Anda di halaman 1dari 8

Makalah Illegal Fishing

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu Reformasi dibidang Hukum dan perundangan yang dilakukan Negara Republik Indonesia
adalah dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 yang kemudian diubah
dengan Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tentang perikanan. Untuk Indonesia undang-undang
ini amatlah penting mengingat luas perairan kita yang hampir mendekati 6 juta kilometer persegi
yang mencakup perairan kedaulatan dan yuridiksi nasional memerlukan perhatian dan kepedulian
kita semua, utamanya yang menyangkut upaya penegakan hukum dan pengamanan laut dari
gangguan dan upaya pihak asing.
Keberadaan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 ini merupakan langkah positif dan merupakan
landasan/aturan bagi Penegak Hukum dan Hakim Perikanan dalam memutuskan persoalan hukum
yang terkait dengan Illegal Fishing, yang dampaknya sangat merugikan negara bahkan telah
disinyalir dapat merusak perekonomian bangsa. Lebih jauh lagi kegiatan illegal fishing di perairan
Indonesia menyebabkan kerugian negara rata-rata mencapai 4 sampai dengan 5 milyar
(USD/tahun). Setiap tahunnya sekitar 3.180 kapal nelayan asing beroperasi secara illegal di
perairan Indonesia.
Illegal fishing dikenal dengan illegal, unregulated, unreported fishing tidak hanya terjadi di Indonesia
saja, beberapa negara kawasan Asia Pasifik mengakui bahwa IUU Fishing menjadi musuh yang
harus diberantas demi usaha perikanan berkelanjutan. Data-data kapal yang ditangkap oleh kapal
perang, kesalahan mereka sangat bervariasi antara lain transfer tanpa ijin, dokumen palsu,
menangkap ikan dengan jaring terlarang, menggunakan bahan peledak, ABK tidak disijil dan
pelanggaran kemudahan khusus keimigrasian serta tenaga kerja asing yang tidak memiliki ijin kerja.
Selain itu, beberapa permasalahan mendasar dalam illegal fishing antara lain ketidakpastian dan
ketidakjelasan hukum, birokrasi perijinan yang semrawut. Ketidakpastian hukum dicirikan oleh
beberapa hal seperti pemahaman yang berbeda atas aturan yang ada, inkonsistensi dalam
penerapan, diskriminasi dalam pelaksanaan hukuman bagi kapal-kapal asing yang melanggar,
persengkokolan antara pengusaha lokal, pengusaha asing dan pihak peradilan. Peradilan terhadap
pelanggarpun lambat, berlarut-larut dan korup.
Dalam UU Nomor 9 tahun 1985 maupun UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sangat jelas bahwa illegal fishing
diganjar pidana penjara dan denda sepadan pelanggaran yang dilakukan. Sanksi pidana penjara
dan denda tidak diterapkan semestinya. Ketidakjelasan lainnya adalah ganjaran/sanksi terhadap
birokrasi perijinan dan pengawas serta aparat penegak hukum di laut yang dengan sengaja
melakukan pungutan di luar ketentuan atau meloloskan pelanggar dengan kongkalikong.
Oleh karena itu para Penegak Hukum seperti Pegawai KKP, Polisi Perairan dan TNI.AL diharapkan
secara maksimal dapat menjaga laut kita dari pencurian Ikan dan kejahatan lainnya. Dibentuknya
Pengadilan ad.hoc Perikanan diharapkan juga mampu untuk menjawab persoalan kejahatan
pencurian ikan yang tercermin dalam putusan-putusan yang dihasilkan, baik kejahatan yang
dilakukan oleh warga negara maupun yang dilakukan oleh warga/negara asing. Dan dari putusan-
putusan ini diharapkan ada efek jera bagi para pelaku kejahatan IUU Fishing. Berdasarkan dari latar
belakang tersebut sehingga penulis memilih judul “Penegakkan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Illegal Fishing” dalam tugas penulisan makalah yang bertemakan “Penyelesaian Illegal Fishing”.

B. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan illegal fishing ?
