Agonis Antagonis Adrenergik
Agonis Antagonis Adrenergik
Assalamualaikum,,,
Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan
kepada saya dalam menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya.Tujuan penyusunan makalah
ini ialah sebagai salah satu tugas mata kuliah FARMAKOLOGI pada Jurusan Farmasi, Fakultas
Farmasi, Universitas Halu Oleo.
Dalam makalah ini mencoba menjelaskan tentang AGONIS DAN ANTAGONIS
ADRENERGIK. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah
meluangkan waktu dalam mengkoreksi makalah ini agar lebih baik.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
saran dan masukan yang membangun sangat kami harapkan.Semoga makalah ini bermanfaat
bagi yang membacanya.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam arti luas farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup,
lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Dalam ilmu kedokteran senyawa tersebut
disebut obat. Karena itu dikatakan farmakologi merupakan seni menimbang ( the art of
weighing ). Tanpa pengetahuan farmakologi yang baik, seorang dokter dapat merupakan
sumber bencana bagi pasien karena tidak ada obat yang aman secara murni. Hanya dengan
penggunaan yang cermat, obat akan bermanfaat tanpa efek samping tidak diinginkan yang
terlalu menggangu. Selain itu, pengetahuan mengenai efek samping obat memampukan dokter
mengenal tanda dan gejala yang disebabkan obat. Hampir tidak ada gejala dari demam, gatal
sampai syok anafilaktik, yang tidak terjadi dengan obat. Jadi obat selain bermanfaat dalam
pengobatan penyakit, juga merupakan penyebab penyakit. Menurut suatu survey di Amerika
Serikat, sekitar 5 % pasien masuk rumah sakit akibat obat. Rasio fatalitas kasus akibat obat
dirumah sakit bervariasi antara 2 – 12%. Efek samping obat meningkat sejalan dengan jumlah
obat yang diminum. Melihat fakta tersebut, pentingnya pengetahuan obat bagi seorang dokter
maupun apoteker tidak dapat diragukan.
Obat didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati,
mendiagnosis penyakit/gangguan atau menimbulkan suatu kondisi tertentu misalnya
membuat seorang infertile, atau melumpuhkan otot rangka selama pembedahan. Salah satu
bagian dalam ilmu farmakologi yaitu obat otonom yakni obat adrenergic atau simpatomimetika
yaitu zat – zat yang dapat menimbulkan ( sebagian ) efek yang sama dengan stimulasi susunan
simpaticus ( SS ) dan melepaskan noradrenalin ( NA ) di ujung – ujung sarafnya. SS berfungsi
meningkatkan penggunaan zat oleh tubuh dan menyiapkannya untuk proses disimilasi.
Organisme disiapkan agar dengan cepat dapat menghasilkan banyak energy, yaitu siap untuk
suatu reaksi “ fight, fright, or flight “ ( berkelahi, merasa takut, atau melarikan diri ). Oleh karena
itu, adrenergika memiliki daya yang bertujuan mencapai keadaan waspada tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu agonis adrenergik dan antagonis adrenergik ?
2. Bagaimana jenis-jenis dari obat adrenergik ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang agonis adrenergik dan antagonis adrenergik
2. Untuk mengetahui jenis-jenis obat agonis adrenergik dan antagonis adrenergik
BAB II
PEMBAHASAN
A. SENYAWA ADRENERGIK
Struktur umum:
HO OH
HO CH-CH-NH-R
R’
Senyawa adrenergik adalah senyawa yang dapat menghasilkan efek serupa dengan
respons akibat rangsangan pada sistem saraf adrenergik. Disebut juga dengan nama
adrenomimetik, perangsang adrenergik, simpatomimetik atau perangsang simpatetik. Sistem
saraf adrenergik adalah cabang sistem saraf otonom dan mempunyai neurotransmitter yaitu
norepinefrin.
Sintesis Epinefrin
1. Perangsangan perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, dan
terhadap kelenjar liur dan keringat.
2. Penghambatan perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot
rangka.
3. Perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan
kontraksi.
4. Perangsangan SSP, misalnya perangsangan pernafasan, peningkatan kewaspadaan,
aktifitas psikomotor, pengurangan nafsu makan.
5. Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot, lipolisis lemak dan
pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak.
6. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, renin dan hormon hipofisis.
7. Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan
neurotransmitter NE dan Ach
Obat adrenergik terbagi menjadi dua, kerja langsung dan kerja tidak langsung. Obat
adrenergik kerja langsung bekerja secara langsung pada reseptor adrenergik di membran sel
efektor. Jadi, efek suatu obat adrenergik dapat diduga bila duketahui reseptor mana yang
terutama dipengaruhi oleh obat tersebut. Obat adrenergik kerja tidak langsung menimbulkan
efek adrenergik melalui pelepasan NE yang tersimpan dalam ujung saraf adrenergik.
Reseptor adrenergik dibagi pada dua kategori umum: α dan β. Yang masing-
masingnya telah dibagi lebih lanjut menjadi dua subtipe: α1 dan α2, β1 dan β2 dan β3.
