Anda di halaman 1dari 18

BAB I

KONSEP PEMBANGUNAN PERTAMBANGAN BERKELANJUTAN BERWAWASAN


LINGKUNGAN

Pertambangan sangat berpengaruh pada lingkungan alam dan komunitas lokal.


Keuntungan secara ekonomi biasanya akan datang seiring dengan biaya untuk
kepeningan lokal dan biaya lingkungan di sekitar area pertambangan. Keseimbangan
ekonomi, lingkungan dan sosial menjadi pokok pembicaraan dalam pembangunan
berkelanjutan di pertambangan. Para ahli tertarik di bidang ini karena banyak aktivitas
pertambangan yang tidak berkelanjutan dan membuat kerusakan secara sosial maupun
lingkungan, pandangan tentang kelanjutan dan pembangunan berkelanjutan dalam
hubungannya dengan pertambangan. Dimulai dengan aspek dan dimensi kelanjutan dan
pembangunan berkelanjutan secara umum, kemudian bagaimana konsep tersebut
diterapkan dalam pertambangan. Pada dasarnya tujuan Pembangunan Berkelanjutan
adalah untuk menciptakan keseimbangan diantara dimensi pembangunan, seperti
ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pada bidang industri pertambangan pastinya sangat
berkaitan erat dan atau berpangku tangan agar menjalankan konsep pembangunan
berkelanjutan ini. Selanjutnya, proses produksi industri tambang yang menjalankan
konsep pembangunan berkelanjutan tersebut yakni harus melakukan ekologi industri.
Ekologi Industri adalah suatu sistem yang digunakan untuk mengelola aliran energi
atau material sehingga diperoleh efisiensi yang tinggi dan menghasilkan sedikit polusi.
Tujuan utamanya adalah untuk mengorganisasi sistem industri sehingga diperoleh suatu
jenis operasi yang ramah lingkungan dan berkesinambungan. Strategi untuk
mengimplementasikan konsep ekologi industri ada empat elemen utama yaitu :
mengoptimasi penggunaan sumber daya yang ada, membuat suatu siklus material yang
tertutup dan meminimalkan emisi, proses dematerialisasi dan pengurangan dan
penghilangan ketergantungan pada sumber energi yang tidak terbarukan.
Industri pertambangan yang menjalankan konsep Pembangunan Berkelanjutan
harus menjamin adanya pemerataan untuk generasi sekarang dan yang akan datang,
berupa pemerataan distribusi sumber lahan, faktor produksi dan ekonomi yang
berkeseimbangan yang berupa kesejahteraan semua lapisan masyarakat.

Konsep pembangunan berkelanjutan juga menggunakan pendekatan integratif yakni


keanekaragaman hayati adalah prasyarat untuk memastikan bahwa sumber daya alam
selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan yang akan datang .
Pemeliharaan keanekaragaman budaya akan mendorong perlakuan merata terhadap
setiap orang dan membuat pengetahuan terhadap tradisi berbagai masyarakat dapat
lebih dimengerti oleh masyarakat
1.1 SEJARAH DAN KONSEP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Pembangunan berkelanjutan atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan
sustainable development pertama kali diperkenalkan pada tahun 1972 pada Konferensi
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lingkungan Hidup Manusia di Stockholm,
Swedia. Pada konferensi tersebut, dunia menyadari sepenuhnya bahwa perkembangan
pesat populasi manusia harus bertahan dalam keterbatasan sumberdaya. Tanpa ada
pengelolaan yang baik, sumberdaya seperti makanan, energi dan air dapat habis, yang
pada akhirnya akan mengarah ke krisis global. Pelaksanaan konferensi ini telah memicu
pembentukan lembaga-lembaga perlindungan lingkungan, dan yang terpenting adalah
terlibatnya para politisi, institusi pemerintah dan organisasi-organisasi internasional
sebagai kekuatan di belakang pergerakan tersebut. Selanjutnya, International Union for
the Conservation of Natural Resources (IUCN) menerbitkan Strategi Konservasi Dunia
(World Conservation Strategy/WCS) pada tahun 1980 yang merupakan cikal bakal konsep
pembangunan berkelanjutan.
Pada tahun 1983, World Commission on Environment and Development (WCED)
berdiri, dan setahun kemudian disahkan menjadi badan independen oleh Majelis Umum
PBB dengan tugas merumuskan Agenda Global untuk Perubahan (A Global Agenda for
Change). Melalui laporannya “our common future” atau lebih dikenal dengan Laporan
Brundtland (Brundtland Report) yang dirilis tahun 1987, WCED merumuskan defenisi
pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa
kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan
mereka sendiri" (development which meets the needs of the present without compromising
the ability of future generations to meet their own needs). Definisi ini kemudian dikenal
sebagai definisi klasik yang diterima secara luas oleh dunia. Melalui laporan ini juga,
WCED menegaskan bahwa lingkungan dan pembangunan adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain: lingkungan adalah tempat di mana kita semua hidup; dan
pembangunan adalah apa yang kita semua lakukan dalam upaya untuk memperbaiki
nasib kita di dalam tempat tinggal kita itu.
Konferensi internasional pertama yang mengusung tema pembangunan
berkelanjutan digelar oleh PBB di Rio de Janeiro, Brazil pada Juni 1992 tentang Ekonomi
dan Pembangunan/ UN Conference on Environment and Development (UNCED). Secara
spesifik, konferensi ini mengadopsi agenda lingkungan dan pembangunan di abad ke-21
atau yang dikenal dengan nama Agenda 21. Agenda 21 merupakan sebuah program aksi
untuk pembangunan berkelanjutan yang berisi Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan
Pembangunan. Deklarasi ini secara tegas mengakui hak setiap bangsa untuk mengejar
kemajuan sosial dan ekonomi dan memberi tanggung jawab kepada negara-negara untuk
mengadopsi model pembangunan berkelanjutan. UNCED untuk pertama kalinya
memobilisasi Kelompok-kelompok Utama (Major Groups) dan melegitimasi partisipasi
mereka dalam proses pembangunan berkelanjutan. Para pemimpin negara di dunia
kemudian secara tegas dan luas mengakui pentingnya perubahan mendasar dalam pola-
pola konsumsi dan produksi dalam upaya pencapaian pembangunan berkelanjutan.
Agenda 21 lebih lanjut menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan melingkupi
integrasi pilar-pilar ekonomi, sosial dan lingkungan (Gambar 1). Sepuluh tahun setelah
Deklarasi Rio, the World Summit on Sustainable Development (WSSD) diselenggarakan
di Johannesburg, Afrika Selatan untuk memperbaharui komitmen global terhadap
pembangunan berkelanjutan. Kesepakatan konferensi dituangkan dalam Johannesburg
Plan of Implementation (JPOI), serta menugaskan Commission on Sustainable Development
(CSD) untuk menindaklanjuti penerapan pembangunan berkelanjutan.

