Anda di halaman 1dari 22

Palpitasi terjadi disebabkan karena :

a. Kelainan pada system konduksi/pace makernya.


b. Perubahan pada kontraktilitas dan keteraturan irama.
c. Hambatan pada system konduksi/blok SA Node / stimulasi saraf otonom.

Secara umum palpitasi disebabkan adanya factor pencetus mengakibatkan


suatu kelainan pada jantung atau pembuluh darah jantung, mengakibatkan
mekanisme pengaliran oksigen dan nutrisi dari darah ke jaringan menjadi
terganggu karena system pemompaan mengalami gangguan. Akibatnya, nutrisi dan
oksigen tidak bisa memenuhi kebutuhan jaringan otot untuk bermetabolisme
sehingga otot cenderung melakukan respirasi anaerob yang menghasilkan banyak
asam laktat, sehingga manifestasi dari kondisi tersebut adalah cepat lelah . Selain
kekurangan pasokan oksigen ke jaringan (otot ekstremitas), otot jantung juga
mengalami hipoksia, sehingga terjadi iskemia yang kemudian menimbulkan angina .
Dan hal ini pun mengakibatkan jantung untuk segera berkompensasi untuk
meningkatkan kebutuhan jaringan dengan peningkatan kontraksi jantung, sehingga
terjadilah palpitasi (berdebar-debar).



Takiaritmia supraventrikular yang ditandai dengan aktivasi atrium yang
tidak terkoordinasi yang mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi
mekanik atrium. Pada FA tidak terdapat stimulus dari nodus sinoatrial
untuk memulai konduksi listrik jantung.

Pada dasarnya etiologi yang terkait dengan atrial fibrilasi terbagi menjadi
beberapa faktor-faktor, diantaranya yaitu2,22 :
a. Peningkatan tekanan atau resistensi atrium
 Peningkatan katub jantung
 Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
 Hipertrofi jantung
 Kardiomiopati
 Hipertensi pulmo (chronic obstructive purmonary disease dan cor
pulmonary chronic)
 Tumor intracardiac
b. Proses Infiltratif dan Inflamasi
 Pericarditis atau miocarditis
 Amiloidosis dan sarcoidosis
 Faktor peningkatan usia
c. Proses Infeksi
 Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan Endokrin
 Hipertiroid, Feokromotisoma
e. Neurogenik
 Stroke, Perdarahan Subarachnoid
f. Iskemik Atrium
 Infark miocardial
g. Obat-obatan
 Alkohol, Kafein
h. Keturunan atau Genetik


Pada dasarnya mekanisme atrial fibriasi terdiri dari 2 proses, yaitu proses
aktivasi fokal dan multiple wavelet reentry. Pada proses aktivasi fokal bisa
melibatkan proses depolarisasi tunggal atau depolarisasi berulang. Pada
proses aktivasi fokal, fokus ektopik yang dominan adalah berasal dari vena
pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium
kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini
menimbulkan sinyal elektrik yang dapat mempengaruhi potensial aksi pada
atrium dan menggangu potensial aksi yang dicetuskan oleh nodus sino-
atrial (SA).
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang
berulang dan melibatkan sirkuit atau jalur depolarisasi. Mekanisme multiple
wavelet reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada
proses aktivasi fokal, tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal
elektrik yang mempengaruhi depolarisasi. Timbulnya gelombang yang
menetap dari depolarisasi atrial atau wavelet yang dipicu oleh depolarisasi
atrial prematur atau aktivas aritmogenik dari fokus yang tercetus secara
cepat. Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik
dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium
dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran
atrium biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refractory dan
terjadi penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebut yang akan
meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi
serta mencetuskan terjadinya atrial fibrilasi.

Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan mekanisme fibrilasi ventrikel


kecuali bila prosesnya ternyata hanya di massa otot atrium dan bukan di
massa otot ventrikel. Penyebab yang sering menimbulkan fibrilasi atrium
adalah pembesaran atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah atrium
mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat
kegagalan ventrikel dengan pembendungan darah yang banyak di dalam
atrium. Dinding atrium yang berdilatasi akan menyediakan kondisi yang
tepat untuk sebuah jalur konduksi yang panjang demikian juga konduksi
lambat, yang keduanya merupakan faktor predisposisi bagi fibrilasi atrium.


Pada dasarnya, atrial fibrilasi tidak memberikan tanda dan gejala yang
khas dan spesifik pada perjalanan penyakitnya. Umumnya gejala dari atrial
fibrilasi adalah peningkatan denyut jantung, ketidakteraturan irama
jantung dan ketidakstabilan hemodinamik. Disamping itu, atrial fibrilasi juga
memberikan gejala lain yang diakibatkan oleh penurunan oksigenisasi darah
ke jaringan, seperti pusing, kelemahan, kelelahan, sesak nafas dan nyeri
dada. Akan tetapi, lebih dari 90% episode dari atrial fibrilasi tidak
menimbulkan gejala-gejala tersebut.


 Terapi antitrombotik pada FA
Terapi antitrombotik yang dipergunakan untuk prevensi stroke pada
pasien FA meliputi antikoagulan (antagonis vitamin K dan antikoagulan
baru), dan antiplatelet. Jenis antitrombotik lain yaitu trombolitik tidak
digunakan untuk prevensi stroke pasien FA.
 Penaksiran risiko stroke dan perdarahan
 Antagonis vitamin K (AVK) = obat antikoagulan yang paling banyak
digunakan untuk pencegahan stroke pada FA.
 Antikoagulan Baru (AKB) = Saat ini terdapat 3 jenis AKB yang bukan
merupakan AVK di pasaran Indonesia, yaitu dabigatran, rivaroxaban, dan
apixaban. Dabigatran bekerja dengan cara menghambat langsung
trombin sedangkan rivaroxaban dan apixaban keduanya bekerja dengan
cara menghambat faktor Xa.
 Dabigatran Etexilate
Food and Drug Administration (FDA) is 150 mg b.i.d., dan dosis 75 mg
b.i.d.
bila terjadi gangguan ginjal berat, sedangkan European Medicines
Agency (EMA menyetujui baik dosis 110 mg b.i.d. maupun 150 mg b.i.d.
 Rivaroxaban
Studi buta ganda ROCKET-AF61 terhadap 14264 pasien FA risiko tinggi
yang diberikan rivaroxaban 20 mg o.d. (15 mg o.d. bila kreatinin
klirens hitung 30–49 mL/min) dibandingkan dengan warfarin.
Rivaroxaban juga telah disetujui oleh FDA dan EMA untuk prevensi
stroke pada FA non-valvular.
 Apixaban
˗ Studi AVERROES62 terhadap 5599 pasien FA yang tidak cocok atau
tidak ingin mendapat terapi AVK diberikan apixaban [5 mg b.i.d.
dengan penyesuaian dosis jadi 2,5 mg b.i.d. bila usia ≥80 tahun, berat
badan ≤60kg atau kreatinin serum ≥1,5 mg/dL (133mmol/L)] atau
diberikan aspirin (81-324 mg/hari, dengan 91% minum ≤162 mg/hari).
Apixaban ditoleransi lebih baik daripada aspirin dengan angka
penghentian minum obat 17,9% dibandingkan aspirin yang mencapai
20,5% (p=0,03).
˗ Sementara itu studi ARISTOTLE63 membandingkan apixaban [5 mg
b.i.d. dengan penyesuaian dosis jadi 2,5 mg b.i.d bila ≥80 tahun, berat
badan ≤60kg atau dengan kreatinin serum ≥1,5 mg/dL (133mmol/L)]
dengan warfarin dosis disesuaikan untuk memperoleh nilai INR 2–3
pada 18201 pasien FA non-valvular. Apixaban ditoleransi lebih baik
daripada warfarin dengan lebih sedikit diskontinuitas dini (25,3% vs
27,5%)
 Penutupan aurikel atrium kiri (AAK)
 Aurikel atrium kiri merupakan tempat utama terbentuknya trombus
yang bila lepas dapat menyebabkan stroke iskemik pada FA.
 Saat ini dua jenis alat penutup AAK yang dapat mengembang sendiri
yaitu WATCHMAN (Boston Scientific, Natick, MA, USA) dan Amplatzer
Cardiac Plug (St. Jude Medical, St Paul, MN, USA), yang ditempatkan di
AAK secara transeptal sudah mulai dipakai di Eropa.
 Sekalipun konsep penutupan AAK masuk akal tetapi bukti-bukti yang
ada belum cukup untuk direkomendasikan terhadap setiap pasien FA
tetapi hanya terbatas bagi pasien yang kontraindikasi pemakaian
antikoagulan oral jangka lama.
 Panduan praktis obat antikoagulan
 Antikoagulan baru tidak memiliki antidot spesifik oleh karena itu bila
terjadi perdarahan maka tata laksananya terutama bersifat suportif
dengan pertimbangan bahwa AKB memiliki waktu paruh yang pendek
 Tata Laksana pada Fase Akut
 Kendali laju fase akut
˗ Pada pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat
yang dapat mengontrol respon ventrikel. Pemberian penyekat
beta atau antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin oral dapat
digunakan pada pasien dengan hemodinamik stabil.
˗ Obat intravena mempunyai respon yang lebih cepat untuk
mengontrol respon irama ventrikel.

