SKRIPSI
Oleh:
UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
SURABAYA
2015
SKRIPSI
Oleh:
UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
SURABAYA
2015
PENGESAHAN
Mengesahkan
Universitas Airlangga
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Dekan,
Tim Penguji
ii
SKRIPSI
Oleh :
Mengetahui, Menyetujui,
iii
Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan skripsi
saya yang berjudul:
“PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP STATUS
FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA”
Apabila suatu saat nanti terbukti melakukan tindakan plagiat, maka saya akan
menerima sanksi yang telah diterapkan.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH
PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP STATUS FAAL PARU
PEKERJA DI PT X SURABAYA” sebagai salah satu persyaratan akademis
dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Airlangga.
Dalam skripsi ini dijabarkan tentang analisis pengaruh debu batubara
terhadap kondisi faal paru pekerja di bagian boiler PT X. Berdasarkan hasil
pengukuran faal paru dan hasil pengukuran kadar debu di bagian boiler serta
dibandingkan dengan kondisi faal paru pekerja bagian lain yang tidak terpapar
debu batubara, maka akan dapat diketahui seberapa besar potensi paparan debu
batubara tersebut untuk menimbulkan risiko gangguan faal paru pada pekerja.
Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sho’im
Hidayat, dr., M.S., selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan
arahan, koreksi, dan saran serta memberikan waktunya untuk berdiskusi melalui
pertemuan langsung hingga terwujudnya skripsi ini.
Terima kasih penulis sampaikan pula kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Tri Martiana, dr., M.S., selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Airlangga.
2. Mulyono, S.KM., M.Kes., selaku Ketua Departemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.
3. Ibu, Bapak, Mas Bimo, dan nenek yang selalu memberikan doa, dukungan,
dan semangat kepada penulis.
4. Jajaran direksi PT X yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan
penelitian di PT X.
5. EHFS Team PT X Surabaya, yaitu Bapak Arifin, Pak Intaha, Mas Dedy, Mas
Ardi, Pak Parno, Pak Choirudin, Pak Kosim, Mas Sihab, Mas Dany, Pak Ali,
dan Pak Yanto yang telah memberikan arahan dan bantuan selama penelitian.
6. Bapak Benny dan Bapak Muslikan serta seluruh responden yang terhormat,
terimakasih atas waktu dan kesediaan membantu penelitian ini.
7. Ibu Diah dan Ibu Mahmudah yang dengan sabar memberikan bimbingan
statistik.
8. Sahabat RAS (Risnia, Fara, Marta, Windy, Denov, Santi, Olin, Oma Ifa, Zia,
dan Fenty), Rezza, Marcel, dan Dewi, Adyra, Azzah, Budi, Kirwan, Laila,
Tutus, dan Clairine yang selalu membantu dan menemani di segala situasi.
9. Teman-teman seangkatan 2011 FKM UA.
Semoga Allah SWT. memberikan kebaikan atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga skripsi ini berguna baik bagi diri kami sendiri maupun
pihak lain yang memanfaatkan.
v
Skripsi PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP YOSI DHEMAS LARASATI
STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ABSTRACT
Coal dust can cause impaired lung function and even pneumoconiosis which
led to irreversible lung damage. PT X is one of the industries that use coal as the
fuel for its boiler. Boiler unit’s workers have the risk of impaired lung function
because of the long-term inhalation of coal dust. The objective of this study was to
analyze the effect of coal dust exposure to the worker’s lung function.
This was a desciptive study with cross sectional design. Data was collected
by giving questionnaires, dust levels measurement, and the lung function test. The
population of this study were 11 workers at boiler unit and 11 workers at packaging
warehouse office. Data was analyzed by multiple linear regression to determine the
most dominant variable.
The boiler unit’s workers had three times greater risk than packaging
warehouse office’s workers to experience impaired lung function. But, the coal dust
effect to that damage might be low. The average of the coal dust level at boiler unit
was 0,4174 mg/m3. The multiple linear regression showed the most dominant factor
that affected to the %FEV1 value of boiler unit’s workers was the cigarette dose (β=
-0,522) and the exercise habits (β= -0,779) for %FVC value. Besides, the most
dominant factor that affected to the %FEV1 value of packaging warehouse’s
workers was age (β= -0,515) and duration of employment (β= 0,595) for %FVC
value.
The boiler unit’s workers had three times greater risk than packaging
warehouse office’s workers to experience impaired lung function even though the
effect of coal dust exposure estimated was low. Workers at boiler unit that have
impaired lung function must be rotated to another workplace where there is no coal
dust exposure and highly recommended that they have to stop smoking.
vi
Skripsi PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP YOSI DHEMAS LARASATI
STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ABSTRAK
vii
Skripsi PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP YOSI DHEMAS LARASATI
STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
HALAMAN PERSETUJUAN iii
SURAT PERNYATAAN TENTANG ORISINALITAS iv
KATA PENGANTAR v
ABSTRACT vi
ABSTRAK vii
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN xiii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Identifikasi Masalah 6
1.3 Rumusan Masalah 8
1.4 Tujuan Penelitan 8
1.4.1 Tujuan Umum 8
1.4.2 Tujuan Khusus 8
1.5 Manfaat Penelitian 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10
2.1 Debu 10
2.1.1 Pengertian Debu 10
2.1.2 Jenis-Jenis Debu 11
2.1.3 Sifat-Sifat Debu 12
2.1.4 Dampak Paparan Debu terhadap Saluran Pernapasan 12
2.2 Batubara 16
2.2.1 Pengertian Batubara 16
2.2.2 Jenis-jenis Batubara 17
2.2.3 Karakteristik Batubara 18
2.2.4 Nilai Ambang Batas Debu Batubara 20
2.2.5 Penyakit Paru Kerja Akibat Debu Batubara 21
2.3 Anatomi dan Fisiologi Pernapasan Manusia 23
2.3.1 Anatomi Pernapasan Manusia 23
2.3.2 Fisiologi Pernapasan Manusia 27
2.3.3 Patofisiologi 29
2.4 Pemeriksaan Faal Paru 30
2.5 Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Paru 34
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL 40
BAB IV METODE PENELITIAN 42
4.1 Jenis dan Rancang Bangun Penelitian 42
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian . 42
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 42
4.3.1 Populasi Penelitian 42
4.3.2 Sampel Penelitian 43
viii
Skripsi PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP YOSI DHEMAS LARASATI
STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ix
Skripsi PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP YOSI DHEMAS LARASATI
STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR TABEL
x
Skripsi PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP YOSI DHEMAS LARASATI
STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR GAMBAR
xi
Skripsi PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP YOSI DHEMAS LARASATI
STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR LAMPIRAN
xii
Skripsi PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP YOSI DHEMAS LARASATI
STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Daftar Singkatan
ACGIH = American Conference of Governmental Industrial Hygienist
APP = Alat Pelindung Pernapasan
CDC = Centers for Disease Control and prevention
FEV1 = Forced Expiration Volume 1 second
FVC = Forced Vital Capacity
VC = Vital capacity
TLC = Total Lung Capacity
VT = Volume Tidal
ERV = Expiration Residual Volume
IRV = Inspiration Residual Volume
RV = Residual Volume
IC = Inspiratory Capacity
FRV = Functional Residual Volume
NAB = Nilai Ambang Batas
MVV = Maximal Voluntary Ventilation
ILO = International Labour Organization
IMT = Indeks Masa Tubuh
NIOSH = National Institute of Occupational Safety and Health
SCBA = Self-Contained Breathing Apparatus
SNI = Standar Nasional Indonesia
COPD = Chronic Obstructive Pulmonary Disease
xiii
Skripsi PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP YOSI DHEMAS LARASATI
STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB 1
PENDAHULUAN
bebatuan selama jutaan tahun. Batubara merupakan bahan bakar fosil yang
mesin ketel uap (boiler) di industri. Penggunaan batubara sebagai bahan bakar
tersebut menghasilkan debu yang menjadi salah satu sumber polutan udara di
kawasan industri. Paparan debu batubara setiap hari dalam waktu lama dapat
Kingdom 7 mg/m3. Sementara itu, ACGIH menetapkan NAB yang berbeda untuk
batubara sesuai jenisnya, yaitu 0,4 mg/m3 untuk jenis anthracit dan 0,9 mg/m3
debu batubara (Onder dkk, 2009). Semua ketetapan tersebut lebih rendah
dibanding dengan ketetapan NAB debu umum karena debu batubara lebih
NAB zat kimia di udara tempat kerja juga menyebutkan NAB untuk debu
1
Skripsi PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP YOSI DHEMAS LARASATI
STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
2
mengacu pada NAB debu secara umum yang tercantum dalam Permenakertrans
kerja, yaitu 10 mg/m3, untuk area boilernya yang menggunakan batubara. Hal itu
Indonesia lebih tinggi dari 2 mg/m3 sehingga peluang terjadinya gangguan saluran
debu batubara secara berulang dalam waktu lama dapat berupa obstruksi, restriksi,
debu batubara karena obstruksi dapat pula terjadi karena paparan selain debu
batubara. Obstruksi dapat terjadi jika debu yang terhirup menumpuk di jaringan
interstisial paru, yaitu pembentukan jaringan ikat fibrosa yang dapat menurunkan
elastisitas alveolus. Penurunan elasititas alveolus ini membuat volume udara yang
yang disebabkan oleh inhalasi debu batubara dalam waktu lama, dimana memicu
2012). Pneumokoniosis pada pekerja yang terpapar debu batubara disebut coal
perkembangan industri. Pada debu batubara sering terdapat pula debu silika
pekerjanya yang terpapar batubara. Hal itu membuat jumlah kasus antrakosis di
Indonesia tidak diketahui secara pasti. Terdapat tiga cara diagnosis, yaitu
Pemeriksaan faal paru merupakan cara diagnosis yang paling sering dilakukan
dibandingkan yang lainnya karena lebih murah dan mudah (Susanto, 2011).