2. Sudah sejauh manakah peran aparatur negara/ pemerintah dalam upaya menindak pelaku
tindak pidana illegal fishing ?
3. Apa sajakah hambatan dalam penegakkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dan kegunaan penelitian dalam penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui kategori yang dimaksud dengan Illegal fishing;
2. Untuk mengetahui sejauh mana peran pemerintah dalam mmenindak pelaku tindak pidana
illegal fishing;
3. Untuk mengetahui hambatan dalam menegakkn aturan Undang-undang Nomor 45 Tahun
2009.

D. Manfaat
Manfaat penulisan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
Diharapkan dapat berguna dan bermanfaat untuk pengembangan teori-teori hukum atau ilmu
pengetahuan hukum pidana dan hukum acara pidana serta perbendaharaan pustaka ilmu hukum.
2. Secara Praktis
Dapat dijadikan bahan masukan bagi aparat penegak hukum di laut guna menyelesaikan masalah-
masalah yang dihadapi di lapangan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi
Pengertian ”illegal fishing” dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak secara eksplisit
didefinisikan dengan tegas. Namun, terminologi illegal fishing dapat dilihat dari pengertian secara
harfiah yaitu dari bahasa Inggris. Dalam The Contemporary English Indonesian Dictionary,
”illegal” artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum. “Fish” artinya ikan atau
daging ikan dan ”fishing” artinya penangkapan ikan sebagai mata pencaharian atau tempat
menangkap ikan. Berdasarkan pengertian secara harfiah tersebut dapat dikatakan bahwa ”illegal
fishing” menurut bahasa berarti menangkap ikan atau kegiatan perikanan yang dilakukan secara
tidak sah. Menurut Divera Wicaksono sebagaimana dikutip Lambok Silalahi bahwa illegal fishing
adalah memakai Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) palsu, tidak dilengkapi dengan SIPI, isi
dokumen izin tidak sesuai dengan kapal dan jenis alat tangkapnya, menangkap ikan dengan jenis
dan ukuran yang dilarang .
Penegakan hukum adalah merupakan usaha atau kegiatan negara berdasarkan kedaulatan negara
atau berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, baik aturan hukum nasional itu sendiri
maupun aturan hukum internasional dapat diindahkan oleh setiap orang dan atau badan-badan
hukum, bahkan negara-negara lain untuk memenuhi kepentingannya namun tidak sampai
mengganggu kepentingan pihak lain.
Penegakan hukum dalam pengertian yustisial diartikan sebagai suatu proses peradilan yang terdiri
dari kegiatan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta
pelaksanaan putusan hakim, hal ini bertujuan untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum.
Berdasarkan pengertian yustisial maka yang dimaksud dengan penegakan hukum di laut ialah suatu
proses kegiatan dalam penyelesaian suatu perkara yang timbul sebagai akibat terjadinya
pelanggaran dilaut atas ketentuan hukum yang berlaku baik ketentuan hukum internasional maupun
nasional.
Delik/ tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar undang-undang pidana, dank arena itu
bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan diperairan yang tidak dalam keadaan
dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk
memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau
mengawetkannya.
Surat Izin Penangkapan Ikan, yang selanjutnya disebut SIPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki
setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari SIUP.
Surat Izin Usaha Perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah izin tertulis yang harus dimiliki
perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi
yang tercantum dalam izin tersebut.

B. Penegakan hukum IUU Fishing dalam Unclos 1982


Dalam hal penegakan hokum, termasuk penegakan hukum bagi pelaku IUU Fishing, UNCLOS 1982
secara garis besar membedakan wilayah laut dua kategori, yaitu wilayah laut di bawah kedaulatan
dan wilayah laut dimana suatu negara memiliki yurisdiksi. Kawasan laut yang tunduk dibawah
kedaulatan suatu negara pantai/kepulauan adalah perairan pedalaman dan laut teritorial atau
perairan kepulauan dan laut teritorial. Sedangkan kawasan laut dimana suatu negara
pantai/kepulauan memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi adalah ZEE dan Landas Kontinen.
