Anda di halaman 1dari 7

1.

Pemahaman Dasar Mengenai Keamanan Ekonomi


Dimensi keamanan dalam era kontemporer sudah beranjak dari yang bersifat
tradisional menjadi ke yang bersifat non-tradisional. Pada awalnya Barry Buzan, dalam
bukunya People, State and Fear (1983) terlebih dahulu membagi keamanan menjadi lima
dimensi yaitu keamanan politik, militer, ekonomi, sosial dan lingkungan. Barry Buzan
sendiri lebih menekankan lima dimensi tersebut pada level analisis negara atau state.
Salah satu yang menjadi fokus pembahasan adalah keamanan ekonomi. Buzan
memandang bahwa keamanan ekonomi adalah “terjaminnya akses ke sumber daya,
finansial dan pasar untuk menopang level kesejahteraan sosial yang diinginkan dan
kekuatan ekonomi negara”.
Akan tetapi, untuk memahami keamanan secara menyeluruh dipengaruhi juga level
analisis di peringkat individu. Ini disebabkan jika setiap individu mampu merasa amam
dari segala ancaman yang membahayakan basic survival mereka, otomatis dunia menjadi
tempat yang lebih aman.
Perhatian dunia terhadap keamanan ekonomi semakin meningkat di tahun 1994, saat
UNDP merilis laporan Human Development yang turut memasukan ekonomi bersama
enam dimensi keamanan manusia lainnya, seperti politik, sosial, lingkungan, makanan,
kesehatan dan militer. Bagi UNDP, terciptanya keamanan ekonomi membutuhkan situasi
dimana terjaminnya basic income untuk setiap individual.
Jika berkaca pada pernyataan Goldfischer pada jurnal berjudul E.H. Carr: a
historical realist approach for the globalisation era (2002) bahwa “tradisional konsep
dari economic security masih terbatas karena ekonomi lebih dari sekedar sumber atau
instrument bagi kekuatan suatu negara”, memang belum ada konsep universal yang
begitu jelas mengenai keamanan ekonomi itu sendiri. Setiap peneliti atau institusi
mempunyai pendapatnya massing-masing
Pada buku Globalisation & Economic Security in East Asia, Helen E. Nesadurai
mencoba menawarkan pemahaman yang berbeda mengenai economic security dan
fenomena globalisasi saat ini dengan menjabarkan tiga poin penting yang menentukan
economic security itu sendiri, yaitu:
1. pendapatan dan konsumsi yang penting bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia/
keluarga

1
2. persamaan distribusi (distributive equity)
3. keutuhan pasar (market integrity)
Namun pada akhirnya timbul pertanyaan, bagaimana di era globalisasi saat ini,
market integrity yang bersifat liberalisme yang banyak dianut oleh baik negara-negara
maju dan berkembang justru menjadi ancaman nyata bagi keamanan manusia secara
aspek ekonomi?

2. Dampak Integrasi Pasar dan Neo-liberalisme Terhadap Keamanan Ekonomi


Paham neo-liberal tidak dapat dimungkiri sudah dan akan terus menjadi dasar
normatif bagi tatanan ekonomi global. Klaim paham ini intinya menegaskan bahwa hak
individu akan otomatis dilindungi dengan meningkatnya integrasi pasar dan kemajuan
material. Menurut neo-liberal, ekonomi dan politik jelas adalah dua ruang yang berbeda,
ekonomi bersifat apolitis sehingga harus bebas dari gangguan kekuasaan politik. Hal ini
yang menyebabkan neo-liberal sangat mendukung deregulasi pemerintah. Pemerintah
hanya bersifat sebagai fasilitator dalam memberikan kerangka institusional dan legal bagi
persetujuan-persetujuan maupun kontrak-kontrak. Proses ini pula memuluskan
pergerakan modal dan privatisasi melewati batas wilayah yang dipercaya akan berimbas
positif bagi keamanan ekonomi setiap individu. Singkat kata, integrasi pasar terus
menerus diyakini sebagai model ekonomi tanpa kekurangan apapun yang akan
mengarahkan kita pada pasar bebas, deregulasi pemerintah, dan kebebasan individual
untuk memperbaiki nasibnya.
Sayang, pada kenyataannya, kebijakan neo-liberalisme telah menciptakan
ketimpangan global kian parah yang ditandai dengan melonjakannya pengangguran dan
lenyapnya kesejahteraan sosial, isu buruh/pekerja, fair trade dan sebagainya di sejumlah
negara. Titik ini menjadi bukti bahwa keamanan ekonomi setiap manusia semakin
berhadapan dengan ancaman yang paling nyata.
Pertama, secara lebih jelas, terintegrasinya pasar telah melahirkan sebuah hegemoni
baru yaitu hegemoni kaum korperat melalui berbagai perusahaan multinasional (MNC)/
transnasional (TNC) yang “cakar” kekuasaannya dan pengaruhnya mereka tanam di
banyak negara khususnya negara berkembang. Pemerintah Barat pun mendukung kaum
korperat melalui upaya penyediaan variasi nilai-nilai Barat termasuk demokrasi dan

