Bronkopneumonia Dan Diare Akut
Bronkopneumonia Dan Diare Akut
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit infeksi di Indonesia yang banyak menimbulkan kematian
adalah penyakit infeksi saluran pernafasan baik itu pernafasan atas maupun
bawah, yang bersifat akut atau kronis. Infeksi saluran nafas akut (ISPA) ialah
infeksi akut yang dapat terjadi disertai tempat disepanjang saluran nafas dan
adneki selnya (telinga tengah, cavum pleura, dan paraanalisis)
(Ngastiyah,2005).
Infeksi saluran nafas bawah yang di dalamnya termasuk
bronkopneumonia masih menjadi masalah kesehatan di negara berkembang
maupun maju. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 2001, penyakit saluran nafas bawah merupakan penyakit penyebab
kematian kedua di Indonesia. Bronkopneumonia disebut juga pneumonia
lobularis yaitu suatu peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang
biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang
sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam- macam
etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus
pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah
penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih
sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang
melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang
biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa (Bradley et al.,2011).
Bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi,
biasanya sering disebabkan oleh bakteri Streptokokus pneumonia dan Hemofilus
influenza yang sering ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi. Berdasarkan
data WHO, kejadian infeksi pneumonia di Indonesia pada balita diperkirakan
antara 10-20% pertahun (Hood et al., 2004).
Anak dengan daya tahan atau imunitas terganggu akan menderita
bronkopneumonia berulang atau bahkan bisa anak tersebut tidak mampu
mengatasi penyakit ini dengan sempurna. Selain faktor imunitas, faktor iatrogen
juga memicu timbulnya penyakit ini, misalnya trauma pada paru, anastesia,
1
pengobatan dengan antibiotika yang tidak sempurna (Rahajoe dan Nastini,
2010).
B. Tujuan Penulisan
Tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah :
1. Mengetahui pengertian, tanda dan gejala, serta penatalaksanaan pada anak dengan
Bronkopneumonia dan diare akut
2. Memenuhi persyaratan untuk dapat mengikuti ujian pada akhir kepaniteraan di bagian
ilmu kesehatan anak
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Epidemiologi
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di
bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika
pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah
umur 2 tahun (Bradley et al.,2011).
2.1.2 Etiologi
3
Berdasarkan etiologinya pneumonia dapat disebabkan oleh :
1. Bakteri
2. Virus
3. Jamur
4. Aspirasi makanan
5. Pneumonia hipostatik
6. Sindrom Loefler. (Bradley et al., 2011).
Berbagai mikroorganisme dapat menyebabkan pneumonia, antara lainvirus dan
bakteri seperti Pneumokokus, Staphilococcus Pneumoniae, dan H.influenzae. Beberapa
faktor yang dapat meningkatkan risiko penyakit ini diantaranya adalah defek anatomi
bawaan, defisit imunologi, polusi, GER, aspirasidan lain-lain.
4
2.1.4 Patogenesis
Jalan nafas secara normal steril dari benda asing dari area sublaringealsampai
unit paru paling ujung. Paru dilindungi dari infeksi bakteri dengan beberapa
mekanisme:
1. Filtrasi partikel dari hidung.
2. Pencegahan aspirasi oleh reflek epiglottal.
3. Penyingkiran material yang teraspirasi dengan reflek bersin.
4. Penyergapan dan penyingkiran organisme oleh sekresi mukus dan selsiliaris.
5. Pencernaan dan pembunuhan bakteri oleh makrofag.
6. Netralisasi bakteri oleh substansi imunitas lokal.
7. Pengangkutan partikel dari paru oleh drainage limpatik.
Infeksi pulmonal bisa terjadi karena terganggunya salah satumekanisme
pertahanan dan organisme dapat mencapai traktus respiratorius terbawah melalui
aspirasi maupun rute hematologi. Ketika patogen mencapai akhir bronkiolus maka
terjadi penumpahan dari cairan edema ke alveoli, diikuti leukosit dalam jumlah besar.
