Anda di halaman 1dari 3

Patofisiologi VES

Berdasarkan pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak, terdapat dua mekanisme terjadinya


takikardi supraventrikular yaitu Otomatisasi (automaticity) dan Reentry. Irama ektopik yang
terjadi akibat otomatisasi sebagai akibat adanya sel yang mengalami percepatan (akselerasi) pada
fase 4 dan sel ini dapat terjadi di atrium, A-V junction, bundel HIS, dan ventrikel. Struktur lain
yang dapat menjadi sumber/fokus otomatisasi adalah vena pulmonalis dan vena kava superior.
Contoh takikardi otomatis adalah sinus takikardi. Ciri peningkatan laju nadi secara perlahan
sebelum akhirnya takiaritmia berhenti. Takiaritmia karena otomatisasi sering berkaitan dengan
gangguan metabolik seperti hipoksia, hipokalemia, hipomagnesemia, dan asidosis. Ini adalah
mekanisme yang terbanyak sebagai penyebab takiaritmia dan paling mudah dibuktikan pada
pemeriksaan elektrofisiologi. Syarat mutlak untuk timbulnya reentry adalah Adanya dua jalur
konduksi yang saling berhubungan baik pada bagian distal maupun proksimal hingga
membentuk suatu rangkaian konduksi tertutup. Salah satu jalur tersebut harus memiliki blok
searah. Aliran listrik antegrad secara lambat pada jalur konduksi yang tidak mengalami blok
memungkinkan terangsangnya bagian distal jalur konduksi yang mengalami blok searah untuk
kemudian menimbulkan aliran listrik secara retrograd secara cepat pada jalur konduksi tersebut
(Price, 1994).

Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan segera
Pemberian adenosin. Adenosin merupakan nukleotida endogen yang bersifat kronotropik
negatif, dromotropik, dan inotropik. Efeknya sangat cepat dan berlangsung sangat singkat
dengan konsekuensi pada hemodinamik sangat minimal. Adenosin dengan cepat dibersihkan dari
aliran darah (sekitar 10 detik) dengan cellular uptake oleh sel endotel dan eritrosit. Obat ini akan
menyebabkan blok segera pada nodus AV sehingga akan memutuskan sirkuit pada mekanisme
reentry. Adenosin mempunyai efek yang minimal terhadap kontraktilitas jantung.
Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama dalam terapi TSV karena dapat
menghilangkan hampir semua TSV. Efektivitasnya dilaporkan pada sekitar 90% kasus. Adenosin
diberikan secara bolus intravena diikuti dengan flush saline, mulai dengan dosis 50 µg/kg dan
dinaikkan 50 µ/kg setiap 1 sampai 2 menit (maksimal 250 µ/kg). Dosis yang efektif pada anak
yaitu 100 – 150 µg/kg. Pada sebagian pasien diberikan digitalisasi untuk mencegah takikardi
berulang.
A. Efek samping adenosin dapat berupa nyeri dada, dispnea, facial flushing, dan terjadinya
A-V bloks. Bradikardi dapat terjadi pada pasien dengan disfungsi sinus node, gangguan
konduksi A-V, atau setelah pemberian obat lain yang mempengaruhi A-V node (seperti
beta blokers, calsium channel blocker, amiodaron). Adenosin bisa menyebabkan
bronkokonstriksi pada pasien asma.
B. Pada pasien AVRT atau AVNRT, prokainamid mungkin juga efektif. Obat ini bekerja
memblok konduksi pada jaras tambahan atau pada konduksi retrograd pada jalur cepat
pada sirkuit reentry di nodus AV. Hipotensi juga sering dilaporkan pada saat loading dose
diberikan.
C. Digoksin dilaporkan juga efektif untuk mengobati kebanyakan TSV pada anak. Digoksin
tidak digunakan lagi untuk penghentian segera TSV dan sebaiknya dihindari pada anak
yang lebih besar dengan WPW sindrom karena ada risiko percepatan konduksi pada jaras
tambahan. Digitalisasi dipakai pada bayi tanpa gagal jantung kongestif. Penelitian oleh
Wren dkk tahun 1990, pada 29 bayi dengan TSV, pengobatan efektif dengan digoksin.
Digoksin memperbaiki fungsi ventrikel, baik melalui pengaruh inotropiknya maupun
melalui blokade nodus AV yang ditengahi vagus.
D. Bila adenosin tidak bisa digunakan serta adanya tanda gagal jantung kongestif atau
kegagalan sirkulasi jelas dan alat DC shock tersedia, dianjurkan penggunaan direct
current synchronized cardioversion dengan kekuatan listrik sebesar 0,25 watt-detik/pon
yang pada umumnya cukup efektif. DC shock yang diberikan perlu sinkron dengan
puncak gelombang QRS, karena rangsangan pada puncak gelombang T dapat memicu
terjadinya fibrilasi ventrikel. Tidak dianjurkan memberikan digitalis sebelum dilakukan
DC Shock oleh karena akan menambah kemungkinan terjadinya fibrilasi ventrikel.
Apabila terjadinya fibrilasi ventrikel maka dilakukan DC shock kedua yang tidak sinkron.
Apabila DC shock kedua ini tetap tidak berhasil, maka diperlukan tindakan invasif.
E. Bila DC shock tidak tersedia baru dipilih alternatif kedua yaitu preparat digitalis secara
intravena. Dosis yang dianjurkan pada pemberian pertama adalah sebesar ½ dari dosis
digitalisasi (loading dose) dilanjutkan dengan ¼ dosis digitalisasi, 2 kali berturut-turut
berselang 8 jam.
F. Bila pasien tidak mengalami gagal jantung kongestif, adenosin tidak bisa digunakan, dan
digitalis tidak efektif, infus intravena phenylephrine bisa dicoba untuk konversi cepat ke
irama sinus. Phenylephrine dapat meningkatkan tekanan darah dengan cepat dan
mengubah takikardi dengan meningkatkan refleks vagal. Efek phynilephrin (Neosynephrine)

