Anda di halaman 1dari 8

Teknik Jumputan

Definisi Jumputan

Jumputan adalah salah satu cara pemberian motif di atas kain yang dilakukan dengan cara
mengisi kain, melipat kain dan mengikat kain dengan cara tertentu , kemudian mencelup pada
larutan zat warna sehingga akan terjadi reaksi antara serat tekstil dan zat warnanya. Jumputan
dapat dilakukan dengan cara mengisi kain, mengikat dan melipat kain dengan cara tertentu,
kemudian mencelup dalam larutan zat warna yang akan membentuk ikatan reaksi antara serat
tekstil dan zat warnanya, sehingga terciptalah suatu motif pada kain tersebut. Perbedaan cara
mengisi, melipat, dan mengikat kain akan menghasilkan warna dan motif yang berbeda.
Dengan cara ini dapat tercipta ribuan motif.

2. BAHAN BAKU
Kain jumputan umumnya menggunakan bahan sutera, dan kain dari serat alami, antara lain :
jenis katun, rayon atau dari campuran katun dan rayon atau bahkan dengan jenis kain sutra.
Karena kain jenis tersebut mampu menyerap zat warna dan dengan sendirinya kain tersebut
bila dipakai adem dan lebih nyaman (menyerap keringat). Dan memiliki berbagai macam
motif, antara lain motif bintik tujuh, kembang janur, bintik lima, bintik sembilan, cuncung
(terong), bintang lima, dan bintik-bintik. Demikian pula zat warna yang dipergunakan mudah
didapat dipasaran umum. Misalnya dari jenis zat warna reaktif, zat warna bejana, direk,
naptol maupun pigment atau bisa juga dengan zat alami (umbi kunyit, kulit buah manggis,
bunga pukul empat dan lainlain).
Langkah Kerja Membuat Motif Dengan Teknik Jumputan Sesuai Desain

Berikut ini adalah salah satu contoh pembuatan motif dengan teknik jumputan yang
dikerjakan langkah demi langkah.

a. Buatlah motif di atas kain polos yang akan dijumput dengan pensil
b. Ikatlah kain sesuai motif yang akan dibuat. Bagaian yang berwarna putih ditutup
dengan tali rafia/plastik
c. Ikatlah pada bagian bawah kaos dan lengan bagian bawah
d. Didihkan air 2 liter air untuk satu bungkus pewarna/wantex lalu tambahkan 2 sendok
makan garam atau cuka ke dalam larutan pewarna/wantex . Masukkan kain polos
yang sudah diikat. Aduk-aduk agar zat warna tidak mengendap dan biarkan kain
dalam rendaman kira-kira 20 menit.
e. Tiriskan air dari kain lalu jemur dengan cara diletakkan pada permukaan yang rata,
setelah kain kering buka ikatan pada kain
f. Sebuah kaos dengan motif jumputan telah tercipta
SONGKET
Sejarah

Penenunan songket secara sejarah dikaitkan dengan kawasan permukiman dan budaya
Melayu, dan menurut sementara orang teknik ini diperkenalkan oleh pedagang Arab dan
India.[4] Menurut hikayat rakyat Palembang, asal mula kain songket adalah dari perdagangan
zaman dahulu di antara Tiongkok dan India. Orang Tionghoa menyediakan benang sutera
sedangkan orang India menyumbang benang emas dan perak; maka, jadilah songket. Kain
songket ditenun pada alat tenun bingkai Melayu. Pola-pola rumit diciptakan dengan
memperkenalkan benang-benang emas atau perak ekstra dengan penggunaan sehelai jarum
leper. Tidak diketahui secara pasti dari manakah songket berasal, menurut tradisi Kelantan
teknik tenun seperti ini berasal dari utara, yakni kawasan Kamboja dan Siam, yang kemudian
berkembang ke selatan di Pattani dan akhirnya mencapai Kelantan dan Terengganu[rujukan?].
Akan tetapi menurut penenun Terengganu[rujukan?], justru para pedagang Indialah yang
memperkenalkan teknik menenun ini pertama kali di Palembang dan Jambi, yang mungkin
telah berlaku sejak zaman Sriwijaya.

