Anda di halaman 1dari 7

ANALISA DATA

Nama klien : Tn. S


No rekam medik : C6538956
Ruang rawat : Rajawali 3B
No. Data Masalah Etiologi
1. DS: Resiko Penyakit neurologis :
Tn. S mengatakan kepalanya pusing dan mual ketidakefektifan Stroke Non
DO: perfusi jaringan Hemoragik
- GCS E4M5V6 serebral
- Blood preasure : 160/90 mmHg
- Suhu : 36 oC
- HR : 89 x/menit
- RR : 20 x/menit
- SPO2 : 99 %
- Glukosa puasa : 90 mg/dL
- Glukosa PP 2 jam : 103 mg/dL
- Therapy amlodipine 5mg/24 jam PO
2. DS: Ketidakefektifan Sekresi yang tertahan
Tn. S mengatakan sesak nafas, batuk berdahak bersihan jalan nafas
DO:
- Blood preasure : 160/90 mmHg
- Suhu : 36 oC
- HR : 89 x/menit
- RR : 20 x/menit
- SPO2 : 99 %
- Leukosit : 9 10^3/uL
- CRT 2 detik
- Akral teraba hangat
- Memakai oksigen nasal 3 liter/menit
- Hasil rontgen thorax: gambaran
bronchopneumonia
- Tn. S tampak batuk
- Terdengar suara ronkhi dilapang paru
3. DS: Hambatan mobilitas: Gangguan
Tn. S mengeluh tangan dan kaki kanan terasa ditempat tidur neuromuskular
lemas, dapat digerakkan namun ketika diangkat
tidak mampu menahan tahanan .
DO:
- Tn. S mengalami kesemutan
- Blood preasure : 160/90 mmHg
- Suhu : 36 oC
- HR : 89 x/menit
- RR : 20 x/menit
- Skor kebutuhan ADL Tn. S = 30
(ketergantungan berat)
- Kekuatan motorik : 3 3 3 3│ 5 5 5 5
3 3 3 3│ 5 5 5 5
- Penilaian resiko jatuh: 60 (resiko tinggi)
- Skor NIHSS: 9 (defisit neurologis sedang)
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Nama klien : Tn. S
No rekam medik : C6538956
Ruang rawat : Rajawali 3B

Tanggal
No. Diagnosa Keperawatan Tanggal teratasi
Ditemukan
1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan 13 januari 2018
serebral b.d penyakit neurologis : Stroke
Non Hemoragik
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas 13 januari 2018
b.d sekresi yang tertahan
3. Hambatan mobilitas: ditempat tidur b.d 13 januari 2018
gangguan neuromuskular

PEMBAHASAN
Stroke Non Hemoragic (SNH) merupakan proses terjadinya iskemia akibat emboli
dan trombosis serebral biasanya terjadi setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di
pagi hari dan tidak terjadi perdarahan. Dengan demikian stroke non hemoragik didefinisikan
adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau
global) dengan gejala- gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih disebabkan oleh
perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan bukan oleh karena trauma
kapitis. Patologis ini menyebabkan perdarahan dari sebuah robekan yang terjadi pada dinding
pembuluh atau kerusakan sirkulasi serebral oleh oklusi parsial atau seluruh lumen pembuluh
darah dengan pengaruh yang bersifat sementara atau permanen (Arif Muttaqin, 2008).
Infark serebri adalah berkurangnya suplai darah ke daerah tertentu di otak. Luasnya
infark bergantung pada factor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan
adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang
tersumbat (Batticaca, 2008 : 57).
Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat). Pada gangguan lokal
(thrombus, emboli. Perdarahan dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum(hipoksia
karena gangguan paru dan jantung). Aterosklerosis sering kali merupakan faktor penting
untuk otak, thrombus dapat berasal dari plak aterosklerosis, atau darah dapat beku pada area
yang stenosis, tempat aliran darah akan lambat atau terjadi turbelensi. Thrombus dapat pecah
dari dinding pembuluh darah dan terbawa sebagai emboli dalam aliran darah. Trombus
mengakibatkan iskemia jaringan otak pada area yang disuplai oleh pembuluh darah yang
bersangkutan juga mengakibatkan edema dan kongesti disekitar area. Area edema ini dapat
menyebabkan disfungsi yang lebih besar dari area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang
dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya
edema klien menunjukan perbaikan (Mulyatsih, 2010).
Trombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada
pembuluh darah serebri oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti thrombosis.
Jika terjadi infeksi sepsis akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses.
Atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluih darah yang tersumbat
menyebabkan dilatasi aneurisme pecah atau rupture (Tarwoto, 2007).