Gambar 1.1. Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan dalam Agenda 21


Perkembangan pembangunan berkelanjutan kontemporer ditandai oleh
pelaksanaan United Nations Conference on Sustainable Development (UNCSD) atau yang
dikenal dengan Rio+20 sebagai konferensi internasional ketiga. Sesuai namanya, Rio+20
dilaksanakan di Rio de Janeiro pada tahun 2012, dan memiliki tiga tujuan yaitu
mengamankan pembaruan komitmen politik untuk pembangunan berkelanjutan, menilai
kemajuan dan kesenjangan implementasi dalam memehuni komitmen sebelumnya, serta
membahas tantangan-tantangan baru yang muncul dalam implementasi pembangunan
berkelanjutan. Secara umum, hasil-hasil pertemuan Rio+20 dituangkan dalam sebuah
dokumen yang diberi judul “The Future We Want” yang diantaranya berisi tentang
pengakuan bahwa perubahan mendasar terhadap pola konsumsi dan produksi
masyarakat sangat diperlukan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan global.
1.2 KONSEP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA INDUSTRI PERTAMBANGAN
Ada dua masalah yang paling umum ditanyakan dalam diskusi mengenai
konsep berkelanjutan pada sektor pertambangan. Pertanyaan pertama adalah
Bagaimana menerapkan konsep berkelanjutan pada kegiatan pertambangan yang pasti
suatu saat akan berhenti karena sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui? Adalah hal
yang sudah umum diketahui bahwa cadangan, baik mineral dan batubara, betapapun
banyaknya, suatu saat akan habis ditambang mengingat sifatnya yang tidak dapat
diperbaharui (non renewable resources). Bahkan umur proyek yang tidak lebih dari 10
tahun sering ditemui pada tambang-tambang skala menengah dan kecil dengan volume
cadangan yang sangat terbatas.
Pertanyaan kedua adalah Bagaimana menerapkan konsep berkelanjutan pada
kegiatan yang sifatnya melawan ciri pembangunan berkelanjutan? Dalam prakteknya,
kegiatan pertambangan secara alami berlawanan dengan apa yang diperjuangkan oleh
praktisi pembangunan berkelanjutan di mana kegiatan utamanya adalah memindahkan
dan mengambil tanpa mengganti, dan aktivitasnya berdampak besar pada lingkungan
setempat, belum lagi dampak-dampak yang mungkin ditimbulkan terhadap masyarakat
di sekitar tambang (The Guardian, 2012).Tema berkelanjutan dalam industri
pertambangan merupakan turunan dari konsep pembangunan berkelanjutan yang
secara kontemporer terus dikampanyekan di berbagai sektor. Khusus pada bidang
pertambangan, konsep berkelanjutan memiliki posisi yang unik karena barang tambang
bukanlah sumberdaya yang dapat diperbaharui. Sekali cadangan habis ditambang, maka
selesailah kegiatan pertambangan tersebut. Tidak peduli betapa menguntungkan ia pada
awalnya dan betapa banyak orang yang menggantungkan hidup darinya, tambang harus
tetap ditutup. Sekali berarti, sesudah itu mati.
Belajar dari pengalaman, industri pertambangan menyadari sepenuhnya
bahwa masa depan sektor ini sangat ditentukan oleh pencapaian pembangunan
berkelanjutan mereka sendiri. Oleh karena itu, setiap aktifitas pertambangan harus
memenuhi harapan social dan harus berbagi tanggung jawab dengan pemerintah dan
para pemangku kepentingan. Hal yang sangat penting adalah proses ini harus mulai
dilakukan sejak masa-masa awal kegiatan pertambangan, bahkan sejak pembangunan
tambang mulai direncanakan. Dengan cara ini, pihak perusahaan akan memenangkan
izin sosial untuk beroperasi dari masyarakat.International Institute for Sustainable
Development (IISD) dan World Business Council for Sustainable Development (WBCSD),
melalui laporan final proyek Mining, Mineral and Sustainable Development (MMSD) yang
dirilis tahun 2002, merancang sebuah kerangka kerja pembangunan berkelanjutan pada
sektor mineral. Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud penerapan
konsep pembangunan berkelanjutan pada industri pertambangan bukanlah upaya
membuat satu tambang baru untuk mengganti tambang lain yang sudah ditutup, tetapi
melihat sektor pertambangan secara keseluruhan dalam memberikan kontribusi pada
kesejahteraan manusia saat ini tanpa mengurangi potensi bagi generasi mendatang
untuk melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, pendekatan pertambangan
berkelanjutan harus komperhensif dan berwawasan ke depan. Komperhensif yang
dimaksud adalah menimbang secara keseluruhan sistem pertambangan mulai dari tahap
eksplorasi hingga penutupan tambang, termasuk distribusi produk dan hasil-hasil
tambang, sedangkan berwawasan ke depan adalah menetapkan tujuan-tujuan jangka
pendek dan jangka panjang secara konsisten dan bersama-sama.Selanjutnya, JPOI
mengindentifikasi tiga bidang prioritas untuk memaksimalkan potensi keberlanjutan di
sektor pertambangan, yaitu:
1. Menganalisa dampak dan keuntungan sosial, kesehatan, ekonomi dan lingkungan
sepanjang siklus kegiatan pertambangan, termasuk kesehatan dan keselamatan
pekerja;
2. Meningkatkan partisipasi para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat
dan lokal serta kaum perempuan;
3. Menumbuhkan praktek-praktek pertambangan berkelanjutan melalui penyediaan
dukungan teknis, pembangunan kapasitas dan keuangan, kepada negara
berkembang dan miskin.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa konsep keberlanjutan dalam
pertambangan tidak berarti kegiatan tersebut harus dilakukan terus menerus, begitu
pula jika diasumsikan secara sederhana dengan membuat tambang baru untuk
melanjutkan tambang lain yang sudah ditutup. Konsep keberlanjutan dalam industri ini
diarahkan pada upaya untuk memaksimalkan manfaat pembangunan pertambangan dan
pada saat yang sama mampu meningkatkan keberlanjutan lingkungan dan sosial. Artinya,
konsep keberlanjutan pada sektor ekstraksi mineral dan batubara ditekankan pada
optimalisasi dampak-dampak positif yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut dengan
menitikberatkan pada akulturasi pilar-pilar ekonomi, sosial dan lingkungan (the triple
bottom-line).Meski begitu, dalam kenyataannya implementasi praktek-praktek
pertambangan berkelanjutan tetap harus dilihat secara utuh dan terintegrasi. Australian
Centre for Sustainable Mining Practices berpendapat bahwa konsep the triple bottom-line
gagal mempertimbangkan dua unsur teknis yang sangat penting dan tidak terpisahkan
dalam operasi pertambangan berkelanjutan, yang pertama keselamatan (safety) dan
yang kedua efisiensi sumberdaya (efficiency resources). Integrasi dua area penting ini
merupakan masukan berharga dan dapat dianggap sebagai pengembangan dari konsep
yang telah dibangun oleh MMSD.
Gambar1. 2. Praktek-praktek Pertambangan Berkelanjutan
(Laurence, 2011, dalam ACSMP, 2011)
Demikianlah, selain berkewajiban mengamankan pasokan material dalam
rangka pemenuhan kebutuhan pertumbuhan di masa depan, kegiatan pertambangan
juga harus dilakukan secara ekonomis, ramah lingkungan, bertanggung jawab secara
sosial dan dengan cara-cara yang aman dan efisien. Oleh karena itu, pengembangan
prinsip pengelolaan pertambangan yang berkelanjutan adalah misi yang sangat penting,
saat ini dan di masa yang akan datang.

