Anda di halaman 1dari 17

Bab III Teori Dasar

III.1 Kekayaan Material Organik


Jumlah material organik yang ada pada batuan dinyatakan sebagai nilai karbon
organik total (TOC/Total Organic Carbon) dalam satuan persen dari batuan dalam
keadaan kering. Nilai TOC digunakan sebagai salah satu parameter untuk tahap
seleksi awal terhadap batuan sehingga dapat dipisahkan antara batuan yang tidak
menarik dan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Menurut Waples (1985) batuan yang mengandung TOC kurang dari 0,5%
dipertimbangkan sebagai batuan yang memiliki potensi sebagai batuan induk
hidrokarbon yang dapat diabaikan, hal ini karena jumlah dari hidrokarbon yang
dapat dihasilkan dari batuan tersebut sangat kecil sehingga tidak memungkinkan
terjadinya ekspulsi (Tabel III.1).

Tabel III.1 Indikasi batuan yang berpotensi sebagai batuan induk berdasarkan nilai
TOC (Waples, 1985).
Nilai TOC (%) Implikasi sebagai batuan induk
< 0,5% Kapasitas sebagai batuan induk dapat diabaikan
0,5% - 1,0% Kapasitas sebagai batuan induk terbatas
1,0% - 2,0% Kapasitas sebagai batuan induk sedang
> 2,0% Kapasitas sebagai batuan induk baik

Batuan yang mengandung TOC antara 0,5% - 1,0% memiliki kemampuan yang
terbatas. Batuan tersebut tidak akan berfungsi sebagai batuan induk yang efektif,
akan tetapi masih dapat mengekspulsi sejumlah kecil hidrokarbon. Batuan yang
mengandung TOC lebih dari 1% merupakan batuan induk yang penting. Batuan
yang mengandung TOC antara 1% - 2% berasosiasi dengan lingkungan
pengendapan transisi antara oksidasi dan reduksi sedangkan batuan yang
mengandung TOC di atas 2% berasosiasi dengan lingkungan pengendapan reduksi
tingkat tinggi sehingga batuan tersebut memiliki potensi terbaik sebagai batuan
induk.

18
III.2 Tipe Material Organik
Jumlah dan komposisi maseral dari kerogen menentukan potensi minyak dan
dapat berbeda secara lateral atau vertikal dalam batuan induk (Peters dan Cassa,
1994). Interpretasi dari observasi yang dilakukan pada umumnya membagi
maseral-maseral menjadi maseral yang menghasilkan minyak, gas dan tidak
menghasilkan apa-apa. Kelompok maseral liptinit, seperti alginit, eksinit, resinit,
kutinit dan sporinit, yang menghasilkan minyak merupakan kerogen Tipe I dan
kerogen Tipe II, sedangkan kelompok maseral vitrinit yang menghasilkan gas
merupakan kerogen Tipe III (Gambar III.1 dan Tabel III.2).

Gambar III.1 Diagram hubungan antara kelompok maseral dengan tipe kerogen
yang terbentuk, terlihat kelompok maseral liptinit (sporinit, kutinit,
alginit dan resinit membentuk kerogen Tipe I dan II, sedangkan
kelompok maseral vitrinit membentuk kerogen tipe III (Peters dan
Cassa, 1994).

19
Tabel III.2 Tipe kerogen, maseral penyusunnya dan material organik asalnya
(Waples, 1985).
Maseral Tipe Material organik asal
Kerogen
Alginit I Alga air tawar
Eksinit II Polen, spora
Kutinit II Lapisan lilin tanaman
Resinit II Resin tanaman
Liptinit II Lemak tanaman, alga
laut
Vitrinit III Material tumbuhan tinggi
(kayu, selulosa)
Inertinit IV Arang, material tersusun-
ulang yang teroksidasi

Berdasarkan hasil analisis pirolisis Rock-Eval dapat diketahui nilai S1, S2 dan S3
dinyatakan dalam satuan miligram hidrokarbon. Parameter S1 menunjukkan
jumlah hidrokarbon yang sudah ada di dalam batuan semenjak pengendapan
ditambah dengan hidrokarbon yang terbentuk di bawah permukaan, S2
mencerminkan sisa kapasitas pembentukan hidrokarbon, S3 adalah jumlah
kandungan oksigen di dalam kerogen (Waples, 1985). Data mentah S1, S2 dan S3
selanjutnya dinormalisasi dengan kandungan karbon organik dari sampel,
menghasilkan harga dalam satuan miligram per gram dari TOC. Nilai S2 dan S3
yang telah dinormalisasi selanjutnya disebut sebagai indeks hidrogen dan indeks
oksigen, karena beberapa variasi dari TOC telah dihilangkan pada saat
perhitungan normalisasi, maka indeks hidrogen berfungsi sebagai indikator dari
tipe kerogen.