Reseptor α telah dibagi lebih lanjut menggunakan teknik kloning molekul menjadi α1A,
α1B, α1D, α2A, α2B, α2C. reseptor ini dihubungkan ke protein-G reseptor heterotrimerik
dengan sub unit α, β, dan γ. Adrenoseptor yang berbeda dihubungkan melalui protein-G
yang spesifik, masing-masing dengan efektor yang unik, tetapi masing-masing
menggunakan guanosine trifosfat (GTP) sebagai kofaktor. α1 berhubungan dengan Gq,
yang mengaktifkan fosfolipase, α2 berhubungan dengan Gs, yang mengaktivasi adenilat
siklase.
Semua obat yang mengandung struktur 3,4 dihidroksi benzene (katekolamin) secara
cepat ditidak aktifkan oleh enzim monoamine oksidase atau katekol-O-methyltransferase
(COMT). MAO adalah enzim yang terdapat pada hati, ginjal dan saluran gastrointestinal yang
mengkatalisa oksidasi deaminasi. COMT dapat mengmetilasi sebuah grup hidroksi dari
katekolamin. Hasilnya adalah metabolit yang sudah termetilasi dan tidak aktif dihubungkan
dengan asam glukorinik danditemukan diginjal sebagai asam 3-metoksi-4-hidroksimendelik,
metanefrin (turunan dari epinefrin) dan normetanefrin (turunan dari norepinefrin).
C. JENIS RESEPTOR ADRENERGIK
1. Reseptor α1
2. Reseptor α2
3. Reseptor β1
4. Reseptor β2
Reseptor β2 berasal dari adrenoreseptor postganglionik yang berlokasi pada otot polos
dan sel kelenjar. Reseptor ini mempunyai cara kerja yang sama dengan reseptor β1: aktivasi
adenilat siklase. Selain persamaan ini, stimulasi β2 merelaksasi otot polos, mengakibatkan
bronkodilator, vasodilasi, dan relaksasi daripada uterus (tokolisis), kandung kemih dan usus.
reseptor β2. Agonis β2 juga mengaktifkan pompa kalium-natrium, yang merubah kalium
5. Reseptor β3
β3 reseptor ditemukan di kandung kemih dan dijaringan lemak otak. Peranannya pada
fisiologis kandung kemih belum diketahui, tetapi ada yang berpendapat bahwa reseptor β3 ini
berperan pada lipolisis dan termogenesis pada lemak coklat.
AGONIS ADRENERGIC
Ket : 0, tidak ada efek; +, efek agonis (ringan, sedang, ditandai), ?, efek tidak diketahui; DA1dan
DA2, reseptor dopaminergik. Efek α1, efek dari epinefrin, norepinefrin, dan dopamine menjadi
lebih lama pada dosis lebih tinggi. Mode efek pertama dari efedrin adalah stimulasi tidak
langsung.
Efek akhir keseluruhannya pada tekanan darah arteri bergantung pada keseimbangan
pada vasokonstriksi α1-, dan vasodilatasi β2-, dan pengaruh inotropik β1-. Lebih lanjut,
keseimbangan ini berubah pada dosis yang berbeda.
Gambar 12-5. Adregernik Agonis yang mempunyai struktur 3,4 dihidroksibenzen yang
diketahui sebagai katekolamin. Perubahan pada R1, R2 dan R3 mempengaruhi aktifitas dan
selektifitas
Adrenergik agonis dapat dikategorikan dengan langsung atau tidak langsung. Agonis
langsung terikat dengan aktifitas neurotransmitter endogen. Mekanisme dari aksi tidak
langsung termasuk peningkatan pelepasan atau penurunan pengambilan kembali daripada
norepinefrin. Perbedaan antara mekanika aksi langsung atau tidak langsung sebagian penting
bagi pasien yang memiliki penyimpanan noreponefrin endogon yang abnormal, yang sebagian
dapat timbul pada beberapa pengobatan anti hipertensi atau pada inhibitor monoamin
oksidase. Hipotensi intraoperasi pada pasien ini harus diterapi dengan agonis langsung, agar
responnya terhadap agonis tidak langsung dapat dirubah.
Hal lain yang dapat membedakan adrenergik agonis dari yang lainnya adalah struktur
kimiawinya. Adrenergik agonis memiliki struktur 3,4 dihidroksibenzen yang dikenal sebagai
katekolamin. Obat-obatan ini biasanya kerja pendek karena metabolismenya oleh monoamin
oksidase dan katekol-O-metiltransferase. Pasien yang mendapat inhibitor monoamin oksidase
atau antidepressan trisiklik dapat menunjukkan sebelumya respon yang berlebihan terhadap
katekolamin. Katekolamin yang timbul secara alami adalah epinefrin, norepinefrin dan
dopamine. Perubahan dari struktur rantai-samping (R1,R2,R3) dari katekolamin yang timbul
secara alami telah membawa kepada perubahandari katekolamin sintetik (mis: isoprotetenol
dan dobutamin), yang lebih mengarah kepada reseptor yang lebih spesifik.
