Anda di halaman 1dari 8

DASAR TEORI

Pengertian Anger Management

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), pengelolaan adalah suatu proses, cara, dan
perbuatan untuk mengendalikan, menyelenggarakan, mengurus dan mengatur. Sedangkan emosi dalam
Oxford English Dictionary didefinisikan sebagai “setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, dan
nafsu, atau setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap”. Goleman (1997) mengemukakan
emosi sebagai dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang ada. Akar kata
emosi adalah movere, kata kerja Bahasa Latin yang berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan
“e-“ untuk memberi arti “bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan
hal mutlak dalam emosi. Sejumlah teoritikus mengelompokkan emosi dalam beberapa golongan besar
(Goleman, 1997). Golongan-golongan emosi tersebut adalah amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan,
cinta, terkejut, dan malu. Yang tergolong dalam kelompok emosi marah adalah beringas, mengamuk,
benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, dan
yang paling hebat adalah tindak kekerasan dan kebencian patologis.

Menurut Tice (dalam Goleman 1997) amarah merupakan emosi negatif yang paling sulit dikendalikan.
Amarahlah yang paling menggoda diantara emosiemosi negatif yang lain. Berbeda dengan kesedihan,
amarah menimbulkan semangat, bahkan menggairahkan. Menurut Goleman (1997) pengelolaan emosi
adalah kemampuan untuk mengatur perasaan, menenangkan diri, melepaskan diri dari kecemasan,
kemurungan, atau ketersinggungan, dengan tujuan untuk keseimbangan emosi (keseimbangan antara
perasaan dan lingkungan). Alder (2001) menyebutkan bahwa pengelolaan emosi adalah suatu tindakan
yang menyebabkan seseorang mengatur emosi atau mengelola keadaan. Kemampuan ini meliputi
kecakapan untuk tetap tenang, menghilangkan kegelisahan, kesedihan atau sesuatu yang
menjengkelkan. Orang dengan pengelolaan emosi yang baik akan mampu mengenali perasaannya dan
mengatur penyaluran perasaan tersebut.

Pengelolaan emosi menurut teori yang dikembangkan oleh Freud (dalam Shapiro, 1999) adalah
pengelolaan terhadap dorongan-dorongan id. Pengelolaan dorongan-dorongan ini dilakukan melalui
pengembangan ego sebagai penengah antara id dan super ego. Ego akan berperan sebagi manajer emosi
dengan cara “membisikkan” alasan-alasan dan suatu gaya adaptif yang memungkinkan seseorang
mendapatkan apa yang diinginkannya dengan cara yang bisa diterima oleh orang lain, yang tidak akan
merugikan, baik dunia luar maupun aturan-aturan dan sanksi-sanksi yang ada dalam dunianya sendiri.

Dari definisi di atas, dapat disimpulkan pengelolaan emosi khususnya emosi marah (anger management)
adalah suatu tindakan untuk mengatur pikiran, perasaan, nafsu amarah dengan cara yang tepat dan
positif serta dapat diterima secara sosial, sehingga dapat mencegah sesuatu yang buruk atau merugikan
diri sendiri dan orang lain.

Tipe Marah
Ada dua model atau tipe marah yaitu marah kedalam atau implisit (anger in) yaitu rasa marah yang
diarahkan ke dalam diri sendiri yang mengakibatkan depresi dan kebencian yang ditahan. Dan yang
kedua amarah keluar atau eksplisit (anger out) yaitu rasa marah yang diarahkan kepada orang atau
benda lain yang merupakan pengekspresian dari perasaan benci dan permusuhan yang tertahan.
Pengekpresian amarah secara terbuka sering diikuti rasa bersalah atau menyesal dan kemudian bisa
menjadi alat mengontrol diri yang mengakibatkan pemendaman amarah dan kemudian mengubah
amarahnya menjadi ‘anger in’ yang sering mengakibatkan depresi.