1.2.1 PERAN DAN FUNGSI BERBAGAI PIHAK DALAM PEMBANGUNAN


BERKELANJUTAN
A. Peran Pemerintah
Bagi pembuat kebijakan dalam hal ini adalah pemerintah beberapa hal yang wajib
menjadi perhatiannya antara lain adalah pembangunan masyarakat dan daerah dapat
berjalan baik, pembangunan dapat berkelanjutan, menekan agar pelaku bisnis taat
terhadap aturan, melaksanakan kegiatan berpedoman pada azas konservasi bahan galian
agar dapat meningkatkan nilai tambah dan menekan terjadinya kecelakaan serta
pentingnya melaksanakan perlindungan terhadap lingkungan. Peran birokrat (pembuat
kebijakan) pada hakekatnya adalah membuat kebijakan yang tepat dan kondusif,
menjamin keamanan, menjamin kepastian hukum menjadi fasilitator yang baik serta
membuat pedoman terhadap pelaksanaan kegiatan. Pemerintah berperan penting dalam
mengatur bagaimana menyeimbangkan lingkungan, ekonomi, sosial budaya dari
berbagai bentuk pembangunan menerus dan berkelanjutan . Tanpa peran pemerintah ini
maka tidak mungkin tujuan pembangunan menerus dan berkelanjutan bisa tercapai.Oleh
karena itu dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup, maka pemerintah berkewajiban
untuk :
1. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan
tanggung jawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
2. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran akan
hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.
3. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran antara
masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup.
4. Mengembangkan dan menerapkan kebijakan nasional pengelolaan lingkungan hidup
yang menjamin terpeliharanya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
5. Mengembangkan dan menerapkan perangkat yang bersifat preventif dan proaktif
dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup.
B. Peran Stakeholder
Undang-Undang No.4 Tahun 2009 ini menjadi landasan bagi seluruh aktivitas
pertambangan untuk dioperasionalkan dengan baik dan benar sesuai hukum yang
berlaku. Baik dan benar dari dua persfektif yakni dari Pelaku Bisnis dan Pemerintah.
Dalam praktik pertambangan yang baik harus sinkron antara kepentingan pembuat
regulasi dan kepentingan pemegang izin usaha pertambangan (IUP). Pemerintah harus
mampu memberikan kepastian dan kejelasan mengenai peraturan dan kebijakan
pertambangan pada satu sisi, sementara pemegang izin usaha pertambangan (IUP) harus
mentaati peraturan dan kebijakan yang berlaku di tempat tersebut pada sisi yang lain.
Dalam rangka pengelolaan pertambangan yang baik dan benar ini, maka terdapat dua
unsur utama yang melaksanakannya, yaitu pelaku bisnis dan pembuat kebijakan. Agar
tercapai maksud pengelolaan tersebut diatas, maka pelaku bisnis dalam mengelola
pertambangan haruslah melaksanakannya dengan baik dengan selalu memperhatikan
beberapa hal antara lain: efisiensi, keuntungan yang wajar, resiko yang rendah,
kepedulian terhadap lingkungan dan kepedulian terhadap masyarakat.Untuk mencapai
peningkatan yang berkelanjutan, adalah penting bagi perusahaan untuk mengelola dan
mengendalikan resiko keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan dan kualitas.
C. Peran Masyarakat
Aktivitas masyarakat sendiri menjadi salah satu faktor yang signifikan yang
mempengaruhi keberlangsungan hidup suatu ekosistem. Oleh karena itu sering
dikatakan bahwa manusia (penduduk) memiliki fungsi ganda. Di satu sisi, sebagai
pendukung / pendorong pembangunan (dalam artian insan lingkungan) yang bertindak
memperhatikan lingkungan dan keberlangsungan hidupnya, dan di lain sisi, manusia
ialah beban dari pembangunan itu sendiri. Artinya, jumlah penduduk yang besar semakin
membebani pembangunan khususnya pembangunan lingkungan hidup. Untuk mengatasi
hal tersebut diperlukan upaya – upaya pemberdayaan yang berbasis pada masyarakat di
suatu daerah secara sistematis dan terencana dengan baik dalam rangka meningkatkan
kemandirian dan kemitraan di dalam masyarakat itu sendiri; menumbuhkembangkan
kemampuan dalam lingkungan masyarakat di sekitar; meningkatkan daya tanggap
masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial terhadap lingkungan mereka; dan
memberikan kontribusi saran dan pendapat juga informasi lingkungan yang bermanfaat
bagi kelestarian lingkungan hidup setempat.Pentingnya keterlibatan masyarakat bukan
