampuan mengelola diri disebut dengan intrapersonal skills,
sedangkan kemampuan membangun relasi dengan orang lain disebut
dengan interpersonal skills.
2. Soft skills berbeda dengan hards skills. Hard skills lebih terkait
dengan kemampuan seseorang secara teknis dalam menyelesaikan
tugas-tugas tertentu menurut profesi masing- masing. Soft skills tiap
profesi sama misalnya kejujuran, komitmen, tanggung jawab,
semangat, kepercayaan, kesederhanaan, kerjasama, menghargai orang
lain, dan integritas. Berbagai karakter tersebut harus dimiliki setiap
orang. Yang membedakan adalah hard skills-nya. Seorang pesepakbola
harus menguasai teknis menggiring bola, menyundul bola, dan
menyepak, sementara seorang dokter harus menguasai cara menyuntik,
menggunakan stetoskop, dan cara menjahit luka.
3. Kekuatan keputusan merupakan kekuatan terakhir dalam
intrapersonal skills yang ditawarkan oleh Ibrahim Elfiky. Kekuatan ini
mengantarkan Kita sebagai sosok guru yang kuat menghadapi berbagai
tantangan. Dengan kekuatan ini Kita mampu mengatasi persoalan,
sebab Kita menyadari betul keutamaan profesi guru. Kita juga
akhirnya mempunyai mimpi hebat untuk menjadi guru. Kita punya
mimpi yang akan Kita tinggalkan setelah Kita meninggal. Kemudian
Kita yakin dengan profesi guru, Kita cintai profesi ini, apa pun
tantangan dan problematikanya. Masalah seberat apa pun akan terasa
ringan karena Kita mencintai profesi ini. Semua energi positif
membantu Kita dalam mengatasi persoalan. Semua perilaku yang
dapat menghambat energi positif Kita buang jauh-jauh. Kita lebih
konsentrasi dan fokus pada profesi, dan akhirnya Kita dapat mengambil
keputusan terbaik demi kemajuan pendidikan.
4. Kekuatan konsentrasi terletak pada fokus pada persoalan yang
sedang kita hadapi. Kegiatan apa pun jika kita jalani dengan penuh
konsentrasi, maka akan mendapatkan hasil yang maksimal. Hal ini
dipengaruhi oleh hukum konsentrasi, yaitu adanya kesan yang kuat,
munculnya sensasi dari kegiatan, penguncian dari kegiatan di luar
pertistiwa yang bersangkutan, adanya universalisasi dari yang kita
hadapi, dan muncul imajinasi untuk melangkah ke depan. Hanya saja,
ada hal yang membuat konsentrasi terganggu, yaitu fisiologis,
emosional, psikologis, mental, dan spiritual.
5. Kompetensi guru yang termasuk soft skills adalah kepribadian
dan sosial. Kompetensi kepribadian disebut dengan intrapersonal skills,
sedangkan kompetensi sosial disebut interpersonal skills. Keberhasilan
seorang guru 80% ditentukan oleh soft skills [kompetensi kepribadian
dan kompetensi sosial], sementara 20% hard skills [kompetensi
pedagogik dan profesional]. Sejauh ini LPTK lebih banyak
menekankan hard skills ketimbang soft skills. Akibatnya, kita banyak
menjumpai guru yang lebih menekankan aspek formal adminiastrasi
ketimbang ruh pendidikan.
6. Komunikasi merupakan keterampilan yang harus dimiliki oleh
seorang guru. Sebab, keterampilan ini sangat relevan dengan
kompetensi sosial guru atau interpersonal skills. Komunikasi sangat
berperan dalam menunjang keberhasilan seorang guru, baik ketika
berhadapan dengan peserta didik di kelas, berkomunikasi dengan
sesama kolega guru dan kepala sekolah, serta masyarakat luas. Guru
harus memahami dengan siapa berhadapan, sebab hal ini akan
berpengaruh terhadap bahasa yang digunakan. Guru perlu memahami
prinsip komunikasi efektif, yang disingkat dengan REACH, yakni
respect, empathy, audible, clarity/care, dan humble. Guru juga harus
memahami bahwa kata-kata hanya menempati 7%, intonasi 38%, dan
bahasa tubuh 55% dalam menunjang efektifitas komunikasi.
7. Motivasi merupakan penggerak yang menjadikan kita melakukan
aktifitas. Kegiatan yang kita lakukan akan berjalan dengan
penuh semangat jika berdasarkan kebutuhan, bukan karena
dipaksakan dari luar. Karena itu, motivasi intrinsik jauh lebih penting
ketimbang motivasi ekstrinsik. Ada banyak prinsip yang perlu kita
perhatikan dalam memberikan motivasi kepada peserta didik, yaitu
kebermaknaan, pengetahuan dan keterampilan prasyarat, model,
komunikasi terbuka, keaslian dan tugas yang menantang, latihan yang
tepat dan aktif, penilaian tugas, kondisi dan konsekuensi yang
menyenangkan, keragaman pendekatan, mengembangkan beragam
kemampuan, melibatkan sebanyak mungkin indera, dan keseimbangan
pengaturan pengalaman belajar.

pribadi mempunyai kualitas diri seperti kejujuran, komitmen bertanggung


jawab, bersyukur, ikhlas, dan cinta profesi, ditambah dengan kualitas sosial
seperti mampu beradaptasi, mampu bekerja dalam tim, mampu berkomunikasi
secara efektif, mampu memberi motivasi kepada orang lain, dan mampu
menghadapi perbedaan, pasti Kita menjadi guru hebat. Coba apa yang
kurang dari guru dengan kualitas tersebut?

. KODE ETIK GURU.

Keguruan merupakan suatu jabatan profesional karena pelaksanaannya


menuntut keahlian tertentu melalui pendidikan formal yang khusus serta rasa
tanggung jawab tertentu dan para pelaksananya. Suatu profesi merupakan posisi
yang dipegang oleh orang-orang yang mempunyai dasar pengetahuan dan
ketrampilan dan sikap khusus tertentu dan mendapat pengakuan dan masyarakat

sebagai suatu keahlian. Keahlian tersebut menuntut dipenuhi yang standar


persiapan profesi melalui pendidikan khusus, dan dilandasi oleh bidang
keilmuan tertentu yang secara terus-menerus dikembangkan melalui penelitian,
serta pengalaman kerja dalam bidang tersebut. Selanjutnya keanggotaan profesi
menuntut keikutsertaan secara aktif dalam ikatan profesi dan usaha-usaha
pengembangan profesi melalui penelitian dan pelayanan.

