Takiaritmia supraventrikular yang ditandai dengan aktivasi atrium yang
tidak terkoordinasi yang mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi
mekanik atrium. Pada FA tidak terdapat stimulus dari nodus sinoatrial
untuk memulai konduksi listrik jantung.
Pada dasarnya etiologi yang terkait dengan atrial fibrilasi terbagi menjadi
beberapa faktor-faktor, diantaranya yaitu2,22 :
a. Peningkatan tekanan atau resistensi atrium
Peningkatan katub jantung
Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
Hipertrofi jantung
Kardiomiopati
Hipertensi pulmo (chronic obstructive purmonary disease dan cor
pulmonary chronic)
Tumor intracardiac
b. Proses Infiltratif dan Inflamasi
Pericarditis atau miocarditis
Amiloidosis dan sarcoidosis
Faktor peningkatan usia
c. Proses Infeksi
Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan Endokrin
Hipertiroid, Feokromotisoma
e. Neurogenik
Stroke, Perdarahan Subarachnoid
f. Iskemik Atrium
Infark miocardial
g. Obat-obatan
Alkohol, Kafein
h. Keturunan atau Genetik
Pada dasarnya mekanisme atrial fibriasi terdiri dari 2 proses, yaitu proses
aktivasi fokal dan multiple wavelet reentry. Pada proses aktivasi fokal bisa
melibatkan proses depolarisasi tunggal atau depolarisasi berulang. Pada
proses aktivasi fokal, fokus ektopik yang dominan adalah berasal dari vena
pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium
kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini
menimbulkan sinyal elektrik yang dapat mempengaruhi potensial aksi pada
atrium dan menggangu potensial aksi yang dicetuskan oleh nodus sino-
atrial (SA).
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang
berulang dan melibatkan sirkuit atau jalur depolarisasi. Mekanisme multiple
wavelet reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada
proses aktivasi fokal, tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal
elektrik yang mempengaruhi depolarisasi. Timbulnya gelombang yang
menetap dari depolarisasi atrial atau wavelet yang dipicu oleh depolarisasi
atrial prematur atau aktivas aritmogenik dari fokus yang tercetus secara
cepat. Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik
dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium
dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran
atrium biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refractory dan
terjadi penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebut yang akan
meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi
serta mencetuskan terjadinya atrial fibrilasi.
Pada dasarnya, atrial fibrilasi tidak memberikan tanda dan gejala yang
khas dan spesifik pada perjalanan penyakitnya. Umumnya gejala dari atrial
fibrilasi adalah peningkatan denyut jantung, ketidakteraturan irama
jantung dan ketidakstabilan hemodinamik. Disamping itu, atrial fibrilasi juga
memberikan gejala lain yang diakibatkan oleh penurunan oksigenisasi darah
ke jaringan, seperti pusing, kelemahan, kelelahan, sesak nafas dan nyeri
dada. Akan tetapi, lebih dari 90% episode dari atrial fibrilasi tidak
menimbulkan gejala-gejala tersebut.
Terapi antitrombotik pada FA
Terapi antitrombotik yang dipergunakan untuk prevensi stroke pada
pasien FA meliputi antikoagulan (antagonis vitamin K dan antikoagulan
baru), dan antiplatelet. Jenis antitrombotik lain yaitu trombolitik tidak
digunakan untuk prevensi stroke pasien FA.
Penaksiran risiko stroke dan perdarahan
Antagonis vitamin K (AVK) = obat antikoagulan yang paling banyak
digunakan untuk pencegahan stroke pada FA.
Antikoagulan Baru (AKB) = Saat ini terdapat 3 jenis AKB yang bukan
merupakan AVK di pasaran Indonesia, yaitu dabigatran, rivaroxaban, dan
apixaban. Dabigatran bekerja dengan cara menghambat langsung
trombin sedangkan rivaroxaban dan apixaban keduanya bekerja dengan
cara menghambat faktor Xa.
Dabigatran Etexilate
Food and Drug Administration (FDA) is 150 mg b.i.d., dan dosis 75 mg
b.i.d.
bila terjadi gangguan ginjal berat, sedangkan European Medicines
Agency (EMA menyetujui baik dosis 110 mg b.i.d. maupun 150 mg b.i.d.
Rivaroxaban
Studi buta ganda ROCKET-AF61 terhadap 14264 pasien FA risiko tinggi
yang diberikan rivaroxaban 20 mg o.d. (15 mg o.d. bila kreatinin
klirens hitung 30–49 mL/min) dibandingkan dengan warfarin.
Rivaroxaban juga telah disetujui oleh FDA dan EMA untuk prevensi
stroke pada FA non-valvular.