sekadar objek, melainkan sekaligus subjek dalam mencapai kelestarian lingkungan
hidup. Artinya, masyarakat berhak untuk berperanserta dan ambil bagian dalam
pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana tercermin dalam UU Nomor 32 Tahun 2009
tentang Lingkungan.
Keterlibatan masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup sejalan dengan
pendekatan dalam pembangunan dengan pendekatan pembangunan yang berpusat pada
manusia (people-centered development). Pendekatan ini telah mengundang kebangkitan
kembali dengan semangat baru yang lebih bersifat partisan pembangunan masyarakat.
Pendekatan pembangunan seperti ini merupakan suatu elemen dasar dari suatu strategi
pembangunan yang lebih luas, bertujuan untuk mencapai suatu transformasi
berdasarkan nilai-nilai yang berpusat pada manusia dan potensi-potensi yang
ditawarkan oleh teknologi maju berdasarkan informasi. Pembangunan yang berpusat
pada manusia, memandang manusia sebagai warga masyarakat, sebagai fokus utama
maupun sumber utama pembangunan, dan nampaknya dapat dipandang sebagai suatu
strategi alternatif pembangunan masyarakat yang menjamin komplementaritas dengan
pembangunan bidang-bidang lain, khususnya bidang ekonomi.
Paradigma ini memberikan peranan kepada individu bukan sebagai obyek tetapi
sebagai subyek yang menentukan tujuan yang hendak dicapai, menguasai sumber –
sumber, mengarahkan proses yang menentukan hidup dan perilaku mereka
(Tjokrowinoto, 1996:45). Paradigma ini adalah suatu perspektif atau pandangan
environment development dalam konteks pemberdayaan masyarakat yang memberikan
ruang gerak yang sangat penting sebagai kekuatan di luar Negara, dalam hal ini
masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk proaktif dalam proses
pembangunan lingkungan hidup. Peran masyarakat baik secara individu maupun
kelompok perlu diberdayakan. Adapun organisasi masyarakat adalah organisasi yang
berpotensi sebagai wadah informasi dan program pembangunan yang berwawasan
lingkungan, yaitu kelompok LSM yang ada, satuan – satuan masyarakat adat, dan
kelompok masyarakat konservasi. Hal ini dikarenakan organisasi tersebut selain
membantu pemerintah, dapat pula berfungsi sebagai agen pembaharu dalam
pemberdayaan masyarakat.
Dalam usaha pemberian peran secara nyata oleh pemerintah terhadap
masyarakat dan keterlibatannya terhadap proses pembangunan lingkungan dapat
diwujudkan dengan cara dilibatkannya masyarakat mulai dari proses perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan hingga evaluasi pembangunan. Hal ini
dimaksudkan agar masyarakat mempunyai kepedulian dan rasa memiliki atas setiap
program pembangunan terutama yang berorientasi terhadap pembangunan ekonomi
masyarakat dan lingkungan. Maksud yang lain adalah agar ketergantungan masyarakat
terhadap sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dapat dikurangi karena
tingkat kesadaran lingkungan yang tinggi.
Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat merupakan faktor yang sangat penting
dalam menjamin kesuksesan, kesinambungan dan pengembangan program yang dibuat
oleh pemerintah. Dalam kaitan ini peran masyarakat secara individu dan kelompok
adalah perpanjangan tangan pemerintah sebagai agen pembaharu, yang pada akhirnya
melalui kelompok inilah dimulai perubahan budaya dan perilaku masyarakat dari yang
acuh tak acuh menjadi masyarakat yang peduli dan sadar lingkungan.
1.2.2 SKEMA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA INDUSTRI
PERTAMBANGAN
Skema pembangunan berkelanjutan terletak pada titik temu tiga pilar yaitu
sosial, ekonomi dan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan mencakup tiga aspek, yaitu
pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan. Ketiga aspek
tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena ketiganya menimbulkan hubungan
sebab-akibat. Aspek yang satu akan mengakibatkan aspek yang lainnya terpengaruh.
Hubungan antara ekonomi dan sosial diharapkan dapat menciptakan hubungan yang adil
(equitable). Hubungan antara ekonomi dan lingkungan diharapkan dapat terus berjalan
(viable). Sedangkan hubungan antara sosial dan lingkungan bertujuan agar dapat terus
bertahan (bearable). Ketiga aspek yaitu aspek ekonomi, sosial dan lingkungan akan
menciptakan kondisi berkelanjutan (sustainable).
Atau hubungan ketiganya dapat dilihat pada gambar 1.3.

