Sejarah Alquran Dan Metedologi Tafsir
Sejarah Alquran Dan Metedologi Tafsir
Kelompok 9 :
1. Bararatul Hasanah (10510042)
2. Nur Halimah (10510094)
3. Yusman Susanto (09510087)
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2011
BAB II
PEMBAHASAN
B. Kodifikasi Tafsir
Kalau yang digambarkan di atas tentang sejarah perkembangan Tafsir dari segi corak
penafsiran, maka perkembangan dapat pula ditinjau dari segi kodifikasi (penulisan), hal mana
dapat dilihat dalam tiga periode:
1. masa Rasul saw., sahabat, dan permulaan masa tabi'in, di mana Tafsir belum tertulis dan
secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan.
2. bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan 'Umar bin 'Abdul
'Aziz (99-101 H). Tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis-hadis, dan
dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis, walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu
umumnya adalah Tafsir bi Al-Ma'tsur.
3. dimulai dengan penyusunan kitab-kitab Tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, yang oleh
sementara ahli diduga dimulai oleh Al-Farra (w. 207 H) dengan kitabnya yang berjudul
Ma'ani Al-Qur'an.
3. Metode Ijmali.
Metode tafsir ijmaly yaitu menafsirkan al-Quran dengan cara singkat dan global
tanpa ada uraian panjang lebar. Metode ijmaly (Global) menjelaskan ayat-ayat al-
Quran secara ringkas tapi mencakup bahasa yang lebih umum dikenal, lebih luas,
mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistematika penulisannya mengikuti susunan
ayat-ayat di dalam mushaf. Penyajiannya tidak terlalu jayh dari gaya bahasa al-
Quran.
Dengan demikian, cirri-ciri dan jenis tafsir Ijmali mengikuti urut-urutan ayat demi ayat
menurut tertib mushaf seperti halnya tafsir Tahlili. Perbedaanya dengan tafsir tahlili adalah
tafsir ijmali makna ayatnya diungkapkan secara ringkas dan global tetapi cukup jelas,
sedangkan tafsir tahlili makna ayat diuraikan secara terperinci dengan tinjauan berbagai segi
dan aspek yang diulas secara panjang lebar.
Ciri-ciri umum metode ijmali adalah :
1. cara seorang mufassir melakukan penafsiran, di mana seorang mufassir langsug menafsirkan
ayat al-Qur'an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.
2. mufassir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya.
3. mufassir tidak banyak memberikan penafsiran secara rinci tetapi ringkas dan umum,
meskipun pada beberapa ayat tertentu memberikan penafsiran yang agak luas, namun tidak
pada wilayah analitis.
Sebagai contoh : “penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain terhadap 5 ayat pertama dari
surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat singkat dan global hingga tidak ditemui rincian
atau penjelasan yang memadai. Penafsiran tentang المmisalnya, dia hanya berkata : Allah
Maha Tahu maksudnya. Dengan demikian pula kata al kitaabah الكتا بpenafsiran hanya
dikatakan : Yang dibacakan oleh Muhammad. Begitu seterusnya, tanpa ada rincian sehingga
penafsiran 5 ayat itu hanya dalam beberapa baris saja.
Berbeda dengan tafsir tahlili (analitis), al-Maraghi, misalnya, untuk menjelaskan 5
ayat pertama itu membutuhakn 7 halaman. Hal ini disebabkan uraiannya bersifat analitis
dengan mengemukakan berbagai pendapat dan didukung oleh fakta-fakta dan argument-
argumen, baik berasal dari al-Quran atau hadist-hadist Nabi serta pendapat para sahabat dan
tokoh ulama’, juga tidak ketinggalan argument semantic.
Disinilah, metode ijmali dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran juga memiliki kelebihan
dan kelemahan, antara lain sebagai berikut:
Kelebihan.
1. Praktis dan mujdah dipahami oleh umat dari berbagai strata social dan lapisan masyarakat.
2. Bebas dari penafsiran kemungkinan israiliyat.
3. Akrab dengan bahasa al-Quran, karena tafsir ini dengan metode glonal menggunakan bahasa
yang singkat dan akrab dengan bahasa arab tersebut.
Kelemahan.
a. Menjadikan petunjuk al-Quran bersifat parsial, padahal al-Quran merupakan satu-kesatuan
yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang utuh,
tidak terpecah-pecah, hal-hal yang global atau samar-samar di dalam satu yat, maka pada ayat
yang lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat tersebut akan
diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.
b. Tidak ada naungan untuk mengemukakan analisi yang memadai. Tafsir yang memakai
metode ijmali tidak menyediakan naungan untuk memberikan uraian yang luas, jika
menginginkan adanya analisis rinci, metode global tidak dapat diandalkan. Ini disebut suatu
kelemahan yang disadari oleh mufassir yang menggunakan metode ini.
4. Metode Tahlili.
Secara etimologis, tahliliy berasal dari bahasa Arab: hallala – yuhallilu – tahlil, yang
berarti “mengurai” atau “menganalisis”. Dengan demikian yang dimaksud dengan
tafsir tahliliyadalah suatu metode penafsiran yang berusaha menjelaskan al Qur’an dengan
menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh al Qur’an.
Metode tafsir analisis ialah menafsirkan ayat-ayat al-quran dengan memaparkan
segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat al-Quran yang ditafsirkan itu, serta
menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan
kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Mufassir membahas al-Quran
ayat demi ayat yang tersusun di dalam al-Quran. Tafsir yang memakai pendekatan ini
mengikuti naskah al-Quran dan menjelaskannya dengan cara sedikit demi sedikit, dengan
menggunakan alat-alat penafsiran yang diyakini efektif (seperti mengandalkan pada arti-arti
harfiah, hadits atau ayat-ayat lain yang mempunyai beberapa kata atau pengertian yang sama
dengan ayat yang sedang dikaji), sebatas kemampuanyya di dalam membantu menerangkan
makna bagian yang sedang ditafsirkan, sambil memperhatikan konteks naskah tersebut.
Metode tafsir ini berusaha untuk menerangkat arti ayat-ayat al-Quran dari berbagai
seginya, berdasarkan urut-urutan ayat atau surah dalam mushaf, dengan menonjolkan
kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surah-surahnya, sebab-
sebabnya turunnya, hadits yang berhubungan dengannya, pendapat-pendapat para mufassir
terdahulu dan mufassir itu sendiri diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya.
Ciri-ciri metode tahlili.
Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’tsur [riwayat]
ataura’y [pemikiran]:
1. Di antara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-ma’tsur adalah
kitab tafsir Jami’ al-Bayan’an Ta’wil Ayi al-Qur’an karangan Ibn Jarir al-
Thabari [w.310H],
Ma’alim al-Tazil karangan al-Baghawi [w.516H],
Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [terkenal dengan tafsir Ibn Katsir] karangan Ibn
Katsir [w.774H],
al-Durr al-Mantsur fi al-tafsir bi al-Ma’tsur karangan al-Suyuthi [w.911H].
2. Tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-Ra’y banyak sekali, antara lain:
Tafsir Lubāb al-ta’wīl fī ma‘ānī al-tanzīl karya Imam al-Khāzin (w.741 H
Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan al-Baydhawi [w.691H],
al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari [w.538H],
’Arais al-Bayan fi Haqaia al-Qur’an karangan al-Syirazi [w.606H],
al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib karangan al-Fakhr al-Razi [w.606H],
Madārik al-Tanzīl wa haqā’iq al-ta’wīl karya al-Nasafī (w.701 H)
al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an karangan Thanthawi Jauhari,
Irshād al-‘aql al-Salīm ilā mazāya al-Kitāb al-karīm karya Abū Sa‘ūd (w.982
H).
Tafsir al-Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha [w.1935] dan lain-lain.
Jadi, pola penafsiran yang diterapkan oleh para pengarang kitab-kitab tafsir di
atas terlihat, bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-
ayat al-Qur’an secara komprehensif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-
ma’tsur maupunal-ra’y
Untuk lebih mudah mengenal metode tafsir analitis, berikut ini dikemukakan
beberapa corak tafsir yang tercakup dalam tafsir tahlili, sebagai contoh, yaitu: Tafsir al-
Ma’tsur, yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan nash-nash, baik dengan
ayat-ayat al-Qur’an sendiri, dengan hadis-hadis Nabi, dengan pendapat sahabat, maupun
dengan pendapat tabiin. Pendapat [aqwal] tabiin masih kontraversi dimasukkan dalam tafsir
bil ma’tsur sebab para tabiin dalam memberikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya
berdasarkan riwayat yang mereka kutip dari Nabi, tetapi juga memasukkan ide-ide dan
pemikiran mereka [melakukan ijtihad]. Tafsir ma’tsur yang paling tinggi peringkatnya
adalah tafsir yang berdasarkan ayat al-Qur’an yang ditunjuk oleh Rasulullah. Peringkat
kedua adalah tafsir dengan hadis. Di bawahnya adalah tafsir ayat dengan aqwal [pendapat]
sahabat dan peringkat terakhir adalah tafsir ayat dengan aqwal tabiin.
Menurut Husein Dzahabi, ada dua cara yang ditempuh oleh para ulama dalam
memberikan tafsir bi al-ma’tsūr ini: Pertama, marhala syafahiyya (penuturan lisan) yang
disebut dengan marhala riwā’iyya, di mana seorang sahabat meriwayatkannya dari
Rasulullah, atau dari sesama sahabat, atau seorang tabi’i meriwayatkan melalui jalan seorang
sahabat, dengan cara penukilan yang terpercaya, mendetail, dan terjaga melalui isnad, sampai
pada tahap selanjutnya. Kedua, marhala tadwīn, dengan cara menuliskan riwayat yang
ditunjukkan seperti di dalam marhala yang pertama. Hal ini seperti juga ditunjukkan dalam
kitab-kitab hadis sejak masa awal hingga berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu yang terpisah.
Tafsir al-Ra’y, yaitu tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan pada ijtihad
mufasirnya dan menjadikan akal fikiran sebagai pendekatan utamanya. ”tafsiri al-ra’y yang
menggunakan metode analitis ini, para mufassir memperoleh kebebasan, sehingga mereka
agak lebih otonom [mandiri] berkreasi dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-
ayat al-Qur’an selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syara dan kaidah
kaidah penafsiran yangmu’tabar. Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam
bentuk al-ra’y dengan metode analitis dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam
sekali seperti tafsir fiqhi, falsafi, sufi, ’ilmi, adabi ijtima’i, dan lain sebagainya. Tafsir bi al-
ra’y berkembang jauh lebih pesat meninggalkan tafsir bi al-ma’tsur, sebagaimana diakui oleh
ulama tafsir semisal Manna’ al-Qhathathan[5].
Para ulama telah menetapkan syarat-syarat diterimanya tafsir ra’y yaitu, bahwa
penafsirnya: [1] benar-benar menguasai bahasa Arab dengan segala seluk beluknya, [2]
mengetahui asbabun al nuzul, nasikh-mansukh, ilmu qira’at dan syarat-syarat keilmuan lain,
[3] tidak menginterpretasikan hal-hal yang merupakan otoritas Tuhan untuk mengetahuinya,
[4] tidak menafsirkan ayat-ayat berdasarkan hawa nafsu dan intres pribadi, [5] tidak
menafsirkan ayat berdasarkan aliran atau paham yang jelas batil dengan maksud justifikasi
terhadap paham tersebut, [6] tidak menganggap bahwa tafsirnya yang paling benar dan yang
dikehendaki oleh Tuhan tanpa argumentasi yang pasti.
Metode tahlili [analitis] juga memiliki kelemahan dan kelebihan, diantarnya
1. Kelebihan:
a. Ruang lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai ruang lingkup yang termasuk luas.
Metode ini dapat digunakan oleh mufassir dalam dua bentuknya; ma’tsur dan ra’y dapat
dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir.
b. Memuat berbagai ide: metode analitis relatif memberikan kesempatan yang luas kepada
mufassir untuk mencurahkan ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan al-Qur’an. Itu
berarti, pola penafsiran metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam dalam
bentuk mufassir termasuk yang ekstrim dapat ditampungnya. Dengan terbukanya pintu
selebar-lebarnya bagi mufassir untuk mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam
menafsirkan al-Qur’an, maka lahirlah kitab tafsir berjilid-jilid seperti kitab Tafsir al-Thabari
[15 jilid], Tafsir Ruh al-Ma’ani [16 jilid], Tafsir al-Fakhr al-Razi [17 jilid], Tafsir al-Maraghi
[10 jilid], dan lain-lain.
2. Kelemahan
a. Menjadikan petunjuk al-Qur’an parsial atau terpecah-pecah,tidak utuh dan tidak
konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang
diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang
memperhatikan ayat-ayat lain yang mirip atau sama dengannya.
b. Melahirkan penafsir subyektif dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang
menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-
kaidah atau norma-norma penafsiran.
c. Masuknya pemikiran Israiliat sebab berbagai pemikiran mufassir dapat masuk ke
dalamnya, tidak tercuali pemikiran Israiliat Contohnya, kitab tahlili seperti dalam
penafsiran al-Qurthubi tentang penciptaan manusia pertama, termaktub di dalam ayat 30
surah al-Baqarah disini terselib cerita israiliyyat.
D. Berbagai corak kitab tafsir.
Contoh Kitab Tafsir Dan Metodologi Penulisannya
Nama Kitab : جامع البيان في تفسير أي القرانatau yang lebih dikenal dengan
tafsir al-Tabary.
Pengarangnya : Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thobary (224 – 310 H)
Jumlah jilid : 12 jilid besar.
Keistimewaannya : Tafsir ini merupakan referensi bagi para mufassirin terutama penafsiran
binnaqli/biiriwayah. Tafsir bil aqli karena istinbath hukum, penjabaran berbagai pendapat dengan
dan mengupasnya secara detail disertai analisa yang tajam. Ia merupakan tafsir tertua dan
terbagus.