 Kendali irama fase akut


˗ Respon irama ventrikel yang terlalu cepat akan menyebabkan
gangguan hemodinamik pada pasien FA.
˗ Pasien yang mengalami hemodinamik tidak stabil akibat FA harus
segera dilakukan kardioversi elektrik untuk mengembalikan irama
sinus.
˗ Pasien yang masih simtomatik dengan gangguan hemodinamik
meskipun strategi kendali laju telah optimal, dapat dilakukan
kardioversi farmakologis dengan obat antiaritmia intravena atau
kardioversi elektrik.
˗ Saat pemberian obat antiaritmia intravena pasien harus dimonitor
untuk kemungkinan kejadian proaritmia akibat obat, disfungsi
nodus sinoatrial (henti sinus atau jeda sinus) atau blok
atrioventrikular.
˗ Obat intravena untuk kardioversi farmakologis yang tersedia di
Indonesia adalah amiodaron. Kardioversi dengan amiodaron terjadi
beberapa jam kemudian setelah pemberian.
 Terapi pil dalam saku (pildaku)
˗ Pemberian propafenon oral (450-600 mg) dapat mengonversi
irama FA menjadi irama sinus.
˗ Efektivitas propafenon oral tersebut mencapai 45% dalam 3 jam.
˗ Strategi terapi ini dapat dipilih pada pasien dengan simtom yang
berat dan FA jarang (sekali dalam sebulan)
 Tata laksana jangka panjang
 Strategi terapi FA
Tata laksana FA mencakup beberapa hal yaitu terapi optimal penyakit
kardiovaskuler yang menyertai, pemilihan strategi kendali irama atau
kendali laju, pencegahan tromboemboli, dan terapi upstream.
 Kendali laju jangka panjang
Pada pasien dengan FA simtomatik yang sudah terjadi lama, terapi
yang dipilih adalah kendali laju. Namun, apabila pasien masih ada
keluhan dengan strategi kendali laju, kendali irama dapat menjadi
strategi terapi selanjutnya.
 Kendali irama jangka panjang
Tujuan utama strategi kendali irama adalah mengurangi simtom.
Strategi ini dipilih pada pasien yang masih mengalami simtom
meskipun terapi kendali laju telah dilakukan secara optimal.
 Kardioversi elektrik (direct current cardioversion)
Kardioversi elektrik adalah salah satu strategi kendali irama.
Keberhasilan tindakan ini pada FA persisten mencapai angka 80-96%.
 Ablasi atrium kiri
Keterbatasan terapi farmakologi dan kardioversi elektrik telah
memunculkan jenis terapi yang lain seperti ablasi frekuensi-radio
(AFR).
 Ablasi dan modifikasi nodus atrioventikular (NAV)
˗ Ablasi NAV dilanjutkan dengan pemasangan pacu jantung
permanen merupakan terapi yang efektif untuk mengontrol
respon ventrikel pada pasien FA.
˗ Ablasi NAV adalah prosedur yang ireversibel sehingga hanya
dilakukan pada pasien dimana kombinasi terapi gagal mengontrol
denyut atau strategi kendali irama dengan obat atau ablasi
atrium kiri tidak berhasil dilakukan.
 Terapi tambahan (upstream therapy)
˗ Terapi penunjang pada FA mencegah atau menghambat
remodelling miokard akibat hipertensi, gagal jantung, atau
inflamasi.
˗ Beberapa terapi yang termasuk dalam golongan ini adalah
penghambat enzim konversi angiotensin (EKA), penyekat reseptor
angiotensin, antagonis aldosteron, statin, dan omega 3.
˗ Penghambat EKA dan penyekat reseptor angiotensin menghambat
efek aritmogenik angiotensin II, termasuk mencegah fibrosis
atrium dan hipertrofi, stress oksidatif, serta inflamasi.
˗