Cara Mengekspresikan Marah

Cara-cara yang biasa digunakan orang dalam mengekspresikan marah adalah sebagai berikut:

1. Repression: Mengalami perasaan marah tetapi segera melupakan perasaan marahnya.

2. Displacement: Memiliki perasaan marah terhadap seseorang atau benda yang sebenarnya bukan
orang atau benda tersebut target dari amarahnya.

3. Controlling: Menahan dan mengendalikan secara emosional badai amarah yang sedang
berlangsung dalam dirinya.

4. Suppression: Mengalami perasaan marah tetapi dipendam, sehingga tidak ada pengekspresian
marah tersebut.

5. Quiet Crying: Penekanan perasaan marah dengan tanpa proses verbal atau fisik. Cara ini dapat
meredakan emosi amarah dan mengubahnya menjadi kesedihan dan perasaan sakit dalam diri orang
tersebut.

6. Assertive Confrontation: Suatu respon langsung yang tegas terhadap seseorang atau benda yang
membuat atau membangkit amarah.

7. Overreaction: Merusak atau menyakiti secara fisik suatu benda atau seseorang yang sebenarnya
benda atau orang tersebut bukan sasaran amarah yang sesungguhnya.

Aspek-Aspek Pengelolaan Emosi Marah

Ada beberapa aspek dari pengelolaan emosi marah, yaitu:

a. Mengenali emosi marah

Menurut Goleman (1997) mengenali emosi marah merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan
marah sewaktu perasaan marah itu muncul, sehingga seseorang tidak dikuasai oleh amarah. Seseorang
yang memiliki kemampuan dalam mengenali emosi marah dapat bereaksi secara tepat dan pada saat
yang tepat terhadap kemarahan yang muncul. Mengenali emosi marah dapat dilakukan dengan
mengenali tanda-tanda awal yang menyertai kemarahan, seperti: denyut nadi terasa kencang, jantung
berdetak keras, rahang terasa kaku, otot menjadi tegang, sekujur tubuh terasa panas, mengepalkan tinju,
berjalan cepat-cepat, gelisah, tidak bisa beristirahat atau duduk dengan tenang, berbicara dengan lebih
cepat atau keras, berpikir akan mengamuk atau balas dendam dan lain-lain. Selain itu, seseorang juga
dapat lebih peka mengenali emosi marah dengan cara mengenali situasi-situasi atau hal-hal apa saja
yang menjadi pemicu munculnya kemarahan (Hershorn, 2005).

Kurangnya kemampuan mengenali emosi marah, dapat menyebabkan individu tidak mampu untuk
mengendalikan emosinya serta bereaksi secara tidak sesuai dan berlebihan. Kekurangmampuan dalam
mengenali emosi marah juga berdampak pada kebingungan dalam mengenali secara pasti emosi yang
sedang dialaminya, sehingga seringkali bereaksi secara tidak tepat terhadap situasi emosional (Goleman,
1997).

b. Mengendalikan amarah

Seseorang yang dapat mengendalikan amarah tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh amarah. Dia dapat
mengatur emosinya dan menjaga keseimbangan emosi, sehingga emosi marah tidak berlebihan dan
tidak terjadi pada tingkat intensitas yang tinggi (Goleman, 1997). Kemarahan yang tidak terkendali dapat
menimbulkan perilaku-perilaku yang agresif baik secara verbal maupun non verbal. Hal ini tentunya
dapat merusak relasi dengan orang lain dan merugikan bagi diri sendiri.

c. Meredakan amarah

Merupakan suatu kemampuan untuk menenangkan diri sendiri setelah individu marah. Menurut Tice
(dalam Goleman, 1997) salah satu strategi efektif yang dilakukan individu secara umum untuk
meredakan kemarahan adalah pergi menyendiri. Alternatif lain adalah pergi berjalan-jalan cukup jauh
dari rumah, berlatih olahraga secara aktif, melakukan metode-metode relaksasi seperti menarik nafas
dalam-dalam dan pelemasan otot-otot. Relaksasi ini dapat merubah fisiologis tubuh dan gejolak
kemarahan yang tinggi menjadi keadaan yang lebih menyenangkan.

