Anda di halaman 1dari 35

Kamis, 24 Mei 2012

2.2.1. MAKALAH Study al-Quran SEJARAH DAN METODOLOGI


TAFSIR

SEJARAH DAN METODOLOGI TAFSIR


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Study al-Quran
MAKALAH
Dosen pebimbing: H. Misbahul Munir,Lc, M.EI

Kelompok 9 :
1. Bararatul Hasanah (10510042)
2. Nur Halimah (10510094)
3. Yusman Susanto (09510087)
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2011

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Tafsir pada masa Rasulullah dan para Sahabat.


Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai mubayyin
(pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan
Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya.
Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa
penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat
tentangnya atau karena memang Rasul saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-
Quran.
Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang
tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad,
khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas,
Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah
nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab
yang telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-
lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas
mempunyai murid-murid dari para tabi'in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal.
Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi'in di kota-kota tersebut, seperti:
a. Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu 'Abbas.
b. Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay
bin Ka'ab.
c. Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin
Mas'ud.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul saw., penafsiran sahabat-
sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir
bi Al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi'in, sekitar tahun
150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya, dan
bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu
perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah
terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat
terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu
kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan
bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran,
sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya.
Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti dikatakan oleh
'Abdullah Darraz dalam Al-Naba'Al-Azhim:
"Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa
yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang
lain memandangnya., maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat."
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: "Al-
Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan
oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak.
Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup
dalam interpretasi tunggal."[1]
Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain:
1. Corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama
Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga
dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman
arti kandungan Al-Quran di bidang ini.
2. Corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara
pihak, serta akibat masuknya penganut agama; agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar
atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka.
Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tecermin dalam penafsiran
mereka.
3. Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk
memahami ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu.
4. Corak fiqih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-
mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya
berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
5. Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan
berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
6. Bermula pada masa Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905 M), corak-corak tersebut mulai
berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan.
Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Quran yang
berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi
penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan
mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah
didengar.[2]

B. Kodifikasi Tafsir
Kalau yang digambarkan di atas tentang sejarah perkembangan Tafsir dari segi corak
penafsiran, maka perkembangan dapat pula ditinjau dari segi kodifikasi (penulisan), hal mana
dapat dilihat dalam tiga periode:
1. masa Rasul saw., sahabat, dan permulaan masa tabi'in, di mana Tafsir belum tertulis dan
secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan.
2. bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan 'Umar bin 'Abdul
'Aziz (99-101 H). Tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis-hadis, dan
dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis, walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu
umumnya adalah Tafsir bi Al-Ma'tsur.
3. dimulai dengan penyusunan kitab-kitab Tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, yang oleh
sementara ahli diduga dimulai oleh Al-Farra (w. 207 H) dengan kitabnya yang berjudul
Ma'ani Al-Qur'an.

C. Metode Penulisan Tafsir


Di lain segi, sejarah perkembangan Tafsir dapat pula ditinjau dari sudut metode
penafsiran. Walaupun disadari bahwa setiap mufassir mempunyai metode yang berbeda
dalam perinciannya dengan mufassir lain. Namun secara umum dapat diamati bahwa sejak
periode ketiga dari penulisan Kitab-kitab Tafsir sampai tahun 1960, para mufassir
menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam
mushhaf
Penafsiran yang berdasar perurutan mushaf ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk
Al-Quran terpisah-pisah, serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan
menyeluruh. Memang satu masalah dalam Al-Quran sering dikemukakan secara terpisah dan
dalam beberapa surat. Ambillah misalnya masalah riba, yang dikemukakan dalam surat-surat
Al-Baqarah, Ali 'Imran, dan Al-Rum, sehingga untuk mengetahui pandangan Al-Quran
secara menycluruh dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat
yang berbeda-beda itu.
Disadari pula oleh para ulama, khususnya Al-Syathibi (w. 1388 M), bahwa setiap
surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral
yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut.
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir
Al-Qur'an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syathibi
tersebut. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat-demi-ayat, tetapi membahas surat demi surat,
atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral
yang terdapat dalam satu surat tersebut. Metode ini kemudian dinamai metode mawdhu'iy.
Namun apa yang ditempuh oleh Syaltut belum menjadikan pembahasan tentang
petunjuk Al-Quran dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena seperti dikemukakan di
atas, satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul ide untuk
menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan
satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir
dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan. Ide
ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode mawdhu'iy gaya Mahmud Syaltut di
atas.
Dengan demikian, metode mawdhu'iy mempunyai dua pengertian:
1. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-
tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan
persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya
dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
2. penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas satu masalah
tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai
dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat
tersebut, guna menarik petunjuk Al-Quran secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.
Demikian perkembangan penafsiran Al-Quran dari segi metode, yang dalam hal ini
ditekankan menyangkut pandangan terhadap pemilihan ayat-ayat yang ditafsirkan (yaitu
menurut urut-urutannya).
Penafsiran Al Qur’an, secara garis besar dapat dibagi dalam 4(empat) macam
metode,[3] dengan sudut pandang tertentu : [4]
1. Metode Penafsiran ditinjau dari sumber penafsirannya, metode ini terbagi menjadi tiga
macam, yakni metode bi al-ma’thur, bi al-riwayah, bi al-manqul, tafsir bi-ra’y/bi al-dirayah/
bi al ma’qul dan tafsir bi al-izdiwaj (campuran).
2. Metode penafsiran ditinjau dari cara penjelasannya. Metode ini dibagi menjadi dua macam,
yakni metode deskriptif (al-bayani) dan Metode tafsir perbandingan (comparatif, al
maqarin).
3. Motede penafsiran ditinjau dari keleluasan penjelasan. Metode ini dibagi menjadi dua
macam, yakni metode global (al-ijmali) dan metode detail (al-ithnaby).
4. Metode penafsiran ditinjau dari aspek sasaran dan sistematika ayat-ayat yang ditafsirkan.
Metode penafsiran ini terbagi menjadi dua macam, yakni metode analisis (al-tahlily) dan
metode tematik (al-mawhu’y).
Corak penafsiran Qur’an tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan, interest,
motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman [capacity] dan ragam
ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan
sebagainya. Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi
aliran yang bermacam-macam dengan metode-metode yang berbeda-beda.
Metode penafsiran yang banyak dilakukan oleh para mufassir adalah:
1. Tafsir Bil Ma’tsur atau Bir-Riwayah
Metode penafsirannya terfokus pada shohihul manqul (riwayat yang shohih) dengan menggunakan
penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan sunnah, penafsiran al-Qur’an
dengan perkataan para sahabat dan penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in. Yang mana
sangat teliti dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada. Dan penafsiran seperi inilah
yang sangat ideal yang patut dikembangkan. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan
metode ini adalah :
1. Tafsir At-Tobary ( ‫ ( جامع البيان في تأويل أى القران‬terbit 12 jilid
2. Tafsir Ibnu Katsir (‫ )تفسير القران العظيم‬dengan 4 jilid
3. Tafsir Al-Baghowy (‫) معالم التنزيل‬
4. Tafsir Imam As-Suyuty ) ‫ ( الدر المنثور في التفسير بالمأثور‬terbit 6 jilid.
2. Tafsir Bir-Ra’yi (Diroyah).
Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Ar-Ro’yu al Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa syarat
diantaranya:
 Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Qur’an dan as-sunnah.
 Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bil ma’tsur, Seorang mufassir harus
menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya.
Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini diantaranya :
1. Tafsir Al-Qurtuby - ‫الجامع ألحكام القران‬
2. Tafsir Al-Jalalain - ‫تفسير الجاللين‬
3. Tafsir Al-Baidhowy - ‫ أنوار التنزيل و أسرار التأويل‬.
2. Ar-Ro’yu Al- mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela / dilarang), karena bertumpu pada
penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath(pegambilan hukum) hanya
menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilali syariat Islam. Kebanyakan
metode ini digunakan oleh para ahli bid’ah yang sengaja menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan
keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak dilakukan oleh ahli
tafsir priode sekarang ini. Diantara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah:
 Tafsir Zamakhsyary (‫) عيون األقاويل في وجوه التأويل الكشاف عن حقائق التنزيل و‬.
 Tafsir syiah “Dua belas” seperti (‫ ) مشكاة األسرار للمولي عبد اللطيف الكازاراني مرأة األنوار و‬juga‫لعلوم القران مع البيان‬
‫ألبي الفضل الطبراسي‬.
 Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah seperti tafsir ‫ألبي محمد حقائف التفسير للسلمي و عرائس البيان في حقائق القران‬
‫الشيرازي‬

3. Metode Ijmali.

Metode tafsir ijmaly yaitu menafsirkan al-Quran dengan cara singkat dan global
tanpa ada uraian panjang lebar. Metode ijmaly (Global) menjelaskan ayat-ayat al-
Quran secara ringkas tapi mencakup bahasa yang lebih umum dikenal, lebih luas,
mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistematika penulisannya mengikuti susunan
ayat-ayat di dalam mushaf. Penyajiannya tidak terlalu jayh dari gaya bahasa al-
Quran.

Dengan demikian, cirri-ciri dan jenis tafsir Ijmali mengikuti urut-urutan ayat demi ayat
menurut tertib mushaf seperti halnya tafsir Tahlili. Perbedaanya dengan tafsir tahlili adalah
tafsir ijmali makna ayatnya diungkapkan secara ringkas dan global tetapi cukup jelas,
sedangkan tafsir tahlili makna ayat diuraikan secara terperinci dengan tinjauan berbagai segi
dan aspek yang diulas secara panjang lebar.
Ciri-ciri umum metode ijmali adalah :
1. cara seorang mufassir melakukan penafsiran, di mana seorang mufassir langsug menafsirkan
ayat al-Qur'an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.
2. mufassir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya.
3. mufassir tidak banyak memberikan penafsiran secara rinci tetapi ringkas dan umum,
meskipun pada beberapa ayat tertentu memberikan penafsiran yang agak luas, namun tidak
pada wilayah analitis.
Sebagai contoh : “penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain terhadap 5 ayat pertama dari
surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat singkat dan global hingga tidak ditemui rincian
atau penjelasan yang memadai. Penafsiran tentang ‫ الم‬misalnya, dia hanya berkata : Allah
Maha Tahu maksudnya. Dengan demikian pula kata al kitaabah ‫ الكتا ب‬penafsiran hanya
dikatakan : Yang dibacakan oleh Muhammad. Begitu seterusnya, tanpa ada rincian sehingga
penafsiran 5 ayat itu hanya dalam beberapa baris saja.
Berbeda dengan tafsir tahlili (analitis), al-Maraghi, misalnya, untuk menjelaskan 5
ayat pertama itu membutuhakn 7 halaman. Hal ini disebabkan uraiannya bersifat analitis
dengan mengemukakan berbagai pendapat dan didukung oleh fakta-fakta dan argument-
argumen, baik berasal dari al-Quran atau hadist-hadist Nabi serta pendapat para sahabat dan
tokoh ulama’, juga tidak ketinggalan argument semantic.
Disinilah, metode ijmali dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran juga memiliki kelebihan
dan kelemahan, antara lain sebagai berikut:
 Kelebihan.
1. Praktis dan mujdah dipahami oleh umat dari berbagai strata social dan lapisan masyarakat.
2. Bebas dari penafsiran kemungkinan israiliyat.
3. Akrab dengan bahasa al-Quran, karena tafsir ini dengan metode glonal menggunakan bahasa
yang singkat dan akrab dengan bahasa arab tersebut.