Indeks hidrogen harus dikoreksi sehubungan dengan efek maturasi dengan


menggunakan diagram van Krevelen yang telah dimodifikasi (Gambar III.1).
Interpretasi indeks hidrogen untuk kekurangmatangan ditunjukkan dalam Tabel
III.3.

20
Tabel III.3 Potensi kerogen kurang matang berdasarkan indeks hidrogen (Waples,
1985).
Indeks hidrogen
Produk utama Jumlah relatif
(mg HC/g TOC)
< 150 Gas Sedikit
150 – 300 Minyak dan gas Sedikit
300 – 450 Minyak Sedang
450 – 600 Minyak Banyak
> 600 Minyak Sangat banyak

Menurut Waples (1985) bahwa indeks hidrogen di bawah 150 miligram


hidrokarbon/gram TOC mengindikasikan ketidakhadiran sejumlah material lemak
yang menghasilkan minyak dan mencerminkan kerogen sebagai tipe III dan IV.
Indeks hidrogen di atas 150 miligram hidrokarbon/gram TOC menunjukkan
peningkatan material kaya lemak, yang dapat berasal dari maseral darat (kutinit,
resinit, eksinit) atau dari material alga laut. Karena itu kerogen dengan indeks
hidrogen di antara 150 dan 300 miligram hidrokarbon/gram TOC mengandung
lebih banyak kerogen tipe III daripada kerogen tipe II sehingga memiliki
kemampuan terbatas hingga cukup untuk berpotensi menghasilkan minyak.
Kerogen dengan indeks hidrogen di atas 300 miligram hidrokarbon/gram TOC
pada umumnya mengandung maseral tipe II sehingga dipertimbangkan sebagai
sumber yang berpotensi menghasilkan hidrokarbon cair. Kerogen dengan indeks
hidrogen di atas 600 miligram hidrokarbon/gram TOC pada umumnya murni
terdiri dari kerogen tipe I atau tipe II sehingga merupakan sumber yang berpotensi
menghasilkan hidrokarbon cair.

III.3 Kematangan Batuan Induk


III.3.1 Reflektansi vitrinit
Pengukuran reflektansi vitrinit dimulai dengan cara mengisolasi kerogen dengan
menggunakan HCl dan HF, kemudian menempelkan partikel kerogen pada epoxy
plug. Setelah plug digosok, dengan menggunakan mikroskop khusus, partikel
vitrinit disinari dengan cahaya. Fraksi dari sorotan yang direfleksikan secara
koheren diukur dengan alat photomultiplier dan direkam untuk selanjutnya

21
disimpan secara otomatis di dalam komputer. Jika partikel vitrinit ditemukan
dalam jumlah yang banyak maka pengukuran akan diambil sebanyak 50 kali. Pada
akhir analisis, akan dihasilkan sebuah histogram dari data yang telah diambil.
Hasil pengukuran akan ditampilkan dalam bentuk nilai Ro, ”o” mengindikasikan
bahwa pengukuran dibuat dengan plug yang dicelupkan ke dalam minyak. Harga
reflektansi biasanya diplot dengan kedalaman pada suatu sumur. Jika reflektansi
linear, maka profil kurvanya adalah garis lengkung. Jika digunakan skala semilog
maka plotnya akan berupa garis lurus (Gambar III.2)

Menurut Waples (1985) bahwa kerogen pada umumnya akan mulai menghasilkan
minyak pada saat nilai Ro sekitar 0,6%. Hasil puncak akan didapat pada saat
sekitar nilai Ro sekitar 0,9% sedangkan akhir dari proses menghasilkan minyak
diperkirakan pada saat nilai Ro sekitar 1,35%.