Metodologi Penulisannya:
Penulis menafsirkan ayat al-Qur’an dengan jelas dan ringkas dengan menukil pendapat para sahabat
dan tabi’in disertai sanadnya. Jikalau dalam ayat tersebut ada dua pendapat atau lebih, di
sebutkan satu persatu dengan dalil dan riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang mendukung dari
tiap-tiap pendapat kemudian mentarjih (memilih) diantara pendapat tersebut yang lebih kuat dari
segi dalilnya. Beliau juga mengii’rob (menyebut harakat akhir), mengistimbat hukum jikalau ayat
tersebut berkaitan dengan masalah hukum. Ad-Dawudy dalam bukunya “Thobaqah al-
Mufassirin“mengomentari metode ini dengan ungkapannya:“ Ibnu jarir telah menyempurnakan
tafsirnya dengan menjabarkan tentang hukum-hukum, nasih wal mansuh, menerangkan mufrodat
(kata-kata) sekaligus maknanya, menyebutkan perbedaaan ulama’ tafsir dalam masalah hukum dan
tafsir kemudian memilih diantara pendapat yang terkuat, mengi’rob kata-kata, mengkonter
pendapat orang-orang sesat, menulis kisah ,berita dan kejadian hari kiamat dan lain-lainnya yang
terkandung didalamnya penuh dengan hikmah dan keajaiban tak terkira kata demi kata, ayat demi
ayat dari isti’adzah sampai abi jad (akhir ayat). Bahkan jikalau seorang ulama’ mengaku mengarang
sepuluh kitab yang diambil dari tafsir ini, dan setiap kitab mengandung satu disiplin keilmuan
dengan keajaiban yang mengagungkan akan diakuinya (karangan tersebut).
2. Tafsir Ibnu Katsir
Nama kitab : تفسير القران العظيمlebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir.
Jumlah jilid : 4 Jilid
Nama penulis : Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir (w 774 H)
Keutamaanya : Merupakan tafsir terpopuler setelah tafsir At-Thobary dengan metode bil ma’tsur.
Metodologi penulisannya:
Penulis sangat teliti dalam mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menukil perkataan para salafus
sholeh. Ia menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan mudah dipahami. Menerangkan ayat
dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya. Beliau juga
menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran
para sahabat dan para tabi’in. Beliau juga sering mentarjih diantara beberapa pendapat yang
berbeda, juga mengomentari riwayat yang shoheh atau yang dhoif(lemah). mengomentari
periwayatan isroiliyyat. Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para
Fuqaha (ulama’ fiqih) dengan mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar.
Imam Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar ;” Sesungguhnya belum ada
ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini “.
3. Tafsir Al-Qurtuby
Nama kitab : الجامع ألحكام القران
Jumlah jilid : 11 jilid dengan daftar isinya.
Nama penulisnya : Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtuby (w 671 H).
Keutamaanya : Ibnu Farhun berkata,” tafsir yang paling bagus dan paling banyak manfaatnya,
membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil, serta menerangkan I’rob,
qiroat, nasikh dan mansukh”.
Metode penulisannya :
Penulis terkenal dengan gaya penulisan ulama’ fiqih., dengan menukil tafsir dan hukum dari para
ulama’ salaf dengan menyebutkan pendapatnya masing-masing. Dan membahas suatu permasalahan
fiqhiyah dengan mendetil. Membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil,
juga I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh. Beliau tidak ta’assub (panatik) dengan mazhabnya yaitu
mazhab Maliki.
4. Tafsir Syinqithy
Nama kitab : أضواء البيان في إيضاح القران بالقران
Jumlah jilid : 9 jilid.
Nama penulisnya : Muhammad Amin al-Mukhtar As-Syinqithy
Metodologi penulisannya:
Menekankan penafsiran bil-ma’tsur dengan dilengkafi qira’ah as-sab’ah dan qiro’ah syadz (lemah)
untuk istisyhad (pelengkap). Menerangkan masalah fiqih dengan terperinci, dengan menyebut
pendapat disertai dalil-dalilnya dan mentarjih berdasarkan dalil yang kuat. Pembahasan masalah
bahasa dan usul fiqih. Beliau wafat dan belum sempat menyelesaikan tafsirnya yang kemudian
dilengkapi oleh murid sekaligus menantunya yaitu Syekh ‘Athiyah Muhammad Salim.
E. Israiliyat dalam kitab tafsir
al-Israiliyat ialah berita-berita yang dibawa daripada Bani Israil yang terdiri daripada Yahudi
(lebih banyak) dan Nasrani. Berita-berita ini terbahagi kepada 3 kategori:
1. Berita yang diktiraf oleh Islam dan disahkan benar. Hukumnya adalah benar.
Contohnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari daripada Ibnu Mas‘ud:
:جاء حبر من األحبار إلى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فقال
وسائر الخالئق على إصبع، إنا نجد أن هللا يجعل السماوات على إصبع،يا محمد
، فضحك النبي صلى هللا عليه وسلم حتى بدت نواجذه تصديقا لقول الحبر، أنا الملك:فيقول
:ثم قرأ رسول هللا صلى هللا عليه وسلم
ْ س َم َاواتُ َم
ط ِويهات ضتُهُ يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َوال ه ُ َّللاَ َح هق قَد ِْر ِه َوأل َ ْر
َ ض َج ِميعا ً قَ ْب (و َما قَدَ ُروا ه
َ
[1].) َس ْب َحانَهُ َوتَعَالَى َع هما يُ ْش ِر ُكون
ُ بِيَ ِمينِ ِه
Maksudnya:
“Telah datang seorang pendita Yahudi kepada Rasulullah s.a.w. dan berkata: “Wahai
Muhammad, sesungguhnya kami dapati (dalam kitab kami) bahawa Allah meletakkan tujuh
petala langit atas satu jari, tujuh petala bumi atas satu jari, segala pokok atas satu jari, air
dan tanah atas satu jari dan seluruh makhluk atas satu jari lalu berkata, “Akulah raja.”
Mendengar itu, Nabi tergelak sehingga ternampak gusinya, membenarkan kata-kata pendita
itu. Kemudian Baginda membaca (ayat 67 surah al-Zumar 39 yang bermaksud): “Dan
mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi
seluruhnya dalam genggamanNya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan
kananNya. Maha suci Tuhan dan maha tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.”
3. Berita yang ditolak oleh Islam dan disahkan bohong. Hukumnya adalah batil.
Contohnya ialah riwayat daripada Jabir katanya:
“Dahulu golongan Yahudi mengatakan sekiranya lelaki mendatangi isterinya daripada arah
belakang, anak akan jadi juling. Kemudian turun ayat (al-Baqarah 2:223):
Maksudnya:
Isteri-isterimu ialah seperti tanah tempat kamu bercucuk tanam, maka datangilah tanah
tempat bercucuk tanam kamu itu bagaimana sahaja kamu kehendaki (melalui faraj).
3. Berita yang tidak diiktiraf dan tidak pula ditolak oleh Islam.
Hukumnya adalah ditangguhkan berdasarkan kepada hadith daripada Abu Hurairah:
، ويفسرونها بالعربية ألهل اإلسالم،كان أهل الكتاب يقرؤون التوراة بالعبرانية
، ال تصدقوا أهل الكتاب وال تكذبوهم:فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم
[3]. (آ َمنها بِالهذِي أ ُ ْن ِز َل إِلَ ْينَا َوأ ُ ْن ِز َل إِلَ ْي ُك ْم) اآلية:وقولوا
Maksudnya:
“Dahulu Ahli Kitab membaca al-Taurat dalam bahasa Ibraniyah dan mentafsirkannya
dalam bahasa Arab untuk orang Islam. Lalu Rasulullah s.a.w. bersabda: “Jangan percaya
Ahli Kitab dan jangan dustakan mereka. Katakanlah “Kami telah beriman kepada kitab-
kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu.” (al-Ankabut 29:46).