Adrenergik agonis biasanya digunakan pada anestesiologi dibahas secara tersendiri
dibawah. Perhatikan dosis yang direkomendasikan untuk infus berkesinambungan ditunjukkan
dengan µg/kg/min untuk beberapa agen dan µg.min untuk yang lainnya. Pada kasus yang
manapun, rekomendasi ini harus dipertimbangkan sebagai protokol, yang mana respon
individu dapat berbeda-beda.
EPINEFRIN
Epinefrin merupakan prototype obat kelompok adrenergic. Zat ini dihasilkan juga oleh
anak-ginjal dan berperan pada metabolisme hidrat-arang dan lemak. Adrenalin memiliki semua
khasiat adrenergis alfa dan beta, tetapi efek betanya relative lebih kuat ( stimulasi jantung dan
bronchodilatasi ).
A. Mekanisme Kerja
1. Farmakodinamika
Pada umumnya pemberian epinefrin menimbulkan efek mirip stimulasi saraf
adrenergic. Ada beberapa perbedaan karena neurotransmitter pada saraf adrenergic adalah
NE. Efek yang paling menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos pembuluh darah dan
otot polos lain.
a. Jantung, epinefrin mengaktivasi reseptor β1 di otot jantung, sel pacu jantung dan jaringan
konduksi. Ini merupakan dasar efek inotropik dan kronotropik positif epinefrin pada
jantung. Epinefrin mempercepat depolarisasi fase 4, yakni depolarisasi lambat sewaktu
diastole, dari nodus sino-atrial ( SA ) dan sel otomatik lainnya, dengan demikian
mempercepat firing rate pacu jantung dan merangsang pembentukan focus ektopik dalam
ventrikel. Dalam nodus SA, epinefrin juga menyebabkan perpindahan pacu jantung ke sel
yang mempunyai firing rate lebih cepat. Epinefrin mempercepat konduksi sepanjang
jaringan konduksi, mulai dari atrium ke nodus atrioventrikular ( AV ). Epinefrin juga
mengurangi blok AV yang terjadi akibat penyakit, obat atau aktivitas vagal. Selain itu
epinefrin memperpendek periode refrakter nodus AV dan berbagai bagian jantung lainnya.
Epinefrin memperkuat kontraksi dan mempercepat relaksasi. Dalam mempercepat denyut
jantung dalam kisaran fisiologis, epinefrin memperpendek waktu sistolik tanpa mengurangi
waktu diastolic. Akibatnya curah jantung bertambah tetapi kerja jantung dan pemakaian
oksigen sangat bertambah sehingga efisiensi jantung ( kerja dibandingkan dengan
pemakaian oksigen ) berkurang. Dosis epinefrin yang berlebih disamping menyebabkan
tekanan darah naik sangat tinggi juga menimbulkan kontraksi ventrikel premature diikuti
takikardia ventrikel dan akhirnya fibrilasi ventrikel.
b. Pembuluh darah, efek vascular epinefrin terutama pada arteriol kecil dan sfingter
prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh darah kulit, mukosa
dan ginjal mengalami konstriksi karena dalam organ – organ tersebut reseptor α dominan.
Pembuluh darah otot rangka mengalami dilatasi oleh epinefrin dosis rendah, akibat aktivasi
reseptor β2 yang mempunyai afinitas lebih besar pada epinefrin dibandingkan dengan
reseptor α. Epinefrin dosis tinggi bereaksi dengan kedua jenis reseptor tersebut. Dominasi
reseptor α di pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi perifer yang berakibat
peningkatan tekanan darah. Pada waktu kadar epinefrin menurun, efek terhadap reseptor
α yang kurang sensitive lebih dulu menghilang. Efek epinefrin terhadap reseptor β2 masih
ada pada kadar yang rendah ini. Dan menyebabkan hipotensi sekunder pada pemberian
epinefrin secara sistemik. Jika sebelum epinefrin telah diberikan suatu penghambat
reseptor α, maka pemberian epinefrin hanya menimbulkan vasodilatasi dan penurunan
tekanan darah. Gejala ini disebut epinefrin reversal yaitu suatu kenaikan tekanan darah
yang tidak begitu jelas mungkin timbul sebelum penurunan tekanan darah ini, kenaikan
yang selintas ini akibat stimulsai jantung oleh epinefrin. Pada manusia pemberian epinefrin
dalam dosis terapi yang menimbulkan kenaikan tekanan darah tidak menyebabkan
konstriksi arteriol otak, tetapi menimbulkan peningkatan aliran darah otak. Epinefrin
dalam dosis yang tidak banyak mempengaruhi tekanan darah, meningkatkan resistensi
pembuluh darah ginjal dan mengurangi aliran darah ginjal sebanyak 40%. Ekskresi Na, K
dan Cl berkurang volume urin mungkin bertambah, berkurang atau tidak berubah. Tekanan
darah arteri maupun vena paru meningkat oleh epinefrin meskipun terjadi konstriksi
pembuluh darah paru, redistribusi darah yang berasal dari sirkulasi sistemik akibat
konstriksi vena – vena besar juga berperan penting dalam menimbulkan kenaikan tekanan
darah paru. Dosis epinefrin yang berlebih dapat menimbulkan kematian karena adema
paru.