Wilayah ZEE mempunyai status hukum yang sui generis (unik/berbeda). Keunikan tersebut terletak
pada eksistensi hak dan kewajiban negara pantai dan negara lain atas ZEE. Berbeda dengan di
laut teritorial, dimana negara pantai mempunyai kedaulatan, di ZEE negara pantai hanya
mempunyai hak berdaulat. Hak berdaulat tersebut terbatas pada eksplorasi dan eksploitasi sumber
daya kelautan baik sumber daya hayati maupun non-hayati.
Di dalam UNCLOS 1982 disebutkan hak dan yurisdiksi negara pantai di ZEE meliputi: (1) eksplorasi
dan eksploitasi sumber daya kelautan (hayati-non hayati); (2) membuat dan memberlakukan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya
kelautan; (3) pembangunan pulau buatan dan instalasi permanen lainnya; (4) mengadakan
penelitian ilmiah kelautan; dan (5) perlindungan lingkungan laut. Sedangkan kewajiban negara
pantai ZEE meliputi: (1) menghormati eksistensi hak dan kewajiban negara lain atas wilayah ZEE;
(2) menentukan maximum allowable catch untuk sumber daya hayati dalam hal ini perikanan; dan
(3) dalam hal negara pantai tidak mampu memanen keseluruhan allowable catch, memberikan
akses kepada negara lain atas surplus allowable catch melalui perjanjian sebelumnya untuk
optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan terutama sumber daya perikanan dengan tujuan
konservasi.
UNCLOS 1982 tidak mengatur tentang IUU Fishing. Wacana tentang illegal fishing muncul bersama-
sama dalam kerangka IUU (Illegal, Unreporterd and Unregulated) fishing practices pada saat
diselenggarakannya forum CCAMLR (Commision for Conservation of Artarctic Marine Living
Resources) pada 27 Oktober – 7 Nopember 1997. IUU Fishing dapat dikategorikan dalam tiga
kelompok:
1. Illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan wilayah atau ZEE
suatu negara, atau tidak memiliki ijin dari negara tersebut;
2. Unregulated fishing yaitu kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara
yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut; dan
3. Unreported fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu
negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya.
Praktek IUU Fishing terjadi baik di kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan maupun di ZEE.
Dilakukan oleh kapal berbendera negara pantai yang bersangkutan itu sendiri maupun oleh kapal
berbendera asing. Walaupun tidak mengatur IUU Fishing, tapi berkaitan dengan penegakan hukum
di laut, UNCLOS 1982 mengatur secara umum, baik di kawasan laut yang tunduk di bawah
kedaulatan dan ZEE suatu negara.
1. Penegakan hukum di laut yang tunduk di bawah kedaulatan
Jika pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai terjadi di laut teritorial
atau perairan pedalaman atau perairan kepulauan suatu negara, maka sesuai dengan kedaulatan
yang diberikan oleh Pasal 2 UNCLOS 1982, negara pantai dapat memberlakukan semua peraturan
hukumnya bahkan hukum pidananya terhadap kapal tersebut. Asalkan pelanggaran tersebut
membawa dampak bagi negara pantai atau menganggu keamanan negara pantai sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 27 (1) UNCLOS 1982. Akan tetapi jika unsur-unsur yang disebutkan dalam
Pasal 27 (1) UNCLOS 1982 ini tidak terpenuhi, maka negara pantai tidak dapat menerapkan
yurisdiksi pidananya terhadap kapal tersebut. Luasnya kewenangan Negara pantai untuk
menegakan hukumnya bagi kapal asing yang melanggar hukum di laut territorial, perairan
pedalaman atau perairan kepulauan ini (memenuhi ketentuan pasal 27 ayat 1), adalah perwujudan
dari yurisdiksi teritorialitas.
2. Penegakan hukum di ZEE
Pasal 27 (5) UNCLOS 1982 selanjutnya merujuk kepada Bab IX (Pelestarian dan Perlindungan
Lingkungan Laut) dan Bab.V tentang ZEE. Dalam hal pelanggaran terhadap peraturan perundang-
undangan negara pantai yang berkaitan dengan eksplorasi, eksploitasi, konsevasi dan pengelolaan
sumber daya perikanan Negara pantai dapat melakukan tindakan penegakan hukum.