 Kelemahan.
a. Menjadikan petunjuk al-Quran bersifat parsial, padahal al-Quran merupakan satu-kesatuan
yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang utuh,
tidak terpecah-pecah, hal-hal yang global atau samar-samar di dalam satu yat, maka pada ayat
yang lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat tersebut akan
diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.
b. Tidak ada naungan untuk mengemukakan analisi yang memadai. Tafsir yang memakai
metode ijmali tidak menyediakan naungan untuk memberikan uraian yang luas, jika
menginginkan adanya analisis rinci, metode global tidak dapat diandalkan. Ini disebut suatu
kelemahan yang disadari oleh mufassir yang menggunakan metode ini.

4. Metode Tahlili.
Secara etimologis, tahliliy berasal dari bahasa Arab: hallala – yuhallilu – tahlil, yang
berarti “mengurai” atau “menganalisis”. Dengan demikian yang dimaksud dengan
tafsir tahliliyadalah suatu metode penafsiran yang berusaha menjelaskan al Qur’an dengan
menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh al Qur’an.
Metode tafsir analisis ialah menafsirkan ayat-ayat al-quran dengan memaparkan
segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat al-Quran yang ditafsirkan itu, serta
menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan
kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Mufassir membahas al-Quran
ayat demi ayat yang tersusun di dalam al-Quran. Tafsir yang memakai pendekatan ini
mengikuti naskah al-Quran dan menjelaskannya dengan cara sedikit demi sedikit, dengan
menggunakan alat-alat penafsiran yang diyakini efektif (seperti mengandalkan pada arti-arti
harfiah, hadits atau ayat-ayat lain yang mempunyai beberapa kata atau pengertian yang sama
dengan ayat yang sedang dikaji), sebatas kemampuanyya di dalam membantu menerangkan
makna bagian yang sedang ditafsirkan, sambil memperhatikan konteks naskah tersebut.
Metode tafsir ini berusaha untuk menerangkat arti ayat-ayat al-Quran dari berbagai
seginya, berdasarkan urut-urutan ayat atau surah dalam mushaf, dengan menonjolkan
kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surah-surahnya, sebab-
sebabnya turunnya, hadits yang berhubungan dengannya, pendapat-pendapat para mufassir
terdahulu dan mufassir itu sendiri diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya.
Ciri-ciri metode tahlili.
Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’tsur [riwayat]
ataura’y [pemikiran]:
1. Di antara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-ma’tsur adalah
 kitab tafsir Jami’ al-Bayan’an Ta’wil Ayi al-Qur’an karangan Ibn Jarir al-
Thabari [w.310H],
 Ma’alim al-Tazil karangan al-Baghawi [w.516H],
 Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [terkenal dengan tafsir Ibn Katsir] karangan Ibn
Katsir [w.774H],
 al-Durr al-Mantsur fi al-tafsir bi al-Ma’tsur karangan al-Suyuthi [w.911H].
2. Tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-Ra’y banyak sekali, antara lain:
 Tafsir Lubāb al-ta’wīl fī ma‘ānī al-tanzīl karya Imam al-Khāzin (w.741 H
 Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan al-Baydhawi [w.691H],
 al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari [w.538H],
 ’Arais al-Bayan fi Haqaia al-Qur’an karangan al-Syirazi [w.606H],
 al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib karangan al-Fakhr al-Razi [w.606H],
 Madārik al-Tanzīl wa haqā’iq al-ta’wīl karya al-Nasafī (w.701 H)
 al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an karangan Thanthawi Jauhari,
 Irshād al-‘aql al-Salīm ilā mazāya al-Kitāb al-karīm karya Abū Sa‘ūd (w.982
H).
 Tafsir al-Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha [w.1935] dan lain-lain.
Jadi, pola penafsiran yang diterapkan oleh para pengarang kitab-kitab tafsir di
atas terlihat, bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-
ayat al-Qur’an secara komprehensif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-
ma’tsur maupunal-ra’y
Untuk lebih mudah mengenal metode tafsir analitis, berikut ini dikemukakan
beberapa corak tafsir yang tercakup dalam tafsir tahlili, sebagai contoh, yaitu: Tafsir al-
Ma’tsur, yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan nash-nash, baik dengan
ayat-ayat al-Qur’an sendiri, dengan hadis-hadis Nabi, dengan pendapat sahabat, maupun
dengan pendapat tabiin. Pendapat [aqwal] tabiin masih kontraversi dimasukkan dalam tafsir
bil ma’tsur sebab para tabiin dalam memberikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya
berdasarkan riwayat yang mereka kutip dari Nabi, tetapi juga memasukkan ide-ide dan
pemikiran mereka [melakukan ijtihad]. Tafsir ma’tsur yang paling tinggi peringkatnya
adalah tafsir yang berdasarkan ayat al-Qur’an yang ditunjuk oleh Rasulullah. Peringkat
kedua adalah tafsir dengan hadis. Di bawahnya adalah tafsir ayat dengan aqwal [pendapat]
sahabat dan peringkat terakhir adalah tafsir ayat dengan aqwal tabiin.
Menurut Husein Dzahabi, ada dua cara yang ditempuh oleh para ulama dalam
memberikan tafsir bi al-ma’tsūr ini: Pertama, marhala syafahiyya (penuturan lisan) yang
disebut dengan marhala riwā’iyya, di mana seorang sahabat meriwayatkannya dari
Rasulullah, atau dari sesama sahabat, atau seorang tabi’i meriwayatkan melalui jalan seorang
sahabat, dengan cara penukilan yang terpercaya, mendetail, dan terjaga melalui isnad, sampai
pada tahap selanjutnya. Kedua, marhala tadwīn, dengan cara menuliskan riwayat yang
ditunjukkan seperti di dalam marhala yang pertama. Hal ini seperti juga ditunjukkan dalam
kitab-kitab hadis sejak masa awal hingga berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu yang terpisah.
Tafsir al-Ra’y, yaitu tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan pada ijtihad
mufasirnya dan menjadikan akal fikiran sebagai pendekatan utamanya. ”tafsiri al-ra’y yang
menggunakan metode analitis ini, para mufassir memperoleh kebebasan, sehingga mereka
agak lebih otonom [mandiri] berkreasi dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-
ayat al-Qur’an selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syara dan kaidah
kaidah penafsiran yangmu’tabar. Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam
bentuk al-ra’y dengan metode analitis dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam
sekali seperti tafsir fiqhi, falsafi, sufi, ’ilmi, adabi ijtima’i, dan lain sebagainya. Tafsir bi al-
ra’y berkembang jauh lebih pesat meninggalkan tafsir bi al-ma’tsur, sebagaimana diakui oleh
ulama tafsir semisal Manna’ al-Qhathathan[5].
Para ulama telah menetapkan syarat-syarat diterimanya tafsir ra’y yaitu, bahwa
penafsirnya: [1] benar-benar menguasai bahasa Arab dengan segala seluk beluknya, [2]
mengetahui asbabun al nuzul, nasikh-mansukh, ilmu qira’at dan syarat-syarat keilmuan lain,
[3] tidak menginterpretasikan hal-hal yang merupakan otoritas Tuhan untuk mengetahuinya,
[4] tidak menafsirkan ayat-ayat berdasarkan hawa nafsu dan intres pribadi, [5] tidak
menafsirkan ayat berdasarkan aliran atau paham yang jelas batil dengan maksud justifikasi
terhadap paham tersebut, [6] tidak menganggap bahwa tafsirnya yang paling benar dan yang
dikehendaki oleh Tuhan tanpa argumentasi yang pasti.
Metode tahlili [analitis] juga memiliki kelemahan dan kelebihan, diantarnya
1. Kelebihan:
a. Ruang lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai ruang lingkup yang termasuk luas.
Metode ini dapat digunakan oleh mufassir dalam dua bentuknya; ma’tsur dan ra’y dapat
dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir.
b. Memuat berbagai ide: metode analitis relatif memberikan kesempatan yang luas kepada
mufassir untuk mencurahkan ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan al-Qur’an. Itu
berarti, pola penafsiran metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam dalam
bentuk mufassir termasuk yang ekstrim dapat ditampungnya. Dengan terbukanya pintu
selebar-lebarnya bagi mufassir untuk mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam
menafsirkan al-Qur’an, maka lahirlah kitab tafsir berjilid-jilid seperti kitab Tafsir al-Thabari
[15 jilid], Tafsir Ruh al-Ma’ani [16 jilid], Tafsir al-Fakhr al-Razi [17 jilid], Tafsir al-Maraghi
[10 jilid], dan lain-lain.
2. Kelemahan
a. Menjadikan petunjuk al-Qur’an parsial atau terpecah-pecah,tidak utuh dan tidak
konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang
diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang
memperhatikan ayat-ayat lain yang mirip atau sama dengannya.
b. Melahirkan penafsir subyektif dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang
menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-
kaidah atau norma-norma penafsiran.
c. Masuknya pemikiran Israiliat sebab berbagai pemikiran mufassir dapat masuk ke
dalamnya, tidak tercuali pemikiran Israiliat Contohnya, kitab tahlili seperti dalam
penafsiran al-Qurthubi tentang penciptaan manusia pertama, termaktub di dalam ayat 30
surah al-Baqarah disini terselib cerita israiliyyat.
D. Berbagai corak kitab tafsir.
Contoh Kitab Tafsir Dan Metodologi Penulisannya
Nama Kitab : ‫ جامع البيان في تفسير أي القران‬atau yang lebih dikenal dengan
tafsir al-Tabary.
Pengarangnya : Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thobary (224 – 310 H)
Jumlah jilid : 12 jilid besar.
Keistimewaannya : Tafsir ini merupakan referensi bagi para mufassirin terutama penafsiran
binnaqli/biiriwayah. Tafsir bil aqli karena istinbath hukum, penjabaran berbagai pendapat dengan
dan mengupasnya secara detail disertai analisa yang tajam. Ia merupakan tafsir tertua dan
terbagus.
Metodologi Penulisannya:
Penulis menafsirkan ayat al-Qur’an dengan jelas dan ringkas dengan menukil pendapat para sahabat
dan tabi’in disertai sanadnya. Jikalau dalam ayat tersebut ada dua pendapat atau lebih, di
sebutkan satu persatu dengan dalil dan riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang mendukung dari
tiap-tiap pendapat kemudian mentarjih (memilih) diantara pendapat tersebut yang lebih kuat dari
segi dalilnya. Beliau juga mengii’rob (menyebut harakat akhir), mengistimbat hukum jikalau ayat
tersebut berkaitan dengan masalah hukum. Ad-Dawudy dalam bukunya “Thobaqah al-
Mufassirin“mengomentari metode ini dengan ungkapannya:“ Ibnu jarir telah menyempurnakan
tafsirnya dengan menjabarkan tentang hukum-hukum, nasih wal mansuh, menerangkan mufrodat
(kata-kata) sekaligus maknanya, menyebutkan perbedaaan ulama’ tafsir dalam masalah hukum dan
tafsir kemudian memilih diantara pendapat yang terkuat, mengi’rob kata-kata, mengkonter
pendapat orang-orang sesat, menulis kisah ,berita dan kejadian hari kiamat dan lain-lainnya yang
terkandung didalamnya penuh dengan hikmah dan keajaiban tak terkira kata demi kata, ayat demi
ayat dari isti’adzah sampai abi jad (akhir ayat). Bahkan jikalau seorang ulama’ mengaku mengarang
sepuluh kitab yang diambil dari tafsir ini, dan setiap kitab mengandung satu disiplin keilmuan
dengan keajaiban yang mengagungkan akan diakuinya (karangan tersebut).
2. Tafsir Ibnu Katsir
Nama kitab : ‫ تفسير القران العظيم‬lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir.
Jumlah jilid : 4 Jilid
Nama penulis : Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir (w 774 H)
Keutamaanya : Merupakan tafsir terpopuler setelah tafsir At-Thobary dengan metode bil ma’tsur.
Metodologi penulisannya:
Penulis sangat teliti dalam mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menukil perkataan para salafus
sholeh. Ia menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan mudah dipahami. Menerangkan ayat
dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya. Beliau juga
menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran
para sahabat dan para tabi’in. Beliau juga sering mentarjih diantara beberapa pendapat yang
berbeda, juga mengomentari riwayat yang shoheh atau yang dhoif(lemah). mengomentari
periwayatan isroiliyyat. Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para
Fuqaha (ulama’ fiqih) dengan mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar.
Imam Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar ;” Sesungguhnya belum ada
ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini “.
3. Tafsir Al-Qurtuby
Nama kitab : ‫الجامع ألحكام القران‬
Jumlah jilid : 11 jilid dengan daftar isinya.
Nama penulisnya : Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtuby (w 671 H).
Keutamaanya : Ibnu Farhun berkata,” tafsir yang paling bagus dan paling banyak manfaatnya,
membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil, serta menerangkan I’rob,
qiroat, nasikh dan mansukh”.
Metode penulisannya :
Penulis terkenal dengan gaya penulisan ulama’ fiqih., dengan menukil tafsir dan hukum dari para
ulama’ salaf dengan menyebutkan pendapatnya masing-masing. Dan membahas suatu permasalahan
fiqhiyah dengan mendetil. Membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil,
juga I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh. Beliau tidak ta’assub (panatik) dengan mazhabnya yaitu
mazhab Maliki.