Perdarahan pada otak lebih disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik dan hipertensi
pembuluh darah. Perdarahan intraserebri yang sangat luas akan menyebabkan kematian
dibanding dari keseluruhan penyakit serebrovaskular, karena perdarahan yang luas terjadi
destruksi masa otak, peningkatan tekanan intracranial yang lebih berat dapat menyebabkan
herniasi otak pada falks serebri atau lewat foramen magnum (Brunner & Suddarth, 2002)
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak dan perdarahan
batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak, hemisfer otak, dan perembesan
darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nucleus kaudatus,
thalamus dan pons (Muttaqin,2008)
Jika sirkulasi serebri terhambat, dapat berkembang anoksia serebri. Perubahan
disebabkan oleh anoreksia serebri dapat reversible untuk jangka waktu 4-6 menit. Perubahan
irreversible bila anoreksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebri dapat terjadi oleh karena
gangguan yang bervariasi satunya henti jantung. Selain kerusakan parenkim otak, akibat
volume perdarahan yang relative banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan perfusi
otak serta terganggunya drainase otak (Judha, 2011)
Tn. S dirawat di RSUP Dr. Kariadi karena satu hari sebelum masuk rumah sakit, Tn.S
mengeluh tangan dan kaki kanan terasa lemah, dapat digerakkan namun ketika diangkat
tidak mampu menahan tahanan disertai rasa kesemutan dan bicara pelo yang timbul
mendadak setelah pasien bangun tidur, kepala terasa nyeri, kepala pusing, pasien mual tapi
tidak muntah. Pada pengkajian tgl 13 Janauri 2018 pk 11.00 WIB didapatkan pengkajian
kebutuhan aktivitas dan latihan Tn. F dengan score 13, Tn. F juga mengatakan sesak nafas,
akral hangat. TTV Tn. F: blood preasure: 160/90 mmHg, suhu: 36 oC, HR : 89 x/menit, RR:
20 x/menit, SPO2: 99 %, CRT 2 detik. Tn. F tampak memakai oksigen nasal 3 liter/menit,
memakai kateter, dan hasil rontgen thorax Tn. F menggambarkan cardiomegaly (LV) disertai
dengan elongatio aorta juga terdapat bronchopneumonia. Pada ekstremitas atas Tn. F
pergerakannya normal namun agak terbatas karena pada tangan kanan Tn. F terpasang infus,
derajat kekuatan otot tangan kanan 3, tangan kiri 5. Begitu pula pada ekstremitas bawah
kanan sulit digerakkan sehingga pergerakannya pun terbatas.. Selama perawatan di ruang
rajawali 3b, Tn. F mendapatkan therapy Infus Ringer laktat 500 ml/8 jam, Inj Ranitidin 50
mg/ 8jam, Vit B1B6B12 1 tab/ 8jam (P.O), Aspilet 80 mg/24 jam (P.O) dan Amlodipin
5mg/ 24 jam (P.O).
Pengkajian yang telah dilakukan kepada Tn. F maka dirumuskan 3 diagnosa
keperawatan, yaitu: resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d penyakit neurologis :
Stroke Non Hemorrhagik, ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d sekresi yang tertahan,
serta hambatan mobilitas: ditempat tidur b.d gangguan neuromuscular.
Intervensi keperawatan yang kami lakukan pada diagnosa keperawatan resiko
ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d penyakit neurologis : Stroke Non Hemorrhagik
antara lain: memonitor tanda – tanda vital, memanajemen obat dengan memonitor efek
samping obat, memonitor Tekanan Intrakranial (TIK) dengan meletakkan kepala dan leher
pasien dalam posisi netral, hindari fleksi pinggang yang berlebihan untuk mengoptimalkan
perfusi serebral serta memonitor status neurologi dengan memonitor tingkat kesadaran Tn. F
juga menghindari kegiatan yang akan meningkatkan TIK.
Intervensi keperawatan ini didukung oleh jurnal dengan judul “Head Position in
Stroke Trial (HeadPoST)–sitting-up vs lying-flat positioning of patients with acute stroke:
study protocol for a cluster randomised controlled trial (Muñoz-Venturelli et al, 2015)”.
Menjelaskan bahwa memposisikan pasien yang berbaring datar pada fase akut stroke iskemik
dapat memperbaiki pemulihan dan penurunan cacat. Pada penelitian ini membandingkan efek
posisi kepala pada pasien stroke akut ketika berbaring datar (0 °) dengan posisi duduk.(≥ 30
°) dalam 24 jam pertama masuk rumah sakit.