Kemudian makrofag bergerak mematikan sel dan bakterial debris. Sisten limpatik
mampu mencapai bakteri sampai darah atau pleura viseral.
Jaringan paru menjadi terkonsolidasi. Kapasitas vital dan pemenuhanparu
menurun dan aliran darah menjadi terkonsolidasi, area yang tidak terventilasi menjadi
fisiologis right-to-left shunt dengan ventilasi perfusi yang tidak pas dan menghasilkan
hipoksia. Kerja jantung menjadi meningkat karena penurunan saturasi oksigen dan
hiperkapnia. (Bennete, 2013).
Secara patologis, terdapat 4stadium pneumonia, yaitu (Bradley et al., 2011):
a. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaanyang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan
aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempatinfeksi. Hiperemia ini terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun
dan cedera jaringan.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi olehsel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
5
seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darahputih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi
di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini
eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
leukosit,warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti.
d. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu responimun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.
6
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnyabronkopneumonia
ditemukan hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013):
1. Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik,interkostal,
suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.
Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan
adalahretraksi dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan
cupinghidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan.
Tekananintrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi melawan
resistensitinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang
mudahterpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal,
danfossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang intercostal
yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakinpositif.
Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringanikat
interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih
tua.Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan
pergerakanfossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling
dapatdipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot
initerjadi akibat “head bobbing”, yang dapat diamati dengan jelas ketika
anakberistirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan area
suboksipital.Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada “head
bobbing”,adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akanadanya
distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendeksecara
abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembanganhidung
memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensijalan napas atas
dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalannapas atas dengan
mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.
2. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak
menghilangkangetaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila
terjadiperluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi
vibrasi akan berkurang.
3. Pada perkusi tidak terdapat kelainan.
4. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendekdan
berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi
7
ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi),
keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak
(tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar (tergantung dari
mekanisme terjadinya).
Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui
sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
2.1.7 Diagonosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut(Bradley et al.,
2011):
1. Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan retraksi dinding dada
2. Demam
3. Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
4. Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus
8
5. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3neutrofil yang predominan)
2.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia padaanak terdiri dari
2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012; Bradley et al., 2011):
a. Penatalaksaan Umum
1) Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafashilang atau
PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr.
2) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
3) Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
b. Penatalaksanaan Khusus
1) Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan
pada 72 jam pertama karena akan mengaburkaninterpretasi reaksi antibioti
awal.
2) Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhutinggi,
takikardi, atau penderita kelainan jantung.
3) Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab danmanifestasi
klinis. Pneumonia ringan amoksisilin 10-25mg/kgBB/dosis (di wilayah
dengan angka resistensi penicillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90
mg/kgBB/hari).
9
yang berlangsung kurang dari satu minggu. Pada bayi yang meminum ASI frekuensi
buang air besarnya lebih dari 3 – 4 kali per hari, keadaan ini tidak bisa disebut diare
tetapi masih bersifat fisiologis. Selama berat badan bayi meningkat normal, hal tersebut
tidak tergolong diare, tetapi merupakan intoleransi laktosa karena saluran cerna belum
berkembang dengan baik (IDAI, 2011).
2.2.1 Epidemiologi
Diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang
termasuk di Indonesia dan merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan
pada anak, terutama usia di bawah 5 tahun. Di dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal
setiap tahunnya karena diare dan sebagian besar kejadian tersebut terjadi di negara
berkembang. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 diperoleh
bahwa diare masih merupakan penyebab kematian bayi terbanyak yaitu 42%
dibandingkan pnemonia 24%, untuk golongan usia 1 – 4 tahun penyebab kematian
karena diare 25% dibandingkan pnemonia (IDAI, 2011).