Gambar III.2 Dua cara mengeplot reflektansi vitrinit versus kedalaman. Plot pada
semilog menghasilkan garis lurus jika tidak ada ketidakselarasan
atau peristiwa termal (diambil dari Waples, 1985).

22
III.3.2 Temperatur pirolisis (Tmaks)
Temperatur pada saat laju maksimum pirolisis tercapai (puncak S2) dapat
digunakan sebagai indikator kematangan. Dengan bertambahnya kematangan,
bertambah pula Tmaks (Gambar III.3). Tmaks diperoleh secara otomatis bersama
dengan data pirolisis lain pada waktu analisis Rock-Eval.

Gambar III.3 Karakterisasi kematangan batuan induk dengan metode pirolisis.


Rasio transformasi dan/atau puncak temperatur T maks dapat
digunakan untuk indikator evolusi termal (diambil dari Tissot dan
Welte, 1984).

III.3.3 Analisis Bitumen


Perkiraan kematangan dari fraksi bitumen dapat dibuat menggunakan data dari
normal alkana, sterana, triterpana dan porfirin yang diperoleh dari gas
kromatografi, GC-MS-MS.

Menurut Waples dan Machihara (1991) salah satu perbedaan penting antara
kematangan batuan induk yang ditentukan dari biomarker dan kematangan yang
ditentukan dari analisis kerogen (reflektansi vitrinit, Indeks Alterasi Termal,
pirolisis Tmaks dan lain-lain) adalah bahwa kerogen sifatnya tidak bergerak

23
(immobile). Oleh karena itu kematangannya sama sebagai kematangan batuan atau
sedimen pada saat ditemukan. Biomarker dalam fraksi bitumen yang bergerak dari
batuan dan sedimen, sebaliknya, dapat digunakan sebagai indikator kematangan
untuk batuan atau sedimen hanya jika bitumen tersebut pribumi (indigenous)

Biomarker dalam minyak adalah berharga untuk menilai tingkat kematangan


minyak pada waktu terbentuk, dengan syarat bahwa minyak telah tersimpan pada
suhu cukup rendah untuk memperkecil kematangan di dalam reservoar.

III.4 Atribut Organofasies (Biomarker)


Kebanyakan senyawa-senyawa dan kelas senyawa yang ditemukan dalam minyak
dan bitumen disebut sebagai biomarker yang merupakan kependekan dari
biological marker. Senyawa ini, yang berasal dari molekul perintis biogenik, pada
dasarnya merupakan fosil molekul. Kegunaan terpenting dari biomarker adalah
sebagai indikator dari organisme tempat bitumen atau minyak berasal, atau
sebagai indikator kondisi diagenetik pada saat material organik terpendam. Pada
beberapa keadaan tertentu, prazat tertentu atau molekul dapat diidentifikasi,
sedangkan pada keadaan lain kita hanya dapat membatasi kemungkinan prazatnya
menjadi beberapa jenis saja (Tabel III.4). Pada kebanyakan keadaan, bagaimana
pun juga, walaupun kita mengetahui secara pasti bahwa molekul biomarker adalah
biogenik, kita tidak dapat menggunakannya sebagai fosil indeks untuk organisme
tertentu.

Tabel III.4 Kelas penting dari biomarker dan prazatnya (Waples, 1985).
Biomarker Prazat
alkana normal ( > C22) lilin tumbuhan darat
alkana normal ( < C22) lemak alga
isoprenoid ( < C20) berbagai macam klorofil
isoprenoid ( > C20) lemak atau klorofil dari alga hipersalin
triterpana triterpenoid bakteri
sterana steroid

24
III.5 Alkana Normal
Alkana normal merupakan salah satu biomarker pertama yang dipelajari secara
luas. Adanya konsentrasi tinggi dari alkana normal pada bitumen dan minyak
diakibatkan oleh keberadaannya pada tumbuhan dan lemak alga serta formasi
katagenik dari senyawa rantai panjang seperti asam lemak dan alkohol. Indikasi
penting lain mengenai asal dari alkana normal adalah distribusi dari homolog, atau
anggota dari seri alkana normal.