c. Pernapasan, epinefrin mempengaruhi pernapasan terutama dengan cara merelaksasi otot
bronkus melalui reseptor β2. efek bronkodilatasi ini jelas sekali bila sudah ada kontraksi otot
polos bronkus karena asma bronchial, histamine, ester kolin, pilokarpin, bradikinin, zat
penyebab anafilaksis yang bereaksi lambat dan lain – lain. Disini epinefrin bekerja sebagai
antagonis fisiologik. Pada asma, epinefrin juga menghambat penglepasan mediator
inflamasi dari sel – sel mast melalui reseptor β2, serta mengurangi sekresi bronkus dan
kongesti mukosa melalui reseptor α1.
d. Proses Metabolik, epinefrin menstimulasi glikogenolisis di sel hati dan otot rangka melalui
reseptor β2, glikogen diubah menjadi glukosa-1-fosfat dan kemudian glukosa-6-fosfat. Hati
mempunyai glukosa-6-fosfatase tetapi otot rangka tidak, sehingga hati melepas glukosa
sedangkan otot rangka melepas asam laktat. Epinefrin juga menyebabkan penghambatan
sekresi insulin akibat dominasi aktivasi reseptor α2 yang menghambat, terhadap aktivasi
reseptor β2 yang menstimulasi sekresi insulin. Sekresi glucagon ditingkatkan melalui
reseptor β pada sel α pancreas. Selain itu epinefrin mengurangi ambilan glukosa oleh
jaringan perifer, sebagian akibat efeknya pada sekresi insulin, tapi juga akibat efek langsung
pada otot rangka. Akibatnya terjadi peningkatan kadar glukosa dan laktat dalam darah dan
penurunan kadar glikogen dalam hati dan otot rangka. Epinefrin melalui aktivasi reseptor
β meningkatkan aktivasi lipase trigliserida dalam jaringan lemak, sehingga mempercepat
pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Akibatnya kadar asam
lemak bebas dalam darah meningkat. Efek kalorigenik epinefrin terlihat sebagai
peningkatan pemakaian oksigen sebanyak 20 sampai 30% pada pemberian dosis terapi.
Efek ini terutama disebabkan oleh peningkatan katabolisme lemak, yang menyediakan
lebih banyak substrat untuk oksidasi.
Efek utamanya terhadap organ dan proses – proses tubuh penting dapat diikhtisarkan
sebagai berikut :
1. Jantung : daya kontraksi diperkuat ( inotrop positif ), frekuensi ditingkatkan ( chronotrop
positif ), sering kali ritmenya di ubah.
2. Pembuluh : vasokontriksi dengan naiknya tekanan darah.
3. Pernapasan : bronchodilatasi kuat terutama bila ada konstriksi seperti pada asma atau
akibat obat.
4. Metabolisme ditingkatkan dengan naiknya konsumsi O2 dengan ca 25%, berdasarkan
stimulasi pembakaran glikogen ( glycogenolysis ) dan lipolysis. Sekresi insulin di hambat,
kadar glukosa dan asam lemak darah ditingkatkan.
2. Farmakokinetik
a. Absorbsi, pada pemberian oral, epinefrin tidak mencapai dosis terapi karena sebagian
besar dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat pada dinding usus dan
hati. Pada penyuntikan SK, absorbsi lambat karena vasokontriksi local, dapat dipercepat
dengan memijat tempat suntikan. Absorbsi yang lebih cepat terjadi dengan penyuntikan
IM. Pada pemberian local secara inhalasi, efeknya terbatas terutama pada saluran napas,
tetapi efek sistemik dapat terjadi, terutama bila digunakan dosis besar.
b. Biotransformasi dan ekskresi, epinefrin stabil dalam darah. Degradasi epinefrin terutama
terjadi dalam hati terutama yang banyak mengandung enzim COMT dan MAO, tetapi
jaringan lain juga dapat merusak zat ini. Sebagian besar epinefrin mengalami
biotransformasi, mula – mula oleh COMT dan MAO, kemudian terjadi oksidasi, reduksi dan
atau konyugasi, menjadi metanefrin, asam 3-metoksi-4-hidroksimandelat, 3-metoksi-4-
hidroksifeniletilenglikol, dan bentuk konyugasi glukuronat dan sulfat. Metabolit –
metabolit ini bersama epinefrin yang tidak diubah dikeluarkan dalam urin. Pada orang
normal, jumlah epinefrin yang utuh dalam urin hanya sedikit. Pada pasien feokromositoma,
urin mengandung epinefrin dan NE utuh dalam jumlah besar bersama metabolitnya.