Pekerjaan keguruan tidak dapat lepas dari nilai-nilai yang


berlaku. Atas dasar nilai yang dianut oleh guru, peserta didik (siswa), dan
masyarakat,maka kegiatan layanan pendidikan yang diberikan oleh guru dapat
berlangsung dengan arah yang jelas dan atas keputusan-keputusan yang
berlandaskan nilai-nilai. Para guru seyogyanya berpikir dan bertindak atas dasar
nilai-nilai, pribadi dan profesional, dan prosedur yang legal. Dalam hubungan
inilah guru seharusnya memahami dasar-dasar kode etik guru sebagai landasan
moral dalam melaksanakan tugasnya. Kode etik profesi merupakan tatanan
menjadi pedoman dalam menjalankan tugas dan aktivitas suatu profesi. Pola
tatanan itu seharusnya diikuti dan ditaati oleh setiap orang yang menjalankan
profesi tersebut.

1. Etika kerja, etos kerja, dan kode etik merupakan tiga hal yang saling
terkait dan mempunyai peranan yang besar dalam mewujudkan
profesionalisme dan kualitas kerja seseorang. Efektivitas, efisiensi, dan
produktivitas suatu pekerjaan akan banyak tergantung kepada tiga unsur
tersebut
2. Etika, pada hakikatnya merupakan dasar pertimbangan dalam
pembuatan keputusan tentang moral manusia dalam interaksi dengan
lingkungnnya. Secara umum, etika dapat diartikan sebagai suatu
disiplin filosofis yang sangat diperlukan dalam interaksi sesama
manusia.
3. Etos kerja lebih merujuk kepada kualitas kepribadian pekerja yang
tercermin melalui unjuk kerja secara utuh dalam berbagai dimensi
kehidupannya. Etos kerja lebih merupakan kondisi internal yang
mendorong dan mengendalikan perilaku pekerja ke arah terwujudnya
kualitas kerja yang ideal.
4. Kode etik profesi merupakan tatanan/tanda/norma yang menjadi
pedoman dalam menjalankan tugas dan aktivitas suatu profesi. Pola
tatanan itu seharusnya diikuti dan ditaati oleh setiap orang yang
menjalankan profesi tersebut.
5. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) telah merumuskan poin-
poin kode etik melalui konggres . Pengembangan kode etik guru dalam
empat tahapan yaitu: (1) tahap pembahasan/perumusan (lahun 1971-
1973), (2) tahap pengesahan (Kongres PGRI ke XIII Nopember 1973).
(3) tahap penguraian (Kongres PGRI XIV, Juni 1979), (4) tahap
penyempurnaan (Kongres XVI, juli 1989).

KOMENTATOR / MENURUT PENDAPAT SAYA

Kunci utama berhasilnya dunia pendidikan adalah baiknya mutu


pendidikan, karena baiknya mutu pendidikan adalah memperlihatkan baiknya
potensi para guru.”

Ungkapan itulah yang disampaikan Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam,


Muslim Bidin pada saat memberikan sambutan pada Workshop dan Dana
Sharing bersama para guru Sekolah Berstandar Internasional (SBI), Rintisan
Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), serta Sekolah Standar Nasional
(SSN) di Hotel Golden View, Bengkong, Senin (7/5) malam.

Untuk meningkatkan mutu pendidikan di Batam, ucap Muslim,


Dinas pendidikan akan melakukan kompetisi guru sesuai dengan jenjangnya.
Karena tahun 2013 mendatang untuk penempatan kepala sekolah harus
memiliki sertifikat tenaga pendidik dan sertifikat kepala sekolah.

“Untuk itu manfaatkan kegiatan ini dengan sebaik-baiknya dan


gunakan dana sharing yang ada ini dengan baik dan benar,” tutur Muslim.

Beberapa pendapat para ahli pendidikan tentang kendala peningkatan


kualitas pendidikan di Indonesia, yaitu:

1. Menurut Soedijarto (1991: 56), bahwa rendahnya mutu atau kualitas


pendidikan di samping disebabkan oleh karena pemberian peranan
yang kurang proporsional terhadap sekolah, kurang memadainya
perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan sistem kurikulum, dan
penggunaan prestasi hasil belajar secara kognitif sebagai satu-
satunya indikator keberhasilan pendidikan, juga disebabkan karena
sistem evaluasi tidak secara berencana didudukkan sebagai alat
pendidikan dan bagian terpadu dari system kurikulum.
2. Secara umum, Edward Sallis (1984) dalam Total Quality
Management in Education menyebutkan, kondisi yang
menyebabkan rendahnya mutu pendidikan dapat berasal dari
berbagai macam sumber, yaitu miskinnya perancangan kurikulum,
ketidak cocokan pengelolaan gedung, lingkungan kerja yang tidak
kondusif, ketidaksesuaian system dan prosedur (manajemen), tidak
cukupnya jam pelajaran, kurangnya sumber daya, dan pengadaan
staf (Syafaruddin, 2002: 14).
3. Sedangkan menurut laporan Bank Dunia dalam Mulyasa (2002: 12-
13), terdapat empat faktor yang diidentifikasi menjadi kendala mutu
atau mutu pendidikan di Indonesia, yaitu: Kompleksitas
pengorganisasian pendidikan antara Depdiknas (bertanggung jawab
dalam hal materi pendidikan, evaluasi buku teks dan kelayakan
bahan-bahan ajar) dan Depagri dalam bidang (ketenagaan, sumber
daya material, dan sumber daya lainnya). Di samping itu,
Departemen Agama bertanggung jawab dalam membina dan
mengawasi sekolah-sekolah keagamaan negeri maupun swasta.
Dualisme ini berakibat fatal karena rancunya pembagian tanggung
jawab dan peranan manajerial, keterlambatan dan terpilahnya system
pembiayaan, serta perebutan kewenangan atas guru.
4. Praktik manajemen yang sentralistik pada tingkat SLTP.
Pembiayaan dan perencanaan oleh pemerintah pusat yang
melibatkan banyak departemen. Hal ini menghambat pencapaiaan
tujuan wajib belajar pendidikan dasar. Praktik penganggaran yang
terpecah dan kaku. Kompleksitas organisasi yang menyiapkan
anggaran pembangunan menjadi rumitnya pengelolaan pendidikan.
Bappenas, Depdiknas, dan Depagri, termasuk Depag, dalam
menyiapkan anggaran pendidikan. Akibatnya, hal ini menimbulkan
dampak negatif, yaitu tidak adanya tanggung jawab yang jelas antar
unit, tidak ada evaluasi reguler terhadap kebutuhan riil, dan tidak
ada jaminan dana yang dialokasikan secara benar dan merata.
5. Manajemen sekolah yang tidak efektif. Sebagai pelaku utama,
kepala sekolah banyak yang kurang mampu melakukan peningkatan
mutu sekolahnya karena tidak dilengkapi dengan kemampuan
kepemimpinan dan manajerial yang baik. Pelatihan yang kurang dan
rekruitmen kepala sekolah yang belum didasarkan atas kemampuan
memimpin dan profesionalitas.