Analisis debu penyebab dilakukan untuk melihat debu mineral atau produk
foto toraks dan CT scan untuk melihat gambaran fibrosis yang terjadi dan ada
tidaknya opasitas halus pada zona paru atas yang merupakan ciri dari antrakosis.
kelainan restriksi karena terjadi fibrosis pada paru. Namun, pemeriksaan dengan
spirometri ini tidak dapat memberikan kepastian bahwa gangguan faal paru yang
terjadi merupakan akibat dari paparan debu batubara atau bukan (Susanto, 2011).
akibat antrakosis pada pekerja tambang batubara, yaitu 471 kasus pada tahun 2008
menjadi 486 kasus pada tahun 2010 (CDC, 2014). Usia pekerja yang terkena
antrakosis berat relatif masih muda, yaitu dibawah 50 tahun (NIOSH, 2011). Di
China, kasus antrakosis sebesar 48% dari total kasus pneumokoniosis (Liu dkk,
2009). Di Australia, terdapat lebih dari 1000 kasus pneumokoniosis dimana 6%-
Data yang ada masih terbatas pada penelitian-penelitian berskala lokal pada
batubara, yaitu 6% obstruksi dan 7,8% restriksi (Razi dkk, 2008). Sebesar 54,9%
pekerja yang berada di bagian coal handling PT PJB unit pembangkit Paiton
mengalami gangguan faal paru restriktif (Puspita, 2011). Hasil penelitian lain
mengalami restriksi ringan, 65% mengalami restriksi sedang, dan 10% lainnya
pekerja yang mengalami restriksi paru dan berhubungan dengan paparan debu
batubara. Hal tersebut tidak dapat diabaikan bahwa kemungkinan pekerja tersebut
bersifat irreversible dan dapat berujung fatal, maka mencegah terjadinya paparan
ventilasi yang bagus, serta regulasi penggunaan alat pelindung pernapasan. Selain
itu juga harus ada program surveilens kesehatan melalui pemeriksaan faal paru
selanjutnya. Diagnosis dini bermanfaat agar gangguan faal paru yang terdeteksi
Telah lama diketahui bahwa pekerja yang bekerja di area berdebu seperti
pekerja di area lain (Jones dkk, 2002). PT X merupakan salah satu industri yang
mempunyai dua buah boiler berbahan bakar batubara yang beroperasi penuh
selama 24/hari. Sebesar 11 orang pekerja boiler PT X yang terbagi ke dalam tiga
shift kerja setiap harinya terpapar langsung debu batubara ketika loading-
pembersihan stop plant boiler. Pekerja di bagian boiler tersebut tidak semuanya
mengalami gangguan faal paru lebih tinggi. Namun, tidak menutup kemungkinan
pekerja di bagian lain yang tidak terpapar debu batubara langsung juga mengalami
gangguan faal paru. Hal tersebut karena kondisi faal paru seseorang dipengaruhi
individu terdiri dari umur, ukuran tubuh, masa kerja, kebiasaan merokok, dan
fungsi paru sudah mulai menurun secara gradual sekitar 20 ml tiap tahunnya
Orang yang merokok dengan dosis ≥ 20 batang perhari berisiko enam kali lipat
minyak goreng dan margarin dari crude palm oil (CPO). PT X menggunakan dua
buah boiler dengan bahan bakar batubara untuk menghasilkan uap panas bagi
di bagian boiler yang terbagi ke dalam 3 shift, mempunyai risiko lebih besar untuk
karena setiap hari terpapar debu batubara langsung pada saat melakukan loading-
menunjukkan konsentrasi debu dan partikulat di area boiler batubara < 0,001 mg/
m3, di cerobong batubara 210 mg/Nm3, dan pada gudang penyimpanan batubara
0,033 mg/Nm3. Meskipun kadar debu yang terukur masih di bawah NAB, namun
terpapar debu batubara mengalami gangguan faal paru. Gangguan faal paru
bagian boiler mengalami gangguan faal paru tersebut diperkuat oleh data hasil
perusahaan selama Maret 2014 - Maret 2015 yang menunjukkan bahwa keluhan
penyakit tertinggi pekerja adalah ISPA. Menurut Suma’mur (2011), gejala pada
gangguan faal paru atau pneumokoniosis antara lain batuk kering, sesak napas,
banyak dahak, dan kelelahan umum dimana gejala tersebut mirip dengan ISPA.
tersebut dapat dilakukan pada tenaga kerja yang terdapat dugaan-dugaan tertentu
Selain karena paparan debu batubara, gangguan faal paru pekerja juga
dipengaruhi oleh faktor karakteristik pekerja yang meliputi usia, masa kerja, lama
pernapasan, kebiasaan olah raga, dan riwayat penyakit saluran pernapasan. Oleh
karena itu, sebagai pembanding kondisi faal paru pekerja bagian boiler yang
paru pekerja lain yang tidak terpapar langsung oleh debu batubara, yaitu pekerja
gangguan faal paru pada pekerja bagian boiler dibandingkan dengan pekerja di
bagian lain.
Surabaya.
gizi, kebiasaan merokok, dan kebiasaan olahraga) bagian boiler dan bagian
packaging warehouse PT X.
packaging warehouse PT X.
packaging warehouse PT X.
gizi, kebiasaan merokok, dan kebiasaan olahraga terhadap status faal paru
1. Bagi perusahaan
2. Bagi penulis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Debu
Debu adalah partikel zat kimia padat yang terbentuk akibat adanya
pengepakan secara cepat, peledakan dan sejenisnya dari suatu benda organis
maupun anorganis, misalnya batubara, kayu, bijih logam, kapur, dan batu. Sifat
debu tersebut adalah tidak berflokulasi (tidak menggumpal) kecuali jika ada gaya
tarikan elektris, tidak berdifusi, dan dapat mengendap akibat adanya gaya
gravitasi bumi (Suma’mur, 2011). Menurut definisi IUPAC (1990), selain karena
aktifitas mekanis manusia, debu dapat tersebar di udara karena adanya kekuatan
alam seperti angin dan letusan gunung berapi. Partikel debu tersebut biasanya
partikel kering yang halus atau bubuk yang ringan sehingga dapat melayang-
layang di udara dalam beberapa waktu. Partikel debu berdiameter < 10 µm dan
mempunyai sifat toksik dapat berbahaya jika terhirup dalam saluran pernapasan.
Sedangkan dalam ilmu pencemaran udara, debu difinisikan sebagai partikel yang
paling berpengaruh besar terhadap pencemaran udara. Sifat kimia dan sifat fisik
10
Skripsi PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP YOSI DHEMAS LARASATI
STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
11
akibat fisiologisnya terhadap manusia atau tenaga kerja yang terpapar debu sesuai
1) Debu fibrogenik, yaitu debu yang dapat menyebabkan fibrosis pada sistem
pernapasan. Contohnya adalah debu silika, debu asbes, timah putih, dan
batubara.
4) Debu radioaktif, yaitu debu yang mempunyai radiasi alfa dan beta.
5) Debu eksplosif, yaitu debu yang mudah meledak pada suhu atau kondisi
organik.
6) debu inert (nuisance dust), yaitu debu yang mengandung < 1% kuarsa.
menimbulkan iritasi pada kulit dan selaput lendir, serta dapat mengganggu
ini tidak dapat menyebabkan fibrosis paru. Contoh nuisance dust adalah
7) Respirable dust, yaitu partikel debu berukuran < 10 mikron yang dapat
8) Inhalable dust atau irrespirable dust, yaitu debu yang tidak dapat masuk
karena adanya gaya gravitasi bumi. Namun, untuk debu yang berukuran
2) Permukaannya basah, yaitu permukaan debu dilapisi oleh air yang sangat
tipis. Hal ini berhubungan dengan sifat debu lainnya yaitu dapat
menggumpal.
4) Mempunyai listrik statis, yaitu sifat listrik yang dapat menarik partikel lain
menggumpal.
1) Solubility
air ini berpengaruh terhadap lokasi terdepositnya debu tersebut. Debu yang
mudah larut dalam air (soluble) akan terabsorbsi dari seluruh jalur
insoluble tersebut ditelan oleh sel fagosit. Sel fagosit tersebut kemudian
2011).