4. Tafsir Syinqithy
Nama kitab : ‫أضواء البيان في إيضاح القران بالقران‬
Jumlah jilid : 9 jilid.
Nama penulisnya : Muhammad Amin al-Mukhtar As-Syinqithy
Metodologi penulisannya:
Menekankan penafsiran bil-ma’tsur dengan dilengkafi qira’ah as-sab’ah dan qiro’ah syadz (lemah)
untuk istisyhad (pelengkap). Menerangkan masalah fiqih dengan terperinci, dengan menyebut
pendapat disertai dalil-dalilnya dan mentarjih berdasarkan dalil yang kuat. Pembahasan masalah
bahasa dan usul fiqih. Beliau wafat dan belum sempat menyelesaikan tafsirnya yang kemudian
dilengkapi oleh murid sekaligus menantunya yaitu Syekh ‘Athiyah Muhammad Salim.
E. Israiliyat dalam kitab tafsir
al-Israiliyat ialah berita-berita yang dibawa daripada Bani Israil yang terdiri daripada Yahudi
(lebih banyak) dan Nasrani. Berita-berita ini terbahagi kepada 3 kategori:
1. Berita yang diktiraf oleh Islam dan disahkan benar. Hukumnya adalah benar.
Contohnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari daripada Ibnu Mas‘ud:
:‫جاء حبر من األحبار إلى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فقال‬
‫ وسائر الخالئق على إصبع‬،‫ إنا نجد أن هللا يجعل السماوات على إصبع‬،‫يا محمد‬
،‫ فضحك النبي صلى هللا عليه وسلم حتى بدت نواجذه تصديقا لقول الحبر‬،‫ أنا الملك‬:‫فيقول‬
:‫ثم قرأ رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
ْ ‫س َم َاواتُ َم‬
‫ط ِويهات‬ ‫ضتُهُ يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َوال ه‬ ُ ‫َّللاَ َح هق قَد ِْر ِه َوأل َ ْر‬
َ ‫ض َج ِميعا ً قَ ْب‬ ‫(و َما قَدَ ُروا ه‬
َ
[1].) َ‫س ْب َحانَهُ َوتَعَالَى َع هما يُ ْش ِر ُكون‬
ُ ‫بِيَ ِمينِ ِه‬
Maksudnya:
“Telah datang seorang pendita Yahudi kepada Rasulullah s.a.w. dan berkata: “Wahai
Muhammad, sesungguhnya kami dapati (dalam kitab kami) bahawa Allah meletakkan tujuh
petala langit atas satu jari, tujuh petala bumi atas satu jari, segala pokok atas satu jari, air
dan tanah atas satu jari dan seluruh makhluk atas satu jari lalu berkata, “Akulah raja.”
Mendengar itu, Nabi tergelak sehingga ternampak gusinya, membenarkan kata-kata pendita
itu. Kemudian Baginda membaca (ayat 67 surah al-Zumar 39 yang bermaksud): “Dan
mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi
seluruhnya dalam genggamanNya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan
kananNya. Maha suci Tuhan dan maha tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.”

3. Berita yang ditolak oleh Islam dan disahkan bohong. Hukumnya adalah batil.
Contohnya ialah riwayat daripada Jabir katanya:
“Dahulu golongan Yahudi mengatakan sekiranya lelaki mendatangi isterinya daripada arah
belakang, anak akan jadi juling. Kemudian turun ayat (al-Baqarah 2:223):
Maksudnya:
Isteri-isterimu ialah seperti tanah tempat kamu bercucuk tanam, maka datangilah tanah
tempat bercucuk tanam kamu itu bagaimana sahaja kamu kehendaki (melalui faraj).

3. Berita yang tidak diiktiraf dan tidak pula ditolak oleh Islam.
Hukumnya adalah ditangguhkan berdasarkan kepada hadith daripada Abu Hurairah:
،‫ ويفسرونها بالعربية ألهل اإلسالم‬،‫كان أهل الكتاب يقرؤون التوراة بالعبرانية‬
، ‫ ال تصدقوا أهل الكتاب وال تكذبوهم‬:‫فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
[3].‫ (آ َمنها بِالهذِي أ ُ ْن ِز َل إِلَ ْينَا َوأ ُ ْن ِز َل إِلَ ْي ُك ْم) اآلية‬:‫وقولوا‬
Maksudnya:
“Dahulu Ahli Kitab membaca al-Taurat dalam bahasa Ibraniyah dan mentafsirkannya
dalam bahasa Arab untuk orang Islam. Lalu Rasulullah s.a.w. bersabda: “Jangan percaya
Ahli Kitab dan jangan dustakan mereka. Katakanlah “Kami telah beriman kepada kitab-
kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu.” (al-Ankabut 29:46).
Akan tetapi, membincangkan berita jenis ini tidak mengapa jika tidak ditakuti membawa
keburukan berdasarkan sabda Baginda s.a.w.:
،‫ وحدثوا عن بني إسرائيل وال حرج‬،‫بلغوا عني ولو آية‬
[4].‫ومن كذب على متعمدا فليتبوأ مقعده من النار‬
Maksudnya:
“Sampaikanlah daripadaku satu ayat, ceritalah daripada Ahli Kitab tanpa keberatan.
Sesiapa yang menipu ke atasku secara sengaja, hendaklah dia sediakan tempat duduknya di
dalam neraka.”
Kebanyakan berita-berita yang diriwayatkan daripada mereka tidak mempunyai faedah
dalam agama.
Contohnya ialah warna anjing Ashab al-Kahfi dan sebagainya.
Berkenaan dengan pertanyaan Ahli Kitab tentang urusan agama, hukumnya adalah haram
berdasarkan hadith daripada Jabir bin Abdullah, bahawa diriwayatkan Rasulullah s.a.w.
bersabda:
،‫ وقد ضلوا‬،‫ال تسألوا أهل الكتاب عن شئ؛ فإنهم لن يهدوكم‬
،‫ أو تكذبوا بحق‬،‫فإنكم إما أن تصدقوا بباطل‬
[5].‫وإنه لو كان موسى حيا بين أظهركم ما حل له إال أن يتبعني‬
Maksudnya:
“Jangan tanya Ahli Kitab berkenaan sesuatupun. Sesungguhnya mereka tidak dapat
memberi hidayah kepada kamu dan mereka telah sesat. Justeru, kemungkinannya ialah kamu
membenarkan yang batil atau mendustakan yang benar (akibat daripada bertanya kepada
Ahli Kitab). Sesungguhnya jika Musa hidup di antara kamu, tidak halal baginya kecuali
mengikut aku.”
Abdullah bin Abbas berkata:
،‫يا معشر المسلمين كيف تسألون أهل الكتاب عن شئ‬
،‫وكتابكم الذي أنزل هللا على نبيكم صلى هللا عليه وسلم أحدث األخبار باهلل محضا‬
،‫ وقد حدثكم أن أهل الكتاب قد بدلوا من كتاب هللا‬،‫لم يشب‬
‫ هو من عند هللا؛‬:‫ قالوا‬،‫ فكتبوا بأيدهم‬،‫وغيروا‬
‫ليشتروا بذلك ثمنا قليال أو ال ينهاكم ما جاءكم من العلم عن مسألتهم؟‬
‫فال وهللا رأينا رجال منهم يسألكم عن الذي أنزل إليكم‬
Maksudnya:
“Wahai golongan yang beriman, bagaimanakah boleh kamu bertanya Ahli Kitab tentang
sesuatu sedangkan kitab kamu yang Allah turunkan ke atas nabiNya adalah berita-berita
terkini tentang Allah yang segar dan belum tua. Allah telah memberitahu kamu semua
bahawa Ahli Kitab telah menukar kitab Allah dan menulisnya dengan tangan-tangan mereka
dan mengatakan ianya adalah daripada Allah untuk mendapat ganjaran wang yang sedikit.
Tidakah pengetahuan kamu tentang mereka cukup untuk menegah kamu? Dan demi Allah,
tidak pernah pula ada di antara mereka yang bertanya kamu tentang apa yang diturunkan
kepada mereka.”