Ketidakefektifan perfusi apabila tidak di tangani dengan segera akan meningkatkan
tekanan intrakranial. Sehingga penanganan utama pada pasien ini adalah meningkatkan status
O2 dan memposisikan pasien 15 - 30° ( Kusuma,2012). Ketidakstabilan status hemodinamika
pada pasien cedera kepala akan berpengaruh terhadap TIK, sehingga akan mempengaruhi
perubahan perfusi jaringan serebral. Kecepatan pemulihan perfusi jaringan serebral akan
berdampak terhadap pemulihan dan penyembuhan kondisi pasien. Memposisikan head up 15-
30 derajat sangat efektif menurunkan tekanan intrakranial tanpa menurunkan nilai CPP,
dengan kata lain posisi terebut tidak merubah dan mengganggu perfusi oksigen ke serebral.
Pada pasien serebral injury peningkatan tekanan darah sistolik secara tiba – tiba sangat
berbahaya oleh karenanya dapat melewati blood brain barrier terjadi edema serebral dengan
pemberian obat kepada klien ada beberapa macam, tetapi yang sering dilakukan yaitu
pemberian obat melalui intravena yang umunya dilakukan di ruang perawatan di rumah sakit.
Terapi intravena merupakan cara yang digunakan untuk memberikan cairan pada pasien yang
tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok. Terapi intravena bertujuan mencegah
gangguan cairan dan elektrolit (Potter dan Perry, 2006).
Prinsip penanganan awal pada klien dengan gangguan perfusi serebral yaitu perfusi
jaringan yang stabil dan adekuat, oksigenasi yang adekuat, mencegah hiperkapni dan
hipokapnimencegah hiperkalemi dan hipokalemi, serta mencegah iatrogenic. Meskipun
hubungan statistik antara tekanan arteri dan prognosis yang terbaik di nyatakan dengan
tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg pada manajement awal dan dan resusitasi. Selain itu,
meskipun tekanan sistolik paling mudah dan akurat di ukur, akan tetapi hal tersebut tidak
dapat memprediksi mean arterial pressure MAP dengan baik. (potter dan perry, 2012). Target
tekanan arteri sistemik berfariasi pada beberapa guideline. Brain Trauma foundation (BTF)
menyarankan agar menjaga agar tekanan darah sistolik pada batas normal (di atas ambang
sistolik hipotensi, yaitu lebih dari 90 mmHg) dan mencegah terjadinya hipotensi, serta
menyarankan MAP ≥ 90 mmHg. European Brain Injury Consortium ( EBIC ) menyatakan
target tekanan arteri sistemik ≥ 120 mmHg dan MAP ≥ 90 mmHg. Sedangkan Assosiation of
Anesthetists of Great Britain and Ireland menyarankan MAP ≥ 80 mmHg.
Intervensi keperawatan berdasarkan jurnal tersebut diatas untuk menangani diagnosa
perfusi serebal yaitu head up 30 derajat. Pengaruh Head up 15 -30 derajat pada kasus
ketidakefektifan perfusi jaringan serebral dengan mekanisme pertahanan dalam hal ini tubuh
harus bisa mempertahankan keseimbangannya, sedangkan mekanisme pertahanan itu sendiri
meliputi intracranial Compliance, intracranial elastance, monro-kellie hipotesis, cerebral
blood flow (CBF) dan cerebral perfusion pressure (CPP). Intracranial Compliance merupakan
kemampuan otak untuk mentoleransi peningkatan volume intrakranial tanpamenyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan. Intracranial elastance diartikan sebagai kemampuan otak
untuk mentoleransi dan mengkompensasi peningkatan tekanan melalui distensi atau
displacement. Cerebral blood flow (CBF)didefinisikan sebagai kemampuan mempertahankan
pengiriman oksigen kejaringan otak untuk mempertahankan perfusi serebral pada saat terjadi
perubahan tekanan darah melalui mekanisme autoregulasi (Suadoni, 2009).
Pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa posisi berbaring-datar untuk pasien
dengan stroke, baik dalam subtipe maupun subtipe pasien tertentu (yaitu oklusi pembuluh
serebral proksimal besar)menunjukkan peningkatan CBF pada TCD. Posisi ini banyak
diterapkan karena penggunaan yang sederhana, menggunakan tempat tidur nonmekanis. cara
Di mana pasien dengan stroke akut menjalankan perawatan di rumah sakit,penelitian ini juga
penting untuk menilai pneumonia. Pasien dalam posisi berbaring-datar versus duduk-
memiliki potensi memiliki dampak kesehatan yang signifikan pada penyakit mayor ini.
HeadPoST telah dirancang untuk menentukan khasiatnya dan keamanan intervensi
keperawatan sederhana pada pasien dengan stroke akut dalam pengelolaan pasien dalam 24
jam awal setelah stroke akut.
Intervensi keperawatan pada diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan
nafas b.d sekresi yang tertahan yang kami lakukan untuk perawatan Tn. F yaitu: memonitor
pernapasan, memonitor TTV, memberikan terapi oksigen, mencegah aspirasi dengan
mempertahankan kepatenan jalan napas, memposisikan kepala tegak lurus, sama dengan atau
lebih tinggi dari 30 – 90 derajat, menjaga kepala tempat tidur ditinggikan 30 sampai 45 menit
setelah pemberian makan serta memberikan makanan dalam jumlah sedikit saat menelan.