Apixaban
˗ Studi AVERROES62 terhadap 5599 pasien FA yang tidak cocok atau
tidak ingin mendapat terapi AVK diberikan apixaban [5 mg b.i.d.
dengan penyesuaian dosis jadi 2,5 mg b.i.d. bila usia ≥80 tahun, berat
badan ≤60kg atau kreatinin serum ≥1,5 mg/dL (133mmol/L)] atau
diberikan aspirin (81-324 mg/hari, dengan 91% minum ≤162 mg/hari).
Apixaban ditoleransi lebih baik daripada aspirin dengan angka
penghentian minum obat 17,9% dibandingkan aspirin yang mencapai
20,5% (p=0,03).
˗ Sementara itu studi ARISTOTLE63 membandingkan apixaban [5 mg
b.i.d. dengan penyesuaian dosis jadi 2,5 mg b.i.d bila ≥80 tahun, berat
badan ≤60kg atau dengan kreatinin serum ≥1,5 mg/dL (133mmol/L)]
dengan warfarin dosis disesuaikan untuk memperoleh nilai INR 2–3
pada 18201 pasien FA non-valvular. Apixaban ditoleransi lebih baik
daripada warfarin dengan lebih sedikit diskontinuitas dini (25,3% vs
27,5%)
Penutupan aurikel atrium kiri (AAK)
Aurikel atrium kiri merupakan tempat utama terbentuknya trombus
yang bila lepas dapat menyebabkan stroke iskemik pada FA.
Saat ini dua jenis alat penutup AAK yang dapat mengembang sendiri
yaitu WATCHMAN (Boston Scientific, Natick, MA, USA) dan Amplatzer
Cardiac Plug (St. Jude Medical, St Paul, MN, USA), yang ditempatkan di
AAK secara transeptal sudah mulai dipakai di Eropa.
Sekalipun konsep penutupan AAK masuk akal tetapi bukti-bukti yang
ada belum cukup untuk direkomendasikan terhadap setiap pasien FA
tetapi hanya terbatas bagi pasien yang kontraindikasi pemakaian
antikoagulan oral jangka lama.
Panduan praktis obat antikoagulan
Antikoagulan baru tidak memiliki antidot spesifik oleh karena itu bila
terjadi perdarahan maka tata laksananya terutama bersifat suportif
dengan pertimbangan bahwa AKB memiliki waktu paruh yang pendek
Tata Laksana pada Fase Akut
Kendali laju fase akut
˗ Pada pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat
yang dapat mengontrol respon ventrikel. Pemberian penyekat
beta atau antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin oral dapat
digunakan pada pasien dengan hemodinamik stabil.
˗ Obat intravena mempunyai respon yang lebih cepat untuk
mengontrol respon irama ventrikel.
˗ Fibrilasi ventrikel (FV) merupakan kondisi denyut jantung cepat dengan
aktivitas listrik yang tidak teratur. Hal ini mengakibatkan jantung tidak
dapat mengangkut darah secara efektif, kemudian mengakibatkan
kolaps sirkulasi, kematian klinis, hingga kematian biologis.
˗ FV memiliki gambaran umum, yakni: irama tidak teratur, frekuensi HR
>350x/menit, sehingga tidak dapat dihitung, undulasi tak menentu
dengan kompleks QRS tak terlihat, tidak ada gelombang P, dan tidak ada
interval PR.
˗ Mekanisme elektrofisiologi yang mendasari fibrilasi ventrikel meliputi
otomatisitas ektopik, reentry dan triggered activity.
˗ Otomatisasi ektopik adalah hasil dari depolarisasi diastolik spontan, di
mana arus cedera (perubahan lokal dalam gradien K +) akibat kerusakan
iskemik akut merupakan mekanisme pemicu yang penting.
˗ Dalam kasus otomatisasi ektopik, denyut prematur ventrikel yang
disebabkan oleh fokus pembangkit impuls ektopik yang diturunkan
atau didapat yang paling sering berperan dalam memicu FV.
˗ Denyut prematur ventrikel dapat timbul dari bagian mana pun dari
sistem konduksi listrik jantung, terutama dari serabut Purkinje, dan
mungkin juga berasal dari saluran keluar ventrikel kanan atau kiri,
atau otot papiler. Namun, takikardia ventrikel monomorfik atau
fibrilasi atrium sebagai bagian dari sindrom pra-eksitasi juga dapat
berkontribusi pada FV.
˗ Penyebab yang sering mendasari blok searah yang berfungsi sebagai
dasar mekanisme reentry memungkinkan perpanjangan potensial aksi
monofasik dari miosit dan heterogenitas konsekuensi dari repolarisasi
ventrikel. Proses ini dapat difasilitasi oleh iskemia miokard dan dapat
memicu peningkatan kemiringan restitusi durasi AP monofasik serta
perubahan amplitudo AP (alternans listrik).