Akan tetapi, membincangkan berita jenis ini tidak mengapa jika tidak ditakuti membawa
keburukan berdasarkan sabda Baginda s.a.w.:
، وحدثوا عن بني إسرائيل وال حرج،بلغوا عني ولو آية
[4].ومن كذب على متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
Maksudnya:
“Sampaikanlah daripadaku satu ayat, ceritalah daripada Ahli Kitab tanpa keberatan.
Sesiapa yang menipu ke atasku secara sengaja, hendaklah dia sediakan tempat duduknya di
dalam neraka.”
Kebanyakan berita-berita yang diriwayatkan daripada mereka tidak mempunyai faedah
dalam agama.
Contohnya ialah warna anjing Ashab al-Kahfi dan sebagainya.
Berkenaan dengan pertanyaan Ahli Kitab tentang urusan agama, hukumnya adalah haram
berdasarkan hadith daripada Jabir bin Abdullah, bahawa diriwayatkan Rasulullah s.a.w.
bersabda:
، وقد ضلوا،ال تسألوا أهل الكتاب عن شئ؛ فإنهم لن يهدوكم
، أو تكذبوا بحق،فإنكم إما أن تصدقوا بباطل
[5].وإنه لو كان موسى حيا بين أظهركم ما حل له إال أن يتبعني
Maksudnya:
“Jangan tanya Ahli Kitab berkenaan sesuatupun. Sesungguhnya mereka tidak dapat
memberi hidayah kepada kamu dan mereka telah sesat. Justeru, kemungkinannya ialah kamu
membenarkan yang batil atau mendustakan yang benar (akibat daripada bertanya kepada
Ahli Kitab). Sesungguhnya jika Musa hidup di antara kamu, tidak halal baginya kecuali
mengikut aku.”
Abdullah bin Abbas berkata:
،يا معشر المسلمين كيف تسألون أهل الكتاب عن شئ
،وكتابكم الذي أنزل هللا على نبيكم صلى هللا عليه وسلم أحدث األخبار باهلل محضا
، وقد حدثكم أن أهل الكتاب قد بدلوا من كتاب هللا،لم يشب
هو من عند هللا؛: قالوا، فكتبوا بأيدهم،وغيروا
ليشتروا بذلك ثمنا قليال أو ال ينهاكم ما جاءكم من العلم عن مسألتهم؟
فال وهللا رأينا رجال منهم يسألكم عن الذي أنزل إليكم
Maksudnya:
“Wahai golongan yang beriman, bagaimanakah boleh kamu bertanya Ahli Kitab tentang
sesuatu sedangkan kitab kamu yang Allah turunkan ke atas nabiNya adalah berita-berita
terkini tentang Allah yang segar dan belum tua. Allah telah memberitahu kamu semua
bahawa Ahli Kitab telah menukar kitab Allah dan menulisnya dengan tangan-tangan mereka
dan mengatakan ianya adalah daripada Allah untuk mendapat ganjaran wang yang sedikit.
Tidakah pengetahuan kamu tentang mereka cukup untuk menegah kamu? Dan demi Allah,
tidak pernah pula ada di antara mereka yang bertanya kamu tentang apa yang diturunkan
kepada mereka.”
Contohnya ialah Imam al-Baghawi di mana Imam Ibnu Taimiyah telah berkata berkenaan
tafsirnya:
Sesungguhnya tafsir al-Baghawi adalah ringkasan daripada tafsir al-Tha‘labi, cuma beliau
(al-Baghawi) telah memeliharanya daripada hadith-hadith maudhu’ dan pendapat-pendapat
yang direka.
Ibnu Taimiyah berkata tentang al-Tha‘labi pula:
Sesungguhnya dia adalah pemungut api di waktu malam. Dia akan menukilkan apa sahaja
yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir samada sahih, dhaif atau maudhu’.
3. Ada di antara mereka yang membawa berita-berita al-Israiliyat dan menilai
sesetengahnya dengan menyifatkannya dhaif atau ditolak. Contohnya ialah Imam Ibnu
Kathir.
4. Ada di antara mereka yang bersungguh-sungguh menolak berita-berita al-
Israiliyat dan tidak membawanya sebagai tafsir al-Quran langsung. Contohnya Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha.[6]
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
http://www.facebook.com/note.php?note_id=99229774794.
M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992). hlm. 72.
Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, (Jakarta : Kalam Mulia, 1990), hlm.
64-71.
M. Ridlwan Nasir, Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin;Dalam Perspektif
Pemahaman Al Qur’an (Surabaya;IAIN Sunan Ampel) 1997) Hal. 5-8 ,Naskah Pidato Guru
Besar ilmu Tafsir Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel.
Manna.Khalil Al-Qattan, Mabahith fi ’Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurah al- ’Ashr al-Hadith.
1973).
Kamis, 12 Maret 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Metode adalah satu sarana untuk mecapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam konteks
pemahaman al-Quran, metode bermakna: “prosedur yang harus dilalui untuk mencapai pemahaman
yang tepat tentang makna ayat-ayat al-Quran.” Dengan kata lain, metode penafsiran al-Quran
merupakan: seperangkat kaidah yang seharusnya dipakai oleh penafsir ketika menafsirkan ayat-ayat
al-Quran.
Al-Quran secara tekstual memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teksnya selalu berubah,
sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya, al-Quran selalu membuka diri untuk
dianalisis, dipersepsi, dan ditafsirkan dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk
menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna
terdalam dari al-Quran itu. Sehingga al-Quran seolah menantang dirinya untuk dibedah.
Al-Qur’an yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus petunjuk untuk
umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki berbagai macam keistemewaan. Keistimewaan
tersebut antara lain susunan bahasanya yang unik memesonakan, dan pada saat yang sama
mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya,
walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN MASALAH
PEMBAHASAN
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti cara atau jalan. Di dalam
bahasa Inggris kata ini ditulis “method” dan bangsa Arab menerjemahkannya
dengan “tharîqah”dan “manhaj”. Di dalam pemakaian bahasa Indonesia kata tersebut
mengandung arti : “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud sedangkan
dalam ilmu pengetahuan mengandung arti : “cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”.
Sedangkan “tafsir” secara bahasa mengadung arti : menyingkap dan menampakkan atau
menerangkan makna yang abstrak. Sedangkan para Ulama berpendapat bahwa tafsir adalah
penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Tafsir
menurut istilah, sebagaimana yang didefinisikan Abu Hayyan ialah: “Ilmu yang membahas tentang
cara pengucapan lafazh-lafazh Quran, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika
berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika
tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya”.
Jadi, yang dimaksud metode tafsir al-Quran adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-
baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-
ayat al-Quran.
Sedangkan ilmu yang membahas tentang cara yang teratur dan terpikir baik untuk
mendapatkan pemahaman yang benar dari ayat-ayat Al-Qur’an sesuai kemampuan manusia yaitu
metodologi penafsiran.
B. METODE - METODE PENAFSIRAN
Study atas hasil karya penafsiran para ulama sekarang ini, secara umum menunjukkan bahwa
mereka menggunakan metode-metode penafsiran dalam empat cara (metode), yaitu :
Ijmaly (global)
Tahlily (analistis),
Muqaran (perbandingan),
Maudhu’i (tematik).