Seseorang akan mengalami kesulitan untuk meredakan amarahnya, jika pikirannya masih dipenuhi oleh
kemarahan. Pemikiran tentang rasa marah sekecil apapun dapat mencetuskan kembali perasaan marah
yang lebih besar. Untuk menghentikan pikiran marah, dapat ditempuh dengan cara mengalihkan
perhatian dari apa yang memicu amarah tersebut. Dalam surveinya mengenai strategi yang digunakan
orang untuk mengatasi amarah, Tice menemukan bahwa selingan dapat menghambat pikiran-pikiran
buruk yang menimbulkan amarah, yaitu dengan cara menonton film, membaca, mendengarkan musik
dan semacamnya. Tice juga menemukan bahwa menghibur diri sendiri dengan berbelanja untuk diri
sendiri dan makan tanpa alasan rasa lapar adalah bukan cara-cara yang efektif. Cara-cara ini terlalu
mudah untuk melanjutkan kejengkelan atau kemarahan yang ada di dalam pikiran.

d. Mengungkapkan amarah secara asertif

Orang yang asertif dapat mengungkapkan perasaan marahnya secara jujur dan tepat tanpa melukai
perasaan orang lain. Menurut Galassi (dalam Hartanti & Nanik 2003), orang yang asertif dapat membela
hak-hak pribadinya, mengekspresikan perasaan yang sebenarnya, menyatakan ketidaksenangan,
mengungkapkan pendapat pribadi, mengajukan permintaan dan tidak membiarkan orang lain
mengambil keuntungan dari dirinya. Pada saat yang bersamaan, ia juga mempertimbangkan perasaan
dan hak-hak orang lain.

Perilaku asertif tentunya sangat menguntungkan bagi diri sendiri dan juga tidak merugikan orang lain.
Dengan berperilaku asertif, seseorang dapat berkomunikasi dengan baik serta menjalin relasi yang sehat
dengan orang lain.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengelolaan Emosi Marah

Ada beberapa faktor yang diidentifikasi mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mengelola emosi
marah (Goleman, 1997), yaitu:

a. Keluarga

Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama untuk mempelajari emosi (Goleman, 1997). Oleh
karena itu, keluarga memiliki peran yang sangat penting. Di dalam keluarga, anak belajar bagaimana
merasakan perasaannya sendiri, bagaimana orang lain menanggapi perasaannya, bagaimana berpikir
tentang perasaannya dan pilihan-pilihan apa yang ia miliki untuk bereaksi, serta bagaimana
mengungkapkan perasaannya terhadap orang lain. Ada dua hal yang sangat berpengaruh bagi
pembelajaran emosi di tengah keluarga (Goleman, 1997), yaitu:

1. Keterampilan emosional yang dimiliki oleh orang tua Orang tua biasanya memiliki cara-cara
tertentu untuk menangani perasaan-perasaan yang mereka alami. Cara-cara ini biasanya dicontoh oleh
anak. Orang tua yang terampil secara emosional dapat memberikan contoh yang baik kepada anaknya
dalam menangani berbagai perasaan emosi. Mereka dapat mengajarkan kepada anaknya bagaimana
mengenali, mengelola, memanfaatkan perasaan-perasaan, berempati, dan menangani perasaan-
perasaan yang muncul dalam berbagai hubungan dengan orang lain. Tim dari University of Washington
(dalam Goleman, 1997) telah menemukan bahwa bila dibandingkan dengan orang tua yang tidak
terampil menangani perasaan, orang tua yang terampil secara emosional memiliki anak-anak yang
pergaulannya lebih baik dan memperlihatkan lebih banyak kasih sayang kepada orang tuanya, serta lebih
sedikit bentrok dengan orangtuanya. Selain itu, anak-anak ini juga lebih pintar menangani emosinya,
lebih efektif menenangkan diri pada saat marah dan tidak sering marah.