3. Indikasi
Terutama sebagai analepticum, yakni obat stimulan jantung yang aktif sekali pada keadaan
darurat, seperti kolaps, shock anafilaktis, atau jantung berhenti. Obat ini sangat efektif pada
serangan asma akut, tetapi harus sebagai injeksi karena per oral diuraikan oleh getah lambung.
4. Kontraindikasi
Epinefrin dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat β-bloker nonselektif, karena
kerjanya yang tidak terimbangi pada reseptor α1 pembuluh darah dapat menyebabkan
hipertensi yang berat dan perdarahan otak.
5. Efek samping
Pemberian epinefrin dapat menimbulkan gejala seperti gelisah, nyeri kepala berdenyut,
tremor, dan palpitasi. Gejala – gejala ini mereda dengan cepat setelah istrahat. Pasien
hipertiroid dan hipertensi lebih peka terhadap efek – efek tersebut maupun terhadap efek pada
system kardiovaskular. Pada pasien psikoneuretik epinefrin memperberat gejala – gejalanya.
NOREPINEFRIN
Norepinefrin adalah derivate tanpa gugus-metil pada atom-N. neurohormon ini
khususnya berkhasiat langsung terhadap reseptor α dengan efek fasokontriksi dan naiknya
tensi. Efek betanya hanya ringan kecuali kerja jantungnya ( β1 ). Bentuk-dekstronya, seperti
epinefrin, tidak digunakan karena ca 50 kali kurang aktif. Karena efek sampingnya bersifat lebih
ringan dan lebih jarang terjadi, maka norepinefrin lebih disukai penggunaannya pada shok dan
sebagainya. Atau sebagai obat tambahan pada injeksi anastetika local.
A. Mekanisme Kerja
1. Farmakodinamika
NE bekerja terutama pada reseptor α, tetapi efeknya masih sedikit lebih lemah bila
dibandingkan dengan epinefrin. NE mempunyai efek β1 pada jantung yang sebanding dengan
epinefrin, tetapi hampir tidak memperlihatkan efek β2. Infus NE pada manusia menimbulkan
peningkatan tekanan diastolic, tekanan sistolik, dan biasnya juga tekanan nadi. Resistensi
perifer meningkat sehingga aliran darah melalui ginjal, hati dan juga otot rangka juga
berkurang. Filtrasi glomerulus menurun hanya bila aliran darah ginjal sangat berkurang. Reflex
vagal memperlambat denyut jantung, mengatasi efek langsung NE yang mempercepatnya.
Perpanjangan waktu pengisian jantung akibat perlambatan denyut jantung ini, disertai
venokonstriksi dan peningkatan kerja jantung akibat efek langsung NE pada pembuluh darah
dan jantung, mengakibatkan peningkatan curah sekuncup. Tetapi curah jantung tidak berubah
atau bahkan berkurang. Aliran darah koroner meningkat, mungkin karena dilatasi pembuluh
darah koroner tidak lewat persarafan otonom tetapi dilepasnya mediator lain, antara lain
adenosin, akibat peningkatan kerja jantung dan karena peningkatan tekanan darah. Berlainan
dengan epinefrin, NE dalam dosis kecil tidak menimbulkan vasodilatasi maupun penurunan
tekanan darah, karena NE boleh dikatakan tidak mempunyai efek terhadap reseptor β2 pada
pembuluh darah otot rangka. Efek metabolic NE mirip epinefrin tetapi hanya timbul pada dosis
yang lebih besar.
2. Indikasi
Pengobatan pada pasien shock atau sebagai obat tambahan pada injeksi pada
anastetika local.
3. Kontraindikasi
Obat ini dikontraindikasikan pada anesthesia dengan obat – obat yang menyebabkan
sensitisasi jantung karena dapat timbul aritmia. Juga dikontraindikasikan pada wanita hamil
karena menimbulkan kontraksi uterus hamil.
4. Efek Samping
Efek samping NE serupa dengan efek samping epinefrin, tetapi NE menimbulkan
peningkatan tekanan darah yang lebih tinggi. Efek samping yang paling umum berupa rasa
kuatir, sukar bernafas, denyut jantung yang lambat tetapi kuat, dan nyeri kepala selintas. Dosis
berlebih atau dosis biasa pada pasien yang hiper-reaktif ( misalnya pasien hipertiroid )
menyebabkan hipertensi berat dengan nyeri kepala yang hebat, fotofobia, nyeri dada, pucat,
berkeringat banyak, dan muntah.
PENILEFRIN
1. Pertimbangan klinis
Penilefrin adalah nonkatekolamin dengan predominan oleh aktifitas agonis α1(dosis
tinggi dapat menstimulasi reseptor α2 dan β). Efek utama dari penilefrin adalah vasokonstriksi
dengan penaikan secara perlahan pada tahanan resisten perifer dan tekanan darah arteri.
Reflek takikardi dapat menurunkan kardiak output. Peningkatan aliran darah koroner
disebabkan oleh efek langsung dari vasokonstriksi penilefrin pada arteri koroner yang
dikendalikan oleh rangsangan vasodilatasi karena pelepasan dari faktor – faktor metabolik.