tentang profesi melibatkan beberapa istilah yang berkaitan, yaitu


profesi, profesional, profesionalisme, profesionalisasi, dan profesionalitas.
Sanusi, dkk (1991:19) menjelaskan kelima konsep tersebut sebagai berikut.

Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian


(experties) dari para anggotanya. Artinya, ia tidak bisa dilakukan oleh
sembarangan orang yang tidak dilatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk
melakukan pekerjaan itu. Keahlian diperoleh melalui apa yang disebut
profesionalisasi, yang dilakukan baik sebelum seseorang menjalani profesi itu
(pendidikan/latihan prajabatan) maupun setelah menjalani suatu profesi (in-
service training). Di luar pengertian ini, ada beberapa ciri profesi khususnya
yang berkaitan dengan profesi kependidikan.

Profesional menunjuk pada dua hal. Pertama, orang yang


menyandang suatu profesi, misalnya “Dia seorang profesional”. Kedua,
penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaannya yang sesuai dengan
profesinya. Pengertian kedua ini, profesional dikontraskan dengan “non-
profesional” atau “amatir‟.

Profesionalisme menunjuk kepada komitmen/teori/paham para


anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan
terus-menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam
melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya.

Profesionalitas mengacu kepada sikap para anggota profesi terhadap profesinya


serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki dalam rangka
melakukan pekerjaannya.

Menurut saya Pengendalian merupakan salah satu fungsi manajemen.


Kegiatan ini dilakukan untuk menilai dan memberikan perbaikan-perbaikan
terhadap kinerja guru atau personil lainnya yang terlibat dalam proses
pendidikan untuk menjamin bahwa kegiatan tersebut terlaksana sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan. Tujuan pengendalian adalah untuk melakukan
pengukuran dan perbaikan agar apa yang telah direncanakan dapat tercapai
secara optimal. Sesuai dengan konsep mutu dalam pendidikan yang mneliputi
unsure input-proses-output. Maka pengendalian terhadap mutu pendidikan juga
diarahkan pada aspek input, proses dan output. Secara lebih rinci pengendalian
terhadap mutu pendidikan ditujukan pada aspek kurikulum pembelajaran,
pembinaan murid dan aspek manajemen sekolah yang berkaitan dengan
pengaturan sumber daya dan dana pendidikan seperti: personil, siswa, sarana
dan fasilitas, biaya dan kerjasama sekolah dengan masyarakat. Ketiga bidang
sasaran ini semuanya mengacu pada pengembangan kompetensi siswa secara
optimal. Pengendalaian merupakan suatu proses sistematis, yang terdiri dari
merencanakan (menyusun tujuan dan standar performansi), pengyukuran
performansi nyata, membandingkan performansi dan melakukan perbaikan.

Salah satu permasalahan yang dihadapi pemerintah dalam


pembangunan pendidikan Nasional adalah masalah mutu. Untuk meningkatkan
mutu pendidikan perlu ditingkatkan fungsi penendalian yang dilakukan oleh
kepala sekolah maupun pengawas pendidikan. Pengendalian yang akan dapat
memberikan manfaat yang berarti dalam peningkatan mutu jika ditujuan pada
aspek input-proses-output pendidikan. Pengendalian yang ditujukan pada
komponen tersebut disebut pengendalian mutu. Pengendalian mutu merupakan
suatu tindakan yang berisi kegiatan pengukuran atau penilaian dan perbaikan.
Pengendalaian merupakan suatu proses yang terdiri dari merencanakan
(menyusun tujuan dan standar performansi), pengyukuran performansi nyata,
membandingkan performansi dan melakukan perbaikan. Pengendalian mutu
pendidikan ditujukan pada aspek kurikulum pembelajaran, pembinaan murid
dan aspek manajemen, Ketiga bidang sasaran ini semuanya mengacu pada
pengembangan kompetensi siswa secara optimal
Soal no 2

PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN ISLAM

ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Filsafat pendidikan merupakan titik permulaan dalam proses


pendidikan, juga menjadi tulang punggung kemana bagian-bagian yang lain
dalam pendidikan itu bergantung dari segi tujuan-tujuan pendidikan, kurikulum
pendidikan, metode mengajar, penilaian adminitrasi, alat-alat mengajar, dan
lain-lain lagi aspek pendidikan yang memberinya arah, menunjuk jalan yang
akan dilaluinya dan meletakkan dasar-dasar dan prinsip tempat tegaknya.

Setiap filosof pendidikan Barat maupun filosof pendidikan Islam


pasti mempunyai aliran yang dicetuskan maupun yang dianut oleh masing-
masing orang. Misalnya saja dalam filsafat pendidikan Barat ada yang namanya
aliran Nativisme, aliran Naturalisme, aliran Empirisme, aliran Konvergensi, dan
lain-lain. Tidak berbeda pula dengan filsafat pendidikan Islam, di dalamnya
juga terdapat banyak aliran yang berbeda tetapi konteks dan rujukan tetap
kepada al-Qur‟an dan al-Hadist.