Menurut tradisi Indonesia sendiri, kain songket nan keemasan dikaitkan dengan
kegemilangan Sriwijaya, [5] kemaharajaan niaga maritim nan makmur lagi kaya yang bersemi
pada abad ke-7 hingga ke-13 di Sumatera. Hal ini karena kenyataan bahwa pusat kerajinan
songket paling mahsyur di Indonesia adalah kota Palembang. Songket adalah kain mewah
yang aslinya memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang emas, kemudian
ditenun tangan menjadi kain yang cantik. Secara sejarah tambang emas di Sumatera terletak
di pedalaman Jambi dan dataran tinggi Minangkabau. Meskipun benang emas ditemukan di
reruntuhan situs Sriwijaya di Sumatera, bersama dengan batu mirah delima yang belum
diasah, serta potongan lempeng emas, hingga kini belum ada bukti pasti bahwa penenun lokal
telah menggunakan benang emas seawal tahun 600-an hingga 700-an masehi.[2] Songket
mungkin dikembangkan pada kurun waktu yang kemudian di Sumatera. Songket Palembang
merupakan songket terbaik di Indonesia baik diukur dari segi kualitasnya, yang berjuluk
"Ratu Segala Kain". Songket eksklusif memerlukan di antara satu dan tiga bulan untuk
menyelesaikannya, sedangkan songket biasa hanya memerlukan waktu sekitar 3 hari.
Mulanya kaum laki-laki menggunakan songket sebagai destar, tanjak atau ikat kepala.
Kemudian barulah kaum perempuan Melayu mulai memakai songket sarung dengan baju
kurung.

Dokumentasi mengenai asal-usul songket masih tidak jelas, kemungkinan tenun songket
mencapai semenanjung Malaya melalui perkawinan atau persekutuan antar bangsawan
Melayu, karena songket yang berharga kerap kali dijadikan maskawin atau hantaran dalam
suatu perkawinan. Praktik seperti ini lazim dilakukan oleh negeri-negeri Melayu untuk
mengikat persekutuan strategis. Pusat kerajinan songket terletak di kerajaan yang secara
politik penting karena bahan pembuatannya yang mahal; benang emas sejatinya memang
terbuat dari lembaran emas murni asli.

Songket sebagai busana diraja juga disebutkan dalam naskah Abdullah bin Abdul Kadir pada
tahun 1849.
Songket kini

Ditinjau dari bahan, cara pembuatan, dan harganya; songket semula adalah kain mewah para
bangsawan yang menujukkan kemuliaan derajat dan martabat pemakainya. Akan tetapi kini
songket tidak hanya dimaksudkan untuk golongan masyarakat kaya dan berada semata,
karena harganya yang bervariasi; dari yang biasa dan terbilang murah, hingga yang eksklusif
dengan harga yang sangat mahal. Kini dengan digunakannya benang emas sintetis maka
songket pun tidak lagi luar biasa mahal seperti dahulu kala yang menggunakan emas asli.
Meskipun demikian, songket kualitas terbaik tetap dihargai sebagai bentuk kesenian yang
anggun dan harganya cukup mahal.

Sejak dahulu kala hingga kini, songket adalah pilihan populer untuk busana adat perkawinan
Melayu, Palembang, Minangkabau, Aceh dan Bali. Kain ini sering diberikan oleh pengantin
laki-laki kepada pengantin wanita sebagai salah satu hantaran persembahan perkawinan. Di
masa kini, busana resmi laki-laki Melayu pun kerap mengenakan songket sebagai kain yang
dililitkan di atas celana panjang atau menjadi destar, tanjak, atau ikat kepala. Sedangkan
untuk kaum perempuannya songket dililitkan sebagai kain sarung yang dipadu-padankan
dengan kebaya atau baju kurung. Sebagai benda seni, songket pun sering dibingkai dan
dijadikan penghias ruangan. Penerapan kain songket secara modern amat beraneka ragam,
mulai dari tas wanita, songkok, bahkan kantung ponsel.