˗ Fibrilasi ventrikel (FV) merupakan kondisi denyut jantung cepat dengan
aktivitas listrik yang tidak teratur. Hal ini mengakibatkan jantung tidak
dapat mengangkut darah secara efektif, kemudian mengakibatkan
kolaps sirkulasi, kematian klinis, hingga kematian biologis.
˗ FV memiliki gambaran umum, yakni: irama tidak teratur, frekuensi HR
>350x/menit, sehingga tidak dapat dihitung, undulasi tak menentu
dengan kompleks QRS tak terlihat, tidak ada gelombang P, dan tidak ada
interval PR.

˗ Terdapat beberapa Jenis FV pada EKG, antara lain:


a. FV Kasar: mayoritas bentuk gelombang berukuran 3 mm atau
lebih besar.
b. FV Halus: Mayoritas bentuk gelombang berukuran kurang dari 3
mm.



˗ Mekanisme elektrofisiologi yang mendasari fibrilasi ventrikel meliputi
otomatisitas ektopik, reentry dan triggered activity.
˗ Otomatisasi ektopik adalah hasil dari depolarisasi diastolik spontan, di
mana arus cedera (perubahan lokal dalam gradien K +) akibat kerusakan
iskemik akut merupakan mekanisme pemicu yang penting.
˗ Dalam kasus otomatisasi ektopik, denyut prematur ventrikel yang
disebabkan oleh fokus pembangkit impuls ektopik yang diturunkan
atau didapat yang paling sering berperan dalam memicu FV.
˗ Denyut prematur ventrikel dapat timbul dari bagian mana pun dari
sistem konduksi listrik jantung, terutama dari serabut Purkinje, dan
mungkin juga berasal dari saluran keluar ventrikel kanan atau kiri,
atau otot papiler. Namun, takikardia ventrikel monomorfik atau
fibrilasi atrium sebagai bagian dari sindrom pra-eksitasi juga dapat
berkontribusi pada FV.
˗ Penyebab yang sering mendasari blok searah yang berfungsi sebagai
dasar mekanisme reentry memungkinkan perpanjangan potensial aksi
monofasik dari miosit dan heterogenitas konsekuensi dari repolarisasi
ventrikel. Proses ini dapat difasilitasi oleh iskemia miokard dan dapat
memicu peningkatan kemiringan restitusi durasi AP monofasik serta
perubahan amplitudo AP (alternans listrik).
˗ Aktivitas yang dipicu juga dapat muncul sebagai konsekuensi dari early
(EAD) atau delay after depolarization (DAD). EAD disebabkan oleh
reaktivasi dini kanal Ca tipe-L, konsekuensi dari penurunan arus
repolarisasi kalium atau peningkatan aktivitas arus positif menuju
ruang intraseluler. Selanjutnya, stres oksidatif dan hipokalemia juga
dapat memainkan peran aditif dalam patomekanisme EAD. Sebaliknya,
DAD berkembang setelah repolarisasi membran miosit karena kelebihan
kalsium intraseluler atau peningkatan sensitivitas reseptor ryanodine
intraseluler. Penundaan setelah depolarisasi sering menjadi latar
belakang aritmia ventrikel yang disebabkan oleh gagal jantung atau
toksisitas digoksin dan juga dapat berperan dalam asal mula CPVT.