2) Jenis debu
3) Konsentrasi debu
parah.
yang berukuran di bawah 0,1 mikron akan melayang atau bergerak keluar
ukuran partikel debu maka dampak gangguan yang timbul akan semakin
5) Durasi paparan
paparan, dosis paparan debu yang diterima juga akan meningkat sehingga
dua macam, yaitu debu kerja yang bersifat fibrogenik (dapat menyebabkan
fibrosis jaringan) dan debu kerja nonfibrogenik. Contoh dari debu kerja yang
mempunyai sifat fibrogenik adalah silika, asbes, dan batubara. Pekerja yang
menimbulkan efek kerusakan yang sementara, alveoli tetap utuh, tidak terbentuk
jaringan ikat, dan efek yang umum adalah iritasi. Debu nonfibrogenik disebut juga
debu inert, contohnya adalah debu kaolin, titanium doiksida, barium sulfat, dan
darah, limfa, dan saluran napas kecil yang ada di sekitarnya sehingga
elastisitas paru untuk mengembang dan mengempis sehingga volume udara yang
hydrides, magnesium, cynamid, dan debu dari pestisida. Bila iritasi tersebut terus
berlanjut dalam waktu lama maka dapat menjadi penyakit bronkitis kronis dan
alergi pada individu yang sensitif, misalnya debu gandum, spora jamur, teh, kopi,
dan sebagainya. Penyakit kerja akibat debu bersifat alergen tersebut disebut asma
kerja. Asma kerja merupakan serangan sesak napas paroksimal akibat adanya
peningkatan kepekaan dari trakhea dan bronkhus karena adanya berbagai macam
menyeluruh. Selain karena debu organik, asma kerja juga dapat terjadi karena
2.2 Batubara
bahan bakar menghasilkan debu batubara. Debu batubara adalah material batubara
yang berbentuk bubuk, berasal dari hancuran batubara saat terjadi proses
pelapukan. Debu batubara ini mengandung lebih dari 50 zat. Kandungan zat
mineral batubara tersebut bergantung pada besar partikel debunya dan jenis
jenis bituminous.
3) Bituminous, yaitu jenis batubara yang paling umum dan penting bagi
industri karena nilai panas dan kulitas karbon batubara jenis ini paling
bagus.
1) Berat jenis
Berat jenis batubara berbeda-beda sesuai jenisnya. Berat jenis lignit dan
antrasit 1,5 g/cm3, bituminous 1,25 g/cm3, dan graffit 2,2 g/cm3. Selain
oleh jumlah dan jenis mineral yang dikandung abunya serta kerapatan
porositasnya.
2) Kandungan air/Kelembaban
Baubara yang baik adalah batubara yang kering atau tidak lembab.
sampai suhu 950°C. Zat terbang tersebut terdiri dari campuran gas
senyawa organik yang akan mencair menjadi bentuk minyak dan tar
bertitik didih rendah. Zat terbang ini penting untuk mengendalikan asap
Semakin tinggi zat terbang dari suatu pembakaran batubara maka semakin
terbakar hingga habis. Sifat batubara yang demikian adalah yang cocok
combustation).
4) Porositas
500A° dan pori berukuran rata-rata 5-15A°. Porositas ini berkaitan dengan
tersebut.
5) Weathering
6) Abu
7) Pecahan
8) Kandungan karbon
derajat batubara, yaitu rendah pada jenis lignit, meningkat pada antrasit
kerja terhadap efek pemarapan kerja. NAB adalah standar Indonesia untuk faktor
bahaya kimia dan fisika di tempat kerja yang merupakan pedoman pengendalian
agar tidak mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan. Nilai ketetapan yang
dipakai NAB megadopsi dari Threshold Limit Value (TLV) yang merupakan
standar ketetapan oleh ACGIH dan bisa juga mengacu pada Maximun Allowable
untuk debu batubara tidak disebutkan secara spesifik dalam peraturan tersebut. Di
negara lain, NAB yang ditetapkan untuk debu batubara berbeda-beda. Amerika
Sementara itu, ACGIH menetapkan NAB yang berbeda untuk batubara sesuai
jenisnya, yaitu 0,4 mg/m3 untuk jenis antrachit dan 0,9 mg/m3 jenis bituminous.
1) Pneumokoniosis batubara
ini juga sering disebut black lung disease karena gambaran rontgen paru
oleh makrofag lewat bronkus dan trakea. Namun, paparan dalam intensitas
gangguan paru (Suyono, 1995). Umumnya, jarang pekerja yang terpapar debu
siliko antrakosis murni disertai emfisema, hal ini sangat berbahaya dan dapat
penyakit yang berat. Masa laten penyakit ini adalah 2-4 tahun. Perjalanan klinis
terkadang muncul adalah sesak napas, sering batuk dan mengeluarkan dahak
2011).
2) Silikosis
pekerja yang terpapar debu batubara juga berpotensi terkena silikosis. Silikosis
disebabkan oleh debu kristalin silika berukuran < 10 mikron yang terhirup dan
dengan membentuk jaringan parut dan nodul yang melingkari sekitar debu
silika di paru. Jika nodul semakin besar dan lukanya menjadi ekstensif, maka
adanya bronkitis kronis atau emfisema. Hambatan aliran udara ini dikarenakan
dan tidak dapat sepenuhnya kembali pulih normal. Gejala yang muncul akibat
COPD adalah napas terputus-putus dan pendek. Penurunan fungsi paru timbul
pada saat terjadi peningkatan jumlah pejanan debu batubara dalam tubuh
manusia yang berfungsi sebagai jalur lintasan tempat pertukaran gas dalam proses
resapan oksigen dalam udara di alveoli ke dalam darah di kapiler alveoli serta
internal adalah proses pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara kapiler
sistemik dengan sel jaringan. Pada saat bernapas setiap sel dalam tubuh menerima
persediaan oksigennya dan melepaskan produk oksidasinya (H2O dan CO2) pada
dari:
1) Nares Anterior
ini dilapisi oleh epitelium bergaris yang terhubung dengan kulit. Nares anterior
2) Rongga hidung
lubang (cavum nasi) yang dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Rongga
hidung dilapisi selaput lendir yang mengandung banyak pembuluh darah dan
tersambung dengan lapisan faring serta semua selaput lendir dari semua sinus
dilapisi oleh epithelium dan sel epitel berambut yang mengandung sel lendir
dimana sel lendir tersebut berfungsi untuk membuat permukaan nares tetap
basah.
Udara yang masuk ke dalam rongga hidung disaring oleh bulu-bulu yang
lendir sehingga membuat udara menjadi hangat dan lembab karena terkena
penguapan air dari permukaan selaput lendir tersebut. Rongga hidung juga
lubang nasolakrimal yang menyalurkan air mata dari mata hingga ke dalam
hidung.
3) Faring (tekak)
Faring atau yang juga lebih dikenal dengan nama tekak adalah pipa
dengan osofagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Jadi faring terletak di
persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan makanan. Pada waktu menelan
4) Laring (tenggorok)
kolumna vertebrata. Bagian laring terdiri dari kepingan tulang rawan yang
terikat bersama ligamen dan membran. Di dalam laring juga terdapat pita suara
yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis. Suara dihasilkan karena adanya
dengan jaringan fibrosa. Trakhea juga dilapisi oleh selaput lendir yang terdiri
dari epitelium bersilia dan sel lendir. Silia bergerak ke arah laring, oleh karena
gerakan silia ini debu dan butiran halus lainnya yang masuk ke dalam saluran
6) Bronkhus
Struktur dan lapisan bronkhus serupa dengan struktur dan lapisan pada
trakhea, yaitu struktur tulang rawan dan lapisan epitelium bersilia serta sel
dan kanan tidak simetris. Bronkhus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan
panjang, lebih sempit, dan sudutnya juga lebih langsing. Imlpilasi klinis dari
bentuk anatomi yang demikian adalah jika ada benda asing yang terhirup ke
dalam saluran pernapasan, maka benda tersebut akan lebih mungkin berada di
bronkhus kanan daripada bronkhus kiri karena arah dan bentuknya yang lebih
lebar. Bronkhus kanan mempunyai tiga cabang, yang pertama disebut bronkhus
lobus atas. Cabang kedua disebut bronkhus lobus bawah timbul setelah cabang
utama melalui bawah arteri. Cabang selanjutnya adalah cabang lobus tengah
Cabang utama bronkhus kiri dan kanan bercabang lagi menjadi bronkhus
dan berjalan terus sampai makin lama makin kecil dan akhirnya menjadi
semakin berkurang dan akhirnya hanya tersusun dari dinding fibrosa berotot
alveoli. Alveoli terdiri dari sel epitelium pipih. Di alveoli terjadi pertukaran
gas.