˗ Aktivitas yang dipicu juga dapat muncul sebagai konsekuensi dari early
(EAD) atau delay after depolarization (DAD). EAD disebabkan oleh
reaktivasi dini kanal Ca tipe-L, konsekuensi dari penurunan arus
repolarisasi kalium atau peningkatan aktivitas arus positif menuju
ruang intraseluler. Selanjutnya, stres oksidatif dan hipokalemia juga
dapat memainkan peran aditif dalam patomekanisme EAD. Sebaliknya,
DAD berkembang setelah repolarisasi membran miosit karena kelebihan
kalsium intraseluler atau peningkatan sensitivitas reseptor ryanodine
intraseluler. Penundaan setelah depolarisasi sering menjadi latar
belakang aritmia ventrikel yang disebabkan oleh gagal jantung atau
toksisitas digoksin dan juga dapat berperan dalam asal mula CPVT.
˗ Fibrilasi ventrikel merupakan keadaan terminal dari aritmia ventrikel
yang ditandai oleh kompleks QRS, gelombang P, dan segmen ST yang
tidak beraturan dan sulit dikenali (disorganized) yang merupakan
penyebab utama kematian mendadak.
˗ Fibrilasi ventrikel akan menyebabkan tidak adanya curah jantung
sehingga pasien dapat pingsan dan mengalami henti napas dalam
hitungan detik. Fibrilasi ventrikel ditandai dengan gelombang fibrilasi
yang sangat cepat dan kacau dan tanpa kompleks QRS, dengan
karakteristik diagnostik sebagai berikut :
˗ Fibrilasi ventrikel terbagi menjadi 2 jenis yaitu VF kasar (coarse VF) dan
VF halus (fine VF). Coarse VF menunjukkan aritmia ini baru terjadi dan
lebih besar peluangnya untuk diterminasi dengan defibrilasi, sedangkan
Fine VF sulit dibedakan dengan asistol dan biasanya sulit dideterminasi,
seperti gambar berikut:
TV monomorfik jika kompleks QRS sama pada setiap denyutan dan irama
jantung reguler dan TV polimorfik jika kompleks QRS berubah-ubah pada
setiap denyutan dan iramanya ireguler
Berdebar
Dizziness
Awitan dan terminasi mendadak
Near syncope/ syncope
Laju nadi teraba cepat dan regular
Tanda-tanda hipoperfusi (akral dingin, pucat)
1) Anamnesis
Berdebar
Kehilangan denyut (skip pedbeat)
Nyeri dada
Denyut yang tiba-tiba terasa keras
Sesak nafas
Dizziness
Hampir sinkop sampai sinkop
Adanya riwayat penyakit jantung pada VT berkas cabang
Adanya riwayat serangan jantung/penyakit jantung koroner dan
disfungsi ventrikel kiri pada VT iskemik
2) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan peningkatan vena jugular, variasi
bunyi jantung I, variasi tekanan darah arteri. Manuver vagal seperti
manuver Valsava dan penekanan arteri carotis dapat dilakukan, jika
takikardia berkurang maka kemungkinan besar diagnosis adalah takikardia
supraventrikular
3) Pemeriksaan penunjang
a. Elektrokardiogram (EKG).
TV dapat dibedakan dari takikardia supraventrikular yaitu dengan
kompleks QRS yang lebar (durasi QRS >120 ms). EKG 12 lead akan
menentukan tipe TV, menjadi dasar penentuan penyebab VT,
mengidentifikasi kelainan struktur jantung, dan menentukan lokasi
kelainan konduksi.
b. Ekokardiografi trans-torakal
Parut jantung merupakan salah satu penyebab TV yang sulit diatasi,
menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik, berubah menjadi
fibrilasi ventrikel dan menyebabkan kematian mendadak.
Ekokardiografi trans-torakal harus segera dilakukan untuk
menentukan fungsi dan struktur ventrikel termasuk fraksi ejeksi
ventrikel kirI.
Kelainan pergerakan dinding ventrikel dicurigai akibat penyakit
jantung koroner. Angiografi koroner dapat dilakukan untuk melihat
adanya penyakit jantung coroner
c. MRI (Magnetic resonance imaging)
MRI jantung dapat lebih detail melihat fungsi dan struktur jantung,
juga menyingkirkan kemungkinan parut miokard, arrhythmogenic RV
cardiomyopathy, kardiomiopati noniskemik, atau sarkoidosis
jantung.
MRI jantung juga dapat menentukan prognosis dan rencana
pemetaan sebelum dilakukan ablasi kateter.
d. Biopsi miokard
Biopsi miokard dan signal-averaged ECGs juga dapat memberikan
informasi yang berguna untuk situasi tertentu. Biopsi miokard dapat
mengidentifikasi ARVC dan miokarditis jika diagnosisnya belum jelas.