Dalam dunia pendidikan Islam, terdapat tiga aliran utama filsafat


pendidikan Islam, yaitu: 1) Aliran Konservatif, dengan tokoh utamanya adalah
al-Ghazali, 2) Aliran Religius-Rasional, dengan tokoh utamanya yaitu Ikhwan
al-Shafa, dan 3) Aliran Pragmatis, dengan tokoh utamanya adalah Ibnu
Khaldun.(Mahmud Arif, 2002: 52)

1. Aliran Konservatif (al-Muhafidz)


Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama‟ah,
Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi. Aliran al-Muhafidz cenderung
bersikap murni keagamaan. Aliran ini memaknai ilmu dengan pengertian
sempit. Menurut al-Thusi, ilmu yang utama hanyalah ilmu-ilmu yang
dibutuhkan saat sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat kelak.
(Samsul Nizar, 2002: 90)

Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi:

a. Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua bidang:

1) Ilmu syar‟iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari para Nabi, terdiri atas:
1) Ilmu ushul (ilmu pokok), 2) Ilmu furu‟ (cabang), 3) Ilmu pengantar
(mukaddimah), dan 4) Ilmu pelengkap (mutammimah).

2) Ilmu ghoiru syar‟iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari ijtihad ulama‟
atau intelektual muslim, terdiri atas: 1) Ilmu terpuji, 2) Ilmu yang
diperbolehkan (tak merugikan), 3) Ilmu yang tercela (merugikan). (Samsul
Nizar, 2002: 92).

b. Berdasarkan status hukum mempelajarinya, dapat digolongkan menjadi: 1)


Ilmu yang fardlu „ain, dan 2) Ilmu yang fardlu kifayah.

Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh


dengan kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan
rasiolah manusia mampu menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri
kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali ini sejalan dengan aliran Mu‟tazilah yang
berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya sesuatu.

Pola umum pemikiran al-Ghazali dalam pendidikannya antara lain:

a. Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridha


Allah.
b. Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat
dengan sepuluh kode etik peserta didik.

c. Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.

d. Pembatasan term al-„ilm hanya pada ilmu tentang Allah. (Baharuddin dan
Wahyuni, 2010: 39).

Dari deskripsi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran utama aliran
konservatif antara lain: 1) Ilmu adalah ilmu al-hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan
saat sekarang yang bisa membawa manfaat di akhirat, 2) Ilmu-ilmu selain ilmu
keagamaan adalah sia-sia, dan 3) Ilmu hanya bisa diperoleh melalui rasio.

2. Aliran Religius-Rasional (al-Diniy al-„Aqlaniy)

Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu
Miskawaih. Aliran ini dijuluki “pemburu” hikmah Yunani di belahan dunia
Timur, dikarenakan pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani.

Menurut Ikhwan al-Shafa, yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran


tentang sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui.
Proses pengajaran adalah usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-
benar menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa
pelajar yang semula berilmu (mengetahui) secara potensial, agar menjadi
berilmu (mengetahui) secara riil-aktual. Dengan demikian, inti proses
pendidikan adalah pada kiat transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi
kemampuan “psikomotorik”. (Ridha, 2002: 78).

Ikhwan berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaan-


keutamaan pada jiwa dan dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab
keberadaan jiwa. Kesempurnaan akal menjadi penyebab keabadian jiwa dan
supremasi akal menjadi penyebab kesempurnaan jiwa. (Ridha, 2002: 86)
Pandangan dualisme jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan bukti dari pengaruh
pemikiran Plato.

Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan
dunia akal. Hal inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju
“linier-progresif” melalui tiga cara, yaitu: 1) Dengan jalan indera, jiwa dapat
mengetahui sesuatu yang lebih rendah dari substansi dirinya; 2) Dengan jalan
burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa mengetahui sesuatu yang lebih
tinggi darinya; dan 3) Dengan perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui
substansi dirinya. (Ridha, 2002: 87)

Ikhwan tidak sependapat dengan ide Plato yang menganggap bahwa belajar
tiada lain hanyalah proses mengingat ulang. Ikhwan menganggap bahwa semua
pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiah. Segala sesuatu yang tidak
dijangkau oleh indera, tidak dapat diimajinasikan, segala sesuatu yang tidak
bisa diimajinasikan, maka tidak bisa dirasiokan.

Kalangan Ikhwan sangat memberi tempat terhadap ragam disiplin ilmu yang
berkembang dan bermanfaat bagi kemajuan hidup manusia. Implikasinya
adalah konsep ilmu berpangkal pada “kesedia-kalaan” ilmu tanpa pembatasan.

Ikhwan membagi ragam disiplin ilmu sebagai berikut: 1) Ilmu-ilmu


Syar‟iyah(keagamaan), 2) Ilmu-ilmu Filsafat, dan 3) Ilmu-ilmu Riyadliyyat
(matematik). Al-Farabi menghendaki agar operasionalisasi pendidikan seiring
dengan tahap-tahap perkembangan fungsi organ tubuh dan kecerdasan manusia.
(Syar‟I, 2005: 92)

Dari pemikiran kedua tokoh di atas, teori utama aliran Religius-Rasional ini
antara lain: 1) Pengetahuan adalah muktasabah, yakni hasil perolehan dari
aktivitas belajar, 2) Modal utama ilmu adalah indera, 3) Lingkup kajian
meliputi pengkajian dan pemikiran seluruh realitas yang ada, 4) Ilmu
pengetahuan adalah hal yang begitu bernilai secara moral dan sosial, dan 5)
Semua ragam ilmu pengetahuan adalah penting.

3. Aliran Pragmatis (al-Dzarai‟iy)

Tokoh aliran Pragmatis adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan tokoh Pragmatisme


Barat yaitu John Dewey. Bila filsafat pendidikan Islam berkiblat pada
pandangan pragmatisme John Dewey, tujuan yang ingin dicapai dalam
pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal yang di luar
jangkauan pancaindera. (Basri, 2009: 99).

Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah


tabi‟i(pembawaan) manusia karena adanya kesanggupan berfikir. (Achmadi,
2008: 125) Pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian duniawi dan
ukhrowi, keduanya harus memberikan keuntungan, karena baginya pendidikan
adalah jalan untuk memperoleh rizki.