7) Paru
alveolus yang merupakan unit fungsional paru sebagai tempat pertukaran gas
pernapasan. Paru terletak di dalam rongga dada sebelah kanan dan kiri. Paru
kanan terdiri dari tiga lobus sedangkan paru kiri terdiri dari dua lobus. Paru
merupakan organ yang berbentuk kerucut deangn puncak di atas. Pangkal paru
berada di atas diafragma. Setiap paru dilindungi oleh pleura yang terdiri dari
melapisi rongga dada sebelah luar. Di antara pleura visceral dan pleura parietal
karena bernapas.
pergerakan udara antara atmosfer (udara luar) dengan paru. Pergerakan udara
tersebut terjadi karena adanya perubahan tekanan udara dalam paru. Oksigen
dihirup melalui hidung dan mulut kemudian masuk ke trakhea, ke pipa bronkhial,
dan ke alveoli. Oksigen dalam udara yang terhirup kemudian menembus membran
alveoli-kapiler lalu diikat oleh hemoglobin sel darah merah dibawa ke jantung.
kemudian dibawa keluar melalui pipa bronkial, trakhea dan terkhir mulut atau
hidung. Proses pertukaran oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan kapiler
3) Distribusi arus darah dan arus udara sehingga semua bagian tubuh
Pada saat keadaan pernapasan normal, darah yang keluar dari paru akan
menerima karbondioksida dan oksigen dalam jumlah yang tepat. Namun, apabila
tubuh bergerak lebih banyak maka darah dari paru akan membawa gas
2.3.3 Patofisiologi
Debu, aerosol, dan zat iritan kuat merupakan agen yang dapat
napas. Zat-zat tersebut jika dapat masuk hingga ke dalam paru dapat
biasanya toleran terhadap paparan zat-zat tersebut dalam kadar rendah karena
penyakit bronkitis yang juga sering dijumpai pada perokok (Suyono, 1995).
mampu masuk sampai saluran pernapasan bagian atas dan menimbulkan efek
Sedangkan debu yang berukuran 0,5 µm sampai 5 µm dapat masuk hingga saluran
napas terminal atau alveoli. Sampai di sana, debu tersebut akan dikumpulkan oleh
kelebihan beban akibat adanya paparan debu respirable dalam kadar tinggi dan
peningkatan sekresi lendir, semakin sering timbul reflek batuk, serta rentan
terhadap infeksi. Sementara itu, jika partikel debu yang masuk bersifat fibrogenik
(Suyono, 1995).
Pemeriksaan faal paru dengan cara yang paling mudah dan sederhana
penderita gangguan faal paru memiliki nilai ekspirasi paksa yang abnormal. Oleh
karena itu, pemeriksaan faal paru yang dilakukan secara rutin dapat berguna untuk
mendeteksi penyakit saluran pernapasan pada tahap dini atau dapat memantau
melakukan pemeriksaan faal paru dengan spirometri antara lain orang yang
mengeluh sesak napas, pemeriksaan berkala bagi pekerja pabrik, penderita PPOK,
penderita asma, dan perokok. Pemeriksaan spirometri tidak boleh dilakukan pada
miokard, emboli paru, pasca bedah mata, aneurisma serebri dan toraks, serta
a. Vital capacity (VC), yaitu volume total udara yang dapat dikeluarkan oleh
ERV.
secara paksa.
c. Total Lung Capacity (TLC), yaitu jumlah udara yang ada didalam paru
ERV + RV.
d. Volume Tidal (VT), yiatu udara yang dihasilkan dari inspirasi dan ekspirasi
normal. Pada orang dewasa normal jumlah volume tidal adalah 500 ml.
f. Inspiration Residual Volume (IRV), yaitu jumlah udara yang dapat dihirup
g. Residual Volume (RV), yaitu jumlah udara yang masih tetap ada di paru
pada perempuan.
h. Inspiratory Capacity (IC), yaitu volume udara total yang masuk ke dalam
i. Functional Residual Volume (FRV), yaitu udara yang masih ada di dalam
a. Forced Expiration Volume 1 second (FEV1), yaitu jumlah udara yang dapat
dapat dihirup dan dihembuskan dari paru selama satu menit setelah
dengan penurunan nilai FEV1 dan kecepatan aliran udara pada saat
lumen (akibat adanya sekresi mukus yang banyak, edema karena iritasi
(West, 2011).
vital, dan aliran udara sehingga nilai FEV1 maupun FVC sama-sama
menurun.
Pada kasus penyakit restriktif, hasil pengukuran TLC dan volume paru
lainnya akan menurun, sedangkan pada kasus paru obstruktif terjadi hiperinflasi
yang menyebabkan TLC dan rasio RV/TLC meningkat. Paru yang normal
memiliki nilai FEV1 > 80% dari nilai FEV1 prediksi dan rasio FEV1/FVC > 75%.
Pada paru yang mempunyai penyakit obstruksi hasil pengukuran FEV1 berkurang
menurun. Sedangkan pada penyakit paru restriksi hasil pemeriksaan FEV1 dan
meningkat. Rasio FEV1/FVC pada hasil tes seringkali ditulis sebagai nilai %FEV1
(Harrianto, 2010).
Berikut ini adalah interpretasi hasil penilaian kapasitas faal paru oleh Balai
UPTK3 Surabaya:
dilihat dari kurva yang tercetak dari spirometri. Gambaran kurva tersebut antara
Gambar 2.1 Kurva aliran volume pada berbagai kondisi: O, kelainan obstruktif;
R(P), kelainan restriktif parenkimial; R(E) kelainan restriktif ekstraparenkimal
dengan keterbatasan pada inspirasi dan ekspirasi.
1) Usia
epiteal akan menurun sesuai peningkatan usia (Sharma & Goodwin, 2006).
optimum. Setelah itu akan menetap (stationer) sampai pada usia 30 tahun,
penurunan yang terjadi untuk nilai FVC dan FEV1 adalah 20 ml tiap satu
2) Masa kerja
debu atau aerosol kondisi parunya sangat dipengaruhi oleh masa kerja.
Paparan dalam kadar tinggi jika terpejan dalam waktu yang lama maka
akan semakin banyak partikel debu atau aerosol yang akan tertimbun
3) Kebiasaan merokok
Asap rokok adalah salah satu polutan paling penting dalam praktik
karena asap rokok dihirup perokok dalam jumlah yang lebih besar
bahan lain yang disebut tar merupakan zat yang berperan penting sebagai
berbeda-beda, selain itu juga mungkin cara menghisap rokok juga turut
berperan.
dengan efek dari paparan rokok. Oleh karena itu pekerja dilingkungan
yang berdebu dan perokok akan lebih rentan terkena gangguan faal paru
4) Status gizi
kelompok berikut:
penyakit infeksi karena imunitas tubuh yang lemah. Status gizi yang lebih
(obesitas) juga tidak baik terhadap kapasitas faal paru seseorang. Akibat
rongga perut yang menekan rongga dada, rongga abdomen dan paru.
5) Kebiasaan olahraga
dengan olahraga yang rutin. Akibat peningkatan aliran darah yang melalui
berdifusi ke dalam kapiler paru dengan volume yang lebih besar. Disisi
lain, dengan berolahraga daya tahan tubuh lebih terjaga sehingga tidak
turunnya volume sekuncup paru antara lain dapat karena penyakit pada
otot, abnormalitas rongga pleura, kista, gagal jantung kiri, dan infeksi
tersebut disesuaikan dengan jenis paparan dan tujuannya. Ada tiga jenis
(Revoir, 1997).
terkontaminasi dengan cara filtrasi atau absorbsi. Jenis ini tidak boleh
digunakan pada tempat dimana kadar oksigennya rendah (harus lebih dari
16%). Air purifying respirators dapat melindungi dari paparan debu, gas,
digunakan dipasok dari suatu kompresor atau carsade system. Jenis ini
mengandung gas, debu, fume, atau asap dengan toksisitas tinggi serta
paparan debu, gas, uap, atau asap dengan toksisitas tinggi serta pada kadar
2005).
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
pneumokoniosis
Keterangan :
: Yang diteliti
40
Skripsi PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP YOSI DHEMAS LARASATI
STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
41
Debu batubara yang terhirup secara terus-menerus dalam waktu lama akan
terdeposit pada saluran pernapasan. Terdapat dua efek akibat deposit debu batubara
di saluran pernapasan. Pertama, debu yang terdeposit pada jaringan epitel saluran
dan terjadilah obstruksi. Kedua, debu batubara jika terdeposit pada alveolus akan
terbentuknya jaringan ikat sehingga terjadi restriksi paru dimana elastisitas alveolus
dalam menampung udara menurun. Kejadian obstruksi dan restriksi tidak hanya
dapat terjadi karena adanya paparan debu batubara namun juga dipengaruhi oleh
faktor lain, yaitu karakteristik individu yang meliputi umur, status gizi, lama
paparan, masa kerja, kebiasaan merokok, olahraga, dan memakai alat pelindung
pernapasan, serta riwayat penyakit saluran pernapasan. Obstruksi dan retriksi paru
merupakan bentuk gangguan faal paru pada pekerja yang terpapar debu batubara.
Adanya gangguan faal paru berupa restriksi dan obstruksi dapat menjadi indikasi
BAB IV
METODE PENELITIAN
yang akan diteliti. Pendekatan yang digunakan adalah cross sectional yang
dengan cara mengamati status paparan dan penyakit secara serentak pada populasi
pada satu waktu. Berdasarkan cara penyajian dan analisis datanya, penelitian ini
pengambilan data dan penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2015.
Populasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pekerja di bagian
boiler dikarenakan bagian boiler merupakan tempat yang paling dekat dengan
sumber debu batubara. Selain itu, pekerja bagian boiler juga sering terpapar debu
42
Skripsi PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP YOSI DHEMAS LARASATI
STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
43
sisa pembakaran, dan proses pembersihan boiler. Jumlah populasi pekerja di bagian
sebagai kelompok pembanding, yaitu kelompok yang tidak terpapar debu batubara,
terpapar debu batubara langsung di tempat kerja relatif kecil. Jumlah populasi
populasi, yaitu 11 orang dari bagian boiler dan 11 orang dari bagian kantor
%FVC)
1. Data primer
a. Pengisian Kuisioner
pelindung pernapasan, serta hasil dari pengukuran faal paru dan status
peneliti, kecuali hasil pemeriksaan faal paru dan status gizi yang akan
berikut:
Keterangan :
yang berbeda di area boiler untuk mendapatkan data yang akurat. Tidak
dilakukan oleh tenaga ahli dari Balai UPTK3 Surabaya, peneliti ikut serta
rapat.
8) Mengatur laju alir udara (flow rate) dengan cara memutar pengatur
12) Mengambil filter memakai pinset, melipat filter dengan bagian yang
tersebut.
pengukuran.
(W2-W1)-(B2-B1)
C= × 10³ (mg/m³)
V
Keterangan:
untuk menghitung FEV1 dan FVC. Pemeriksaan status faal paru ini
dilakukan satu kali oleh tenaga ahli dari Balai Hiperkes Surabaya,
terdiri dari ID, umur, tinggi badan, berat badan, dan jenis kelamin.
longgar.
mulut.
perlahan-lahan.
dengan dihentakkan.
2. Data sekunder
berikut:
a. Nama dan jumlah pekerja di bagian boiler dan bagian kantor packaging
warehouse PT X.
Data yang telah didapatkan baik data primer maupun data sekunder
2. Coding, yaitu proses mengubah data yang berbentuk kalimat atau huruf
4. Cleaning, yaitu tahap pengecekan terhadap data yang telah terkumpul. Data
tersebut diperiksa untuk memastikan bahwa tidak terdapat data yang tidak
kemuadian dianalisis secara deskriptif. Selanjutnya data tentang status faal paru
responden dan paparan debu batubara akan dianalisis secara bivariat menggunakan
crosstab dan dihitung nilai relatif risk-nya. Pengaruh variabel bebas terhadap
bisa diketahui faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap parameter faal
paru (%FEV1 dan %FVC) responden serta didapatkan model yang memprediksi
nilai pengaruh variabel bebas terhadap nilai faal paru (%FEV1 dan %FVC).
Keterangan:
β0 = Intercept
βi = koefisien regresi (i = 1, 2, 3, 4, 5)
Xi = variabel bebas
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1.1 Profil PT X
crude palm oli (CPO) kelapa sawit menjadi dua produk utama, yaitu minyak
Bleached Deodorized Stearin) atau yang dikenal sebagai margarin. Selain kedua
produk utama itu PT X juga memproduksi shortening, speciality fat, frying fat, ice
cream fat, butter oil subtitute dan cocoa butter subtittute. Proses produksi di PT X
kapasitas produksi PT X terus meningkat. Tahun 2015 dibangun satu unit refinery
baru sehingga kapasitas produksinya kini dapat mencapai ± 1000 ton/hari. Unit
Tank Farm, unit Refinery dan Fractination, unit Filling Plant, unit Margarine
53
Skripsi PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP YOSI DHEMAS LARASATI
STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
54
Boiler yang dimiliki PT X adalah dua boiler berbahan bakar batubara dan
dua buah boiler berbahan bakar gas alam. Namun, boiler yang sehari-hari
beroperasi adalah boiler berbahan batubara. Boiler berbahan bakar gas alam hanya
beroperasi jika terjadi gangguan pada boiler batubara. Operasional mesin boiler
tersebut terus berjalan selama 24 jam tanpa berhenti. Oleh karena itu terdapat tiga
shift kerja pekerja. Shift 1 mulai pukul 7.00 – 15.00 WIB. Shift 2 dimulai pada
pukul 15.00 – 23.00 WIB, selanjutnya shift 3 mulai pukul 23.00 – 07.00 WIB.
Hampir semua pekerja bagian boiler berada di area terbuka, hanya terdapat satu
orang pada setiap shift yang bertugas menjaga mesin kontrol boiler yang ada di
dalam ruangan.
Kegiatan pada bagian boiler dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu input –
dump hopper, transfer batubara ke feed hopper melalui conveyor, dan pengisian
air umpan boiler. Kegiatan proses terdiri dari pembakaran/pengolahan air menjadi
steam dan pembuatan serta pengoperasian softener feed water. Output dari
kegiatan pada unit boiler adalah proses transfer steam yang dihasilkan serta
pembuangan limbah batubara berupa fly ash dan bottom ash. Kedua jenis limbah
tersebut kemudian diangkut oleh pihak ke tiga yang bekerja sama dengan PT X
Kegiatan yang juga rutin dilakukan oleh pekerja pada bagian boiler PT X
dinding boiler, dan bagian lainnya dari abu dan kerak pembakaran yang melekat.
boiler. Namun, berdasarkan hasil kuisioner dan hasil observasi diketahui tidak
semua pekerja boiler memakai respirator tersebut secara rutin setiap bekerja.
bagian yang mengatur penerimaan stok karton, botol, dan plastik sebagai kemasan
mengecek dan memastikan bahwa stok kemasan yang ada mencukupi sehingga
kegiatan operasional pada filling plant dan margarine plant tidak terganggu.
Pekerja bagian packaging warehouse terdiri dari bagian officer, checker, dan
operator. Bagian officer dan checker bekerja di dalam ruangan untuk mengurus
penerimaan kemasan dari supplier dan untuk memantau stok kemasan yang ada
sedangkan operator bertugas mengirim stok kemasan ke bagian filling plant dan
kelompok terpapar debu batubara dan pekerja bagian kantor packaging werehouse
PT X sebagai kelompok tidak terpapar debu batubara dapat dilihat pada tabel 5.1
berikut:
terpapar berada pada rentang usia 26 sampai 30 tahun (45,5%). Sedangkan pada
Berdasarkan tabel 5.2 terlihat usia responden pada kelompok terpapar rata-
rata 34,27 ± 5,985 tahun. Angka tersebut tidak jauh berbeda dengan usia rata-rata
responden pada kelompok tidak terpapar, yaitu 33,36 ± 4,884 tahun. Hal ini
Masa kerja responden kelompok terpapar dan tidak terpapar debu batubara
tidak terpapar mayoritas (54,6%) mempunyai masa kerja 1 sampai 5 tahun. Hanya
13,6% dari total responden yang mempunyai masa kerja lebih dari 10 tahun.
Perbedaan masa kerja responden pada kelompok terpapar dan tidak terpapar
adalah 8,73 ± 1,849 tahun, sedangkan pada kelompok tak terpapar rata-rata masa
kerjanya 7,55 ± 6,267 tahun. Standar deviasi masa kerja pada kelompok terpapar
lebih besar, hal ini menunjukkan masa kerja responden pada kelompok terpapar
lebih variatif. Pada kelompok terpapar, hampir semua responden minimal telah
bekerja selama 8 tahun dan maksimal 14 tahun. Pada kelompok tidak terpapar,
masa kerja responden minimal 3 tahun dan maksimal 21 tahun. Hal ini
menunjukkan adanya perbedaan masa kerja antara kelompok terpapar dan tidak
terpapar dimana masa kerja responden pada kelompok terpapar rata-rata lebih
Status gizi responden kelompok terpapar dan tidak terpapar debu batubara
Tabel 5.5 menunjukkan status gizi responden pada kelompok terpapar dan
tidak terpapar didominasi oleh status gizi lebih atau dapat dikatakan obesitas,
yaitu 72,7% pada kelompok terpapar dan 54,4% pada kelompok tidak terpapar.
Pada kelompok terpapar terdapat 1 orang (9,1%) yang berstatus gizi kurang,
sedangkan yang normal 2 orang (18,2%). Pada kelompok tidak terpapar cukup
banyak yang status gizinya normal, yaitu 45.5%. Hal ini menunjukkan bahwa
pada kelompok tidak terpapar lebih banyak yang mempunyai gizi normal
5,396 kg/m2 dan termasuk dalam kategori IMT lebih atau obesitas. Sedangkan
kategori normal. Nilai IMT paling rendah pada kelompok terpapar adalah 17,63
yang termasuk dalam ketegori status gizi kurang, sedangkan nilai IMT terendah
pada kelompok tidak terpapar 19,38 yang termasuk dalam kategori status gizi
normal. Beberapa hal tersebut menunjukkan terdapat perbedaan status gizi pada
kelompok terpapar dan tidak terpapar debu batubara di PT X dapat dilihat pada
perokok. Jumlah perokok pada kelompok terpapar adalah 63,6% dan pada
kelompok tidak terpapar sebanyak 72,7%. Hal ini menunjukkan jumlah perokok
pada kelompok tidak terpapar lebih banyak. Lebih lanjut, kebiasaan merokok
responden juga kelompokkan berdasarkan dosis rokoknya, yaitu dari hasil kali
jumlah rokok yang dihisap perharinya (batang) dengan lama merokok (tahun),
(63,6%) dosis rokoknya <200 batang tahun. Sisanya, sebesar 36,4% responden
dosis rokoknya 201 – 600 batang tahun. Sedangkan pada kelompok tidak terpapar,
100% terkena dosis rokok <200 batang tahun. Terdapat perbedaan rata-rata dosis
rokok yang dihisap responden, yaitu pada kelompok terpapar rata-rata 93,37 ±
127,03 batang tahun sedangkan pada kelompok tidak terpapar 46,09 ± 43,542
batang tahun. Dosis maksimal rokok yang dihisap pada kelompok terpapar 288
batang tahun, sedangkan pada kelompok tidak terpapar 120 batang tahun.