 Pendirian Ulama Dalam Al-Israiliyat


Berkenaan dengan berita al-Israiliyat, para ulama khususnya para mufassirin terbagi empat:
1. Ada di antara mereka yang membawa berita al-Israiliyat bersama sanad-
sanadnya. Mereka berpendapat dengan membawa sanad-sanadnya mereka terlepas
daripada tanggungjawab. Contohnya Ibnu Jarir al-Tabari.
2. Ada di antara mereka yang banyak membawa berita al-Israiliyat,
kebanyakannya tanpa sanad-sanadnya. Mereka ini ibarat pemungut kayu api di waktu
malam.

Contohnya ialah Imam al-Baghawi di mana Imam Ibnu Taimiyah telah berkata berkenaan
tafsirnya:
Sesungguhnya tafsir al-Baghawi adalah ringkasan daripada tafsir al-Tha‘labi, cuma beliau
(al-Baghawi) telah memeliharanya daripada hadith-hadith maudhu’ dan pendapat-pendapat
yang direka.
Ibnu Taimiyah berkata tentang al-Tha‘labi pula:
Sesungguhnya dia adalah pemungut api di waktu malam. Dia akan menukilkan apa sahaja
yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir samada sahih, dhaif atau maudhu’.
3. Ada di antara mereka yang membawa berita-berita al-Israiliyat dan menilai
sesetengahnya dengan menyifatkannya dhaif atau ditolak. Contohnya ialah Imam Ibnu
Kathir.
4. Ada di antara mereka yang bersungguh-sungguh menolak berita-berita al-
Israiliyat dan tidak membawanya sebagai tafsir al-Quran langsung. Contohnya Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha.[6]

BAB III
DAFTAR PUSTAKA

 http://www.facebook.com/note.php?note_id=99229774794.
 M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992). hlm. 72.
 Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, (Jakarta : Kalam Mulia, 1990), hlm.
64-71.
 M. Ridlwan Nasir, Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin;Dalam Perspektif
Pemahaman Al Qur’an (Surabaya;IAIN Sunan Ampel) 1997) Hal. 5-8 ,Naskah Pidato Guru
Besar ilmu Tafsir Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel.
 Manna.Khalil Al-Qattan, Mabahith fi ’Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurah al- ’Ashr al-Hadith.
1973).
Kamis, 12 Maret 2015

2.2.1. MAKALAH METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Metode adalah satu sarana untuk mecapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam konteks
pemahaman al-Quran, metode bermakna: “prosedur yang harus dilalui untuk mencapai pemahaman
yang tepat tentang makna ayat-ayat al-Quran.” Dengan kata lain, metode penafsiran al-Quran
merupakan: seperangkat kaidah yang seharusnya dipakai oleh penafsir ketika menafsirkan ayat-ayat
al-Quran.

Al-Quran secara tekstual memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teksnya selalu berubah,
sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya, al-Quran selalu membuka diri untuk
dianalisis, dipersepsi, dan ditafsirkan dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk
menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna
terdalam dari al-Quran itu. Sehingga al-Quran seolah menantang dirinya untuk dibedah.

Al-Qur’an yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus petunjuk untuk
umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki berbagai macam keistemewaan. Keistimewaan
tersebut antara lain susunan bahasanya yang unik memesonakan, dan pada saat yang sama
mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya,
walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor.

B. RUMUSAN MASALAH

1.Apa Pengertian Metode Tafsir ?

2.Apa saja macam – macam metode tafsir ?

3.Bagaimana klasifikasi dan corak tafsir ?

C. TUJUAN MASALAH

1.Menjelaskan pengertian metode tafsir

2.Mendeskripsikan macam – macam metode tafsir

3.Menjelaskan klasifikasi dan corak tafsir


BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN METODE TAFSIR

Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti cara atau jalan. Di dalam
bahasa Inggris kata ini ditulis “method” dan bangsa Arab menerjemahkannya
dengan “tharîqah”dan “manhaj”. Di dalam pemakaian bahasa Indonesia kata tersebut
mengandung arti : “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud sedangkan
dalam ilmu pengetahuan mengandung arti : “cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”.

Sedangkan “tafsir” secara bahasa mengadung arti : menyingkap dan menampakkan atau
menerangkan makna yang abstrak. Sedangkan para Ulama berpendapat bahwa tafsir adalah
penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Tafsir
menurut istilah, sebagaimana yang didefinisikan Abu Hayyan ialah: “Ilmu yang membahas tentang
cara pengucapan lafazh-lafazh Quran, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika
berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika
tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya”.

Jadi, yang dimaksud metode tafsir al-Quran adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-
baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-
ayat al-Quran.

Sedangkan ilmu yang membahas tentang cara yang teratur dan terpikir baik untuk
mendapatkan pemahaman yang benar dari ayat-ayat Al-Qur’an sesuai kemampuan manusia yaitu
metodologi penafsiran.
B. METODE - METODE PENAFSIRAN

Study atas hasil karya penafsiran para ulama sekarang ini, secara umum menunjukkan bahwa
mereka menggunakan metode-metode penafsiran dalam empat cara (metode), yaitu :

 Ijmaly (global)

 Tahlily (analistis),

 Muqaran (perbandingan),

 Maudhu’i (tematik).

Atas seizin Allah kami akan menjelaskan keempat metode ini lebih terperinci lagi, terutama
metode keempat mengingat pentingnya metode ini untuk diketahui oleh siapa saja yang hendak
menafsirkan Al-Qur’an.

1) Metode Ijmali (Global)

a) Pengertian

Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Pengertian tersebut
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah
dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam
muskhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga
pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang
didengarnya itu tafsirnya. Ketika menggunakan metode ini, para mufassir menjelaskan Al-Qur’an
dengan bantuan sebab turun ayat (asbab an-nuzul), peristiwa sejarah, hadis nabi, atau pendapat
ulama saleh.[1]

b) Kelebihan

 Praktis dan mudah dipahami oleh ummat dari berbagai strata sosial dan lapisan masyakat.

 Bebas dari penafsiran kemungkinan israiliah maka tafsir ijmali relatif murni dan terbebas dari
pemikiran-pemikiran Israiliat dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang terlalu
jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif .

 Akrab dengan bahasa al-Qur’an: karena tafsir ini dengan metode global menggunakan bahasa yang
singkat dan akrab dengan bahasa arab tersebut.

c) Kelemahan

 Menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial: padahal al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang
utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang utuh, tidak
terpecah-pecah dan berarti, hal-hal yang global atau samar-samar di dalam suatu ayat, maka pada
ayat yang lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat tersebut akan
diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.

 Tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai: Tafsir yang memakai metode ijmali
tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian yang luas, jika menginginkan adanya
analisis yang rinci, metode global tak dapat diandalkan. Ini disebut suatu kelemahan yang disadari
oleh mufassir yang menggunakan metode ini.

d) Contoh kitab tafsir ijmali

Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali, yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-
Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-’Adhin olah Ustadz Muhammad Farid Wajdy,
Shafwah al-Bayan li Ma’any al-Qur’an karangan Syaikh Husanain Muhammad Makhlut, al-Tafsir al-
Muyassar karangan Syaikh Abdul al-Jalil Isa, dan lain sebagainya.[2]

e) Ciri-ciri Metode Ijmali

Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir
tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tidak jauh berbeda dengan metode alalitis,
namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga
mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode
global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya
kitab-kitab Tafsir ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi
ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca
tersebut adalah tafsirnya. Namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas,
tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.[3]

2) Metode Tahliliy (Analisis)

a) Pengertian

Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta
menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan
mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Di mulai dari uraian makna kosokata, makna kalimat,
maksut stiap ungkapan, kaitan antar pemisah sampai sisi-sisi keterkaitan antar pemisah itu dengan
bantuan asbab an-nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan
tabi’in. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat.
Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi Nabi sampai tabi’in ,
terkadang pula diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang
kesemuanya ditujukan untuk memahami Al-Qur’an yang mulia.

b) Kelebihan

 Ruang lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai ruang lingkup yang termasuk luas. Metode
ini dapat digunakan oleh mufassir dalam dua bentuknya; ma’tsur dan ra’y dapat dikembangkan
dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir.

c) Kelemahan

 Menjadikan petunjuk al-Qur’an parsial atau terpecah-pecah,tidak utuh dan tidak konsisten karena
penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat
lain yang sama dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang memperhatikan ayat-ayat lain
yang mirip atau sama dengannya.
 Masuknya pemikiran Israiliat sebab berbagai pemikiran mufassir dapat masuk ke dalamnya, tidak
tercuali pemikiran Israiliat Contohnya, kitab tahlili seperti dalam penafsiran al-Qurthubi tentang
penciptaan manusia pertama, termaktub di dalam ayat 30 surah al-Baqarah disini terselib cerita
israiliyyat.[4]

d) Contoh kitab tafsir tahlili

Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali antara lain :Ma’alim al- Tanzil(karya al -
Baghawi), Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim (karya Ibn Katsir), Tafsir al-Khazin (karya al-Khazin),Anwar al-
Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (karya al -Baidhawy)[5]

e) Ciri-ciri Metode Tahlili

Pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas
bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara
komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’yi, sebagaimana
dalam penafsiran tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara
berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan.
Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’tsur (riwayat)
atau ra’y (pemikiran)[6]

3) Metode Muqaran (Komparatif/Perbandingan)

a) Pengertian

Pengertian metode muqaran (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :

 Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi
dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;

 Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan;

 Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.[7]

Jadi metode tafsir muqaran adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan merujuk pada
penjelasan-penjelasan para mufassir. Langkah yang ditempuh ketika menggunakan metode ini
adalah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan sejumlah ayat Al-Qur’an

2. Mengemukakan penjelasan para mufassir, baik kalangan salaf atau kalangan khalaf, baik tafsirnya
bercorak bi al-ma’tsur atau bi ar-ra’yi

3. Membandingkan kecenderungan tafsir mereka masing-masing.

4. Menjelaskan siapa saja yang mengemukakan tafsirannya dalam kelompok-kelompok.

Selain rumusan di atas, metode muqaran mempunyai pengertian lain yang lebih luas, yaitu
membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang tema tertentu, atau mmbandingkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi, termasuk dengan hadits-hadits yang makna
tekstualnya tampak kontradiktif dengan Al-Qur’an, atau dengan kajian-kajian lainnya.[8]
b) Kelebihan

 Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada pada pembaca bila dibandingkan
dengan metode-metode lain. Di dalam penafsiran ayat al-Qur’an dapat ditinjau dari berbagai disiplin
ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufassirnya,

 Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang
jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif. Dapat mengurangi
fanatisme yang berlebihan kepada suatu mazhab atau aliran tertentu,

 Tafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat
tentang suatu ayat,

c) Kelemahan

 Penafsiran dengan memakai metode ini tidak dapat diberikan kepada pemula yang baru mempelajari
tafsir,karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang ekstrim,

 Metode ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di tengah
masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan
masalah[9]

d) Contoh kitab tafsir Muqaran

Adapun kitab-kitab yang menggunakan metode Muqaran diantaranya adalah: Kitab Durrah al-
Tanzil wa al-Gurrah al-Ta‘wil karya al-Iskafi, mengkaji perbandingan antara ayat dengan ayat, Jami‘
Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi, kitab ini membandingkan penafsiran para mufassir.[10]

e) Ciri-ciri Metode Muqaran

Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan
yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang
dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah
pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu
penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli
tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqaran”.[11]

4) Metode Maudhu’iy (Tematik)

a) Pengertian

Yang dimaksud dengan metode mawdhu’iy ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai
dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian
dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-
nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh
dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah baik argumen itu berasal dari
Al-Qur’an dan Hadits, maupun pemikiran rasional.

b) Kelebihan

 Menghindari problem atau kelemahan metode lain


 Menafsirkan ayat dengan ayat atau hadits Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an

 Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami

 Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang
bertentangan dalam al-Quran, sekaligus membuktikan bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.

c) Kekurangan

 Kesullitan dalam memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu
kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang
berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan
bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak
mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak
mengganggu pada waktu melakukan analisis.

 Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat
menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul
itu.[12]

d) Contoh kitab tafsir Maudhu’i

Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode Maudhu’i, yaitu :Al-Mar’ah fi Al-Qur’an Al-Karim
(karya Abbas Al-Aqqad), Ar-Riba fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Abu A’la Al-Maududi), Al-Aqidah fi Al-
Qur’an Al-Karim (karya Muhammad Abu Zahrah), Al-Insan fi Al-Qur’an Al-Karim (karya DR. Ibrahim
mahnan), Washaya surat al-isra’ (karya DR. Abd Al-Hayy Al-Farmawi).[13]

e) Ciri-ciri Metode Maudhu’i

Yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan
sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode ini juga disebut metode “topikal”. Jadi mufasir
mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu
sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan
menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-
ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman
ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan
belaka (al-Ra’y al-Mahdh). Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang guru besar pada
Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i mengemukakan
secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode maudhu’i. Langkah-
langkah tersebut adalah :

 Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).

 Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.

 Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-
nuzulnya.

 Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing.

 Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line).


 Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan.

 Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang
mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang
khas (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga
kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan.[14]

C. KLASIFIKASI TAFSIR DAN CORAK TAFSIR

1. Klasifikasi Tafsir

a. Tafsir bi Al-Ma’tsur

Tasir bil Al-Ma’tsur disebut juga tafsir riwayah atau tafsir manqul, yaitu tafsir al-Quran yang
dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran berdasarkan atas sumber panafsiran dalam Al-Quran dari
riwayat para sahabat dan dari riwayat para tabi’in. Tasir bil Al-Ma’tsur adalah penjelasan Al-Qur’an
sendiri dari Rasulullah Saw, yang disampaikan kepada para sahabat, dari para sahabat berdasarkan
ijtihadnya, dan dari para tabi’in juga berdasarkan ijtihadnya.[15]

 Keistimewaan tafsir bi al-ma’tsur sebagai berikut:

 Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Quran

 Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya

 Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya agar tidak terjerumus dalam
subjektivitas yang berlebihan.

 Kelemahan Tafsir bi al-Ma’tsur antara lain sebagai berikut:

 Terjadi pemalsuan (wadh) dalam tafsir.

 Penghilangan sanad

 Mufassir terjerumus ke dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga
pokok al-Quran menjadi kabur.

 Kronologis asbab an-Nuzul hukum yang di pahami dari uraian (naskh-mansukh) hampir di katakan
terabaikan sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun di tengah-tengah masyarakat yang hampa
budaya.

 Masuknya unsur israiliyyat yang di definisikan sebagai unsur Yahudi dan Nasrani ke dalam penafsiran
al-Quran.

 Tafsir-tafsir bil ma’tsur yang terkenal antara lain:

Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma’tsur fit Tafsiri bil Ma’tsur
(karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad,
Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja’far An Nahhas). [16]

 Hukum Tafsir bil Ma’tsur.

Tafsir bil ma'tsur adalah yang wajib diikuti dan diambil. Karena terjaga dari penyelewengan
makna kitabullah. Ibnu Jarir berkata : "Ahli tafsir yang paling tepat mencapai kebenaran adalah yang
paling jelas hujjahnya terhadap sesuatu yang dia tafsirkan dengan dikembalikan tafsirnya kepada
Rasulullah dengan khabar-khabar yang tsabit dari beliau dan tidak keluar dari perkataan salaf. (Tafsir
Thobari: 1/66 dengan beberapa ringkasan.)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Berkata : "Dan kita mengetahui bahwa Al-Qur'an telah dibaca oleh
para sahabat, tabi'in dan orang-rang yang mengikuti mereka. Dan bahwa mereka paling tahu tentang
kebenaran yang dibebankan Allah kepada Rasulullah untuk menyampaikannya. (Majmu' Fatawa:
13/362.)[17]

b. Tafsir bi al Ra’yi

Kata al ra’yi secara etimologis berarti keyakinan, qiyas dan Ijtihad. Jadi, tafsir bi al ra’yi
adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara Ijtihad. Yakni rasio yang dijadikan titik tolak
penafsiran setelah mufasir terlebih dahulu memahami bahasa Arab dan aspek-aspek dilalah
(pembuktian) nya dan mufasari juga menggunakan syair-syair arab jahili sebagai pendukung, di
samping memperhatikan asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, qira’at dan lain-lain.[18]

Tafsir bir Ro’yi adalah tafsir yang berlandaskan pemahaman pribadi penafsir, dan istimbatnya
dengan akal semata. Tafsir ini banyak dilakukan oleh ahli bid'ah yang meyakini pemikiran tertentu
kemudian membawa lafadz-lafadz Al-Qur'an kepada pemikiran mereka tanpa ada pendahulu dari
kalangan sahabat maupun tabi'in. Tidak dinukil dari para imam ataupun pendapat mereka dan tidak
pula dari tafsir mereka. Seperti kelompok Mu'tazilah yang banyak menulis tafsir berlandaskan
pokok-pokok pemikiran mereka yang sesat, seperti Tafsir Abdurrohman bin Kaisar, Tafsir Abu 'Ali Al-
Juba'i, Tafsir Al-Kabir oleh Abdul Sabban dan Al-Kasysyaf yang ditulis oleh Zamakhsari.[19]

 Kelebihan Tafsir bi al Ra’yi

 Sesungguhnnya Allah SWT telah memerintahkan kepada kita agar hendaknya suka merenungkan Al-
Qur'an.. Sebagaimana hal itu termaktub dalam firman-Nya:

ِ ‫ارك ِليَدهب ُهر ْوا اَيَاتِ ِه َو ِليَتَذَ هك َر أُولُوا ْاالَ ْلبَا‬


‫ب‬ َ َ‫ِكت َاب أ َ ْنزَ ْلنَاهُ إِلَيْكَ ُمب‬

Artinya: (inilah) kitab yang kami turunkan kepada engkau lagi diberkati, supaya mereka
memperhatikan ayat-ayat dan supaya mendapat peringatan orang-orang yang berakal"
(QS.Shad:29)

"merenung dan berpikir " tidaklah akan terwujud melainkan dengan menyelami rahasia-rahasia al-
Qur'an dan berijtihad untuk memahami makna-maknanya.

 Allah memerintahkan kepada orang-orang yang hendak menggali hukum agar kembali kepada
ulama'. sebagaimana telah dijelaskan dalam firman-Nya:

ُ ‫س ْو ِل َوإِلَى أُولِى اْالَ ْم ِر مِ ْن ُه ْم لَ َع ِل َمهُ اله ِذيْنَ َي ْست َ ْن ِب‬


‫ظ ْونَهُ مِ ْن ُه ْم‬ ‫َولَ ْو َرد ُّْو ُهإَلَى ه‬
ُ ‫الر‬

Artinya: kalau mereka serahkan hal itu kepada rasul atau pada orang yang mempunyai urusan di
anatara mereka, niscaya orang-orang yang meneliti di antara mereka mengetahui akan hal ini
(QS.An-Nisa:83)

 Kalau tafsir dengan ijtihad tidak diperbolehkan, tentunya ijtihad pun tidak diperbolehkan, dan tentu
saja banyak hukum yang tidak tergali, sungguh ini tidak benar

 Sesungguhnya para sahabat telah membaca al-Qur'an dan berbeda beda dalam menafsirkannya.
Juga telah maklum bahwa tidak semua yang mereka katakan tentang al-Qur'an itu mereka dengar
dari nabi SAW, karena Nabi SAW tidak menerangkan segala sesuatu kepada mereka, melainkan
beliau terangkan kepada mereka hanyalah bersifat dharuri (pokok). Beliau menginggalkan yang
sebagain, yang sekira dapat dicapai oleh pengetahuan, akal, dan ijtihad.