Menurut Waples (1985) bahwa untuk sebagian besar alkana normal yang ada pada
tumbuhan tingkat tinggi memiliki nomor ganjil dari atom karbon, terutama atom
karbon 23, 25, 27, 29 dan 31 sedangkan secara kontras, alga laut memproduksi
alkana normal yang memiliki distribusi maksimum pada atom karbon 17 atau 22,
tergantung dari spesiesnya saat ini, sehingga bentuk distribusinya sangat tajam,
dan tidak ada kecenderungan memiliki nomor ganjil atau genap dari atom karbon
(Gambar III.4). Kebanyakan sedimen, tentunya, menerima kontribusi dari alkana
normal baik dari arah darat maupun laut, sehingga bentuk distribusi alkana normal
merefleksikan campuran antara keduanya.

A C

B D

Gambar III.4 Berbagai macam bentuk distribusi alkana normal akibat adanya
perbedaan asal material alkana normal. A. Distribusi alkana normal
asal material darat, B. Distribusi alkana normal asal material darat
dan alga laut, C dan D. Distribusi alkana normal asal material alga
laut (Waples, 1985).

25
III.6 Isoprenoid
Klorofil a merupakan sumber untuk sebagian besar molekul pristana dan fitana,
yang merupakan dua dari isoprenoid yang umum digunakan (Gambar III.5).
Isoprenoid C16 sampai dengan C18 pada dasarnya kemungkinan berasal dari
klorofil a. Isoprenoid yang memiliki atom karbon 15 atau kurang, dapat berasal
dari klorofil a atau klorofil bakteri yang memiliki isoprenoid C15 yang
menggantikan C20 sebagai rantai sisi. Asal mula isoprenoid memiliki atom karbon
dari 21 sampai dengan 25 tidak dapat dimengerti dengan baik, walaupun hal ini
sepertinya terjadi pada sedimen evaporitik, sedangkan isoprenoid C30 dan C40
kemungkinan merupakan kontribusi dari beberapa spesies alga.

struktur nama jumlah atom


karbon
pristana 19

fitana 20

Gambar III.5 Struktur dari isoprenoid pristana dan fitana (Waples, 1985).

Menurut Illich (1983) bahwa rasio pristana terhadap fitana dapat digunakan
sebagai indikator taraf oksigen selama proses diagenesis. Rasio yang tinggi dari
perbandingan tersebut dianggap beasosiasi dengan sedimen yang dipengaruhi
lingkungan darat (Tabel III.5).

Tabel III.5 Perbandingan pistana dan fitana sebagai penunjuk lingkungan


pengendapan (Waples, 1985).
Tipe sedimen Pristana/fitana
Sedimen laut anoksik <1
Sedimen laut oksik 1-3
batubara >3

III.7 Triterpana
Sumber organisme untuk biomarker triterpana dipercaya berasal dari bakteri.
Berbagai macam triterpenoid mengandung beberapa hal seperti grup –OH dan

26
ikatan ganda yang telah dikarakterisasi sebagai unsur pokok yang penting dari
membran sel pada bakteri. Suatu triterpenoid yang luas kemungkinan dihasilkan
oleh di antara banyak tipe dari mikro organisme saat ini dalam lingkungan
pengendapan yang berbeda, walaupun banyak hal-hal detail yang belum diketahui
hingga saat ini. Secara khusus, terdapat perbedaan yang signifikan antara bakteri
aerobik dan bakteri anaerobik, terutama metanogen. Transformasi dari
triterpenoid menjadi triterpana kemungkinan terjadi bersamaan dengan
transformasi dari sterol menjadi sterana. Arsitektur molekul umum dari triterpana
pada umumnya sedikit dipengaruhi oleh proses diagenesis. Transformasi
stereokimia pertama yang perlu diperhatikan adalah pembentukan pada saat awal
diagenesis dari isomer 17α(H),21β(H). Geometri ini, yang stabil pada keadaan
tertentu, memiliki hidrogen yang menyisip pada C-17 di konfigurasi alfa dan
hidrogen pada C-21 di konfigurasi beta. Hopana dengan konfigurasi
17β(H),21β(H) (hopana ββ) hanya hadir pada conto yang kurang matang, dan
seperti sterana yang kurang matang, menjadi kurang penting di dalam dunia
geokimia minyak.