2.2.3 Etiologi
Menurut Sudarti dan Fauziah (2012), diare dapat disebabkan oleh berbagai
faktor diantaranya yaitu:
1. Infeksi
a. Enteral yaitu infeksi yang terjadi dalam saluran pencernaan yang merupakan
penyebab utama terjadinya diare yang meliputi:
- Infeksi bakteri Vibrio, E. coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter,Yersinia,
Aeromonas
10
- Infeksi virus Enterovirus (virus ECHO) Coxsaekre, Polomyelitis, Adenovirus,
Rotavirus, Astrovirus
- Infeksi parasit cacing (Ascaris irichiuris, Oxyuris, Strongylodies), protozoa
(Entamoeba histolytica,Giardia lamblia, Trochomonas hominis) dan jamur
(Candida albicans).
b. Parenteral merupakan infeksi di luar system pencernaan yang dapat menimbulkan
diare seperti otitis media akut, tonsillitis, bronkopneumonia, ensefalitis.
2. Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa),
monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada anak dan bayi yang
paling berbahaya adalah intoleransi laktosa. Di samping itu dapat pula terjadi
malabsorbsi lemak dan rotein
3. Makanan misalnya basi, beracun, alergi.
4. Psikologis, misalnya rasa takut atau cemas.
2.2.4 Patofisiologi
Menurut Sudarti dan Fauziah (2012), mekanisme dasar yang dapat
menyebabkan timbulnya diare adalah:
a. Gangguan ostimotik Akibat terdapatnya makanan atau zat yang dapat diserap oleh
tubuh akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus. Isi rongga usus yang
berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkan isi dari usus sehingga timbul
diare.
b. Gangguan sekresi Akibat rangsangan tertentu, misalnya oleh toksin pada dinding usus
yang akan menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit yang berlebihan ke
dalam rongga usus, sehingga akan terjadi peningkatan-peningkatan isi dari rongga
usus yang akan merangsang pengeluaran isi dari rongga usus sehingga timbul diare.
c. Gangguan molititas usus Hiperperistaltik akan menyebabkan berkurangnya
kesempatan bagi usus untuk menyerap makanan yang masuk, sehingga akan timbul
diare. Tetapi apabila terjadi keadaan yang sebaliknya yaitu penurunan dari peristaltik
usus akan dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri yang berlebihan di dalam rongga
usus sehingga akan menyebabkan diare juga.
2.2.5 Komplikasi
Menurut Dewi (2012), komplikasi diare dibagi menjadi:
1. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik atau hipertonik).
2. Renjatan hipovolemik.
3. Hipokalemia (dengan gejala mekorismus, hiptoni otot, lemah, bradikardi, perubahan
pada elektro kardiagram).
4. Hipoglikemia.
11
5. Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktase karena kerusakan
vili mukosa, usus halus.
6. Kejang terutama pada dehidrasi hipertonik.
7. Malnutrisi energi, protein, karena selain diare dan muntah, penderita juga mengalami
kelaparan.
2.2.6 Diagnosis
1. Anamnesis
12
Adanya demam merupakantemuan diagnostik yang penting karena menandakan
adanya infeksi bakteri invasif seperti Salmonella, Shigella, dan Campylobacter,
berbagai virus enterik, atau suatu patogen sitotoksik seperti, C. difficile dan E.
histolytica. Adanya feses yang berdarah mengarahkan kemungkinaninfeksi oleh
patogen invasif dan yang melepaskan sitotoksin; infeksi EHEC bila tidak terdapat
leukosit pada feses; serta bukan infeksi virus atau bakteri yang melepaskan
enterotoksin.Muntah sering terjadi pada diare yang disebabkan oleh infeksi virus atau
toksin bakteri misalnya S. aureus.Tenesmus merupakan penanda dari diare inflamasi.
Mengidentifikasi penyebab diare diperlukan juga data tambahan mengenai masa
inkubasi, riwayat perjalanan sebelumnya, riwayat mengkonsumsi makanan tertentu,
risiko pekerjaan, penggunaan antibiotik dalam 2 bulan terakhir, riwayat perawatan,
residency, binatang peliharaan, hobi, serta risiko terinfeksi HIV.