sama halnya dengan sedrophonium (tensilon) yang meningkatkan reflek


vagal seperti juga efek anti aritmia lain seperti procainamid dan propanolol. Metode ini
tidak direkomendasikan pada bayi dengan CHF karena dapat meningkatkan afterload
sehingga merugikan pada bayi dengan gagal jantung. Dosis phenylephrin 10 mg
ditambahkan ke dalam 200 mg cairan intravena diberikan secara drip dengan pengawasan
doketr terhadap tekanan darah. Tekanan sistolik tidak boleh melebihi 150-170 mmHg.
G. Price dkk pada tahun 2002, menggunakan pengobatan dengan flecainide dan sotalol
untuk TSV yang refrakter pada anak yang berusia kurang dari 1 tahun. Flecainide dan
sotalol merupakan kombinasi baru, yang aman dan efektif untuk mengontrol TSV yang
refrakter.
H. Penelitian oleh Etheridge dkk tahun 1999, penggunaan beta bloker efektif pada 55%
pasien. Selain itu juga penggunaan obat amiodarone juga berhasil pada 71% pasien
dimana di antaranya sebagai kombinasi dengan propanolol. Keberhasilan terapi
memerlukan kepatuhan sehingga amiodarone dipakai sebagai pilihan terapi pada
beberapa pasien karena hanya diminum 1x sehari. Semua pasien yang diterapi dengan
amiodarone, harus diperiksa tes fungsi hati dan fungsi tiroid setiap 3 bulan. Propanolol
dapat digunakan secara hati-hati, sering efektif dalam memperlambat fokus atrium pada
takikardi atrial ektopik (Etienne, 2011).
2. Penanganan Jangka Panjang
Umur pasien dengan TSV digunakan sebagai penentu terapi jangka panjang TSV. Di antara
bayi-bayi yang menunjukkan tanda dan gejala TSV, kurang lebih sepertiganya akan membaik
sendiri dan paling tidak setengah dari jumlah pasien dengan takikardi atrial automatic akan
mengalami resolusi sendiri. Berat ringan gejala takikardi berlangsung dan kekerapan serangan
merupakan pertimbangan penting untuk pengobatan.
Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan terapi jangka panjang karena umumnya tanda
yang menonjol adalah takikardi dengan dengan gejala klinis ringan dan serangan yang jarang dan
tidak dikaitkan dengan preeksitasi. Bayi-bayi dengan serangan yang sering dan simptomatik akan
membutuhkan obat-obatan seperti propanolol, sotalol atau amiodaron, terutama untuk tahun
pertama kehidupan.
Pada pasien TSV dengan sindrom WPW sebaiknya diberikan terapi propanolol jangka
panjang. Sedangkan pada pasien dengan takikardi resisten digunakan procainamid, quinidin,
flecainide, propafenone, sotalol dan amiodarone. Pada pasien dengan serangan yang sering dan
berusia di atas 5 tahun, radiofrequency ablasi catheter merupakan pengobatan pilihan. Pasien
yang menunjukkan takikardi pada kelompok umur ini umumnya takikardinya tidak mungkin
mengalami resolusi sendiri dan umunya tidak tahan atau kepatuhannya kurang dengan
pengobatan medikamentosa. Terapi ablasi dilakukan pada usia 2 sampai 5 tahun bila TSV
refrakter terhadap obat anti aritmia atau ada potensi efek samping obat pada pemakaian jangka
panjang. Pada tahun-tahun sebelumnya, alternatif terhadap pasien dengan aritmia yang refrakter
dan mengancam kehidupan hanyalah dengan anti takikardi pace maker atau ablasi pembedahan
(Medi, 2011).

Anda mungkin juga menyukai