Secarta klinis penilefrin mempunyai efek yang sama dengan norepinefrin tetapi kurang
potent dan lebih lama serat efek yang minimal pada SSP. Penyuntikan secara intra vena dengan
cepat pada pasien dengan penyakit arteri coroner mengakibatkan peningkatan pada tekanan
pembuluh darah sistemik yang diiringi dengan penurunan curah jantung.
Bolus kecil intravena dari 50 – 100 µg (0,5 – 1 µg/kg) dari penilefrin secara cepat
membalik penurunan tekanan darah yang disebabkan oleh vasodilatasi perifer. (misalanya:
anestesi spinal). Infus berkesinambungan (100 µg/ml pada rata-rata 0,25 – 1 µg/kg/min) akan
menjaga tekanan darah arteri tetapi pada pengeluaran aliran darah ginjal. Takifilaksis yang
terjadi dengan infus penilefrin membutuhkan titrasi yang meningkat dari infusnya. Penilefrin
harus dilarutkan dari cairan 1% (10 mg/ampul 1 mL), biasanya sampai 100 µg/mL larutan.
AGONIS 2
1. Pertimbangan klinis
EFEDRIN
1. Pertimbangan Klinis
Efedrin adalah alkaloid yang terdapat pada tumbuhan jenis efedra. Efeknya
seperti efek epinefrin, bedanya adalah bahwa efedrin efektif pada pemberian oral, masa
kerjanya jauh lebih panjang, efek sentralnya lebih kuat. Efedrin merupakan non
katekolamin sintetik kerja indirek yang menstimulasi reseptor α dan β adrenergik. Efek
farmakologis dari obat ini secara tidak langsung menyebabkan lepasnya norepinefrin
endogen (kerja indirek), tetapi obat ini juga mempunyai efek langsung pada reseptor
adrenergik (kerja direk). Efek kardiovaskular dari efedrin sama seperti epinefrin:
meningkatkan tekanan darah, laju nadi dan curah jantung. Seperti biasanya, efedrin juga
digunakan sebagai bronkodilator. Ada perbedaan penting, bagaimanapun juga: efedrin
mempunyai masa kerja yang lama karena efedrin adalah nonkatekolamin, tidak begitu
kuat, mempunyai efek langsung dan tidak langsung, dan menstimulasi sistem saraf pusat
(meningkatkan konsentrasi alveoli minimum). Efek tidak langsung agonis lainnya dari
efedrin dapat terjadi karena stimulasi pusat, pelepasan norepinefrin postsinaps perifer,
atau inhibisi dari pengambilan kembali norepinefrin.
Efedrin biasa digunakan sebagai vasopressor selama anestesi. Sebagai contoh,
pemberiannya harus dilihat sebagai ukuran sementara selama penyebab hipotensi masih
ditentukan dan ditangani. Tidak seperti efek langsung agonis α1, epinefrin tidak
menurunkan aliran darah uteri. Ini membuatnya sebagai vasopressor pilihan pada banyak
penggunaan obstetri. Efedrin juga dilaporkan memiliki efek antiemetik, terutama yang
berhubungan dengan hipotensi karena spinal anestesi. Premedikasi dengan klonidin
melawan efek dari efedrin. Efedrin, tidak seperti epinefrin, tidak menyebabkan
hiperglikemi. Midirasis terjadi sejalan dengan pemberian efedrin, dan stimulasi SSP
terjadi, walaupun kurang bila dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh amfetamin.
ANTAGONIS ADRENERGIK
Penghambat adrenergik atau adrenolitik ialah golongan obat yang menghambat
perangasangan adrenergik. Berdasarkan tempat kerjanya, golongan obat ini dibagi atas
antagonis adrenoseptor dan penghambat saraf adrenergik. Antagonis adrenergik terikat
tetapi tidak mengaktifkan adrenoreseptor. Mereka beraksi dengan mencegah aktifitas
agonis adrenergik. Seperti agonis, antagonis dibedakan berdasarkan spektrum dari
interaksi reseptor. (tabel 12-3)
α BLOKER
terbagi menjadi α bloker non selektif, α1 bloker selektif dan α2 bloker selektif. α
bloker non selektif terbagi lagi menjadi 3 kelompok: derivat haloalkalamin, derivat
imidazolin dan alkaloid ergot.
FENTOLAMIN
1. Pertimbangan Klinis
Fentolamin memproduksi sebuah kompetitif (reversibel) memblokade reseptor
α. Antagonismeα1 dan relaksasi otot polos bertanggung jawab pada vasodilatasi perifer
dan penurunan pada tekanan darah arteri. Penurunan pada tekanan darah memprovokasi
reflek takikardi. Takikardi ini dirangsang oleh antagonisme dari reseptor α2 pada jantung
karena blokade α2 membuat pelepasan norepinefrin dengan menghilangkan efek umpan
balik. Efek kardiovaskular ini biasanya timbul dalam 2 menit dan bertahan samapai 15
menit. Seperti semua dari antagonis adrenergik, perpanjangan dari respon kepada respon
blokade bergantung kepada tingakatan dari tonus simpatetik yang sudah ada. Reflek
takikardi dan hipotensi postural membatasi kegunaan dari fentolamin kepada
pengobatan dari hipertensi yang disebabkan oleh pengeluaran berlebihan stimulasi α
(cth: pheokromositomam efek putus obat klonidin).