Waktu timbulnya gejala setelah paparan terhadap makanan
yang dicurigaijuga dapat mengarahkan penyebab infeksi, seperti
berikut ini:
a. Gejala yang timbul dalam waktu <6 jam kemungkinan disebabkan
oleh toksin bakteri Staphylococcus aureus atau Bacillus cereus.
b. Gejala yang timbul sesudah 6-24 jam kemungkinan disebabkan oleh
toksin bakteri Clostridium perfringens atau Bacillus cereus.
c. Gejala yang timbul lebih dari 16-72 jam mengarahkan infeksi
olehvirus, terutama bila muntah merupakan gejala yang paling
prominen;atau kontaminasi bakterial dari makanan oleh
enterotoxigenic/enterohemorrhagic E. coli, Norovirus, Vibrio,
Salmonella, Shigella,
Campylobacter, Yersinia, Giardia, Cyclospora, atau
Cryptosporidium.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu dinilai keadaan umum, kesadaran, beratbadan,
temperatur, frekuensi nafas, denyut nadi, tekanan darah, turgor kulit, kelopak mata,
serta mukosa lidah. Selain itu, perlu dicari tanda-tanda dehidrasi dan kontraksi volume
ekstraseluler, seperti denyut nadi >90 kali/menit dan lemah, hipotensi
postural/ortostatik,lidah kering, kelopak mata cekung, serta kulit yang dingin dan
lembab. Tanda-tanda peritonitis juga perlu dicari karena merupakan petunjuk adanya
infeksi oleh patogen enterik invasif.
13
3. Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi laboratorium pasien tersangkadiare infeksi dimulai dari pemeriksaan
feses. Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit, jika ada, dianggap sebagai
penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun non-infeksi. Sampel harus diperiksa
sesegera mungkin karena neutrofil cepat
berubah. Sensitivitas leukosit feses terhadap inflamasi patogen (Salmonella, Shigella,
dan Campylobacter) yang dideteksi dengan kulturfeses bervariasi dari 45% - 95%
tergantung pada jenis patogennya (Amin, 2015).
2.2.7 Penatalaksanaan
Rencana Terapi A
1. Beri cairan lebih banyak dari biasanya
- Beri Oralit sampai diare berhenti. Bila muntah, tunggu 10 menit dan
dilanjutkan sedikitdemi sedikit.
Umur < 1 tahun diberi 50-100 ml setiap kali berak
Umur > 1 tahun diberi 100-200 ml setiap kali berak
2. Beri obat zinc
- Beri Zinc 10 hari berturut-turut walaupun diare sudah berhenti. Dapat
diberikan dengan caradikunyah atau dilarutkan dalam 1 sendok air matang
atau ASI.
Umur < 6 bulan diberi 10 mg (1/2 tablet) per hari
Umur > 6 bulan diberi 20 mg (1 tablet) per hari
Rencana Terapi B
1. Jumlah oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama di sarana kesehatan
2. Bila BB anak tidak diketahui berikan oralit sesuai tabel di bawah ini:
Umur 4 bulan 4 – 12 12 – 24 2–5
bulan bulan tahun
14
Berat < 6 kg 6 – 10 10 – 12 12 – 19
Badan kg kg kg
Jumlah 200 – 400 – 700 – 900 –
Cairan 400 700 900 1400
Rencana Terapi C
1. Beri cairan intravena segera
- Ringer laktat atau NaCl 0,9% (bila RL tidak tersedia) 100ml/kgBB, dibagi sebagai
berikut:
Umur Pemberian I Kemudian
30 ml/kg BB 70 ml/kg BB
Bayi < 1 tahun 1 jam* 5 jam
Anak ≥ 1 tahun 30 menit* 2 ½ jam
*
Diulang lagi bila denyut nadi masih lemah atau tidak teraba
2. Nilai kembali tiap 15-30 menit. Bila nadi belum teraba,beri tetesan lebih cepat.
3. Juga beri oralit (5 ml/kg/jam) bila penderita bisa minum;biasanya setelah 3-4 jam
(bayi) atau1-2 jam (anak).