Dia mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya,


yaitu: 1) Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik. Misal: ilmu-ilmu keagamaan,
Ontologi dan Teologi, dan 2) Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental
bagi ilmu instrinsik. Misal: kebahasa-Araban bagi ilmu syar‟iy, dan logika bagi
ilmu filsafat.(Ridha, 2002: 105).

Berdasarkan sumbernya, ilmu dapat dibagi menjadi dua yaitu: 1) Ilmu


„aqliyah(intelektual) yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari olah pikir rasio,
yakni ilmu Mantiq (logika), ilmu alam, Teologi dan ilmu Matematik, dan 2)
Ilmu naqliyah yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari hasil transmisi dari orang
terdahulu, yakni ilmu Hadits, ilmu Fiqh, ilmu kebahasa-Araban, dan lain-lain.

Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-
mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis
di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala
konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam
tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain
merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.

Dari pemikiran Ibnu Khaldun di atas, maka ide pokok pemikiran aliran
Pragmatis antara lain: 1) Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun ia menjadi
tahu karena proses belajar, 2) Akal merupakan sumber otonom ilmu
pengetahuan, dan 3) Keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan ukhrawi.

dapat kesimpulan, yaitu:

1. Tiga aliran utama filsafat pendidikan Islam yang telah dibahas di atas,
memiliki pendapat-pendapat yang berbeda antara satu dengan yang
lain. Aliran yang pertama yaitu aliran Konservatif (al-Muhafidz).
Mereka memaknai ilmu dengan pengertian sempit, yaitu hanya
mencakup ilmu-ilmu yang bersifat keagamaan.
2. Sangat berbeda dengan aliran Konservatif ini, kalangan yang
menamakan diri mereka Ikhwan al-Shafa, menganggap semua
disiplin ilmu adalah penting. Mereka lebih luwes dalam merumuskan
ilmu pengetahuan, dan indera adalah sumber utama ilmu
pengetahuan. Kelompok Ikhwan dan tokoh-tokoh yang sealiran
dengannya digolongan ke dalam aliran yang ke-dua yaitu aliran
Religius-Rasional (al-Diniy al-„Aqlaniy).
3. Aliran yang ke-tiga yaitu aliran Pragmatis (al-Dzarai‟iy). Tokoh
aliran ini adalah Ibnu Khaldun. Menurutnya, pendidikan bukan hanya
bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga
untuk mendapatkan keahlian duniawi dan ukhrowi, keduanya harus
memberikan keuntungan.
Soal no 3

KEMAJUAN, KEMUNDURAN, DAN KEBANGKITAN DUNIA BARU


ISLAM

A. Kemajuan Dunia Islam

a) Dinasti Umayah (661-750 M)

Bani Umayah adalah keturunan Umayah bin Abdul Syams, salah


satu suku Quraisy. Dalam sejarah Islam Bani Umayah mendirikan dalam dua
periode: Damascus dan Cordoba.

Dinasti umayah dimulai dengan naiknya Muawiyah sebagai


khalifah pada tahun 661 M. Bani Umayah berhasil mengokohkan kekhalifahan
di Damascus selama 90 tahun (661 – 750).

Penyebutan ”Dinasti” pada kekhalifahan Bani Umayah karena


Muawiyah mengubah sistem suksesi kepemimpinan dari yang bersifat
demokratis dengan cara pemilihan kepada yang bersifat keturunan.

Muawiyah berhasil memperluas wilayah kekuasaan Islam dengan


menaklukkan seluruh Imperium Persia dan sebagian Imperium Bizantium.
Bahasa Arab menjadi bahasa administrasi secara resmi disamping bahasa
bangsa-bangsa yang bersatu. Dan dari persatuan berbagai Bangsa di bawah
naungan Islam lahirlah benih-benih kebudayaan Islam yang baru. Kemajuan-
kemajuan diberbagai bidang mulai diraih kekhalifahan Islam diantaranya
adalah:

 Bidang ekspansi wilayah


 Bidang bahasa dan sastra Arab
 Bidang pembangunan fisik sarana prasarana penunjang kebudayaan dan
pemerintahan seperti masjid-masjid, istana-istana peristirahatan.

Sesungguhnya di masa ini gerakan-gerakan ilmiyah telah


berkembang pula, seperti dalam bidang keagamaan, sejarah dan filsafat.

Kekuasaan dan kejayaan Dinasti Bani Umayah mencapai


puncaknya di zaman al-Walid. Sesudah itu kekuasaan mereka menurun. Terlalu
banyak faktor yang harus mereka hadapi untuk bisa terhindar dari kehancuran.
Gaya hidup mewah (hubuddunya) jauh dari gaya hidup Islami dikalangan
keluarga para khalifah. Faktor ini turut memperlemah jiwa dan vitalitas
keluarga dan anak-anak khalifah, sehingga mereka kurang sanggup memikul
beban pemerintahan yang demikian besar. Disamping faktor ini telah
menimbulkan ketidakpuasan dikalangan orang saleh. Faktor Ketidakadilan, dan
masih banyak lagi faktor lainnya.

Pada awal abad ke-8 (720 M) sentimen anti-pemerintahan Bani


Umayah telah tersebar secara intensif. Kelompok yang merasa tidak puas
bermunculan. Rongrongan Khawarij dan Syi‟ah yang terus-menerus
memandang Bani Umayah sebagai perampas khilafah.

Gerakan oposisi yang pertama-tama dinamakan Hasyimiyah dan


kemudian Abbasiyah dipimpin oleh Muhammad bin Ali. Gerakan ini mendapat
dukungan terbesar dari orang-orang khurasan yang merupakan basis partai Ali.
Di bawah pimpinan panglimanya yang tangkas, Abu Muslim al-Khurasani,
gerakan ini dapat menguasai wilayah demi wilayah kekuasaan Bani Umayah.
Pada Januari 750 Marwan II, Khalifah terakhir Bani Umayah, dapat dikalahkan
di pertempuran Zab Hulu, sebuah anak Sungai Tigris sebelah timur Mosul. Ia
kemudian melarikan diri ke Mesir. Sementara itu, pasukan Abbasiyah
membunuh semua anggota keluarga Bani Umayah yang berhasil mereka tawan.
Ketika mereka mencapai Mesir, sebuah kesatuan menemukan dan membunuh
Marwan II pada Agustus 750. Maka berakhirlah kekuasaan Bani Umayah di
Damaskus. Namun satu-satunya anggota keluarga Bani Umayah, Abdurrahman
(cucu Hisyam), berhasil meloloskan diri ke Afrika Utara, kemudian
menyeberang ke Spanyol. Disinilah selanjutnya ia membangun kekuasaan
Dinasti Bani Umayah yang baru dengan berpusat di Cordoba.