2. Gaya mendidik

Gaya mendidik orang tua juga sangat berpengaruh bagi pembelajaran emosi di dalam keluarga. Ada tiga
gaya mendidik anak yang secara emosional pada umumnya tidak efisien (Goleman, 1997), yaitu:

- Sama sekali mengabaikan perasaan

Orang tua semacam ini memperlakukan masalah emosional anaknya sebagai hal kecil atau gangguan,
sesuatu yang mereka tunggu-tunggu untuk dibentak. Mereka gagal memanfaatkan momen emosional
sebagi peluang untuk menjadi dekat dengan anak, atau untuk menolong anak memperoleh pelajaran-
pelajaran dalam keterampilan emosional.

- Terlalu membebaskan

Orang tua ini peka akan perasaan anak, tetapi berpendapat bahwa apa pun yang dilakukan anak untuk
menangani badai emosinya sendiri itu baik adanya, bahkan misalnya dengan cara memukul. Seperti
orang tua yang mengabaikan perasaan anaknya, orang tua jenis ini jarang berusaha memperlihatkan
kepada anaknya respons-respons emosional alternatif. Mereka mencoba menenangkan semua
kekecewaan dan menggunakan tawar menawar serta suap agar anak berhenti bersedih hati atau marah.

- Menghina, tidak menunjukkan penghargaan terhadap perasaan anak

Orang tua semacam ini biasanya suka mencela, mengecam, dan menghukum keras anak mereka.
Misalnya, mereka mencegah setiap ungkapan kemarahan anak dan menjadi kejam bila melihat tanda
kemarahan paling kecil sekalipun. Mereka adalah orang tua yang akan berteriak dengan marah pada
anak yang mencoba menyampaikan alasannya, “Jangan membantah!”. Dalam bukunya, Goleman tidak
menyebutkan gaya mendidik seperti apa yang efektif bagi pembelajaran emosi di dalam keluarga.

b. Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial mencakup lingkungan sekolah, yaitu pendidikan yang mereka dapat di sekolah,
hubungan dengan teman-temannya, serta bagaimana sikap pengajar. Lingkungan sosial, terutama teman
sebaya (peers group) merupakan kumpulan orang-orang lain yang cukup berpengaruh terhadap
perkembangan emosi anak. Jadi secara tidak langsung lingkungan sosial juga membantu anak untuk
mencapai kematangan emosi. Selain faktor-faktor di atas (keluarga dan lingkungan sosial), pelatihan
anger management juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan seseorang dalam
mengelola amarah. Berdasarkan penelitian sebelumnya, pelatihan anger management yang diberikan
terhadap anak-anak remaja dapat mengurangi tindakan kekerasan dan emosi marah yang berlebihan
(Kellner dan Bry, 1999).

Teknik Pengelolaan Emosi Marah

Adapun teknik-teknik yang sering digunakan untuk mengelola emosi marah adalah C.A.R.E. dalam
bukunya Hershorn menjelaskan keempat langkah tersebut sebagai berikut:

a. Commitment to Change (komitmen untuk mengubah diri)

Langkah pertama dalam mengelola kemarahan adalah komitmen untuk berubah. Individu yang
bermasalah dalam hal mengelola kemarahan haruslah mempunyai sebuah komitmen yang kuat untuk
mengubah dirinya. Dengan adanya komitmen yang kuat, individu akan semakin termotivasi untuk belajar
mengelola emosi marah dan menerapkan teknik-tekniknya dalam kehidupan nyata.

b. Awareness of Your Early Warning Signs (kesadaran akan pertanda kemarahan)


Setiap orang memegang kendali pada saat bertindak atas dasar kemarahan. Tidak ada orang yang
“meledak” atau “membentak” begitu saja, setiap amarah pasti memiliki tanda-tanda peringatan awal.
Tanda-tanda itu bisa bersifat fisiologis, tingkah laku, dan kognitif. Dengan belajar mengenali tanda-tanda
peringatan awal kemarahan, seseorang bisa lebih sungguh-sungguh memegang kendali atas tindakan
kemarahannya. Tanda-tanda peringatan awal kemarahan meliputi tiga macam pertanda yaitu:

§ Fisiologis

Pertanda fisiologis yang sering muncul antara lain: merasa wajah menjadi panas memerah, aliran darah
yang cepat di urat nadi, jantung berdebar-debar, napas menjadi lebih cepat, pendek atau tidak stabil,
badan terasa panas atau dingin, leher terasa nyeri, rahang menjadi kaku, otot mengeras dan tegang.

§ Tingkah laku

Pertanda tingkah laku meliputi: mengepalkan tinju, gigi menggerutuk, berjalan mondar-mandir dalam
ruangan, tidak bisa tetap duduk atau berdiri, berbicara dengan lebih cepat.

§ Kognitif

Pertanda kognitif mencakup pikiran-pikiran seperti: dia melakukan itu kepadaku karena dengki, dia
melakukan itu dengan sengaja, aku tidak bisa percaya dia melakukan hal itu, tidak ada orang yang bicara
kepadaku seperti itu, aku akan menunjukkan kepada dia, hal ini tidak bisa diterima.

c. Relaxation (relaksasi)

Relaksasi dan kemarahan merupakan reaksi yang saling berlawanan. Keduanya melibatkan gelombang
otak dan reaksi tubuh yang berbeda, sehingga tidak mungkin terjadi bersamaan. Relaksasi merupakan
alat bantu yang ampuh untuk mengurangi stres secara umum, mengurangi kemarahan ketika tanda-
tanda peringatan awal kemarahan muncul, dan membantu mereka yang mengalami kesulitan tidur.
Dengan melakukan relaksasi setiap hari, setiap individu dapat memperoleh manfaatnya. Ada beberapa
bentuk relaksasi, yaitu: relaksasi otot, indera, dan kognitif. Relaksasi otot merupakan relaksasi yang
disarankan untuk pemula karena relaksasi ini paling mudah untuk dilakukan.

Emosi, pikiran, dan tingkah laku merupakan tiga hal yang saling mempengaruhi. Siklus perasaan, pikiran
dan tindakan saling mendorong dan memperkuat dirinya sendiri. Semakin seseorang memikirkan
tentang kemarahannya semakin ia menjadi marah. Hal ini membawanya bertindak atas dasar
kemarahannya tersebut. Konsep ini tampak seperti pada gambar berikut:

Setiap individu bisa memotong siklus di atas. Masing-masing individu memiliki kendali atas pikiran dan
tindakannya. Dengan mengubah pikiran dan tindakan, seseorang bisa mengurangi kemarahannya.
Relaksasi merupakan suatu cara yang dapat digunakan untuk memecahkan siklus kemarahan dengan
mengintervensi pada tingkat tingkah laku.

d. Exercising Self Control with Time Outs (latihan kontrol diri dengan waktu jeda)
Ketika individu mulai menyadari akan tanda peringatan awal kemarahan, sebaiknya individu tersebut
segera mengambil waktu jeda. Waktu jeda adalah waktu dimana individu menjauhi situasi atau orang
yang memprovokasi kemarahan. Waktu jeda berguna untuk menenangkan diri sehingga individu dapat
menangani kemarahan dengan cara yang lebih konstruktif. Selama waktu jeda, sebaiknya individu
terlibat dalam suatu kegiatan yang bersifat berlawanan dengan kemarahan, yaitu relaksasi. Ada banyak
kegiatan yang merelakskan, seperti berjalan kaki, berlari, olah raga, mendengarkan musik, menelpon
teman, mandi, bermain sepatu roda atau pergi ke toko buku. Selama waktu jeda janganlah terlibat
dengan hal-hal yang agresif, seperti memukul bantalan latihan tinju atau mengendarai mobil dengan
cepat, karena hal itu dapat mempertahankan asosiasi perasaan marah dengan bertindak atas marah itu.
Jika individu sudah merasa tenang, maka individu tersebut dapat kembali ke situasi atau orang yang
sebelumnya membawanya ke perasaan marah dan membicarakannya dengan baik. Dengan cara ini,
orang tersebut tidak merasa dihindari atau diabaikan dengan teknik waktu jeda. Jika individu merasakan
adanya tandatanda peringatan marah lagi, maka individu dapat mengambil waktu jeda lagi.