Pada intervensi keperawatan yang telah kami lakukan kepada Tn. F ini juga sejalan dengan
penelitian yang berjudul “Cluster-Randomized, Crossover Trial of Head Positioning in Acute
Stroke (Anderson, et al, 2017)”. Pada penelitian ini menjelaskan bahwa peran posisi telentang
dengan punggung horizontal dan wajah ke atas pada pasien stroke iskemik akut selama 24
jam, dapat memperbaiki aliran darah serebral dan menghambat resiko pneumonia dan
kejadian aspirasi. Dalam posisi kepala yang ditugaskan, kami memperkirakan bahwa 13%
pasien dengan iskemik akut posisi duduk dan 6% disilang dari duduk di posisi berbaring
datar. Meskipun korelasi intracluster lebih tinggi dari yang diharapkan (0,083), ini
dikompensasikan dengan tinggi korelasi pasien dari berbagai periode di Indonesia cluster
yang sama (yaitu, korelasi interperiod dari 0,076). Sesuai dengan intersluster yang dihitung
ini dan nilai korelasi interperiod dan asumsi kepatuhan terhadap randomisasi posisi,
percobaan diperkirakan telah dipertahankan 90% daya untuk mendeteksi rasio odds yang
umum 0,84. Waktu rata-rata dalam posisi kepala secara signifikan kurang di antara pasien
yang duduk (23,3 jam [kisaran interkuartil, 20,0 ke 24.0] vs. 24.0 jam [kisaran interkuartil,
23.0 ke 24,0], P <0,001), kelompok duduk untuk menghentikan waktunya secara premature
posisi dalam waktu 24 jam setelah inisiasi (13,0% vs 4.2%, P <0,001). Hasil penilaian skor
pada yang dimodifikasi Skala Rankin tidak bisa dilakukan pada 619 pasien (11,7%) pada
kelompok berbaring datar dan di 726 pasien (12,5%) pada kelompok duduk karena pasien
menolak untuk berpartisipasi.
Diagnosa keperawatan hambatan mobilitas: ditempat tidur b.d gangguan
neuromuscular telah kami lakukan intervensi keperawatn, diantaranya yaitu: perawatan tirah
baring dengan memasang pengaman tempat tidur, memonitor kondisi kullit, mendekatkan
barang-barang yang sering digunakan pasien juga menjaga kain linen kasur tetap bersih dan
kering tidak ada bekas kerutan. Intervensi keperawatan yang lainnya yaitu pengaturan posisi
dengan memposisikan pasien semifowler untuk mengurangi dipsnea, mendorong latihan
ROM aktif dan pasif juga mengubah posisi minimal 2 jam sekali. Selain itu kami juga
melakukan terapi latihan: pergerakan/mobilitas sendi dengan menentukan batas pergerakan
sendi dan efeknya terhadap fungsi sendi, melakukan latihan ROM pasif atau dengan bantuan,
sesuai indikasi dan membantu pasien untuk membuat jadwal latihan ROM aktif. Pencegahan
jatuh pada pasien juga kami berikan dengan mengkaji riwayat jatuh, mengkaji tingkat resiko
jatuh klien, meletakkan benda – benda dalam jangkauan yang mudah bagi pasien serta
menyediakan pencahayaan yang cukup untuk meningkatkan jarak pandang menjaga posisi
pengaman tempat tidur tetap terpasang saat pasien sendirian serta menyarankan melakukan
perubahan posisi secara perlahan – lahan. Kami juga melakukan intervensi latihan lateral
prehension grip yang sesuai dengan jurnal berjudul “Pengaruh Latihan Lateral Prehension
Grip Terhadap Peningkatan Luas Gerak Sendi (Lgs) Jari Tangan Pada Pasien Stroke Di Rsud
Dr. H Soewondo Kendal (A.Z.Victoria et al, 2014)”. Intervensi yang dilakukan diharapkan
dapat mempertahankan mobilitas sendi maksimum adalah latihan Lateral Prehension Grip,
yaitu latihan gerak yang dapat memelihara sendi agar tidak terjadi kontraktur. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh latihan Lateral Prehension Grip terhadap peningkatan
luas gerak sendi (LGS) jari tangan pada pasien stroke di RSUD Dr. H Soewondo Kendal.
Berdasarkan hasil peneitian ini dapat disimpulkan bahwa latihan Lateral Prehension Grip
berpengaruh dalam meningkatkan luas gerak sendi (LGS) jari tangan pada pasien stroke di
RSUD Dr. H Soewondo Kendal.

Anda mungkin juga menyukai