Atas seizin Allah kami akan menjelaskan keempat metode ini lebih terperinci lagi, terutama
metode keempat mengingat pentingnya metode ini untuk diketahui oleh siapa saja yang hendak
menafsirkan Al-Qur’an.
a) Pengertian
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Pengertian tersebut
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah
dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam
muskhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga
pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang
didengarnya itu tafsirnya. Ketika menggunakan metode ini, para mufassir menjelaskan Al-Qur’an
dengan bantuan sebab turun ayat (asbab an-nuzul), peristiwa sejarah, hadis nabi, atau pendapat
ulama saleh.[1]
b) Kelebihan
Praktis dan mudah dipahami oleh ummat dari berbagai strata sosial dan lapisan masyakat.
Bebas dari penafsiran kemungkinan israiliah maka tafsir ijmali relatif murni dan terbebas dari
pemikiran-pemikiran Israiliat dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang terlalu
jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif .
Akrab dengan bahasa al-Qur’an: karena tafsir ini dengan metode global menggunakan bahasa yang
singkat dan akrab dengan bahasa arab tersebut.
c) Kelemahan
Menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial: padahal al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang
utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang utuh, tidak
terpecah-pecah dan berarti, hal-hal yang global atau samar-samar di dalam suatu ayat, maka pada
ayat yang lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat tersebut akan
diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.
Tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai: Tafsir yang memakai metode ijmali
tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian yang luas, jika menginginkan adanya
analisis yang rinci, metode global tak dapat diandalkan. Ini disebut suatu kelemahan yang disadari
oleh mufassir yang menggunakan metode ini.
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali, yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-
Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-’Adhin olah Ustadz Muhammad Farid Wajdy,
Shafwah al-Bayan li Ma’any al-Qur’an karangan Syaikh Husanain Muhammad Makhlut, al-Tafsir al-
Muyassar karangan Syaikh Abdul al-Jalil Isa, dan lain sebagainya.[2]
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir
tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tidak jauh berbeda dengan metode alalitis,
namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga
mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode
global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya
kitab-kitab Tafsir ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi
ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca
tersebut adalah tafsirnya. Namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas,
tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.[3]
a) Pengertian
Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta
menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan
mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Di mulai dari uraian makna kosokata, makna kalimat,
maksut stiap ungkapan, kaitan antar pemisah sampai sisi-sisi keterkaitan antar pemisah itu dengan
bantuan asbab an-nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan
tabi’in. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat.
Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi Nabi sampai tabi’in ,
terkadang pula diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang
kesemuanya ditujukan untuk memahami Al-Qur’an yang mulia.
b) Kelebihan
Ruang lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai ruang lingkup yang termasuk luas. Metode
ini dapat digunakan oleh mufassir dalam dua bentuknya; ma’tsur dan ra’y dapat dikembangkan
dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir.
c) Kelemahan
Menjadikan petunjuk al-Qur’an parsial atau terpecah-pecah,tidak utuh dan tidak konsisten karena
penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat
lain yang sama dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang memperhatikan ayat-ayat lain
yang mirip atau sama dengannya.
Masuknya pemikiran Israiliat sebab berbagai pemikiran mufassir dapat masuk ke dalamnya, tidak
tercuali pemikiran Israiliat Contohnya, kitab tahlili seperti dalam penafsiran al-Qurthubi tentang
penciptaan manusia pertama, termaktub di dalam ayat 30 surah al-Baqarah disini terselib cerita
israiliyyat.[4]
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali antara lain :Ma’alim al- Tanzil(karya al -
Baghawi), Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim (karya Ibn Katsir), Tafsir al-Khazin (karya al-Khazin),Anwar al-
Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (karya al -Baidhawy)[5]
Pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas
bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara
komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’yi, sebagaimana
dalam penafsiran tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara
berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan.
Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’tsur (riwayat)
atau ra’y (pemikiran)[6]
a) Pengertian
Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi
dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;
Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan;
Jadi metode tafsir muqaran adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan merujuk pada
penjelasan-penjelasan para mufassir. Langkah yang ditempuh ketika menggunakan metode ini
adalah sebagai berikut:
2. Mengemukakan penjelasan para mufassir, baik kalangan salaf atau kalangan khalaf, baik tafsirnya
bercorak bi al-ma’tsur atau bi ar-ra’yi
Selain rumusan di atas, metode muqaran mempunyai pengertian lain yang lebih luas, yaitu
membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang tema tertentu, atau mmbandingkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi, termasuk dengan hadits-hadits yang makna
tekstualnya tampak kontradiktif dengan Al-Qur’an, atau dengan kajian-kajian lainnya.[8]
b) Kelebihan
Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada pada pembaca bila dibandingkan
dengan metode-metode lain. Di dalam penafsiran ayat al-Qur’an dapat ditinjau dari berbagai disiplin
ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufassirnya,
Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang
jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif. Dapat mengurangi
fanatisme yang berlebihan kepada suatu mazhab atau aliran tertentu,
Tafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat
tentang suatu ayat,
c) Kelemahan
Penafsiran dengan memakai metode ini tidak dapat diberikan kepada pemula yang baru mempelajari
tafsir,karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang ekstrim,
Metode ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di tengah
masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan
masalah[9]
Adapun kitab-kitab yang menggunakan metode Muqaran diantaranya adalah: Kitab Durrah al-
Tanzil wa al-Gurrah al-Ta‘wil karya al-Iskafi, mengkaji perbandingan antara ayat dengan ayat, Jami‘
Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi, kitab ini membandingkan penafsiran para mufassir.[10]
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan
yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang
dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah
pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu
penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli
tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqaran”.[11]
a) Pengertian
Yang dimaksud dengan metode mawdhu’iy ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai
dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian
dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-
nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh
dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah baik argumen itu berasal dari
Al-Qur’an dan Hadits, maupun pemikiran rasional.
b) Kelebihan
Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang
bertentangan dalam al-Quran, sekaligus membuktikan bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
c) Kekurangan
Kesullitan dalam memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu
kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang
berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan
bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak
mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak
mengganggu pada waktu melakukan analisis.
Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat
menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul
itu.[12]
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode Maudhu’i, yaitu :Al-Mar’ah fi Al-Qur’an Al-Karim
(karya Abbas Al-Aqqad), Ar-Riba fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Abu A’la Al-Maududi), Al-Aqidah fi Al-
Qur’an Al-Karim (karya Muhammad Abu Zahrah), Al-Insan fi Al-Qur’an Al-Karim (karya DR. Ibrahim
mahnan), Washaya surat al-isra’ (karya DR. Abd Al-Hayy Al-Farmawi).[13]
Yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan
sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode ini juga disebut metode “topikal”. Jadi mufasir
mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu
sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan
menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-
ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman
ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan
belaka (al-Ra’y al-Mahdh). Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang guru besar pada
Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i mengemukakan
secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode maudhu’i. Langkah-
langkah tersebut adalah :
Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-
nuzulnya.