Selain itu ada juga terapy yang dapat digunakan sebagai salah satu teknik untuk mengelola emosi
seseorang, yaitu:

Cognitive Therapy

Terapi kognitif adalah pendekatan pemberian bantuan yang bertujuan mengubah suasana hati (mood)
dan perilaku dengan mempengaruhi pola berpikirnya. Bentuk dari terapi kognitif berupa catatan harian
pemikiran disfungsional. Pada dasarnya terapi kognitif bertujuan untuk:

ü Mengenali kejadian yang menyebabkan reaksi yang berupa amarah.

ü Mengenali dan memonitor distorsi-distorsi kognitif yang muncul dalam suatu peristiwa atau kejadian.
Kemudian berusaha mencari kebenarannya, yaitu dengan cara mencari hubungan antara kognisi dan
afeksi.

ü Mengubah cara berpikir dalam menginterpretasi dan mengevaluasi suatu kejadian dengan cara-cara
yang lebih sehat.

Distorsi kognitif bersifat otomatis dan tidak disadari, maka dalam terapi kognitif seseorang diajak untuk
mengevaluasi kembali cara berpikirnya dalam menginterpretasi dan mengevaluasi suatu kejadian. Jadi
seseorang dilatih untuk mengenali dan menguji apakah cara berpikirnya terhadap suatu kejadian benar
dan realistis. Ada beberapa bentuk distorsi kognitif yang biasanya dialami oleh individu, yaitu:

ü Over generalization (terlalu menggeneralisasi)

Mengambil kesimpulan umum dari satu atau sedikit kejadian. Kesimpulan ini kemudian diterapkan
secara luas pada kondisi yang sama atau tidak sama. Contoh: seorang suami yang memanggil istrinya
untuk membawakan obat dari lantai bawah ke lantai atas tetapi tidak dijawab. Lalu ia mengambil
kesimpulan bahwa istrinya tidak mempedulikan dia lagi.

ü Pembesaran (magnification)
Melebih-lebihkan arti atau pentingnya sesuatu hal. Biasanya terjadi bila melihat kesalahan diri sendiri
atau kesalahan orang lain. Contoh: suatu kali ada seseorang yang melupakan janjinya, lalu temannya
menganggap bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan besar yang tidak dapat dimaafkan.

ü In Exact Labeling (memberi cap secara keliru)

Memberi cap pribadi atau menciptakan suatu gambaran diri yang negatif dan didasarkan pada kesalahan
diri sendiri. Ini merupakan suatu bentuk ekstrem dari overgeneralisasi.

ü Pernyataan Harus

Mencoba menggerakkan diri sendiri atau orang lain dengan pernyataan “harus” serta “seharusnya tidak”,
seolah-olah diri sendiri atau orang lain harus bertindak sesuai daftar aturan yang tidak fleksibel.

Assertivity

Asertivitas adalah perilaku interpersonal yang mengandung pengungkapan pikiran dan perasaan secara
jujur dan relatif langsung yang dilakukan dengan mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang
lain. Seseorang dapat dikatakan berperilaku asertif jika ia mempertahankan dirinya sendiri,
mengekspresikan perasaan yang sebenarnya, dan tidak membiarkan orang lain mengambil keuntungan
dari dirinya. Pada saat yang bersamaan, ia juga mempertimbangkan bagaimana perasaan orang lain.
Keuntungan berperilaku asertif, yaitu mendapatkan apa yang diinginkan dan biasanya tanpa membuat
orang lain marah.

Anda mungkin juga menyukai