Triterpana dapat dibagi menjadi tiga famili yang berbeda berdasarkan jumlah
cincinnya. Triterpana yang dipelajari secara lebih mendalam memiliki lima cincin,
dan oleh karena itu disebut sebagai pentasiklik. Senyawa ini terdiri dari atom
karbon 27 sampai dengan 35, walaupun kadang-kadang dilaporkan memiliki atom
karbon hingga 40. Triterpana lain yang juga dipelajari memiliki tiga cincin, dan
oleh karena itu disebut sebagai trisiklik. Senyawa ini terdiri dari atom karbon 21
sampai dengan 40, akan tetapi lebih didominasi oleh atom karbon kurang dari 25.
Famili yang ketiga adalah tetrasiklik, paling sedikit dipelajari dan sangat jelek
dipahami (Waples dan Machihara, 1991)

III.7.1 Triterpana Trisiklik


Triterpana trisiklik bukan merupakan turunan dari triterpana pentasiklik, akan
tetapi merupakan anggota dari famili genetik yang terpisah. Triterpana trisiklik
mempunyai nomor atom karbon dari C19 sampai dengan C45 dan kemungkinan

27
terbentuk pada jumlah kecil dari bakteri yang sama yang menghasilkan triterpana
pentasiklik, atau dari spesies mikro organisme lainnya yang menyintesisnya.

Menurut Aquino Neto et al. (1983) bahwa pada triterpana trisiklik, kehadiran C 23
selalu mendominasi pada berbagai macam lingkungan pengendapan. Pada batuan
karbonat, C26 dan nomor atom karbon yang lebih besar secara relatif lebih lemah,
sedangkan pada lingkungan pengendapan lainnya, kehadiran C26 sampai dengan
C30 relatif sama dengan kehadiran C29 sampai dengan C25.

Menurut Zumberge (1987) bahwa terdapat beberapa pola yang dapat dibedakan
pada triterpana trisiklik mulai C19 sampai dengan C26 (Gambar III.6). Minyak
yang berasal dari lingkungan pengedapan laut dikarakterisasikan antara lain
dengan adanya dominasi ekstrim dari C23, kehadiran dari C26 atau nomor atom
karbon yang lebih besar, C21 yang lebih besar daripada C20 dan C20 lebih besar
daripada C19. Minyak yang berasal dari lingkungan pengendapan darat
dikarakterisasikan antara lain dengan kehadiran C23 yang tidak dominan, C19 yang
lebih dominan terhadap C21, dan ketidakhadiran C26 atau nomor atom karbon yang
lebih besar.

darat campuran darat dan alga alga

terestial campuran laut lakustrin


lakustrin

C19 C20 C21 C21 C23 C24 C25 C19


C19 C20 C21 C21 C23 C24 C19
C25 C19 C20 C21 C21 C23 C24 C25

Gambar III.6 Berbagai macam pola pada triterpana trisiklik yang dapat
digunakan sebagai petunjuk lingkungan pengendapan (Price et al.,
1987).

III.7.2 Triterpana Pentasiklik


Triterpana pentasiklik pada umumnya dibagi menjadi hopanoid dan nonhopanoid
(Gambar III.7). Di dalam hopanoid terdapat hopana 17α(H),21β(H) yang sering
disebut sebagai hopana dan hopana 17β(H),21α(H) yang sering disebut sebagai

28
moretana. Triterpana pentasiklik yang paling umum adalah hopana. Analisis
terhadap hopana menunjukkan bahwa hopana mengandung atom karbon 27
sampai dengan 35 dan berbentuk seri homolog dengan konfigurasi
17α(H),21β(H). Menurut Seifert dan Moldowan (1980) bahwa rasio moretana
terhadap hopana berfungsi sebagai indikator kematangan. Rasio yang rendah dari
perbandingan tersebut dianggap berasosiasi dengan minyak yang sudah matang.

Gambar III.7 Struktur dari triterpana pentasiklik yang menunjukkan adanya lima
cincin pada rantai karbon (Waples dan Machihara, 1991).