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang
mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang
khas (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga
kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan.[14]
1. Klasifikasi Tafsir
a. Tafsir bi Al-Ma’tsur
Tasir bil Al-Ma’tsur disebut juga tafsir riwayah atau tafsir manqul, yaitu tafsir al-Quran yang
dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran berdasarkan atas sumber panafsiran dalam Al-Quran dari
riwayat para sahabat dan dari riwayat para tabi’in. Tasir bil Al-Ma’tsur adalah penjelasan Al-Qur’an
sendiri dari Rasulullah Saw, yang disampaikan kepada para sahabat, dari para sahabat berdasarkan
ijtihadnya, dan dari para tabi’in juga berdasarkan ijtihadnya.[15]
Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya agar tidak terjerumus dalam
subjektivitas yang berlebihan.
Penghilangan sanad
Mufassir terjerumus ke dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga
pokok al-Quran menjadi kabur.
Kronologis asbab an-Nuzul hukum yang di pahami dari uraian (naskh-mansukh) hampir di katakan
terabaikan sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun di tengah-tengah masyarakat yang hampa
budaya.
Masuknya unsur israiliyyat yang di definisikan sebagai unsur Yahudi dan Nasrani ke dalam penafsiran
al-Quran.
Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma’tsur fit Tafsiri bil Ma’tsur
(karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad,
Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja’far An Nahhas). [16]
Tafsir bil ma'tsur adalah yang wajib diikuti dan diambil. Karena terjaga dari penyelewengan
makna kitabullah. Ibnu Jarir berkata : "Ahli tafsir yang paling tepat mencapai kebenaran adalah yang
paling jelas hujjahnya terhadap sesuatu yang dia tafsirkan dengan dikembalikan tafsirnya kepada
Rasulullah dengan khabar-khabar yang tsabit dari beliau dan tidak keluar dari perkataan salaf. (Tafsir
Thobari: 1/66 dengan beberapa ringkasan.)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Berkata : "Dan kita mengetahui bahwa Al-Qur'an telah dibaca oleh
para sahabat, tabi'in dan orang-rang yang mengikuti mereka. Dan bahwa mereka paling tahu tentang
kebenaran yang dibebankan Allah kepada Rasulullah untuk menyampaikannya. (Majmu' Fatawa:
13/362.)[17]
b. Tafsir bi al Ra’yi
Kata al ra’yi secara etimologis berarti keyakinan, qiyas dan Ijtihad. Jadi, tafsir bi al ra’yi
adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara Ijtihad. Yakni rasio yang dijadikan titik tolak
penafsiran setelah mufasir terlebih dahulu memahami bahasa Arab dan aspek-aspek dilalah
(pembuktian) nya dan mufasari juga menggunakan syair-syair arab jahili sebagai pendukung, di
samping memperhatikan asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, qira’at dan lain-lain.[18]
Tafsir bir Ro’yi adalah tafsir yang berlandaskan pemahaman pribadi penafsir, dan istimbatnya
dengan akal semata. Tafsir ini banyak dilakukan oleh ahli bid'ah yang meyakini pemikiran tertentu
kemudian membawa lafadz-lafadz Al-Qur'an kepada pemikiran mereka tanpa ada pendahulu dari
kalangan sahabat maupun tabi'in. Tidak dinukil dari para imam ataupun pendapat mereka dan tidak
pula dari tafsir mereka. Seperti kelompok Mu'tazilah yang banyak menulis tafsir berlandaskan
pokok-pokok pemikiran mereka yang sesat, seperti Tafsir Abdurrohman bin Kaisar, Tafsir Abu 'Ali Al-
Juba'i, Tafsir Al-Kabir oleh Abdul Sabban dan Al-Kasysyaf yang ditulis oleh Zamakhsari.[19]
Sesungguhnnya Allah SWT telah memerintahkan kepada kita agar hendaknya suka merenungkan Al-
Qur'an.. Sebagaimana hal itu termaktub dalam firman-Nya:
Artinya: (inilah) kitab yang kami turunkan kepada engkau lagi diberkati, supaya mereka
memperhatikan ayat-ayat dan supaya mendapat peringatan orang-orang yang berakal"
(QS.Shad:29)
"merenung dan berpikir " tidaklah akan terwujud melainkan dengan menyelami rahasia-rahasia al-
Qur'an dan berijtihad untuk memahami makna-maknanya.
Allah memerintahkan kepada orang-orang yang hendak menggali hukum agar kembali kepada
ulama'. sebagaimana telah dijelaskan dalam firman-Nya:
Artinya: kalau mereka serahkan hal itu kepada rasul atau pada orang yang mempunyai urusan di
anatara mereka, niscaya orang-orang yang meneliti di antara mereka mengetahui akan hal ini
(QS.An-Nisa:83)
Kalau tafsir dengan ijtihad tidak diperbolehkan, tentunya ijtihad pun tidak diperbolehkan, dan tentu
saja banyak hukum yang tidak tergali, sungguh ini tidak benar
Sesungguhnya para sahabat telah membaca al-Qur'an dan berbeda beda dalam menafsirkannya.
Juga telah maklum bahwa tidak semua yang mereka katakan tentang al-Qur'an itu mereka dengar
dari nabi SAW, karena Nabi SAW tidak menerangkan segala sesuatu kepada mereka, melainkan
beliau terangkan kepada mereka hanyalah bersifat dharuri (pokok). Beliau menginggalkan yang
sebagain, yang sekira dapat dicapai oleh pengetahuan, akal, dan ijtihad.
Sesungguhnya tafsir bir-ra'yi adalah mengatakan sesuatu tentang kalamullah tanpa berdasarkan
suatu ilmu, ini jelas dilarang. Sebagaimna yang disinggung dalam firman Allah SWT:
َ َوا َ ْن تَقَولُوا
َعلَى هللاِ َماالَت َ ْعلَ ُم ْون
Adanya ancaman sebagaimana tersebut dalam hadis bagi orang yang menafsirkan Al-Qur'an dengan
pendapatnya, yaitu sabda nabi SAW, yang berbunyi:
ِ ار َو َم ْن قَا َل فِي ْالقُ ْرا َ ِن بِ َرأْيِ ِه فَ ْليَتَبَ هوأْ َم ْقعَدَهُ مِ نَ النه
ار ِ مِ نَ النه
Artinya : takutlah engkau mengadakan perkataan terhadapku, kecualai apa yang engkau tahu.
barangsiapa berdusta atas aku dengan sengaja, maka ambil saja tempat duduknya di neraka. Dan
barangsiapa berkata tentang al-Qur'an dengan pendapatnya, maka ambillah saja tempat duduknya
di neraka (HR at-Turmudzi)
َاس َما نُ ِز َل إِلَ ْي ِه ْم َولَعَله ُه ْو يَتَفَ هك ُر ْون ِ ََوأ َ ْنزَ ْلنَا إِلَيْك
ِ الذ ْك َر ِلتُبَيِنَ للنه
Artinya : Dan Kami turunkan kepada engkau peringatan (al-Qur'an), supaya engkau terangkan
kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka, mudah-mudahan mereka
memikirkannya (QS.an-Nahl;44)
Para sahabat dan tabi'in tidak mau berkata sesuatu tentang al-Qur'an dengan pendapat mereka.