˗ Fibrilasi ventrikel merupakan keadaan terminal dari aritmia ventrikel
yang ditandai oleh kompleks QRS, gelombang P, dan segmen ST yang
tidak beraturan dan sulit dikenali (disorganized) yang merupakan
penyebab utama kematian mendadak.
˗ Fibrilasi ventrikel akan menyebabkan tidak adanya curah jantung
sehingga pasien dapat pingsan dan mengalami henti napas dalam
hitungan detik. Fibrilasi ventrikel ditandai dengan gelombang fibrilasi
yang sangat cepat dan kacau dan tanpa kompleks QRS, dengan
karakteristik diagnostik sebagai berikut :
˗ Fibrilasi ventrikel terbagi menjadi 2 jenis yaitu VF kasar (coarse VF) dan
VF halus (fine VF). Coarse VF menunjukkan aritmia ini baru terjadi dan
lebih besar peluangnya untuk diterminasi dengan defibrilasi, sedangkan
Fine VF sulit dibedakan dengan asistol dan biasanya sulit dideterminasi,
seperti gambar berikut:

˗ Parameter tertentu dari EKG permukaan 12-lead (misalnya, interval dan


dispersi QT, interval puncak-ke-ujung gelombang T, indeks
aritmogenitas, gelombang epsilon, gelombang delta, tanda Brugada,
elevasi titik J, dan lain-lain) dapat membantu dalam memprediksi
disritmia ventrikel yang mengancam jiwa dan mengklarifikasi
mekanisme aritmia yang mendasarinya.
˗ Holter EKG mungkin berguna dalam risiko aritmia stratifikasi (dengan
menentukan gelombang T alternans, variabilitas detak jantung,
variabilitas QT, dan lain-lain).
˗ Ekokardiografi banyak digunakan untuk menentukan kelainan struktural
dan fungsional jantung.
˗ Akumulasi jaringan ikat di ventrikel kiri (beban parut) dan jaringan
lemak di ventrikel kanan dapat diperiksa dengan MRI.
˗ Angiografi CT koroner dan koronarografi mungkin dapat membantu
untuk mengenali penyakit arteri koroner sebagai kemungkinan faktor
aritmogenik yang mendasari.
˗ Pengujian elektrofisiologi cocok untuk pemeriksaan TV / FV.
˗ Tingkat serum dari biomarker tertentu mungkin juga dipertimbangkan
sebagai bagian dari penilaian risiko aritmia ventrikel. Peluang
laboratorium untuk memprediksi aritmia ventrikel mempertimbangkan
biomarker laboratorium, yakni NT-proBNP, troponin T, osteopontin,
galectin-3, dan ST2 yang dapat larut.