4. Berikan obat Zinc selama 10 hari berturut-turut (Depkes RI, 2011).
15
Table.2 Terapi Antimikrobial Untuk Diare Akibat Infeksi Bakterial
16
(Scientific Journal Of Pharmaceutical Development and Medical Application,
2009).
BAB III
17
LAPORAN KASUS
3.2 Subyektif
Pasien MRS datang kiriman dari UGD RSUD Dr. Moh. Saleh 11 Maret 2018 pukul
12.10 siang
Keluhan Utama : Batuk dan sesak
Anamnesa (Autoanamnesis)
Ibu pasien mengatakan Pasien batuk sudah 3 hari ini disertai dahak, batuk terus
menerus, paling sering batuk pada saat malam sebelum tidur. Terlihat sesak sudah 3
hari ini, sesak hilang timbul. Ibu Pasien juga mengeluhkan panas sudah 1 hari,
kejang (-). Buang air besar cair sejak pagi hari sebanyak 5 kali sampai datang ke
IGD, warna kuning, ampas (+). Buang air kecil lancar, Muntah (-). Minum (+)
banyak/susu formula
Riwayat Penyakit Terdahulu
- Pasien tidak pernah MRS sebelumnya
- Pasien juga tidak memiliki riwayat kejang dan asma sebelumnya
- Alergi disangkal
3.4 Imunisasi
- BCG +
- Hepatitis B I,II,II +
- Polio I,II,II,IV -
- DPT I,II,II -
- Campak -
3.5 Riwayat Diit
- Makanan saat ini : Asi
3.6 Riwayat Kehamilan Ibu
Anak ke empat dari 4 bersaudara
3.7 Riwayat Kelahiran
18
Bayi lahir normal spontan, lahir di Bidan, Usia Kehamilan 9 Bulan, BBL = 3 kg
gram, nangis kuat, gerak aktif, cacat -, PRM -, caput -, tidak ada kelainan
bawaan.
3.8 Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Ibu pasien mengatakan perkembangan anak baik
Objektif
Keadaan umum : cukup (pasien menangis)
Kesadaran : Kompos mentis
Tanda – tanda vital : Tekanan darah : mmHg
Nadi : 112 x / menit ( lemah)
Pernafasan : 28 x / menit
Suhu : 38 ºC
Data Antropometri :
Berat Badan : 5,8 kg
Panjang Badan : 62 cm
Lingkar Kepala : 40 cm
Lingkar Lengan : 15 cm
BBI : 6,5 kg
Status Gizi : -2 SD sampai dengan -1 SD (Gizi baik)
Pemeriksaan Fisik :
Kepala :
- Mata : - Bentuk simetris
- A/I/C/D : - / - / - / +, mata cowong (+).