Beberapa hal tersebut menunjukkan dosis rokok yang dihisap pada kelompok
Pengukuran kadar debu dilakukan pada tiga titik di bagian boiler, yaitu
pagi hari ketika kegiatan operasional boiler berlangsung. Ketiga titik pengukuran
beserta kadar debu yang terukur disajikan dalam tabel 5.10 berikut:
Tabel 5.10 Hasil Pengukuran Kadar Debu di Area Boiler Batubara PT X Tahun
2015
Kadar debu Kadar debu rata-
Titik pengukuran
terukur (mg/m3) rata (mg/m3)
Crusher dan coal pile 0,5740
Ash disposal 0,1784 0,4174
Area boiler 0,4900
Berdasarkan tabel 5.10 terlihat kadar debu rata-rata dari tiga titik
debu batubara adalah 2 mg/m3, sehingga kadar debu batubara pada area boiler PT
X masih berada di bawah NAB. Pada area kantor packaging warehouse sebagai
area kontrol, tidak dilakukan pengukuran kadar debu batubara karena lokasi
kantor tersebut tertutup dan tidak dekat dengan sumber debu batubara sehingga
nilai NAB, namun bukan berarti tidak dapat menimbulkan penyakit atau keluhan
lebih banyak yang mengaku mengalami keluhan saluran pernapasan, yaitu sebesar
51,5%, dibandingkan kelompok tidak terpapar yang hanya 18,2%. Jenis keluhan
tersebut antara lain sering batuk (54,5%), berdahak (54,5%) dan napas pendek
saat berjalan cepat di permukaan datar atau jalan menaiki tangga (45,5%).
Menurut hasil wawancara, dahak yang dikeluarkan oleh responden yang terpapar
dikelompokkan menjadi normal jika nilai %FVC ≥ 80 dan nilai %FEV1 ≥75, dan
ada gangguan jika %FVC < 80 dan %FEV1 < 75. Distribusi hasil pengukuran
Berdasarkan tabel 5.12 terlihat sebagian besar (81,8%) status faal paru
responden adalah normal. Prevalensi gangguan faal paru pada kelompok terpapar
sebanyak tiga orang atau 27,3%. Jenis gangguan faal parunya adalah dua orang
Sedangkan prevalensi gangguan faal paru pada kelompok tidak terpapar sebanyak
1 orang atau 9,1% dengan jenis gangguan faal paru berupa obstruksi ringan.
Berdasarkan prevalensi tersebut, dapat dihitung Risiko Relatif (RR) gangguan faal
berisiko tiga kali lebih besar untuk mengalami gangguan faal paru dibandingkan
Perbedaan kondisi faal paru dilihat dari nilai rata-rata % FEV1 dan %FVC
responden pada kelompok terpapar dan tidak terpapar disajikan pada tabel 5.13
berikut:
% FEV1 %FVC
Statistik
Terpapar Tidak terpapar Terpapar Tidak terpapar
Rata-rata 84,709 85,255 100,936 104,473
Standar deviansi 6,2507 7,1315 20,1219 12,0325
Min 69,7 68,4 60,9 84,2
Max 94,5 97,7 125,9 127,9
Hasil analisis berdasarkan tabel 5.13 terlihat nilai rata-rata % FEV1 dan
%FVC responden pada kelompok tidak terpapar lebih baik dibandingkan pada
kelompok terpapar namun perbedaan nilainya tidak terlalu besar. Standar deviasi
%FVC pada kelompok terpapar cukup besar, yaitu 20,1219, menunjukkan nilai
%FVC pada kelompok terpapar lebih variatif meskipun secara rata-rata nilainya
%FVC Responden di PT X
Status faal paru responden ditentukan melalui nilai %FEV1 dan %FVC.
dominan dari karakteristik responden terhadap nilai %FEV1 dan %FVC pada
kelompok terpapar dan tidak terpapar debu batubara di PT X. Selain itu juga
dihasilkan model yang dapat memprediksi nilai %FEV1 dan %FVC jika nilai
variabel bebas telah diketahui. Hasil analisis regresi dapat dilihat pada tabel 5.14
berikut ini:
Tabel 5.14 Pengaruh Karakteristik Responden terhadap Nilai %FEV1 dan %FVC
pada Kelompok Terpapar dan Tidak Terpapar Debu Batubara di PT X, Tahun
2015
Nilai Faal Karakteristik Nilai Koefisien Beta Terstandard
Paru Responden Terpapar Tidak Terpapar
Usia -0,147 -0,515
Masa kerja -0,004 0,258
IMT -0,127 -0,392
%FEV1
Dosis rokok -0,522 -0,027
Kebiasaan Olahraga -0,368 0,094
Intercept 100,078 130,472
Usia 0,001 -0,366
Masa kerja 0,006 0,595
IMT 0,429 0,071
%FVC
Dosis rokok 0,015 0,167
Kebiasaan Olahraga -0,779 -0,509
intercept 81,100 122,232
nilai %FEV1 pada kelompok terpapar adalah dosis rokok, dengan nilai
koefisiennya -0,522. Sedangkan pada kelompok tidak terpapar nilai %FEV1 lebih
Model dari hasil analisis regresi linier yang dapat digunakan untuk
memprediksi nilai %FEV1 pada kelompok terpapar dan tidak terpapar debu
Keterangan:
Xi = variabel bebas
Berdasarkan tabel 5.14 juga dapat terlihat variabel yang paling dominan
kebiasaan olahraga dengan nilai koefisien regresi sebesar -0,779. Sedangkan pada
kelompok tidak terpapar yang paling dominan berpengaruh adalah masa kerja
Model dari hasil analisis regresi linier yang dapat digunakan untuk
memprediksi nilai %FVC pada kelompok terpapar dan tidak terpapar debu
Keterangan:
Xi = variabel bebas
BAB VI
PEMBAHASAN
yang mengalami gangguan faal paru. Dua orang diantaranya mengalami restriksi
ringan dan satu orang mengalami obstruksi ringan. Pada responden yang tidak
terpapar debu batubara, terdapat satu orang (9,1%) yang mengalami obstruksi
ringan. Risiko relatif yang didapatkan dari prevalensi gangguan faal paru pada
terpapar debu batubara tiga kali lebih berisko terkena gangguan faal paru
dibandingkan responden pada kelompok yang tidak terpapar. Namun, dari fakta
tersebut belum dapat disimpulkan bahwa risiko gangguan faal paru yang dialami
oleh responden pada kelompok terpapar tersebut disebabkan oleh debu batubara
mengingat kadar debu batubara rata-rata yang terukur di bagian boiler hanya
0,4174 mg/m3.
masih di bawah NAB. Debu batubara termasuk dalam kategori debu yang
berpotensi fibrogenik rendah dimana hanya paparan dalam kadar tinggi yang
(1995), hanya jika terdapat penumpukan debu batubara dalam jumlah banyak,
68
Skripsi PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP YOSI DHEMAS LARASATI
STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
69
dapat mengakibatkan gangguan fungsi paru. Teori tersebut sejalan dengan hasil
penelitian Puspita (2011) bahwa tidak terdapat pengaruh paparan debu batubara
terhadap gangguan faal paru pada pekerja kontrak di PT PJB Unit Pembangkit
Status faal paru responden jika dilihat berdasarkan nilai rata-rata %FEV1
dan %FVC, hanya tampak sedikit perbedaan antara kelompok terpapar dan tidak
terpapar dimana nilai rata-rata %FEV1 dan %FVC kelompok tidak terpapar
(%FEV1= 85,255 ± 7,1315 dan %FVC= 104,473 ± 12,0325) sedikit lebih tinggi
debu batubara di bagian boiler PT X terhadap faal paru kecil. Terdapat beberapa
kondisi faal paru responden, misalnya usia, status gizi, kebiasaan merokok,
Selain intensitas atau kadar paparan, adanya gangguan faal paru juga
tergantung dari masa kerja yang menunjukkan lamanya seseorang terpapar debu
batubara tersebut. Ditinjau dari masa kerja, responden pada kelompok terpapar
masa kerjanya 8,73 ± 1,85 tahun. Masa kerja responden yang rata-rata < 10 tahun
ini membuat sulit untuk melihat efek penyakit akibat kerja karena umumnya masa
laten penyakit akibat kerja sangat lama, misalnya untuk penyakit pneumokoniosis
dan kanker akibat kerja biasanya memerlukan waktu lebih dari 10 tahun untuk
batubara di bagian boiler PT X juga terbilang cukup kecil, sehingga potensi untuk
menimbulkan efek restriktif paru dalam waktu kurang dari 10 tahun kecil.