˗ Hal yang pertama kali dilakukan pada pasien dengan FV adalah CPR.
Pemberian tindakan CPR diikuti dengan pemberian oksigen yang
selanjutnya diikuti dengan tindakan defibrilasi.
˗ Pada FV dengan monofasik, diberikan defibrilasi dengan kekuatan 360 J.
Namun, pada FV dengan gelombang bifasik, kekuatan listrik yang
diberikan adalah 120-200 J dan meningkat pada tindakan defibrilasi
berikutnya.
˗ Setelah Tindakan defibrilasi awal, Langkah selanjutnya adalah Kembali
melakukan CPR selama dua menit. Kemudian dipastikan kembali apakah
pasien masih memiliki irama FV atau tidak.
˗ Jika masih memiliki irama FV, maka dilakukan kembali defibrilasi dan
tindakan CPR selama dua menit. Selain itu, setiap 3-5 menit diberikan
tambahan epinefrin yang diberikan melalui intravena (IV) atau
intraosseus (IO) dengan dosis 1 mg.
˗ Setelah pemberian epinefrin, pasien kembali dievaluasi. Apakah masih
menunjukan gelombang FV atau tidak. Jika masih menunjukan
gelombang tersebut, maka diperlukan tambahan amiodarone atau
lidocaine. Pemberian amiodarone diberikan melalui IV/IO dengan dosis
awal sebanyak 300 mg dan dosis kedua adalah 150 mg. Pilihan lainnya
adalah pemberian lidokain secara IV/IO dengan dosis pertama sebanyak
1-1.5 mg/kg, yang selanjutnya diikuti dengan pemberian dosis kedua
sebanyak 0.5-0.75 mg/kg.
˗ Langkah ini dilakukan secara berulang jika pasien masih memiliki FV.
Namun, jika pada awal evaluasi setelah melakukan CPR pasien dalam
kondisi asistol, maka dilanjutkan dengan CPR dan pemberian epinefrin
setiap 3-5 menit melalui IV/IO. Jika setelah pemberian epinefrin pasien
tidak lagi asistol, maka dilanjutkan dengan pemberian amiodarone/
lidocaine. Akan tetapi, jika tetap dalam kondisi asistol, maka diberikan
tindakan post- cardiac arrest.

 Takikardia ventrikel (TV) merupakan penyakit yang mengancam nyawa jika


tidak mendapatkan penanganan secara tepat dan segera.
 TV sering terjadi pada pasien kardiomiopati, penyakit jantung koroner,
hipertensi, atau kelainan katup. TV dapat juga terjadi pada pasien dengan
struktur jantung normal,5 biasanya benigna.
 TV ditandai dengan ritme jantung cepat berasal dari ventrikel di bawah
berkas His, pada miokardium atau keduanya. TV dapat dibedakan dari
takikardia supraventrikuler dengan adanya kompleks QRS lebar pada EKG.
TV dapat ditangani dengan terapi obat antiaritmia, impantable cardioverter
defibrillators (ICD), dan ablasi kateter
KLASIFIKASI
 TV dibagi berdasarkan situasi menjadi 2 kategorI yaitu :
1) Sustained VT-> jika TV terjadi lebih dari 30 detik, menyebabkan gejala
berat seperti pingsan atau memerlukan terminasi dengan kardioversi
dan obat antiaritmia .
2) Nonsustained VT -> Jika TV dapat berhenti tanpa intervensi dan tidak
menyebabkan gangguan hemodinamik.
 Berdasarkan gambaran EKG, TV dibagi menjadI 2 kategori yaitu TV
monomorfik, dan TV polimorfik.

TV monomorfik jika kompleks QRS sama pada setiap denyutan dan irama
jantung reguler dan TV polimorfik jika kompleks QRS berubah-ubah pada
setiap denyutan dan iramanya ireguler