- Hidung : PCH (+)
- Telinga : Bentuk simetris
- Mulut : - Mukosa bibir : cukup
- Faring hiperemi : (-)
- Ulkus pada mulut : (-)
- Nyeri telan : (-)
Leher :
- Pembesaran KGB (-)
Dada
- Bentuk : simetris +/+
- Retraksi dinding dada +/+
Pulmo
- Ves/ves
- Rhonki +/+
- Wheezing -/-
Jantung
- S1 S2 tunggal regular
- Murmur (-)
Abdomen
- Supel (+)
- Membuncit (-)
19
- Bising Usus (+)
- Turgor kulit baik
- Nyeri tekan (-)
- Pemb. Hepar (-)
Genetalia
- Laki-laki dengan genetalia normal
Ekstremitas
- Akral hangat di keempat ekstremitas
- CRT < 2 detik
Status Neurologis
- Kaku kuduk (-)
Hasil Foto Rotgent Thorax Tanggal 11 febuary 2018 diperoleh hasil foto thorax
dengan bronkopneumonia
3.10 Assessment
Diagnosis : Bronkopneumonia dangan diare akut dehidrasi ringan sedang
Planning
Terapi :
- Inf RL 500 cc / 24 jam
- Inj sanmol 75 mg
- Inj viccilin 3 x 125 mg
- O2 1 tpm
- Nebul ventolin 0,5 cc 3x/hari
- zinc syrup 1 x cth 1
- L-Bio 1 x 1 sachet
20
Mx : Pantau TTV dan gejala klinis
Ex : - Tirah baring
Follow Up
12/2/2018
S :panas naik turun, batuk (+) grok grok , sesak (+), pilek (-), muntah (-), BAB
O : KU : cukup
Kesadaran : CM
Abdomen : Supel (+), distensi(-), asites (+) Bising usus (+) normal,
21
- Inj viccilin 3 x 125 mg
- Inj gentamicin 1 x 30 mg
- Nebul ventolin 0,5 cc + pz 2,5 cc
- zinc syrup 1 x cth 1
- PO L-Bio 1 x 1 sachet
13/2/2018
S : panas masih naik turun, batuk (+) grok grok , sesak (+), pilek (-), muntah (-),
O : KU : cukup
Kesadaran : CM
Abdomen : Supel (+), distensi(-), asites (+) Bising usus (+) normal,
22
14/2/2018
S : panas menurun , batuk (+) jarang , sesak (+), pilek (-), muntah (-), BAB (+)
O : KU : cukup
Kesadaran : CM
Abdomen : Supel (+), distensi(-), asites (+) Bising usus (+) normal,
15/2/2018
23
S : panas (-), batuk (+) jarang , dahak (+) kental, sesak (-), pilek (-), muntah
(-), BAB (+) sudah tidak cair , 1 kali, BAK(+) lancar, minum (+) banyak
O : KU : cukup
Kesadaran : CM
Abdomen : Supel (+), distensi(-), asites (+) Bising usus (+) normal,
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pemeriksaan pada pasien bayi lali-laki usia 5 bulan, pasien
didiagonsa mengalami bronkopneumonia + diare akut dengan dehidrasi ringan sedang.
Pasien masuk IGD RSUD Moh. Saleh pada tanggal 11 Maret 2018 dengan keluhan
24
utama batuk dan sesak, selain itu berdasarkan hasil anamnesa pasien batuk sudah 3 hari
disertai dahak, batuk terus-menerus dan paling sering batuk di malam hari. Sesak yang
dialami pasien sudah 3 hari hilang timbul, panas sudah 1 hari, kejang (-). Pasien BAB
cair sejak pagi hari sebanyak 5 kali sampai datang ke IGD, warna kuning, ampas (+).
BAK lancar, muntah (-), minum (+) banyak / susu formula. Pada pemeriksaan fisik
pasien didapatkan keadaan cukup dengan nadi 112 x/menit, frekuensi napas 28x/menit,
suhu tubuh 38oC dengan status gizi baik. Hasil foto thorax pada tanggal 11 februari
2018 menunjukkan pasien dengan bronkopneumonia.
Gejala yang dialami pasien tersebut sesuai dengan gejala klinis penyakit
bronkopneumonia dimana gejala klinisnya terjadi peningkatan suhu tubuh secara
mendadak, mengalami sesak nafas dan dapat disertai diare dan batuk yang mula-mula
kering kemudian menjadi produktif disertai dahak. Pada hasil pemeriksaan
laboraturium menunjukkan adanya peningkatan leukosit 17.230 yang merupakan
infeksi karena bakteri. Sedangkan diare akut yang dialami pasien disebabkan karena
infeksi parenteral yaitu bronkopneumonia. Gejala dehidrasi ringan sedang didapatkan
pada anamnesa ke orang tua pasien, dimana selama diare ini pasien lebih sering minum,
keadaan umum pasien selama di igd gelisah dan menangis, pada pemeriksaan fisik di
dapatkan mata cowong positif.