 Kelemahan Tafsir bi al Ra’yi

 Sesungguhnya tafsir bir-ra'yi adalah mengatakan sesuatu tentang kalamullah tanpa berdasarkan
suatu ilmu, ini jelas dilarang. Sebagaimna yang disinggung dalam firman Allah SWT:

َ ‫َوا َ ْن تَقَولُوا‬
َ‫علَى هللاِ َماالَت َ ْعلَ ُم ْون‬

Artinya: ….. dan (supaya kamu) mengadakan perkataan Allah tentang


sesuatu yang tidak kamu ketahui

 Adanya ancaman sebagaimana tersebut dalam hadis bagi orang yang menafsirkan Al-Qur'an dengan
pendapatnya, yaitu sabda nabi SAW, yang berbunyi:

ُ‫ي ُمتَعَ ِمدًا فَ ْليَتَبَ هوأْ َم ْقعَدَه‬


‫علَ ه‬ َ ‫علِمت ُ ْم فَ َم ْن َكذه‬
َ ‫ب‬ َ ‫ي إِاله َما‬
‫علَ ه‬ َ ‫اِتهقُوا ال َح ِدي‬
َ ‫ْث‬

ِ ‫ار َو َم ْن قَا َل فِي ْالقُ ْرا َ ِن بِ َرأْيِ ِه فَ ْليَتَبَ هوأْ َم ْقعَدَهُ مِ نَ النه‬
‫ار‬ ِ ‫مِ نَ النه‬

Artinya : takutlah engkau mengadakan perkataan terhadapku, kecualai apa yang engkau tahu.
barangsiapa berdusta atas aku dengan sengaja, maka ambil saja tempat duduknya di neraka. Dan
barangsiapa berkata tentang al-Qur'an dengan pendapatnya, maka ambillah saja tempat duduknya
di neraka (HR at-Turmudzi)

Firman Allah SWT

َ‫اس َما نُ ِز َل إِلَ ْي ِه ْم َولَعَله ُه ْو يَتَفَ هك ُر ْون‬ ِ َ‫َوأ َ ْنزَ ْلنَا إِلَيْك‬
ِ ‫الذ ْك َر ِلتُبَيِنَ للنه‬

Artinya : Dan Kami turunkan kepada engkau peringatan (al-Qur'an), supaya engkau terangkan
kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka, mudah-mudahan mereka
memikirkannya (QS.an-Nahl;44)

 Para sahabat dan tabi'in tidak mau berkata sesuatu tentang al-Qur'an dengan pendapat mereka.
Telah diriwayatkan dari Ash-Shidiq, sesunggunya dia berkata:

ِ ‫ ِإذَا قُ ْلتُ فِي ْالقُ ْر‬: ‫ض ت ُ ِقلُّ ِن ْي‬


‫ان ِب َرأء ِيي‬ ُّ َ ‫ َوأ‬: ‫س َماءٍ تُظِ لُّ ِن ْي‬
ٍ ‫ي ا َ ْر‬ ُّ َ ‫أ‬
َ ‫ي‬

‫أ َ ْو قُ ْلتُ ِف ْي ِه ِب َما الَ ا َ ْع َل ُم‬

Artinya: di langit mana aku bernaung dan di bumi mana aku berpijak? bila aku berkata sesuatu
tentang al-Qur'an dengan pendapatku, atau berkata tentang al-Qur'an dengan sesuatu yang tidak
kuketahui?[20]

 Tafsir-tafsir bi ar-ra’yi yang terkenal antara lain:

Tafsir al-Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al-Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin
Abdur Rahman As Sayuthi), Tafsir Al-Baidhawi, Tafsir Al-Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An-
Nasafy, Tafsir Al-Khatib, Tafsir Al-Khazi[21]

 Hukum Tafsir Bir Ro’yi


Adapun menafsirkan Al-Qur'an dengan akal semata, maka hukumnya adalah harom.
Sebagaimana Firman Allah: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya” (QS. Al-Isro': 36)
Rasulullah bersabda : "Barangsiapa yang berkata tentang Al-Qur'an dengan akalnya semata, maka
hendaknya mengambil tempat duduknya di neraka.[22]

2. Corak Tafsir

a. Tafsir Ash-Shufi

Tafsir sufi adalah penafsiran al Qur’an yang berlainan dengan zahirnya ayat karena adanya
petunjuk-petunjuk yang tersirat. Dan hal itu dilakukan oleh orang-orang Sufi, orang yang berbudi
luhur dan terlatih jiwanya (Mujahadah), diberi sinar oleh Allah SWT sehingga dapat menjangkau
rahasia-rahasia al- Qur’an. Mereka menafsirkan ayat-ayat al Qur’an sesuai dengan pembahasan dan
pemikiran mereka yang berhubungan dengan kesufian yang justru kadang-kadang berlawanan
dengan “Syari’at Islam” dan kadang-kadang pemikiran mereka tertuju pada hal yang bukan-bukan
tentang Islam.[23] Contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalah Tafsir al-Qur’ān al-
Karim, karya Sahl al-Tustarī, Haqā’iq al-Tafsīr karya Abu Abd al-Rahman al-Sulamī, Lata’if al-
Isyarat karya al-Qusyairi, dan ‘Arā’is al-Bayān fī Haqā’iq al-Qur’ān karya al-Syirazī.[24]

b. Tafsir Fiqhī

Tafsir fiqhi, adalah corak tafsir yang lebih menitikberatkan kepada pembahasan masalah-
masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan/perbedaan pendapat di
antara imam madzhab. Tafsir ini sering disebut tafsir ayat al-ahkam atau tafsir ahkam karena tafsir
ini lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam al-Qur`an (ayat al-ahkam).[25] Di antara kitab-
kitab yang tergolong tafsir fiqhī adalah Ahkām al-Quran karya al-Jassās, Ahkām al-Qurankarya Ibn
al-‘Arabi, dan Al-Jāmi‘ li ahkām al-Quran karya al-Qurtubī .[26]

c. Tafsir falsafi

Adalah upaya penafsiran al-Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. Tafsir falsafi
yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang
mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-
teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan
filsafat.Karena ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsirkan
dengan menggunakan teori-teori filsafat.[27] Ada beberapa kitab tafsir falsafi seperti, Fushush al-
Hikam karya Al Farabi, Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi[28]

d. Tafsir ilmi

Tafsir ilmi adalah suatu metode tafsir yang berusaha menjalaskan istilah-istilah yang ilmiyah
dalam al-Qur’an dan menghasilkan berbagai macam teori ilmiyah dan filsafat. Dapat kita pahami
bahwa yang dimaksud dengan tafsir ilmi adalah seorang mufassir yang berusaha menjelaskan makna
yang terkandung dalam al-Qur’an dengan metode atau pendekatan ilmiyah atau ilmu
mengetahuan.[29] Karya yang bisa digolongkan dalam kelompok tafsir ilmi adalah Tafsir al-
Kabīr karya Imam Fakh al-Razî dan Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari. Sebagian ulama ada juga
yang memasukkan beberapa karya seperti Ihyā’ ‘ulūm al-dīn, dan Jawāhir al-Qurankarya Imam al-
Ghazāli; serta al-Itqan karya al-Suyūtī sebagai karya yang mencerminkan corak tafsir ilmi ini, akan
tetapi bila tafsir dipahami sebagai genre untuk karya yang menampilkan penafsiran al-Qur’an
berdasarkan tata urutan ayatnya sesuai dengan mushaf, sebagaimana corak ini tergolong kepada
metode tafsir tahlili, maka ketiga karya yang disebut terakhir tidak bisa di masukkan ke
dalamnya.[30]

e. Tafsir Adabi wa Ijtima’i

Pengertian secara makna kebahasaan, istilah corak Al-adabi wa al-ijtima’i itu tersusun dari
dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i, kata al-adaby merupakan bentuk kata yang diambil dari
fi’il madhi aduba, yang mempunyai arti sopan santun, tata krama dan sastra, sedangkan kata al-
ijtima’iy yaitu mempunyai makna banyak berinteraksi dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan
hubungan kesosialan, namun secara etimologisnya tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang
berorientasi pada sastra budaya dan kemasyarakatan.

Tafsir ini berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh Al-Quran dari segi
balaghah dan kesastraannya serta berupaya mengungkapkan betapa keagungan Al-Quran itu sebagai
sebuah mu’jizat mengandung hukum-hukum alam raya dan aturan-aturan kemasyarakatan, melalui
petunjuk dan ajaran Al-Quran, suatu petunjuk yang berorientasi kepada kebaikan dunia dan
akhirat, serta berupaya mempertemukan antara ajaran Al-Quran dan teori-teori ilmiah yang benar.
Juga berusaha menjelaskan kepada umat bahwa Al-Quran itu adalah Kitab Suci yang kekal, yang
mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa yang
nantinya dapat mengugah hati untuk memperhatikan Kitabullah dan timbul minat serta gairah
untuk mengetahui segala makna dan rahasia Al-Quran al-Karim tersebut.[31]

Diantara kitab tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah :

a. Tafsir Al-Manar, karya Rasyidh Ridha

b. Tafsir Al-Maraghi, karya Al-Maraghi

c. Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, Karya Syaikh Mahmud Syaltut[32]


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Metode tafsir al-Quran adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Quran.

2. Metode-metode penafsiran dibagi dalam empat cara (metode), yaitu :

a. Metode Ijmali (Global) adalah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
cara mengemukakan makna global.

b. Metode Tahlil (analisis) adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek
yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang
tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-
ayat tersebut.

c. Metode Muqaran (Komparatif/Perbandingan) adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan


merujuk pada penjelasan-penjelasan para mufassir.

d. Metode Maudhu’iy (Tematik) adalah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul
yang telah ditetapkan.