Hasil analisis regresi masa kerja terhadap nilai %FEV1 dan %FVC
0,006 untuk %FVC dan β = -0,004 untuk %FEV1. Hasil tersebut mengindikasi
bahwa masa kerja yang menunjukkan lama paparan debu batubara hanya
kelompok tidak terpapar yang notabene tidak mempunyai faktor risiko karena
paparan debu batubara, nilai koefisien regresi untuk masa kerja mempunyai
kecenderungan poistif, yaitu β = 0,258 untuk %FEV1 dan β = 0,595 untuk %FVC.
Artinya, semakin meningkat masa kerja justru ada kecenderungan nilai %FEV1
dan %FVC meningkat sehingga masa kerja pada responden yang tidak terpapar
debu batubara tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap status faal paru
respondennya.
beberapa penyakit obstruksi kronis (bronkitis dan emfisema) pada pekerja karena
konsentrasi asap rokok yang dihirup perokok berlipat kali lebih banyak
untuk terkena karsinoma bronkial. Selain itu, satu batang rokok sudah
paru yang dialami oleh responden di PT X adalah lebih dominan karena pengaruh
obstruksi ringan adalah perokok dengan dosis 264 batang-tahun sehingga sangat
dibandingkan efek paparan debu batubara. Perkiraan ini juga didukung oleh hasil
uji regresi linier yang menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan
rokok, dengan β = -0,522 yang berarti setiap peningkatan satu satuan dosis rokok
maka nilai %FEV1 responden akan menurun sebesar 0,522. Dosis rokok juga
kelompok tidak terpapar juga lebih kecil. Merokok dapat menyebabkan hipertrofi
obstruksi yang ditandai dengan penurunan %FEV1. Oleh karena itu, tindakan yang
dapat dilakukan untuk tidak memperburuk risiko obstruksi pada pekerja yang
ringan adalah perokok aktif dengan dosis rokok 252 batang-tahun. Hal tersebut
juga dapat memberikan dugaan bahwa restriksi paru yang dialami juga lebih
dominan karena pengaruh rokok. Namun, hasil uji regresi pada kelompok terpapar
rokok maka nilai %FVC responden makin meningkat. Begitu pula hasil regresi
pada kelompok tidak terpapar dimana β = 0,167 untuk %FVC. Hasil penelitian
ini tidak sejalan dengan hasil penelitian kasus kontrol oleh Baumgartner dkk
fibrosis paru idiopatik dengan OR sebesar 1,6. Hal ini bisa terjadi karena kapasitas
vital paru manusia juga dipengaruhi oleh ukuran tubuh sehingga kemungkinan
kapasitas vital paru responden pada kelompok terpapar relatif besar. Penelitian
antara dosis rokok dengan nilai FVC, nilai FVC perokok lebih besar daripada
bukan perokok yang diduga ukuran paru lebih besar pada responden yang
perokok.
Status gizi responden baik pada kelompok terpapar maupun kelompok tidak
terpapar didominasi oleh status gizi lebih (obesitas), yaitu 72,2% pada kelompok
terpapar dan 54,4% pada kelompok tidak terpapar. Rata-rata nilai IMT pada
terpapar 24,007 ± 2,956 kg/m2. Berdasarkan nilai rata-rata tersebut dapat terlihat
bahwa status gizi kelompok tidak terpapar lebih banyak yang normal
karena responden pada kelompok tidak terpapar lebih banyak yang memiliki
2006). Selain itu kondisi obesitas pada responden kelompok terpapar mungkin
besar dibandingkan pada orang yang tidak merokok atau perokok ringan sehingga
perokok sedang hingga perokok berat mempunyai risiko untuk obesitas lebih
mempengaruhi faal paru karena adanya tambahan jaringan adiposa pada dinding
dada dan rongga perut yang menekan rongga dada, rongga abdomen dan paru.
Akibat beban tambahan tersebut daya complience paru menurun, otot pernapasan
udara paru (Costa dkk, 2008). Hasil uji regresi terhadap IMT pada penelitian ini
IMT terhadap nilai %FEV1 dimana jika IMT meningkat maka nilai %FEV1 akan
menurun. Namun, berbeda dengan teori di awal, hasil penelitian ini justru
menunjukkan peningkatan nilai %FVC jika nilai IMT meningkat. Kondisi tersebut
bisa saja terjadi karena pada dasarnya kapasitas vital individu dipengaruhi oleh
kecenderungan yang sama, yaitu β = -0,392 untuk %FEV1 dan β = 0,071 untuk
%FVC.
paru seseorang. Sistem pernapasan akan berubah secara anatomi dan imunologi
kapasitas vital, FEV1, FVC, dan cairan antioksidan epiteal akan menurun sesuai
peningkatan usia (Sharma dan Goodwin, 2006). Rata-rata usia responden pada
penelitian ini homogen, yaitu 34,27 ± 5,985 tahun pada kelompok terpapar dan
33,36 ± 4,884 tahun pada kelompok tidak terpapar. Usia rata-rata tersebut berada
pada titik dimana kapasitas paru sudah optimum, tidak dapat berkembang lagi
(Guyton, 1997). Hasil regresi linier pengaruh usia menunjukkan nilai β = - 0,147
untuk %FEV1 dan β = 0,001 untuk %FVC pada kelompok terpapar. Nilai
koefisien regresi pada kelompok tidak terpapar lebih besar dan merupakan yang
β= -0,366 untuk %FVC. Hasil ini sejalan dengan penelitian Mengkidi (2006) yang
darah akan meningkat dengan olahraga yang rutin. Akibat peningkatan aliran
darah yang melalui paru, kapiler paru mendapatkan perfusi maksimum sehingga
oksigen dapat berdifusi ke dalam kapiler paru dengan volume yang lebih besar.
Disisi lain, dengan berolah raga daya tahan tubuh lebih terjaga sehingga tidak
pernapasan (Karim, 2006). Hasil analisis regresi linier pada penelitian ini
mempengaruhi nilai %FVC pada kelompok tidak terpapar, yaitu β= -0,779 yang
kecenderungan yang sama, yaitu β= -0,368. Hasil penelitian ini sejalan dengan
kebiasaan merokok dengan dosis cukup tinggi, dan tidak punya kebiasaan
berolahraga. Hal itu memungkinkan gangguan faal paru yang dialami merupakan
status gizi yang kurang bisa merupakan indikasi adanya penyakit kronis, misalnya
nutrisi maupun oksigen. Jika aliran darah terganggu akibat adanya kelainan
jantung maka kerja normal sistem organ yang lain juga turut terganggu. Adanya
penyakit kronis umumnya melemahkan kerja organ tubuh termasuk paru-paru dan
otot-otot pernapasan. Menurut West (2011), penyakit gagal jantung kiri termasuk
kapasitas paru.
Pada individu yang rentan, inhalasi debu debu dalam kadar rendah dapat
menimbulkan dampak yang buruk pada saluran pernapasan. Jumlah debu yang
terinhalasi selain tergantung pada kadar paparan juga dapat dipengaruhi oleh
paru mempunyai pertahanan jaringan paru yang lemah terhadap debu toksik.
mengalami gangguan faal paru tersebut sering tidak menggunakan alat pelindung
paru (RP = 0,572; 95% CI = 0,390 – 0,838). Hasil penelitian serupa oleh Raharjo
masker dengan kejadian gangguan faal paru pada pekerja di pabrik peleburan besi.
partikel paparan dan jenis alat pelindung pernapasannya, cara pemakaian, dan
bagian boiler karena meskipun kadar paparan debu batubara di sana masih
restriksi sebaiknya dipindahkan ke bagian lain yang tidak terdapat paparan debu
radiologi atau CT scan untuk melihat ada tidaknya debu batubara di dalam
seringkali informatif untuk dapat mendeteksi adannya gangguan faal paru (West,
2011). Uji ini sebaiknya dilakukan berkala setahun sekali untuk menilai hubungan
pengendalian debu di bagian boiler PT X. Jika dari hasil uji kapasitas paru
tersebut menunjukkan penurunan nilai %FEV1 dan %FVC pekerja bagian boiler
yang bermakna, maka patut dicurigai bahwa paparan debu batubara di boiler PT X
kali dan jumlah populasi yang terbatas membuat data yang ada juga terbatas
sehingga hasil uji statistik mungkin kurang interprtatif. Selain itu, jumlah populasi
mempengaruhi kapasitas faal paru tidak dapat dikendalikan. Oleh karena itu, sulit
untuk melihat efek dari paparan debu batubara saja terhadap kondisi faal paru
pekerja di bagian boiler akibat adanya faktor-faktor lain yang tidak dapat
BAB VII
7.1 Kesimpulan
bagian boiler lebih banyak yang mempunyai status gizi lebih (obesitas), rata-rata
dosis rokoknya lebih besar, dan lebih banyak yang tidak mempunyai kebiasaan
Responden di bagian boiler PT X mempunyai risiko relatif tiga kali lebih besar
untuk mengalami gangguan faal paru dibandingkan responden pada bagian kantor
sehingga potensi debu batubara tersebut untuk menimbulkan gangguan faal paru
pada pekerja dengan masa kerja rata-rata kurang dari 10 tahun kemungkinan kecil.
responden di bagian boiler adalah dosis rokok untuk nilai %FEV1 dan kebiasaan
packaging warehouse faktor yang paling dominan mempengaruhi faal paru adalah
usia untuk nilai %FEV1 dan masa kerja untuk nilai %FVC.