Gambar 1.3 Skema Pembangunan Berkelanjutan

Kelanjutan mungkin lebih baik dijadiakan konsep satu dimensi yang paling
tidak tediri dari tiga bentuk. Yang pertama adalah kelanjutan lingkungan, adalah tujuan
secara fisik, kualitas lingkungan, dan ketersediaan sumberdaya alam. Kelanjutan
ekonomi ditekankan pada pengelolaan lingkungan alam unuk mendukung kelanjutan
hidup dan keindahan, seperti udara dan air, sumberdaya energi dan sumberdaya mineral
untuk ekonomi manusia. Selain itu juga ditekankan pada kepercayaan bahwasanya
lingkungan alam adalah unuk kepentingan mereka, tiap tiap orang menggunakan
lingkungan alam untuk aktivitas mereka. Yang kedua adalah kelanjutan ekonomi,
ditekankan pada perkembangan yang berkelanjuan pada standar kehidupan manusia
dan keadaan manusia yang lebih baik. Yang ketiga adalah kelanjutan sosial dan budaya,
yang ditekankan pada hukum sosial. bentuk ini difokuskan pada keadilan dan
pemerataan.
Pembangunan berkelanjutan dapat diartikan sebagai peningkatan secara
bersama sama kualitas lingkungan, pertumbuhan ekonomi, dan hukum sosial. Atau
dengan kata lain pembangunan berkelanjutan menunjukkan pembangunan ekonomi
yang konsisten dengan masyarakat untuk kualitas lingkungan dan hukum sosial. Masalah
yang berkembang adalah masalah tentang skala, apakah bersifat lokal, negara, atau
propinsi. Yang kedua adalah besarnya aktifitas manusia dibanding dengan dukungan dari
lingkungan hidup. Masalah yang ketiga adalah bagaimana membagi secara adil
pembangunan unuk generasi sekarang dengan generasi yang akan datang.
Kegiatan pertambangan memiliki sejumlah dampak penting bagi lingkungan.
Rencana kegiatan penambangan dan pengolahan hasil yang berkaitan langsung dengan
dampak yang ditimbulkannya. Kegiatan tambang terdiri dari tahap pra-konstruksi,
operasi, produksi dan pasca tambang:Sebagai negara penganut “paham” sumber daya
alam untuk kesejahteraan rakyat, Indonesia cenderung menggunakan prinsip
pembangunan berkelanjutan yaitu mengolah kekayaan sumberdaya alam dan energi
secara bijaksana agar kondisi lingkungan tetap lestari dan bermutu tinggi. Lingkungan
yang lestari, pembangunan akan tetap berlangsung dari generasi ke generasi, dan
lingkungan yang lestari hanya dapat dilahirkan dari pola pikir yang memiliki rasa bijak
lingkungan yang besar (Naiola, 1996). Usaha pertambangan mineral tidak hanya sekedar
pemenuhan keuntungan (aspek ekonomi) dari pengelolaan sumber daya mineral, tetapi
juga harus memperhatikan kebutuhan sosial dan lingkungan.
A. Pertambangan dan Kelanjutan Lingkungan
Sumber daya lingkungan mencakup persediaan sumberdaya alam dan kualitas
lingkungan. Kelanjutan lingkungan mempunyai dua arti penting dalam dunia
pertambangan. Yang pertama adalah kelanjutan secara fisik produksi mineral. Yang
kedua adalah kelanjutan kualitas lingkungan, yang dapat dianggap juga kemampuan dari
lingkungan untuk menambah dukungan hidup dan keindahan alam, untuk manusia ,
tumbuhan dan hewan. Pertambangan merusak lahan permukaan, baik surface maupun
underground mining. Pertambangan juga menghasilkan limbah yang banyak, karena
kadar bijih sangat kecil. Selain itu beberapa pertambangan juga menghasilkan air asam
tambang yang berpengaruh pada kualitas air, tumbuhan, dan binatang. Keberhasilan dari
kualitas lingkungan yang berlanjut dapat dilihat dari dua waktu, yaitu jangka pendek dan
jangka panjang. Untuk jangka pendek, tingkat kelayakan kualitas lingkungan dapat dilihat
dari keseimbangan antara keuntungan dan biaya perlindungan lingkungan. Sedangkan
untuk jangka panjang dilihat dari adanya inovasi teknologi dalam pertambangan dan
pengolahan mineral yang dapat mengurangi biaya produksi dan biaya lingkungan.
Pengelolaan limbah pertambangan mineral yang telah dilakukan oleh
perusahaan pertambangan masih belum mampu mengatasi terjadinya degradasi kualitas
lingkungan bio-fisik dan masalah social kemasyarakatan, meskipun beberapa kegiatan
pertambangan telah berorientasi pada industri bersih yang berwawasan lingkungan.
Perubahan lingkungan di sekitar pertambangan dapat terjadi setiap saat, sehingga
manajemen pengelolaan limbah yang efektif menjadi indikator keberlanjutan
usaha pertambangan mineral. Sistem pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan
diharapkan dapat mencegah dampak pencemaran terhadap daya dukung lingkungan,
perubahan perilaku sosial kemasyarakatan serta pertumbuhan sektor ekonomi informal
yang tidak terkendali. Untuk itu seyogyanya pengelolaan lingkungan pertambangan
mineral dituangkan dalam suatu kebijakan yang sistematis dan terarah secara
berkelanjutan (Weimar& Vining 1989).
B. Pertambangan dan Kelanjutan Ekonomi
Tingkat kontribusi pertambangan untuk penciptaan dan kelanjutan dari
keuntungan ekonomi dalam setiap wilayah ataupun nasional tergantung pada tiga fakor
menurut Tilton (1992).
Pertama, mineral di dalam tanah harus dapat dikembangkan, atau paling tidak sebagai
aset. Kedua adalah keuntungan ekonomi dari pertambangan dibuat permanen melalui
investasi yang dapat dilanjutkan untuk menghasilkan kondisi ekonomi yang lebih baik
pada saat pertambangan mulai menurun atau berhenti. Dengan kata lain pengambilan
aset mineral dari dalam tanah perlu diganti dengan yang berkelanjutan. Misalnya saja
dengan invesatsi lain di bidang bisnis yang kira kira menguntungkan di daerah itu, atau