3. Klasifikasi dan corak tafsir antara lain:

a. Tafsir bi Al-Ma’tsur

b. Tafsir bi Al-Ra’yi

c. Tafsir Ash-Shufi

d. Tafsir Al-Fiqhi

e. Tafsir Al-Falsafi

f. Tafsir Al-Ilimi

g. Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima

B. SARAN

Penyusun sangat menyadari bahwa didalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan,
dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penyusun menyarankan kepada semua pihak
yang membaca dan membahas makalah ini, agar bisa lebih banyak lagi menambah literature-
literatur supaya dapat menambah pengetahuan kita perhadap Tafsir Al-Qur’an. Yang tentunya masih
banyak referensi-referensi terhadap makalah yang kami tulis ini.
[1] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.38

[2] http://waroeng-studies.blogspot.com/2013/10/corak.html// 21-11-2014 10:12 WIB

[3] https://bambies.wordpress.com/2013/04/23/macam-macam-metode-penafsiran-al-quran//

[4] http://waroeng-studies.blogspot.com/2013/10/corak.html// 21-11-2014 10:27 WIB

[5] http://chikma88.blogspot.com/2011/07/metode-tafsir-tahlili-beserta_09.html//

[6] https://bambies.wordpress.com/2013/04/23/macam-macam-metode-penafsiran-al-quran//

[7] Drs.Badri Khaeruman,sejarah perkembangan tafsiral-qur’an,(Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2004)


hlm. 99

[8] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.39

[9] file:///E:/Waroeng%20Study%20%20Metode%20Dan%20Corak-Corak%20Tafsir.htm// 22-11-2014


09.56 WIB

[10] http://budy-lovestory.blogspot.com/2014/06/metode-tafsir-muqaran_19.html

[11] https://bambies.wordpress.com/2013/04/23/macam-macam-metode-penafsiran-al-quran//

[12] file:///E:/Waroeng%20Study%20%20Metode%20Dan%20Corak-Corak%20Tafsir.htm//

[13] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.60

[14] https://bambies.wordpress.com/2013/04/23/macam-macam-metode-penafsiran-al-quran//

[15] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.24

[16] file:///E:/UNDUHAN/KUMPULAN%20MAKALAH%20%20KLASIFIKASI%20TAFSIR.htm//

[17] http://www.alquran-sunnah.com/alquran/tafsir-alquran/497-tafsir-keutamaan-dan-macam-
macamnya//

[18] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.26

[19] http://www.alquran-sunnah.com/alquran/tafsir-alquran/497-tafsir-keutamaan-dan-macam-
macamnya// 26-11-2014 09:17 WIB

[20] http://mumuhmuslihat91.blogspot.com/2013/04/tafsir-bil-matsur-dan-tasfir-bir-rayi.html//

[21] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.27

[22] http://www.alquran-sunnah.com/alquran/tafsir-alquran/497-tafsir-keutamaan-dan-macam-
macamnya//

[23] http://edukasi.kompasiana.com/2012/12/23/tafsir-sufi-518377.html//

[24] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.30

[25] http://ziyad-lagi.blogspot.com/2014/04/corak-penafsiran-fikih-dalam-tafsir-fiqh_1266.html//
[26] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.32

[27] http://afdhalilahi.blogspot.com/2013/03/corak-corak-tafsir.html//

[28] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.33

[29] http://ziyad-lagi.blogspot.com/2014/09/corak-tafsir-ilmi.html//

[30] file:///E:/UNDUHAN/CORAK%20CORAK%20TAFSIR%20_%20Afdhal%20Ilahi.htm//

[31] http://khazanahquranhadits.wordpress.com/2013/12/20/corak-tafsir-adabi-ijtimai// 27-11-


2014 04:12 WIB

[32] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.38

Diposkan oleh Isnani Ayu di 01.05


BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur`an adalah sumber dari segala sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati
posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu ke Islaman
tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat
belas abad lebih sejarah pergerakan umat ini.Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam
dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang
di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi
kandungan al-Qur`an diperlukan tafsir.
Penafsiran terhadap al-Qur`an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting
bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu sangat besar perhatian para
ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci ini.
Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang
beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin
perkembangan penafsiran al-Qur`an serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri. Dalam
makalah yang singkat ini penulis berusaha membahas tentang pengertian tafsir, sejarah
perkembangan tafsir, bentuk metode corak tafsir, kitab-kitab tafsir berbahasa indonesia
syarat-syarat seorang mufassir.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian tafsir
2. Sejarah perkembangan tafsir
3. Bentuk, metode dan corak tafsir
4. Kitab-kitab tafsir berbahasa Indonesia
5. Syarat-syarat seorang mufassir
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian tafsir
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan tafsir
3. Untuk mengetahui bentuk, metode dan corak tafsir
4. Untuk mengetahui kitab-kitab tafsir berbahasa Indonesia
5. Untuk mengetahui syarat-syarat seorang mufassir
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN TAFSIR
Secara etimologis, tafsir berakar dari kata fassara-
yufassiru-tafsiran, berarti penjelasan (al-idhah wa at-tabyin), sebagai mana terdapat dalam
firman Allah SWT yang berbunyi :

(٣٣) ً ‫سنَ تَ ْفس‬


‫ِيرا‬ َ ‫َوال يَأْتُون ََك ِب َمث َ ٍل ِإال ِجئْن‬
ِ ‫َاك ِب ْال َح‬
َ ‫ق َوأ َ ْح‬
Artinya:
“tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya.” (Q.S. Al-Furqan 25:33).
Dari segi terminologis bermacam definisi dibuat oleh para ulama, antara lain sebagai
berikut :
1. Abu Hayyan, menurutnya tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan
lafazh-lafazh Al-Qur’an dan tentang arti dan makna dari lafazh-lafazh tersebut, baik kata
perkata maupun dalam kalimat yang utuh serta hal-hal yang melengkapinya.
2. Az-Zarkasyi, menurutnya tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum
dan hikmahnya.
3. Az-Zarqani, menurutnya tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an Al-Karim
dari segi makna yang terkandung di dalamnya sesuai dengan maksud yang diinginkan oleh
Allah SWT sebatas kemampuan manusia.

Sekalipun telah diungkapkan dengan kalimat yang berbeda-beda tetapi ketiga definisi
di atas sepakat menyatakan bahwa secara terminologis tafsir adalah keterangan dan
penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an sekalipun tidak diungkapkan secara
eksplisit dalam definisi, tentu saja Abu Hayyan dan Az-Zarkasyi akan sepakat dengan Az-
Zarqani bahwa keterangan dan penjelasan tentang maksud firman Allah SWT tersebut
sebatas kemampuan manusia.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, di sampig dibatasi oleh kemampuan masing-masing
sebagai manusia, para mufasir juga dipengaruhi oleh latar belakang pedidikan, sosial budaya
yang berbeda-bed, sehingga bentuk, metode dan corak penafsir an mereka juga berbeda-beda.
B. SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR
Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi
sendiri. Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah IbnMas’ud dan Ubay ibn Ka’ab
adalah diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an para sahabat menggunakan beberapa cara,
antar lain.
1. Menelitinya dalam’ Al-Qur’an sendiri, karena ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling
menafsirkan.
2. Merujuk kepada penafsiran Nabi Muhammmad SA, sesuai dengan fungsi beliau
sebagai mubayyin terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.
3. Apabila mereka tidak ditemukan keterangan tentang ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan tidak
sempat menanyakannya kepada Rasulullah SA, para sahabat berijtihat dengan bantuan
pengetahuan bahasa Arab, pengenalan terhadap tradisi Arab dan keadaan orang-orang Yahudi
dan Nasrani di Arabia pada waktu ayat turun atau latar belakang ayat tersebut diturunkan, dan
dengan menggunakan kekuatan penalaran mereka sendiri.
4. Sebagian sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah Nabi-Nabi atau
kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an kepada tokoh-tokoh ah;i Ahlul Kitab yang telah
memeluk agama Islam, seperti Abdullah ibn Salam, Ka’ab al-Ahbar dan lain-lain.
Tafsir pada masa sahabat ini belum merupakan ilmu sendiri’ masih merupakan bagian
dari riwayat-riwayat hadits yang berserakan, belum sistematis seperti tafsir yang kita kenal
sekarang. Di samping belum sistematis pada masa sahabat ini pun Al-Qur’an belum
ditafsirkan secara keseluruhan, dan pembahasannya pun belum luas dan mendalam.
Sesudah periode sahabat, datangah generasi berikutnya (tabi’in) meneruskan usaha
yang telah dirintis oleh para sahabat. Di samping menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
dan Hadits Nabi mereka juga merujuk kepada penafsiran para sahabat dan sebagian juga
tidak lupa mengutip dari Ahlul Kita. Setelah itu baru mereka mengembangkan penafsiran
sendiri berdasarkan ijtihad. Pada masa Tabi’in, tafsir masih merupakan bagian dari hadits,
tetapi sudah mengelompok menurut kota masing-masing.
Sesudah masa sahabat dan tabi’in datanglah masa kodifikasi (tadwin) hadits dimana
riwayat-riwayat berisi tafsir dikelompokkan menjadi satu bab sendiri, walaupun tetap belum
sistematis seperti susunan Al-Qur’an. Dalam perkembangan selanjutnya tafsir dipisahkan
dari kandungan kitab hadits dan menjadi kitab sendiri. Para ulama mengumpulkan riwayat-
riwayat yang berisi tefsir dari Nabi, sahabat dan tabi’in dalam kitab sendiri. Riwayat-riwayat
yang dikumpulkan itu sudah mencakup keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dan disusun sesuai
dengan sistematika mushaf. Bentuk penafsiran yang dirintis Ibn Jarir dan mufasir lain pada
masa awal pembukuan tafsir inilah yang kemudian di kenal dengan bentuk at-tafsir bi al-
ma’tsur.
Setelah ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang pesat pada masa Daulah
Abbasiyah, para mufasir tidak puas hanya dengan bentuk bi al-ma’tsur,karena perubahan dan
perkembangan zaman menghendaki pengembangan bentuk tafsir dengan memperluas dan
memperbesar peran ra’yu atau ijtihad dibandingkan dengan penggunaannya pada bentuk bi
al-ma’tsur. Tafsir dengan bentuk ini kemudian dikenal dengan at-tafsir bi-ar-ra’yi.
Dengan at-tafsir bi-ar-ra’yi seorang mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
menggunakan kemampuan ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an atau dengan hadits dan tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran
para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini mengembangkan penafsiran dengan bantuan bermacam-
macam ilmu pengetahuan seperti ilm bahasa Arab, ilmu Qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu
hadits, ushul fiqih, ilmu sejarah dan lain sebagainya. Dinamai dengan at-tafsir bi-ar-
ra’yi karena yang dominan memang penalaran atau ijtihad mufasir itu sendiri.