 TV dengan Kelainan Struktur Jantung


TV dengan kelainan struktur jantung paling sering disebabkan oleh
infark miokard akut. Infark miokard akut biasanya menyebabkan TV
polimorfik/fibrilasi ventrikel. Selama fase akut kebocoran kalium
menyebabkan peningkatan kalium ekstrasel, sehingga terjadi depolarisasi
pada daerah iskemik. Depolarisasi ini menyebabkan perbedaan konduksi
listrik dan masa refrakter menyebabkan TV polimorfik.
TV monomorfik sering disebabkan oleh parut miokard akibat infark
lama. Parut miokard juga sering disebabkan oleh kardiomiopati noniskemik,
kardiomiopati hipertrofi, infiltrative heart disease (sarkoidosis), displasia
ventrikel kanan, dan post-operasi koreksi kelainan katup jantung dan
kelainan jantung bawaan
 TV akibat Kelainan Genetik
TV dengan kelainan genetik tanpa kelainan struktur jantung paling
sering menyebabkan TV polimorfik dan kematian mendadak. Umumnya
penyebab TV dengan kelainan genetik adalah gangguan kanal ion
(chanellopathy). Long QT syndrome yang paling sering terjadi; terdapat
gangguan kanal kalium dan natrium, sehingga interval QT memanjang. Hilang
kesadaran dan kematian mendadak akibat TV polimorfik disebut torsades
de pointes.
 TV Idiopatik
TV idiopatik adalah TV yang terjadi tanpa adanya kelainan struktur
jantung, kelainan genetik, dan gangguan metabolik atau gangguan elektrolit.
TV idiopatik biasanya berasal dari lokasi spesifik pada jantung yang dapat
dilihat pada gambaran EKG. Umumnya TV idiopatik berasal dari right
ventricular outflow tract (RVOT); terjadi automatisasi yang diperantarai
aktivitas cyclic adenosine monophosphate-dependent sehingga kalsium
intrasel meningkat. TV idiopatik jarang mengancam nyawa, namun dapat
menyebabkan gangguan hemodinamik dan hilang kesadaran.


 Berdebar
 Dizziness
 Awitan dan terminasi mendadak
 Near syncope/ syncope
 Laju nadi teraba cepat dan regular
 Tanda-tanda hipoperfusi (akral dingin, pucat)

1) Anamnesis
 Berdebar
 Kehilangan denyut (skip pedbeat)
 Nyeri dada
 Denyut yang tiba-tiba terasa keras
 Sesak nafas
 Dizziness
 Hampir sinkop sampai sinkop
 Adanya riwayat penyakit jantung pada VT berkas cabang
 Adanya riwayat serangan jantung/penyakit jantung koroner dan
disfungsi ventrikel kiri pada VT iskemik
2) Pemeriksaan fisik
 Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan peningkatan vena jugular, variasi
bunyi jantung I, variasi tekanan darah arteri. Manuver vagal seperti
manuver Valsava dan penekanan arteri carotis dapat dilakukan, jika
takikardia berkurang maka kemungkinan besar diagnosis adalah takikardia
supraventrikular
3) Pemeriksaan penunjang
a. Elektrokardiogram (EKG).
 TV dapat dibedakan dari takikardia supraventrikular yaitu dengan
kompleks QRS yang lebar (durasi QRS >120 ms). EKG 12 lead akan
menentukan tipe TV, menjadi dasar penentuan penyebab VT,
mengidentifikasi kelainan struktur jantung, dan menentukan lokasi
kelainan konduksi.
b. Ekokardiografi trans-torakal
 Parut jantung merupakan salah satu penyebab TV yang sulit diatasi,
menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik, berubah menjadi
fibrilasi ventrikel dan menyebabkan kematian mendadak.
 Ekokardiografi trans-torakal harus segera dilakukan untuk
menentukan fungsi dan struktur ventrikel termasuk fraksi ejeksi
ventrikel kirI.
 Kelainan pergerakan dinding ventrikel dicurigai akibat penyakit
jantung koroner. Angiografi koroner dapat dilakukan untuk melihat
adanya penyakit jantung coroner
c. MRI (Magnetic resonance imaging)
 MRI jantung dapat lebih detail melihat fungsi dan struktur jantung,
juga menyingkirkan kemungkinan parut miokard, arrhythmogenic RV
cardiomyopathy, kardiomiopati noniskemik, atau sarkoidosis
jantung.
 MRI jantung juga dapat menentukan prognosis dan rencana
pemetaan sebelum dilakukan ablasi kateter.
d. Biopsi miokard
 Biopsi miokard dan signal-averaged ECGs juga dapat memberikan
informasi yang berguna untuk situasi tertentu. Biopsi miokard dapat
mengidentifikasi ARVC dan miokarditis jika diagnosisnya belum jelas.