b) Dinasti Abasiyah (750-1258 M)

Dinasti Abbasiyah yang menguasai daulah (negara) pada masa


klasik dan pertengahan Islam. Pada masa pemerintahan Abbasiyah tercapai
zaman keemasan Islam. Daulah ini disebut Abbasiyah karena pendirinya adalah
keturunan al-Abbas (paman Nabi SAW) yakni Abu Abbas as-Saffah. Walaupun
Abu Abbas adalah pendiri daulah ini, pemerintahannya hanya singkat (750 –
754). Pembina daulah ini yang sebenarnya adalah Abu Ja‟far al-Mansur
(khalifah ke-2). Dua khalifah inilah peletak dasar-dasar pemerintahan Daulah
Abbasiyah.

Para sejarawan membagi Daulah Abbasiyah dalam lima periode;

 Periode Pertama (132 H – 232 H / 750 M – 847 M)

Yang membedakan antara dinasti Abbasiyah dan dinasti Umayah


adalah masuknya keluarga non arab ke dalam pemerintahan.

Pada periode pertama ini Daulah Abbasiyah ini pemerintahan


difokuskan pada pembenahan administrasi negara ketahanan dan pertahanan.
Untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu,
al-Mansur kemudian memindahkan Ibukota dari al-Hasyimiyah, dekat Kufah,
ke kota yang baru dibangunnya Baghdad, pada tahun 767. di sana ia
menertibkan pemerintahannya dengan mengangkat aparat yang duduk di
lembaga eksekutif dan yudikatif. Dalam lembaga eksekutif ia mengangkat
wazir (menteri), ia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara,
dan kepolisian negara disamping mengembangkan angkatan bersenjata.

Meneruskan jawatan pos yang sudah ada sejak masa Bani Umayah,
dengan penambahan tugas dari selain mengantarkan surat juga untuk
menghimpun seluruh informasi dari daerah sehingga administrasi kenegaraan
dapat berlangsung dengan lancar.

Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah ini diletakkan


dan dibangun oleh Abu Abbas as-Saffah dan Abu Ja‟far al-Mansur, maka
puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya. Mulai dari
masa khalifah al-Mahdi (775 – 785) hingga khalifah al-Wasiq (842 – 847).
Puncak popularitas daulah ini berada pada zaman khalifah Harun al-Rasyid
(786 – 809) dan puteranya al-Ma‟mun (813 – 833).

Daulah ini lebih menekankan pembinaan peradaban dan


kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah yang memang sudah luas. Dan
ini pulalah yang membedakan antara Dinasti Abbasiyah dengan Dinasti
Umayah yang lebih mementingkan perluasan daerah.

Pada zaman al-Mahdi, perekonomian meningkat. Irigasi yang


dibangun membuat hasil pertanian berlipat ganda dibandingkan sebelumnya.
Pertambangan dan sumber-sumber alam bertambah dan demikian pula
perdagangan internasional ketimur dan barat dipergiat. Basrah menjadi
pelabuhan penting yang sarananya lengkap.

Tingkat kemakmuran yang paling tinggi adalah pada zaman Harun


al-Rasyid. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa
inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat tak tertandingi.
Khalifah al-Ma‟mun menonjol dalam hal gerakan intelektual dan
ilmu pengetahuan dengan menerjemahkan buku-buku dari Yunani. Filsafat
Yunani yang rasional menjadikan khalifah terpengaruh dan mengambil teologi
rasional Muktazilah menjadi teologi negara.

Al-Mu‟tasim khalifah berikutnya (833 – 842), memberi peluang


besar kepada orang Turki masuk dalam pemerintahan. Daulah Abbasiyah
mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang Muslim mengikuti
perjalanan perang sudah terhenti. Ketentaraan kemudian terdiri dari prajurit-
prajurit Turki yang profesional. Kekuatan militer menjadi sangat kuat,
akibatnya tentara menjadi sangat dominan sehingga khalifah berikutnya sangat
dipengaruhi atau menjadi boneka ditangan mereka.

1. Periode kedua (232 H – 334 H / 847 M – 945 M)

2. Periode ketiga (334 H – 447 H / 945 M – 1055 M)

3. Periode keempat (447 H – 590 H / 1055 M – 1199 M)

4. Periode kelima (590 H – 656 H / 1199 M – 1258 M)

c) Dinasti Umayah di Spanyol (757-1492 M)

Di belahan Barat (eropa) berdiri megah Khalifah Umayah di


Spanyol dengan sebelumnya tentara Islam pimpinan Thariq Ibnu Ziyad pada
tahun 711 M menaklukkan kerajaan Visigothic yang diperintah oleh raja
Roderick. Dalam memperluas wilayah kekuasaannya kekuatan Islam ini pada
tahun 732 menyeberangi pegunungan pirenia (perbatasan Perancis), dan
pastilah akan mengubah sejarah Eropa seandainya mereka tidak dikalahkan
dengan menyedihkan sekali oleh Charles Mortel atau yang sering dipanggil
Karel Martel.

d) Dinasti Fatimiyah (919-1171 M)


Syahruddin El-Fikriasa Kejayaan Islam (the golden age of Islam)
ditandai dengan penyebaran agama Islam hingga ke benua Eropa. Pada masa
itulah berdiri sejumlah pemerintah atau kekha-lifahan Islamiyah. Seperti dinasti
Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, Turki Utsmani dan Ayyubiyah.

Selain penyebaran agama, kemajuan Islam juga ditandai dengan


kegemilangan peradaban Islam. Banyak tokoh-tokoh Muslim yang muncul
sebagai cendekiawan dan memiliki pengaruh besar dalam dunia peradaban
hingga saat ini. Namun, setelah perebutan kekuasaan dan kepemimpinan yang
kurang fokus, akibatnya pemerintahan Islam dikalahkan. Salah satunya adalah
dinasti Fatimiyah.