Telah diriwayatkan dari Ash-Shidiq, sesunggunya dia berkata:
Artinya: di langit mana aku bernaung dan di bumi mana aku berpijak? bila aku berkata sesuatu
tentang al-Qur'an dengan pendapatku, atau berkata tentang al-Qur'an dengan sesuatu yang tidak
kuketahui?[20]
Tafsir al-Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al-Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin
Abdur Rahman As Sayuthi), Tafsir Al-Baidhawi, Tafsir Al-Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An-
Nasafy, Tafsir Al-Khatib, Tafsir Al-Khazi[21]
2. Corak Tafsir
a. Tafsir Ash-Shufi
Tafsir sufi adalah penafsiran al Qur’an yang berlainan dengan zahirnya ayat karena adanya
petunjuk-petunjuk yang tersirat. Dan hal itu dilakukan oleh orang-orang Sufi, orang yang berbudi
luhur dan terlatih jiwanya (Mujahadah), diberi sinar oleh Allah SWT sehingga dapat menjangkau
rahasia-rahasia al- Qur’an. Mereka menafsirkan ayat-ayat al Qur’an sesuai dengan pembahasan dan
pemikiran mereka yang berhubungan dengan kesufian yang justru kadang-kadang berlawanan
dengan “Syari’at Islam” dan kadang-kadang pemikiran mereka tertuju pada hal yang bukan-bukan
tentang Islam.[23] Contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalah Tafsir al-Qur’ān al-
Karim, karya Sahl al-Tustarī, Haqā’iq al-Tafsīr karya Abu Abd al-Rahman al-Sulamī, Lata’if al-
Isyarat karya al-Qusyairi, dan ‘Arā’is al-Bayān fī Haqā’iq al-Qur’ān karya al-Syirazī.[24]
b. Tafsir Fiqhī
Tafsir fiqhi, adalah corak tafsir yang lebih menitikberatkan kepada pembahasan masalah-
masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan/perbedaan pendapat di
antara imam madzhab. Tafsir ini sering disebut tafsir ayat al-ahkam atau tafsir ahkam karena tafsir
ini lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam al-Qur`an (ayat al-ahkam).[25] Di antara kitab-
kitab yang tergolong tafsir fiqhī adalah Ahkām al-Quran karya al-Jassās, Ahkām al-Qurankarya Ibn
al-‘Arabi, dan Al-Jāmi‘ li ahkām al-Quran karya al-Qurtubī .[26]
c. Tafsir falsafi
Adalah upaya penafsiran al-Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. Tafsir falsafi
yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang
mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-
teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan
filsafat.Karena ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsirkan
dengan menggunakan teori-teori filsafat.[27] Ada beberapa kitab tafsir falsafi seperti, Fushush al-
Hikam karya Al Farabi, Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi[28]
d. Tafsir ilmi
Tafsir ilmi adalah suatu metode tafsir yang berusaha menjalaskan istilah-istilah yang ilmiyah
dalam al-Qur’an dan menghasilkan berbagai macam teori ilmiyah dan filsafat. Dapat kita pahami
bahwa yang dimaksud dengan tafsir ilmi adalah seorang mufassir yang berusaha menjelaskan makna
yang terkandung dalam al-Qur’an dengan metode atau pendekatan ilmiyah atau ilmu
mengetahuan.[29] Karya yang bisa digolongkan dalam kelompok tafsir ilmi adalah Tafsir al-
Kabīr karya Imam Fakh al-Razî dan Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari. Sebagian ulama ada juga
yang memasukkan beberapa karya seperti Ihyā’ ‘ulūm al-dīn, dan Jawāhir al-Qurankarya Imam al-
Ghazāli; serta al-Itqan karya al-Suyūtī sebagai karya yang mencerminkan corak tafsir ilmi ini, akan
tetapi bila tafsir dipahami sebagai genre untuk karya yang menampilkan penafsiran al-Qur’an
berdasarkan tata urutan ayatnya sesuai dengan mushaf, sebagaimana corak ini tergolong kepada
metode tafsir tahlili, maka ketiga karya yang disebut terakhir tidak bisa di masukkan ke
dalamnya.[30]
Pengertian secara makna kebahasaan, istilah corak Al-adabi wa al-ijtima’i itu tersusun dari
dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i, kata al-adaby merupakan bentuk kata yang diambil dari
fi’il madhi aduba, yang mempunyai arti sopan santun, tata krama dan sastra, sedangkan kata al-
ijtima’iy yaitu mempunyai makna banyak berinteraksi dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan
hubungan kesosialan, namun secara etimologisnya tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang
berorientasi pada sastra budaya dan kemasyarakatan.
Tafsir ini berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh Al-Quran dari segi
balaghah dan kesastraannya serta berupaya mengungkapkan betapa keagungan Al-Quran itu sebagai
sebuah mu’jizat mengandung hukum-hukum alam raya dan aturan-aturan kemasyarakatan, melalui
petunjuk dan ajaran Al-Quran, suatu petunjuk yang berorientasi kepada kebaikan dunia dan
akhirat, serta berupaya mempertemukan antara ajaran Al-Quran dan teori-teori ilmiah yang benar.
Juga berusaha menjelaskan kepada umat bahwa Al-Quran itu adalah Kitab Suci yang kekal, yang
mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa yang
nantinya dapat mengugah hati untuk memperhatikan Kitabullah dan timbul minat serta gairah
untuk mengetahui segala makna dan rahasia Al-Quran al-Karim tersebut.[31]
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Metode tafsir al-Quran adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Quran.
a. Metode Ijmali (Global) adalah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
cara mengemukakan makna global.
b. Metode Tahlil (analisis) adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek
yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang
tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-
ayat tersebut.
d. Metode Maudhu’iy (Tematik) adalah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul
yang telah ditetapkan.
a. Tafsir bi Al-Ma’tsur
b. Tafsir bi Al-Ra’yi
c. Tafsir Ash-Shufi
d. Tafsir Al-Fiqhi
e. Tafsir Al-Falsafi
f. Tafsir Al-Ilimi
B. SARAN
Penyusun sangat menyadari bahwa didalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan,
dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penyusun menyarankan kepada semua pihak
yang membaca dan membahas makalah ini, agar bisa lebih banyak lagi menambah literature-
literatur supaya dapat menambah pengetahuan kita perhadap Tafsir Al-Qur’an. Yang tentunya masih
banyak referensi-referensi terhadap makalah yang kami tulis ini.