1. Penanganan emergensi dan evaluasi awal kardioversi emergensi dengan sedasi


adekuat harus dilakukan pada sustained VT yang menyebabkan hipotensi
simptomatik, edema paru, atau infark miokard tanpa terlebih dahulu
menentukan penyebab; diberikan DC Shock dengan sinkronisasi energi tinggi
100-360 Joule.14 Penyebab yang dapat diperbaiki harus segera dikoreksi
seperti iskemi akut, gangguan elektrolit, atau penyalahgunaan obat. Pada
pasien TV dengan hemodinamik stabil, dapat diberikan obat antiaritmia dengan
pemantauan ketat dan persiapan alat kardioversi jika tidak responsif.
2. Obat Antiaritmia
Biasanya sebagai terapi adjuvan pada pasien TV yang menggunakan
implantable cardioverter-defibrillator (ICD) untuk mengurangi episode TV. Pada
penelitian, pasien pengguna ICD tanpa obat anti-aritmia, 90% mengalami
aritmia berulang setelah 1 tahun; turun menjadi 64% setelah penggunaan anti-
aritmia. Indikasi obat anti-aritmia sebagai terapi adjuvan adalah menurunkun
kejadian ICD shocks, menurunkan episode TV untuk meningkatkan toleransi
hemodinamik, mengatasi gejala TV, meningkatkan kualitas hidup, dan
menurunkan angka rawat inap akibat aritmia berulang.
 Lidocaine
Merupakan terapi lini pertama pada pasien TV stabil dan
berguna untuk TV disebabkan infark miokard. Dosis anjurannya
adalah 0,5 mg/kgBB, bolus intravena setiap 3-5 menit,
maksimum 1,5 mg/kgBB. Terapi dapat dilanjutkan secara kontinu
menggunakan syringe/infusion pump dengan dosis 0,05
mg/kgBB/menit
 Beta Blocker/Penghambat Beta
Merupakan terapi lini pertama pada pasien TV polimorfik
khususnya yang disebabkan oleh iskemi. Esmolol merupakan
salah satu penghambat beta yang sering diberikan dengan dosis
200 µg dalam 1 menit, jika tidak ada respons setelah 10 menit
diberikan dosis 500 µg dalam 1 menit. Jika sudah respons
diberikan dosis rumatan 25µg/kg/menit sampai terapi diganti
menjadi propranolol oral.
 Procainamide
Merupakan anti-aritmia kelas IA yang juga menghambat
kanal natrium. Dosis yang dianjurkan adalah 1-3 mg/kgBB, bolus
intravena setiap 3-5 menit dengan dosis maksimal 20 mg/kgBB.
 Amiodarone
Dapat diberikan pada pasien TV dengan hemodinamik tidak
stabil. Amiodarone memiliki efek vasodilator dan inotropik
negatif, sehingga dapat menstabilkan hemodinamik. Mula kerja
amiodarone lebih lambat dibandingkan lidocaine dan
procainamide. Dosis awal yang dianjurkan adalah 5 mg/kgBB/jam
intravena selama 10 menit, dapat diulangi satu kali jika belum
respons dan diikuti dosis rumatan 0,5 – 1 mg/menit.
 Magnesium Sulfat
Merupakan terapi pilihan pasien TV dengan interval QT
memanjang dan beberapa episode torsade de pointes. Dosis 1
gram/menit dengan dosis maksimal 25 g.7 Magnesium sulfat
tidak efektif pada pasien TV dengan interval QT normal.
3. Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD)
 ICD adalah perangkat elektronik untuk terapi aritmia ventrikel, yang
diimplan secara subkutan di regio pektoral dan berhubungan langsung
dengan sistem endokardium.
 Indikasi pemasangan ICD adalah sustained VT yang berhubungan dengan
kelainan struktur jantung, hilang kesadaran akibat TV, TV disebabkan infark
miokard dan fungsi ventrikel kiri menurun, serta TV yang menyebabkan
henti jantung.

Anda mungkin juga menyukai