Penatalaksaan sementara yang diberikan pada pasien saat di IGD adalah infus
RL 500 cc / 24 jam, injeksi sanmol 75 mg, injeksi viccillin 3x125 mg, nebul Ventolin ½
ampul 3x perhari, zinc syrup 1x1 cth, L-Bio 1x1 sachet. Selanjutnya berdasarkan
follow up yang dilakukan oleh dokter spesialis anak pada tanggal 12 Februari 2018,
suhu tubuh pasien panas naik turun, batuk (+) grokgrok, sesak (+) dan BAB masih cair
(4x). Pada pemeriksaan fisik diperoleh, nadi 110x/menit, RR 56x/menit dan suhu 38 oC
maka pasien diberi terapi. Hasil diagnosa dokter pasien mengalami bronkopneumonia
dengan diare akut dan dehidrasi ringan sedang, maka pasien diberi terapi infus D5 ¼
NS 500 cc / 24 jam, injeksi sanmol 75 mg, injeksi viccillin 3x125 mg, injeksi
gentamicin 1x30 mg, nebul Ventolin 0,5 cc + PZ 2,5 cc, zinc syrup 1x1 cth, L-Bio 1x1
sachet. Pada tanggal 15 Februari 2018 pasien sudah tidak panas, batuk jarang dan BAB
sudah tidak cair sehingga pasien diperbolehkan KRS dengan terapi ambroxol syrup 2 x
cth ½ , zinc syrup 1x1 cth dan L-Bio 1x1 sachet.
25
BAB V
KESIMPULAN
1. Pasienmasuk IGD RSUD Moh. Saleh padatanggal 11 Maret 2018 dengan keluhan
utama
- Batuk sudah 3 hari disertai dahak dan paling sering di malam hari
- sesak yang dialami pasien sudah 3 hari hilang timbul
- panassudah 1 hari
- BAB cairsudah 5x dan berwarna kuning
26
Gejala yang dialami pasien di atas sesua dengan gejala klinis penyakit
bronkopneumonia didukung dengan hasi foto thorax pada tanggal 11 februari
2018 menunjukkan pasien dengan bronkopneumonia.
Pada hasil pemeriksaan laboraturium didapatkan peningkatan leukosit 17.230
yang merupakan infeksi karena bakteri. Kemungkinan infeksi bakteri ini
didapatkan dari komunitas/masyarakat.
2. Diare yang dialami pasien merupakan diare yang disebabkan karena factor infeksi
parenteral yang merupakan infeksi di luar system pencernaan akibat
bronkopneumonia.
DAFTAR PUSTAKA
Aldy O.S., Lubis B.M., Sianturi P., Azlin E., Tjipta G.D., 2009. Dampak proteksi Air
27
Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C., Kaplan
S.L., Mace S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D., Stockwell
Departemen Kesehatan RI, 2011. Buku Saku Petugas Kesehatan Lintas Diare. Jakarta:
25 Juni 2013.
Hood, A., Wibisono, M.J., Winariani, 2004, Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), 2011. Kumpulan Tips Pediatrik. Jakarta: Badan
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2012, Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak.
Tahun 2011.
http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_DATA_KESEHATAN_INDONE
Latief, A., 2009, Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Standar WHO. Jakarta:
Depkes.
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC, jilid 1, Med Action
Publishing, Yogyakarta.
28
Paramitha, G.W., Soprima, M., dan Haryanto, B., 2010. Perilaku Ibu Pengguna Botol
Susu Dengan Kejadian Diare pada Balita. Makara, Kesehatan (14): 46-50.
Rahajoe, Nastini, N., 2010, Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan
Penerbit: IDAI.
http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/
IDAI pp.87-120.
Sudarti dan Fauziah, A., 2012. Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi dan Anak Balita.
29
30