Dosen Pengampu
Oleh
SUPRIYO
NIM : 6117001
2017
PENDIDIKAN PROFESSIONAL,
Qur‟an dan Sunnah atau Hadits Nabi. Dua sumber ini merupakan
sentral segala sumber yang membimbing segala perilaku dalam menjalankan
ibadah, perbuatan atau aktivitas umat Islam yang benar-benar menjalankan
ajaran Islam. Etika dalam Islam menyangkut norma dan tuntunan atau ajaran
yang mengatur sistem kehidupan individu atau lembaga (corporate), kelompok
dan masyarakat dalam interaksi hidup antar individu, antar kelompok atau
masyarakat dalam konteks hubungan dengan Allah dan lingkungan. Di dalam
sistem etika Islam ada sistem penilaian atas perbuatan atau perilaku yang
bernilai baik dan bernilai buruk.
Perilaku baik menyangkut semua perilaku atau aktivitas yang
didorong oleh kehendak akal fikir dan hati nurani dalam berkewajiban
menjalankan perintah Allah dan termotivasi untuk menjalankan anjuran Allah.
Perilaku buruk menyangkut semua aktivitas yang dilarang oleh Allah, di mana
manusia dalam melakukan perilaku buruk atau jahat ini tedorong oleh hawa
nafsu, godaan syaitan untuk melakukan perbuatan atau perilaku buruk atau
jahat yang akan mendatangkan dosa bagi pelakunya dalam arti merugikan diri
sendiri dan yang berdampak pada orang lain atau masyarakat.
Dengan demikian, apapun profesinya, terlebih bagi para guru harus mempunyai
soft skills yang kuat. Sebab, soft skills pada dasarnya merupakan keterampilan
seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (interpersonal skills) dan
keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri (intrapersonal skills) yang mampu
mengembangkan unjuk kerja secara maksimal.
1. Etika kerja, etos kerja, dan kode etik merupakan tiga hal yang saling
terkait dan mempunyai peranan yang besar dalam mewujudkan
profesionalisme dan kualitas kerja seseorang. Efektivitas, efisiensi, dan
produktivitas suatu pekerjaan akan banyak tergantung kepada tiga unsur
tersebut
2. Etika, pada hakikatnya merupakan dasar pertimbangan dalam
pembuatan keputusan tentang moral manusia dalam interaksi dengan
lingkungnnya. Secara umum, etika dapat diartikan sebagai suatu
disiplin filosofis yang sangat diperlukan dalam interaksi sesama
manusia.
3. Etos kerja lebih merujuk kepada kualitas kepribadian pekerja yang
tercermin melalui unjuk kerja secara utuh dalam berbagai dimensi
kehidupannya. Etos kerja lebih merupakan kondisi internal yang
mendorong dan mengendalikan perilaku pekerja ke arah terwujudnya
kualitas kerja yang ideal.
4. Kode etik profesi merupakan tatanan/tanda/norma yang menjadi
pedoman dalam menjalankan tugas dan aktivitas suatu profesi. Pola
tatanan itu seharusnya diikuti dan ditaati oleh setiap orang yang
menjalankan profesi tersebut.
5. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) telah merumuskan poin-
poin kode etik melalui konggres . Pengembangan kode etik guru dalam
empat tahapan yaitu: (1) tahap pembahasan/perumusan (lahun 1971-
1973), (2) tahap pengesahan (Kongres PGRI ke XIII Nopember 1973).
(3) tahap penguraian (Kongres PGRI XIV, Juni 1979), (4) tahap
penyempurnaan (Kongres XVI, juli 1989).
1) Ilmu syar‟iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari para Nabi, terdiri atas:
1) Ilmu ushul (ilmu pokok), 2) Ilmu furu‟ (cabang), 3) Ilmu pengantar
(mukaddimah), dan 4) Ilmu pelengkap (mutammimah).
2) Ilmu ghoiru syar‟iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari ijtihad ulama‟
atau intelektual muslim, terdiri atas: 1) Ilmu terpuji, 2) Ilmu yang
diperbolehkan (tak merugikan), 3) Ilmu yang tercela (merugikan). (Samsul
Nizar, 2002: 92).
d. Pembatasan term al-„ilm hanya pada ilmu tentang Allah. (Baharuddin dan
Wahyuni, 2010: 39).
Dari deskripsi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran utama aliran
konservatif antara lain: 1) Ilmu adalah ilmu al-hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan
saat sekarang yang bisa membawa manfaat di akhirat, 2) Ilmu-ilmu selain ilmu
keagamaan adalah sia-sia, dan 3) Ilmu hanya bisa diperoleh melalui rasio.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu
Miskawaih. Aliran ini dijuluki “pemburu” hikmah Yunani di belahan dunia
Timur, dikarenakan pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani.
Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan
dunia akal. Hal inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju
“linier-progresif” melalui tiga cara, yaitu: 1) Dengan jalan indera, jiwa dapat
mengetahui sesuatu yang lebih rendah dari substansi dirinya; 2) Dengan jalan
burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa mengetahui sesuatu yang lebih
tinggi darinya; dan 3) Dengan perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui
substansi dirinya. (Ridha, 2002: 87)
Ikhwan tidak sependapat dengan ide Plato yang menganggap bahwa belajar
tiada lain hanyalah proses mengingat ulang. Ikhwan menganggap bahwa semua
pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiah. Segala sesuatu yang tidak
dijangkau oleh indera, tidak dapat diimajinasikan, segala sesuatu yang tidak
bisa diimajinasikan, maka tidak bisa dirasiokan.
Kalangan Ikhwan sangat memberi tempat terhadap ragam disiplin ilmu yang
berkembang dan bermanfaat bagi kemajuan hidup manusia. Implikasinya
adalah konsep ilmu berpangkal pada “kesedia-kalaan” ilmu tanpa pembatasan.
Dari pemikiran kedua tokoh di atas, teori utama aliran Religius-Rasional ini
antara lain: 1) Pengetahuan adalah muktasabah, yakni hasil perolehan dari
aktivitas belajar, 2) Modal utama ilmu adalah indera, 3) Lingkup kajian
meliputi pengkajian dan pemikiran seluruh realitas yang ada, 4) Ilmu
pengetahuan adalah hal yang begitu bernilai secara moral dan sosial, dan 5)
Semua ragam ilmu pengetahuan adalah penting.
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-
mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis
di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala
konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam
tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain
merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Dari pemikiran Ibnu Khaldun di atas, maka ide pokok pemikiran aliran
Pragmatis antara lain: 1) Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun ia menjadi
tahu karena proses belajar, 2) Akal merupakan sumber otonom ilmu
pengetahuan, dan 3) Keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan ukhrawi.
1. Tiga aliran utama filsafat pendidikan Islam yang telah dibahas di atas,
memiliki pendapat-pendapat yang berbeda antara satu dengan yang
lain. Aliran yang pertama yaitu aliran Konservatif (al-Muhafidz).
Mereka memaknai ilmu dengan pengertian sempit, yaitu hanya
mencakup ilmu-ilmu yang bersifat keagamaan.
2. Sangat berbeda dengan aliran Konservatif ini, kalangan yang
menamakan diri mereka Ikhwan al-Shafa, menganggap semua
disiplin ilmu adalah penting. Mereka lebih luwes dalam merumuskan
ilmu pengetahuan, dan indera adalah sumber utama ilmu
pengetahuan. Kelompok Ikhwan dan tokoh-tokoh yang sealiran
dengannya digolongan ke dalam aliran yang ke-dua yaitu aliran
Religius-Rasional (al-Diniy al-„Aqlaniy).
3. Aliran yang ke-tiga yaitu aliran Pragmatis (al-Dzarai‟iy). Tokoh
aliran ini adalah Ibnu Khaldun. Menurutnya, pendidikan bukan hanya
bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga
untuk mendapatkan keahlian duniawi dan ukhrowi, keduanya harus
memberikan keuntungan.
Soal no 3
Meneruskan jawatan pos yang sudah ada sejak masa Bani Umayah,
dengan penambahan tugas dari selain mengantarkan surat juga untuk
menghimpun seluruh informasi dari daerah sehingga administrasi kenegaraan
dapat berlangsung dengan lancar.
Krisis kepemimpinan
Krisis ini berpangkal dari suatu pendirian sementara ulama jumud (konservatif)
yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Untuk menghadapi
berbagai permasalahan kehidupan umat Islam cukup mengikuti pendapat dari
para imam mazhab. Dengan adanya pendirian tersebut mengakibatkan lahirnya
sikap memutlakkan semua pendapat imam-imam mujtahid, padahal pada
hakekatnya imam-imam tersebut masih tetap manusia biasa yang tak lepas dari
kesalahan.
Keyakinan seperti ini akan muncul jika kita mempelajari kembali kejayaan
peradaban islam masa lalu. Dahulu saja peradaban Islam muncul karena ilmu,
belum ada teknologi.sehingga Islam diakui oleh Barat bukan hanya sebagai
agama, tapi juga sebagai peradaban. Peradaban Islam itu sendiri bukan hanya
ada tapi juga pernah berjaya. Bahkan Islam pernah meraih prestasi tertinggi.
Namun sayangnya, kebanggaan umat Islam terhadap peradaban Islam sendiri
kini sudah hilang. Padahal Islam sudah berhasil membangun manusia-manusia
yang luar biasa, pemimpin-pemimpin yang cerdas dan sholeh.
Peradaban Islam yang pernah jaya itu rusak tak hanya karena
kebanggaan masyarakatnya yang kurang, tapi juga karena ulamanya yang
rusak. Sumber kerusakan adalah ulama yang rusak. Kalau ingin mengembalikan
peradaban Islam, kembalikan juga fungsi ulama.