Bertalian dengan penegakan hukum negara pantai di ZEE diatur dalam pasal 73 UNCLOS 1982
yang menentukan:
1) Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi,
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati di zona ekonomi ekskluisf mengambil
tindakan sedemikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses
pengadilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan
yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.
2) Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu
uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya.
3) Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-
undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada
perjanjian sebalik-nya antara negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman
badan lainnya.
4) Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing negara pantai harus segera
memeberitahu kepada negara bendera, melalui saluran yang tepat, mengenai tindakan yang diambil
dan mengenai setiap hukuman yang kemudian dijatuhkan”.
Jadi berdasarkan Pasal 73 UNCLOS 1982, jika kapal asing tidak mematuhi peraturan perundang-
undangan perikanan negara pantai di ZEE, negara pantai dapat menaiki, memeriksa, menangkap
dan melakukan proses pengadilan atas kapal tersebut dan memberitahu negara bendera kapal.
Akan tetapi kapal dan awak kapal yang ditangkap tersebut harus segera dilepaskan dengan
reasonable bond (uang jaminan yang layak) yang diberikan kepada negara pantai. Hukuman yang
dijatuhkan tidak boleh dalam bentuk hukuman badan yaitu penjara.

C. Penegakkan Hukum IUU Fishing di Indonesia


Penegakan hukum terhadap tindak pidana di Indonesia dilakukan melalui proses peradilan pidana
sebagaimana ditegaskan dalam Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP ( Kitab
Undang - Undang Hukum Pidana ) dimana setiap bentuk tindak pidana yang terjadi ditangani
melalui tahapan Pre Ajudikasi, Ajudikasi dan Post Ajudikasi.
Pre Ajudikasi : Pada tahapan ini Lembaga atau Instansi penegak hukum yang telibat secara
langsung yaitu penyidik (Polisi, Angkatan Laut dan Penyidik PNS) serta Jaksa
(Kejaksaan). Penegak hukum melakukan suatu tindakan berdasarkan informasi maupun laporan
mengenai adanya suatu tindak pidana Illegal Fishing namun tidak jarang pula adanya tindakan
langsung oleh Kepolisian maupun Angkatan Laut atas temuan dari Intelegen mereka sendiri, seperti
sering dilakukannya Gelar Patroli Keamanan Laut oleh kedua lembaga tersebut. Namun demikian
hasil dari Gelar Patroli Keamanan Laut tersebut selanjutnya yang akan diproses pada tahapan
berikutnya, tidak akan berjalan atau dilakukan secara optimal tanpa adanya koordinasi yang utuh
dan menyeluruh dari berbagai lembaga penegak hukum atau yang sering kita kenal dengan istilah
Integreted Criminal Justice System(ICSJ).
Berbagai upaya lain juga telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pengamanan laut, tetapi
masih dipandang belum memadai dalam menjawab tantangan keamanan laut yang ada. Sampai
pada akhirnya pemerintah merasa perlu melakukan upaya-upaya koordinasi berbagai pihak dalam
upaya pengamanan laut Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah di bawah pemerintahan
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono adalah dengan melakukan revitalisasi Badan Koordinasi
Keamanan Laut yang sudah ada sebelumnya untuk diatur kembali melalui instrument Peraturan
Presiden.
Adanya perubahan tata pemerintahan dan perkembangan lingkungan strategis saat ini perlu
penataan kembali Bakorkamla untuk meningkatkan koordinasi antar institusi/instansi pemerintah di
bidang keamanan laut. Pada tahun 2003, melalui Kep. Menkopolkam, Nomor
Kep.05/Menko/Polkam/2/2003, dibentuk Kelompok Kerja Perencanaan Pembangunan Keamanan
dan Penegakan Hukum di Laut. Akhirnya pada tanggal 29 Desember 2005, ditetapkan Peraturan
Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) yang
menjadi dasar hukum organisasi tersebut.