dengan investasi untuk infrastrukur sosial, yang memfasilitasi aktivitas ekonomi,
termasuk diantaranya pendidikan, kesehatan, transportasi, listrik, air dan litbang. Yang
ketiga adalah wilayah atau negara menghindari potensi negatif makroekonomi dan
konsekuensi politik dari pengembangan mineral. Potensi masalah yang dapat muncul
antara lain tidak stabilnya pendapatan, tidak stabilnya harga mineral. Pada akhirnya
ketergantungan akan mineral akan memberikan gambaran yang luas tentang keputusan
ekonomi dan keputusan politik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, konsumsi yang
berlebihan serta tidak ada investasi.
C. Petambangan dan Keberlanjutan Sosial
Dalam konteks industri pertambangan, misalnya dengan memberikan
kesempatan berusaha dan mengembangkan usaha bagi masyarakat kecil melalui
pemberian pinjaman modal (peningkatan sumberdaya kapital), penyediaan berbagai
fasilitas yang mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, dan lain-lain.
Keberpihakan terhadap kelompok masyarakat miskin, masyarakat di perdesaan, wanita
dan anak-anak, ataupun kelompok masyarakat lain yang selama ini diabaikan, perlu
dilakukan sehingga tujuan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sekaligus
pemerataan dan pengentasan kemiskinan dapat terealisasi. Intinya adalah bahwa
pemberdayaan masyarakat adalah hal yang sangat penting untuk dilaksanakan dalam
mencapai pembangunan yang berkelanjutan.Kecenderungan yang terjadi dalam
pembangunan ekonomi adalah tidak memperhitungkan nilai-nilai pemanfaatan
sumberdaya yang tidak memiliki harga, seperti nilai-nilai intrinsik sumberdaya alam
maupun beban sosial masyarakat akibat pemanfaatan sumberdaya. Tidak adanya
penilaian terhadap sumberdaya ini selanjutnya menimbulkan eksternalitas-eksternalitas
tersendiri (terutama eksternalitas negatif) yang sangat merugikan masyarakat secara
keseluruhan. Masyarakat harus menanggung beban/biaya sosial yang timbul dalam
setiap pemanfaatan sumberdaya tanpa sedikitpun diberi “kompensasi”. Beban/biaya
sosial terbesar yang harus ditanggung oleh masyarakat saat ini maupun masyarakat
dimasa yang akan datang adalah penurunan kualitas kehidupan dan lingkungan, yang
tentu saja dalam jangka panjang tidak menjamin pengelolaan sumberdaya yang
berkelanjutan (tujuan ekosistem dalam pembangunan berkelanjutan tidak akan
tercapai).
Penilaian terhadap sumberdaya-sumberdaya yang dimanfaatkan (baik nilai
ekstrinsik maupun intrinsiknya) sangat diperlukan untuk menghindari, setidaknya
mengurangi, eksternalitas. Jikalau eksternalitas telah terjadi, maka upaya-upaya
internalisasi berbagai dampak keluar (eksternalitas) harus dilakukan, misalnya dengan
bentuk-bentuk kompensasi. Dengan demikian, segala aktifitas yang ditujukan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi ataupun efisiensi kapital (tujuan ekonomi) akan
tetap memperhatikan pengelolaan yang berkelanjutan.Untuk dapat mengelola
sumberdaya secara berkelanjutan, kebijaksanaan lingkungan yang lebih menekankan
pada konservasi dan perlindungan sumberdaya, perlu memperhitungkan mereka yang
masih bergantung kepada sumberdaya tersebut, untuk mendukung kelangsungan
hidupnya. Bila hal ini tidak diperhatikan, akan memberikan dampak yang buruk terhadap
kemiskinan dan mempengaruhi keberhasilan jangka panjang dalam upaya konservasi
sumberdaya dan lingkungan.Selain itu, masalah hak kepemilikan merupakan faktor
penentu dalam pemanfaatan sumberdaya yang efisien, merata dan berkelanjutan.
Sumberdaya yang dimiliki oleh umum (tidak jelas hak kepemilikannya) telah mengarah
pada sumberdaya akses terbuka (open access), dimana dalam keadaan ini, siapapun
dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada tanpa sedikitpun mempunyai insentif untuk
memelihara kelestariannya. Pengukuhan hak-hak kepemilikan akan memperjelas posisi
kepemilikan suatu pihak sehingga pihak tersebut dapat mencapai kelestarian (upaya
konservasi) dan mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya dari intervensi
maupun ancaman dari pihak luar.
1.2.3 PRINSIP PENGELOLAAN LINGKUNGAN
International Council on Mining and Metals (2003) telah menyusun sepuluh
prinsip pengelolaan pertambangan berkelanjutan (sustainable mining management)
sebagai berikut:
1. Implement and maintain ethical business practices and sound systems of corporate
governance;
2. Integrate sustainable development considerations within the corporate decision-
making process;
3. Uphold fundamental human rights and respect cultures, customs and values in
dealings with employees and others who are affected by our activities;
4. Implement risk management strategies based on valid data and sound science;
5. Seek continual improvement of our health and safety performance;
6. Seek continual improvement of our environmental performance;
7. Contribute to conservation of biodiversity and integrated approaches to land use
planning;
8. Facilitate and encourage responsible product design, use, re-use, recycling and
disposal of our products;
9. Contribute to the social, economic and institutional development of the communities
in which we operate;
10. Implement effective and transparent engagement, communication and
independently verified reporting arrangements with our stakeholders.