[1] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.38
[3] https://bambies.wordpress.com/2013/04/23/macam-macam-metode-penafsiran-al-quran//
[5] http://chikma88.blogspot.com/2011/07/metode-tafsir-tahlili-beserta_09.html//
[6] https://bambies.wordpress.com/2013/04/23/macam-macam-metode-penafsiran-al-quran//
[8] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.39
[10] http://budy-lovestory.blogspot.com/2014/06/metode-tafsir-muqaran_19.html
[11] https://bambies.wordpress.com/2013/04/23/macam-macam-metode-penafsiran-al-quran//
[12] file:///E:/Waroeng%20Study%20%20Metode%20Dan%20Corak-Corak%20Tafsir.htm//
[13] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.60
[14] https://bambies.wordpress.com/2013/04/23/macam-macam-metode-penafsiran-al-quran//
[15] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.24
[16] file:///E:/UNDUHAN/KUMPULAN%20MAKALAH%20%20KLASIFIKASI%20TAFSIR.htm//
[17] http://www.alquran-sunnah.com/alquran/tafsir-alquran/497-tafsir-keutamaan-dan-macam-
macamnya//
[18] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.26
[19] http://www.alquran-sunnah.com/alquran/tafsir-alquran/497-tafsir-keutamaan-dan-macam-
macamnya// 26-11-2014 09:17 WIB
[20] http://mumuhmuslihat91.blogspot.com/2013/04/tafsir-bil-matsur-dan-tasfir-bir-rayi.html//
[21] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.27
[22] http://www.alquran-sunnah.com/alquran/tafsir-alquran/497-tafsir-keutamaan-dan-macam-
macamnya//
[23] http://edukasi.kompasiana.com/2012/12/23/tafsir-sufi-518377.html//
[24] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.30
[25] http://ziyad-lagi.blogspot.com/2014/04/corak-penafsiran-fikih-dalam-tafsir-fiqh_1266.html//
[26] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.32
[27] http://afdhalilahi.blogspot.com/2013/03/corak-corak-tafsir.html//
[28] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.33
[29] http://ziyad-lagi.blogspot.com/2014/09/corak-tafsir-ilmi.html//
[30] file:///E:/UNDUHAN/CORAK%20CORAK%20TAFSIR%20_%20Afdhal%20Ilahi.htm//
[32] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.38
Sekalipun telah diungkapkan dengan kalimat yang berbeda-beda tetapi ketiga definisi
di atas sepakat menyatakan bahwa secara terminologis tafsir adalah keterangan dan
penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an sekalipun tidak diungkapkan secara
eksplisit dalam definisi, tentu saja Abu Hayyan dan Az-Zarkasyi akan sepakat dengan Az-
Zarqani bahwa keterangan dan penjelasan tentang maksud firman Allah SWT tersebut
sebatas kemampuan manusia.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, di sampig dibatasi oleh kemampuan masing-masing
sebagai manusia, para mufasir juga dipengaruhi oleh latar belakang pedidikan, sosial budaya
yang berbeda-bed, sehingga bentuk, metode dan corak penafsir an mereka juga berbeda-beda.
B. SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR
Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi
sendiri. Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah IbnMas’ud dan Ubay ibn Ka’ab
adalah diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an para sahabat menggunakan beberapa cara,
antar lain.
1. Menelitinya dalam’ Al-Qur’an sendiri, karena ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling
menafsirkan.
2. Merujuk kepada penafsiran Nabi Muhammmad SA, sesuai dengan fungsi beliau
sebagai mubayyin terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.
3. Apabila mereka tidak ditemukan keterangan tentang ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan tidak
sempat menanyakannya kepada Rasulullah SA, para sahabat berijtihat dengan bantuan
pengetahuan bahasa Arab, pengenalan terhadap tradisi Arab dan keadaan orang-orang Yahudi
dan Nasrani di Arabia pada waktu ayat turun atau latar belakang ayat tersebut diturunkan, dan
dengan menggunakan kekuatan penalaran mereka sendiri.
4. Sebagian sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah Nabi-Nabi atau
kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an kepada tokoh-tokoh ah;i Ahlul Kitab yang telah
memeluk agama Islam, seperti Abdullah ibn Salam, Ka’ab al-Ahbar dan lain-lain.
Tafsir pada masa sahabat ini belum merupakan ilmu sendiri’ masih merupakan bagian
dari riwayat-riwayat hadits yang berserakan, belum sistematis seperti tafsir yang kita kenal
sekarang. Di samping belum sistematis pada masa sahabat ini pun Al-Qur’an belum
ditafsirkan secara keseluruhan, dan pembahasannya pun belum luas dan mendalam.
Sesudah periode sahabat, datangah generasi berikutnya (tabi’in) meneruskan usaha
yang telah dirintis oleh para sahabat. Di samping menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
dan Hadits Nabi mereka juga merujuk kepada penafsiran para sahabat dan sebagian juga
tidak lupa mengutip dari Ahlul Kita. Setelah itu baru mereka mengembangkan penafsiran
sendiri berdasarkan ijtihad. Pada masa Tabi’in, tafsir masih merupakan bagian dari hadits,
tetapi sudah mengelompok menurut kota masing-masing.
Sesudah masa sahabat dan tabi’in datanglah masa kodifikasi (tadwin) hadits dimana
riwayat-riwayat berisi tafsir dikelompokkan menjadi satu bab sendiri, walaupun tetap belum
sistematis seperti susunan Al-Qur’an. Dalam perkembangan selanjutnya tafsir dipisahkan
dari kandungan kitab hadits dan menjadi kitab sendiri. Para ulama mengumpulkan riwayat-
riwayat yang berisi tefsir dari Nabi, sahabat dan tabi’in dalam kitab sendiri. Riwayat-riwayat
yang dikumpulkan itu sudah mencakup keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dan disusun sesuai
dengan sistematika mushaf. Bentuk penafsiran yang dirintis Ibn Jarir dan mufasir lain pada
masa awal pembukuan tafsir inilah yang kemudian di kenal dengan bentuk at-tafsir bi al-
ma’tsur.
Setelah ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang pesat pada masa Daulah
Abbasiyah, para mufasir tidak puas hanya dengan bentuk bi al-ma’tsur,karena perubahan dan
perkembangan zaman menghendaki pengembangan bentuk tafsir dengan memperluas dan
memperbesar peran ra’yu atau ijtihad dibandingkan dengan penggunaannya pada bentuk bi
al-ma’tsur. Tafsir dengan bentuk ini kemudian dikenal dengan at-tafsir bi-ar-ra’yi.
Dengan at-tafsir bi-ar-ra’yi seorang mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
menggunakan kemampuan ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an atau dengan hadits dan tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran
para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini mengembangkan penafsiran dengan bantuan bermacam-
macam ilmu pengetahuan seperti ilm bahasa Arab, ilmu Qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu
hadits, ushul fiqih, ilmu sejarah dan lain sebagainya. Dinamai dengan at-tafsir bi-ar-
ra’yi karena yang dominan memang penalaran atau ijtihad mufasir itu sendiri.
ْ ظ ْل ٍم أُولَئِ َك لَ ُه ُم
األم ُن َو ُه ْم ُ الهذِينَ آ َمنُوا َولَ ْم يَ ْل ِب
ُ سوا ِإي َمانَ ُه ْم ِب
َُم ْهتَدُون
Artinya:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman
(syirik), mereka itulah yang mendapat keamanandan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-An’am 6:82)
Penafsiran ayat dengan ayat tidak selamanya berdasarkan petunjuk Nabi seperti dalam
contoh di atas, tetapi bisa juga atas pemahaman para sahabat atau tabi’in seperti dalam
penafsiran maksud kalimatin dalam Surat Al-Baqarah 37. Allah SWT berfirman:
KESIMPULAN
Secara etimologis Tafsir berarti penjelasan, sedangkan secara terminologis tafsir
adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an sekalipun
tidak diungkapkan secara eksplisit dalam definisi, tentu saja Abu Hayyan dan Az-Zarkasyi
akan sepakat dengan Az-Zarqani bahwa keterangan dan penjelasan tentang maksud firman
Allah SWT tersebut sebatas kemampuan manusia.
Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi
sendiri. Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah IbnMas’ud dan Ubay ibn Ka’ab
adalah diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Muchotob. 2003. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Gama Media: Yogyakarta
Ilyas, Yunahar. 2013. Ulumul Qur’an. Itqan Publishing: Yogyakart
http://islamiyah2931.blogspot.co.id/2015/05/makalah-tafsir-al-quran.html
http://dickyoksasoemantri.blogspot.co.id/2012/10/makalah-studi-al-quran-tentang-sejarah.html