Untuk menciptakan kondisi keamanan wilayah yang kondusif, Lantamal I melaksanakan operasi
kamla terbatas dengan Alutsista KAL/Patkamla yang tergelar dijajaran, dalam rangka penegakan
kedaulatan dan hukum serta melindungi sumber sumber daya alam untuk kepentingan nasional
maupun daerah.
Pelaksanaan tugas pokok Lantamal I Belawan tentu mengacu pada tugas pokok TNI Angkatan Laut
yang diamanatkan dalam pasal 9 Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia yaitu :
1. Melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan;
2. Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai
dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi;
3. Melaksanakan tugas diplomasi Angkatan Laut dalam rangka mendukung kebijakan politik
luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah;
4. Melaksanakan tugas dan pengembangan kekuatan matra laut;
5. Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.
Saat ini penyidik TNI AL secara konsisten telah menerapkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan dengan
melaksanakan enforcement of law secara cepat dan tuntas serta dapat menimbulkan efek jera bagi
para pelakunya. Dalam proses penyidikan di pangkalan TNI AL sesuai amanat Undang-undang
telah menetapkan owner, agen dan operator kapal sebagai tersangka. Hal ini dilakukan agar para
pemilik tidak lagi berlindung dibalik badan dan mengorbankan para Nakhoda dan ABK kapal ikan.
Penyidik TNI AL memang harus tunduk kepada otoritas yang mengatur perijinan, meskipun selalu
ditempatkan sebagai pemadam kebakaran dan disalahkan bila ada penyelesaian kasus yang belum
tuntas. Komitmen TNI AL tetap tinggi untuk proaktif memberantas praktek illegal fishing.
Prosedur dan tata cara pemeriksaan tindak pidana di laut sebagai bagian dari penegakan hukum di
laut mempunyai ciri-ciri atau cara-cara yang khas dan mengandung beberapa perbedaan dengan
pemeriksaan tindak pidana di darat. Hal ini disebabkan karena di laut terdapat bukan saja
kepentingan nasional, akan tetapi terdapat pula kepentingan-kepentingan internasional yang harus
dihormati, seperti hak lintas damai, hak lintas alur laut kepulauan, hak lintas transit, pemasangan
kabel laut serta perikanan tradisional negara tetangga.
Adapun seperangkat aturan sebagai pendukung penegakkan hukum terhadap tindak pidana illegal
fishing di Indonesia antara lain sebagai berikut.
1. Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang – Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perikanan,
2. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil serta
aturan pelaksanaannya lainnya seperti : Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang
Usaha Perikanan,
3. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan,
4. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian dan
Pengembangan Perikanan,
5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum
Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan,
6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2005 tentang Komisi
Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan,
7. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2005 tentang Penangkapan
Ikan dan/atau Pembudidaya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Yang
Bukan Untuk Tujuan Komersial,
8. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha
Perikanan Tangkap, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.06/MEN/2008 tentang
Penggunaan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara, Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor PER.08/MEN/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkap Ikan Jaring Ingsang
(Gill Net) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).

D. Penghambat Penegakkan Hukum Terhadap IUU Illegal Fishing


1. Obyek Penegak Hukum Sulit Ditembus Hukum
Obyek yang dimaksud disini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan Illegal Fishing yaitu pelaku
yang menjadi otak dari kegiatan tersebut. Terutama dalam hal ini adalah oknum Pejabat
Penyelenggara Negara, oknum Aparat Penegak Hukum atau oknum Pegawai Negeri Sipil yang
tidak diatur secara khusus dalam Undang–Undang tentang Perikanan tersebut.Penerapan Pasal 56
ayat (1) KUHP yang mengkualifikasikan pelaku tindak pidana sebagai orang yang melakukan, yang
menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan pidana dapat juga diterapkan
dalam kejahatan Illegal Fishingyang melibatkan banyak pihak. Namun demikian beban pidana yang
harus ditanggung secara bersama dalam
terjadinya tindak pidana Illegal Fishing juga dapat mengurangi rasa keadilan masyarakat, karena
dengan kualitas dan akibat perbuatan yang tidak sama terhadap pelaku turut serta, dapat
dipidanakan maksimum sama dengan si pembuat menurut ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHP,
sedangkan ternyata peranan pelaku utamanya sulit ditemukan.