Imperium Ismailiyah yang didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi ini


hanya mampu bertahan selama lebih kurang dua setengah abad (909-1171 M).
Ubaidillah al-Mahdi adalah pengikut sekte Syiah Ismailiyah. Dinamakan sekte
Ismailiyah, karena sepeninggal Jafar As-Shadiq, anggota sekte Syiah Ismailiyah
berselisih pendapat mengenai sosok pengganti sang imam (Jafar as-Shadiq).
Dan Ismail selaku putra Jafar yang sedianya akan dijadikan pengganti, telah
meninggal terlebih dahulu. Di saat yang sama, mayoritas pengikut Ismailiyah
menolak penunjukan Muhammad yang merupakan putra Ismail. Padahal,
menurut mereka masih terdapat sosok Musa Al-Kazhim yang dinilai lebih
pantas memegang tampuk kepemimpinan spiritual.

Maka disaat itulah, tampil Abdullah atau Ubaidillah Al-Mahdi


mengambil kepemimpinan spiritual langsung (dari jalur Ali melalui Ismail).
Bersama keluarga dan para pengikutnya, Ismailiyah menyebar di wilayah
Salamiyah, sebuah pusat kaum Ismailiyah di Suriah. Maka pada tahun 297 H
atau 909 M, ia dilantik menjadi khalifah.

Pada masa kepemimpinannya, pemerintahan Dinasti Fatimiyah


berpusat di Maroko, dengan ibukotanya al-Manshur-iyah. Dinasti Fatimiyah
menjalankan roda pemerintahan di Maroko selama 24 tahun yang di pimpin
oleh empat orang khalifah, termasuk Ubaidillah al-Mahdi. Tiga orang khalifah
Dinasti Fatimiyah lainnya yang pernah memerintah di Maroko adalah al-Qaim
(322-323 H/934-946 M), al-Manshur (323-341 H/946-952 M), dan al-Muizz
(341-362 H/952-975 M).

Maka sejak saat itulah, dinasti Fatimiyah berhasil menjadi salah


satu pusat pemerintahan Islam yang disegani. Puncaknya, terjadi pada masa Al-
Aziz (365-386 H/975-996 M). Ia adalah putra dari Al-Muizz yang bernakma
Nizar dan bergelar al-Aziz (yang perkasa). Al-Aziz, berhasil mengatasi
persoalan keamanan di wilayah Suriah dan Palestina. Bahkan, pada masanya ini
pula, ia membangun istana kekhalifahan yang sangat megah hingga mampu
menampung tamu sebanyak 30 ribu orang. Tempat-tempat ibadah, pusat
perhubungan, pertanian maupun industri mengalami perkembangan pesat.

Sementara dalam bidang pemerintahan, Khalifah al-Aziz berhasil


meredam berbagai upaya pemberontakan yang terjadi di wilayah-wilayah
kekuasaannya. Dinasti ini dapat maju antara lain karena didukung oleh militer
yang kuat, administrasi pemerintahan yang baik, ilmu pengetahuan
berkembang, dan ekonominya stabil. Namun setelah masa al-Aziz Dinasti
Fatimiyah mengalami kemunduran dan akhirnya runtuh, setelah berkuasa
selama 262 tahun.

Krisis kepemimpinan

Khalifah berikutnya setelah al-Aziz, yakni Al-Hakim (386-411


H/996-1021 M), Az-Zahir (411-427 H/1021-1036 M), Al-Mustansir (428-487
H/1036-1094 M), hingga Al-Mustali (487-495 H/1094-1101 M), tak mampu
mengendalikan pemerintah seperti yang dilakukan oleh Al-Aziz.

Bahkan, krisis di antara kekuatan dalam pemerintahan Daulah


Fatimiyah itu terus berlangsung paada masa al-Hafiz (525-544 H/1131-1149
M), az-Zafir (544-549 H/1149-1154 M), al-Faiz (549-555 H/1154-1160 M),
dan al-Adid (555-567 H/1160-1171 M). Krisis internal itu diperparah dengan
majunya tentara Salib dan pengaruh Nuruddin Zangi dengan panglimanya,
Salahuddin al-Ayyubi.

Ketika khalifah al-Adid sedang sakit pada tahun 555 H/1160 M,


Salahuddin al-Ayyubi mengadakan pertemuaan dengan para pembesar untuk
menyelenggarakan khotbah dengan menyebut nama khalifah Abbasiyah, al-
Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuh dan berakhirnya kekuasaan Dinasti
Fatimiyah untuk kemudian digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah

B. Kemunduran Dunia Islam

a) Krisis dalam Bidang Sosial Politik

Awalnya adalah rapuhnya penghayatan ajaran Islam, terutama yang


terjadi dikalangan para penguasa. Bagi mereka ajaran Islam hanya sekedar
diamalkan dari segi formalitasnya belaka, bukan lagi dihayati dan diamalkan
sampai kepada hakekat dan ruhnya. Pada masa itu ajaran Islam dapat
diibaratkan bagaikan pakaian, dimana kalau dikehendaki baru dikenakan, akan
tetapi kalau tidak diperlukan ia bisa digantungkan. Akibatnya para pengendali
pemerintahan memarjinalisasikan agama dalam kehidupannya, yang
mengakibatkan munculnya penyakit rohani yang sangat menjijikkan seperti
keserakahan dan tamak terhadap kekuasaan dan kehidupan duniawi, dengki dan
iri terhadap kehidupan orang lain yang kebetulan sedang sukses. Akibat yang
lebih jauh lagi adalah muncullah nafsu untuk berebut kekuasaan tanpa disertai
etika sama sekali. Kepada bawahan diperas dan diinjak, sementara terhadap
atasan berlaku menjilat dan memuji berlebihan menjadi hiasan mereka.