Pusat kerajinan songket

Songket tradisional Sasak, Lombok.

Di Indonesia, pusat kerajinan tangan tenun songket dapat ditemukan di Sumatera,


Kalimantan, Bali, Sulawesi, Lombok dan Sumbawa. Di pulau Sumatera pusat kerajinan
songket yang termahsyur dan unggul adalah di daerah Pandai Sikek, Minangkabau, Sumatera
Barat,[8] serta di Palembang, Sumatera Selatan. Di Bali, desa pengrajin tenun songket dapat
ditemukan di kabupaten Klungkung, khususnya di desa Sidemen dan Gelgel. Sementara di
Lombok, desa Sukarara di kecamatan Jonggat, kabupaten Lombok Tengah, juga terkenal
akan kerajinan songketnya.[9] Di luar Indonesia, kawasan pengrajin songket didapati di
Malaysia; antara lain di pesisir timur Semenanjung Malaya[10] khususnya Terengganu dan
Kelantan; serta di Brunei.
Masjid Agung Palembang

Masjid Agung Palembang merupakan salah


satu peninggalan Kesultanan Palembang. Masjid ini didirikan oleh Sultan Mahmud
Badaruddin I atau Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikramo mulai tahun 1738 sampai 1748.
Konon masjid ini merupakan bangunan masjid terbesar di Nusantara pada saat itu.

Masjid Agung Palembang pada mulanya disebut Masjid Sultan dan dibangun pada tahun
1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Peresmian pemakaian masjid ini
dilakukan pada tanggal 28 Jumadil Awal 1151 H (26 Mei 1748). Ukuran bangunan mesjid
waktu pertama dibangun semula seluas 1080 meter persegi dengan daya tampung 1200
jemaah. Perluasan pertama dilakukan dengan wakaf Sayid Umar bin Muhammad Assegaf
Altoha dan Sayid Achmad bin Syech Sahab yang dilaksanakan pada tahun 1897 dibawah
pimpinan Pangeran Nataagama Karta mangala Mustafa Ibnu Raden Kamaluddin.
Pada awal pembangunannya (1738-1748),
sebagaimana masjid-masjid tua di Indonesia, Mesjid Sultan ini pada awalnya tidak
mempunyai menara. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-
1774) barulah dibangun menara yang letaknya agak terpisah di sebelah barat. Bentuk
menaranya seperti pada menara bangunan kelenteng dengan bentuk atapnya berujung
melengkung. Pada bagian luar badan menara terdapat teras berpagar yang mengelilingi
bagian badan.

Bentuk masjid yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Agung, jauh berbeda tidak seperti
yang kita lihat sekarang. Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan
dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi
perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian dilakukan
penambahan/perluasan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada tahun
1990-an. Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina,
dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara
asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan.

Perluasan kedua kali pada tahun 1930.


tahun 1952 dilakukan lagi perluasan oleh Yayasan Masjid Agung yang pada tahun 1966-1969
membangun tambahan lantai kedua sehingga luas mesjid sampai sekarang 5520 meter persegi
dengan daya tampung 7.750.

Masjid Agung merupakan masjid tua dan sangat penting dalam sejarah Palembang. Masjid
yang berusia sekitar 259 tahun itu terletak di Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, tepat
di pertemuan antara Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman, pusat Kota Palembang. Tak jauh dari
situ, ada Jembatan Ampera. Masjid dan jembatan itu telah menjadi land mark kota hingga
sekarang.
Dalam sejarahnya, masjid yang berada di pusat kerajaan itu menjadi pusat kajian Islam yang
melahirkan sejumlah ulama penting pada zamannya. Syekh Abdus Samad al-Palembani,
Kemas Fachruddin, dan Syihabuddin bin Abdullah adalah beberapa ulama yang
berkecimpung di masjid itu dan memiliki peran penting dalam praksis dan wacana Islam.
1. Maya Trigustini
2. Yossi Nurhidayati

KELAS : X.6

Anda mungkin juga menyukai