2. Lemahnya Koordinasi Antar Penegak Hukum
Lemahnya koordinasi antar Instansi Penegak Hukum dapat menimbulkan tumpang tindih
kewenangan dan kebijakan masing – masing, sehingga sangat rawan menimbulkan konflik
kepentingan. Penegakan hukum yang tidak terkoordinasi merupakan salah satu kendala dalam
penanggulangan kejahatan Illegal Fishing.
Proses peradilan mulai dari penyidikan hingga ke persidangan membutuhkan biaya yang sangat
besar, proses hukum yang sangat panjang dan sarana / prasarana yang sangat memadai
membutuhkan keahlian khusus dalam penanganan kasus tersebut. Dalam satu Instansi tentu tidak
memiliki semua komponen, data/informasi ataupun sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam
rangka penegakan hukum.Oleh karena itu diperlukan koordinasi dan kerjasama yang sinergis antar
Instansi yang terkait dalam upaya penegakan hukum terhadap Illegal Fishing tersebut.
Dalam pemberantasan kejahatan Illegal Fishing yang terjadi di Indonesia sering ditemui bahwa yang
merupakan salah satu kendala dalam pemberantasan Illegal Fishing ialah disebabkan oleh
kurangnya koordinasi yang efektif dan efisien antara berbagai Instansi yang terkait, yang mana
sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER/11/MEN/2006 tentang
Perubahan Peraturan Menteri Nomor PER/13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan
Tindak Pidana Di Bidang Perikanan yaitu dalam hal ini terdapat 10 (sepuluh) Instansi yang terkait
yang berada dalam satu mata rantai pemberantasanIllegal Fishing yang sangat menentukan proses
penegakan hukum kejahatan perikanan yaitu : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepolisian
Republik Indonesia, TNI - Angkatan Laut, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan Ham Ditjen
Keimigrasian, Kemeterian Perhubungan Ditjen Perhubungan Laut, Kementerian Keuangan Ditjen
Bea dan Cukai, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Ditjen Pembinaan Pengawasan
Ketenagakerjaan, Mahkamah Agung dan Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.Koordinasi
antar berbagai Instansi tersebut sangat menentukan keberhasilan dalam penegakan hukum pidana
terhadap kejahatan Illegal Fishing yang merupakan kejahatan terorganisir yang memiliki jaringan
yang sangat luas mulai dari penangkapan ikan secara ilegal, tanshipment ikan ditengah laut hingga
eksport ikan secara ilegal.
3. Rumusan Sanksi Pidana
Rumusan sanksi pidana dalam pasal Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya
Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikananyang memiliki sanksi pidana denda yang
sangat berat dibandingkan dengan ketentuan pidana yang lain, ternyata belum memberikan efek
jera kepada pelaku kejahatan Illegal Fishing. Ancaman
hukuman penjara yang paling berat 6 (enam) tahun bagi pelaku yang melakukan penangkapan ikan
tanpa memiliki atau membawa SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan) dan paling berat 7 (tujuh) tahun
bagi yang melakukan pemalsuan dan memakai ijin palsu berupa SIUP, SIPI, SIKPI. Pidana denda
yang paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah). Rumusan sanksi dalam Undang
– Undang ini tidak mengatur rumusan sanksi paling rendah atau minimum sehingga seringkali
sanksi pidana yang dijatuhkan tidak memberi efek jera kepada pelaku. Demikian juga belum diatur
tentang sanksi pidana bagi Korporasi serta sanksi pidana tambahan terutama kepada tindak pidana
pembiaran.