1.3 GOOD MINING PRACTICES


Berkembangnya konsep pembangunan berkelanjutan pada industri
pertambangan dunia dan nasional, turut membawa perubahan dalam Undang-Undang
No.11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang sudah tidak
lagi relevan. Pada tanggal 12 Januari 2009 disahkanlah Undang-Undang No.4 Tahun 2009
menggantikan Undang-Undang sebelumnya dengan pertimbangan perubahan sebagai
berikut:
a. Bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan
Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang
banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai
tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai
kemakmakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan;
b. Bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara merupakan kegiatan
usaha di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah mempunyai peranan
penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi
nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan;
c. Bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional,
Undang-Undang No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan
perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara secara mandiri,
andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna
menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan;
Undang-Undang No.4 Tahun 2009 ini menjadi landasan bagi seluruh aktivitas
pertambangan untuk dioperasionalkan dengan baik dan benar sesuai hukum yang
berlaku. Baik dan benar dari dua persfektif yakni dari Pelaku Bisnis dan Pemerintah.
Dalam praktik pertambangan yang baik harus sinkron antara kepentingan pembuat
regulasi dan kepentingan pemegang izin usaha pertambangan (IUP). Pemerintah harus
mampu memberikan kepastian dan kejelasan mengenai peraturan dan kebijakan
pertambangan pada satu sisi, sementara pemegang izin usaha pertambangan (IUP) harus
mentaati peraturan dan kebijakan yang berlaku di tempat tersebut pada sisi yang lain.
Dalam rangka pengelolaan pertambangan yang baik dan benar ini, maka terdapat dua
unsur utama yang melaksanakannya, yaitu pelaku bisnis dan pembuat kebijakan. Agar
tercapai maksud pengelolaan tersebut diatas, maka pelaku bisnis dalam mengelola
pertambangan haruslah melaksanakannya dengan baik dengan selalu memperhatikan
beberapa hal antara lain: efisiensi, keuntungan yang wajar, resiko yang rendah,
kepedulian terhadap lingkungan dan kepedulian terhadap masyarakat.
Sedangkan bagi pembuat kebijakan beberapa hal yang wajib menjadi
perhatiannya antara lain adalah pembangunan masyarakat dan daerah dapat berjalan
baik, pembangunan dapat berkelanjutan, menekan agar pelaku bisnis taat terhadap
aturan, melaksanakan kegiatan berpedoman pada azas konservasi bahan galian agar
dapat meningkatkan nilai tambah dan menekan terjadinya kecelakaan serta pentingnya
melaksanakan perlindungan terhadap lingkungan. Peran birokrat (pembuat kebijakan)
pada hakekatnya adalah membuat kebijakan yang tepat dan kondusif, menjamin
keamanan, menjamin kepastian hukum menjadi fasilitator yang baik serta membuat
pedoman terhadap pelaksanaan kegiatan. Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Pasal 95 (a)
menyebutkan bahwa Pemegang IUP dan IUPK wajib menerapkan kaidah pertambangan
yang baik.
Gambar 1.4. Jembatan Dua Persfektif Untuk Menciptakan
Good Mining Practices (Suryantoro, 2002)
Kaidah pertambangan yang baik ini dikenal dengan istilah Good Mining Practices.
Pengertian Good Mining Practices adalah suatu kegiatan pertambangan yang:
a. Membangun peradaban sebagai suatu kegiatan usaha pertambangan yang memenuhi
ketentuan–ketentuan, kriteria, kaidah dan norma-norma yang tepat sehingga
pemanfaatan sumberdaya mineral memberikan hasil yang optimal dan dampak
buruk yang minimal.
b. Dilaksanakan dengan megikuti aturan perizinan, teknis pertambangan, keselamatan
dan kesehatan kerja (K3), lingkungan, keterkaitan hulu hilir, konservasi, nilai tambah
dan pengembangan masyarakat disekitar lokasi tambang dan mempersiapkan
penutupan dan pascatambang dalam bingkai peraturan perundangan dan standar
yang berlaku.
Gambar 1.5 Pola Pikir Pengelolaan PertambanganYang Baik dan Benar
(Good Mining Practices)