Setiap homolog berbeda dengan selanjutnya akibat adanya sisipan grup tunggal
-CH2- pada sisi rantai dari cincin E. C29 dan C30 hopana 17α(H) tidak memiliki atom
karbon kiral pada rantai sisinya. C31-C40 hopana 17α(H) yang sering disebut sebagai
homohopana, bagaimanapun juga, seluruhnya memiliki atom karbon kiral tunggal
(C-22) pada rantai sisinya, dan karena itu hadir pada epimer 22R dan 22S. Karena
perintis hopana yang dihasilkan secara biologis hanya terdapat dalam bentuk R,
perpanjangan hopana yang baru terbentuk pada sedimen seluruhnya memiliki
konfigurasi 22R.

Sepasang hopana C27 (trisnorhopana 17α(H)-22,29-30 dan trisnorneohopana


18α(H)-22,29-30), yang biasa disebut sebagai Tm dan Ts, sebenarnya juga hadir
pada seluruh conto (Gambar III.8). Tm dipercaya mewakili struktur yang
dihasilkan secara biologis. Menurut Jones dan Philp (1990) bahwa rasio Tm
terhadap Ts dapat digunakan sebagai indikator kematangan relatif pada seri
batuan atau minyak yang mewakili fasies yang sama. Bertambahnya kematangan,
17α(H)-trisnoropana, Tm secara berangsur-angsur menghilang dan 18α(H)-
trisnorneohopana, Ts bertambah (Waples dan Machihara, 1991)

29
Tm Ts
Ts

Gambar III.8 Struktur dari Tm dan Ts (Waples dan Machihara, 1991).

Struktur lain dari molekul yang dapat diidentifikasi dari triterpana pentasiklik
adalah dua hopana yaitu bisnorhopana 28,30 dan trisnorhopana 25,28,30 dan
beberapa nonhopanoid seperti gammaserana dan senyawa familinya yang disebut
sebagai oleanana (Gambar III.9). Menurut Ekweozor dan Udo (1988) bahwa
oleanana dipercaya berasal dari angiosperma atau tumbuhan darat yang
menghasilkan resin dalam jumlah banyak. Kehadiran oleanana pada lingkungan
laut kemungkinan akibat proses transportasi dari sumber darat.

bisnorhopana
bisnorhopana gammaserana

trisnorhopana
trisnorhopana oleanana

Gambar III.9 Struktur dari bisnorhopana, trisnorhopana, gammaserana dan


oleanana (Waples dan Machihara, 1991).

30
III.8 Sterana
Sterana berasal dari sterol yang ditemukan pada sebagian besar tumbuhan tingkat
tinggi dan alga serta jarang atau tidak ditemukan pada organisme prokariotik.
Empat perintis sterol utama yang mengandung atom karbon 27, 28, 29 dan 30
telah diidentifikasi pada organisme fotosintetik. Sterol ini memberikan kenaikan
jumlah pada keempat sterana ”umum” yang berbeda selama proses diagenesis.
Keempat sterana ini dapat disebut sebagai homolog atau anggota dari seri
homolog karena mereka hanya dibedakan oleh tambahan berupa sekuen dari
-CH2- pada tempat tertentu di molekul. Penggunaan kata ”umum”
mengindikasikan rangka karbon yang sama dengan prazat biologisnya.
Terdapat beberapa macam penamaan terhadap sterana C27-C29 (Gambar III.10).
Pada sistem penamaan yang pertama, setiap sterana mempunyai nama yang
berbeda berdasarkan asal dari sterol umum dengan jumlah atom karbon yang
sama. Secara berurutan nama untuk C27 sampai dengan C29 adalah kolestana,
ergostana dan sitostana. Pada sistem penamaan lainnya, setiap sterana dinamakan
sebagai homolog dari kolestana yaitu kolestana, metilkolestana 24 dan
etilkolestana 24.

Gambar III.10 Struktur dari sterana C27-C30 yang berasal dari sterol. C27 adalah
kolestana, C28 adalah ergostana atau metilkolestana 24 , C29 adalah
sitostana atau etilkolestana 24, C30 adalah propilkolestana 24
(Waples dan Machihara 1991).

31
Struktur detail dari sterana yang baru terbentuk dan perintis sterolnya pada
umumnya dianggap identik kecuali adanya sejumlah kekurangan oksigen dan
proses hidrogenasi dari ikatan ganda. Pada keadaan tertentu, seluruh sterana yang
baru terbentuk dipercaya hanya hadir pada epimer 20R karena bentuk tersebut
hanya dihasilkan secara biologis.