7.2 Saran
boiler PT X yang mengalami gangguan faal paru ke lokasi kerja lain yang tidak
terdapat paparan debu batubara langsung, dan memberikan tes fungsi paru
78
Skripsi PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP YOSI DHEMAS LARASATI
STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
79
setahun sekali untuk melakukan pemantauan efek paparan debu batubara terhadap
volume residu, dan volume tidal sehingga hasil interpretasi dapat lebih mendalam
sebaiknya penelitian terkait paparan debu batubara dan faal paru selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
80
Skripsi PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP YOSI DHEMAS LARASATI
STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
81
Raharjo, M.S.P. 2013. Status Fungsi Paru pada Tenaga Kerja yang Terpapar Debu
dan Faktor yang Mempengaruhinya (Studi di Bagian Produksi PT X
Sidoarjo). Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga.
Razi F., Amri Z., Ichsan M., Yunus F. 2008. Pengaruh Debu Batubara terhadap
Paru Pekerja Tambang Penggalian. Jurnal Kedokteran Indonesia. Vol. 58.
No.2.
Revoir, W.H. 1997. Respiratory Protection Handbook. USA: CRC Press LLC.
Ryu, J.H., Colby, T.V., Hartman, T.E., Vassalo, R. 2001. Smoking-Related
Interstitial Lung Diseasae: A Concise Review. Eur Respir J. 17:122-132.
Sharma, G. dan Goodwin, J. 2006. Effect Of Aging on Respiratory System
Physiology dan Imunology. Clinical Invervention in Aging. I (3): 253-260.
Smith D.R., dan Leggat P.A. 2006. 24 Years of Pneumoconiosis Mortality
Surveillance in Australia. J Occup Health. (48):309-13.
Suma’mur, P.K. 2011. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES).
Jakarta: Sagung Seto.
Standar Nasional Indonesia. 2005. SNI 19-0232-2005 tentang NAB Zat Kimia di
Udara Tempat Kerja. Jakarta: Badan Standar Nasional.
Susanto, A.D. 2011. Pneumokoniosis. Indonesian Medical Association Journal.
vol.61 No. 12.
Suyono, J. 1995. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran ECG.
Wardhana, A.W. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: ANDI.
West, J.B. 2011. Pulmonary Pathophysiology 8th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
WHO. 2014. Global Database on Body Mass Index. Diakses pada tanggal 12
Desember 2014. <http://apps.who.int/bmi/index/.jsp>.
Yulaekah, S. 2007. Paparan Debu Terhirup Dan Gangguan Fungsi Paru Pada
Pekerja Industri Batu Kapur. Tesis. Semarang: Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro Semarang.
LAMPIRAN 1
83
Skripsi PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP YOSI DHEMAS LARASATI
STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
84
LAMPIRAN 2
LAMPIRAN 3
LAMPIRAN 4
LEMBAR PENJELASAN SEBELUM PENELITIAN
Judul Penelitian
“Pengaruh Paparan Debu Batubara terhadap Status Faal Paru Pekerja di PT
SMART, Tbk Surabaya”
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh paparan debu
batubara terhadap status faal paru pekerja. Penelitian ini dilakukan terhadap
pekerja di bagian boiler karena pekerja di bagian boiler terpapar langsung
debu batubara saat melakukan pekerjaannya. Penelitian juga dilakukan pada
pekerja di bagian kantor emballage sebagai kelompok yang tidak terpapar
debu batubara langsung sehari-harinya.
Manfaat
posisi kepala, bahu belakang, lengan, pantat, dan tumit menempel pada
dinding.
b. Setelah pengukuran tinggi badan selesai, responden diminta naik ke
alat timbang badan (bathroomscale) dengan posisi kaki tepat di tengah
alat timbang tetapi tidak menutupi angka jarum timbang.
c. Responden diminta memandang lurus ke depan (tidak menunduk) dan
tidak bergerak-gerak saat pengukuran berat badan.
3. Melakukan pengukuran kapasitas faal paru menggunakan alat spirometri
selama ± 15 menit. Langkah-langkah pengukuran tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Responden diminta berdiri kemudian memasang mouthpiece ke mulut,
dengan posisi bibir rapat pada mouthpiece.
b. Responden diminta menarik napas sedalam-dalamnya kemudian
membuang napas secara cepat dan dihentakan. Hal ini dilakukan
berulang 2 sampai 3 kali.
Semua kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan di
dalam ruangan kantor boiler atau di kantor emballage. Pengukuran IMT dan
kapasitas faal paru akan dilakukan oleh petugas dari Balai UPTK3 dan
didampingi peneliti.
Jenis Insentif
Contact Person
LAMPIRAN 5
INFORM CONSENT
PERSETUJUAN TERTULIS SETELAH PENJELASAN
YOSI DHEMAS L. ( )
NIM. 101111134
Saksi,
( )
*) Coret salah satu
LAMPIRAN 6
LEMBAR KUISIONER
A. Identitas Responden
1. No. Responden :
2. Nama responden :
3. Unit kerja/bagian :
4. Tempat, tanggal lahir :
5. Jenis kelamin :
6. Alamat :
B. Pengalaman terpapar debu
1. Kapan Anda mulai bekerja di bagian boiler/kantor packaging warehouse ?
............... tahun .............. bulan
2. Dalam sehari, jam berapa Anda bekerja? Pukul .............. sampai ................
3. Apakah selama bekerja, Anda sering terkena debu langsung di area boiler/
packaging warehouse?
a. Ya b. Tidak
C. Keluhan Pernapasan
1. Apakah Anda sering mengalami batuk?
a. Ya b. Tidak
2. Kapan Anda biasanya mengalami batuk-batuk?
a. Pagi hari ketika bangun tidur
b. Siang hari
c. Malam hari
d. Siang dan malam hari
3. Sejak kapan Anda mulai mengalami batuk tersebut?
............. bulan ...............tahun
4. Apakah saudara biasanya mengeluarkan dahak ketika batuk atau pada saat
tertentu? (jika jawaban “ya” lanjut kepertanyaan no. 5 dan no.6, jika
jawaban tidak, lanjut langsung ke pertanyaan no. 7)
a. Ya b. Tidak
5. Kapan Anda biasanya mengeluarkan dahak?
a. Pagi hari ketika bangun tidur
b. Siang hari dan/atau malam hari
6. Sejak kapan Anda mulai mengeluarkan dahak seperti itu?
............. bulan ................. tahun
7. Apakah Anda merasa sesak napas jika Anda berjalan cepat di jalan datar di
lapangan atau saat berjalan biasa pada jalan yang mendaki?
a. Ya b. Tidak
a.
b.
H. Status IMT
1. Berat badan : .......................... kg
2. Tinggi badan : ............................ m
3. IMT : ............................ kg/m².
4. Status IMT : ............................
I. Hasil Pengukuran Faal Paru
1. FVC :
2. FEV1 :
3. Kelainan :
LAMPIRAN 7
LAMPIRAN 8
LAMPIRAN 9
Descriptives
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Valid N (listwise) 11
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Valid N (listwise) 11
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Status Faal Paru * status paparan 22 100,0% 0 0,0% 22 100,0%
Regression
Variables Entered/Removeda
kebiasaan . Enter
olahraga, Dosis
1 rokok, nilai IMT,
umur responden,
masa kerjab
Model Summaryb
a. Predictors: (Constant), kebiasaan olahraga, Dosis rokok, nilai IMT, umur responden, masa kerja
b. Dependent Variable: % FEV1
ANOVAa
Total 390,709 10
Coefficientsa
Model Unstandardized Standardized t Sig. Collinearity Statistics
Coefficients Coefficients
B Std. Error Beta Tolerance VIF
Collinearity Diagnosticsa
Residuals Statisticsa
Variables Entered/Removeda
Model Variables Entered Variables Removed Method
kebiasaan olahraga, Dosis . Enter
1 rokok, nilai IMT, umur
responden, masa kerjab
Model Summaryb
a. Predictors: (Constant), kebiasaan olahraga, Dosis rokok, nilai IMT, umur responden, masa kerja
b. Dependent Variable: %FVC
ANOVAa
Total 4048,905 10
Coefficientsa
Collinearity Diagnosticsa
Residuals Statisticsa
Variables Entered/Removeda
kebiasaan . Enter
olahraga, Dosis
1 rokok, nilai IMT,
masa kerja, umur
respondenb
Model Summaryb
a. Predictors: (Constant), kebiasaan olahraga, Dosis rokok, nilai IMT, masa kerja, umur
responden
b. Dependent Variable: % FEV1
ANOVAa
Total 508,587 10
Coefficientsa
Collinearity Diagnosticsa
Residuals Statisticsa
Variables Entered/Removeda
kebiasaan . Enter
olahraga, Dosis
1 rokok, nilai IMT,
masa kerja, umur
respondenb
Model Summaryb
a. Predictors: (Constant), kebiasaan olahraga, Dosis rokok, nilai IMT, masa kerja, umur
responden
b. Dependent Variable: %FVC
ANOVAa
Total 1447,822 10
Coefficientsa
Collinearity Diagnosticsa
Residuals Statisticsa
LAMPIRAN 10