1.3.1 ASPEK-ASPEK GOOD MINING PRACTICES


Beberapa aspek penerapan Good Mining Practice sebagai berikut:
1. Perizinan dan Aspek Legalitas
Pertambangan yang baik adalah kegiatan pertambangan yang mematuhi ketentuan
hukum dan perundang-undangan yang berlaku di daerah atau negara tempat
aktivitas pertambangan tersebut dilaksanakan.. Dalam praktik pertambangan yang
baik harus sinkron antara kepentingan pembuat regulasi dan kepentingan pemegang
izin usaha pertambangan (IUP). Pemerintah harus mampu memberikan kepastian
dan kejelasan mengenai peraturan dan kebijakan pertambangan pada satu sisi,
sementara pemegang izin usaha pertambangan (IUP) harus mentaati peraturan dan
kebijakan yang berlaku di tempat tersebut pada sisi yang lain.
2. Teknik Penambangan
Pada prinsipnya, teknik pertambangan yang baik dapat dilakukan apabila didalam
aktifitas pertambangan tersebut dilakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Eksplorasi harus dilaksanakan secara baik, benar dan memadai.
b. Perhitungan cadangan layak tambang harus ditetapkan dengan baik (tingkat
akurasi tinggi).
c. Studi geohidrologi, geoteknik dan metalurgi harus dilakukan secara baik dan
benar.
d. Studi kelayakan (feasibility study) yang komprehensif dengan didukung data
yang cukup, perlu disusun dengan baik, termasuk studi lingkungannya (AMDAL
atau UKL/UPL).
e. Teknik dan sistem tambang serta proses pengolahan/pemurnian harus
direncanakan dan dilaksanakan secara baik (sistem tambang pada material lepas
dan padu sangat berbeda, demikian pula proses pengolahannya)
f. Teknik konstruksi dan pemilihan peralatan harus tepat guna.
g. Sistem pengangkutan bahan tambang harus terencana baik, termasuk pemilihan
alat angkut dan alat berat lainnya.
h. Produksi hendaknya disesuaikan dengan jumlah ketersediaan cadangan dan
spesifikasi.
i. Program pasca tambang harus terencana dengan baik sebelum seluruh aktifitas
dihentikan. Pada pasca tambang harus segera dilakukan kegiatan penataan dan
reklamasi pada lahan bekas tambang yang disesuaikan dengan perencanaannya.
Pelaksanaan penataan dan reklamasi sebaiknya mengacu pada rencana tata
ruang daerah yang bersangkutan dan disesuaikan dengan kondisi lahan.
3. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Praktik pertambangan yang baik sangat memperhatikan keselamatan dan kesehatan
pekerjanya. Dalam hal ini, perusahaan berkewajiban melaksanakan pembinaan,
pelatihan atau pendidikan dan melakukan kontrol terhadap pelaksanaan yang
berkaitan dengan upaya meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja. Hal yang
dilakukan adalah dengan membuat regulasi dan penggunaan alat-alat perlindungan
diri (APD), agar terhindar dari kecelakaan yang sering terjadi pada saat kerja
4. Lingkungan
Aktivitas pertambangan yang selalu menunjukkan kepedulian terhadap dampak
lingkungan. Tidak bisa seratus persen dihindari, tetapi manfaatnya harus
dioptimalisasi. Dalam eksplorasi, perencanaan dan design produksi, pemilihan metode
dan teknologi, penempatan-penempatan bangunan pendukung, pengelolaan tailing,
reklamasi dan pasca eksploitasi hendaknya benar-benar memperhatikan aspek
lingkungan.
5. Hak-hak Masyarakat
Kegiatan pertambangan diharapkan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
masyarakat, memacu pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitar aktivitas pertambangan dilakukan. Dengan program Corporate
Social Resposibility (CSR), perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dapat
mewujudkan hak-hak masyarakat tersebut.
6. Penutupan Tambang dan Pascatambang
Kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh
kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi
sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. Kegiatan
pertambangan bersifat proyek, jadi ada jangka waktu perhitungan yang jelas, maka
pasca tambang diharapkan mampu memberikan manfaat berkelanjutan bagi social
dan lingkungan sekitar tambang.
1.3.2 MANFAAT PENERAPAN GOOD MINING PRACTICES
Penerapan good mining practices akan memberikan manfaat sebesar-besarnya
bagi masyarakat, perusahaan, pemerintah, dan lingkungan. Perusahaan mendapatkan
keuntungan yang maksimal secara aman, masyarakat merasakan peningkatan
kesejateraannya, pemerintah tidak kesulitan dalam pengawasan dan penerapan
peraturan, dan lingkungan masih produktif. Sebaliknya jika pertambangan tidak
dilakukan dengan baik dan benar, maka akan berakibat pada:
1. Kesulitan dalam pelaksanaan kegiatan.
2. Hasil tambang tidak akan efisien dan ekonomis.
3. Produksi akan tersendat / tidak lancar.
4. Kemungkinan terjadinya kecelakaan tambang akan tinggi.
5. Pengrusakan dan gangguan terhadap lingkungan akan timbul.
6. Terjadinya “pemborosan” bahan galian.
7. Pasca tambang akan mengalami kesulitan dan sulit penanganannya.
8. Semua pihak akan mendapat rugi (pemerintah, perusahaan dan masyarakat).
9. Kegiatan pertambangan akan “dituding” sebagai suatu kegiatan yang merusak
lingkungan

Anda mungkin juga menyukai