Bukti terakhir, bagaimanapun juga, menyarankan bahwa perubahan stereokimia


terjadi pada C-14 dan C-17 selama proses diagenesis. Molekul yang terjadi pada
sterol memiliki atom hidrogen pada konfigurasi alfa di kedua posisinya. Bentuk
ini dikenal luas sebagai 5α(H),14α(H),17α(H) atau 14α(H),17α(H) atau secara
lebih sederhana disebut sebagai ααα atau αα. Walaupun sebagian besar proses
diagenesis yang menghasilkan sterana didominasi oleh bentuk αα akan tetapi
bentuk αββ atau ββ juga dapat dihasilkan selama proses diagenesis, seperti pada
lingkungan hipersalin.

Menurut Huang dan Meinschein (1979) dikutip dari Waples dan Machihara
(1991) bahwa proporsi relatif dari C27-C29 pada sterol biasa yang berasal dari
organisme hidup berhubungan dengan lingkungan tertentu sehingga sterana pada
sedimen kemungkinan menyediakan informasi lingkungan purba yang berharga
(Gambar III.11). Jumlah yang lebih besar dari sterol C29 mengindikasikan
kontribusi yang kuat dari darat sedangkan dominasi dari C27 mengindikasikan
kontribusi yang kuat dari fitoplankton laut. C28 memiliki jumlah yang pada
umumnya lebih rendah jika dibandingkan dengan kedua sterol lainnya, akan tetapi
jumlah yang relatif besar dari biasanya mengindikasikan kontribusi yang kuat dari
alga lakustrin.

32
lakustrin

estuarin
plankton laut darat
terbuka
terbuka
tumbuhan
tingkat
tinggi

Gambar III.11 Diagram segitiga yang menunjukkan ketergantungan lingkungan


dari komposisi sterol pada organisme. Diambil dari Waples dan
Machihara (1991).

Sterana bisa juga dipakai untuk menentukan kematangan suatu batuan induk yaitu
dengan menggunakan perbandingan antara dua bentuk epimer (20R dan 20S) dari
αα sterana, yang populer digunakan adalah 20S/(20R+20S) dengan bertambahnya
kematangan perbandingan 20S bertambah sebagai suatu dari perubahan
konfigurasi molekul 20R (Gambar III.12). Pada akhir kesetimbangan dua bentuk
tercapai, tersusun kira-kira 55% 20S dan 45% 20R.

Gambar III.12 Perubahan yang dapat dibalik dari epimer 20R dan 20S akibat
bertambahnya kematangan. Diambil dari Waples dan Machihara
(1991).

33
III.9 Isotop Karbon
Nilai isotop karbon diaplikasikan pada dua pembahasan utama dari geokimia
minyak yaitu sebagai indikator dari lingkungan pengendapan dan sebagai alat di
dalam korelasi minyak-minyak dan minyak-batuan induk. Nilai ini didapat dari
ekstrak batuan atau fraksi saturasi dan aromatik C15+ dari minyak. Korelasi positif
didapatkan jika fraksi yang sama dari minyak yang berbeda hanya dipisahkan oleh
nilai kurang dari 1 ‰. Komposisi isotopik dari minyak dapat berubah karena
kematangan dan kemungkinan efek migrasi dan karena ketidakseragaman organik
minor pada material sumber.

Menurut Sofer (1984) bahwa isotop karbon dapat digunakan untuk membedakan
antara minyak yang berasal dari lingkungan pengendapan laut dan minyak yang
berasal dari lingkungan pengendapan darat. Nilai tersebut disebut sebagai Cv yang
merupakan singkatan dari Canonical value, yang didapat dengan menggunakan
rumus perhitungan sebagai berikut:
Cv = 2.53 δ13 Csat + 2.22 δ13 Caro – 11.65
Nilai Cv lebih besar dari 0,47 mengindikasikan minyak yang didominasi oleh
sumber yang berasal dari material organik darat sedangkan nilai Cv lebih kecil
dari 0,47 mengindikasikan minyak yang didominasi oleh sumber yang berasal dari
material organik laut.

34

Anda mungkin juga menyukai