2
komersialisme serta membantu kelanggengan rezim-rezim pemerintah yang dianggap
dapat tunduk dalam menjamin situasi politik yang kondusif bagi investasi asing. Dengan
begini, perusahaan multinasional akan dengan mudah memaksa pemerintah untuk
merubah regulasi mengenai upah dan hak-hak buruh/pekerja lainnya, menerapkan standar
lingkungan yang rendah yang harus dipatuhi perusahaan, termasuk penggurangan pajak
bagi investor atau perusahaan asing. Kesemuannya seketika menjadi alasan yang cukup
masuk akal mengapa banyak buruh/pekerja berasal tidak hanya pria tetapi juga kaum
wanita dan anak-anak dengan kondisi kerja yang amat sangat buruk akan tetapi
pemerintah di negara-negara tersebut seakan tutup mata akan kondisi tersebut sekalipun
setiap tanggal 1 Mei menjadi Hari Buruh Internasional. Dan ini juga yang menyebabkan
banyaknya BUMN di negara-negara berkembang akhirnya diambil alih oleh asing
sementara pajak-pajak yang dibebankan ke asing sangatlah kecil.
Kedua, integrasi pasar juga turut mencederai prinsip distributive equity. Nyatanya,
upah jutaan buruh/pekerja di dunia ini sangat rendah padahal mayoritas dari mereka
bekerja dengan sistem kontrak dengan jumlah jam kerja hampir 12 jam per hari belum
jika ditambah lembur.
Robert Kaplan juga menuturkan dalam The Atlantic Montly (1997) bahwa 200
korperasi besar papan atas dunia menguasai 28 % aktivitas perekonomian global. 500
besar korporasi global ternama mengkontrol 70% aktivitas perdagangan di tingkat global,
sedangkan 10% dikuasai oleh 500 korporasi global yang berada pada peringkat
selanjutnya. Dan menurut data Institute for Policy Studies, kekayaan 200 korporasi besar
tersebut jika digabung setara 18 kali lipat pendapatan 1,2 miliar penduduk miskin yang
ada di dunia.
Menurut Manfred. B. Steger dalam bukunya Globalism: The New Market Ideology,
gaji rata-rata CEO bisa 416 kali lebih tinggi dari rata-rata gaji buruh. Gap tajam antara
gaji para petinggi perusahaan dan buruh layaknya “hantaman keras” bagi peran besar
buruh dalam roda ekonomi setiap perusahaan dan setiap negara selama ini. Ironisnya,
dependensi negara-negara berkembang terhadap bantuan asing dan kurangnya kualitas
sumber daya manusia yang ada akan terus memperburuk pendapatan negara sehingga hak
income yang layak bagi setiap buruh di tempat kerja akan semakin terabaikan demi
menarik investasi asing. Dalam buku yang sama Manfred berusaha menjabarkan bahwa

3
di akhir abad 21, sekitar 25 persen penduduk dunia akan hidup dengan income hanya 140
dolar per tahun akibat sistem neo-liberal kapitalisme ini. Di sisi lain UNDP Report pada
tahun 1999 merilis data bahwa sekitar 200 terkaya di dunia mampu melipatgandakan nilai
kekayaannnya dari 400 miliar menjadi lebih dari 1 triliun.
Goerge Soros memang pernah mengatakan bahwa neo-liberalisme memang tidak
diciptakan untuk secara serius menyelesaikan isu-isu keadilan distributif sehingga banyak
perusahaan hanya berfokus untuk memperkerjakan orang dengan memberikan upah
semurah mungkin tanpa memperhatikan hak-hak setiap individu yang bekerja atau
menjadi buruh untuk mereka meskipun keuntungan yang diperoleh perusahaan itu begitu
melimpah. Kondisi para pekerja atau tepatnya para buruh ini bisa semakin buruk karena
tidak stabilnya pasar uang yang bisa memicu krisis moneter sewaktu-waktu dan mampu
membuat perusahaan-perusahaan melakukan PHK tanpa pesangon yang fair.
Situasi semacam ini akan membuat setiap buruh atau pekerja harus bertanggung
jawab atas kemakmuran hidupnya sendiri di tengah kerasnya upaya kaum korporat dalam
mengejar keuntungan. Sedangkan sebagai sama-sama pelaku ekonomi jika dibandingkan
oleh kaum-kaum korporat, buruh/pekerja jelas tidak memiliki kekuatan bahkan akses
yang besar dan stabil untuk mempergunakan sumber daya ekonomi yang ada untuk
menciptakan keamanan ekonomi bagi dirinya sendiri. Selain itu, buruh/pekerja juga tidak
memiliki kapabilitas dan juga akses politis signifikan untuk mempengaruhi kebijakan
pemerintah. Demokrasi yang ditawarkan sebagai nilai luhur bagi kepentingan setiap
individu di muka bumi seakan tidak lagi berarti sebab tetaplah demokrasi hanya menjadi
“hak” bagi siapa yang bermodal besar. Hubungan asimetris antara buruh/pekerja dan
kaum korporat ini yang kemudian melahirkan pola the winner and the loser.
Ketiga, jika situasi yang sudah dijelaskan sudah sedemikian kompleksnyya, maka
pendapatan banyak kaum buruh/pekerja akan semakin terdegradasi. Bukan hanya itu,
hak-hak para pekerja/buruh juga terabaikan secara terang-terangan. Sudah banyak kasus
tentu yang kita dengar mengenai kondisi pekerja/buruh yang tidak pernah “naik kasta”
jika bukan karena keajaiban yang menyertainya. Menurut ILO abuse terhadap hak-hak
setiap pekerja atau buruh disebut juga work-related insecurity. Ancaman terbesar bagi
hak-hak tersebut lagi-lagi bersumber dari perusahaan dan pemerintah sendiri.
Dapat dijabarkan bahwa work-related insecurity dibagi menjadi tujuh dimensi:

4
INCOME

REPRESENTATION

Work-related LABOUR
insecurity MARKET

EMPLOYMENT

JOB

WORK

SKILL
REPRODUCTION

Income insecurity menjadi sangat penting saat kini banyak pekerja/buruh yang tidak
diperhitungkan upah minimumnya, tunjangan, dan beban pajaknya. Future income
mereka pun seakan sudah diabaikan begitu saja oleh perusahaan. Selain itu, pekerja/buruh
di era modern kini justru juga menghadapi job insecurity karena tidak mendapat proteksi
yang cukup untuk mengembangkan karir nya atau memperoleh job-line yang sesuai
dengan keahlian dan interest mereka. Ini dikarena perusahaan juga cenderung tak acuh
dengan hak skill reproduction setiap bekerja yang seharusnya mendapat pelatihan atau
training untuk meningkatkan kemampuan dan produktivitas mereka di tempat kerja.
Terlebih lagi, perusahaan yang terlalu berkonsentrasi terhadap profit dan target produksi
sering kali melupakan hak pekerja/buruh untuk mendapatkan working condition (work
security) yang layak seperti safety atau kenyamanan tempat kerja, contohnya di banyak
perusahaan garment asing di negara-negara berkembang seringkali membiarkan para
pekerjanya menyelesaikan target produksi dengan posisi berdiri tanpa waktu istirahat
yang jelas.
Selain itu, banyak pula pekerja/buruh yang seringkali mengalami employment

5
insecurity salah satunya dimana pekerja/buruh harus menerima PHK yang dilakukan
perusahaan dengan cara atau alasan yang tidak fair. Belum lagi sistem kontrak yang
menjamur di abad ini sesungguhnya tidak mampu menjamin basic income dan future
income bagi setiap pekerja/buruh untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka sebagai
manusia dan keluarganya, seandainya mereka keluar dari pekerjaan awal, belum tentu
mereka akan diterima dengan status full employee (labour market insecurity). Pada
akhirnya posisi sebagian besar pekerja/buruh semakin tidak ada artinya saat mereka juga
mengalami representation insecurity dimana secara individu tidak mempunyai akses yang
cukup untuk turut serta berdiskusi denggan perusahaan atau pemerintah dalam
menetapkan regulasi yang memayungi hak--hak mereka. Seandainya ada serikat
pekerja/buruh yang berguna untuk mewakili kaum pekerja/buruh secara kolektif, pada
kenyataannya perkumpulan ini tidak membawa perubahan signifikan bagi kehidupan
setiap pekerja/buruh sebagai individu.

Kesimpulan
Upaya untuk memenuhi kebutuhan terkait di bidang ekonomi merupakan hal yang
mendasar bagi setiap individu. Pengaruh market integrity di bawah payung besar neo-
liberal telah mencipatakan pola hubungan ekonomi yang semakin mengarah pada pola
the winner and the loser. Negara apalagi individu sangat sulit untuk mempertahankan
kesempatannya untuk mendapatkan akses ke sumber daya ekonomi ditambah kontrol
negara yang direduksi sehingga hanya sebagai “alat” legislatif untuk menyediakan
regulasi-regulasi yang pro kaum korporat dan investor asing. Kaum pekerja/buruh pun
menjadi kasta yang tak berdaya karena bargaining postion mereka paling lemah

REFERENSI

6
Buzan, Bary (2007) People, State and Fear 2nd edition. Colchester: ECPR Press
Goldfischer (2002) E.H. Carr: a historical realist approach for the globalisation
era
Gomez, Oscar A. And De Gesper. Human Security A Thematic Guidance Note
for Regional and National Human Development Report Teams. UNDP Report.
Kaplan, Robert (1997). The Atlantic Montly
Nesadurai, Helen E. (ed) (2005). Globalisation & Economic Security in East
Asia. London and New York : Routledge
Steger, Manfred B (2002) Globalism: The New Market Ideology. Rowman&
Littlefield Publisher, Inc.
_____. Definitions : What We Mean When We Say “Economic Security.” ILO
Socio-Economic Security Programme

Anda mungkin juga menyukai