Terlepas dari semua itu masyarakat sebagai pihak yang awam terhadap hukum akan selalu
mempertanyakan putusan pengadilan dengan adanya praktek – praktek yang unprofesional oleh
aparat penegak hukum baik PPNS Perikanan, TNI - Angkatan Laut, Penyidik Polri, Jaksa maupun
Hakim namun tentu saja hal tersebut harus mempunyai dasar yang kuat agar Lembaga Penegak
Hukum sendiri tidak dirugikan dengan tudingan–tudingan yang tidak berdasar. Sebaliknya jika
tudingan tersebut terbukti, maka oknum Penegak Hukum tersebut harus segera ditindak dengan
tegas berdasarkan aturan hukum dan hal ini berarti Lembaga Penegak Hukum perlu melakukan
pembaharuan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
2004 Tentang Perikanan tidak mengatur pembagian kewenangan secara tegas dan tidak pula
mengatur mekanisme kerja yang pasti, sehingga ketiga instansi tersebut menyatakan instansinya
sama-sama berwenang dalam penegakan hukum perikanan serta tanpa adanya keterpaduan sistem
dalam pelaksanaannya. Konflik kewenangan seperti ini tidaklah menguntungkan dan mencerminkan
penegakan hukum terhadap tindak pidana perikanan dipandang lemah dan tidak optimal, sehingga
berdampak kepada kegiatan penangkapan ikan secara tidak sah masih menunjukkan frekuensi
yang cukup tinggi dan tetap terus berlangsung. Untuk itu segera dicarikan solusinya, guna tercipta
suatu kondisi yang tertib, aman serta adanya kepastian hukum. Hal tersebut berpengaruh positif
bagi para pelaku usaha dibidang perikanan yang pada akhirnya mampu meningkatkan
kesejahteraan bagi masyarakat.
B. Saran
Perlunya dilakukan peningkatan kemampuan maupun kompetensi sumberdaya
manusia khususnya ditingkat penuntutan dan pengadilan sehingga dalam proses penyelesaian atau
penegakan hukum terhadap tindak pidana Ilegal Fishing dapat dilakukan secara profesional dan
tepat sasaran sehingga diharapkan tujuan dari sistem peradilan pidana terpadu didalam
menanggulangi kejahatan dibidang perikanan dapat tercapai.Perlunya dibentuk Forum Koordinasi
Aparat Penegak Hukum Dibidang Perikanan sehingga dalam penanganan kasus tindak pidana
Ilegal Fishing dapat dilaksanakan secara bersama – sama lintas sektor sehingga apa yang menjadi
faktor penghambat dalam upaya penegakan hukum dibidang perikanan dapat diminimalisir.

DAFTAR PUSTAKA
Buku ;
Alma Manuputty, Maskun, dan Birkah Latif, 2011, “Hukum Laut (Pola Ilmiah Pokok”, Unhas,
Makassar
Arif Johan Tunggal, 2013, “Pengantar Hukum Laut”, Harvarindo, Jakarta.
Dikdik Mohammad Sodik, 2011, “Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia”, Refika
Aditama : Bandung.
P. Joko Subagyo, 2013, “Penerapan Hukum Laut di Indonesia”, Rineka Cipta: Jakarta.
Website :
Usmawandi, 2012, “Penegakan Hukum Iuu Fishing Menurut Unclos 1982 (Studi Kasus: Volga
Case)”, http://rezaaidilf.wordpress.com/2012/11/18/ penegakan-hukum-iuu-fishing- menurut-unclos-
1982-studi-kasus-volga-case/. 11 Mei 2014.
Ali Purnomo Putra, 2013, “Proses Penegakkan Hukum Terhadap Tindak Pidana Illegal Fishing”,
http://stresspraktikum.blogspot.com/2013/06/proses-penegakan-hukum-terhadap-tindak.html. 11 Mei
2014.
Peraturan Internasional :
United Nation Convention on The Law of The Sea 1982
Commision for Conservation of Artarctic Marine Living Resources 1997
Peraturan Nasional :
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1983 tentang Hukum Laut (United Nations Convention On The
Law Of The Sea) 1982.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
2004 Tentang Perikanan.

Anda mungkin juga menyukai