C. BENTUK, METODE DAN CORAK TAFSIR


1. Bentuk Penafsiran Al-Qur’an
Sebagaimana sudah disinggung dalam uraian perkembangan tafsir diatas, dari segi
bentuk dikenal dengan dua bentuk penafsiran, yaitu :
a. Tafsir bi al-ma’tsur
Tafsri Tafsir bi al-ma’tsur adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-
Qur’an dengan Sunnah Nabi dan Al-Qur’an dengan pendapat atau penafsiran para sahabat
Nabi dan tabi’in. Dinamai dengan bi al-ma’tsur (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits,
jejak, peninggalan) karena dalam menafsirkan Al-Qur’an, seorang mufasir menelusuri jejak
atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi Muhammad
SAW. Karena banyak mennggunakan riwayat, maka tafsir dengan meode ini dinamai tafsir bi
ar-riwayah.
Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau ayat dengan ayat adalah firman Allah
dalam Surat Al An’am ayat 82 ditafsirkan oleh surat Luqman ayat 13. Allah SWT berfirman:

ْ ‫ظ ْل ٍم أُولَئِ َك لَ ُه ُم‬
‫األم ُن َو ُه ْم‬ ُ ‫الهذِينَ آ َمنُوا َولَ ْم يَ ْل ِب‬
ُ ‫سوا ِإي َمانَ ُه ْم ِب‬
َ‫ُم ْهتَدُون‬
Artinya:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman
(syirik), mereka itulah yang mendapat keamanandan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-An’am 6:82)
Penafsiran ayat dengan ayat tidak selamanya berdasarkan petunjuk Nabi seperti dalam
contoh di atas, tetapi bisa juga atas pemahaman para sahabat atau tabi’in seperti dalam
penafsiran maksud kalimatin dalam Surat Al-Baqarah 37. Allah SWT berfirman:

‫الر ِحي ُم‬


‫اب ه‬ُ ‫علَ ْي ِه ِإنههُ ُه َو الت ه هو‬
َ ‫اب‬ ٍ ‫فَتَلَقهى آدَ ُم ِم ْن َربِ ِه َك ِل َما‬
َ َ‫ت فَت‬
Artinya:
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima
taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat Lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-
Baqarah 2:37)
Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Hadits Nabi adalah apa yang diriwayatkan oleh
Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Jarir dan lain-lain dari ‘Adi bin Hati, ia berkata: Aku bertanya kepada
Rasulullah SAW tentang firman Allah SWT: ghairil maghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin,
Nabi menjelaskan bahwa ghairil maghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin, adalah Yahudi,
dan wa la adh-dhallin adalah Nashara.
b. Tafsir bi ar-Ra’yi
Tafsir biar ar-ra’yi adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan mrnggunakan kemampun
ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al_Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan
hdits dan tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini
mengembangkan penafsiran dengan bantuan bermacam-macam ilmu pengtahuan seperti ilmu
bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqh, ilmu sejarah, dan
lain sebagainya. Dinamai dengan at-tafsir bi- ar-ra’yi karena yang dominan memang
penalaran atau ijtihad mufasir itu sendiri.
2. Metode Penafsiran Al-Qur’an
Dari segi metode sejauh ini dikenal ada empat metode penafsiran yaitu:
a. Metode Ijmali
Metode ijmali adalah metode yang paling awal muncu karena sudah digunakan sejak
Nabi dan para sahabat. Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak
memberikan rincian yang detail, hanya secara ijmali atau global.
Dengan metode ijmali, seorang mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara
ringkas, mulai dari ayat pertama sampai ayat terakhir sesuai dengan susunan ayat dan surat di
dalam mushaf dengan bahasa yang populer dan mudah dimengerti. Makna yang diungkapkan
ayat-ayat dengan menggunakan lafazh bahasa yang mirip bahkan sama dengan lafazh Al-
Qur’an, sehingga pembaca akan merasa bahwa uraiannya tersebut tidak jauh dari gaya bahasa
Al-Qur’an itu sendiri.
b. Metode Tahlili
Setelah metode ijmali, dikenal metode tahlili. Dengan menggunakan metode ini,
seorang mufasir berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai aspek,
mulai dari aspek bahasa, asbab an nuzul, munasabah dan aspek lain yang memungkinkan
sesuai dengan minat dan kecenderungan mufasir sendiri. Penafsiran dilakukan dengan
menggunakan sistematika mushaf Al-Qur’an, urut dari awal sampai akhir ayat demi ayat.
c. Metode Muqarin
Setelah metode ijmali dan tahlili, muncul metode muqarin atau perbandingan. Dengan
metode ini seorang mufasir melakukan perbandingan antara (1) teks ayat-ayat Al-Qur’an
yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memilki
redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; (2) ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits yang
pada lahirnya terlihat bertentangan; dan (3) berbagai pendapat ulama tafsir dalam
menafsirkan Al-Qur’an.
d. Metode Maudhu’i
Yang terakhir muncul adalah metode maudhu’i atau tematik. Berbeda dengan
metode ijmali dan tahlili yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara kronologis sesuai
dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf, maka metode maudhu’i ini
membahas ayat-ayat yang dalam berbagai surat yang telah diklasifikasikan dalam tema-tema
tertentu. Dengan metode ini seorang mufasir menghimpun ayat-ayat yang mengandung
pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang am dan khas, antara
yang muthlaq dan yang muqayyad, mensinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak
kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu
pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap
sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.

3. Corak Penafsiran Al-Qur’an


Di samping bentuk dan metode yang sudah dijelaskan di atas, dikenal juga corak
pnafsiran. Karena yang dominan dalam at-tafsir bi-ar-ra’yi adalah pemikiran musafir, baik
yang orisinal dari yang bersangkutan atau mengutip dari sumber-sumber lain, maka tentu saja
hasil penafsiran beragam sesuai latar belakang pengetahuan, sosial budaya dan
kecenderungan masing-masing. Dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an keragaman itu diistilahkan
dengan al-laun yang secara harfiah berarti warna. Dalam bahasa Indonesia, oleh M. Quraish
Shihab digunakan istilah Corak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti corak antara lain
berjenis-jenis warna pada warna dasar, faham, macam,bentuk. Menurut hemat penulis, kata
corak lebih tepat digunakan dibanding warna. Warna dasarnya adalah at-tafsir bi-ar-ra’yi di
atas warna dasar itu ada warna warni lain yang beragam, dan itulah corak. Corak itu
sekalipun menunjukkan faham penulisannya, macam atau bentuk tafsirnya.
Sejauh ini corak-corak penafsiran yang dikenal antara lain sebagai berikut:
a. Corak Sastra Bahasa
Corak sastra bahasa timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memelukagama
islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri dibanding sastra, sehingga
dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman
arti kandungan Al-Qur’an.
b. Corak Fiqih dan Hukum
Corak fiqih dan hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-
mazhab fiqih, yang setiap golongan brusaha membuktikan kebenaran pendapatnya
berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
c. Corak Teologi dan atau Filsafat
Corak teologi dan atau filsafat, akibat penerjemahan kitab filsafat yang
mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam
Islam yang dengan sadar atua tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan
lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin
dalam penafsiran mereka.
d. Corak Tasawuf
Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari
kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan
yang dirasakan.
e. Corak Penafsiran Ilmiah
Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha mufasir untuk
memahami ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.
f. Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan
Corak sastra budaya kemasyarakatan, yakni satu corak tafsir yang menjelaskan
petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan penyakit-penyakit atau
masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-
petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tetapi indah didengar.
Demikianlah bentuk, metode dan corak penafsiran Al-Qur’an sepanjang zaman
sampai zaman kita sekarang ini. Masing-masing mufasir telah berjasa menjelaskan pesan-
pesan Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan dan latar belakang masing-masing. Karena
keragaman latar belakang para mufassir baik dari segi disiplin ilmu, kecenderungan maupun
latar belakang sosial budaya dan keragaman persoalan dan kebutuhan zaman, maka kitab-
kitab tafsir yag muncul sepanjang waktu pun mempunyai bentuk, corak dan warna yang
berbeda-beda. Namun demikian, sekalipun terjadi keragaman, tidak berarti sau sama lain
saling berbeda sepenuhnya. Ibarat lingkungan yang dipertautkan sambung bersambung,
selalu ada bagian dua lingkaran yang menempati ruang yang sama. Bagian yang sama itulah
yang akan menjadi benang merah dari seluruh penafsiran.

D. KITAB-KITAB TAFSIR BERBAHASA INDONESIA


Sejak pertiga awal abad XX di Indonesia telah lahir berbagai karya berbahasa
Indonesia tentang Al-Qur’an, baik berupa terjemhan Al-Qur’an dengan beberapa anotasi di
mana perlu maupun dalam bentuk tafsir Al-Qur’an sebagian atau keseluruhannya.
Dalam bentuk terjemahan Al-Qur’an dengan beberapa anotasi di mana perlu antara
lain:
1. Mahmud Yunus, Tafsir Al-Qur’an al-Karim (1930);
2. A. Halim hasan, Zainal Arifin Abbas dan Abdur Rahim Haitami, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim
(1955);
3. Zainuddin Hamidy dan Hs. Fachruddin, Tafsir Qur’an (1959);
4. Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an (1978);
5. Oemar Bakry, Tafsir Rahmat (1983);
6. Team Penerjemah Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (1975).
Dalam bentuk tafsir Al-Qur’n sebagaian atau keseluruhannya, antara lain:
1. Abdul Karim Amrullah, Al-Burhan, Tafsir Juz ‘Amma (1922);
2. Ahmad Hassan, Al-Hidayah, Tafsir Juz ‘Amma (1930);
3. M. Hashbi ash- Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur (1952) dan Tafsir Al-Bayan
(1962);
4. HAMKA, Tafsir Al-Azhar (1982);
5. Team Penafsir Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya (1995);
6. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (2000).
E. SYARAT-SYARAT SEORANG MUFASSIR
Para ahli dan ulama’ mensyaratkan agar setiap mufassir memenuhi hal-hal sebagai
berikut:
1. Memiliki aqidah yang benar
2. Tidak dikuasai nafsu ananiya, ’asabiyah dan lain-lain
3. Mengetahui ilmu bahasa Arab dan cabang-cabangnya
4. Mengetaui ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an
5. Faham secara mendalam dan dapat mengistimbatkan makna sesuai dengan nash syari’ah.

KESIMPULAN
Secara etimologis Tafsir berarti penjelasan, sedangkan secara terminologis tafsir
adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an sekalipun
tidak diungkapkan secara eksplisit dalam definisi, tentu saja Abu Hayyan dan Az-Zarkasyi
akan sepakat dengan Az-Zarqani bahwa keterangan dan penjelasan tentang maksud firman
Allah SWT tersebut sebatas kemampuan manusia.
Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi
sendiri. Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah IbnMas’ud dan Ubay ibn Ka’ab
adalah diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Muchotob. 2003. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Gama Media: Yogyakarta
Ilyas, Yunahar. 2013. Ulumul Qur’an. Itqan Publishing: Yogyakart
http://islamiyah2931.blogspot.co.id/2015/05/makalah-tafsir-al-quran.html

http://dickyoksasoemantri.blogspot.co.id/2012/10/makalah-studi-al-quran-tentang-sejarah.html

Anda mungkin juga menyukai