”Syareat Islam adalah demokratis pada pokoknya, dan pada


prinsipnya musuh bagi absolutisme” (Stoddard, 1966: 119) Kata Vambrey, ”
Bukanlah Islam dan ajarannya yang merusak bagian Barat Asia dan
membawanya kepada keadaan yang menyedihkan sekarang, akan tetapi ke-
tanganbesi-an amir-amir kaum muslimin yang memegang kendali pemerintahan
yang telah menyeleweng dari jalan yang benar. Mereka menggunakan
pentakwilan ayat-ayat al-Quran sesuai dengan maksud-maksud despotis
mereka”.

b) Krisis dalam Bidang Keagamaan

Krisis ini berpangkal dari suatu pendirian sementara ulama jumud (konservatif)
yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Untuk menghadapi
berbagai permasalahan kehidupan umat Islam cukup mengikuti pendapat dari
para imam mazhab. Dengan adanya pendirian tersebut mengakibatkan lahirnya
sikap memutlakkan semua pendapat imam-imam mujtahid, padahal pada
hakekatnya imam-imam tersebut masih tetap manusia biasa yang tak lepas dari
kesalahan.

Kondisi dunia Islam yang dipenuhi oleh ulama-ulama yang


berkualitas dibuatnya redup dan pudarnya nur Islam yang di abad-abad
sebelumnya merupakan kekuatan yang mampu menyinari akal pikiran umat
manusia dengan terang benderang.

c) Krisis bidang Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan

Krisis ini sesungguhnya hanya sekedar akibat dari adanya krisis


dalam bidang sosial politik dan bidang keagamaan. Perang salib yang
membawa kaum Nasrani Spanyol dan serangan tentara mongol sama-sama
berperangai barbar dan sama sekali belum dapat menghargai betapa tingginya
nilai ilmu pengetahuan. Pusat-pusat ilmu pengetahuan baik yang berupa
perpustakaan maupun lembaga-lembaga pendidikan diporak-porandakan dan
dibakar sampai punah tak berbekas. Akibatnya adalah dunia pendidikan tidak
mendapatkan ruang gerak yang memadai. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi
yang ada sama sekali tidak memberikan ruang gerak kepada para mahasiswanya
untuk melakukan penelitian dan pengembangan ilmu. Kebebasan mimbar dan
kebebasan akademik yang menjadi ruh atau jantungnya pengembangan ilmu
pengetahuan Islam satu persatu surut dan sirna. Cordova dan Baghdad yang
semula menjadi lambang pusat peradaban dan ilmu pengetahuan beralih ke
kota-kota besar Eropa.

C. Kebangkitan Kembali Dunia Baru Islam

Benih pembaharuan dalam dunia Islam sesungguhnya telah muncul


di sekitar abad XIII Masehi, suatu masa yang pada waktu itu dunia Islam
tengah mengalami kemunduran dalam berbagai bidang dengan sangat
drastisnya. Ditengah-tengah kemelut yang melanda Baghdad disebabkan karena
invasi yang dilakukan oleh tentara Mongol di bawah komando Hulagu Khan.

Haruslah diyakini bahwa Peradaban Islam yang pernah ada dan


pernah jaya itu akan bangkit kembali dimasa yang akan datang. Untuk
membangkitkan hal tersebut diperlukan kesadaran dari berbagai pihak terutama
umat Islam dan para ulama itu sendiri (para intelektual dan pemikir). Seperti
kita ketahui peradaban Islam itu pertama kali muncul saat Zaman Nabi
Muhammad SAW. Pertama kali muncul peradaban tersebut saat sang Nabi
hijrah dari Mekkah ke Madinah saat itulah Islam mulai mengalami kejayaan.
Saat itu muncul berbagai karya-karya, ide-ide dan konsep kenegaraan.

Bangkitnya kembali peradaban Islam ini, menurut hemat saya,


tentu saja membutuhkan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Hal yang paling
urgen adalah kesadaran umat Islam terhadap ilmu. dengan meningkatnya ilmu
pengetahuan tersebut tentu saja akan membangun perekonomian yang baik,
sekaligus punya posisi politik yang kuat. Selama ini kita kalah dengan
peradaban Barat karena pendidikan kita kalah, ekonomi kalah, dan didominasi
oleh barat.
Kita akui untuk membangkitkan kembali peradaban tersebut,
dibutuhkan waktu yang lama dan juga harus ada usaha untuk merebutnya
kembali. Yaitu harus ada kekuasaan ilmu. Kalau kita cepat sadar untuk
meningkatkan ilmu pengetahuan maka akan cepat kita mengembalikan
peradaban tersebut.

Keyakinan seperti ini akan muncul jika kita mempelajari kembali kejayaan
peradaban islam masa lalu. Dahulu saja peradaban Islam muncul karena ilmu,
belum ada teknologi.sehingga Islam diakui oleh Barat bukan hanya sebagai
agama, tapi juga sebagai peradaban. Peradaban Islam itu sendiri bukan hanya
ada tapi juga pernah berjaya. Bahkan Islam pernah meraih prestasi tertinggi.
Namun sayangnya, kebanggaan umat Islam terhadap peradaban Islam sendiri
kini sudah hilang. Padahal Islam sudah berhasil membangun manusia-manusia
yang luar biasa, pemimpin-pemimpin yang cerdas dan sholeh.

Peradaban Islam yang pernah jaya itu rusak tak hanya karena
kebanggaan masyarakatnya yang kurang, tapi juga karena ulamanya yang
rusak. Sumber kerusakan adalah ulama yang rusak. Kalau ingin mengembalikan
peradaban Islam, kembalikan juga fungsi ulama.

Untuk membangkitkan kembali peradaban Islam, dibutuhkan


kebangkitan ilmu dalam segala disiplinya, kebangkitan ulama dan juga
kebangkitan Islam. Kalau tidak bangkit itu semua, maka tidak bisa bangkit
peradaban Islam.

Saat ini peradaban Islam sulit bangkit kembali, kalau kecintaan


terhadap ilmu pengetahun tidak tumbuh, dan generasinya tidak mengingat
kembali akan sejarah peradaban islam yang pernah Berjaya tersebut. sehingga
pemahaman tentang peradaban islam hilang dan juga kebanggan terhadap
peradaban Islam hilang.
Sebuah peradaban akan bangkit apabila didukung kuatnya tradisi
ilmu pengetahuan di antara masyarakat yang mengharapkan kehadiran sebuah
peradaban. kita mengaku sekarang ini mayoritas muslim merindukan kembali
bangkitnya peradaban Islam seperti pada masa abad pertengahan. Kerinduan
semakin menggebu ketika berhadapan dengan peradaban Barat yang
mendominasi lini kehidupan.

Anda mungkin juga menyukai