Ket : 0,tidak ada efek; -, efek antagonis (ringan, sedang, ditandao). Labetalol juga dapat
1. Pertimbangan Klinis
Labetalol memblok reseptor α1-, β1- dan β2-. Perbandingan dari rasio blokade α
dengan blokade β telah diperkirakan untuk mendekati 1:7 mengikuti pemberian
intravena. Blokade campuran ini menurunkan tahan perifer vaskuler dan tekanan darah
arteri. Laju nadi dan curah jantung biasanya sedikit menurun atau tidak berubah. Jadi,
labetalol menurunkan tekanan darah tanpa reflek takikardi karena kombinasinya dengan
efek α- dan β-. Efek tertinggi biasanya terjadi dalam 5 menit setelah dosis intravena. Gagal
jantung kiri, paradoksikal hipertensi, dan bronkospasme telah dilaporkan.
β BLOKER
Dikloroisoproterenol adalah β bloker yang pertama ditemukan tetapi tidak
digunakan karena obat ini juga merupakan agonis parsial yang kuat. Propranolol, yang
ditemukan kemudian menjadi prototipe golongan obat ini. β bloker mempunyai
bermacam tingkatan dari selektifitas untuk reseptor β1. Mereka yang lebih ke reseptor β1
mempunyai pengaruh yang lebih sedikitpada bronkopulmonal dan reseptor vaskular β2
(tabel 12-4). Secara teoritis, β1bloker yang selektif akan mempunyai kemampuan efek
inhibisi yang lebih sedikit terhadap reseptor β2. Sehingga obat ini lebih dipilih untuk
pasien dengan penyakit paru obstruksi kronik tau penyakit perifer vaskular. Pasien dengan
penyakit perifer vaskular dapat secara potensial menurunkan aliran darah jika reseptor
β2, yang mendilatasi arteriol, diblok.
β-bloker juga diklasifikasikan oleh jumlah dari aktifitas intrinsik simpatomimetik
(ISA) yang dimiliki. Banyak dari β-bloker mempunyai bebrapa peningkatan aktifitas agonis;
walaupun merekatidak akan memproduksi efek yang sama seperti agonis yang
sepenuhnya, seperti epinefrin. β-bloker dengan ISA tidak memiliki keuntungan seperti β-
bloker tanpa ISA dalam mengobat pasien yang mempunyai penyakit kardiovaskular. β-
bloker dapat diklasifikasikan lebih lanjut seperti yang dieliminasi pada metabolisme
hepatis (seperti atenolol dan metopronol), yang dikeskresikan diginjal tidak mengalami
perubahan (seperti atenolol), atau mereka yang dihidrolisa pada pembuluh darah (seperti
esmolol).
ESMOLOL
1. Pertimbangan Klinis
Esmolol adalah antagonis β1selektif dengan masa kerja pendek yang mengurangi
laju nadi dan, untuk mengurangi tekanan darah yang berlebih. Obat ini telah sukses
digunakan untuk mencegah takikardi dan hipotensi pada rangsangan peripoertif, seperti
intubasi, rangsangan pembedahan, dan EMERGENCE. Sebagai contohnya, esmolo (1
mg/kg) menyebabkan peningkatan pada tekanan darah dan laju nadi yang biasanya diikuti
dengan terapi elektrokonvulsi, tanpa mempengaruhi lamanya kejang. Esmolol sama
efektifnya seperti propanolol dalam mengkontrol nadi ventrikuler dari pasien dengan
atrial fibrilasi atau flutter. Walaupun esmolol dipertimbangkan menjadi kardioselektif,
pada dosis tinggi dia menginhibisi reseptor β2 pada bronkus dan otot polos vaskular.
Masa kerja yang pendek dari esmolol adalah karena redistribusi yang cepat
(waktu paruh distribusi adalah 2 menit) dan hidrolisis oleh sel darah merah esterase
(waktu paruh eliminasi adalah 9 menit). Efek samping dapat dibalik dalam semenit dengan
menghentikan infus. Sama seperti semua antagonis β1, esmolol sebaiknya menghindari
pasien dengan sinus bradikardi, blok jantung lebih besar dari derajat 1, syok kardiogenik,
atau bahkan gagal jantung.
jangka panjang biasanya dimulai dengan dosis awal 0,5 mg/kg dimasukkan lebih dari 1
terapeutik. Bila ini gagal untuk menghasilkan respon yang diinginkan dalam 5 menit, dosis
setiap 5 menit sampai maksimum dari 200 µg/kg/menit. Esmolol tersedia dalam vial
dengan dosisi ganda untuk bolus. Pemberian mengandung 10 ml obat (10 mg/mL). ampul
untuk infus berkelanjutan (2,5 g dalam 10 mL) juga tersedia tetapi harus diencerkan untuk
pemberian dengan konsentrasi 10 mg/mL.
PROPANOLOL
1. Pertimbangan Klinis
Propanolol secara nonselektif memblok reseptor β1 dan β2. Tekanan pembuluh
darah arteri diturunkan dengan beberapa mekanisme, termasuk menurunkan
kontraktilitas otot jantung, menurunkan laju nadi, dan menghilangkan pelepasan rennin,
curah jantung dan kebutuhan oksigen oto jantung juga dikurangi. Iskemik berhubungan
dengan peningkatan tekanan darah dan laju nadi. IMPEDANCE dari ejeksi ventrikuler
adalah menguntungkan pada pasien dengan obstruksi kardiomiopati dan aneurisma
aorta. Propanolol memperlambat konduksi atrioventrikuler dan menstabilisasi membran
miokard, walaupun efek yang terjadi tidak begitu signifikan pada dosis klinis. Propanolol
biasanya efektif terutama dlaam memperlambat respon ventrikuler kepada
supraventrikuler takikardi, dan biasanya mengontrol takikardi ventrikuler yang berulanhg
atau fibrilasi yang disebabkan oleh iskemik miokard. Propanolol memblok efek adrenergik
β dari tirotoksikosis dan pheokromasitoma.
Efek samping dari propanolol termasuk bronkospasme (antangonisme β2), gagal
jantung kongestif, bardikardi, dan blok jantung atrioventrikuler (antagonisme β1).
Propanolol mungkin memburuk depresi miokard dari anestesi inhalasi (cth: halotan) atau
tidak menutupi karakteristik negatif inotropik dari rangsangan jantung tidak langsung
(cth: isoflurane). Pemberian terus-menerus dari propanolol dan verapamil (sebuah bloker
kalsium chanel) dapat secara sinergi menekan laju nadi, kontraktilitas, dan induksi nodus
atrioventrikuler.
Memberhentikan terapi β-bloker untuk 24-48 jam dapat memacu gejala putus
obat yang ditandai dengan hipertensi (hipertensi yang berulang), takikardi, dan angina
pektoris. Efek ini timbul sebagai sebab dari peningkatan jumlah reseptor adrenergik β (up-
regulasi). Propanolol mengikat protein secara ekstensif dan dibuang dari metabolisme
hati. Waktu paruh eliminasinya dari 100 menit cukup lama dibandingkan esmolol.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penyusunan makalah ini dapat disimpulkan bahwa ;
1. Agonis adrenergik berinteraksi dengan perubahan tertentu pada adrenoseptor α
dan β. Aktifitas yang tumpang tindih mempengaruhi perkiraan dari efek klinis.
adrenergik agonis dari yang lainnya adalah struktur kimiawinya. Adrenergik
agonis memiliki struktur 3,4 dihidroksibenzen yang dikenal sebagai katekolamin.
Obat-obatan ini biasanya kerja pendek karena metabolismenya oleh monoamin
oksidase dan katekol-O-metiltransferase. Adrenergik agonis biasanya digunakan
pada anestesiologi. Penghambat adrenergik atau adrenolitik ialah golongan obat
yang menghambat perangasangan adrenergik. Berdasarkan tempat kerjanya,
golongan obat ini dibagi atas antagonis adrenoseptor dan penghambat saraf
adrenergik. Antagonis adrenergik terikat tetapi tidak mengaktifkan
adrenoreseptor. Mereka beraksi dengan mencegah aktifitas agonis adrenergik.
Seperti agonis, antagonis dibedakan berdasarkan spektrum dari interaksi
reseptor.
2. Jenis golongan obat agonis adrenergik antara lain ; epinefrin, norepinefrin,
pelinefrin, obat yang berargonis seperti dextemetodine, efedrin, dan
sebagainya. Sedangkan golongan obat antagonis adrenergik antara lain ;
fentolamin, labetalol, esmolol, propanolol, dan sebagainya.
B. Saran
Diharapkan bagi para pembaca agar dapat memahami materi ini dengan baik,
sehingga kita dapat mengetahui bagaimana efek farmakodinamik dan farmakokinetik dari
suatu obat khususnya dalam bidang farmasi. Semoga makalah ini sangat bermanfaat bagi
kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Bagian Farmakologi Universitas Indonesia.: Farmakologi dan terapi, 4th ed. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,1995:Bab V, VI.
Ganiswara, Sulistia G(Ed), 1995, Farmakkologi dan Terapi, Edisi 4, Fakultas Kedokteran
UI, Jakarta.
Morgan G. Edward,Jr, MD; Clinical Anesthesiolgy; 4th ed. New york: The Mc Graw-Hill,
2006: chapter 12.
Stoelting K. Robert, MD; Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice, 4th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006: chapter 12.